Anda di halaman 1dari 11

Laporan Pendahuluan

Asuhan Keperawatan Klien dengan Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

Disusun Oleh:
Diki Alifta Rachmad
131511133006

PROGAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
Definisi SLE

Menurut Hockenberry & Wilson (2009), Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan
penyakit multisistem yang kronik, penyakit autoimun dari jaringan ikat dan pembuluh darah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada jaringan tubuh. SLE merupakan gangguan inflamasi
multisystem yang berhubungan dengan kelainan sistem imun. Banyak kelainan imunologi klasik
yang muncul pada SLE. Terutama pengaruh pada berbagai sistem dan organ pada waktu yang
berbeda, menghasilkan kerusakan yang menyebar pada jaringan ikat, pembuluh darah dan
membran serosa serta mukosa (Joyce dan Jane, 2014).

Etiologi SLE
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi
dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi
tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam
timbulnya penyakit ini (Greenberg & Glick, 2008).
Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Orang yang mempunyai riwayat keluarga dengan lupus
memiliki 3-10% risiko menderita penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit
auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar
identik, risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang
menyandang lupus (Djoerban, 2002).
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor
yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T (Alexis
& Barbosa, 2013).
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi
menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan
memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal
(Alexis & Barbosa, 2013).
3) Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan (Alexis & Barbosa,
2013).
c. Faktor Hormonal
Penyandang lupus wanita:pria adalah 5:1. Sebagian besar penyandang wanita adalah
mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor hormonal seperti
esterogen dan prolaktin. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya
lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo. Sehingga harus benar-
benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang mengandung
estrogen.
d. Faktor Lingkungan
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus
dan Clebsiella.

2) Zat kimia dan racun


Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan racun
termasuk pekerjaan yang berhubungan silika
3) Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal
4) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah
5) Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan
Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan
DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
(Eastham & Brooke, 2013).

Patofisiologi
Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibat terganggunya
regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto antibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralasin (Apresoline,
prokainamid (Pronestyl), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan turut
terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang anti bodi
tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.

Manifestasi Klinis
a. Manifestasi Konstitusional
Manifestasi konstitusional adalah gejala yang merupakan manifestasi umum dari
penyakit ini yang tidak termasuk dalam kategori organ tertentu. Gejala umum dapat
berupa kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), dan penurunan berat badan (Kasjmir YI,
Handono K, Kurniaty L,et.al, 2011).
b. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform
dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda- tanda vaskulitis
kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren (D’Cruz, et.al,
2010).
c. Manifestasi Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan
dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis
dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai
manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris.
Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan kelainan deformitas (Isbagio H,
Albar Z, Kasjmir YI, et al, 2009).
d. Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli
paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome (Isbagio
H, Albar Z, Kasjmir YI, et al, 2009).
e. Manifestasi Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung (D’Cruz, et.al, 2010).
f. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria
dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal (D’Cruz, et.al, 2010).
g. Manifestasi Gastrointestinal
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu
dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan
pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum
SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH (D’Cruz, et.al, 2010).
h. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit
ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun (Isbagio
H, Albar Z, Kasjmir YI, et al, 2009).
i. Manifestasi Susunan Saraf (Neuropsikiatrik)
Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Gejala
berupa migrain, neuropati perifer, kejang dan psikosis.

Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah rutin dan Pemeriksaan urin
Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah
pada urin.
b. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue
disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan
sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948
pada sumsum tulang penderita LES. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi
dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP),
Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan
pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68%
pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma.ANA juga
pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.
c. Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif
terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang
tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti
ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid.
Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada
LES,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas
penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay,
ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.

Penatalaksanaan
Berikut pilar terapi pada SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011):
1. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu
diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan
penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
2. Program Rehabilitasi
Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas
fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup
besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan,
indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud
di bawah ini, yaitu istirahat, terapi fisik, terapi dengan modalitas, ortotik.
3. Terapi medikamentosa
- Pengobatan SLE ringan
• Penghilang nyeri seperti paracetamol 3x500 mg bila diperlukan
• Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi
• Glukokortikoid topical untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
• Klorokuin basa 3,5-4 mg/kgBB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250
mg mengandung 150 mg klorokuin basa). Catatan periksa mata pada saat awal
pemberian dan dilanjtkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-
6,5 mg/kgBB/hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan
• Kortikosteroid dosis rendah seperti prednisone <10 mg/hari atau yang setara
• Tabir surya: gunakan tabir surya topical dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15)
- Pengobatan SLE sedang
Penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan, namun ada beberapa
rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol yang telah ada. Misal pada
serosistis yang refrakter: 20 mg/hari prednisone atau yang setara.
- Pengobatan SLE Berat atau Mengancam nyawa
• Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40-60 mg/hari (1 mg/kgBB)
prednisone atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan
secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon IV 500 mg-1
g/hari selama 3 hari berturut-turut
• Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Obat-obatan seperti azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil.
Komplikasi
a. Serangan pada Ginjal
1) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
2) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
3) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
b. Serangan pada Jantung dan Paru
1) Pleuritis
2) Pericarditis
3) Efusi pleura
4) Efusi pericard
5) Radang otot jantung atau Miocarditis
6) Gagal jantung
7) Perdarahan paru (batuk darah)
c. Serangan Sistem Saraf
1. Sistem saraf pusat:
a. Cognitive dysfunction
b. Sakit kepala pada lupus
c. Sindrom anti-phospholipid
d. Sindrom otak
e. Fibromyalgia
2. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki.
3. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat
menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen
(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
d. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi
diskoid. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap
sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kulit subakut/cutaneus lupus subacute.
Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang
luas di bagian tubuh.
Lesi non spesifik:
a. Rambut rontok (alopecia)
b. Vaskullitis :berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari.
Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok.
c. Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang disertai
pusing.
e. Serangan pada Sendi dan Otot
a. Radang sendi pada lupus
b. Radang otot pada lupus
f. Serangan pada Mata
g. Serangan pada Darah
a. Anemia
b. Trombosit openia
c. Gangguan pembekuan
d. Limfosit openia
h. Serangan pada Hati

Anda mungkin juga menyukai