Anda di halaman 1dari 18

MARKER INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Siti Muchayat Purnamaningsih


Departement of Clinical Pathology and Laboratory Medicine ,
Faculty of Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia
Corresponding author: Siti Muchayat Purnamaningsih
Kesehatan Street, Sekip Utara, Yogyakarta 55281, Indonesia
Tel: +62-87839848220, Fax: +62-274-518687, E-mail: siti.muchayat@gmail.com
INTISARI

Banyak aspek dari inflammatory bowel disease (IBD), yang masih menjadi tantangan dari
klinisi tentang penyakit ini: diagnosis, prognosis, penilaian aktivitas dan keparahan penyakit, dan juga
keluaran terapi. Untuk masing-masing aspek ini, belum ada pemeriksaan atau uji baku emas.
Pemeriksaan endoskopi dan histologi dapat digunakan untuk mendiagnosis IBD. Marker laboratorium
untuk IBD telah banyak diteliti untuk diagnosis dan diagnosis banding, menilai aktivitas penyakit dan
risiko komplikasi, untuk memperkirakan kejadian relaps, dan untuk monitoring efek terapi. Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mengetahui marker-marker yang dapat digunakan untuk IBD.
Belum ada marker tunggal untuk IBD. C-reaktive protein merupakan reaktan fase akut yang
lebih dapat dipakai untuk menilai inflamasi pada IBD. Calprotectin dan lactoferrin fekal merupakan
marker fekal yang lebih baik untuk menilai aktivitas penyakit pada IBD. Kombinasi marker serologi
P-ANCA dan ASCA dapat digunakan untuk diagnosis crohn’s disease pada pasien IBD. Dalam
praktik klinis dapat dipakai skor CDAI untuk melihat aktivitas penyakit.

Kata kunci: IBD, CRP, calprotectin, lactoferrin, P-ANCA, ASCA, CDAI

ABSTRACT

Many aspects of the IBDs, CD and UC, still present challenges for physicians treating this
disorder: diagnosis, prognosis, assessment of disease activity and severity, as well as outcome of
therapy. For each of these aspects, there is no single ‘‘gold standard’’ test or examination. Endoscopy
with histology can make the diagnosis of IBD. Laboratory markers have been investigated in
inflammatory bowel disease (IBD) for diagnostic and differential diagnostic purposes, for assessment
of disease activity and risk of complications, for prediction of relapse, and for monitoring the effect of
therapy. The aim of this study is to know about the markers used in IBD.
There is no single marker has proven to diagnose IBD. C-reaktive protein is acute phase
reactan that best used to asses inflammation in IBD. Fecal calprotectin and lactoferrin are better fecal
marker to perform disease activity in IBD. The combination serological marker P-ANCA and ASCA
can be used to diagnose crohn’s disease in IBD patient. In clinical practice, skor CDAI is used as the
primary index for the evaluation of IBD.

Key words: IBD, CRP, calprotectin, lactoferrin, P-ANCA, ASCA, CDAI

i
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Insidensi Inflammatory Bowel Disease di dunia sangat bervariasi. Insidensi IBD
sangat tinggi di daerah Eropa dan Amerika Utara. Sedangkan IBD jarang terjadi di Asia dan
Afrika. Insidensi IBD di negara barat sekitar 2-15 per 100000/tahun untuk Ulcerative Colitis
(UC) dan 0.9-11.6 per 100000/tahun untuk Crohn’s Disease (CD). Usia puncak untuk UC
adalah 30 tahun dan untuk CD adalah 20 tahun. Perempuan secara umum mempunyai risiko
20-30% lebih tinggi daripada laki-laki untuk CD. Sedangkan untuk UC kecenderungan lebih
banyak terjadi pada laki-laki.1Sebanyak 10-20% pasien dengan IBD mempunyai satu atau
lebih dari anggota keluarganya yang terkena IBD.3
Insidensi UC adalah 1.2-20.3 kasus/100000 orang/tahun, dan prevalensinya 7.6-146
kasus/100000/tahun,sedangkan insidensi CD sebanyak 0.03-15,6 kasus dan prevalensinya
3.6-214 kasus/100000/tahun. Pada anak-anak, UC lebih sedikit dibandingkan CD. 2
Pada daerah dengan insidensi UC yang tinggi, maka insidensi CD juga biasanya
tinggi. Rasio UC dibandingkan dengan CD kurang lebih 2:1. Belum ada data tentang
insidensi IBD di negara berkembang. IBD masih jarang terjadi di negara Asia.
Bagaimanapun, jumlah kasus UC dan CD meningkat dalam 10 tahun terakhir. 1Insidensi dan
prevalensi IBD paling tinggi di Eropa Utara dan Amerika Utara dan paling sedikit di Asia
kontinental, dimana UC merupakan bentuk paling sering dari IBD. Lingkungan dan gaya
hidup yang kebarat-baratan berkaitan dengan IBD, seperti merokok, diet tinggi lemak dan
gula, penggunaan obat-obatan, dan status sosioekonomi yang tinggi.2
Banyak aspek dari IBD, yang masih menjadi tantangan dari klinisi tentang penyakit
ini: diagnosis, prognosis, penilaian aktivitas dan keparahan penyakit, dan juga keluaran
terapi.Untuk masing-masing aspek ini, belum ada pemeriksaan atau uji baku emas. Sehingga
klinis menerapkan kombinasi dari gejala, pemeriksaan klinis, indeks laboratorium, radiologi,
dan endoskopi histologi untuk membuat diagnosis, menilai keparahan penyakit dan untuk
memprediksi keluaran penyakit.4
Marker laboratorium untuk IBD telah banyak diteliti untuk diagnosis dan diagnosis
banding, menilai aktivitas penyakit dan risiko komplikasi, untuk memperkirakan kejadian
relaps, dan untuk monitoring efek terapi.4
Ada beberapa alasan mengapa marker laboratorium banyak diteliti pada pasien IBD
pada dekade sebelumnya. Pertama, untuk mendapatkan pengukuran secara obyektif aktivitas
penyakit, karena gejala seringnya bersifat obyektif, dan kedua, untuk menghindari prosedur
invasif (endoskopi) yang sering menjadi beban buat pasien. Suatu marker yang ideal harus

1
memiliki beberapa kualitas. Marker tersebut harus mudah dan cepat hasilnya, murah dan
reproducible antara pasien dan laboratorium. Marker tersebut harus dapat untuk
mengidentifikasi bahwa individu tersebut berisiko dan harus spesifik, harus dapat untuk
mendeteksi aktivitas penyakit dan memonitor efek terapi, dan harus mempunyai nilai
prognostik akan relaps atau rekurensi penyakit.4
Jika ada marker ideal untuk IBD, akan sangat membantu ahli bedah atau ahli
gastroenterologi dalam merawat pasien. Sayangnya, belum ada marker tunggal yang
memenuhi syarat di atas.4
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui marker-marker yang dapat
digunakan untuk IBD.
PEMBAHASAN
Definisi IBD
Inflammatory Bowel Disease, dimana meliputi CD dan UC, merupakan kondisi kronik
yang ditandai dengan episode inflamasi rekuren traktus gastrointestinal. Lokasi anatomi dan
derajat inflamasi menentukan gejala yang lebih dominan, meliputi perdarahan rektal, diare
dan nyeri abdomen.5
Ulcerative Colitis ditemukan pertama kali pada pertengahan 1800-an, sedangkan CD
dilaporkan pertama kali pada tahun 1932, sebagai “regional ileitis”. Karena CD dpt
melibatkan daerah kolon dan mempunyai beberapa manifestasi klinis yang menyerupai UC,
maka sering disebut sebagai IBD, walaupun secara patofisiologi jelas berbeda. Ulcerative
colitismerupakan bentuk IBD yang paling sering. Kontras dengan CD, UC merupakan suatu
penyakit mukosa yang jarang menyebabkan komplikasi dan dapat disembuhkan dengan
kolektomi, dan pada banyak pasien perjalanannya ringan.2
Etiologi
Etiologi IBD belum diketahui, tetapi kemungkinan penyebabnya adalah
multifaktorial.
Beberapa bakteri, parasit, virus dianggap terlibat dalam etiologi terjadinya IBD. 1
Flora bakteri komensal sering disangkutkan dengan perkembangan IBD. Hubungan ini
dibuktikan pada percobaan binatang, dimana inflamasi intestinal tidak berkembang ketika
tikus ditempatkan pada kondisi yang steril.6
Faktor lain seperti merokok, penggunaan kontrasepsi oral, status sosial ekonomi,
nutrisi, dan pola makan, transfusi darah, infeksi perinatal, dianggap sebagai faktor risiko IBD.
Merokok dianggap sebagai faktor risiko yang paling kuat untuk terjadinya IBD. Non perokok
berkaitan dengan terjadinya UC, bekas perokok mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya UC

2
dibandingkan dengan non perokok. Kontras dengan UC, merokok berhubungan dengan
kejadian CD dengan adanya efek trombogenik dan vaskulitis dan nampaknya mempengaruhi
kondisi klinis dan kualitas hidup pasien.1
Patofisiologi IBD
Baik faktor genetik dan faktor lingkungan memegang peranan penting dalam
patogenesis IBD. Hipotesis baru juga mengaitkan sistem kekebalan innate dan epitel
intestinal dalam patogenesis penyakit ini.6

Peranan sistem imun dalam sistem kekebalan innate

Gambar 1 Paradigma tradisional patogenesis IBD6

Pandangan tradisional patogenesis IBD adalah bahwa inflamasi intestinal dimediasi


oleh sel dari sistem kekebalan tubuh didapat (Gambar 1). Inflamasi kronik didapat dari
aktivitas agresif yang berlebihan dari limfosit efektor dan sitokin proinflamasi, yang
berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Sebagai alternatif, IBD dapat berasal dari kegagalan
primer dari limfosit regulatori dan sitokin, seperti interleukin-10 dan transforming growth
factor-β untuk mengontrol inflamasi dan jalur efektor. Sebagai tambahan, mekanisme
patogenik sentral pd CD adalah resistensi sel T selama apoptosis setelah aktivasi.6

3
Gen NOD2
Faktor genetik memegang peranan penting dalam patogenesis IBD, dengan 5%-10%
pasien dilaporkan mempunyai riwayat keluarga. Penelitian riwayat keluarga dan konkordasi
kembar mendukung pengaruh genetik yang lebih kuat pada CD daripada UC.6
Mutasi gen NOD2 terdapat pada sepertiga individu dengan CD.Gen NOD2
merupakan protein intraseluler produk bakteri dan mengaktifkan komponen sistem
kekebalan innate. Mutasi NOD2 yang berkaitan dengan CD masih terus diteliti dengan
beberapa kontroversi yang masih belum dapat dipecahkan.6
Peranan sel epitel
Epitel intestinal, yang dianggap sebagai bagian sistem kekebalan innate, memegang
peranan aktif dalam menjaga homeostasis mukosa. Sebagai konsekuensinya, disfungsi sel
epitel dapat menyebabkan defek primer pada IBD. Sel epitel merupakan barrier selektif
antara tubuh dan microenvironment intraluminal. Kegagalan barrier ini dapat menyebabkan
inflamasi intestinal.6
Peranan lingkungan dalam patogenesis dalam IBD
Faktor lingkungan memegang peranan mayor dalam patogenesis IBD. Faktor
lingkungan mayor yang berimplikasi pada patogenesis IBD adalah merokok, apendiktomi,
kejadian perinatal, dan faktor sosioekonomi. Flora bakterial komensal merupakan faktor
lingkungan yang sering berimplikasi pada perkembangan IBD. Hubungan ini dapat dijelaskan
dengan model binatang, karena inflamasi intestinal tidak terjadi ketika tikus dijaga dalam
kondisi steril.6
Gambaran Klinis
Gambaran klinis IBD meliputi:
1. Gastrointestinal
Nyeri abdomen merupakan gejala awal dari CD. Sering disertai dengan diare
berdarah atau tidak berdarah. Sifat diare pada CD tergantung dari bagian usus yang
terlibat, usus halus atau kolon yang terlibat. Ileitis biasanya menghasilkan feses berair
dengan volume yang banyak, sedangkan collitis menghasilkan feses dengan volume
yang lebih sedikit tetapi frekuensinya lebih banyak. Konsistensi feses bervariasi dari
keras sampai berair. Pada kasus yang berat, seorang individu bisa mempunyai
frekuensi defekasi 20 kali sehari. Feses berdarah jarang terdapat pada CD daripada
UC. Pergerakan usus yang menyebabkan feses berdarah biasanya intermiten dan dapat
berwarna merah terang atau merah gelap. Perut kembung juga menambah
ketidaknyamanan intestinal.7

4
Gejala yang disebabkan oleh stenosis usus juga sering ada di CD. Nyeri
abdomen seringnya lebih berat pada daerah usus yang mengalami stenosis. Pada
stenosis yang berat, mungkin disertai dengan mual dan muntah.7
Rasa ketidaknyamanan perianal juga mencolok pada CD. Rasa gatal atau nyeri
sekitar anus mungkin karena inflamasi, fistula atau abses sekitar regio anal atau
fissure ani. Inkontinensia feses dapat mengiringi perianal CD. Jarang terjadi, esofagus
dan perut terlibat dalam CD menyebabkan gejala sulit menelan (disfagia), nyeri
abdomen atas, dan muntah.7
2. Sistemik
Pada anak-anak, biasanya terjadi kegagalan tumbuh. Demam jarang terjadi
kecuali jika ada komplikasi seperti abses. Pada individu yang lebih tua, dapat
menyebabkan kehilangan berat badan, biasanya berkaitan dengan kehilangan selera
makan atau karena malabsorpsi karbohidrat dan atau lipid.7Anemia merupakan
komplikasi penting pada IBD.9
3. Ekstraintestinal
a. Eritema nodosum
b. Uveitis, episcleritis
c. Seronegative pondyloarthropathy (arthritis, enthesitis)7

Diagnosis secara Endoskopi


Kolonoskopi menunjukkan mukosa inflamasi mulai tepi anorektal dan melebar ke
arah proksimal, dengan transisi bertahap atau tegas dari bagian yang terkena sampai mukosa
normal. Pada UC ringan, mukosa mempunyai penampakan eritematous, granular, dan
kehilangan pola vaskular. Pada UC sedang, terdapat erosi atau mikroulserasi. Pada UC berat,
terdapat ulkus dangkal, dengan perdarahan spontan.2
Kolonoskopi dapat membantu membedakan UC dari CD, dimana karakteristiknya
dibedakan dari keterlibatan rektal, ulkus aphthous, skip lesion (area inflamasi yang diselingi
dengan mukosa normal), pola cobblestone, dan ulkus irreguler dan longitudinal.2
Tidak semua spesimen biopsi endoskopik dapat secara jelas dibedakan apakah CD
atau UC. Hal ini khususnya pada kasus proktitis. Pada<10% pasien IBD, penyakit tidak dapat
diklasifikasikan sebagai CD atau UC, hal ini disebut sebagai “indeterminate colitis”.
Diagnosis indeterminate colitis biasanya merupakan diagnosis sementara, dan kebanyakan
pasien akhirnya dapat didiagnosis UC atau CD.4

Gambaran Histologi

5
Pada UC, inflamasi khas terbatas di permukaan mukosa, dengan infiltrat bervariasi
pada densitas dan komposisi selama penyakit yang aktif atau tahapan/stadium remisi. Infiltrat
terdiri dari limfosit, sel plasma, dan granulosit. Granulosit prominen selama kondisi akut dan
pada abses kripta. Gambaran khas meliputi deplesi sel goblet, susunan kripta yang distorsi,
densitas kripta yang menurun, dan ulserasi. Gambaran khas pada CD adalah adanya
granuloma epitelioid. Adanya displasia epitel menunjukkan adanya risiko terjadinya kanker
pada penderita UC yang lama.2
Peran Laboratorium dalam Diagnosis IBD
Pemeriksaan laboratorium umum
Hitung lekosit akan meningkat sebagai bagian dari respon fase akut. Tetapi
peningkatan lekosit bukan merupakan gambaran spesifik dari IBD, dan mungkin dapat
terlihat pada kondisi inflamasi lain.Hitung lekosit juga dipengaruhi oleh beberapa terapi yang
digunakan untuk IBD, seperti glukokortikoid (meningkat), atau azathioprine dan 6-
mercaptopurine (menurun).4
Hitung trombosit juga akan meningkat dan hal itu merupakan pertanda inflamasi
secara umum, bukan merupakan marker yang spesifik untuk IBD.Albumin merupakan
reaktan fase akut negatif, penurunan kadar albumin dapat ditemukan pada kondisi inflamasi.4
Anemia merupakan komplikasi penting pada IBD.9Anemia pada IBD merupakan
kombinasi anemia defisiensi besi dan anemia karena inflamasi (anemia penyakit kronik, yang
disebabkan efek negatif sistem imun yang teraktivasi). Selain itu gangguan metabolik dan
defisiensi vitamin dapat memperburuk anemia pada IBD.8 Beberapa data mengemukakan
bahwa hepcidin merupakan mediator mayor anemia dengan peranannya pada homeostasis
dan metabolisme besi.9 Hepcidin, suatu peptida yang diproduksi hepatosit, mengatur
homeostasis besi tubuh. Inflamasi meningkatkan hepcidin dan pemeriksaannya dapat berguna
untuk mendiagnosis banding anemia selama kondisi inflamasi. 10 Penelitian Oustomanolakiset
al tahun 2011 menunjukkan kadar hepcidin serum berubah secara bermakna pada pasien
dengan IBD jika dibandingkan dengan kontrol sehat.9
C-Reaktive Protein (CRP)
C-reaktive protein merupakan protein pentamerik yang terdiri dari lima monomer dan
merupakan salah satu dari protein fase akut yang paling penting pada manusia. Dalam
keadaan normal CRP diproduksi oleh hepatosit dalam jumlah sedikit (<1mg/L). Jika ada
stimulus fase akut seperti inflamasi, hepatosit akan secara cepat meningkatkan produksi CRP
karena pengaruh interleukin (IL)-6, dan mencapai kadar puncak 350-400 mg/L. 4, 11 Respon ini
akan diperkuat lagi oleh IL1-β dan TNF-α.Waktu paruh CRP adalah sekitar 19 jam. 11Secara

6
umum kadar CRP 10-40 mg/L ditemukan pada kasus inflamasi ringan atau infeksi virus.
Inflamasi aktif yang berat atau infeksi bakterial akan meningkatkan kadar CRP 50-200 mg/L
dan kadar yang sangat tinggi 200-250 mg/L hanya ditemukan pada kondisi berat dan luka
bakar.4
Marker ini mempunyai homologi 50-60% dengan protein amiloid A serum (SAA) dimana
merupakan protein fase akut utama pada tikus. Tetapi pada manusia, SAA hanya memegang
peranan kecil.11
Dengan adanya stimulus fase akut, CRP dengan cepat diproduksi (dalam hitungan jam)
dan dapat mencapai konsentrasi 500-1000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pada kondisi
basal. Waktu paruh CRP yang singkat juga memastikan bahwa konsentrasinya akan cepat
menurun ketika stimulus fase akut menghilang. Hal ini membuat CRP menjadi marker yang
bernilai dalam mendeteksi dan memonitoring adanya inflamasi.11
Pada CD, konsentrasi CRP berkorelasi baik dengan aktivitas penyakit dan dengan marker
inflamasi lain seperti CDAI. Peningkatan CRP (>45 g/L) pada pasien dengan IBD dapat
memperkirakan kebutuhan akan kolektomi.11
Fungsi CRP invivo belum sepenuhnya dimengerti. Protein initerikat dengan fosfokolin
mengandung mikroorganisme atau partikel yang akan menyebabkan aktivasi komplemen scr
klasik.C-reaktive protein juga memegang peranan dalam opsonisasi agen infeksius dan sel
rusak.4
Walaupun CRP terdapat pada kebanyakan penyakit inflamasi, termasuk IBD, tetapi ada
perbedaan respon antara CD dan UC. Crohn’s disease berkaitan dengan respon CRP yang
kuat, sedangkan UC hanya mempunyai respon CRP yang lemah atau bahkan tidak ada. Hal
ini merupakan hal yang penting ketika menggunakan CRP dalam praktik klinik.4
Reaktan Fase Akut Lain
Reaktan fase akut yang lain meliputi sialic acid, α1glikoproteinacid atau orosomukoid,
fibrinogen, lactoferin, β2mikroglobulin, serum amiloid A, α2 globulin, dan α1 antitripsin.
Kebanyakan dari marker-marker ini belum dipelajari secara luas untuk IBD dan masih
banyak yang menunjukkan hasil yang masih bertentangan. Penggunaan marker-marker ini
untuk IBD belum dibuktikan superior daripada CRP, terutama karena waktu paruh protein-
protein ini lebih panjang.4
β2 mikroglobulin merupakan protein dengan berat molekul rendah dan dilepaskan
oleh limfosit T dan B yang teraktivasi. Perkiraan waktu paruhnya adalah dua jam. β 2
mikroglobulin disaring melalui glomerulus dan kadarnya meningkat seiring dengan
bertambahnya umur dan dengan penurunan fungsi ginjal.4

7
Orosomucoid berkorelasi dengan aktivitas penyakit tetapi mempunyai waktu paruh
lima hari menyebabkan marker ini kurang berguna pada praktik klinik.4
Sitokin
Belum ada penjelasan bahwa pada UC ada peningkatan IL-6, IL-1b, atau TNF-α. Pada
penelitian Gross et al, konsentrasi serum IL-6 secara bermakna meningkat pada pasien CD
dibandingkan dengan UC dan kontrol orang sehat dan 68.5% pasien CD mempunyai
konsentrasi IL-6 serum >4 U/mL dibandingkan dengan hanya 21.7% pasien UC dan 0%
pasien sehat. Penjelasan lain yaitu dengan adanya fakta bahwa inflamasi UC hanya
melibatkan mukosa sedangkan CD melibatkan transmural.4
Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR)
Erythrocyte sedimentation rateatau laju endap darah (LED) adalah laju dimana eritrosit
migrasi melalui plasma. Laju endap darah tergantung dari konsentrasi plasma dan jumlah
serta ukuran eritrosit. Kondisi seperti anemia, polisitemia, dan thalassemia akan
mempengaruhi ESR.4Pengukuran ESR dapat membantu menentukan keparahan
inflamasi.2Dibandingkan dengan CRP, ESR mencapai puncak kurang cepat dan memerlukan
beberapa hari untuk mengalami penurunan, walaupun kondisi klinis pasien atau inflamasi
sudah diperbaiki. Peningkatan nilai ESR seiring dengan bertambahnya usia telah banyak
diketahui.4
Marker Fekal
Alasan utama digunakan marker fekal adalah feses mudah didapat pada pasien IBD.
Marker serum juga dapat meningkat oleh berbagai kondisi dibandingkan inflamasi intestinal
dan juga marker feses mempunyai spesifisitas yang tinggi ketika tidak ada infeksi
gastrointestinal. Jika marker fekal representatif untuk inflamasi mukosa usus pasien IBD,
maka pemeriksaan endoskopi dapat dihindari.4
Lekosit yang dilabel dengan Indium111
Ekskresi fekal dari leukosit yang dilabel dengan Indium 111 dianggap sebagai baku
emas marker fekal untuk inflamasi, dengan sensitivity 97% untuk diagnosis IBD. Walaupun
teknik pelabelan dengan dengan radioaktif sangat penting penelitian, tetapi tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena biayanya mahal, paparan terhadap radiasi
dan diperlukan waktu 4 hari untuk koleksi fekal.13
Kadar alfa1-antitripsin
Kadar alfa1-antitripsin, dimana merupakan inhibitor protease yang diproduksi oleh
hepar, makrofag, dan epitel intestinum, merupakan indikator IBD yang berguna. Kadar acak
alfa1-antitripsin berguna dalam mengukur aktivitas CD, dimana kliren alfa1-antitripsin fekal

8
selama 72 jam merupakan metode kuantifikasi kehilangan protein intestinal. Walaupun alfa1-
antitripsin fekal telah diterima sebagai marker untuk IBD, tetapi marker ini tidak digunakan
secara rutin dan kurang costeffective.13
Ekskresi anti-proteinase fekal lain, alfa2 makroglobulin, juga meningkat pada pasien
IBD. Kadar alfa2-makroglobulin dalam feses mempunyai korelasi positif dengan indeks
aktivitas CD tapi tidak pada UC.13
Calprotectin fekal
Ada beberapa protein yang ada di feses yang berasal dari netrofil yang sudah
diteliti,termasuk lactoferrin fekal, lisozim, elastase, mieloperoksidase, calprotectin dan
PMNelastase.4,13 Calprotectin merupakan protein yang terikat kalsium dan zinc, dengan berat
molekul 36 kDa.4,13 Nama calprotectin berasal dari fakta bahwa marker ini terikat dengan
kalsium dan mempunyai efek protektif. Zat ini mempunyai beberapa sinonim (kompleks
S100A8 dan S100A9, protein L1L dan L1H, macrophage inhibitory factor-related protein
MRP8/14, calgranulin).5Kontras dengan marker netrofil yang lain, calprotectin mewakili 60%
protein sistosol pada granulosit.4,13Adanya calprotectin dalam feses berbanding secara
langsung dengan migrasi netrofil ke dalam traktus gastrointestinal.4,5,13 Calprotectin feses
merupakan marker yang sangat stabil (stabil lebih dari satu minggu pada suhu kamar) dan
resisten terhadap degradasi, dimana hal itu membuatnya semakin menarik. 4,5,13Penelitian
sebelumnya penggunaan calprotectin feses pada IBD menunjukkan korelasi kuat dengan
111
ekskresi lekosit yang dilabel In dan permeabilitas intestinal.4 Peningkatan kadar
calprotectin fekal telah dilaporkan setelah penggunaan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid
dan juga seiring dengan pertambahan usia.4Konsentrasi calprotectin fekal pada individu sehat
beberapa kali lebih tinggi daripada dalam serum/ plasma. 5 Calprotectin fekal berhubungan
kuat dengan inflamasi kolorektal, hal ini mengindikasikan adanya penyakit
organik.Calprotectin fekal dapat untuk melihat apakah aktivitas penyakitnya ringan, sedang
atau berat, sehingga marker ini dapat berguna untuk monitoring penyakit. Marker ini juga
dapat untuk membedakan antara CD dengan IBS.13

Tabel 1 Nilai referensi calprotectin fekal pada anak sehat dan anak dengan IBD 5

9
Ada beberapa hal yang mempengaruhi calprotectin fekal. Penggunaan obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID) dapat meningkatkan kadar calprotectin karena enteropati yang diinduksi
NSAID pada pasien tanpa IBD. Perdarahan lebih dari 100 mL, termasuk perdarahan
menstruasi, dapat meningkatkan kadar calprotectin fekal. Walaupun calprotectin merupakan
marker yang sangat sensitif untuk deteksi inflamasi traktus gastrointestinal, marker ini
bukanmerupakan marker yang spesifik dan kadarnya juga meningkat pada neoplasia, IBD,
infeksi dan polip.4,5,13
Lactoferrin fekal
Lactoferrin merupakan glikoprotein yang mengandung besi yang disekresi oleh
kebanyakan membran mukosa. Marker ini merupakan komponen utama granul
polimorfonuklear sekunder, dimana sel ini merupakan sel primer dalam respon inflamasi
akut. Sel hematopoietik yang lain, seperti monosit dan limfosit, tidak mengandung
lactoferrin. Pada inflamasi intestinal, leukosit menginvasi mukosa, menghasilkan peningkatan
ekskresi lactoferrin ke dalam feses.12, 13
Lactoferrin mempunyai aktivitas antibakterial dan resisten terhadap proteolisis di feses.
Zat ini dapat stabil dalam feses selama 4 hari. Lactoferrin dapat dideteksi menggunakan
teknik yang sederhana dan tidak mahal dengan menggunakan ELISA.12
Dalam Vieira (2009), menunjukkan bahwa lactoferrin merupakan marker yang sensitif
dan spesifik dalam mendeteksi inflamasi intestinal dengan sensitifitas 90% dan spesifisitas
92% jika dibandingkan dengan evaluasi secara histologi.12
Fecal Pyruvate Kinase
Marker fecal pyruvate kinase (tumor M2PK) yang tadinya merupakan marker untuk
kanker kolorektal, sekarang ini dapat juga dipakai sebagai marker inflamasi gastrointestinal.
Marker ini berguna untuk membedakan penyakit organik dari penyakit usus fungsional tetapi

10
mempunyai sensitifitas, spesifisitas dan nilai duga yang lebih rendah dibandingkan dengan
calprotectin.13
Rectal Nitric Oxide
Nitric oxide (NO) merupakan gas yang diproduksi secara endogen melalui berbagai
proses fisiologis. Sebagai respon terhadap sitokin proinflamasi akut, lekosit dan sel epitel
mengekspresikan inducible nitric oxide synthase (NOS), yang akan menyebabkan produksi
dan akumulasi sejumlah besar NO. Kadar NO rektal berkorelasi dengan aktivitas penyakit
pada pasien IBD dan menurun sebagai respon terapi antiinflamasi. Marker NO rektal dapat
berguna sebagai biomarker respon terapi pada IBD.13
Mieloperoksidase Fekal
Mieloperoksidase, suatu enzim yang berfungsi membunuh mikroorganisme,
dilepaskan dari granul primer netrofil selama inflamasi akut. Konsentrasi mieloperoksidase
proporsional dengan jumlah netrofil dalam wilayahnya. Mieloperoksidase mempunyai
potensi sebagai marker untuk keberhasilan keluaran terapi pada pasien IBD.13
Eosinophil Protein X Fekal
Eosinophil protein X (EPX) dilepaskan oleh granulosit eosinofil yang teraktivasi.
Kadar EPX fekal diteliti sebagai indikator keluaran terapi pada IBD kambuhan. Kadar EPX
fekal juga merupakan pelengkap evaluasi secara endoskopi dan histologi pada perawatan
harian pasien dengan UC.13
Marker Spesifik
Kebanyakan biomarker serologi utama untuk IBD adalah antibodi terhadap antigen
mikroba, termasuk yeast oligomanna (anti Saccharomyces cerevisiae, ASCA), bacterial
outer membran porin C (OmpC), Pseudomonas fluorescent bacterial sequence 12 (anti-12)
dan bacterial flagellin (Cbir 1).13
Semua antibodi ini terutama ditemukan pada pasien CD tapi tidak pada pasien UC,
kecuali ASCA, yang ditemukan pada 5% pasien UC. Di sisi lain, antibodi manusia,
perinuclear antineutrophil cytoplasm antibody (pANCA) dianggap suatu autoantibodi,
walaupun stimulasi antigenik spesifik untuk produksinya masih belum tepat. pANCA
ditemukan pada 70% pasien UC dan 20% pasien CD.13
Autoantibodi terhadap netrofil: ANCAs dan atypical P-ANCAs
Marker ANCA sebenarnya berkaitan dengan penyakit primer pembuluh darah kecil,
seperti granulomatous Wegener, polyangiitis dan sindrom Churg-Strauss. Pemeriksaan
ANCAs secara klasik diskrining dengan menggunakan immunofluorescence indirek
menggunakan netrofil yang difiksasi etanol. Immunofluoresce indirek menunjukkan 2 pola

11
pengecatan utama: a cytoplasmic granular (C-ANCAs) dan a perinuclear pattern (P-
ANCAs). Pola C-ANCA menunjukkan fluorescence sitoplasmik granular, seringnya di antara
lobus nukleus. C-ANCAs terutama ada di serum pasien dengan granulomatosus Wegener dan
terutama mengenali proteinase-3. Pola P-ANCA menunjukkan gambaran sitoplasma
perinuklear dengan tepi homogen (mengelilingi nukleus). Pelebaran nuklear dapat ada. P-
ANCAs terdapat pada pasien dengan poliangiitis mikroskopik dan mengenali
mieloperoksidase. Pengecatan P-ANCA juga terlihat dengan antibodi terhadap enzim netrofil
yang lain dan dengan antibodi anti-nuklear (antibodi antinuklear yang spesifik netrofil).14
Adanya ANCAs juga dilaporkan pada pasien dengan penyakit inflamasi kronik,
seperti UC (60-80%), kolangitis sklerosing primer (88%), hepatitis autoimun (81%) dan CD
(5%-25%). Pada penyakit-penyakit ini, pola pengecatan atypical P-ANCA biasanya
ditemukan. Antigennya bukan mieloperoksidase. Atypical P-ANCA dikarakteristikkan oleh
pengecatan perifer nuklear yang dengan tepi inhomogen.14
Prevalensi ANCAs bervariasi antara 18% dan 68% dengan nilai κ<0.2,
mengindikasikan poor agreement. Sensitivitas deteksi ANCA pada 150 pasien UC bervariasi
antara 0% dan 63% di 5 laboratorium yang berbeda (Prometheus, Oxford, Wuerzburg, Mayo,
dan Smith Kline Beecham).14
Atypical P-ANCAs terutama ditemukan pada UC (50-67%), dan juga pada CD (6-
15%). Atypical P-ANCAs juga ditemukan pada hepatitis autoimun dan kolangitis sklerosing
primer.11
Evaluasi serologi ANCAs dan ASCAs dapat membantu pada pasien indeterminate
colitis. Pada penelitian prospektif multisenter, kombinasi ASCA +/ANCA- dapat
memperkirakan CD pada 80% pasien IC (sensitivitas 67%, spesifisitas 78%, rasio likelihood
positif 3), dimana pasien ASCA-/ANCA+ dapat memperkirakan untuk UC pada 64% pasien
(sensitivitas 78%, spesifisitas 67%, rasio likehood positif 2.3).14
Anti-Saccharomyces cerevisiae Antibodies
Peningkatan konsentrasi antibodi ASCAs ditemukan pada pasien CD. Baik antibodi
IgG maupun IgA dibentuk. Antibodi ini ditemukan pada 60-70% pasien CD, 10-15% pasien
dengan UC, dan 0-5% individu kontrol.14
Penelitian komparatif menunjukkan rentang yang lebar dalam sensitifitas dan
spesifisitas di antara 4 pemeriksaan. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan akibat nilai
cutoff yang dipilih. Nilai kesepakatan di antara pemeriksaan-pemeriksaan ini baik.14
Kontras dengan P-ANCAs, ASCAs tidak terlihat sebagai autoantibodi tetapi lebih
pada antibodi melawan bakteri atau jamur. Adanya ASCAs pada pasien dengan IBD

12
kemungkinan karena respon terhadap antigen S. Cereviseae atau terhadap antigen tidak
teridentifikasi yang bereaksi silang dengan S. Cerevisiae.14
Prevalensi ASCAs lebih tinggi pada pasien CD (40-60%) dibandingkan pada UC (5-
14%).Pada kontrol sehat antibodi terdapat <5%.14
Kombinasi atypical P-ANCAs dan ASCAs mungkin dapat berguna dalam
membedakan UC dari CD pada pasien IBD. Pola yang berkaitan dengan CD adalah
ASCA+/P-ANCA-, dimana pola yang berkaitan dengan UC adalah ASCA -/P-ANCA+.
Kombinasi ANCAs dan ASCAs mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi (>90% pada
kebanyakan penelitian dan >80% di semua penelitian) dalam membedakan CD dari UC.13
Antibodi antiglikan
Glycan merupakan komponen utama permukaan dinding sel pada kebanyakan saprofit dan
fungi patogenik, yeast, dan bakteri. Beberapa antibodi antiglikan yaitu Anti-Saccharomyces
cerevisiae Antibodies (ASCA),anti-chitobioside carbohydrare antibodi (ACCA), anti-
laminaribioside IgG (ALCA), anti-manobioside IgG (AMCA), ƩMan3, ƩMan4, Anti-L (anti-
laminarin), dan Anti-C (anti-chitin).13,15 Biomarker-biomarker ini telah diuji untuk CD, dan
mempunyai spesifisitas tinggi tetapi sensitivitas rendah.13
Marker ASCA mempunyai nilai diagnostik tertinggi di antara marker antiglycan.
Dimana ACCA mempunyai asosiasi dengan komplikasi.15
Dua antibodi polisakarida dinding sel Imunoglobulin A (IgA), anti-laminarin (anti-L)
dan anti-chitin (anti-C) mempunyai kemampuan untuk membedakan antara CD dan UC.15
D-lactate
D-lactate merupakan indikator baru yang digunakan untuk menunjukkan adanya
kerusakan pada mukosa intestinal dan perubahan permeabilitas pada IBD.16D-lactate, produk
akhir metabolik bakteri gastrointestinal, dapat diproduksi oleh beberapa bakteri. Karena
mamalia tidak mempunyai enzim untuk dekomposisi, D-lactate akan masuk darah ketika
fungsi barrier intestinal rusak, dan karena mereka tidak mempunyai D-lactate dehydrogenase,
maka peningkatan kadar D-lactate dapat dideteksi ketika permeabilitas mukosa intestinal
akan meningkat. Maka dari itu pemeriksaan darah perifer dapat menunjukkan derajat
kerusakan mukosa intestinal dan perubahan permeabilitas.17Uji klinik dan uji pada binatang
masih banyak menunjukkan tentang penggunaannya dalam mendiagnosis IBD. Maka dari itu
marker ini harus diinterpretasi secara berhati-hati dan masih perlu penelitian lanjutan dalam
menentukan peranan klinisnya dalam mendiagnosis IBD.16

13
Diamine oxidase
Diamine oxidase (DAO) merupakan enzim intraseluler aktif dalam sitoplasma sel
mukosa intestinal. Pada kasus dimana sel epitel mukosa intestinal dan fungsi barrier rusak,
pelepasan DAO akan meningkat, DAO akan memasuki ruang ekstraseluler, pembuluh darah
limfatik dan aliran darah, sehingga akan meningkatkan kadar DAO dalam plasma. Karena
aktivitas DAO stabil, maka konsentrasi dalam darah dapat menggambarkan kerusakan dan
restorasi kavum intestinal.17Marker ini termasuk marker baru dalam penegakan diagnosis
IBD. Sama seperti D-lactate, masih banyak kontroversi tentang penggunaan marker ini.
Masih perlu penelitian lanjutan dalam menentukan peranan klinisnya dalam diagnosis IBD.16
Serum Soluble Intercellular Adhesion Molecule-1 (sICAM-1)
Intracellular Adhesion Molecules(ICAMs) merupakan tipe glikoprotein yang
disintesis oleh sel dan berkumpul di permukaan sel atau diekskresikan ke sel epimatriks dan
dapat meningkatkan adesi antara sel atau antara sel dan epimatriks. Molekul ini pada jaringan
normal biasanya diekspresikan dalam jumlah rendah di sel endotel vaskular dan dalam
makrofagosit mononuklear di lamina propia mukosa intestinal dan limfe. Pada jaringan
intestinal pasien dengan IBD, ekspresi dan distribusi ICAM-1 secara signifikan meningkat
dan berkaitan erat dengan derajat inflamasi jaringan. Molekul adesi di sel endotel vaskular,
lekosit dan sel lain dapat masuk ke dalam sel atau pergi ke dalam sirkulasi darah, menjadi
soluble intercellular adhesion molecule-1 (sICAM-1). Peningkatan sICAM-1 dalam serum
merupakan marker kerusakan atau aktivasi endoteliosit. Maka dari itu, kadar sICAM-1 dalam
serum merupakan indeks yang signifikan dalam deteksi beberapa penyakit.17
Sistem skoring dalam melihat aktivitas penyakit
Chrohn’s Disease Activity Index (CDAI)
Chrohn’s Disease Activity Index (CDAI) digunakan sebagai indeks primer untuk
evaluasi aktivitas penyakit dan menilai keberhasilan terapi.18
Kriteria skor CDAI adalah remisi jika skor <150, respon jika penurunan lebih dari 70
poin, aktivitas penyakit ringan jika skor 150-220, aktivitas penyakit sedang jika skor 220-
450, aktivitas penyakit berat jika skor >450.19

14
Tabel 2Skor CDAI19
Variable No Variable Description Multiplier Total
1 No. of liquid or soft stools (each day for 7 days) X2
2. Abdominal pain, sum of seven daily ratings (0=none, X5
1=mild, 2=moderate, 3=severe)
3. General well-being, sum of seven daily ratings X7
(0=generally well, 1=slight under par, 2=poor,
3=very poor, 4=terrible)
4. Number of listed complications (arthritis or X 20
arthralgia; iritis or uveitis; erythema nodosum;
pyoderma gangrenosum, or aphtous stomatitis; anal
fissure, fistula, or abcess; other fistula; fever over
37.80C
5. Use of diphenoxylate or loperamide for diarrhea X 30
(0=no, 1=yes)
6. Abdominal mass ( 0=no, 2=questionable, 5=definite) X 10
7. Hematocrit (males:47-Hct (%), females : 42-Hct (%) X6
8. Body weight (1-weight/ standar weight) x 100 (add X1
or substract according to sign)
0-600

Skor MAYO
Pasien dengan skor Mayo ≥6 mempunyai keaktifan penyakit moderat-berat dan sulit
dikontrol. Total skor Mayo meliputi frekuensi feses + perdarahan rektal + gambaran
endoskopi + penilaian keseluruhan oleh klinisi.20

Tabel 3 Skor MAYO


20
Variable description Score
Stool Frequency
Normal number of stools for this patient 0
1 to 2 stools more than normal 1
3 to 4 stools more than normal 2
5 or more stools more than normal 3
Rectal Bleeding
No blood seen 0
Streaks of blood with stool less than half of time 1
Obvious blood with stool most of the time 2
Blood alone passed 3
Endoscopic Findings
Normal or inactive disease 0
Mild disease (erythema, decreased vascular pattern, mild friability) 1
Moderate disease (marked erythema, absent vascular pattern, friability, 2
erosions)
Severe disease (spontaneous bleeding, ulceration) 3
Phyician’s Global Assesment
Normal 0
Mild disease 1

15
Moderate disease 2
Severe disease 3

Skor Mayo bervariasi antara 0-12. Kriteria skor MAYO adalah remisi ≤2, ringan 3-5,
sedang 6-10, berat 11-12. Penilaian keseluruhan oleh klinisi juga melibatkan kriteria yang
lain, seperti ketidaknyamanan perut, kondisi kesehatan secara umum dan pengamatan lain
seperti penemuan fisik dan status performa pasien.20
SIMPULAN
Banyak marker IBD yang dapat digunakan untuk IBD, tetapi belum ada marker
tunggal dan ideal yang dapat dipakai. C-reaktive protein merupakan reaktan fase akut yang
lebih dapat dipakai untuk menilai inflamasi pada IBD. Calprotectin dan lactoferrin fekal
merupakan marker fekal yang lebih baik untuk menilai aktivitas penyakit pada IBD.
Kombinasi marker serologi P-ANCA dan ASCA dapat digunakan untuk diagnosisCrohn’s
diseasepada pasien IBD. Dalam praktik klinis dapat dipakai skor CDAI untuk melihat
aktivitas penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bing XIA., Crusius JBA, Meuwissen SGM, Pena AS. Inflammatory bowel disease:
definition, epidemiology, etiologic aspects, and immunogenetic studies. WJG.
1998;4(5):446-458
2. Danese S, Fiocchi C. Ulcerative Colitis. N Engl J Med. 2011. 365:171325
3. Wyeth J. Crohn’s disease and ulcerative colitis. BPJ. Issue 16: 34-38
4. Vermeire S, Van Assche G, Rutgeerts P. Recent advances in clinical practice
laboratory. Laboratory markers in IBD: useful, magic, or unnecessary toys?. GUT.
2006. 55: 426-431
5. Paduchova Z, Durackova Z. Fecal calprotectin as a promising marker of inflammatory
diseases. Bratisl Lek Listy. 2009. 110 (10): 598-602
6. Bamias G, Nyce MR, Rue SA, Cominelli F. New Concepts in the Pathophysiology of
Inflammatory Bowel Disease. Ann Intern Med. 2005. 143:895-904
7. Anonymous. Crohn’s Disease. Available at https://www.google.com/#psj=1&q=crohn
%27s+ Disease + wikipedia
8. Weiss G, Gasche C. Pathogenesis and treatment of anemia in inflammatory bowel
disease. Haematologica. 2010. 95(2): 175-178
9. Oustamanolakis P, Koutroubakis IE, Messaritakis I, Malliaraki N, Sfiridaki A,
Kouroumalis EA. Serum hepcidin and prohepcidin concentrationsin inflammatory
bowel disease. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2011 Mar. 23(3):262-8
10. Bergamaschi G, et al. Serum hepcidin in inflammatory bowel diseases: biological and
clinical significance. Inflamm Bowel Dis. 2013 Sep. 19(10):2166-72
11. Vermeire S, Assche GV, Rutgeerts P. C-Reactive Protein as a Marker for
InflammatoryBowel Disease.Inflamm Bowel Dis. 2004. 10 (5): 661-665
12. Vieira A et al. Inflammatory bowel disease activity assessed by fecal calprotectin and
lactoferrin: correlation with laboratory parameters, clinical, endoscopic and
histological indexes. BMC Research Notes. 2009. 2(221): 1-7
13. Turkay C, Kasapoglu B. Noninvasive methods in evaluation of inflammatory bowel
disease: where do we stand now? An update. CLINICS. 2010. 65 (2): 221-31

16
14. Bossuyt X. Serologic Markers in Inflammatory Bowel Disease. Clinical Chemistry.
2006. 52 (2): 171–181
15. Kaul A, Hutfless S, Liu L, Marohn MR, Li X, Bayless TM. Serum Anti-glycan
Antibody Biomarkers for Inflammatory Bowel Disease Diagnosis and Progression: A
Systematic Review and Meta-analysis. Inflamm Bowel Dis. 2011. 000:000–000
16. Xie Q, Gan HT. Controversies about the use of serological markers in diagnosis of
inflammatory bowel disease.World J Gastroenterol . 2010. 16(2): 279-280
17. Song WB, et al. Soluble intercellular adhesion molecule-1, D-lactate and diamine
oxidase in patients with inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol. 2009.
15(31): 3916-3919
18. Herfarth H. A Reassessment of the CDAI as an Index of Crohn’s Disease.
AGAPerspektif. 2013. April/ May, 9 (2): 4,6
19. Cohen CD. Should Mucosal healing Be used Instead?. AGA Perspektif. 2013.
April/May, 9(2): 5,7
20. Schroeder KW et al. Coated Oral 5-Aminosalicylic Acid Therapy for Mildly to
Moderately Active Ulcerative Colitis. N Engl J Med. 1987. 317:1625-9

17

Anda mungkin juga menyukai