Anda di halaman 1dari 11

UJIAN AKHIR SEMESTER

TEORI HUKUM

“JURNALISTIK DAN KEBEBASAN PERS”

OLEH :

Daniel Kuntjoro Budiman - 124218013

MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS SURABAYA


SURABAYA
2018
PROPOSAL THESIS

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Saat menghadapi kemacetan, pengguna jalan mendengarkan
musik atau merokok karena dianggap bisa menghilangkan
kebosanan telah berlama-lama di jalanan. Maraknya bisnis radio di
seluruh pelosok Indonesia, sehingga sudah lumrah mendengarkan
musik sambil mengendarai mobil, apalagi di saluran-saluran radio
ada program yang menyasar pangsa pendengar khusus bagi
pengguna jalan yang bahkan memberikan info lalu lintas dan
menyetel lagu-lagu yang menyenangkan dengan tujuan
menghilangkan rasa penat pengguna jalan, sehingga sudah
merupakan kebiasaan yang telah lama dilakukan berkendara sambil
mendengarkan musik.
Disampaikan langsung oleh Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda
Metro Jaya AKBP Budiyanto, mengatakan kalau merokok
mendengarkan radio, musik atau televise saat mengemudi baik roda
dua atau empat bisa melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (untuk selanjutnya
disebut UULAJ). Melanggar Pasal 106 ayat (1) UULAJ, bahwa setiap
orang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
Pasal 283 UULAJ, Setiap orang yang mengembudikan kendaraan
bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain
atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan
gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan dapat dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling
banyak Rp.750.000,00.
Budiyanto menyatakan bahwa pihaknya pernah melakukan
survei yang membuktikan kalau merokok, mendengarkan musik, dan
kegiatan lain di atas termasuk tindakan yang bisa menurunkan
konsentrasi. Akibatnya kegiatan tersebut bisa memicu kecelakaan
lalu lintas. Menurutnya boleh saja menyetel lagu tapi saat kendaraan
berhenti atau istirahat. Hingga bahkan ia menegaskan merokok dan
mendengarkan musik termasuk aktivitas yang bisa menurunkan
konsentrasi saat berkendara. Kegiatan apapun yang bisa
menurunkan konsentrasi ketika berkendara itu dilarang dan
menyalahi aturan yang sudah ada.
Berdasarkan riset oleh Pegiat keselamatan berkendara dari
Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu
mengatakan ada lima factor umum pengganggu konsentrasi
pengemudi.
1. Jalanan yang tidak dikenali atau ketika memasuki wilayah
baru
2. Masalah pribadi seperti soal keluarga atau keuangan
3. Objek yang cukup mencolok seperti reklame
4. Kendaraan yang tidak biasa dipakai
5. Gangguan dalam kendaraan, termasuk musik. Misalnya
tangan sampai memukul-mukul setir, menyanggah
dijendela sampai memukul badan kendaraan atau diputar
sangat keras dengan sound system yang berlebihan.
Juga temuan yang dikemukakan oleh Warren Brodsky, director of
music psychology di Department of the Arts Ben-Gurion University,
Israel. Ia mengatakan factor yang menentukan baik atau buruknya
mendengarkan musik ketika berkendara adalah apakah memiliki
hubungan emosional dengan yang mendengarkan musik atau tidak.
Selama sebuah lagu selama memiliki ikatan emosional dengan
pengemudi dapat menyebabkan hilang focus.
Namun pendapat dari Guru Besar Hukum Pidana dari
Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho mengatakan tidak
bisa menilang tanpa dasar hukum. Polisi berpotensi
menyalahgunakan wewenang bila melakukan tilang bagi
pengendara yang mendengarkan musik atau merokok saat
berkendara. Dimana mendengarkan musik dan rokok tidak termasuk
yang dianggap mengganggu konsentrasi pengendara yang diatur
pada UULAJ. Karena berdasarkan penjelasan Pasal 106 ayat (1)
UULAJ, yang disebut mengganggu konsentrasi tidak ada termasuk
mendengarkan musik dan merokok disebut. Hanya menyangkut
sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, menonton televisi,
video yang terpasang di kendaraan, dan mengonsumsi minuman
beralkohol/obat-obatan.
Menurut Hibnu, polisi punya diskresi kebebasan mengambil
keputusan sendiri dalam setiap situasi, termasuk memberi tilang
pada pengendara yang mendengar musik. Terutama yang
mendengarkan musik di luar kewajaran. Tetapi dalam hal menilang
aktivitas merokok dan mendengar musik saat berkendara dengan
mendasarkan pada Pasal 106 UULAJ adalah tidak tepat. Sedangkan
seharusnya dengan segera merevisi pasal 106 pada UUJN sebagai
solusi atas kekosongan hukum.
Menurut Ahli Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar
Hadjar sependapat dengan Hibnu tentang perlunya revisi dan
diskresi polisi. Namun ia menekankan perlunya peraturan khusus
lain yang regulasinya secara rinci tentang pelanggaran lalu lintas di
jalan. Seharusnya memberikan batasan apa saja pelanggaran itu
dan supaya apparat polisi tidak seenaknya menafsirkan aturan
tentang pelanggaran lalu lintas di pasal 106 ayat (1) UULAJ malahan
dikhawatirnya menjadi pasal karet.
1.2. Rumusan Masalah
Mengapa mendengarkan musik dan merokok saat berkendara
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 106 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?

Apakah larangan pengendara mendengarkan musik dan merokok


saat berkendara merupakan kekosongan hukum?

1.3. Kerangka Teori dan Konseptual


1.3.1. Kerangka Teori
Teori Kepastian Hukum
Sebagai Negara Hukum artinya negara menjamin
kepastian hukum dapat terwujud dalam masyarakat. Hukum
bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan
prediktabilitas yang tinggi sehingga dinamika kehidupan
bersama dalam masyarakat bersifat ‘predictable’. Dimana
asas-asas yang terkandung atau yang berkait dengan asas
kepastian hukum adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat
peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya
melakukan tindakan pemerintahan;
c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum
mengikat undang-undang harus lebih dulu diundangkan
dan diumumkan secara layak;
d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif,
rasional, adil dan manusiawi;
e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena
alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin
perlindungannya dalam undang-undang atau UUD.
Hukum nasional yang berkeadilan dan teratur dapat
menjadi ukuran yang pasti dalam masyarakat, namun pada
kenyataannya hukujm yang ada masih belum mampu
mengakomodir serta jauh tertinggal oleh perkembangan
masyarakat. Hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya
kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan
apa yang harus dipakai atau diterapkan, sehingga dalam
masyarakat mengakibatkan tidak adanya kepastian aturan yang
diterapkan untuk mengatur halhal atau keadaan yang terjadi.
Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan
fleksibel serta mampu mengikuti perkembangan tersebut tanpa
mengilangkan nilai-nilai luhur kebangsaan yang sesuai cita-cita
pendiri bangsa.
Menurut Hukum Positif kekosongan hukum
(rechstvacuum) tersebut lebih tepat dikatakan sebagai
kekosongan Undang-Undang atau Peraturan Perundang-
Undangan. Ada kalanya hal tersebut juga terjadi dari sisi pihak
yang mempunyai wewenang dalam melakukan penyusunan
suatu Peraturan Perundang-Undangan baik oleh Legislatif
maupun Eksekutif memerlukan waktu yang lama, sehingga
pada saat Peraturan Perundang-Undangan itu dinyatakan
berlaku maka keadaan dan hal-hal yang hendak diatur oleh
peraturan tersebut sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan
seiring dinamika masyarakat. Seringkali ditemukan juga
ketidakkonsistensian Lembaga Eksekutif (Pemerintah) atau
badan lain dalam rangka melaksanakan Undang-Undang dalam
upaya menjamin kepastian hukum masyarakat, hal ini bisa kita
temui dalam hal adanya amanah suatu Peraturan Perundang-
Undangan yang mengharuskan diterbitkannya peraturan
pelaksana namun pada kenyataannya aturan pelaksanaan
tersebut yang pada dasaranya merupakan suatu kumpulan
pedoman untuk menjadi dasar menjalankan lebih lanjut isi suatu
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak pernah
ada / dibuat.
Maka dari itu diperlukan sinergisitas serta kesadaran
lebih (awareness) dengan menghilangkan ego sektor terkait
dengan tugas dan tanggung jawab selaku penyelenggara
negara antara para pihak pembentuk peraturan dan peran serta
aktif masyarakat, seperti yang tertuang dalam Pasal 96
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 terkait dengan “Partisipasi
Masyarakat” dalam pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan sesuai dengan semangat perkembangan dunia
dewasa ini yang mengedepankan transparansi antara
pemerintah dengan rakyatnya yang tetap mengacu pada
koridor hukum sesuai ideologi bangsa.
Hal lain yang kerap terjadi dalam fenomena berlakunya
hukum jika disandingkan dengan perkembangan dinamika
masyarakat terkait kekosongan hukum tidak hanya
berhubungan langsung dengan Badan Pembentuk Peraturan
Perundang-Undangan namun dapat juga berhubungan dengan
Badan Peradilan itu sendiri. Yang pada hakikatnya Badan
Peradilan merupakan bentuk penjabaran lebih lanjut mengenai
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Permasalahan pertama yang berhubungan
dengan hal ini dan kerap menjadi kebingungan dalam
masyarakat yaitu dalam hal terjadi suatu perbuatan yang salah
dan berakibat merugikan orang lain sementara perbuatan
tersebut belum ada aturan dalam Undang-Undang. Untuk
menjawab hal tersebut perlu dibahas lebih lanjut mengenai
Yurisprudensi.
Namun perlu diingat walaupun hakim mempunyai peran
untuk penemuan dan pembentukan hukum, kedudukan hakim
bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun
eksekutif seperti halnya Badan Pembentuk Peraturan
Perundang-Undangan. Keputusan hakim tidak mempunyai
kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum.
Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang
bersangkutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal
1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
“Kekuasaan keputusan kehakiman hanya berlaku tentang hal-
hal yang diputuskan dalam keputusan itu”.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka langkah utama
dalam upaya untuk mengatasai kekosongan hukum yang ada
dalam dinamika perkembangan masyarakat seperti yang sudah
disebutkan yaitu diperlukannya kebijakan serta prakarsa dari
Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang
berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang” dan “Setiap rancangan Undang-
Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama”. Pasal 5 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan pula bahwa “Presiden berhak mengajukan
Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”
dan “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Dalam
hal ini berarti kebijakan serta prakarsa dari Badan Pembentuk
Peraturan Perundang-Undangan memegang peranan yang
sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu
Peraturan Perundang-Undangan baik mengatur hal-hal atau
keadaan yang tidak diatur sebelumnya maupun perubahan atau
penyempurnaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang
telah ada namun tidak sesuai dengan dinamika perkembangan
dalam masyarakat. Selain itu diperlukan juga peran serta
masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan agar terciptanya kestabilan, keteraturan dan
keharmonisan hukum nasional. Yang tidak kalah pentingnya
harus ada integritas serta sikap profesionalitas dari Badan
Peradilan untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena pada hakekatnya keadilan sebagaimana yang
tercantum dalam sila ke 5 Pancasila tidak hanya sebatas
adil/penyamarataan terhadap seluruh rakyat namun lebih
mengacu pada kemampuan menjalankan hak dan kewajiban
secara seimbang baik dalam pemenuhan kebutuhan terhadap
setiap orang sesuai hak masing-masing serta kekuasaan
hukum yang menjamin dan mampu/wajib memberi konsekuensi
sanksi terhadap seluruh para pelanggar hukum sesuai dengan
tingkat kesalahan dalam masyarakat.

1.3.2. Kerangka Konseptual


Tinjauan tentang Asas Legalitas sebagai kepastian
dari berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Indonesia sebagai negara hukum, telah
diundangkan oleh pembentuk undang-undangan sebuah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya
disebut UULAJ), dengan maksud mewujudkan keamanan,
kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan
tentu demi menegakkan kepastian hukum bagi pengguna
jalan. Penerapan kepastian hukum dalam UULAJ dimana
didalamnya juga berlaku asas legalitas agar ditentukan
perbuatan-perbuatan pengguna jalan manakah yang
dapat dipidana.
Dengan adanya pemidanaan pengguna jalan
terkait menyetel dan mendengarkan musik dan merokok,
telah melanggar asas legalitas, karena dalam UULAJ tidak
diatur secara tegas bahkan di penjelasan Pasal 106
UULAJ tidak menyebut unsur tidak terganggu perhatian
karena mendengarkan musik maupun merokok sehingga
menyebabkan pengguna jalan tidak berkonsentrasi dalam
berkendara.
Oleh karena itu demi menegakkan kepastian
hukum, seorang polisi tidak bisa menilang pengguna jalan
dengan mendasarkan pada Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal
283 UULAJ. Karena adanya asas legalitas yang berlaku
bahwa suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu
dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara
tepat dan jelas. Dimana berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana bahwa suatu perbuatan
tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Asas ini memberikan jaminan kepada orang untuk tidak
diperlakukan sewenang-wenang oleh alat penegak hukum.
Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali,
asas yang oleh Anselm Von Feuerbach disebut sebagai
asas legalitas. Dalam hal tidak diaturnya menyetel musik
maupun merokok saat berkendara maka jelas terdapat
kekosongan hukum (rechtsvacuum) bagi pihak aparat
kepolisian untuk memidana orang yang menyetel musik
dan merokok saat berkendara.
Hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi
kekosongan hukum dalam menghadapi dinamika
perkembangan masyarakat, perlunya kebijakan serta
prakarsa dari badan pembentuk peraturan perundang-
undangan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 5,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
memegang peranan sangat penting dalam menciptakan
suatu peraturan baik mengatur hal yang tidak diatur
sebelumnya maupun penyempurnaan perubahan dari
peraturan perundang-undangan yang telah ada namun
tidak sesuai dengan dinamikan perkembangan dalam
masyarakat.
Dalam hal ini adalah menciptakan suatu peraturan
yang tidak diatur sebelumnya (rechtsvinding) oleh Badan
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dengan
melakukan pengundang-undangan hal batasan menyetel
musik dan merokok. Jenis musik seperti apa, volume yang
bagaimana, tingkat peredaman kendaraan yang seperti
bagaimana, hal ini dapat dibuat baik dalam bentuk
peraturan pemerintah ataupun undang-undang yang baru.

Anda mungkin juga menyukai