Saat menghadapi kemacetan, pengguna jalan mendengarkan musik atau merokok karena dianggap bisa menghilangkan kebosanan telah berlama-lama di jalanan. Maraknya bisnis radio di seluruh pelosok Indonesia, sehingga sudah lumrah mendengarkan musik sambil mengendarai mobil, apalagi di saluran-saluran radio ada program yang menyasar pangsa pendengar khusus bagi pengguna jalan yang bahkan memberikan info lalu lintas dan menyetel lagu-lagu yang menyenangkan dengan tujuan menghilangkan rasa penat pengguna jalan, sehingga sudah merupakan kebiasaan yang telah lama dilakukan berkendara sambil mendengarkan musik. Disampaikan langsung oleh Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto, mengatakan kalau merokok mendengarkan radio, musik atau televise saat mengemudi baik roda dua atau empat bisa melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (untuk selanjutnya disebut UULAJ). Melanggar Pasal 106 ayat (1) UULAJ, bahwa setiap orang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Pasal 283 UULAJ, Setiap orang yang mengembudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.750.000,00. Budiyanto menyatakan bahwa pihaknya pernah melakukan survei yang membuktikan kalau merokok, mendengarkan musik, dan kegiatan lain di atas termasuk tindakan yang bisa menurunkan konsentrasi. Akibatnya kegiatan tersebut bisa memicu kecelakaan lalu lintas. Menurutnya boleh saja menyetel lagu tapi saat kendaraan berhenti atau istirahat. Hingga bahkan ia menegaskan merokok dan mendengarkan musik termasuk aktivitas yang bisa menurunkan konsentrasi saat berkendara. Kegiatan apapun yang bisa menurunkan konsentrasi ketika berkendara itu dilarang dan menyalahi aturan yang sudah ada. Berdasarkan riset oleh Pegiat keselamatan berkendara dari Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu mengatakan ada lima factor umum pengganggu konsentrasi pengemudi. 1. Jalanan yang tidak dikenali atau ketika memasuki wilayah baru 2. Masalah pribadi seperti soal keluarga atau keuangan 3. Objek yang cukup mencolok seperti reklame 4. Kendaraan yang tidak biasa dipakai 5. Gangguan dalam kendaraan, termasuk musik. Misalnya tangan sampai memukul-mukul setir, menyanggah dijendela sampai memukul badan kendaraan atau diputar sangat keras dengan sound system yang berlebihan. Juga temuan yang dikemukakan oleh Warren Brodsky, director of music psychology di Department of the Arts Ben-Gurion University, Israel. Ia mengatakan factor yang menentukan baik atau buruknya mendengarkan musik ketika berkendara adalah apakah memiliki hubungan emosional dengan yang mendengarkan musik atau tidak. Selama sebuah lagu selama memiliki ikatan emosional dengan pengemudi dapat menyebabkan hilang focus. Namun pendapat dari Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho mengatakan tidak bisa menilang tanpa dasar hukum. Polisi berpotensi menyalahgunakan wewenang bila melakukan tilang bagi pengendara yang mendengarkan musik atau merokok saat berkendara. Dimana mendengarkan musik dan rokok tidak termasuk yang dianggap mengganggu konsentrasi pengendara yang diatur pada UULAJ. Karena berdasarkan penjelasan Pasal 106 ayat (1) UULAJ, yang disebut mengganggu konsentrasi tidak ada termasuk mendengarkan musik dan merokok disebut. Hanya menyangkut sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, menonton televisi, video yang terpasang di kendaraan, dan mengonsumsi minuman beralkohol/obat-obatan. Menurut Hibnu, polisi punya diskresi kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi, termasuk memberi tilang pada pengendara yang mendengar musik. Terutama yang mendengarkan musik di luar kewajaran. Tetapi dalam hal menilang aktivitas merokok dan mendengar musik saat berkendara dengan mendasarkan pada Pasal 106 UULAJ adalah tidak tepat. Sedangkan seharusnya dengan segera merevisi pasal 106 pada UUJN sebagai solusi atas kekosongan hukum. Menurut Ahli Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar sependapat dengan Hibnu tentang perlunya revisi dan diskresi polisi. Namun ia menekankan perlunya peraturan khusus lain yang regulasinya secara rinci tentang pelanggaran lalu lintas di jalan. Seharusnya memberikan batasan apa saja pelanggaran itu dan supaya apparat polisi tidak seenaknya menafsirkan aturan tentang pelanggaran lalu lintas di pasal 106 ayat (1) UULAJ malahan dikhawatirnya menjadi pasal karet. 1.2. Rumusan Masalah Mengapa mendengarkan musik dan merokok saat berkendara merupakan pelanggaran terhadap Pasal 106 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?
Apakah larangan pengendara mendengarkan musik dan merokok
saat berkendara merupakan kekosongan hukum?
1.3. Kerangka Teori dan Konseptual
1.3.1. Kerangka Teori Teori Kepastian Hukum Sebagai Negara Hukum artinya negara menjamin kepastian hukum dapat terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat ‘predictable’. Dimana asas-asas yang terkandung atau yang berkait dengan asas kepastian hukum adalah: a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum; b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan; c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak; d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi; e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas; f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD. Hukum nasional yang berkeadilan dan teratur dapat menjadi ukuran yang pasti dalam masyarakat, namun pada kenyataannya hukujm yang ada masih belum mampu mengakomodir serta jauh tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan, sehingga dalam masyarakat mengakibatkan tidak adanya kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur halhal atau keadaan yang terjadi. Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan fleksibel serta mampu mengikuti perkembangan tersebut tanpa mengilangkan nilai-nilai luhur kebangsaan yang sesuai cita-cita pendiri bangsa. Menurut Hukum Positif kekosongan hukum (rechstvacuum) tersebut lebih tepat dikatakan sebagai kekosongan Undang-Undang atau Peraturan Perundang- Undangan. Ada kalanya hal tersebut juga terjadi dari sisi pihak yang mempunyai wewenang dalam melakukan penyusunan suatu Peraturan Perundang-Undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat Peraturan Perundang-Undangan itu dinyatakan berlaku maka keadaan dan hal-hal yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan seiring dinamika masyarakat. Seringkali ditemukan juga ketidakkonsistensian Lembaga Eksekutif (Pemerintah) atau badan lain dalam rangka melaksanakan Undang-Undang dalam upaya menjamin kepastian hukum masyarakat, hal ini bisa kita temui dalam hal adanya amanah suatu Peraturan Perundang- Undangan yang mengharuskan diterbitkannya peraturan pelaksana namun pada kenyataannya aturan pelaksanaan tersebut yang pada dasaranya merupakan suatu kumpulan pedoman untuk menjadi dasar menjalankan lebih lanjut isi suatu Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak pernah ada / dibuat. Maka dari itu diperlukan sinergisitas serta kesadaran lebih (awareness) dengan menghilangkan ego sektor terkait dengan tugas dan tanggung jawab selaku penyelenggara negara antara para pihak pembentuk peraturan dan peran serta aktif masyarakat, seperti yang tertuang dalam Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 terkait dengan “Partisipasi Masyarakat” dalam pembentukan Peraturan Perundang- Undangan sesuai dengan semangat perkembangan dunia dewasa ini yang mengedepankan transparansi antara pemerintah dengan rakyatnya yang tetap mengacu pada koridor hukum sesuai ideologi bangsa. Hal lain yang kerap terjadi dalam fenomena berlakunya hukum jika disandingkan dengan perkembangan dinamika masyarakat terkait kekosongan hukum tidak hanya berhubungan langsung dengan Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan namun dapat juga berhubungan dengan Badan Peradilan itu sendiri. Yang pada hakikatnya Badan Peradilan merupakan bentuk penjabaran lebih lanjut mengenai Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan pertama yang berhubungan dengan hal ini dan kerap menjadi kebingungan dalam masyarakat yaitu dalam hal terjadi suatu perbuatan yang salah dan berakibat merugikan orang lain sementara perbuatan tersebut belum ada aturan dalam Undang-Undang. Untuk menjawab hal tersebut perlu dibahas lebih lanjut mengenai Yurisprudensi. Namun perlu diingat walaupun hakim mempunyai peran untuk penemuan dan pembentukan hukum, kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun eksekutif seperti halnya Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan. Keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa “Kekuasaan keputusan kehakiman hanya berlaku tentang hal- hal yang diputuskan dalam keputusan itu”. Berdasarkan hal-hal tersebut maka langkah utama dalam upaya untuk mengatasai kekosongan hukum yang ada dalam dinamika perkembangan masyarakat seperti yang sudah disebutkan yaitu diperlukannya kebijakan serta prakarsa dari Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan “Setiap rancangan Undang- Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Pasal 5 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan pula bahwa “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat” dan “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Dalam hal ini berarti kebijakan serta prakarsa dari Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu Peraturan Perundang-Undangan baik mengatur hal-hal atau keadaan yang tidak diatur sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada namun tidak sesuai dengan dinamika perkembangan dalam masyarakat. Selain itu diperlukan juga peran serta masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan agar terciptanya kestabilan, keteraturan dan keharmonisan hukum nasional. Yang tidak kalah pentingnya harus ada integritas serta sikap profesionalitas dari Badan Peradilan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena pada hakekatnya keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila ke 5 Pancasila tidak hanya sebatas adil/penyamarataan terhadap seluruh rakyat namun lebih mengacu pada kemampuan menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang baik dalam pemenuhan kebutuhan terhadap setiap orang sesuai hak masing-masing serta kekuasaan hukum yang menjamin dan mampu/wajib memberi konsekuensi sanksi terhadap seluruh para pelanggar hukum sesuai dengan tingkat kesalahan dalam masyarakat.
1.3.2. Kerangka Konseptual
Tinjauan tentang Asas Legalitas sebagai kepastian dari berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Indonesia sebagai negara hukum, telah diundangkan oleh pembentuk undang-undangan sebuah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UULAJ), dengan maksud mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan tentu demi menegakkan kepastian hukum bagi pengguna jalan. Penerapan kepastian hukum dalam UULAJ dimana didalamnya juga berlaku asas legalitas agar ditentukan perbuatan-perbuatan pengguna jalan manakah yang dapat dipidana. Dengan adanya pemidanaan pengguna jalan terkait menyetel dan mendengarkan musik dan merokok, telah melanggar asas legalitas, karena dalam UULAJ tidak diatur secara tegas bahkan di penjelasan Pasal 106 UULAJ tidak menyebut unsur tidak terganggu perhatian karena mendengarkan musik maupun merokok sehingga menyebabkan pengguna jalan tidak berkonsentrasi dalam berkendara. Oleh karena itu demi menegakkan kepastian hukum, seorang polisi tidak bisa menilang pengguna jalan dengan mendasarkan pada Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 283 UULAJ. Karena adanya asas legalitas yang berlaku bahwa suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Dimana berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Asas ini memberikan jaminan kepada orang untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh alat penegak hukum. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, asas yang oleh Anselm Von Feuerbach disebut sebagai asas legalitas. Dalam hal tidak diaturnya menyetel musik maupun merokok saat berkendara maka jelas terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) bagi pihak aparat kepolisian untuk memidana orang yang menyetel musik dan merokok saat berkendara. Hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kekosongan hukum dalam menghadapi dinamika perkembangan masyarakat, perlunya kebijakan serta prakarsa dari badan pembentuk peraturan perundang- undangan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 5, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan memegang peranan sangat penting dalam menciptakan suatu peraturan baik mengatur hal yang tidak diatur sebelumnya maupun penyempurnaan perubahan dari peraturan perundang-undangan yang telah ada namun tidak sesuai dengan dinamikan perkembangan dalam masyarakat. Dalam hal ini adalah menciptakan suatu peraturan yang tidak diatur sebelumnya (rechtsvinding) oleh Badan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dengan melakukan pengundang-undangan hal batasan menyetel musik dan merokok. Jenis musik seperti apa, volume yang bagaimana, tingkat peredaman kendaraan yang seperti bagaimana, hal ini dapat dibuat baik dalam bentuk peraturan pemerintah ataupun undang-undang yang baru.