Anda di halaman 1dari 15

II.

PEMBAHASAN

1. ORGANISASI RASIONAL

Model organisasi bisnis yang “rasional” yang lebih tradisional mendefenisikan organisasi
sebagai suatu struktur hubungan formal (yang didefenisikan secara eksplisit dan digunakan
secara terbuka) yang bertujuan mencapai tujuan teknis atau ekonomi dengan efisiensi maksimal.
E. H. Schein memberikan satu defenisi ringkas tentang organisasi dari prespektif tersebut yaitu
organisasi adalah koordinasi rasional atas aktivitas-aktivitas sejumlah individu untuk mencapai
tujuan atau sasaran eksplisit bersama, melalui pembagian tenaga kerja dan fungsi dan melalui
hirarki otoritas dan tanggung jawab.

Berbagai tingkatan dalam organisasi dan yang mengatur semua individu ke dalam tujuan
organisasi dan hirarki formal adalah kontrak. Hal ini mengasumsikan bahwa pegawai sebagai
agen yang secara bebas dan sadar telah setuju untuk menerima otoritas formal organisasi dan
berusaha mearaih tujuan organisasi, dan sebagai gantinya mereka memperoleh dukungan dalam
bentuk gaji dan kondisi kerja yang baik. Dari perjanjian kontraktual tersebut, pegawai menerima
tanggungjawab moral untuk mematuhi atasan dalam usaha mencapai organisasi, dan selanjutnya
organisasi juga memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan dukungan ekonomi pada para
pegawai seperti yang telah dijanjikan. Teori utilitarian memberikan dukungan tambahan pada
pandangan bahwa pegawai memiliki kewajiban untuk berusaha mencapai tujuan perusahaan
secara loyal.

Tanggungjawab etis dasar yang muncul dari aspek-aspek ‘rasional” organisasi difokuskan
pada dua kewajiban moral yakni a) kewajiban atasan untuk mematuhi atasan dalam organisasi
dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi, dan b) kewajiban atasan untuk memberikan gaji yang
adil dan kondisi kerja yang baik.

a. Kewajiban pegawai terhadap perusahaan

Dalam pandangan rasional perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah untuk bekerja
mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang mungkin mengancam
tujuan tersebut. Kewajiban karyawan dan perusahaan dibagi menjadi tiga yaitu:

1) Kewajiban Ketaatan

Dalam kewajiban ketaatan karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, tetapi
karyawan tidak harus mematuhi semua perintah yang diberikan oleh atasannya. Perintah-perintah
tersebut antara lain seperti etika atasan menyuruh karyawan tersebut untuk melakukan hal yang
tidak bermoral, seperti membunuh musuh atasannya, atau dapat pula berupa korupsi. Dapat pula
dalam bentuk mengerjakan tugas pribadi atasannya, misalnya untuk kepentingan pribadi atasan
bukan untuk kepentingan perusahaan, seperti mencuci mobil dan merenovasi rumah pribadi
milik atasannya. Karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan
perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati, misalnya sekretaris diberi
tugas untuk bersih-bersih, dan lain sebagainya. Cara untuk menghindari terjadinya kesulitan
seputar kewajiban ketaaatan adalah membuat deskripsi pekerjaan yang jelas dan cukup lengkap
pada saat karyawan mulai bekerja di perusahaan. Namun deskripsi pekerjaan ini harus dibuat
cukup luwes sehingga kepentingan perusahaan selalu bisa di beri prioritas.

2) Kewajiban Konfidensialitas

Kewajiban ini adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial atau
rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Kewajiban ini tidak hanya
berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan tetapi berlangsung terus setelah ia pindah kerja.
Kewajiban ini menjadi lebih aktual ketika karyawan tersebut pindah kerja di perusahaan baru
yang bergerak di bidang yang sama. Contohnya adalah seorang akuntan, ia tidak boleh
membocorkan kondisi finansial perusahaan lama ke perusahaan baru. Kewajiban konfidensialitas
ini terbatas pada informasi perusahaan. Hal-hal lain yang diperoleh atau diketahui sambil bekerja
di perusahaan pada prinsipnya tidak termasuk kewajiban konfidensialitas. Misalnya keterampilan
yang dikembangkan oleh karyawan itu dengan bekerja pada perusahaan yang sama. Alasan etika
yang mendasari kewajiban ini adalah bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu.

3) Kewajiban Loyalitas

Kewajiban loyalitas adalah konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan
ia harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan dan turut merealisasikan tujuan tersebut. Faktor
utama yang dapat membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konfilk kepentingan (conflict of
interest) artinya konflik kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan. Karyawan
tidak boleh menjalankan kepentingan pribadi yang bersaing dengan kepentingan perusahaan.
Misalnya karyawan memproduksi produk yang sama dengan produk perusahaan dan menjualnya
dengan harga murah. Konflik kepentingan tidak selalu berkaitan dengan masalah uang.
Contohnya, seorang yang bekerja di suatu perusahan memutuskan untuk membeli peralatan
kantor dari perusahaan tempat dimana anaknya bekerja, walaupun sebenarnya ada penawaran
harga yang lebih baik dari perusahaan lain.

4) Kewajiban Melaporkan kesalahan

Ada dua macam pelaporan kesalahan perusahaan atau whistle blowing, secara internal dan
eksternal. Dalam pelaporan internal, pelaporan kesalahan dilakukan di dalam perusahaan sendiri
dengan melewati atasan langsung. Misalnya seorang karyawan bawahan melaporkan suatu
kesalahan langsung kepada direksi, dengan melewati kepala bagian dan manajer umum. Pada
pelaporan eksternal, karyawan melaporkan kesalahan perusahaan kepada instansi pemerintah
atau kepada masyarakat melalui media komunikasi. Misalnya karyawan melaporkan bahwa
perusahaannya tidak memenuhi kontribusinya kepada Jamsostek atau tidak membayar pajak
melalui media massa atau pihak eksternal lainnya.
Terdapat sebuah pertanyaan etika dalam melakukan pelaporan kesalahan perusahan ini, “apakah
whistle blowing ini boleh dilakukan karena pada prinsipnya bertentangan dengan kewajiban
loyalitas karyawan terhadap perusahaannya?” Namun setelah didiskusikan lebih mendalam,
jawabnya adalah boleh karena karyawan tidak hanya mempunyai kewajiban loyalitas kepada
perusahaan tetapi ia juga mempunyai kewajiban kepada masyarakat umum apabila perusahaan
tersebut melakukan kesalahan.

Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila lima syarat berikut terpenuhi:

1. Kesalahan perusahaan harus besar. Kesalahan ini hanya dapat dilaporkan jika
menyebabkan kerugian bagi pihak ketiga, terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan
kegiatan yang dilakukan perusahaan bertentangan dengan tujuan perusahaan.

2. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar.

3. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak
ketiga, bukan karena motif lain.

Misalnya karyawan memutuskan berhenti dari suatu pekerjaan karena kecewa dengan
atasannya. Setelah ia pergi dari perusahaan itu, ia membuka praktek kurang etis dari
perusahaan seperti tidak membayar pajak. Motif pelaporan ini adalah untuk balas dendam.

4. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan


perusahaan dibawa ke luar.

Jika karyawan merasa bertanggungjawab, ia harus berusaha dulu untuk menyelesaikan


masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang tepat. Hal ini juga sesuai dengan
kewajiban loyalitasnya. Baru setelah upaya penyelesaian secara internal gagal, ia boleh
memikirkan whistle blowing.

5. Harus ada kemungkinan nyata bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.

Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan menghasilkan apa-
apa, misalnya tidak bisa mencegah terjadinya kerugian untuk pihak ketiga, lebih baik orang
tersebut tidak melapor.

Ada sejumlah situasi dimana pegawai gagal melaksanakan kewajiban untuk mencapai tujuan
perusahaan, yaitu sebagai berikut:

1. Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan dalam bisnis muncul saat seorang pegawai atau pejabat duatu
perusahaan melaksanakan tugasnya, namun dia memiliki kepentingan-kepentingan pribadi
terhadap hasil dari pelaksanaan tugas tersebut yang (a) mungkin bertentangan dengan
kepentingan perusahaan, dan (b) cukup substansial sehingga kemungkinan mempengaruhi
penilaiannya sehingga tidak seperti yang diharapkan perusahaan. Konflik kepentingan bisa
bersifat aktual dan potensial. Konflik kepentingan aktual terjadi saat seseorang melaksanakan
kewajibannya dalam satu cara yang mengganggu perusahaan dan melakukannya demi
kepentingan pribadi. Konflik kepentingan potensial terjadi saat seseorang, karena didorong
kepentingan pribadi, bertindak dalam suatu cara yang merugikan perusahaan.

2. Pencurian Pegawai dan Komputer

Pegawai perusahaan memiliki perjanjian kontraktual untuk hanya menerima keuntungan


tertentu sebagai ganti hasil kerjanya dan menggunakan sumber daya perusahaan hanya dalam
usaha untuk mencapai tujuan perusahaan. Tindakan pegawai yang mencari tambahan keuntungan
pribadi atau menggunakan sumber daya perusahaan untuk dirinya sendiri merupakan tindakan
pencurian karena keduanya berarti mengambil atau menggunakan properti milik orang lain
(perusahaan) tanpa persetujuan pemilik yang sah.

Tindakan memeriksa, menggunakan atau menyalin informasi atau program komputer


merupakan pencurian. Disebut pencurian karena informasi yang dikumpulkan dalam bank data
komputer oleh suatu perusahaan dan program komputer yang dikembangkan atau dibeli
perusahaan merupakan properti dari perusahaan yang bersangkutan.

3. Insider Trading

Insider trading sebagai tindakan membeli dan menjual saham perusahaan berdasarkan
informasi “orang dalam” perusahaan. Informasi “dari dalam” atau “dari orang dalam” tentang
suatu perusahaan merupakan informasi rahasia yang tidak dimiliki publik di luar perusahaan,
namun memiliki pengaruh material pada harga saham perusahaan. Insider trading adalah ilegal
dan tidak etis karena orang yang melakukannya berarti “mencuri” informasi dan memperoleh
keuntungan yang tidak adil dari anggota masyarakat lain. Namun demikian, sejumlah pihak
menyatakan bahwa insider trading secara sosial menguntungkan dan menurut prinsip utilitarian,
tindakan ini seharusnya tidak dilarang, malah dianjurkan.

b. Kewajiban perusahaan terhadap pegawai

Kewajiban moral dasar perusahaan terhadap pegawai, menurut pandangan rasional, adalah
memberikan kompensasi yang secara sukarela dan sadar telah mereka setujui sebagai imbalan
atas jasa mereka. Ada dua masalah yang berkaitan dengan kewajiban ini: kelayakan gaji dan
kondisi kerja pegawai. Gaji dan kondisi kerja merupakan aspek-aspek kompensasi yang diterima
pegawai dari jasa yang mereka berikan, dan keduanya berkaitan dengan masalah apakah pegawai
menyetujui kontrak kerja secara sukarela dan sadar. Jika seorang pegawai "dipaksa" menerima
pekerjaan tanpa upah yang memadai atau kondisi kerja yang layak, maka kontrak kerja tersebut
dianggap tidak adil.
1) Gaji

Setiap perusahaan menghadapi dilema ketika menetapkan gaji pegawai seperti, bagaimana
menyeimbangkan kepentingan perusahaan untuk menekan biaya dengan kepentingan pegawai
untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi diri mereka sendiri dan keluarga? Tidak ada
rumus sederhana untuk menentukan "gaji yang layak". Kelayakan gaji sebagian bergantung pada
dukungan yang diberikan masyarakat (jaminan sosial, perawatan kesehatan, kompensasi
pengangguran, pendidikan umum, kesejahteraan, dan sebagainya), kebebasan pasar kerja,
kontribusi pegawai, dan posisi kompetitif perusahaan. Meskipun tidak ada cara untuk
menentukan gaji yang layak dengan pasti, namun kita setidaknya bisa mengidentifikasi sejumlah
faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan gaji dan upah, yaitu: a) Gaji dalam industri
dan wilayah tempat seseorang bekerja, b) Kemampuan perusahaan, c) Sifat pekerjaan, d)
Peraturan upah minimum, e) Hubungan dengan gaji lain, dan f) Kelayakan negosiasi gaji.

2) Kondisi Kerja: Kesehatan dan Keamanan

Keselamatan kerja bisa terwujud bilamana tempat kerja itu aman, bebas dari resiko terjadinya
kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera atau bahkan mati. Hampir semua negara
modern mempunyai peraturan hukum guna melindungi keselamatan dan kesehatan kaum
pekerja. Dalam hal ini peraturan hokum disemua negara belum tentu sama dan belum tentu
memuaskan. Terlepas dari aturan hukum para ajikan tidak bebas dari kewajiban tetapi terikat
dengan alasan etika. Keselamatan dan kesehatan pekerja tidak pernah boleh dikorbankan kepada
kepentingan ekonomis. Resiko memang tidak selalu bisa dihindari, tetapi harus dibatasi sampai
seminimal mungkin, walaupun upaya itu bisa mengakibatkan biaya produksi bertambah. Selain
itu si pekerja harus menerima resiko itu dengan bebas, setelah lebih dahulu ia diberikan ekstra
untuk mengimbangi resiko, baik dalam gaji langsung maupun asuransi khusus.

3) Kondisi Kerja: Kepuasan Kerja

Spesialisasi pekerjaan yang berlebihan memang tidak baik karena alasan lain, yaitu bahwa
cara ini memberikan beban yang tidak adil pada pekerja. Juga ada banyak bukti bahwa cara ini
tidak mendukung efisiensi. Pekerjaan yang dispesialisasikan dalam dua dimensi yaitu secara
horizontal dengan membatasi jangkauan tugas dan membatasi repetisi atau pengulangan dalam
cakupan tugasnya. Jangkauan tugas yang terlampau jauh melewati batas kemampuan pegawai
dapat menyebabkan pegawai frustasi. Demikian juga kerja rutin yang berulang dalam jangka
waktu panjang dapat lebih cepat menciptakan kejenuhan. Selain secara horizontal, pekerjaan
juga bisa dispesialisasikan secara vertikal dengan mebatasi rentang pengwasan dan pengambilan
keputusan atas kegiatan-kegiatan dala suatu pekerjaan.

4) Tidak melakukan diskriminasi

Perusahaan dalam operasinya tidak akan terhindar dari tindakan membeda-bedakan pegawai.
Contohnya saja diskiminasi yang terjadi dimana – mana seperti AS, Indonesia dan lain – lain.
Diskriminasi baru akan terhapus betul bila suatu negara semua warganya mempunyai hak yang
sama dan diperlakukan dengan cara yang sama pula. Diskriminasi timbul biasanya disertai
dengan alasan yang tidak relevan.

 Hak Pegawai

Apa saja hak pegawai? Hak moral pegawai serupa dengan hak sipil warga negara: hak privasi,
hak untuk setuju, hak atas kebebasan berbicara; dan sebagainya.

a. Hak Privasi

Hak privasi dapat didefinisikan sebagai hak individu untuk menentukan apa, dengan siapa, dan
seberapa banyak informasi tentang dirinya yang boleh diungkapkan pada orang lain. Ada dua
jenis privasi: privasi psikologis, yaitu privasi yang berkaitan dengan pemikiran, rencana,
keyakinan, nilai, perasaan, dan keinginan seseorang; dan privasi fisik, yaitu privasi yang
berkaitan dengan aktivitas-aktivitas fisik seseorang, khususnya yang mengungkapkan kehidupan
pribadi seseorang dan aktivitas-aktivitas fisik yang secara umum dianggap sebagai aktivitas
pribadi. Ada tiga elemen yang perlu dipertimbangkan saat mengumpulkan informasi yang
mungkin mengancam hak privasi pegawai: relevansi, persetujuan, dan metode.

b. Kebebasan Suara Hati

Seorang pegawai, ketika melaksanakan suatu pekerjaan, mungkin menemukan bahwa


perusahaan tempatnya bekerja melakukan sesuatu yang menurutnya merugikan masyarakat.
Danmemang,individu-individudalam perusahaan biasanya merupakan pihak pertama yang
mengetahui bahwa, misalnya, perusahaan memasarkan produk-produk yang tidak aman,
mencemari lingkungan, menyembunyikan informasi kesehatan, atau melanggar hukum.

Pegawai yang memiliki perasaan tanggung jawab moral, yang menemukan bahwa perusahaan
melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat, biasanya akan merasa perlu melakukan sesuatu
agar perusahaan menghentikan aktivitas-aktivitas yang merugikan tersebutdengan
melaporkannya kepada atasan. Namun sayangnya, jika manajemen internal perusahaan tidak
bersedia melakukan apa-apa sehubungan dengan laporan tersebut, maka pegawai hanya memiliki
sedikit pilihan. Jika, setelah ditolak perusahaan, pegawai tersebut memiliki keberanian untuk
membawa masalah itu ke lembaga pemerintah di luar perusahaan atau, yang lebih buruk lagi,
menyebarkan masalah ini kepada publik, maka perusahaan memiliki hak yang sahuntuk
menghukumnya dengan cara memecatnya. Lebih jauh lagi, jika permasalahannya cukup serius,
perusahaan bisa melakukan langkah-langkah untuk memperkuat hukuman dengan
menambahkannya pada catatan kerja pegawai yang bersangkutan dan, dalam kasus-kasus
ekstrem, berusaha memastikan agar dia tidak akan diterima bekerja oleh perusahaan-perusahaan
lain dalam industri.
c. Whistleblowing

Whistleblowing merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seorang anggota atau mantan
anggota suatu organisasi untuk mengungkapkan kesalahan atau aktivitas merugikan yang
dilakukan organisasi yang bersangkutan. Whistleblowing bisa bersifat internal ataupun eksternal.
Jika suatu pelanggaran hanya dilaporkan pada pihak-pihak yang lebih tinggi dalam organisasi,
maka tindakan tersebut adalah whistleblowing internal. Apabila pelanggaran dilaporkan pada
individu eksternal atau lembaga-lembaga seperti agen pemerintah, surat kabar, atau kelompok-
kelompok kepentingan publik, maka tindakan tersebut merupakan whistleblowing eksternal.

Whistleblowing eksternal secara moral dibenarkan jika: 1) Ada bukti yang jelas, kuat, dan cukup
komprehensif bahwa suatu organisasi melakukan aktivitas yang melanggar hukum atau berakibat
serius padapihak lain; 2) Usaha-usaha lain telah dilakukan untuk mencegahnya melalui
whistleblowing internal dan gagal; 3) Dapat dipastikan bahwa tindakan whistleblowing eksternal
akan mampu mencegah kerugian tersebut; dan 4) Pelanggaran tersebut cukup serius dan lebih
buruk dibandingkan akibat tindakan whistleblowing pada diri seseorang, keluarganya, dan pihak-
pihak lain.

Kapan seseorang memiliki kewajiban untuk mencegah tindakan yang salah? Misalkan saja syarat
1 sampai 4 telah terpenuhi sehingga tindakan whistleblowing boleh dilakukan. Akan tetapi,
seseorang memiliki kewajiban melakukan whistleblowing apabila (a) orang tersebut memiliki
kewajiban untuk mencegah terjadinya pelanggaran, baik karena itu merupakan bagian dari
tanggung jawab profesionalnya (misalnya sebagai seorang akuntan, petugas pengawasan
lingkungan, teknisi profesional, pengacara, dan sebagainya) atau karena tidak ada orang lain
yang mampu atau bersedia mencegahnya; dan (b) pelanggaran tersebut bisa mengakibatkan
kerugian serius terhadap kesejahteraan masyarakat, mengakibatkan ketidakadilan pada seseorang
atau suatu kelompok, atau merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak moral seseorang atau
banyak orang.

d. Hak untuk Berpartisipasi dan Manajemen Partisipatif

Sejumlah penulis mengusulkan bahwa tujuan-tujuan demokrasi perlu diterapkan dalam


organisasi bisnis. Sebagian menyatakan bahwa mengizinkan pegawai untuk berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan suatu organisasi merupakan suatu "perintah etis". Sebagai langkah
pertama menuju demokrasi seperti itu, sebagian penulis menyatakan bahwa meskipun keputusan-
keputusan yang berpengaruh pada pegawai tidak boleh ditetapkan oleh pegawai itu sendiri,
namun semua keputusan itu haruslah ditetapkan setelah dilakukan diskusi yang menyeluruh,
bebas, dan terbuka dengan para pegawai. lni artinya komunikasi terbuka antara pegawai dengan
penyelia mereka dan pembentukan suatu lingkungan yang mendukungproses konsultasi dengan
pegawai. Para pegawai diizinkan menyampaikan kritik secara terbuka,memperoleh informasi
yang tepat tentang keputusan-keputusan yang akan berpengaruh pada mereka, menyampaikan
usulan, dan memprotes keputusan. Langkah kedua menuju "demokrasi organisasional" adalah
dengan memberikan bukan hanya hak untuk berkonsultasi, namun juga hak untuk membuat
keputusan tentang aktivitas-aktivitas kerja mereka. Keputusan ini bisa mencakup aspek-aspek
seperti jam kerja, masa istirahat, pengaturan tugas kerja, dan cakupan tanggung jawab pegawai
dan penyelia. Langkah ketiga menuju demokrasi di tempat kerja adalah dengan mengizinkan
pegawai berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan besar yang berpengaruh pada
operasiperusahaan secara umum.

e. Hak atas Proses yang Layak dan PHK Sepihak

Doktrin PHK sepihak banyak mendapat kecaman. Pertama, pegawai sering tidak bebas untuk
menerima atau menolak pekerjaan tanpa menderita kerugian karena banyak di antara mereka
yang tidak bisa memperoleh pekerjaan lain. Lebih jauh lagi, sekalipun mereka bisa memperoleh
pekerjaan lain, namun mereka tetap menanggung beban yang berat untuk mencari pekerjaan
sementara tidak memperoleh penghasilan saat mencarinya. Jadi, salah satu asumsi dasar dari
PHK sepihak bahwa pegawai "bebas" menerima pekerjaan dan "bebas" mencari pekerjaan lain
adalah salah. Kedua, pegawai biasanya melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk
memberikan kontribusi pada perusahaan, namun mereka melakukannya dengan harapan
perusahaan akan memperlakukan mereka dengan adil dan sungguh-sungguh. Pegawai tentu saja
tidak akan memilih bekerja di suatu perusahaan yang mereka yakini akan memperlakukan
mereka dengan tidak adil. Jadi, ada semacam perjanjian implisit bahwa perusahaan akan
memperlakukan pegawainya dengan adil, dan dari perjanjian kontraktual para pegawai berhak
atas perlakuan seperti itu. Ketiga, pegawai berhak diperlakukan dengan hormat sebagai individu
yang bebas dan sederajat. Sebagian dari hak ini mencakup hak atas perlakuan yang tidak
sewenang-wenang dan hak untuk tidak dipaksa menderita kerugian secara tidak adil atau atas
dasar tuduhan yang tidak benar. Karena pemecatan atau pengurangan gaji atau penurunan
pangkat jelas merugikan pegawai khususnya bila mereka tidak memiliki pilihan pekerjaan lain
maka hal itu berarti melanggar hak pegawai apabila tindakan tersebut dilakukan secara sepihak
atau didasarkan pada tuduhan yang tidak benar. Untuk alasan-alasan tersebut, sebuah
kecenderungan baru muncul dan secara bertahap menggantikan doktrin PHK sepihak, yang
menyatakan bahwa pegawai memiliki hak atas proses yang layak.

f. Hak Pegawai dan Penutupan Pabrik

Di antara hak-hak pegawai yang berhubungan penutupan pabrik yang harus dihormati adalah hak
untuk diperlakukan sejauh yang telah mereka setujui secara sadar dan sukarela hak yang
mewajibkan agar mereka diberitahu tentang rencana penutupan yang akan dilaksanakan.
Pertimbangan-pertimbangan etis tersebut dimasukkan dalam usulan-usulan yang dengan baik
disampaikan oleh William Diehl, mantan wakil direktur salah satu industri baja, tentang delapan
langkah yang dapat dilakukan perusahaan untuk menekan pengaruh-pengaruh merugikan dari
penutupan pabrik: 1) Pemberitahuan sebelumnya, 2) Pesangon, 3) Jaminan kesehatan, 4)
Pensiun awal, 5) Transfer, 6) Pelatihan kembali, 7) Pembelian oleh pegawai, dan 8)
Pembayaran pajak lokal.
g. Serikat Pekerja dan Hak untuk Berorganisasi

Hak pekerja untuk berorganisasi dalam serikat pekerja berasal dari hak untuk diperlakukan
sebagai manusia yang bebas dan sederajat. Serikat pekerja secara umum dilihat sebagai sarana
untuk menyeimbangkan kekuasaan perusahaan besar sehingga para pekerja dapat saling
membantu guna mencapai kekuatan negosiasi yang seimbang dengan perusahaan.Jadi, serikat
pekerja mampu mencapai kesetaraan antara pekerja dengan perusahaan yang tidak dapat dicapai
apabila pekerja tersebut hanya seorang diri, dan otomatis juga menjamin hak mereka untuk
diperlakukan sebagai manusia yang bebas dan sederajat dalam negosiasi pekerjaan dengan
perusahaan besar.

Pekerja tidak hanya berhak membentuk serikat pekerja, namun serikat pekerja juga berhak
melakukan pemogokan. Hak serikat pekerja untuk melakukan pemogokan berasal dari hak
pekerja untuk berhenti melakukan pekerjaan sejauh pelaksanaan pekerjaan tersebut melanggar
perjanjian atau hak orang lain. Jadi, pemogokan serikat pekerja secara moral dibenarkan sejauh
hal itu tidak melanggar ketentuan perjanjian untuk tidak mogok (yang mungkin saja
dinegosiasikan oleh perusahaan) dan sejauh pemogokan tersebut tidak melanggar hak-hak moral
pihak lain (seperti warga masyarakat yang hak atas perlindungan dan keselamatan mereka
mungkin dilanggar oleh pemogokan yang dilakukan serikat pekerja publik seperti anggota
pemadam kebakaran atau polisi).

2. ORGANISASI POLITIK

Dalam model organisasi politik, individu dilihat berkumpul membentuk koalisi yang
selanjutnya saling bersaing satu sama lain memperebutkan sumber daya, keuntungan, dan
pengaruh. Dengan demikian, "tujuan" organisasi menjadi tujuan yang dibentuk oleh koalisi yang
paling kuat dan paling dominan. Tujuan tidak ditetapkan oleh otoritas yang "sah", namun
ditetapkan melalui tawar menawar antara berbagai koalisi. Realita dasar organisasi, menurut
model ini, bukanlah otoritas formal atau hubungan kontraktual, namun kekuasaan: kemampuan
individu (atau kelompok individu) untuk mengubah perilaku pihak lain menuju cara yang
diinginkan tanpa harus mengubah perilaku mereka sendiri menuju cara yang tidak diinginkan.

Jika kita memfokuskan pada kekuasaan sebagai dasar realita organisasional, maka
permasalahan etis utama yang akan kita temui saat kita mengamati suatu organisasi adalah
masalah yang berkaitan dengan akuisisi dan pelaksanaan kekuasaan. Masalah etis utama
difokuskan bukan pada kewajiban kontraktual perusahaan dan pegawai, namun pada hambatan-
hambatan moral terhadap penggunaan kekuasaan di dalam organisasi. Etika perilaku
organisasional yang dilihat dari perspektif model politik difokuskan pada pertanyaan: Apa
batasan moral, jika ada, pada pelaksanaan kekuasaan dalam organisasi? Dalam bagian-bagian
berikut ini, kita akan membahas dua aspek dari pertanyaan ini, yaitu: (a) Apa, jika ada, batasan
moral pada kekuasaan manajer yang dapat diterapkan pada pegawai? (b) Apa, jika ada, batasan
moral pada kekuasaan pegawai yang dapat diterapkan pada pegawai lain?
Hambatan etis atas penggunaan kekuasaan formal ini sebagian besar didasarkan pada perspektif
moral. Hak atas privasi, proses yang layak, kebebasan suara hati, dan persetujuan semuanya
dapat diformalisasikan dalam organisasi (dengan merumuskan dan menerapkan peraturan,
undang-undang, dan prosedur) seperti halnya hubungan kekuasaan yang juga diformalisasikan.

Namun demikian, seperti yang telah kita lihat, organisasi juga memiliki kantung-kantung dan
saluran kekuasaan informal: sumber-sumber kekuasaan yang tidak terlihat dalam bagan
organisasional dan penggunaan kekuasaan yang samar dan mungkin tidak dianggap sah. Kita
sekarang beralih pada bagian penting dalam organisasi: politik organisasional.

a. Taktik Politik dalam Organisasi

Tidak ada definisi yang ditetapkan atas politik organisasional. Untuk tujuan pembahasan
ini, kita bisa menggunakan definisi berikut: proses di mana individu atau kelompok
menggunakan taktik-taktik kekuasaan yang dibentuk secara non-formal untuk mencapai
tujuannya sendiri; kita semua menamakan taktik ini sebagai taktik politik.

Karena politik organisasional bertujuan untuk mencapai kepentingan individu atau


kelompok (misalnya memperoleh promosi, kenaikan gaji atau anggaran, status, atau bahkan
kekuasaan yang lebih besar) dengan menggunakan kekuasaan-kekuasaan nonformal atas
individu atau kelompok lain, maka individu-individu politik cenderung menutupi maksud dan
metode mereka. Fakta bahwa taktik politik biasanya tersembunyi memiliki arti bahwa taktik
tersebut sangat mungkin mengandung unsur penipuan atau manipulasi. Berikut taktik-taktik yang
mereka laporkan: Menyalahkan atau menyerang pihak lain, Mengendalikan informasi,
Mengembangkan dukungan bagi gagasan seseorang, Membangun Image, Menjalin hubungan
dengan pihak yang berpengaruh, Membentuk koalisi kekuasaan dan mengembangkan aliansi
yang kuat, dan Menciptakan kewajiban.

b. Etika Taktik Politik

perilaku politik dalam suatu organisasi dapat dengan mudah menjadi kejam: taktik politik
bisa digunakan untuk mencapai kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan
organisasi dan kelompok, bisa menjadi tindakan manipulasi dan penipuan, serta sangat
merugikan pihak-pihak yang hanya sedikit atau tidak memiliki kekuasaan dan keahlian politik.
Namun demikian, taktik politik juga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan organisasi dan sosial,
kadang diperlukan untuk melindungi yang lemah, dan kadang merupakan satu-satunya
pertahanan yang dimiliki untuk menghadapi taktik pihak lain. Dilema bagi individu dalam suatu
organisasi adalah mengetahui batas-ba tas yang memisahkan taktik politik yang sah dan perlu
dilakukan dengan taktik yang tidak etis.

Masalah-masalah tersebut dapat diselidiki dengan menjawab empat pertanyaan yang bisa
memfokuskan perhatian kita pada karakteristik-karakteristik yang secara moral relevan dengan
penggunaan taktik politik: (a) pertanyaan dari prinsip utilitarian: Apakah tujuan yang ingin
dicapai seseorang dengan menggunakan taktik politik secara sosial menguntungkan
ataumerugikan?; (b) pertanyaan dari prinsip hak: Apakah taktik politik digunakan sebagai cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan memperlakukan orang dalam cara yang konsisten dengan
hak-hak moral mereka?; (c) pertanyaan dari prinsip keadilan: Apakah taktik politik mengarah
kepada distribusi keuntungan dan beban yang wajar? dan (d) pertanyaan dari prinsip perhatian:
Apa pengaruh taktik politik terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam organisasi?

3. ORGANISASI YANG PENUH PERHATIAN

Aspek kehidupan organisasional tidak cukup baik digambarkan dalam model kontraktual
yang merupakan dasar dari organisasi "rasional", ataupun dengan model kekuasaan yang
mendasari organisasi "politik". Mungkin aspek tersebut paling tepat digambarkan sebagai
organisasi penuh perhatian (caring), di mana konsep-konsep moral utamanya sama dengan
konsep yang mendasari etika memberi perhatian. Jeanne M. Lied tka menggambarkan organisasi
semacam itu sebagai organisasi, atau bagian organisasi, di mana tindakan memberi perhatian
merupakan: a) Difokuskan sepenuhnya pada individu (pribadi), bukan "kualitas", "keuntungan",
atau gagasan-gagasan lain yang saat ini banyak dibicarakan; b) Dilihat sebagai tujuan dalam dan
dari dirinya sendiri, serta bukan hanya sarana untuk mencapai kualitas, keuntungan, dan
sebagainya; c) Bersifat pribadi, dalam artian bahwa hal tersebur melibatkan individu-individu
tertentu yang memberikan perhatian, pada tingkat subjektif, pada individu tertentu lainnya; dan
d) Pendorong pertumbuhan bagi yang diberi perhatian, dalam artian bahwa tindakan ini
menggerakkan mereka menuju pemanfaatan dan pengembangan kemampuan seutuhnya, dalam
konteks kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

Dalam organisasi caring, kepercayaan tumbuh subur karena orang merasa wajib saling
memercayai jika mereka melihat diri mereka sebagai pihak-pihak yang saling membutuhkan dan
saling terkait. Karena kepercayaan tumbuh subur dalam organisasi semacam itu, maka organisasi
tidak perlu melakukan banyak investasi untuk mengawasi para pegawainya dan memastikan
bahwa mereka tidak melanggar perjanjian kontraktual.

Dalam model kontraktual, masalah etis penting muncul dari kemungkinan terjadinya
pelanggaran terhadap hubungan kontraktual. Dalam model politik, masalah etis penting muncul
dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Lalu apa masalah etis penting dari perspektif
organisasi carin? Jawabannya adalah memberikan perhatian terlalu banyak atau kurang banyak
ETIKA INDIVIDUAL DAN ORGANISASI

PENDAHULUAN

Semua manusia tidak akan bisa lepas dari masalah etika, bila disadari secara jujur. Apalagi
sebuah perusahaan yang tidah berdiri sendiri, yang mempekerjakan banyak tenaga kerja, bila
tidak hati – hati dalam mengelola dapat merugikan semua pihak, tidak hanya perusahaan tapi
juga pekerjaan masyarakat. Pada jaman sekarang masalah etika bisnis sangatlah penting untuk
diperhatikan karena menyangkut perilaku jujur dan bermoral karena ada kaitanya dengan
manusia. Dalam setiap langkah bisnis, apabila pekerja dan pengusaha selalu memperhatikan hak
dan kewajiban masing – masing yang tidak menyimpang dari kepentingan bersama dalam arti
tidak melanggar etika maka semua akan dapat survive terus. Adapun kewajiban pekerjaan
terhadap perusahaan merupakan hak sedangkan kewajiban perusahaan terhadap karyawan antara
lain tidak diskriminasi, upah adil, menjamin kesehatan dan keselematan, tidak memberhentikan
karyawan dengan semena – mena dan lain – lain. Kewajiban ini bagi karyawan merupakan hak
karyawan dan hak tersebut bila tidak dipenuhi termasuk perbuatan yang kurang etis. Sekali lagi
bahwa dalam bisnis modern yang penuh persaingan ketat, para pengusaha menyadari bahwa
pengakuan, penghargaa dan jaminan atas hak – hak pekerja dalam jangka panjang akan sangat
menentukan sehat tidaknya kinerja suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena jaminan atas hak
– hak pekerja pada akhirnya berpengaruh langsung secara positif atas sikap, komitmen, loyalitas,
produktivitas dan kinerja setiap pekerja. Maka pada bab ini akan dibahas

a. Organisasi rasional
b. Organisasi politik
c. Organisasi yang penuh perhatian
REFERENSI

Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5, Penertbit Andi, Yogyakarta
Dewi, Sutrisna. 2011.ETIKA BISNIS Konsep Dasar Implementasi dan Kasus.Denpasar: Udayana
University Press
http://megabudiarti.blogspot.co.id/2013/02/etika-individu-dan-organisasi.html
KESIMPULAN

a. Organisasi rasional

Organisasi rasional yang lebih tradisional mendefenisikan organisasi sebagai suatu


struktur hubungan formal (yang didefenisikan secara eksplisit dan digunakan secara terbuka)
yang bertujuan mencapai tujuan teknis atau ekonomi dengan efisiensi maksimal. Tanggungjawab
etis dasar yang muncul dari aspek-aspek ‘rasional” organisasi difokuskan pada dua kewajiban
moral yakni a) kewajiban atasan untuk mematuhi atasan dalam organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan organisasi, dan b) kewajiban atasan untuk memberikan gaji yang adil dan kondisi
kerja yang baik.

b. Organisasi politik

Dalam organisasi politik individu berkumpul membentuk koalisi yang selanjutnya saling
bersaing satu sama lain memperebutkan sumber daya, keuntungan, dan pengaruh. Dengan
demikian tujuan organisasi menjadi tujuan yang dibentuk oleh koalisi yang paling kuat dan
paling dominan. Tujuan tidak ditetapkan oleh otoritas yang "sah", namun ditetapkan melalui
tawar menawar antara berbagai koalisi. Realita dasar organisasi, menurut model ini, bukanlah
otoritas formal atau hubungan kontraktual, namun kekuasaan: kemampuan individu (atau
kelompok individu) untuk mengubah perilaku pihak lain menuju cara yang diinginkan tanpa
harus mengubah perilaku mereka sendiri menuju cara yang tidak diinginkan.

c. Organisasi yang penuh perhatian

tindakan memberi perhatian merupakan: Difokuskan sepenuhnya pada individu (pribadi),


bukan "kualitas", "keuntungan", atau gagasan-gagasan lain yang saat ini banyak dibicarakan;
Dilihat sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, serta bukan hanya sarana untuk mencapai
kualitas, keuntungan, dan sebagainya; Bersifat pribadi, dalam artian bahwa hal tersebur
melibatkan individu-individu tertentu yang memberikan perhatian, pada tingkat subjektif, pada
individu tertentu lainnya; dan Pendorong pertumbuhan bagi yang diberi perhatian, dalam
artian bahwa tindakan ini menggerakkan mereka menuju pemanfaatan dan pengembangan
kemampuan seutuhnya, dalam konteks kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
RANGKUMAN MATERI KULIAH

ETIKA BISNIS

OLEH :

KOMANG NIK RADHI HARDANI 1607531013

LUH PUTU INDAH RAHMASARI 1607531014

FAKULAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2017

Anda mungkin juga menyukai