Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosa adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-
paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat
menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. Tuberkulosis (TB) pada
anak merupakan masalah khusus yang berbeda dengan TB pada orang dewasa.
Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat. Sekurang-kurangnya
500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. 1
Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2015 yang dirilis oleh WHO,
sebanyak 58% kasus TB baru terjadi di Asia Tenggara dan wilayah Western Pacific
pada tahun 2014. India, Indonesia dan Tiongkok menjadi negara dengan jumlah
kasus TB terbanyak di dunia, masing-masing 23%, 10% dan 10% dari total kejadian
di seluruh dunia. Indonesia menempati peringkat kedua bersama Tiongkok. Satu
juta kasus baru pertahun diperkirakan terjadi di Indonesia.1
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara
semua kasus TB pada tahun 2011 adalah 8,66%, kemudian menjadi 8,21% pada
tahun 2012, 7,92% pada tahun 2013 kembali menurun pada tahun 2014 pada angka
7,10% dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 8,59%.2 Kasus TB Anak
dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah
kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4
tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus
TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.2
Pada pasien tuberkulosis dapat pula terjadi komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah batuk darah (hemoptisis),
pneumotoraks, luluh paru, gagal napas, gagal jantung, efusi pleura. Komplikasi
tuberkulosis yang paling sering adalah terjadinya efusi pleura masif. Efusi pleura
pada penderita tuberkulosis paru dapat terjadi karena iritasi dari selaput pleura yang

1
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sehingga menurunkan tekanan
onkotik yang menyebabkan cairan masuk ke dalam rongga pleura.3
Berdasarkan data, tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kecacatan, dan kematian yang tinggi
sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan dan penanganan yang mumpuni
serta komprehensif.4 Sesuai dengan target utama pengendalian tuberkulosis pada
tahun 2015-2019 yaitu, penurunan insidensi tuberkulosis yang lebih cepat dari
hanya sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka
mortalitas > dari 4-5% pertahun sehingga diharapkan Indonesia bebas tuberkulosis
tahun 2050.5 Oleh sebab itu, lulusan dokter umum dituntut untuk menguasai upaya
penanggulangan dan penanganan tuberkulosis. Pada laporan kasus ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai kasus Efusi Pleura dan Tuberkulosis Anak yang ada pada
ruangan isolasi anak RSUD Palembang BARI.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI PASIEN
No. Rekam Medik : 56.69.43
Tanggal Masuk : 01 Januari 2019 pukul 9.30 WIB

Nama Pasien : An. K


Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 19 Juli 2006
Umur : 12 tahun 5 bulan
Alamat : Sungai Seluang RT 049 RW 009 No. 081
Kertapati, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Nama Ibu : Ny. M


Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Sungai Seluang RT 049 RW 009 No. 081
Kertapati, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Nama Ayah : Tn. D


Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Sungai Seluang RT 049 RW 009 No. 081
Kertapati, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

II. ANAMNESIS (Alloanamnesis ibu pasien pada tanggal 11 Januari 2019)


1. Keluhan Utama
Sesak napas ± 1 minggu SMRS
2. Keluhan Tambahan
Batuk berdahak, demam

3
3. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien anak perempuan datang bersama orangtua ke RSUD
Palembang Bari karena sesak napas yang semakin memberat sejak 1
minggu yang lalu. Keluhan sesak napas dirasakan sejak 3 bulan yang lalu
dan semakin memberat. Sesak terutama dirasakan saat beraktifitas ringan
dan saat tidur terlentang. Sesak berkurang jika pasien tidur miring ke arah
kiri. Pasien semakin hari semakin terbatas dalam beraktifitas. Pasien juga
mengeluh batuk berdahak sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu dan
semakin parah sejak 2 minggu yang lalu.
Pasien mengeluh demam terutama pada malam hari dan berkeringat
terutama pada malam hari. Demam tidak terlalu tinggi dan sering terjadi
pada malam hari. Pasien merasakan penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Setelah
ditelururi didapatkan bahwa ibu pasien yang tinggal serumah sedang
mendapatkan pengobatan TB paru selama 2 bulan. Saat MRS tanggal 1
Januari 2019, tanda vital pasien HR: 112x/menit, suhu 36,8oC, RR:
30x/menit, dan diagnosis adalah Dispnea et causa Susp. TB Paru dengan
Efusi Pleura. Telah diberi tatalaksana IVFD D5% ½ NS 500 cc gtt xx x
/menit, O2 2 liter/menit nasal canul, Paracetamol tablet 3x250 mg,
Ambroxol syrup 3x1 cth, dan Metil prednisolon 8 tablet/hari (3-3-2),
Rifampisin 1x300 mg, Isoniazid 1x200 mg, dan Pirazinamid 2x250 mg.
Telah dilakukan Mantoux test dan pengambilan cairan pleura.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya tidak pernah mengeluh dengan keluhan yang sama.

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat diabetes militus : disangkal
Riwayat sakit jantung dan paru : disangkal
Riwayat alergi (obat, makanan) : disangkal

4
Riwayat asma : disangkal
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa : (+) Ibu menderita TB Paru

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien dapat bergaul dengan teman sebayanya. Tn. D bekerja dibidang
swasta dengan pendapatan tidak menentu. Ny. M seorang ibu rumah
tangga. Pasien tinggal bersama kedua orangtua di perumahan dengan
lingkungan yang cukup padat. Biaya berobat dengan menggunakan
bantuan pemerintah.
Kesan : Keadaan sosial dan ekonomi menengah kebawah.

7. Riwayat Pengobatan Sebelumnya


Pasien sebelumnya mengkonsumsi obat penurun panas yang di minum 3
kali sehari.

8. Data Khusus
a) Riwayat persalinan
Pasien lahir dari ibu G3P2A0, hamil aterm, persalinan normal
pervaginam di bantu bidan. Pada tanggal 19 Juli 2006 lahir spontan
langsung menangis dengan berat badan saat lahir 3200 gram dan
panjang badan lahir 48 cm. Ibu sakit saat mengandung disangkal,
riwayat minum obat-obatan saat hamil di sangkal.

b) Riwayat Imunisasi
< 7 hari : Hepatitis B, polio 1
1 bulan : tidak imunisasi
2 bulan : tidak imunisasi
3 bulan : tidak imunisasi
4 bulan : tidak imunisasi
9 bulan : tidak imunisasi
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

5
c) Riwayat Gizi
Asi eksklusif : sampai 6 bulan, frekuensi ± 12x sehari
Asi : usia 6 - 14 bulan, frekuensi ± 12x sehari
Susu Formula : tidak pernah
Bubur Susu : tidak pernah
Nasi : sejak 12 bulan sampai sekarang, frekuensi 3x sehari
Sayuran, buah : jarang
Ikan : jarang
Telur : jarang
Ayam , daging : 1 - 2x dalam sebulan
Tahu dan Tempe : 1 - 2x dalam seminggu
Susu : sangat jarang
Kesan : Secara kualitatif, asupan gizi kurang, secara
kuantitatif asupan tidak memenuhi gizi seimbang

d) Riwayat Tumbuh Kembang


4 bulan : menegakkan kepala
5 bulan : tengkurap dan terlentang sendiri
10 bulan : duduk
11 bulan : merangkak
12 bulan : berdiri
18 bulan : berjalan
24 bulan : berbicara
Kesan : Tumbuh kembang dalam batas normal

III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 10 Januari 2019)


1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaran : kompos mentis
c. Tanda Vital :
- Nadi : 110 x/menit, isi : cukup, tegangan : cukup
- Pernapasan : 32 x/menit, thorakoabdominal.

6
- Suhu : 36,5 0C
d. Berat Badan : 23 kg
e. Panjang Badan : 114 cm
f. Status gizi :

Berat badan pasien yaitu 23 kg dan tinggi badan pasien yaitu 114 cm. Jadi
berdasarkan grafik diatas status gizi pasien, untuk BB/U dibawah persentil 3 dengan

7
hasil 54% interpretasi BB sangat kurang, berdasarkan TB/U dibawah persentil 3
dengan hasil 75 % interpretasi TB sangat kurang, dan interpretasi berdasarkan
BB/TB status gizi anak adalah gizi buruk.

g. Kepala
- Bentuk : normosefali, simetris
- Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
- Mata : lagoftalmus (-/-), palpebra edema (-/-), KA(-), SI(-),
pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya
(+/+) normal.
- Hidung : dismorfik (-), napas cuping hidung (-), sekret (-/-),
epistaksis (-)
- Mulut : sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (-)
- Telinga : dismorfik (-), cairan (-)
- Gigi : karies (-), gusi berdarah (-)
- Lidah : atrofi papil (-), hiperemis (-), selaput (-)

h. THT
- Faring : hiperemis (-), edema (-), selaput (-)
- Tonsil : simetris, ukuran T2-T2, uvula ditengah, hiperemis (-),
edema (-), selaput (-), detritus (-)
i. Leher
- Inspeksi : dismorfik (-), pembesaran KGB (-), parotitis (-)
- Palpasi : kaku kuduk (-), pergerakan luas, pembesaran KGB (-)

j. Thoraks
- Inspeksi : dismorfik (-), efloresensi primer dan sekunder (-),
asimetris, paru kiri tertinggal, pernapasan takipnea, frekuensi
32x/menit, tipe pernapasan thorakoabdominal, retraksi intercostal
pada paru kanan, iktus kordis terlihat di dinding thorax kanan.
- Palpasi : nyeri tekan (-), thrill teraba pada dinding thorax kanan,
stemfremitus kanan normal dan stemfremitus kiri menurun

8
k. Paru
- Perkusi : sonor pada lapang paru kanan dan redup pada paru kiri,
nyeri ketok (-)
- Auskultasi : vesikuler (+/menurun), ronkhi (-), wheezing (-)

l. Jantung
- Perkusi:
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis dextra
Batas kanan : ICS VI linea midaxilaris dextra
Batas atas : ICS II linea parasternalis dextra
- Auskultasi: HR 110x/menit, bunyi jantung I dan II normal, irama
reguler, murmur (-) gallop (-)

m. Abdomen
- Inspeksi : cekung, lemas, dismorfik (-), massa (-), efloresensi
primer dan sekunder (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 4 jari dibawah arcus
costae, lien dan ginjal tidak teraba
- Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)

n. Ekstremitas : Akral hangat (+) , CRT < 2”, Edema (+/+)

o. Kulit : Rumple leed (-), ptekie spontan (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (Tanggal 11 Januari 2019)
1. Hb : 11,5 g/dl Nilai Normal : P : 12 - 14 g/dl
2. Leukosit : 13200/ ul Nilai Normal : 5.000-10.000/ ul
3. Trombosit : 810.000/ ul Nilai Normal : 150.000-400.000/ ul
4. Hematokrit : 36% Nilai Normal : P : 37 - 43%

9
5. Hitung Jenis : 0/1/2/72/20/5 Nilai Normal : Basofil : 0-1%
Eosinofil : 1-3%
Batang : 2-6%
Segmen : 50-70%
Limfosit : 20-40%
Monosit : 2-8%

Kimia Darah (05 Januari 2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Protein Total : 6,28 g/dl 6,7 – 8,7 g/dl
Albumin : 4,37 g/dl 3,8 – 5,1 g/dl
Globulin : 1,91 g/dl 1,5 – 3,0 g/dl
Ureum : 21 mg/dl 20,0-40,0 mg/dl
Creatinine : 0.54 mg/dl 0,6 – 1,1 mg/dl
Uric Acid : 3,86 mg/dl 2,4 – 5,7 mg/dl
Natrium : 119 mmol/l 135 – 155 mmol/l
Kalium : 4,33 mmol/l 3,6 – 6,5 mmol/l

Tes Mantoux (05 Januari 2019)


Hasil Tes Mantoux: 0 mm x 0 mm

Pemeriksaan Sitologi cairan efusi pleura (04 Januari 2019)


Makroskopik :
Terima cairan sitologi dari efusi pleura, sebanyak 2,5 cc berwarna kuning
kemerahan, jernih
Mikroskopik :
Sediaan sitologi dari efusi pleura sinistra, dijumpai sel mesothel, sel PMN, sel
limfosit, sel plasma, sel epiteloid, nekrotik debrism massa amorf basofilik dengan
latar belakang sel RBC. Tidak dijumpai sel-sel ganas pada sediaan ini
Kesan :
Sitologi pada sediaan ini menunjukkan Pleuritis kronis spesifik et causa
Tuberkulosis

10
Pemeriksaan Sputum (02 Januari 2019)
Hasil: BTA I: Negatif

Pemeriksaan Radiologi (01 Januari 2019)

Kesan: Efusi Pleural Masif Kiri

III. DIAGNOSIS BANDING


- Efusi Pleura masif et causa Tuberkulosis
- Efusi Pleura masif et causa Pneumonia

IV. DIAGNOSIS KERJA


Efusi Pleura masif et causa Tuberkulosis

11
V. RENCANA TERAPI
Non medikamentosa :
 Bedrest (tirah baring).
 Terapi cairan
 Monitor tanda kegawatan
 Mengedukasi keluarga pasien tentang penyakit
 Mengedukasi keluarga pasien tentang pengawasan minum obat
 Diet Tinggi Karbohidrat Tinggi Protein

Medikamentosa :
 IVFD D5% ½ NS gtt 10x/ jam + IVFD Saline 3% gtt 15x/menit
 O2 2L/m Nasal Canul
 Ambroxol Syrp 3x1 Cth
 Methyl prednisolon dosis 8mg sebanyak 8 tablet (3-3-2)
 Rimfampisin 1x300mg
 Isoniazid 1x200mg
 Pirazinamid 2x250mg
 Ethambutol 2x200mg

V. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

12
VI. Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Fisik Tindakan

12– 01 -2019 S: Sesak nafas (+), kaki bengkak P:


berkurang, batuk berkurang, BAB dan  IVFD D5% ½ NS gtt
07.00
BAK biasa, nafsu makan/minum 10x/ jam + IVFD Saline
sedikit meningkat. Pasien juga 3% gtt 15x/menit
mengeluh badan lemas (+)  O2 2L/m Nasal Canul
 Ambroxol Syrp 3x1 Cth
O: KU: Tampak sakit sedang
 Methyl prednisolon dosis
-Nadi: 120 x/m
8mg sebanyak 8 tablet
-RR: 30 x/m
(3-3-2)
-Temp: 36,5 oC
Kepala: KA(-/-), SI(-/-), NCH (-/-),  Rifampisin 1x300mg

mata cekung(-), epistaksis (-)  Isoniazid 1x200mg


 Pirazinamid 2x250mg
Leher : pembesaran KGB (-)
 Ethambutol 2x200mg
Thorak: Asimetris, paru kiri  Observasi tanda vital
tertinggal, pernapasan takipnea, tipe
pernapasan thorakoabdominal, retraksi
intercostal pada paru kanan, iktus
kordis terlihat di dinding thorax
kanan., thrill teraba pada dinding
thorax kanan, stemfremitus kanan
normal dan stemfremitus kiri menurun
vesikuler (+/-) N, rhonki (-/-),
wheezing (-/-), Bunyi jantung 1 dan
bunyi jantung 2 (+) normal, murmur (-
), gallop (-)

Abdomen : datar, lemas, BU(+)


normal, turgor normal, nyeri tekan (-),
hepar teraba 4 jari dibawah arcus

13
Tanggal Pemeriksaan Fisik Tindakan

cosyae, lien dan ginjal tidak teraba lien


tidak teraba,

Ekstremitas : akral hangat , CRT < 2,


Petekie (-) Edema Tungkai (-/-)

A: Efusi Pleura masif et causa


Tuberkulosis Paru

13 – 01 – S: Sesak nafas berkurang, kaki P:


2019 bengkak hilang, batuk tidak ada, BAB
 IVFD D5% ½ NS gtt
dan BAK biasa, nafsu makan/minum
07.00 10x/ jam + IVFD Saline
meningkat. Pasien sudah bisa aktif
3% gtt 15x/menit
O: KU: Tampak sakit sedang  O2 2L/m Nasal Canul
-Nadi: 110 x/m  Methyl prednisolon dosis
-RR: 42 x/m 8mg sebanyak 8 tablet
o
-Temp: 36,5 C (3-3-2)
Kepala: KA(-/-), SI(-/-), NCH (-/-),  Rifampisin 1x300mg
mata cekung(-), epistaksis (-)  Isoniazid 1x200mg

Leher : pembesaran KGB (-)  Pirazinamid 2x250mg


 Ethambutol 2x200mg
Thorak: Asimetris, paru kiri
 Observasi tanda vital
tertinggal, pernapasan takipnea, tipe
pernapasan thorakoabdominal, retraksi
intercostal pada paru kanan, iktus
kordis terlihat di dinding thorax
kanan., thrill teraba pada dinding
thorax kanan, stemfremitus kanan
normal dan stem fremitus kiri menurun
vesikuler (+/-) N, rhonki (-/-),

14
Tanggal Pemeriksaan Fisik Tindakan

wheezing (-/-), bunyi jantung 1 dan


bunyi jantung 2 (+) normal, murmur (-
), gallop (-)

Abdomen : datar, lemas, BU(+)


normal, turgor normal, nyeri tekan (-),
hepar teraba 4 jari dibawah arcus
cosyae, lien dan ginjal tidak teraba lien
tidak teraba,

Ekstremitas : akral hangat , CRT < 2,


Edema Tungkai (-/-)

A: Efusi Pleura masif et causa


Tuberkulosis Paru

14 – 01 – S: Sesak nafas berkurang, kaki  IVFD D5% ½ NS gtt


2019 bengkak menghilang, batuk tidak ada, 10x/ jam
BAB dan BAK biasa, nafsu  O2 2L/m Nasal Canul
07.00
makan/minum meningkat. Pasien  Methyl prednisolon dosis
sudah bisa aktif. 8mg sebanyak 8 tablet
(3-3-2)
O: KU: Tampak sakit sedang
 Rifampisin 1x300mg
-Nadi: 98 x/m
-RR: 32 x/m  Isoniazid 1x200mg

-Temp: 36,5 oC  Pirazinamid 2x250mg


 Ethambutol 2x200mg
Kepala: KA(-/-), SI(-/-), NCH (-/-),
 Observasi tanda vital
mata cekung(-), epistaksis (-)

Leher : pembesaran KGB (-)

15
Tanggal Pemeriksaan Fisik Tindakan

Thorak: Asimetris, paru kiri


tertinggal, pernapasan takipnea, tipe
pernapasan thorakoabdominal, retraksi
intercostal pada paru kanan berkurang,
iktus kordis terlihat di dinding thorax
kanan., thrill teraba pada dinding
thorax kanan, stemfremitus kanan
normal dan stemfremitus kiri menurun
vesikuler (+/-) N, rhonki (-/-),wheezing
(-/-), bunyi jantung 1 dan bunyi
jantung 2 (+) normal, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen : datar, lemas, BU(+)


normal, turgor normal, nyeri tekan (-),
hepar teraba 4 jari dibawah arcus
cosyae, lien dan ginjal tidak teraba lien
tidak teraba,

Ekstremitas : akral hangat , CRT < 2,


Edema Tungkai (-/-)
A: Efusi Pleura masif et causa
Tuberkulosis Paru

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Efusi Pleura


3.1.1. Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan.
Membran ini membungkus jaringan paru. Pleura terdiri dari 2 lapis: 1) Pleura
viseralis terletak disebelah dalam, yang melekat pada permukaan paru; dan 2)
Pleura parietalis terletak disebelah luar, yang berhubungan dengan dinding dada.6

Gambar 3.1. Pleura viseral dan parietal6

Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis sel mesotel (yang
memproduksi cairan), membran basalis, jaringan elastik dan kolagen, pembuluh
darah dan limfe. Membran pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus
menerus merembes keluar dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal.
Cairan ini diserap oleh pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh
limfe dan kembali kedarah.7
Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai ukuran tebal 10-20
mm, berisi sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna, mengandung protein <
1,5 gr/dl dan ± 1.500 sel/ml. Sel cairan pleura didominasi oleh monosit, sejumlah
kecil limfosit, makrofag dan sel mesotel. Sel polimormonuklear dan sel darah
merah dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil didalam cairan pleura. Keluar dan
masuknya cairan dari dan ke pleura harus berjalan seimbang agar nilai normal
cairan pleura dapat dipertahankan.7

17
3.1.2. Defisini Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml.8

3.1.3. Etiologi Efusi Pleura


Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap
yang pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis
transudat atau eksudat.8
Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura
eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan
penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif
dibedakan dengan eksudtraatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase
(LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi paling
tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi pleura transudatif
tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :8
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal di dalam serum.

Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura16,17


Konsentrasi Cairan Pleura Rasio Konsentrasi Pleural/Serum
Jenis Efusi
Protein LDH Protein LDH
Transudat < 3 g/dl < 2/3 atau < 0,5 < 0,6
< 200 IU/dl
Eksudat ≥ 3 g/dl > 2/3 atau ≥ 0,5 ≥ 0,6
> 200 IU/dl

18
Efusi pleura berupa:
1. Eksudat,
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi
dibandingkan protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas
membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein yang
terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening.
Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis
tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura eksudat dapat
disebabkan oleh: 9
1) Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara
100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala,
demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap
virus dalam cairan efusi.
2) Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli
oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar
secara hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob
maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan
pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan
cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.
3) Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
4) Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak
terjadi melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah
bening, dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus

19
subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein
yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC
biasanya unilateral pada hemithoraks dan jarang yang masif. Pada
pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat
badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5) Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada
paru-paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura
terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Keluhan
yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri dada. Gejala
lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun
dilakukan torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini
diduga karena :
 Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan
terjadi kebocoran kapiler.
 Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe
pleura, bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum,
menyebabkan gangguan aliran balik sirkulasi.
 Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-
tekanan negatif intra pleural, sehingga menyebabkan
transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa eksudat dan
kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun
jika beban tumor dalam cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis
dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura dan
tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle
biopsy).
6) Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita
cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa
kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik,
namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura

20
yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk
dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi
parapneumonik:
 Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum
pleura
 Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan
pleura
 Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
 Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam
waktu beberapa jam saja.
7) Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma
8) Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.

2. Transudat
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler
hidrostatik dan koloid osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya
cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya.
Biasanya hal ini terjadi pada: (1). Meningkatnya tekanan kapiler sistemik,
(2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan
koloid osmotic dalam pleura, (4) Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi
plura transudat dapat terjadi pada : 9
1) Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan
penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena
kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan
tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu

21
peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas
reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga
akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura
dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada
seluruh rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang
bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi
pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada
payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat,
digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-
kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat sesak.
2) Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah
dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3) Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura
melalui lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura.
Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk
menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak
dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik.
Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah pemasangan
pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi)
dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi
pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.
4) Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-
penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang
dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik,
fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat
rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan

22
yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena
cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5) Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini
terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan
cairan dialisa.
Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat9

23
3. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya
diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.9

3.1.4. Patofisiologi Efusi Pleura


Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi
filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan
diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis dengan kecepatan yang
seimbang dengan kecepatan pembentukannya.8
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya
kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan
cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya efusi pleura yaitu;8
1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2. Penurunan tekanan kavum pleura
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.

24
Gambar 3.2 Patofisiologi efusi pleura8

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh


peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena
pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga
pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah
tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.8
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain
bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,
dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis
konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.8
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif.8

25
3.1.5. Manifestasi Klinis Efusi Pleura
1) Gejala dan Tanda
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa
penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak,
berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala
penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis
(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada neoplasma, ascites
pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat
terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan. 8
2) Pemeriksaan Fisik.
- Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
- Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal
atau taktil pada sisi yang sakit
- Perkusi. Redup pada perkusi
- Auskultasi. Penurunan bunyi napas10
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus. Nyeri dada pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit
yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas dalam atau batuk.
Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang
inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya
dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke
daerah lain :
a) Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh
G. Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada
dan abdomen.
b) Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus
phrenicus menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

26
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup
timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu
daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada
auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada
permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.10
3) Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat
dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan
permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut
kostrofrenikus menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral
dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.9

Gambar 3.3 Radiologi penunjang efusi pleura8


2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior

27
dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura
sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk
diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:9
a) Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan
(serous-santrokom).Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi
trauma, infark paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma
aorta. Bila kunig kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan
empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses karena amuba.
b) Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat.
Perbedaannya dapat dilihat pada tabel :
Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura8

3. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan
sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.9
 Sel neutrofil: pada infeksi akut
 Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna).
 Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
 Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
 Sel giant: pada arthritis rheumatoid
 Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
 Sel maligna: pada paru/metastase.
4. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
Pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.9

28
5. Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis
dan tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.8

3.1.6. Diagnosa Efusi Pleura


Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan
fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan
analisa cairan pleura.8

Gambar 3.4 Alur diagnosa efusi pleura.13

3.1.7. Tatalaksana Efusi Pleura


Penatalaksaan pada efusi pleura dibagi menjadi empat yaitu: 11
1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
3. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat
dilakukan sebagai berikut:

29
a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau
di daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris
media di bawah batas suara sonor dan redup.
c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan
dengan jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi
biasanya disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah
sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam sehingga mengenai
jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena
jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

Gambar 3.5. Metode torakosentesis11

d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada


setiap aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada
satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock
(hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-
paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum
diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura
yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui
permeabilitas kapiler yang abnormal. Selain itu pengambilan cairan
dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex vagal,
berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.. Komplikasi

30
torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, dan
laserasi pleura viseralis.

4. Pemasangan WSD.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara
lambat dan aman.

Gambar 3.6. Pemasangan WSD11

5. Pleurodesis
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan
penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan
adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-
fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg)
diberikan selang waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan
WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang
menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali
cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang
dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam

31
3050 ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura
melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan
garam faal untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain 2% untuk
mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik
diberikan 11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi
rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita
diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga
pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang
toraks dapat dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali
dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam.13

3.2 Tuberkulosa Paru


3.2.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit
TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.14

3.2.2. Patogenesis Tuberkulosa Paru


Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi
di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.14
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

32
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).14
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular.14
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).14
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB. 14

33
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).14
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.14
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. 15
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan

34
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.14
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun. 14
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread.14

35
Gambar 3.7. Patogenesis Infeksi Tuberkulosis 14
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar
(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)14

36
3.2.3. Diagnosis Tuberkulosa pada Anak
1. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan
pada :
1) Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal
serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB
menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan
sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB
dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih
rinci dalam pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.
2) Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan
TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat
berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu
ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena
gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain
TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 2 bulan atau terjadi gagal
tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan
gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai
dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3) Batuk lama ≥2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah
reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan.

37
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
5) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.16,17

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,


sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
terjadinya TB di berbagai organ seberi pada gambar d bawah ini.18

Gambar 3.8. Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer 18

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin


biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Paa
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.18
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi Tb, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.

38
Tuberkuloma sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu
5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit Tb
terjadi pada 5 tahun pertama, terutama 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena
TB terjadi pada tahn pertama setelah diagnosis TB.18
Secara singkat resiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.19
Tabel 4. Resiko Sakit Tuberkulosis pada Anak Terinfeksi Tuberkulosis19
Resiko Sakit
Umur saat infeksi
TB Diseminata
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru (milier, meningitis)

<1 50% 30 – 40% 10 – 20%


1–2 75 – 80% 10 – 20% 2 – 5%
2–5 95% 5% 0,5%
5 – 10 98% 2% <0,5%
>10 80 – 90% 10 – 20% <0,5%

Tabel 5. Tahapan Tuberkulosis pada Anak19


Tahapan

Pajanan Infeksi Penyakit


Uji tuberkulin Negatif Positif Positif (90%)
Pemeriksaan fisik Normal Normal Biasanya tidak normal*
1
Foto polos dada Normal Biasanya normal Biasanya tidak norma2
Profilaksis/terapi TB Selalu Pada imunokompremais Selalu
Jumlah obat Satu Satu Tiga atau empat
*
pada 50% anak dengan tuberkosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang normal
1
kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
2
pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada foto polos dada

2. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak


TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian
yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit
menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu

39
kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.19
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan
biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan
tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana
diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat
Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode
serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit
dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat
berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari
berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)
yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan
menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya
dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.19
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan
dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line
Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert
MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena
membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.19
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert
MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak,
dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi
tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan
Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari
pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari

40
pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF
yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak15
1) Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak
yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil
positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2) Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3) Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak
semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama
apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan
secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai
untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan
sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB
sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas
(inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam
sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak
melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah
kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.14
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak
dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat
kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi
penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu
dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan

41
uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi
hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal
ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang
masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular
(hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh
pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk
melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien
tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut
sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan
tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita
TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan
radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat
menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.18
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan
melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di
semua fasilitas pelayanan kesehatan. Pemeriksaan penunjang lain yang
cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto
toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum,
gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut: 19

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat


(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto
toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier

42
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma

3.2.4. Pengobatan Tuberkulosa pada Anak


Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian
oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati
sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak
terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu
tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi
terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. 14
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai
berikut:
 Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular
mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
 Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
 Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara
cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan
baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis
tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.14

43
Tabel 6. Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB16,17
Parameter 0 1 2 3 Skor
Laporan
keluarga, BTA (-)
Kontak TB Tidak jelas - BTA (+)
/ BTA tidak jelas/
tidak tahu
Positif ≥10 mm
Uji tuberkulin
Negatif - - atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais
Klinis gizi
BB/TB<90%
Berat Badan/ buruk atau
- atau -
Keadaan Gizi BB/TB<70%
BB/U<80%
atau BB/U<60%
Demam yang
tidak
- ≥2 minggu - -
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran
≥1 cm, lebih
kelenjar limfe
- dari 1 KGB, - -
kolli, aksila,
tidak nyeri
inguinal
Pembengkaka
n tulang/sendi Ada
- - -
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Gambaran
Normal/
sugestif
Foto toraks kelainan - -
(mendukung)
tidak jelas
TB
Skor Total

Catatan:
Parameter Sistem Skoring: 16,17
 Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
 Penentuan status gizi:
- Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
- Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi
untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.
- Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1 bulan.

44
 Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
 Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis,
konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.

Gambar 3.9. Alur diagnosa Tb paru anak.16,17

3.2.5. Pengobatan Tuberkulosa Anak


Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah: 14

45
 Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
 Pemberian gizi yang adekuat.
 Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

1. Prinsip pengobatan TB anak:14


 OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler.
 Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
 Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
- Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
- Tahap lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan
setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang
lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
 Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-
lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
 Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan.

46
 Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
- Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
- Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
 Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
 OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Tabel 7. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya14,16
Dosis harian Dosis maksimal
Nama Obat Efek samping
(mg/kgBB/ hari) (mg /hari)

Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,


hipersensitivitis

Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal,


reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan
enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid (Z) 35 (30-40) 2000 Toksisitas hepar, artralgia,


gangguan gastrointestinal

Etambutol (E) 20 (15–25) 1250 Neuritis optik, ketajaman mata


berkurang, buta warna merah
hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal

Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

47
Tabel 8. Panduan OAT Kategori Anak14,16
Fase Fase
Jenis Prednison Lama
intensif lanjutan

TB Ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan

2 mgg dosis
Efusi pleura TB penuh-kemudian
tappering off

TB BTA positif 2HRZE 4HR -

TB paru dengan 2HRZ+ 7-10HR 4 mgg dosis 9-12 bulan


tanda-tanda E atau penuh-kemudian
kerusakan luas: S tappering off

TB milier

TB + destroyed
lung

10HR 4 mgg dosis 12 bulan


Meningitis TB penuh-kemudian
tappering off

2 mgg dosis
Peritonitis TB penuh-kemudian
tappering off

2 mgg dosis
Perikarditis TB penuh-kemudian
tappering off

Skeletal TB -

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket
dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak
berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

48
Tabel 9. Dosis kombinasi pada TB anak16,17
Berat badan 2 bulan 4 bulan

(kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
 Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam
bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
 Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
 Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal
(sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di
lampiran
 OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
 Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
 Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
 Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat
tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3.2.6. Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosa Anak


1) Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada
fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan,
respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan

49
baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan
meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6
bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka
pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang
lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan
untuk menilai hasil pengobatan.19
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan
dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin
yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun
gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi
apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat
dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.19
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan
pengobatan pasien TB BTA positif. 19

2) Efek Samping pengobatan TB Anak


Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka
dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. 14
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10
mg/ hari direkomendasikan diberikan pada :14
 Bayi yang mendapat ASI eksklusif,
 Pasien gizi buruk,
 Anak dengan HIV positif.

50
3) Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.
 Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2
bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri
pengobatan kembali mulai dari awal.
 Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2
bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa
pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan
risiko terjadinya TB kebal obat.14

4) Pengobatan ulang TB anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-
benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB,
tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.14

51
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang anak perempuan, usia 12 tahun 5 bulan dengan berat badan 23 kg


datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan sesak nafas sejak 3 bulan
yang lalu dan semakin berat sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu. Sesak terutama
dirasakan saat beraktifitas ringan dan saat tidur terlentang. Sesak berkurang jika
pasien tidur dengan miring ke arah kiri. Pasien tidak merasakan sakit saat menarik
nafas. Karakteristik sesak nafas yang memberat saat tidur terlentang dan berkurang
jika miring ke kiri dapat menandakan adanya gangguan pada paru berupa adanya
cairan serta kecurigaan gangguan pada paru dan atau jantung. Sehingga dilakukan
rontgen thorax AP Lateral.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu
dan semakin parah sejak 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh demam
terutama pada malam hari dan berkeringat terutama pada malam hari. Demam tidak
terlalu tinggi dan sering terjadi pada malam hari. Pasien merasakan penurunan
nafsu makan dan penurunan berat badan sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu.
Keluhan yang dialami pasien, memenuhi gejala klinis khas penyakit tuberkulosis
paru. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan gejala klinis khas TB adalah
batuk ≥ 2 minggu, demam yang tidak diketahui penyebabnya ≥ 2 minggu, BB turun
atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya serta adanya lesu atau malaise, anak
kurang aktif bermain. 14
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital menunjukkan keadaan
sakit sedang dimana kesadaran kompos mentis, nadi 110x/menit, pernafasan
32x/menit, suhu 36,50C. Berat badan pasien yaitu 23 kg dan tinggi badan pasien
yaitu 114 cm. Jadi berdasarkan data berat badan dan tinggi badan pasien
menggunakan kurva CDC (Centers for Disease Control) didapatkan untuk BB/U
dibawah persentil 3 dengan hasil 54% interpretasi BB sangat kurang, berdasarkan
TB/U dibawah persentil 3 dengan hasil 75 % interpretasi TB sangat kurang,
sehingga interpretasi berdasarkan BB/TB status gizi anak adalah gizi buruk. Hal ini
menandakan bahwa penyakit ini sudah lama diderita sehingga menyebabkan
gangguan pertumbuhan baik tinggi dan berat badan. Hal ini sesuai dengan teori

52
yang menyatakan salah satu gejala umum TB anak adalah adanya berat badan turun
atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh (failure to
thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2
bulan.14
Pada pemeriksaan thorax asimetris, paru kiri tertinggal, pernapasan
takipnea, frekuensi 32x/menit, tipe pernapasan thorakoabdominal, retraksi
intercostal pada paru kanan, iktus kordis terlihat di dinding thorax kanan. Pada
palpasi thrill teraba pada dinding thorax kanan, stem fremitus kanan normal dan
stemfremitus kiri menurun. Pemeriksaan perkusi didapatkan sonor pada lapang
paru kanan dan redup pada paru kiri, nyeri ketok (-). Pada pemeriksaan auskultasi
didapatkan vesikuler kiri menurun, ronkhi (-), wheezing (-). Bila dilihat dari
pemeriksaan fisik tersebut didapatkan tanda-tanda cairan pada paru yang berupa
efusi pleura pada dinding thorax kiri dan ditemukan adanya tanda jantung berada
pada thorax kanan. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan komplikasi pada
TB dapat berupa efusi pleura. Efusi pleura pada penderita tuberkulosis paru dapat
terjadi karena iritasi dari selaput pleura akibat dari kerusakan parenkim paru yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sehingga menurunkan tekanan
onkotik yang menyebabkan cairan masuk ke dalam rongga pleura.3
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepar teraba 4 jari dibawah arcus
costae dan pemeriksaan ekstremitas terdapat edema pada kedua tungkai. Hal ini
menandakan terdapat tanda kegagalan jantung memompa darah akibat kerusakan
berat dan difus pada parenkim paru yang disebabkan oleh TB paru. Kerusakan
tersebut dapat menyebabkan permeabilitas endotel dan epitel terganggu, sehingga
menyebabkan cairan kaya protein keluar di alveolus dan permeabilias kapiler
meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya edema paru yang akan memperburuk
sesak nafas pada penderita. Sesuai dengan teori, yang menyatakan apabila terjadi
gangguan pada paru dapat menyebabkan gangguan pada jantung ventrikel dan
atrium kanan sehingga menyebabkan terjadinya hepatomegali dan pitting edema
ekstremitas.7
Pada pemeriksaan sputum dan tes mantoux didapatkan hasil negatif. Hal ini
disebabkan karena terdapat kesulitan pengambilan spesimen dahak pada
pemeriksaan sputum. Pada pemeriksaan radiologi terdapat kesan efusi pleura masif

53
pada thorax kiri dan jantung berada di thorax kanan. Hal ini membuat jelas temuan
tanda-tanda pada pemeriksaan fisik yaitu adanya cairan bebas pada dinding thorax
kiri dan jantung berada di thorax kanan. Adanya temuan jantung pada thorax kanan
menurut teroru dapat disebabkan oleh kelainan bawaan sejak kecil maupun karena
kerusakan masif pada parenkim paru kiri yang menyebabkan adanya edema paru
dan efusi pleura sehingga dapat mendorong jantung bergeser ke thorax bagian
kanan.7
Setelah anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dilakukan dapat digunakan sistem skoring TB untuk mendiagnosis TB paru anak,
yang mempunyai tujuh parameter penilaian. Pada kasus ini setelah dilakukan
skoring TB didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 10. Skoring TB Anak pada Kasus
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak Laporan BTA (+) 2
jelas keluarga,
BTA (-) /
-
BTA tidak
jelas / tidak
tahu
Uji tuberkulin Negatif Positif ≥ 10 mm 0
(Mantoux) - - atau ≥ 2 mm pada
imunokompromais
Berat badan/ BB/TB < 90% Klinis gizi 2
Keadaan Gizi atau BB/U < buruk atau
- 80% BB/TB<70% -
atau BB/U <
60%
Demam yang ≥ 2 minggu 1
tidak diketahui - - -
penyebabnya
Batuk kronik - ≥ 2 minggu - - 1
Pembesaran ≥ 1 cm, lebih 0
kel. limfe colli, - dari 1 KGB - -
aksila, inguinal tidak nyeri

54
Pembengkakan Ada 0
tulang/sendi pembengkakan
- - -
panggul, lutut,
falang
Foto thoraks Normal/ Gambaran 1
kelainan sugestif
- -
tidak jelas (mendukung)
TB
Skor total 7

Dari hasil penilaian skoring TB didapatkan skor 7 dimana bila hasil skor lebih dari
sama dengan 6 dapat ditegakkan diagnosis TB anak klinis yang harus diberikan
terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT).14
Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin yang diambil
pada tanggal 01 Januari 2019 didapatkan hasil hemoglobin 11,5 g/dl, leukosit
13200/ ul, trombosit 810.000/ ul dan hematokrit 36%. Pada pemeriksaan kimia
darah dilakukan pada tanggal 05 Januari 2019 didapatkan Natrium 119 mmol/liter.
Pada pasien ini terjadi anemia, peningkatan leukosit, peningkatan trombosit, diff
count shift to the right dan hiponatremia. Anemia dan hiponatremia menurut teori
dan didukung oleh keadaan pasien pada kasus ini dapat disebabkan oleh defisit
intake yang dialami pasien yang dapat dilihat dari anamnesa riwayat gizi dan
buruknya status gizi pasien. Sementara itu peningkatan leukosit dan peningkatan
trombosit menurut teori dapat disebabkan oleh respon hematologi tubuh terhadap
infeksi TB yang dialami.20 Hasil diff count shift to the right menurut teori
menandakan adanya infeksi kronis.20
Pada pemeriksaan sitologi dari cairan efusi pleura didapatkan gambaran
yaitu sitologi pada sediaan ini menunjukkan pleuritis kronis spesifik et causa
tuberkulosis. Hal ini dapat menunjukkan efusi pleura diakibatkan oleh infeksi
tuberkulosis. Maka dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pada pasien ini didapatkan diagnosis Efusi Pleura masif et causa Tuberkulosis Paru.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan infus cairan intravena berupa IVFD
D5% ½ NS gtt 10x/ jam + IVFD NaCl 3% gtt 15x/menit O2 2L/m Nasal Canul,
Ambroxol Syrp 3x1 Cth, Methyl prednisolon dosis 8mg sebanyak 8 tablet (3-3-2),

55
Obat OAT dengan Rimfampisin 1x300mg, Isoniazid 1x200mg, Pirazinamid
2x250mg, Ethambutol 2x200mg. Pemberian cairan IVFD D5% ½ NS menurut teori
digunakan untuk perawatan cairan dan nutrisi pengganti. Menurut perhitungan
cairan Holiday Segar, banyaknya kebutuhan cairan yang dibutuhkan pasien An. K
ini adalah gtt 20x/jam namun dikurangi pemberiannya pada kasus ini karena adanya
edema ekstremitas pada An. K. Pemberian NaCl 3% diperlukan untuk keadaan
hiponatremia pada pasien. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan cairan
saline hanya mengandung natrium dan klorida didalam cairannya.20 Perhitungan
pemberian cairan NaCl 3% untuk pasien hiponatremia menggunakan rumus = (513
– Na serum) / (0,6 x BB kg) + 1 didapatkan hasil gtt 15x/menit.16,17 Jadi pemberian
cairan IVFD NaCl 3% pada An. K sudah sesuai teori. Pemberian O2 nasal canul
sesuai dengan teori dan pemeriksaan pada An. K merupakan terapi simptomatik
untuk sesak napas yang dirasakan.20 Methyl prednisolon diberikan kepada pasien
hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan pemberian prednisolon sebagai anti
inflamasi berfungsi untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah perlengketan
pada pleura sehingga cairan pleura dapat diabsorbsi secara perlahan.14 Pasien
diberikan Tatalaksana OAT pemberian 2RHZE + 4RH. Pilihan pemberian OAT
tersebut dipilih sesuai dengan teori yang menyatakan apabila diagnosis TB
terkonfirmasi bakteriologis mendapatkan OAT dan lama pengobatan 2RHZE +
4RH.16,17 Menurut teori, dosis harian pemberian rifampisin adalah 15 mg/kg/hari,
dosis harian isoniazid 10 mg/kg/hari, dosis harian pirazinamid 35 mg/kg/hari, dan
dosis harian etambutol 20 mg/kg/hari. 16,17 Perhitungan dosis yang dibutuhkan pada
An. K menurut dosis harian adalah: rifampisin 345 mg, isoniazid 230 mg,
pirazinamid 805 mg, dan etambutol 460 g. Untuk memudahkan peracikan obat
dapat diberikan Rifampisin 300 mg, isoniazid 200 mg, pirazinamid 750 mg, dan
etambutol 400 mg.

56
57
BAB V
PENUTUP

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,


diagnosis pada kasus ini yaitu Efusi pleura masif et causa Tuberkulosis Paru.
Pemberian tatalaksana pada kasus ini juga sudah tepat yaitu berupa IVFD
D5% ½ NS gtt 10x/ jam + IVFD NaCl 3% gtt 15x/menit, O2 2L/m Nasal Canul,
Ambroxol Syrp 3x1 Cth, Methyl prednisolon dosis 8mg sebanyak 8 tablet (3-3-2),
Obat OAT dengan Rimfampisin 1x300mg, Isoniazid 1x200mg Pirazinamid
2x250mg Ethambutol 2x200mg namun masih ada dosis yang kurang tepat. Serta
dilakukan torakosentesis, pemeriksaan sitologi cairan efusi pleura, cek
laboratorium darah, dan rontgen thorax AP lateral.

58
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization, 2015, WHO Global Tuberculosis Report


2015, http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/, tanggal
akses 13 Januari 2019.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2015, Jakarta, Indonesia.
3. PDPI., 2006. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Diakses
13 Januari 2019;http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 67 tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015, Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, Jakarta, Indonesia.
6. Guyton & Hall. 2014. buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
7. Guyton. 2005. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC.
Jakarta.
8. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. 2007. Balai Penerbit FK UI Jakarta.
9. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009.Rachmatullah, P.
1997. Seri Ilmu Penyakit Dalam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru
(Pulmonologi), Semarang, Undip
10. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua.
EMS. Jakarta : 2008.
11. Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS.
Jakarta : 2008.
12. Nelson WE, Behrman ER, Kliegman R, Arvin MA. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak. Volume 2. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2012.h.255
13. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison's Principles of Internal
Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : New York.
2008

59
14. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak, Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI; 2013.
15. Nastiti N.R., Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.
16. Departemen Kesehatan Anak. Panduan Praktik Klinik Rumah Sakit
Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin. Sumatera Selatan.
17. Departemen Kesehatan Anak. Panduan Praktik Klinik Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang BARI. Sumatera Selatan.
18. Miller FJW. Tuberculosis in children, evolition, epidemiology,
treatment, prevention. New York; Churchill Livingstone; 1982
19. Nastiti N.R., Darmawan B.S. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak.
Dalam : Nastiti N.R., Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku
Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.
20. Chris Tanto dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Seri II.
Jakarta. Media Aesculapius.

60

Anda mungkin juga menyukai