Anda di halaman 1dari 79

SKRIPSI

UMUR SIMPAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) OLAHAN


DENGAN KEMASAN VAKUM

Oleh :
Berlianto Nugroho
F34102068

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
UMUR SIMPAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) OLAHAN
DENGAN KEMASAN VAKUM

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
BERLIANTO NUGROHO
F34102068

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Berlianto Nugroho. F34102068. Umur Simpan Cumi-cumi (Loligo sp.)
Olahan dengan Kemasan Vakum. Di bawah bimbingan Ir. M. Zein Nasution,
MAppSc. dan Dr. Ir. Endang Warsiki, MT.

RINGKASAN

Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas laut sekitar 5,8 juta km2
yang mempunyai potensi sumber daya perikanan sebesar 6,6 juta ton per tahun.
Cumi-cumi adalah salah satu komoditas perikanan Indonesia yang potensinya
mencapai 28,25 ribu ton pada tahun 2005 (www.dkp.go.id, 2006). Pemanfaatan
cumi-cumi terutama adalah sebagai bahan makanan (seafood). Seperti halnya
produk perikanan lainnya, cumi-cumi mudah mengalami penurunan mutu,
sehingga memerlukan proses pengolahan lanjutan atau langsung diolah untuk
disajikan. Cumi-cumi olahan merupakan salah satu alternatif yang diharapkan
dapat mempertahankan mutu sekaligus memberikan kemudahan konsumsi. Cara
pengolahan ini menghasilkan produk dengan penampakan yang menarik, dan
dengan aroma khas bumbu lokal dengan tetap mempertahankan cita rasa cumi-
cumi itu sendiri. Produk cumi-cumi olahan ini dapat langsung dikonsumsi atau
diolah lagi seperti dikukus, digoreng, dipanggang, atau dibakar. Produk cumi-
cumi siap saji ini memerlukan suatu teknik pengemasan yang dapat menjaga
keawetan produk tersebut. Pengemasan vakum adalah cara yang dipilih untuk
keperluan tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan daya simpan cumi-cumi
olahan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menerapkan teknik kemasan
vakum untuk produk cumi-cumi olahan, menduga umur simpan cumi-cumi olahan
dalam kemasan vakum, dan mengukur kandungan gizi cumi-cumi olahan selama
penyimpanan dalam kemasan vakum.
Penelitian ini dilakukan dengan menyimpan cumi-cumi olahan di dalam
kemasan pada tiga variasi suhu yang berbeda, yaitu 30, 10, dan -15oC. Perlakuan
yang dilakukan adalah dengan mengemas cumi-cumi olahan dengan kemasan
non-vakum, kemasan PP vakum, dan kemasan PE vakum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, cumi-cumi olahan memiliki kadar
air sebesar 72,58%; pH sebesar 6,64; derajat hue sebesar 1,44 untuk bagian luar
dan 1,47 untuk bagian dalam; nilai chroma sebesar 1,19 untuk bagian luar dan
1,11 untuk bagian dalam; nilai kekerasan 6,80/mm.det; kadar protein 14,43%;
kadar lemak kasar 1,70%; kadar fosfor 1,36%; kadar besi 2,32 mg/kg; dan
terdapat total mikroba sebanyak 2,10 – 5,50 x 102 koloni/g.
Selama masa penyimpanan, terjadi perubahan pH, nilai kekerasan, kadar air,
kadar protein, dan pertumbuhan total mikroba. Parameter kritis umur simpan
cumi-cumi olahan adalah adanya pertumbuhan total mikroba.
Berdasarkan analisis mikroba selama penyimpanan di suhu 30oC, batas
umur simpan cumi-cumi olahan dengan kemasan non-vakum, dikemas dengan
kemasan PP vakum dan PE vakum adalah 12 jam untuk tiap perlakuan. Cumi-
cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC memiliki umur simpan 6 hari, 10 hari,
dan 4 hari masing-masing untuk perlakuan dengan kemasan non-vakum,
perlakuan dengan kemasan PP vakum dan kemasan PE vakum. Cumi-cumi olahan
yang disimpan pada suhu -15oC mempunyai umur simpan 4 bulan untuk cumi-
cumi olahan yang dikemas dengan kemasan non-vakum, cumi-cumi olahan
dikemas dengan PP vakum, dan cumi-cumi olahan dikemas dengan kemasan PE
vakum.
Untuk menentukan perlakuan pengemasan terbaik dilakukan dengan
membandingkan biaya produksi dan umur simpan produk. Analisis terhadap biaya
produksi menunjukkan bahwa cumi-cumi dengan kemasan non-vakum
memerlukan biaya yang lebih rendah daripada dengan kemasan vakum dan
memberikan hasil umur simpan yang lebih baik. Dari hasil analisis ini dapat
disimpulkan bahwa kondisi pengemasan terbaik adalah dengan kemasan non-
vakum.
Berlianto Nugroho. F34102068. The Shelf Life of Processed Squid (Loligo sp.)
in the Vacuum Packaging. Supervised by Ir. M. Zein Nasution, MAppSc. and
Dr. Ir. Endang Warsiki, MT.

SUMMARY

Indonesia is an archipelago country with 5.8 million km2 of sea territory,


which own a potential fishery resource. The resources could be estimated at about
6.6 million tons per year. Squid is one of Indonesia fishery resources, which
reached 28.25 thousand tons in year of 2005. The used of squid is usually as
seafood. As any other fishery products, squid can easily decay, thus an advance
processing is necessary. Processed squid, one among various alternatives to
prolong squid shelf life, can be used to maintain the quality of squid and also give
the ease of consumption. The products can directly be consumed, stewed, fried,
roasted, or grilled. A specific packaging technique is needed to improve quality of
this ready food. Vacuum packaging is a technique used to that necessity.
The objective of this study is to obtain the shelf life of processed squid in
different condition of storage. The other objective of this study is to apply the
vacuum packaging technique for processed squid and to estimate the shelf life of
the product in vacuum pack. The quality during storage is measured to know the
decreasing of the nutrition contents of processed squid.
The study was held by keeping the processed squid in vacuum pack at three
different temperatures i.e.: 30, 10, -15oC. There were three type of packaging
methods used in this study, poly propylene vacuum pack, and poly ethylene
vacuum pack. Non vacuum pack is conducted as control.
The result of this study showed that, the processed squid has moisture
content of 72.58%; pH of 6.64; hue degree of 1.44 for outer and 1.47 for inner
surface; chrome value of 1.19 and 1.11 for outer and inner surface respectively;
hardness value of 6.80/mm.sec; protein content of 14.43%; crude fat content of
1.70%; phosphor value of 1.36%; iron content of 2.32 mg/kg. The result also
showed that processed squid has 2.10 – 5.50 x 102 colony/g of total microbe.
During storage, the processed squid has been a change in pH, hardness,
moisture, protein, and total microorganism growth. The critical parameter of
processed squid shelf life was the total microorganism growth. Based on the
microorganism analysis during the storage at temperature of 30oC, the shelf life
limit of processed squid in a non-vacuum pack, poly propylene vacuum pack and
poly ethylene vacuum pack was 12 hours for each treatment. The processed squids
that were kept in 10 oC, has the shelf life of six, ten, and four days for every
treatment of non-vacuum, poly propylene, and poly ethylene vacuum pack,
respectively. The processed squids that were kept at the temperature of -15oC, has
the shelf life of four months for every treatment of non-vacuum pack, poly
propylene vacuum pack, and poly ethylene vacuum pack.
To determine the best packing treatment, production cost and product shelf
life were compared. The analysis of production cost showed that the squid packed
with non-vacuum pack has lower cost than the vacuum packed squid and has
given the better shelf life for the squid. The use of vacuum technique obviously
could increase the cots; however the technique was really increase shelf life of the
product. With in cost consideration, the study concludes that the best packaging
technique for the processed squid was with non-vacuum pack.
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UMUR SIMPAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) OLAHAN


DENGAN KEMASAN VAKUM

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
BERLIANTO NUGROHO
F34102068

Dilahirkan pada tanggal 10 Desember 1983 di Jakarta


Tanggal lulus: 28 April 2007

Menyetujui,
Bogor, Mei 2007

Ir. M. Zein Nasution, MAppSc. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT.


Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Umur


Simpan Cumi-cumi (Loligo sp.) Olahan dengan Kemasan Vakum” adalah
karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali
dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, 19 April 2007


Yang Membuat Pernyataan

Nama : Berlianto Nugroho


NRP : F34102068
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1983. Penulis merupakan anak


ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Kusnadi dan Ibu Supadmi (almh.).
Pada tahun 1988 penulis memulai pendidikan di TK Angkasa III Halim Perdana
Kusuma. Tahun 1990 penulis memasuki jenjang pendidikan dasar di SD Angkasa
III Halim Perdana Kusuma dan lulus tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan
di SLTPN 128 Halim Perdana Kusuma dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun
yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 67 Halim Perdana
Kusuma dan lulus pada tahun 2002.
Penulis melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi Indsutri
Pertanian, Fakulatas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun
2002 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan tinggi, penulis terlibat
aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai staff Divisi Media Islami Forum
Bina Islami (FBI) Fateta (2003-2004), Wakil Ketua UKM Thifan Po Khan IPB
(2003-2004), staff Divisi Public Relation FBI-Fateta (2004-2005), Ketua UKM
Thifan Po Khan IPB (2004-2005), dan Dewan Penasehat FBI-Fateta (2005-2006).
Penulis juga sempat menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam pada
tahun 2004, dan asisten praktikum Peralatan Industri Pertanian pada tahun 2006.
Pada tahun 2005, penulis melaksanakan Praktek Lapang (PL) di PT PG
Rajawali II Unit PG Subang dengan judul “Teknologi Produksi Gula di PT PG
Rajawali II Unit PG Subang”. Sebagai pelaksanaan tugas akhir, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Umur Simpan Cumi-cumi (Loligo sp.)
Olahan dengan Kemasan Vakum” di Laboratorium Pengemasan Departemen
Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan
segala nikmat, petunjuk, kehendak, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyajikan hasil penelitan penulis dalam bentuk skripsi ini. Shalawat serta salam
tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW, beserta keluarga
dan para sahabat beliau, dan seluruh pengikut beliau yang memegang teguh ajaran
beliau.
Skripsi ini dituliskan untuk menerangkan hasil penelitian penulis mengenai
umur simpan produk makanan laut, yaitu cumi-cumi. Cumi-cumi merupakan hasil
perikanan yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Pengolahan hasil perikanan
ini biasanya dalam bentuk seafood yang banyak dijual di rumah makan ataupun
restoran. Selama ini belum ada bentuk pengolahan yang dapat membuat makanan
laut ini mempunyai umur simpan yang cukup lama. Pun belum banyak dilakukan
pengemasan makanan laut (seafood) dengan pengemasan vakum. Penulis
mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana pengemasan
vakum memberikan dampak terhadap umur simpan cumi-cumi yang sudah diolah
ini. Hasil terhadap penelitian itulah yang ditulis dalam bentuk skripsi ini.
Penulis sadar, bahwa usaha penulis dari saat akan memulai penelitian
hingga tertuliskannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Ir. M. Zein Nasution, MAppSc selaku pembimbing pertama penulis atas
segala arahan dan bimbingan baik selama penulis kuliah di kampus IPB
2. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT selaku pembimbing kedua penulis atas segala
arahan, bimbingan, dan dorongan selama penulis melakukan penelitian dan
menyusun skripsi ini
3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi selaku dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran terhadap isi skripsi ini
4. Bapak dan kedua kakak penulis yang telah banyak memberikan nasehat,
dorongan, doa, dan kasih sayang
5. Kurnia Meirina rekan penelitian sekaligus sebimbingan serta rekan satu
bimbingan yang lain, Yuli Handayani, yang telah banyak membantu penulis
selama pengerjaan tugas akhir ini
6. PT AGFI yang berkenan memberikan topik permasalahan ini untuk menjadi
bahan penelitian penulis, khususnya Pak Johan dan Mbak Wiwit yang telah
banyak membantu penulis selama penelitian
7. Teman-teman di laboratorium selama penelitian: Herry, Tarwin, Dodi, Arban,
Anna, Fifi, Firda, Maria Ulfah, Evi, Asti, Desi, Vivi, dan Veni yang telah
banyak membantu penulis saat menjalani masa-masa penelitian
8. Teman-teman TIN 39 atas segala bantuan dan dorongan kepada penulis
selama menjalani masa kuliah di TIN
9. Seluruh pengajar, karyawan, laboran, dan tenaga penunjang di lingkungan
Departemen TIN atas segala bantuan yang sudah diberikan kepada penulis
selama penulis menempuh studi di TIN
10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu di sini. Semoga
Allah membalas kebaikan kalian dengan kebaikan yang lebih baik lagi.

Bersama kata pengantar ini penulis juga meminta saran dan kritikan dari
para pembaca sebagai perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini
memberikan manfaat bagi para pembaca.

Bogor, April 2007


Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................................iii
DAFTAR TABEL .........................................................................................v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vii
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................... 1
1.2. TUJUAN ........................................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
2.1. CUMI-CUMI .................................................................................. 4
2.2. PENGEMASAN VAKUM .............................................................6
2.3. KEMASAN PLASTIK ................................................................... 8
2.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN .................................................. 11
III. METODOLOGI ......................................................................................14
3.1. ALAT DAN BAHAN .................................................................... 14
3.2. METODE PENELITIAN ............................................................... 14
3.2.1. Penentuan sifat fisis mekanis plastik pengemas ...................... 14
3.2.2. Pengolahan cumi-cumi ............................................................ 14
3.2.3. Karakterisasi awal cumi-cumi ................................................. 15
3.2.4. Penyimpanan cumi-cumi olahan ............................................. 15
3.2.5. Analisa perubahan mutu selama penyimpanan ....................... 16
3.2.6. Analisis biaya .......................................................................... 16
3.2.7. Penentuan kondisi pengemasan-penyimpanan terbaik ............ 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 18
4.1. SIFAT FISIS MEKANIS PLASTIK PENGEMAS ....................... 18
4.2. KARAKTERISASI AWAL CUMI-CUMI .................................... 19
4.2.1. Nilai pH ................................................................................... 19
4.2.2. Warna .......................................................................................19
4.2.3. Kekerasan .................................................................................20
4.2.4. Kadar Air ................................................................................. 21
4.2.5. Kadar Protein .......................................................................... 22
4.2.6. Kadar Lemak ........................................................................... 23
4.2.7. Kadar Fosfor ........................................................................... 24
4.2.8. Kadar Besi ............................................................................... 25
4.2.9. Uji Mikroba ............................................................................. 26
4.3. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN ....................27
4.3.1. Perubahan pH ......................................................................... 27
4.3.2. Kekerasan ................................................................................ 31
4.3.3. Pertumbuhan Total Mikroba ....................................................34
4.3.4. Analisa Proksimat setelah Penyimpanan ................................. 38
4.3.4.1. Kadar Air ......................................................................... 38
4.3.4.2. Kadar Protein ................................................................... 41
4.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN ................................................... 44
4.5. ANALISIS BIAYA ........................................................................ 46
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 47
5.1. KESIMPULAN .............................................................................. 47
5.2. SARAN .......................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 49
LAMPIRAN ................................................................................................. 52
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Pertumbuhan nilai ekspor cumi-cumi ........................................... 2
Tabel 2.1. Komposisi cumi-cumi per 100 gram ............................................. 6
Tabel 2.2. Daya tembus plastik terhadap N2, O2, CO2, dan H2O ................... 9
Tabel 2.3. Ketahanan plastik terhadap bahan-bahan kimia ........................... 10
Tabel 2.4. Ketahanan plastik terhadap O2, SO2, dan H2O pada suhu 25oC.... 11
Tabel 3. Frekuensi pengujian terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan
16
pada variasi suhu yang berbeda ....................................................
Tabel 4.1. Sifat fisis-mekanis plastik polypropylene dan polyethylene ......... 18
Tabel 4.2. Warna sampel dalam derajat hue .................................................. 20
Tabel 4.3. Hasil uji mikroba pada cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan 27
Tabel 4.5. Umur simpan cumi-cumi olahan pada tiap perlakuan .................. 46
Tabel 4.6. Perbandingan biaya dan umur simpan cumi-cumi olahan ............ 46
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2. Bagian tubuh cumi-cumi ........................................................... 5
Gambar 3. Diagram alir penelitian .............................................................. 17
Gambar 4.1. Nilai pH cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan .................... 19
Gambar 4.2. Nilai kekerasan cumi-cumi segar dan olahan ............................ 21
Gambar 4.3. Kadar air cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan ................... 21
Gambar 4.4. Kadar protein cumi-cumi segar dan olahan .............................. 22
Gambar 4.5. Kadar lemak cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan .............. 24
Gambar 4.6. Kadar fosfor cumi-cumi segar dan olahan ................................ 25
Gambar 4.7. Kadar besi cumi-cumi segar dan olahan ................................... 26
Gambar 4.8. Grafik perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 30±2oC .... 29
Gambar 4.9. Grafik perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 10±2oC .... 29
Gambar 4.10. Grafik perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu -15±5oC .. 30
Gambar 4.11. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu
30±2oC ....................................................................................... 31
Gambar 4.12. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu
10±2oC ....................................................................................... 32
Gambar 4.13. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu
-15±5oC ..................................................................................... 34
Gambar 4.14. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu
30±2oC ....................................................................................... 35
Gambar 4.15. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu
10±2oC ....................................................................................... 36
Gambar 4.16. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu
-15±5oC ..................................................................................... 37
Gambar 4.17. Kadar air selama penyimpanan pada suhu 30±2oC ..................... 38
Gambar 4.18 Kadar air selama penyimpanan pada suhu 10±2oC ..................... 39
Gambar 4.19 Kadar air selama penyimpanan pada suhu -15±5oC ................... 40
Gambar 4.20 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu 30±2oC ............. 42
Gambar 4.21 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu 10±2oC ............. 43
Gambar 4.22 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu -15±5oC ............ 43
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Prosedur analisa sifat fisis-mekanis bahan kemasan ............ 52
Lampiran 2. Prosedur analisa karakterisasi mutu cumi-cumi segar dan
cumi-cumi olahan .................................................................. 53
Lampiran 3. Rekapitulasi analisis ragam nilai pH ..................................... 58
Lampiran 4. Diagram warna ...................................................................... 59
Lampiran 5. Warna sampel dalam derajat hue .......................................... 60
Lampiran 6. Rekapitulasi analisis ragam nilai kekerasan ......................... 61
Lampiran 7. Rekapitulasi analisis ragam kadar air ……………...……… 62
Lampiran 8. Rekapitulasi analisis ragam kadar protein ............................ 63
Lampiran 9. Rekapitulasi analisis ragam kadar lemak .............................. 64
Lampiran 10. Kurva standar fosfat ……………………………………….. 65
Lampiran 11. Rekapitulasi analisis ragam kadar fosfor ............................ 66
Lampiran 12. Rekapitulasi analisis ragam kadar besi ............................... 67
I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi


sumber daya kelautan yang besar. Wilayah daratan Indonesia seluas 1,9 juta km2
tersebar pada sekitar 17.500 buah pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas
(sekitar 5,8 juta km2). Panjang garis pantai yang mengelilingi daratan tersebut
adalah sekitar 81.000 km, yang merupakan garis pantai tropis terpanjang atau
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Dahuri, 2003).
Perairan Indonesia diperkirakan mempunyai potensi sumber daya perikanan
sebesar 6,6 juta ton per tahun. Dari potensi perikanan yang begitu besar tersebut,
hanya 38 persen yang digunakan untuk keperluan konsumsi dan ekspor. Sumber
daya perairan laut tersebut terdiri atas ikan pelagis besar sebanyak 1,65 juta ton,
ikan pelagis kecil 3,6 juta ton, ikan karang 145 ribu ton, udang paneid 94,8 ribu
ton, lobster 4,8 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton (Dahuri, 2004).
Potensi cumi-cumi ini cukup besar melihat kecenderungan pangan dunia
yang berkembang ke arah cara makan (diet) yang sehat. Cumi-cumi mengandung
asam lemak tidak jenuh seperti EPA dan DHA yang diyakini mampu mengurangi
resiko penyumbatan pembuluh darah, stroke, dan penyakit jantung. Potensi cumi-
cumi di perairan Indonesia sendiri diperkirakan 28.250 ton per tahun, dengan
tingkat produksi sebesar 21.390 ton per tahun (Dahuri, 2003).
Potensi besar ini juga dapat dilihat dari data nilai ekspor cumi-cumi. Nilai
ekspor binatang laut yang dikelompokkan ke dalam hewan yang memiliki kaki di
kepala ini (keluarga chephalopoda) selama lima tahun terakhir terus meningkat.
Eskpor cumi-cumi yang pada tahun 2001 mencapai 13 ribu ton lebih (senilai US$
22 ribu) nilai produksi ekspornya menunjukkan peningkatan yang cukup tajam
pada tahun 2005. Tahun 2005 lalu jumlahnya berlipat menjadi 25 ribu ton lebih
(senilai lebih dari US$ 42 ribu). Peningkatan nilai ekspor ini ternyata masih jauh
lebih kecil dari kebutuhan cumi-cumi di pasar dunia. Di Amerika tahun 2005 lalu
membutuhkan 640 ribu ton cumi-cumi. Di saat yang sama Jepang membutuhkan
580 ribu ton, sementara produksi dalam negerinya hanya mampu menghasilkan
sekitar 200 ribu ton saja (www.dkp.go.id, 2006). Pertumbuhan ekspor cumi-cumi
dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Pertumbuhan nilai ekspor cumi-cumi


Tahun Nilai (US$)
2001 21.975
2002 20.397
2003 25.109
2004 32.091
2005 42.380
Sumber: Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan,DKP

Pemanfaatan cumi-cumi terutama adalah sebagai bahan makanan (seafood),


seperti cumi bakar, kering cumi, dan berbagai macam hidangan seafood lainnya.
Selain bahan makanan, limbah cumi-cumi berguna sebagai sumber khitosan.
Seperti halnya produk perikanan lainnya, cumi-cumi mudah mengalami
penurunan mutu, sehingga memerlukan proses pengolahan lanjutan atau langsung
diolah untuk disajikan. Pengolahan lanjutan untuk mempertahankan mutu cumi-
cumi yang biasa dilakukan adalah dengan pengeringan, pengasapan, dan
pembekuan. Jenis pengolahan ini memerlukan pengolahan lanjutan untuk dapat
dikonsumsi manusia.
Dari cara-cara yang ada untuk mengurangi kerugian fisik, gizi, dan ekonomi
belum ada cara pengolahan yang praktis yang dapat mengakomodasi dua tujuan;
(i) mempertahankan mutu dan (ii) kemudahan konsumsi. Cumi-cumi olahan
merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat mengakomodasi dua tujuan
tersebut. Cara pengolahan cumi-cumi olahan ini menghasilkan produk dengan
penampakan yang menarik dan dengan aroma khas bumbu lokal, dengan tidak
menghilangkan cita rasa cumi-cumi itu sendiri. Produk cumi-cumi olahan dapat
langsung dikonsumsi atau diolah lagi seperti dikukus, digoreng, dipanggang, atau
dibakar. Produk cumi-cumi olahan ini juga diharapkan mempunyai daya tahan
yang cukup lama sehingga dapat didistribusikan ke tempat yang cukup jauh,
sehingga memerlukan suatu teknik pengemasan yang dapat menjaga keawetan
produk tersebut. Pengemasan vakum adalah teknik pengemasan yang dipilih
untuk keperluan tersebut.
Teknik pengemasan vakum dilakukan dengan menurunkan kandungan udara
di dalam kemasan, termasuk di dalamnya oksigen. Pengemasan vakum terbukti
mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba inilah yang
menjadi salah satu penyebab utama penurunan mutu produk makanan, terutama
produk hasil perikanan.

1.2. TUJUAN

Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan daya simpan cumi-cumi


olahan dengan tetap mempertahankan nilai gizi, sedangkan tujuan khusus
penelitian ini adalah :
1. Menerapkan teknik kemasan vakum untuk produk cumi-cumi olahan
2. Menentukan umur simpan cumi-cumi olahan dalam kemasan vakum
3. Mengukur kandungan gizi cumi-cumi olahan selama penyimpanan dalam
kemasan vakum
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. CUMI-CUMI

Cumi-cumi (Loligo sp.) termasuk dalam kelas Cephalopoda (Buchsbaum,


1948). Klasifikasi cumi-cumi selengkapnya adalah (Kreuzer, 1984)
Phylum : Mollusca
Kelas : Cephalopoda
Ordo : Teuthoidea
Subordo : Myopsida
Famili : Loliginidae
Genus : Loligo sp., Ommastrephes sp., Todarodes sp., Illex
illecebrosus
Walaupun termasuk phylum moluska, cumi-cumi tidak seperti jenis-jenis moluska
lainnya. Cumi-cumi, sotong, dan gurita tidak memiliki cangkang luar. Cumi-cumi
memiliki kerangka tipis dan bening yang terdapat di dalam tubuhnya (Dahuri,
2003).
Tubuh cumi-cumi berbentuk kerucut dilapisi otot mantel berwarna putih
dengan sirip berbentuk segi tiga pada bagian punggung. Pada ujung mantel bagian
perut terbuka dan disebut “collar” dihubungkan dengan ujung leher oleh semacam
tulang rawan sehingga memungkinkan efektifitas penutupan rongga mantel.
Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantung tinta yang terdapat
di atas usus besar yang bermuara di dekat anus sebagai benteng pertahanan dan
perlawanan yang akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam
ketika diserang musuh sehingga membentuk awan berwarna hitam di
sekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari predator lain
(Johnson et al, 1977). Gambar bagian tubuh cumi-cumi dapat dilihat pada Gambar
2.
Gambar 2. Bagian tubuh cumi-cumi (www.e-dukasi.net)

Cumi-cumi (Loligo sp.) tidak seperti binatang bilateral lainnya yang


memanjang anteroposterior, sumbu panjang tubuh cumi-cumi memanjang
dorsoventral. Cumi-cumi berenang dengan permukaan ventral yang maju
sedangkan permukaan dorsal ada di bagian belakang, permukaan anterior di atas
dan posterior di bawah (Buchsbaum, 1948).
Cumi-cumi (Loligo sp.) mempunyai kandungan protein yang tinggi dan
kandungan lemak yang rendah. Kandungan protein, lemak dan komponen-
komponen lainnya dari tubuh cumi-cumi dalam 100 gram bahan dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Komposisi cumi-cumi per 100 gram
Komposisi Satuan Jumlaha Jumlahb
Energi Kalori 75
Kadar air gram 82,0 81,8
Protein gram 15,3 15,6
Lemak gram 0,8 1,0
Kadar abu gram 1,2 1,5
Karbohidrat gram 0,7
Kalsium mg 15 18
Phospor mg 194 170
Besi mg 1,0 0,2
Natrium mg 176 200
Kalium mg 266 290
Retinol mg 15
Tiamin mg 0,03
Riboflavin mg 0,008
Niasin mg 32
Sumber: aFAO (1972)
b
Okuzumi dan Fujii (2000)

2.2. PENGEMASAN VAKUM

Tujuan dari pengemasan pangan adalah untuk melindungi produk dari


lingkungan sekitarnya dalam rangka peningkatan mutu simpan. Menurut Buckle
et al (1988), pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan lima fungsi-fungsi
utama :
1) Harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya
2) Harus memberikan perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan
fisik, air, oksigen dan sinar
3) Harus berfungsi secara benar, efisien dan ekonomis dalam proses
pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan ke dalam kemasan. Hal
ini berarti bahan pengemas harus sudah dirancang untuk siap pakai pada
mesin-mesin yang ada atau yang baru akan dibeli atau disewa untuk
keperluan tersebut
4) Harus mempunyai suatu tingkat kemudahan untuk dibentuk menurut
rancangan, di mana bukan saja memberi kemudahan pada konsumen
misalnya kemudahan dalam membuka atau menutup kembali wadah
tersebut, tetapi juga harus dapat mempermudah pada tahap selanjutnya
selama pengolahaan di gudang dan selama pengangkutan untuk distribusi.
Terutama harus dipertimbangkan dalam ukuran, bentuk dan berat dari unit
pengepakan
5) Harus memberi pengenalan, keterangan dan daya tarik penjualan. Unit-unit
pengepakan yang dijual harus dapat menjual apa yang dilindunginya dan
melindungi apa yang dijual.

Sistem pengemasan dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) yang
dilakukan dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan (Syarief dan Halid., 1989),
dikenal sebagai kemasan vakum. Kemasan vakum dibuat dengan memasukkan
produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian
ditutup dan setelah itu plastik kemasan direkatkan dengan panas (Jay, 2000).
Proses pengvakuman dalam kemasan bertujuan untuk menurunkan
kandungan udara di dalam kemasan, termasuk oksigen. Kandungan oksigen yang
rendah terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Petersen et.
al. (1999) rendahnya oksigen yang terdapat dalam kemasan mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan mikroba seperti Pseudomonas, Moraxella,
Acinetobacter, Flavobacterium dan Cytophaga.
Ketersediaan oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.
Kapang bersifat aerobik sedangkan sebagian besar khamir bersifat aerobik
fakultatif. Bakteri sendiri ada yang bersifat aerobik maupun anaerobik.
Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, mikroorganisme dapat dibedakan atas tiga
grup (Fardiaz dan Haryadi, 1997), yaitu:
• aerob : hanya dapat tumbuh jika terdapat oksigen di
lingkungannya
• anaerob : tidak memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya,
terhambat dan sangat sensitif dengan adanya oksigen
• anaerob fakultatif : dapat tumbuh tanpa atau dengan adanya oksigen.
Khusus untuk produk-produk perikanan, Saccharow dan Griffin (1980)
menjelaskan bahwa bahan pengemas harus dapat (i) mengurangi oksidasi lemak;
(ii) mengurangi dehidrasi; (iii) menekan kerusakan akibat bakteri dan bahan
kimia; (iv) menghilangkan tetesan; dan (v) mencegah penyebaran bau.

2.3. KEMASAN PLASTIK

Bahan plastik mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam daya tembusnya


terhadap gas seperti nitrogen, oksigen, belerang oksida dan uap air. Karena fungsi
bahan pengemas dalam menurunkan tingkat pembusukan dari beberapa bahan
pangan sangat erat hubungannya dengan penembusan gas, baik ke dalam maupun
ke luar dari kemasan, keterangan mengenai daya tembus kemasan sangat penting
dalam penelitian pengawetan. Sifat-sifat daya tembus dipengaruhi oleh suhu,
ketebalan lapisan, orientasi dan komposisi, kondisi atmosfer (seperti RH, untuk
pemindahan uap air) dan faktor lainnya (Buckle et al, 1988).
Polyethylene (PE) merupakan plastik tipis berlapis tunggal yang banyak
digunakan dalam industri pengemasan fleksibel. Kemasan HDPE (High Density
Polyethylene) merupakan salah satu jenis plastik yang populer di kalangan
masyarakat. Plastik ini dihasilkan pada tekanan dan suhu rendah (50 – 70oC),
tahan terhadap suhu 120oC, kedap air dan kedap udara (Syarief dan Halid, 1989).
Menurut Buckle et. al. (1987), plastik HDPE mampu memberikan perlindungan
terbaik terhadap air (uap air), lemak serta asam dan basa.
Di dalam Buckle et. al. (1988), Polypropylene lebih kaku, kuat dan ringan
daripada polyethylene dengan daya tembus uap air yang rendah, ketahanan yang
baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap. Plastik
tipis yang tidak mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap
suhu tetapi bukan penahan gas yang baik.
Menurut Saccharow dan Griffin (1980), pada umumnya plastik yang
digunakan untuk pengemasan vakum segar adalah polyvinyledene chlorida
(PVDC). Plastik ini memiliki karakteristik permeabilitas oksigen yang rendah dan
tidak mudah mengkerut. Kemampuan barrier yang tinggi terhadap oksigen seperti
PVDC diperlukan untuk teknik penyimpanan vakum. Plastik lain yang bisa
digunakan adalah PVDC-cellophane, polyethyelne, polypropylenes atau polyester.

Tabel 2.2. Daya tembus plastik terhadap N2, O2, CO2 dan H2O
Daya tembus (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010
Plastik tipis H2O
N2 O2 CO2 (25oC,
(suhu 30oC)
RH 90%)
Polyethylene (kerapatan rendah) 19 55 352 800
Polyethylene (kerapatan tinggi) 2,7 10,6 35 130
Polystyrene 2,9 11,0 88 12000
Polyamide (nylon 6) 0,1 0,38 1,6 7000
Polypropylene - 23,0 92 680
Polyvinyl chlorida (rigid) 0,4 1,2 10 1560
Polyester (mylar) 0,05 0,22 1,53 1300
Polyvinylidene chlorida 0,0094 0,053 0,29 14
Rubber hydrochloride (pliofilm 0,08 0,3 1,7 240
NO)
Polyvinyl acetat - 0,5 - 100000
Ethyl cellulosa 84 265 2000 130000
Cellulose acetat 2,8 7,8 68 75000
Sumber: Buckle et. al. (1988)

Nilai-nilai pada Tabel 2.2 di atas menunjukkan daya tembus gas N2, O2,
CO2, dan H2O terhadap berbagai jenis plastik. Semakin besar nilai yang
ditunjukkan berarti semakin besar pula daya tembus gas tersebut terhadap plastik.
Daya tembus gas yang besar pada suatu plastik menunjukkan bahwa plastik
tersebut bukanlah barrier yang baik terhadap gas yang dimaksud. Daya tembus
gas dan uap air berbanding terbalik dengan densitas plastik. Semakin besar
densitas plastik, maka daya tembus gas dan uap air terhadap plastik tersebut
semakin kecil.
Tabel 2.3. Ketahanan plastik terhadap bahan-bahan kimia
Ketahanan terhadap
Bahan plastik
Lemak dan minyak Pelarut organik Air Asam Basa
Cellophan biasa (plain) Tak tembus (impermeable) Tak larut Sedang Asam-asam lemah Basa-basa lemah
sampai kuat sampai kuat
Berlapis NC (NC coated) Tak tembus Lapisan terserang Sedang Asam-asam lemah Basa-basa lemah
sampai kuat sampai kuat
Berlapis saran (saran Tak tembus - - Sangat baik kecuali Baik kecuali
coated) H2SO4 & HNO3 amonia
Berlapis polyethylene Seperti polyethylene Seperti polyethylene - Sangat baik Sangat baik
Cellulosa asetat Baik Larut kecuali dalam - Asam-asam lemah Basa-basa lemah
hidrokarbon sampai kuat sampai kuat
Polyamide (Nylon 6) Sangat baik Sangat baik Sangat baik Jelek Sangat baik
Polyethylen dengan
- kerapatan (density) Dapat sedikit menggembung Baik kecuali pelarut-pelarut Sangat baik Sangat baik Sangat baik
rendah pada perendaman yang lama hidrokarbon yang
mengandung khlor
- kerapatan sedang Baik Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik
- Kerapatan tinggi Sangat baik Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik
Polyester (mylar, scotch, Sangat baik sangat baik Sangat baik Baik Baik
pak, videne)
Polystirene (oriented) Baik Sangat baik sampai jelek Sangat baik Baik Sangat baik
Rubber hydrochloride Sangat baik Baik kecuali dalam larutan Sangat baik Baik Baik
(Pliofilm) hidrokarbon yang
mengandung khlor
(chlorinated)
Vinylidene Cryovac Sangat baik Baik sampai sangat baik Sangat baik Sangat baik Baik kecuali
amonia
Saran Sangat baik Baik sampai sangat baik Sangat baik Sangat baik kecuali Baik kecuali
H2SO4 & HNO3 amonia
Vinyl chloride Sedang sampai baik Jelek sampai baik Sangat baik Baik Baik
Sumber: Buckle et. al. (1988)
Tabel 2.4. Daya tembus plastik terhadap O2, SO2 dan H2O pada suhu 25oC
Daya tembus (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010
Plastik tipis Ketebalan
2
O2 SO2 H2O*
(mm x 10 )
Polyethylene (kerapatan rendah) 3,8 30,9 193 876
Polyethylene (kerapatan tinggi) 2,1 10,5 56,8 305
Polycarbonate 2,5 15,4 210 >10000
Polystyrene 3,8 18,8 220 9280
Polyamide (nylon 11) 4,1 1,40 21,6 2940
Polypropylene 2,5 6,81 7,13 303
Polyvinyl chloride (rigid) 14,5 0,667 1,16 2540
Polyester 1,3 0,339 2,01 1560
PVDC/polypropylene/PVDC 2,8 0,0697 0,103 212
PVDC/regenerated cellulose/PVDC 2,6 0,0398 0,374 202
* Diukur terhadap RH 75%
Sumber: Buckle et. al. (1988)

2.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN

Istilah umur simpan secara umum mengandung pengertian tentang waktu


antara saat produk mulai dikemas atau diproduksi sampai dengan mutu produk
masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Floros (1993) menyatakan bahwa
umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam kondisi
penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu
tertentu.
Floros (1993) lebih lanjut menyatakan umur simpan produk pangan dapat
diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluwarsanya dengan menggunakan
dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage
Studies (ESS) dan Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). ESS yang sering juga
disebut sebagai metoda konvensional adalah penentuan tanggal kadaluwarsa
dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan
dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat
mutu kadaluarsa. Penentuan umur simpan produk dilakukan dengan mengamati
produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat lagi
diterima oleh konsumen.
Asumsi dasar yang mendasari pengujian dengan metode ASLT adalah
bahwa prinsip kinetika kimia dapat diaplikasikan untuk mengukur efek yang
disebabkan oleh faktor eksternal seperti temperatur, kelembaban, cahaya dan
atmosfer gas yang mempengaruhi tingkat kerusakan. Metode ASLT dilakukan
dengan memberikan perlakuan terhadap makanan pada lingkungan terkendali di
mana satu atau lebih faktor eksternal ditetapkan pada tingkat yang lebih tinggi
dari keadaan normal, tingkat kerusakan akan semakin cepat atau terakselerasi,
menghasilkan waktu yang lebih singkat hingga produk rusak. Karena efek dari
faktor eksternal yang menyebabkan kerusakan dapat diukur, besar akselerasi dapat
dihitung dan umur produk sebenarnya di bawah kondisi normal juga dapat
dihitung (Robertsen, 1993).
Salah satu faktor eksternal yang sering digunakan sebagai acuan untuk
pendugaan umur simpan adalah suhu. Pengaruh suhu pada tingkat reaksi
dijelaskan melalui persamaan Arrhenius (Syarief dan Hariyadi, 1993):

k = ko e-E/RT

di mana k adalah konstanta penurunan mutu; ko merupakan konstanta tidak


terpengaruh suhu; E adalah energi aktivasi; R adalah konstanta gas (1,986
kal/mol); dan T adalah suhu mutlak.
Parameter lain yang sering digunakan untuk menjelaskan hubungan antara
suhu dan konstanta tingkat reaksi menurut Singh (1994) adalah dengan Q10. Q10
didefinisikan sebagai berikut:

tingkat reaksi pada suhu (T + 10) C


o
Q10 =
tingkat reaksi pada suhu T o C

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang


dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme
berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan
kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan
dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan
kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum
digunakan, serta kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya
air, gas, dan bau termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat
(Labuza, 1982).
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya awet bahan pangan yang telah
dikemas adalah :
1) Sifat alamiah dari bahan pangan dan mekanisme di mana bahan ini
mengalami kerusakan, misalnya kepekaannya terhadap kelembaban dan
oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik
di dalam bahan pangan
2) Ukuran bahan pengemas sehubungan dengan volume bahan yang dikemas
3) Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) di mana kemasan
dibutuhkan untuk melindungi selama pengangkutan dan sebelum digunakan.
4) Ketahanan bahan pengemas secara keseluruhan terhadap air, gas atmosfer
dan bau, termasuk ketahanan dari tutup, penutupan dan lipatan.
Pengaruh kadar air dan aktivitas air (water activity) sangat penting sekali
dalam menentukan daya awet dari bahan pangan, karena keduanya mempengaruhi
sifat-sifat fisik (misalnya pengerasan, pengeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia,
perubahan-perubahan kimia (misalnya pencoklatan), kebusukan oleh
mikroorganisme, dan perubahan enzimatis, terutama pada bahan-bahan pangan
yang tidak diolah (Buckle et. al., 1988).
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. ALAT DAN BAHAN

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah cumi-cumi (Loligo
sp) segar dan cumi-cumi olahan yang diperoleh dari salah satu rumah makan di
Bogor. Keperluan lainnya adalah bahan kimia yang digunakan untuk analisis
seperti HNO3, H2SO4 pekat, HCl 0,02 N, NaOH 50%, NaOH 0,02 N, hexan, Plate
Count Agar (PCA), dan pereaksi Vanadat-Molibdat. Bahan kemasan yang
digunakan terdiri dari plastik HDPE tebal, PP tebal, dan PE campuran.
Peralatan penelitian yang digunakan adalah timbangan analitik, oven,
inkubator, referigerator, freezer, pH meter, penetrometer, Color Measuring
Digital Display System, destruktor, erlenmeyer, tabung reaksi, autoclave,
spektrofotometer, blender, gelas piala, pipet, buret, cawan porselen, dan alat-alat
gelas lainnya.

3.2. METODE PENELITIAN

3.2.1. Penentuan sifat fisis mekanis plastik pengemas

Sifat fisis mekanis plastik pengemas dianalisis untuk memberikan gambaran


awal mengenai plastik yang digunakan untuk mengemas cumi-cumi olahan yang
digunakan dalam penelitian ini. Adapun sifat-sifat tersebut meliputi ketebalan,
gramatur, dan densitas. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

3.2.2. Pengolahan cumi-cumi

Pembuatan cumi-cumi olahan dilakukan dengan membersihkan cumi-cumi


dari kotoran sebagai tahap awal pengolahan. Sebagai persiapan untuk tahap
pengolahan selanjutnya ialah dengan menyiapkan bumbu halus, yaitu kemiri yang
dihaluskan. Selain bumbu halus, bumbu kering yang terdiri dari bawang merah,
bawang putih, garam, kunyit, cabai merah dan santan juga disiapkan. Pengolahan
cumi-cumi olahan dilakukan dengan memasak cumi-cumi bersama dengan bumbu
halus, bumbu kering, dan air yang dimasukkan ke dalam wajan. Pengolahan
dilakukan dengan menggunakan api kecil selama ±5 menit. Setelah 5 menit cumi-
cummi diangkat dan ditiriskan. Air bumbu yang tersisa dipanaskan hingga kental.
Setelah air bumbu kental dan mengering, cumi-cumi dimasukkan kembali ke
dalam wajan untuk kemudian diaduk bersama bumbu hingga rata.

3.2.3. Karakterisasi awal cumi-cumi

Karakterisasi cumi-cumi bertujuan untuk mengetahui kondisi awal cumi-


cumi sebagai acuan untuk mengetahui perubahan mutu cumi selama
penyimpanan. Ada dua macam cumi-cumi yang dianalisis dalam penelitian ini,
yaitu cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan. Uji-uji yang dilakukan terhadap
cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan adalah sebagai berikut.
i. Cumi-cumi segar
Dalam penelitian ini, cumi-cumi segar dianalisis kadar air, kadar protein,
kadar lemak, kadar fosfor, kadar besi, total mikroba, tekstur, pH, dan warna.
Metode analisis karakterisasi cumi-cumi segar disajikan pada Lampiran 2.
ii. Cumi-cumi olahan
Cumi-cumi segar setelah diolah (dimasak) kembali dianalisis untuk
mengetahui kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar fosfor, kadar besi, total
mikroba, tekstur, pH, dan warna. Metode analisis karakterisasi cumi-cumi olahan
disajikan pada Lampiran 2.

3.2.4. Penyimpanan cumi-cumi olahan

Cumi-cumi olahan disimpan dengan tiga jenis kemasan yang berbeda dalam
tiga variasi suhu. Jenis kemasan pertama adalah kemasan non-vakum dengan jenis
plastik yang digunakan adalah high density polyethylene (HDPE). Jenis kemasan
kedua adalah kemasan vakum dengan plastik pengemasnya berjenis
polypropylene. Jenis kemasan ketiga adalah kemasan vakum dengan plastik
pengemasnya adalah polyethylene campuran nylon 1,5/PE 15/LLDPE 40. Cumi-
cumi dalam kemasan ini kemudian disimpan sampai diperkirakan mutu cumi-
cumi tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Variasi suhu penyimpanan dilakukan
pada suhu -15, 10, dan 30 oC dengan dua kali ulangan.
Perkiraan suhu penyimpanan yang digunakan oleh konsumen menjadi dasar
penggunaan tiga variasi suhu ini. Suhu 30 oC diperkirakan merupakan suhu di
mana knsumen menyimpan cumi-cumi olahan dalam ruang tanpa pendingin. Suhu
10 oC merupakan rata-rata suhu referigerator (kulkas) tempat konsumen biasa
menyimpan bahan makanan untuk jangka waktu cukup lama (menengah).
Penggunaan suhu -15oC karena suhu ini merupakan suhu rata-rata freezer jika
konsumen ingin menyimpan bahan makanan, termasuk cumi-cumi olahan, untuk
jangka waktu yang sangat lama.

3.2.5. Analisis perubahan mutu selama penyimpanan

Cumi-cumi olahan dalam kemasan diuji tekstur (kekerasan), warna, pH, dan
TPC secara periodik. Frekuensi pengujian untuk masing variasi suhu dapat dilihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi pengujian terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada


variasi suhu yang berbeda.
Suhu Frekuensi pengujian
-15oC Setiap minggu
10oC Setiap dua hari
30oC Setiap 6 jam (kekerasan, pH, warna) dan 12 jam
1x (uji mikroba)

3.2.6. Analisis biaya

Analisis biaya dilakukan untuk memperkirakan kenaikan biaya produksi dan


kaitannya dengan nilai tambah produk. Biaya yang dihitung meliputi harga dasar
cumi-cumi olahan, harga plastik, dan biaya pengemasan.

3.2.7. Penentuan kondisi pengemasan terbaik

Hasil analisis penurunan mutu cumi olahan dan analisis umur simpan
digunakan untuk menentukan kondisi pengemasan dan penyimpanan terbaik.
Penentuan kondisi penyimpanan terbaik dilakukan dengan membandingkan umur
simpan cumi-cumi olahan dalam tiap perlakuan ditambah dengan perbandingan
melalui analisis biaya. Kondisi terbaik adalah kondisi penyimpanan yang dapat
memberikan umur simpan paling lama dan biaya yang paling sedikit. Detail
Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3.
Cumi-cumi Analisis Mutu
segar

Pemasakan/pengolahan

Cumi-cumi
Analisis Mutu olahan

Pengemasan vakum
dengan 3 jenis kemasan
(PE,PP, kontrol)

Penyimpanan
(-15, 10, 30oC)

Analisis Mutu

Umur Simpan
Cumi Olahan

Penentuan kondisi
pengemasan
terbaik

Gambar 3. Diagram alir penelitian


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. SIFAT FISIS MEKANIS PLASTIK PENGEMAS

Sifat fisis-mekanis plastik yang digunakan untuk mengemas cumi-cumi


olahan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa plastik PE
yang digunakan untuk kemasan vakum lebih tipis daripada plastik PP dan HDPE.
Perbandingan gramatur juga meperlihatkan bahwa plastik PE memiliki gramatur
yang lebih rendah dibandingkan plastik PP dan HDPE. Sebaliknya, densitas
menunjukkan bahwa plastik PE campuran memiliki densitas yang lebih tinggi
daripada plastik PP dan HDPE. Plastik PP yang digunakan untuk kemasan vakum
memiliki densitas terendah bila dibandingkan dengan dua jenis plastik lainnya.
Nilai gramatur plastik menunjukkan bobot plastik per satuan luas,
sedangkan densitas menunjukkan bobot plastik per satuan volume. Nilai densitas
menunjukkan tingkat kerapatan plastik tersebut. Nilai densitas yang besar
menunjukkan bahwa kerapatan plastik tersebut tinggi sehingga lebih sukar
ditembus oleh uap air.

Tabel 4.1. Sifat fisis-mekanis plastik polypropylene dan polyethylene


Sifat HDPE PE PP
(kemasan non-vakum)
Tebal (mm) 0,103 0,0728 0,1026
Gramatur (g/m2) 90,71 68,79 82,78
Densitas (g/m3) 0,88068 0,944918 0,806823

Jika informasi pada Tabel 4.1 di atas dibandingkan dengan informasi yang
didapat dari studi pustaka, maka dapat disimpulkan bahwa plastik yang paling
dapat menghambat O2 dan H2O adalah PE, kemudian HDPE dan PP. Hal ini dapat
dimungkinkan karena jenis plastik PE yang digunakan merupakan jenis plastik
campuran nylon-PE-LLDPE.
4.2. KARAKTERISASI AWAL CUMI-CUMI

4.2.1. Nilai pH

7,0

6,0

5,0
Nilai pH

4,0 segar
olahan
3,0

2,0

1,0

0,0
cumi-cumi

Gambar 4.1. Nilai pH cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan

Dari Gambar 4.1 di atas terlihat bahwa pH cumi-cumi segar tidak


mengalami perubahan yang signifikan setelah diolah menjadi produk cumi-cumi
olahan. Untuk memperkuat penilaian ini, dengan menggunakan analisis ragam
terhadap atribut pH pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa tidak
ada perbedaan yang nyata antara nilai pH cumi-cumi segar dengan pH cumi-cumi
olahan. Rekapitulasi analisis ragam nilai pH disajikan pada Lampiran 3. Nilai pH
cumi-cumi segar adalah 6,62 ± 0,02 dan nilai pH cumi-cumi olahan adalah 6,64 ±
0,05. Nilai pH yang berada pada kisaran 6 – 7 pada cumi-cumi olahan merupakan
kondisi yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kondisi pH optimum bagi
pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir berada pada kisaran 6,5 – 7,5, walaupun
khamir lebih suka tumbuh pada kondisi asam (pH 4 – 4,5).

4.2.2. Warna

Pengukuran terhadap warna cumi-cumi dilakukan pada dua sisi cumi. Sisi
bagian dalam dan sisi bagian luar cumi-cumi. Hasil pengukuran terhadap warna
cumi-cumi segar dan olahan disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hasil pengukuran terhadap warna cumi-cumi
o
Sampel hue Chroma
Segar Bagian dalam 63,52 ± 1,42 31,24 ± 3,74
Bagian luar 78,67 ± 12,7 81,03 ± 6,16
Olahan Bagian dalam 84,37 ± 1,16 89,56 ± 8,74
Bagian luar 82,55 ± 0,99 139,00 ± 0,41

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa antara bagian dalam dengan
bagian luar cumi-cumi tidak terdapat perbedaan warna yang nyata. Warna kedua
bagian tersebut, baik cumi-cumi segar maupun cumi-cumi olahan berada pada
kisaran derajat hue yang menunjukkan warna yellow red (kuning-merah).
Diagram warna dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan keterangan warna
sampel dalam derajat hue dapat dilihat pada Lampiran 5.
Untuk intensitas warna, berdasarkan nilai chroma, warna cumi-cumi bagian
dalam lebih tinggi intensitasnya daripada bagian luar. Hal ini berlaku pada cumi-
cumi segar dan cumi-cumi olahan. Warna bagian luar cumi-cumi lebih redup
daripada bagian dalam. Secara penglihatan visual pun dapat dilihat bahwa warna
bagian dalam berwarna lebih putih cemerlang.

4.2.3. Kekerasan

Nilai kekerasan yang diperoleh berbanding terbalik dengan kekerasan.


Semakin besar nilai, maka kekerasan cumi-cumi semakin lunak. Nilai yang
diperoleh untuk cumi-cumi segar berada dalam kisaran 3,2 – 4,3 /mm.det dan
cumi-cumi olahan berada dalam kisaran 6,3 – 7,3 /mm.det.
Hasil analisis ragam terhadap nilai kekerasan pada taraf signifikansi =
0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara nilai kekerasan
cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kekerasan
cumi-cumi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Cumi-cumi segar memiliki tekstur yang kenyal dan padat sedangkan cumi-
cumi olahan karena pengaruh pemasakan terutama pemanasan, memiliki tekstur
yang lebih lunak daripada cumi-cumi segar, seperti yang terlihat pada Gambar
4.2.
10,0

Nilai kekerasan (1/mm.det)


8,0

6,0
segar
olahan
4,0

2,0

0,0
cumi-cumi

Gambar 4.2. Nilai kekerasan cumi-cumi segar dan olahan

4.2.4. Kadar Air

Pengukuran kadar air cumi-cumi segar dan olahan menunjukkan bahwa


kadar air cumi-cumi segar lebih tinggi dari kadar air cumi-cumi olahan, seperti
yang terlihar pada Gambar 4.3. Kadar air cumi-cumi segar sebesar 84,54%,
sedangkan kadar air cumi-cumi olahan sebesar 72,57%. Kadar air yang cukup
tinggi ini cocok untuk pertumbuhan mikrorganisme seperti bakteri, sehingga
bahan makanan yang memiliki kadar air tinggi rentan terhadap kerusakan akibat
bakteri. Selain bakteri, kapang dan khamir juga dapat hidup pada kondisi ini.

88

84

80
Kadar air (%)

segar
76
olahan
72

68

64
cumi-cumi

Gambar 4.3. Kadar air cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan


Hasil analisis ragam terhadap kadar air cumi-cumi pada taraf signifikansi
= 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar air cumi-
cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kadar air cumi-
cumi dapat dilihat pada Lampiran 7.
Penurunan kadar air cumi-cumi olahan ini disebabkan karena pemanasan
yang dilakukan saat mengolah cumi-cumi. Pemanasan ini yang menyebabkan
kadar air cumi-cumi menurun karena menguap. Selain itu, penambahan garam,
yang merupakan salah satu bumbu yang digunakan untuk mengolah cumi-cumi,
dapat mengikat air sehingga menurunkan kadar air cumi-cumi.

4.2.5. Kadar Protein

Kadar protein yang diukur adalah kadar protein kasar dengan menggunakan
metode Kjeldahl. Kadar protein untuk cumi-cumi segar adalah sebesar 5,9 –
10,3%, sedangkan cumi-cumi olahan memiliki kadar protein sebesar 13,6 – 15,1%
(Gambar 4.4). Hasil analisis ragam terhadap kadar protein pada taraf signifikansi
= 0,05 didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan nyata antara kadar protein
cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kadar
protein disajikan pada Lampiran 8.

18,0

15,0
Kadar Protein (%)

12,0
segar
9,0 olahan

6,0

3,0

0,0
cumi-cumi

Gambar 4.4. Kadar protein cumi-cumi segar dan olahan


Berdasarkan Okuzumi dan Fujii (2000), kadar protein cumi-cumi segar
berkisar antara 15 – 20%. Rendahnya kadar protein cumi-cumi kemungkinan
disebabkan variasi sampel yang diambil. Perbedaan spesies, waktu panen, masa
kembang-biak, usia cumi-cumi bisa menjadi faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan nilai protein yang diperoleh dibandingkan dengan literatur. Ini diakui
juga oleh Okuzumi dan Fujii (2000), bahwa sifat umum cumi-cumi yang
terdeteksi bisa berbeda-beda dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas.
Berdasarkan Sahidi dan Botta (1994), kebanyakan ikan segar mengandung
16 – 24% protein. Nilai ini dapat meningkat hingga 35% pada ikan yang sudah
dimasak. Tingginya kadar air pada golongan moluska berpengaruh pada
rendahnya kadar protein (8 – 18%).

4.2.6. Kadar Lemak

Hasil pengukuran kadar lemak terhadap cumi-cumi segar dan cumi-cumi


olahan dengan dua kali ulangan menunjukkan hasil berada dalam kisaran 0,372 –
0,763% untuk cumi segar dan 1,727 – 2,213% untuk cumi olahan (Gambar 4.5).
Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak cumi-cumi segar dengan cumi-cumi
olahan pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat
perbedaan yang nyata antara nilai keduanya. Rekapitulasi analisis ragam terhadap
kadar lemak disajikan pada Lampiran 9.
Dari grafik pada Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar
lemak setelah cumi-cumi diolah. Peningkatan ini kemungkinan dikarenakan pada
pengolahan cumi-cumi ditambahkan santan yang merupakan emulsi minyak
dalam air, sehingga menambah kandungan lemak terukur. Berdasarkan Okuzumi
dan Fujii (2000), cumi-cumi mengandung lemak kasar sebesar 1 – 10%.
2,5

2,0

Kadar Lemak (%) 1,5


segar
olahan
1,0

0,5

0,0
cumi-cumi

Gambar 4.5. Kadar lemak cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan

4.2.7. Kadar Fosfor

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar fosfor pada cumi-cumi segar


sebesar 1,0 – 1,2%. Pengukuran pada cumi-cumi olahan menunjukkan bahwa
kadar fosfor yang terkandung di dalamnya sebesar 1,34 – 1,38%. Hasil analisis
ragam terhadap kadar fosfor pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil
bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar fosfor cumi-cumi segar dengan
cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam terhadap kadar fosfor disajikan
pada Lampiran 11.
Pada Gambar 4.6 di bawah dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar
fosfor selama pengolahan. Terjadi peningkatan kadar fosfor kemungkinan karena
pengaruh penambahan bumbu saat pengolahan, sehingga menambah kandungan
fosfor terukur.
2,0

1,5

Kadar Fosfor (%) segar


1,0
olahan

0,5

0,0
cumi-cumi

Gambar 4.6. Kadar fosfor cumi-cumi segar dan olahan

4.2.8. Kadar Besi

Berdasarkan Gaman dan Sherrington (1981), fungsi zat besi adalah sebagai
salah satu pembentuk sel darah merah. Zat besi tidak dirusakkan oleh pemasakan,
tetapi sejumlah kecil akan hilang bersama air karena zat besi larut dalam air. Hasil
pemeriksaan terhadap kandungan zat besi pada cumi segar dan olahan
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan di antara keduanya. Hasil analisis
ragam terhadap kadar besi pada taraf signifikansi = 0,05 memperlihatkan
perbedaan nyata antara kadar besi cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan.
Rekapitulasi analisis ragam kadar besi disajikan pada Lampiran 10.
10,0

8,0

Kadar Besi (mg/kg)


6,0
segar
olahan
4,0

2,0

0,0
cumi-cumi

Gambar 4.7. Kadar besi cumi-cumi segar dan olahan

Dapat dilihat pada Gambar 4.7 bahwa kandungan zat besi cumi-cumi segar
lebih tinggi dibandingkan cumi-cumi olahan. Cumi-cumi segar memiliki
kandungan zat besi sebanyak 7,7 hingga – 8,7 mg/kg (0,7 – 0,9 mg/100g).
Kandungan zat besi cumi-cumi olahan sebesar 1,7 – 2,9 mg/kg (0,1 – 0,3
mg/100g).
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa kadar besi setelah pemasakan
mengalami penurunan yang cukup besar. Adanya penurunan ini kemungkinan
karena pengaruh pemasakan. Berdasarkan Bender (1987), hilangnya zat besi
akibat pemasakan bisa mencapai 32%.

4.2.9. Uji Mikroba

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa cumi-cumi segar tercemar oleh


bermacam-macam mikroba. Pengujian yang dilakukan terhadap cumi-cumi olahan
menunjukkan bahwa terdapat cemaran mikroba, tetapi tidak sebanyak seperti yang
tampak pada cumi-cumi segar. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan
cumi-cumi dapat mengurangi mikroba yang terdapat pada cumi-cumi.
Mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi olahan tidak hanya bakteri, tetapi
juga sedikit kapang dan khamir. Hal ini menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan
rentan terhadap kerusakan akibat bakteri dan juga kapang dan khamir.
Jumlah total mikroba yang terdapat pada cumi-cumi olahan masih berada
dalam batas aman konsumsi jika dibandingkan dengan SNI 01-2719-1992 untuk
cumi-cumi kering dan SNI 01-2731-1992 untuk cumi-cumi beku. Jumlah
maksimum total mikroba untuk cumi-cumi kering adalah sebanyak 4 x 104
koloni/g dan jumlah maksimum total mikroba untuk cumi-cumi beku adalah 5 x
10 5 koloni/g.

Tabel 4.3. Hasil uji mikroba pada cumi-cumi segar dan olahan
Sampel Ulangan Standard Plate Count (SPC)
Total Mikroba
Segar I 4,00 x 104 koloni/g
II 1,20 x 104 koloni/g
Olahan I 5,50 x 102 koloni/g
II 2,10 x 102 koloni/g

Ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah mikroba pada cumi-cumi


olahan lebih rendah daripada cumi-cumi segar. Salah satunya adalah pemanasan.
Selama pengolahan, cumi-cumi mengalami pemanasan dengan memasaknya di
atas api. Proses pemanasan ini menyebabkan sebagian besar mikroorganisme yang
terdapat pada cumi-cumi segar mati. Selain itu, bumbu yang digunakan juga
berperan dalam mengurangi jumlah mikroba yang terdapat pada cumi-cumi.
Beberapa bumbu yang digunakan seperti bawang merah, bawang putih, dan
kunyit memiliki kandungan senyawa antimikroba. Pada bawang merah dan
bawang putih terdapat senyawa allicin yang berperan sebagai zat antibakteri
(Palungkun dan Budhiarti, 1992; Wibowo 1991). Selain itu, kunyit mengandung
minyak curcumin yang mempunyai sifat sebagai antioksidan dan antibakteri.

4.3. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN

4.3.1. Perubahan pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu penyebab produk perikanan


menjadi rusak. Derajat keasaman yang rendah menunjukkan produk mengalami
proses pembusukan karena terjadi penguraian protein menjadi senyawa-senyawa
yang lebih sederhana. Derajat keasaman daging ikan yang cenderung netral yaitu
6,4 – 6,6 disebabkan oleh rendahnya cadangan glikogen dalam daging ikan, ini
yang menjadikan produk perikanan mudah rusak.
Nilai pH cumi-cumi olahan cenderung mengalami penurunan selama
penyimpanan. Gambar 4.8 menunjukkan grafik perubahan pH cumi-cumi olahan
yang disimpan pada suhu 30 oC. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa ketiga
perlakuan menunjukkan kecenderungan penurunan nilai pH selama penyimpanan.
Dari grafik juga dapat dilihat bahwa cumi-cumi olahan yang disimpan dengan
menggunakan kemasan PE vakum cenderung mengalami penurunan pH yang
lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan yang dapat
mempertahankan pH tidak mengalami penurunan yang besar adalah penyimpanan
dengan menggunakan PP vakum.
Persentase penurunan pH terbesar terjadi pada jam penyimpanan ke-18
hingga jam ke-30. Persentase penurunan pH untuk cumi-cumi olahan yang
disimpan dalam kemasan PP sebesar 9,21%; 11,10% untuk cumi-cumi olahan
yang disimpan dalam kemasan PE; dan sebesar 8,10% untuk cumi-cumi olahan
yang disimpan dengan kemasan non-vakum. Titik pH terendah yang dicapai
adalah 5,36. Sedangkan titik pH terendah yang dicapai oleh cumi olahan yang
disimpan dengan kemasan non-vakum dan dalam kemasan PP adalah 6,15 dan
5,93.
Dari grafik perubahan pH selama penyimpanan pada Gambar 4.8, dapat
dilihat bahwa pada awalnya pH meningkat kemudian menurun. Peningkatan nilai
pH pada awal penyimpanan kemungkinan dikarenakan aktivitas mikroba yang
mengurai asam amino yang menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat basa
sehingga nilai pH meningkat. Nilai pH yang menurun kemungkinan disebabkan
pertumbuhan mikroba yang menggunakan gula-gula sederhana sebagai sumner
metabolismenya sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat asam sehingga
menyebabkan nilai pH menurun.
7,5 Non-vakum
PP
7,0
PE

Nilai pH
6,5

6,0

5,5

5,0
0 10 20 30 40 50 60
Lama Penyimpanan (jam)

Gambar 4.8. Grafik perubahan pH pada penyimpanan suhu 30±2oC

Kecenderungan ini juga terlihat pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada
suhu 10 dan -15oC. Hanya saja pada perlakuan penyimpanan di suhu 10oC
penurunan grafik perubahan pH tidak setajam perlakuan penyimpanan di suhu
30 oC. Kecenderungannya nilai pH mengalami peningkatan di awal dan kemudian
menurun di akhir. Berdasarkan grafik (Gambar 4.9), cumi-cumi olahan yang
disimpan pada suhu 10oC dan dengan kemasan PE vakum mengalami penurunan
pH yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada suhu
penyimpanan yang sama. Nilai pH cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu
10 oC berada pada kisaran 6,46 – 7,01.

7,4
Non-vakum
PP
7,0 PE
Nilai pH

6,6

6,2

5,8
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 4.9. Grafik perubahan pH pada penyimpanan suhu 10±2oC


Perbedaan kecenderungan terlihat pada cumi olahan yang disimpan pada
suhu -15 oC. Cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum dan
PP vakum memiliki kecenderungan nilai pH yang menurun selama penyimpanan,
tetapi cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum mengalami
kecenderungan nilai pH yang meningkat (Gambar 4.10). Peningkatan nilai pH ini
kemungkinan karena adanya proses penguraian asam-asam amino menjadi
senyawa yang lebih sederhana, seperti NH3 yang bersifat basa, sehingga
menyebabkan peningkatan nilai pH selama penyimpanan. Kondisi ini juga terlihat
pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 dan 10oC, hanya saja
berlangsung lebih cepat di awal penyimpanan.

7,4

Non-vakum
7,0 PP
PE
Nilai pH

6,6

6,2

5,8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Lama Penyimpanan (minggu)

Gambar 4.10. Grafik perubahan pH pada penyimpanan suhu -15±5oC

Untuk jenis kemasan yang sama, cumi-cumi olahan yang disimpan pada
suhu 30oC mengalami penurunan pH yang paling besar. Hal ini menunjukkan
bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi laju penurunan pH. Suhu penyimpanan
yang tinggi semakin mempercepat laju penurunan pH cumi-cumi olahan.
Selama penyimpanan, pH cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30,
10, dan -15 oC cenderung mengalami penurunan. Penurunan pH cumi-cumi olahan
dikarenakan proses pembusukan yang menyebabkan daging cumi-cumi semakin
asam. Berdasarkan Ilyas (1983), turunnya pH cumi-cumi disebabkan rendahnya
cadangan glikogen, karena terurai menjadi asam laktat. Peningkatan jumlah asam
laktat akibat terurainya glikogen inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan
pH pada cumi-cumi olahan.

4.3.2. Kekerasan

Bahan pangan yang rusak dan mengalami pembusukan selama penyimpanan


teksturnya akan melunak. Seiring dengan tingkat kerusakan, tekstur bahan pangan
tersebut akan semakin lunak. Untuk produk perikanan dan sejenisnya, daging ikan
akan terasa kenyal jika masih dalam keadaan segar, dan akan terasa lembek/lunak
jika sudah busuk. Untuk kasus penelitian ini, tekstur cumi-cumi olahan akan
semakin melunak seiring dengan laju kerusakan atau pembusukan dari cumi-cumi
tersebut.
Perubahan nilai kekerasan selama penyimpanan pada suhu 30oC (Gambar
4.11) menunjukkan kecenderungan peningkatan nilai kekerasan yang berarti
tekstur cumi-cumi olahan cenderung melunak. Peningkatan terbesar untuk nilai
kekerasan dialami oleh cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE
vakum. Hal ini menunjukkan tingkat kerusakan terbesar dialami oleh cumi olahan
dengan kemasan PE vakum. Jika dibandingkan dengan perubahan nilai pH,
terlihat korelasi tingkat penurunan pH dengan peningkatan nilai tekstur.
Penurunan pH sejalan dengan kerusakan daging cumi olahan yang ditandai
dengan meningkatnya nilai tekstur (daging cumi-cumi semakin lunak).

Non-vakum
PP
15
Nilai kekerasan (1/mm.det)

PE
13

11

5
0 10 20 30 40 50 60
Lama Penyimpanan (jam)

Gambar 4.11. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 30±2oC
Dari informasi daya tembus O2 terhadap plastik, didapatkan bahwa plastik
PE memiliki daya tembus O2 yang paling kecil karena densitasnya yang besar,
kemudian HDPE dan PP. Sedikitnya O2 yang terdapat di dalam kemasan dapat
memacu pertumbuhan mikroba anaerob. Pertumbuhan mikroba ini dapat
menyebabkan penurunan mutu pada cumi-cumi olahan, salah satunya ditunjukkan
dengan meningkatnya nilai kekerasan.
Penyimpanan cumi-cumi olahan pada suhu 10oC juga menunjukkan
perubahan nilai tekstur yang cenderung meningkat. Hanya saja, perbandingan
perubahan nilai tekstur cenderung tidak tampak perbedaan yang nyata seperti
yang terlihat pada perubahan nilai tekstur di dalam penyimpanan suhu 30oC.
Perubahan nilai tekstur cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC dapat
dilihat pada Gambar 4.12.
Bila dikaitkan dengan perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 10oC,
hasil ini terlihat sejalan. Perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 10oC
cenderung tidak tampak perbedaan yang nyata, begitu juga perubahan nilai
kekerasan pada penyimpanan suhu 10oC.

15 Non-vakum
Nilai kekerasan (1/mm.det)

PP
13 PE

11

5
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 4.12. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 10±2oC

Jika dilihat pada hari ke-4 penyimpanan, nilai kekerasan cumi-cumi olahan
yang disimpan dengan kemasan PE vakum lebih tinggi daripada cumi-cumi
olahan yang disimpan dengan dua jenis kemasan lainnya. Ini berhubungan dengan
pertumbuhan mikroba yang terjadi selama penyimpanan di suhu 10 oC. Cumi-cumi
olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum menunjukkan pertumbuhan
mikroba pada hari ke-4 penyimpanan.
Hal yang sama juga terlihat pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan
kemasan non-vakum. Nilai kekerasan yang meningkat, terutama pada hari ke-6
penyimpanan, juga diiringi dengan pertumbuhan mikroba yang terjadi pada hari
ke-6 penyimpanan. Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP
vakum menunjukkan nilai kekerasan yang tinggi pada hari ke-10 penyimpanan.
Hal ini juga diiringi dengan pertumbuhan mikroba yang tinggi pada hari ke-10
penyimpanan.
Hasil-hasil yang berkaitan ini menunjukkan bahwa nilai kekerasan pada
penyimpanan cumi-cumi olahan di suhu 10oC dipengaruhi oleh aktivitas mikroba.
Cumi-cumi olahan yang kaya akan zat gizi dan memiliki kadar air yang tinggi
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba
pada cumi-cumi olahan ini menyebabkan perubahan tekstur yang ditandai dengan
meningkatnya nilai kekerasan.
Perubahan nilai kekerasan selama penyimpanan suhu -15oC dapat dilihat
pada Gambar 4.13. Terlihat peningkatan nilai kekerasan yang cukup drastis pada
minggu pertama penyimpanan. Peningkatan nilai kekerasan cumi-cumi olahan
yang disimpan dengan kemasan non-vakum pada minggu pertama sebesar
44,49%. Peningkatan nilai kekerasan pada minggu pertama penyimpanan cumi-
cumi olahan yang disimpan menggunakan plastik PP vakum sebesar 43,71%.
Peningkatan nilai kekerasan cumi-cumi olahan yang disimpan menggunakan
plasitk PE vakum selama satu minggu pertama penyimpanan sebesar 44,85%.
Peningkatan nilai kekerasan pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada
suhu -15o kemungkinan disebabkan oleh rusaknya tekstur akibat pembekuan
(freeze injury). Pendinginan cumi-cumi olahan di bawah suhu 0oC memungkinkan
terjadinya pengkristalan air yang terkandung di dalamnya. Terbentuknya kristal-
kristal es ini dapat merusak tekstur cumi-cumi olahan sehingga nilai kekerasannya
menjadi semakin tinggi.
15
14

Nilai kekerasan (1/mm.det)


13
12
11
10
9
Non-vakum
8 PP
7 PE
6
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Lama penyimpanan (minggu)

Gambar 4.13. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu -15±5oC

Nilai kekerasan cumi dengan berbagai suhu penyimpanan dan berbagai


teknik pengemasan terlihat kecenderungan yang sama yaitu meningkat tajam pada
awal penyimpanan dan kemudian cenderung stabil atau meningkat dengan lambat
pada periode penyimpanan yang lama. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penurunan
tekstur kekerasan cumi-cumi olahan selama penyimpanan mempunyai dua tahap
laju penurunan yaitu laju penurunan cepat dan laju penurunan lambat dengan titik
perubahan di jam ke-20 pada suhu 30oC, 1 hari pada penyimpanan 10 oC dan 1
minggu pada penyimpanan -15oC.

4.3.3. Pertumbuhan Total Mikroba

Adanya mikroba merupakan salah satu penyebab kerusakan atau penurunan


mutu pada bahan pangan. Ada tidaknya mikroba pada bahan pangan juga dapat
digunakan sebagai indikator keamanan pangan. Pengujian total mikroba terhadap
cumi-cumi olahan selama penyimpanan dilakukan untuk mengetahui jumlah total
mikroba baik kapang, khamir, maupun bakteri.
Berdasarkan hasil analisis terhadap cumi-cumi yang disimpan pada suhu
30 oC, didapat bahwa pertumbuhan mikroorganisme tetap berjalan walaupun
dikemas dengan kemasan vakum. Pertumbuhan mikroorganisme mengalami fase
log pertumbuhan pada 24 jam pertama. Analisis yang dilakukan pada jam ke-12
penyimpanan sudah menunjukkan hasil yang positif adanya mikroorganisme pada
makanan. Pada jam ke-12 penyimpanan, jumlah mikroba pada cumi-cumi olahan
yang disimpan dengan kemasan non-vakum adalah sebanyak 1,40 x 106 koloni/g.
Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum menunjukkan
jumlah mikroba sebanyak 1,77 x 105 koloni/g. Jumlah mikroba pada cumi-cumi
olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum adalah 1,75 x 105 koloni/g.
Grafik pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada
suhu 30oC dapat dilihat pada Gambar 4.14.

8
log Jumlah koloni

Non-vakum
4
PP
PE
2

0
0 12 24 36 48
Lama penyimpanan (jam)

Gambar 4.14. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu 30±2oC

Grafik pertumbuhan yang terus meningkat menunjukkan bahwa


mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi terus tumbuh memanfaatkan
kandungan gizi yang terdapat di dalam cumi-cumi olahan. Kurva yang sedikit
mendatar dan menurun kemungkinan menunjukkan adanya produksi senyawa
yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme, seperti H2 S oleh
mikroorganisme itu sendiri.
Dari Gambar 4.14 di atas dapat dillihat bahwa baik pada cumi-cumi olahan
yang dikemas dengan kemasan vakum maupun non-vakum terdapat pertumbuhan
mikroorganisme. Hal ini bisa terjadi karena mikroba itu sendiri dibedakan menjadi
mikroba aerobik, anaerobik, dan anaerobik fakultatif. Pada cumi-cumi olahan ini
terdapat kemungkinan terdapatnya mikroba dari berbagai macam jenis tersebut,
sehingga pada kondisi penyimpanan minim oksigen (vakum) maupun terdapat
oksigen (non-vakum) masih terdapat mikroba yang tumbuh.
Hasil analisis terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC
menunjukkan bahwa sudah terjadi pertumbuhan mikroorganisme semenjak hari
kedua penyimpanan pada tiap perlakuan pengemasan. Grafik pertumbuhan
mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC dapat
dilihat pada Gambar 4.15.

8
log Jumlah koloni

4 Non-vakum
PP
2 PE

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 4.15. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu 10±2oC

Bedasarkan Gambar 4.15, grafik pertumbuhan yang terus meningkat


menunjukkan bahwa mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi terus tumbuh
memanfaatkan kandungan gizi yang terdapat di dalam cumi-cumi olahan. Kurva
yang sedikit mendatar dan menurun kemungkinan menunjukkan adanya produksi
senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme, seperti H2S oleh
mikroorganisme itu sendiri.
Jumlah mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi olahan yang
disimpan pada suhu 10 oC lebih sedikit bila dibandingkan dengan cumi-cumi
olahan yang disimpan pada suhu 30oC. Pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-
cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 oC juga lebih lambat bila dibandingkan
dengan cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30oC. Hasil ini menunjukkan
bahwa penyimpanan dingin dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Hasil analisis terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15oC
(Gambar 4.16) menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme sempat
terhambat pada minggu pertama penyimpanan. Setelah minggu pertama
penyimpanan terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada minggu ke-2
penyimpanan pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum.
Pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan
kemasan PP vakum terjadi pada minggu ke-4 penyimpanan. Sedangkan pada
cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum tidak terjadi
pertumbuhan mikroorganisme pada penyimpanan. Terhambatnya pertumbuhan
mikroba pada minggu pertama kemungkinan karena suhu -15 oC bukan merupakan
suhu yang cocok untuk bakteri mesofilik untuk tumbuh, tetapi pada suhu ini
bakteri psikrofilik dapat tumbuh dan pertumbuhannya dapat terlihat setelah
minggu pertama penyimpanan. Grafik pertumbuhan total mikroba pada cumi-
cumi olahan yang disimpan pada suhu -15oC dapat dilihat pada Gambar 4.16.

6
log Jumlah Koloni

4 Non-vakum
PP
PE
2

0
0 1 2 3 4 5
Lama Penyimpanan (minggu)

Gambar 4.16. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu -15±5oC

Pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan kemasan PE vakum


lebih awal terjadi daripada pada pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan
kemasan PP vakum dan non-vakum. Hal ini mungkin disebabkan karena
pertumbuhan bakteri anaerob yang lebih cepat karena berada dalam kondisi
minim oksigen. Plastik PE memiliki densitas yang besar, sehingga daya tembus
oksigennya kecil dan merupakan kondisi yang baik bagi bakteri anaerob untuk
tumbuh.
4.3.4. Analisis Proksimat setelah Penyimpanan

4.3.4.1. Kadar air

Dari grafik perubahan kadar air setelah penyimpanan yang disajikan pada
gambar 4.17, 4.18 dan 4.19 menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan yang
disimpan pada suhu 30 oC mengalami kecenderungan peningkatan kadar air
sedangkan yang disimpan pada suhu dingin (10 dan -15oC) mengalami penurunan
kadar air. Peningkatan kadar air pada penyimpanan suhu 30 oC ini diduga karena
adanya aktivitas mikroorganisme. Pada penelitian ini, selama penyimpanan pada
suhu 30oC dan cumi-cumi olahan mencapai kondisi busuk terjadi perubahan pada
kemasan vakum yang digunakan selama penyimpanan berupa rongga di dalam
kemasan yang seharusnya tidak ada pada kemasan vakum. Rongga tersebut terisi
oleh cairan yang diduga berasal dari cumi-cumi dan bumbu yang digunakan untuk
pengolahan. Keadaan tersebut diduga karena aktivitas mikroorganisme yang
menyebabkan pembusukan pada cumi-cumi olahan yang ditandai dengan bau
yang tak sedap dan cairan yang berada di dalam kemasan. Selain karena aktivitas
mikroorganisme, adanya cairan di dalam kemasan plastik diduga karena bahan
yang dikemas memang mengandung kadar air yang tinggi dan cukup berlemak
sehingga membuat pengemasan vakum yang dilakukan tidak sempurna.

80
Non-vakum
PP
PE
76
Kadar air (%)

72

68
0 2
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 4.17. Kadar air selama penyimpanan pada suhu 30±2 oC


Dari Gambar 4.17 di atas dapat dilihat bahwa cumi-cumi olahan yang
disimpan dengan kemasan PP vakum memiliki kadar air yang lebih tinggi
daripada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan HDPE dan PE
vakum. Selain karena aktivitas mikroba yang sudah dijelaskan di atas, faktor lain
yang juga berpengaruh adalah daya tembus plastik terhadap gas dan uap air.
Densitas plastik PP yang lebih kecil dibandingkan dua plastik lainnya
memungkinkan terjadinya transfer uap air dari lingkungan ke dalam kemasan. Hal
ini yang dapat menyebabkan kadar air pada cumi-cumi olahan yang dikemas
dengan PP vakum lebih besar dibandingkan dengan cumi-cumi olahan yang
disimpan dengan dua kemasan lainnya.
Kadar air cumi-cumi yang disimpan dengan kemasan non-vakum pada suhu
o
10 C mengalami penurunan sebesar 5,90% selama 16 hari penyimpanan dari
72,57% menjadi 66,67%. Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu yang sama
dengan kemasan PP vakum mengalami penurunan kadar air sebanyak 6,57%
selama 16 hari penyimpanan dari 72,57% menjadi 65,99%. Penurunan kadar air
cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum pada suhu 10oC
mencapai 3,84% selama 16 hari penyimpanan. Kadar air saat awal penyimpanan
(hari ke-0) adalah sebesar 72,57% dan pada hari ke-16 menjadi 68,73%.

76
Non-vakum
PP
72 PE
Kadar air (%)

68

64

60
0 16
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 4.18. Kadar air selama penyimpanan pada suhu 10±2 oC

Penurunan kadar air cumi-cumi yang disimpan dengan kemasan non-vakum


setelah penyimpanan pada suhu -15 oC sebesar 2,49% selama 8 minggu
penyimpanan dari 72,57% menjadi 70,07%. Cumi-cumi olahan yang disimpan
pada suhu -15oC dengan kemasan PP vakum mengalami penurunan kadar air
sebanyak 3,85% selama 8 minggu penyimpanan. Kadar air saat awal
penyimpanan adalah sebesar 72,57% dan setelah penyimpanan mencapai sebesar
68,72%. Penyimpanan cumi-cumi olahan dengan kemasan PE vakum pada suhu -
15 oC menunjukkan penurunan kadar air sebesar 0,20% selama 8 minggu
penyimpanan. Kadar air cumi-cumi olahan awal adalah sebesar 72,57% dan
setelah penyimpanan adalah sebesar 72,37%. Penurunan kadar air selama
penyimpanan pada suhu penyimpanan -15oC dapat dilihat pada Gambar 4.19 di
bawah ini.

Non-vakum
76 PP
PE
Kadar air (%)

72

68

64
0 8
Lama penyimpanan (minggu)

Gambar 4.19. Kadar air selama penyimpanan pada suhu -15±5oC

Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu dingin (10 dan -150C)
mengalami kecenderungan penurunan kadar air. Penurunan kadar air ini diduga
karena terjadi dehidrasi pada cumi-cumi yang disimpan pada suhu dingin.
Berdasarkan Lanier di dalam Martin dan Flick (1988), tempat penyimpanan
dingin seperti freezer kebanyakan tidak beroperasi pada suhu yang konstan
dikarenakan aktivitas membuka-tutup pintu freezer. Saat produk perikanan
dikemas dan disimpan di dalam freezer, kandungan air akan menguap dari
permukaan ikan hingga udara di dalam kemasan menjadi jenuh dan mencapai
keseimbangan dengan kelembaban. Saat temperatur freezer menaik, semakin
banyak kandungan air yang menguap untuk mencapai keseimbangan baru dengan
kelembaban relatif akibat perubahan suhu tersebut. Saat suhu freezer menurun,
uap air akan mengembun sebagai butiran es di dalam kemasan. Evaporasi dan
presipitasi yang berkelanjutan dengan suhu yang berfluktuasi akan bertindak
sebagai pemompa air dari dalam bahan dan mengakibatkan dehidrasi pada daging
produk.

4.3.4.2. Kadar protein

Grafik perubahan kadar protein yang disajikan pada Gambar 4.20, 4.21 dan
4.22 menunjukkan bahwa selama penyimpanan terjadi penurunan kadar protein.
Penyimpanan cumi-cumi olahan pada tiga suhu yang berbeda (30, 10, -15oC)
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Kadar protein akhir setelah
penyimpanan berada pada kisaran 1,88 – 3,32%.
Kadar protein setelah penyimpanan pada cumi-cumi olahan yang disimpan
pada suhu 30oC dengan kemasan non-vakum menurun sebesar 11,53% selama 2
hari penyimpanan. Kadar protein awal sebesar 14,43% dan setelah penyimpanan
sebesar 2,90%. Penurunan kadar protein cumi-cumi olahan yang disimpan pada
suhu 30oC dengan kemasan PP vakum adalah sebesar 11,11% selama 2 hari
penyimpanan dari 14,43% menjadi 3,32%. Penurunan kadar protein cumi-cumi
olahan yang disimpan pada suhu 30oC dengan kemasan PE vakum selama 2 hari
penyimpanan adalah sebesar 11,51% dari 14,43% menjadi 2,92%. Perubahan
kadar protein setelah penyimpanan pada suhu 30oC dapat dilihat pada Gambar
4.20.
16

Non-vakum
12 PP

Kadar protein (%)


PE

0
0 2
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 4.21. Kadar protein selama penyimpanan pada suhu 30±2oC

Kadar protein akhir setelah penyimpanan pada cumi-cumi olahan yang


disimpan pada suhu 10 oC dengan kemasan non-vakum mengalami penurunan
sebesar 11,51%. Kadar protein awal sebesar 14,43% dan setelah penyimpanan
mencapai 2,92%. Penurunan kadar protein pada cumi-cumi olahan yang disimpan
pada suhu 10 oC dengan kemasan PP vakum sebesar 11,72% dari 14,43% menjadi
2,70%. Penurunan kadar protein cumi-cumi olahan yang disimpan dengan
kemasan PE vakum pada suhu 10oC mencapai 11,40% dari 14,43% menjadi
3,02%. Penurunan kadar protein selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar
4.21 di bawah.
16

Non-vakum
12

Kadar protein (%)


PP
PE
8

0
0 16
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 4.21 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu 10±2oC

Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15oC dengan kemasan non-
vakum mengalami penurunan kadar protein sebesar 12,54% dari 14,43% menjadi
1,89%. Penurunan kadar protein cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu yang
sama dengan kemasan PP vakum sebesar 11,65%. Kadar protein awal sebesar
14,43% dan setelah penyimpanan sebesar 2,78%. Cumi-cumi olahan yang
disimpan pada suhu -15oC dengan kemasan PE vakum mengalami penurunan
kadar protein sebesar 11,40% dari 14,43% menjadi 3,03%.

16

Non-vakum
12
Kadar protein (%)

PP
PE
8

0
0 8
Lama penyimpanan (minggu)

Gambar 4.22 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu -15±5oC


Penurunan kadar protein diduga karena adanya aktivitas mikroba. Protein
yang terdapat pada cumi-cumi digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber
nitrogen. Berdasarkan Buckle et al (1985), molekul kompleks dari zat-zat organik
seperti protein harus dipecahkan terlebih dahulu menjadi unit yang lebih
sederhana sebelum zat tersebut dapat masuk ke dalam sel dan dipergunakan.
Pemecahan awal ini dapat terjadi akibat ekskresi enzim ekstraseluler, suatu sifat
yang sangat erat hubungannya dengan pembusukan bahan pangan.

4.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN

Untuk menentukan umur simpan produk, perlu diketahui titik kritis produk
tersebut sebagai acuan untuk menentukan umur simpan. Untuk kasus yang
diangkat pada penelitian ini, titik kritis dari produk berupa bahan pangan adalah
adanya pertumbuhan mikroba. Karena produk ini belum memiliki standar mutu,
maka untuk menentukan batas aman konsumsi berdasarkan pertumbuhan mikroba
mengacu pada SNI 01-2719-1992 untuk cumi-cumi kering di mana jumlah
maksimum total mikroba yang terkandung adalah 4 x 104 koloni/g dan SNI 01-
2731-1992 untuk cumi-cumi beku di mana jumlah maksimum total mikroba yang
terkandung adalah 5 x 105 koloni/g. Untuk cumi-cumi olahan yang disimpan pada
suhu 30 dan 10oC menggunakan standar SNI 01-2719-1992, sedangkan untuk
cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15oC menggunakan standar SNI 01-
2731-1992.
Dari hasil analisis terhadap total pertumbuhan mikroba pada cumi-cumi
olahan yang disimpan pada suhu 30oC, pertumbuhan mikroba yang melebihi batas
layak konsumsi terjadi pada jam ke-12 penyimpanan. Pertumbuhan ini terjadi
pada tiap perlakuan kemasan, yaitu non-vakum, PP vakum, dan PE vakum. Hasil
ini menunjukkan bahwa batas aman konsumsi adalah hingga 12 jam
penyimpanan, dengan kata lain batas umur simpan cumi-cumi olahan pada suhu
30 oC adalah 12 jam.
Berdasarkan uji pertumbuhan total mikroba pada suhu penyimpanan 10oC,
pertumbuhan mikroba yang melebihi batas aman konsumsi terjadi pada hari ke-6
penyimpanan pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum.
Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum, pertumbuhan
mikroba yang melebihi batas aman konsumsi terjadi pada hari ke-10
penyimpanan. Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum,
pertumbuhan total mikroba yang melebihi batas aman penyimpanan terjadi pada
hari ke-4 penyimpanan. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa batas
umur simpan untuk cumi-cumi yang disimpan pada suhu 10oC dengan kemasan
non-vakum adalah 6 hari, 10 hari untuk cumi-cumi olahan yang disimpan dengan
kemasan PP vakum, dan 4 hari untuk cumi-cumi yang disimpan dengan kemasan
PE vakum.
Berdasarkan analisis pertumbuhan total mikroba pada cumi-cumi yang
disimpan pada suhu -15oC didapatkan hasil yang menunjukkan penyimpanan pada
suhu freezer lebih dapat mempertahankan mutu bahan makanan seperti cumi-cumi
olahan ini. Pertumbuhan total mikroba pada cumi-cumi olahan yang disimpan
pada suhu freezer (-15oC) selama 4 minggu tidak menunjukkan pertumbuhan yang
melebihi ambang batas layak konsumsi (5 x 10 5 koloni/g berdasarkan SNI 01-
2731-1992). Jumlah total mikroba yang terlihat selama penyimpanan pada suhu -
15 oC hanya mencapai 1,3 x 105 koloni/g pada cumi-cumi olahan yang disimpan
dengan kemasan PP vakum dan 2,5 x 105 koloni/g pada cumi-cumi olahan yang
disimpan dengan kemasan PE vakum.
Penentuan umur simpan untuk cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu
o
-15 C didasarkan pada beberapa literatur. Berdasarkan Gorga dan Ronsivalli
(1988), umur simpan produk perikanan yang disimpan pada suhu -12,2 oC bisa
mencapai 2 bulan dan produk perikanan yang disimpan pada suhu -17,8 oC masih
memiliki kualitas yang tinggi hingga penyimpanan selama 7 bulan. Berdasarkan
van Laack (1994), umur simpan produk perikanan yang disimpan pada suhu -18oC
bisa mencapai 6 bulan. Sumber literatur lain menyatakan bahwa umur simpan
produk perikanan yang sudah dimasak dan disimpan pada freezer bisa mencapai 4
hingga 6 bulan (www.hormel.com).
Berdasarkan hasil-hasil seperti yang disebutkan di atas, maka umur simpan
cumi-cumi olahan berdasarkan adanya pertumbuhan total mikroba adalah seperti
pada Tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4. Umur simpan cumi-cumi olahan pada tiap perlakuan
Perlakuan Umur simpan
Suhu 30oC Suhu 10oC Suhu -15oC
Non-vakum 12 jam 6 hari 4 bulan
PP vakum 12 jam 10 hari 4 bulan
PE vakum 12 jam 4 hari 4 bulan

4.5. ANALISIS BIAYA

Harga dasar cumi-cumi olahan yang tidak dikemas adalah sebesar Rp.
5000,- per ekor. Biaya pengemasan vakum adalah Rp. 15.000,- untuk 6 kemasan,
berarti sebesar Rp. 2500,- per kemasan. Biaya sealing non vakum adalah sebesar
Rp. 1500,- per kemasan. Harga plastik HDPE adalah Rp. 5500,- untuk 60
kemasan. Harga plastik PP Rp. 5000,- untuk 70 kemasan. Harga plastik nylon
1,5/PE 15/LLDPE 40 sebesar Rp. 250,- untuk 1 kemasan.
Sehingga rincian biaya untuk masing-masing perlakuan dan
perbandingannya dengan umur simpan yang dicapai adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5. Perbandingan biaya dan umur simpan cumi-cumi olahan


Perlakuan Harga Harga plastik Biaya Umur simpan produk
dasar pengemas pengemasan Suhu Suhu Suhu
cumi-cumi 30oC 10oC -15oC
Non-vakum Rp. 5000,- @ Rp. 92,- @ Rp. 1500,- 12 jam 6 hari 4 bulan
PP vakum Rp. 5000,- @ Rp. 72,- @ Rp. 2500,- 12 jam 10 hari 4 bulan
PE vakum Rp. 5000,- @ Rp. 250,- @ Rp. 2500,- 12 jam 4 hari 4 bulan

Berdasarkan pertimbangan biaya dan lama umur simpan, maka pengemasan


yang terbaik adalah pengemasan non-vakum dengan menggunakan plastik HDPE
tebal sebagai bahan kemasan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Analisis awal terhadap mutu cumi-cumi olahan pada penelitian ini


menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan memiliki kadar air sebesar 72,58%; pH
sebesar 6,64; derajat hue sebesar 78,668 untuk bagian luar dan 63,518 untuk
bagian dalam; nilai chroma sebesar 82,554 untuk bagian luar dan 84,373 untuk
bagian dalam; nilai kekerasan 6,80/mm.det; kadar protein 14,43%; kadar lemak
kasar 1,70%; kadar fosfor 1,36%; kadar besi 2,32 mg/kg; dan tidak ditemukannya
pertumbuhan total mikroorganisme.
Selama penyimpanan terjadi penurunan mutu yang ditandai dengan
penurunan nilai pH, meningkatnya nilai kekerasan, adanya pertumbuhan total
mikroorganisme, serta terjadinya penurunan kadar protein. Parameter kritis yang
digunakan untuk menentukan umur simpan adalah adanya pertumbuhan total
mikroba.
Umur simpan cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30oC dengan
kemasan non-vakum, PP vakum, PE vakum adalah 12 jam. Umur simpan cumi-
cumi olahan yang disimpan pada suhu 10oC dengan kemasan non-vakum, PP
vakum, PE vakum adalah 6 hari, 10 hari, dan 4 hari. Umur simpan cumi-cumi
olahan yang disimpan pada suhu -15oC dengan kemasan non-vakum, PP vakum,
PE vakum adalah 4 bulan.
Berdasarkan pertimbangan biaya dan lama umur simpan, maka pengemasan
yang terbaik adalah pengemasan non-vakum dengan menggunakan plastik HDPE
tebal sebagai bahan kemasannya.

5.2. SARAN

Untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap cumi-cumi olahan yang


disimpan dengan kemasan vakum perlu dilakukan uji organoleptik. Selain itu,
adanya pertumbuhan mikroba selama penyimpanan mengindikasikan adanya
pencemaran pada saat distribusi atau pada saat pengemasan sehingga diperlukan
prosedur kerja yang lebih baik lagi dengan memperhatikan sanitasi dan higienitas
pekerja, alat, dan bahan.
Melihat cumi-cumi olahan merupakan bahan makanan yang kaya akan zat
gizi sehingga merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan mikroorganisme, lebih
baik tidak menyimpan produk ini dalam jangka waktu yang lama. Jika disimpan
pada suhu ruang, disarankan untuk tidak menyimpan produk tidak lebih dari satu
hari. Jika produk ini disimpan pada suhu dingin, seperti kulkas, produk ini
disarankan disimpan kurang dari enam hari.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1972. Food Composition Table for Use in East Asia. FAO.

Anonymous. 2007. Food Storage and Shelf Life. http://www.hormel.com.

AOAC. 1995. Official of Association of Official Analitycal Chemist. AOAC Inc.


Washington.

Bender, A.E. 1987. Food Processing and Nutrition. Academic Press, London.

Borgstorm, G. 1968. Principle of Food Science. Vol II : Food Microbiology and


Biochemistry. The Coellier MacMillan Co., Ontario.

Buchsbaum, R. 1948. Animals without Backbones. The University of Chicago


Press, Chicago. AOAC. 1995. Official of Association of Official Analitycal
Chemist. AOAC Inc., Washington.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton. 1988. Food Science.
Terjemahan. Hari Purnomo dan Adiono. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan


Berkelanjutan Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dahuri, R. 2004. Membangun Perekonomian Nasional untuk Mewujudkan


Indonesia yang Maju, Makmur, dan Berkeadilan melalui Pembangunan
Kelautan dan Perikanan. Departemen Perikanan dan Kelautan RI. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2003. Atraktor


Rangsang Cumi-cumi Bertelur. http://www.dkp.go.id. [21 Desember 2006].

Desrosier, N.W. 1969. The Technology of Food Preservation. The AVI


Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut.

Fardiaz, D. dan P. Haryadi. 1997. Teknologi Pengolahan Pangan. Direktorat


Pengawasan Makanan Dirjen POM Depkes RI, Jakarta.

Fennema, C. 1976. Preservation of Food by Storage at Chilling Temperature. Di


dalam. Principle of Food Preservation. editor. C. Fennema. Marcel Dekker
Inc., USA.

Frazier dan Westhoff. 1978. Food Microbiology. 3 rd ed. Tata McGraw-Hill


Publishing Co., New Delhi.

Floros, J.D. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. di dalam. Arpah.
2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk. Program Studi
Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Gorga, Carmine dan Louis J. Ronsivalli. 1988. Quality Assurance of Seafood.


AVI Book, New York.

Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I. Teknik Pendinginan


Ikan. CV. Paripurna, Jakarta.

Jabber, P.I dan M.F.S. Jamieson. 1983. Food Microbiology. di dalam Anonim.
World Food Prgramme. Food Storage Manual. 2 nd ed. The Tropical
Development and Research Institute, London.

Jay, J.M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th edition. Aspen Publication,
Guithenberg.

Johnson W.H., Lois E, Delaney, Ellot Williams C, Thomas Cole A. 1977.


Principle of Zoology. Rinehart and Cuinston Inc., New York.

Kreuzer, R. 1984. Cephalopods : Handling, Processing and Products. FAO


Fisheries Technical Paper No. 254. FAO of The United Nations, Rome.

Labuza, T.P. 1982. Open Shelf-Life Dating of Foods. Food Science and Nutrition
Press Inc., Westport, Connecticut.

Lanier, Tyre C. 1988. Packaging. Di dalam The Seafood Industry. editor. Roy E.
Martin dan George J. Flick. Van Nostrand Reinhold, New York.

Muchtadi, Deddy. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas.
IPB. Bogor.

Nickerson dan Stinskey. 1972. Microbiology of Food and Food Processing.


Elsevier, New York.

Okuzumi, M. dan T. Fujii. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid


and Cuttlefish. National Cooperative Association of Squid Processrs,
Tokyo.

Palungkun, R. dan A. Budhiarti. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. Penebar


Swadaya, Jakarta.

Petersen, K., P.V. Nielsen, dan G. Montensen. 1999. Journal of Food Science and
Technology. 10 : 52-68. Elsevier Science Ltd., UK.

Robertsen, G. L. 1993. Food Packaging Principles and Practice. Marcel Decker


Inc., USA.

Saccharow, S. dan R.C. Griffin. 1980. Principles of Food Packaging. 2 nd edition.


AVI Publisher, Westport-Connecticut.
Sahidi, F. dan J.R. Botta. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and
Quality. Blackie Academic and Professional, Glasgow.

Singh, R.P. 1994. Scientific principles of shelf life evaluation. Di dalam. Shelf
Life Evaluation of Foods. editor. C.M.D. Man dan A. A. Jones. Chapman
and Hall, UK.

Sudjana. 1995. Desain dan Analisis Eksperimen. PT Tarsito, Bandung.

Syarief, R. dan Haryadi Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit


Arcan, Jakarta.

van Laack, Riette L.J.M. 1994. Spoilage and Preservation of Muscle Foods. Di
dalam. Muscle Foods. Editor. Donald M. Kinsman, Anthony W. Ketula,
dan Burdette C. Breidenstein. Chapman and Hall, New York.

Watkins, J.B. 1971. Post Harvest Handling of Fruits and Vegetables. Sandy Trout
Preservation Research Laboratorium, Queensland, Australia.

Wibowo, S. 1991. Budidaya Bawang, Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang
Bombay. Penebar Swadaya, Jakarta.
Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisis-mekanis bahan kemasan

1. Gramatur plastik

Gramatur adalah nilai yang menunjukkan bobot plastik per satuan luas
plastik (g/m2). Penentuan gramatur memerlukan bahan plastik kemasan yang
dipotong dengan ukuran 10 x 10 cm. Gramatur ditentukan dengan cara
menimbang contoh bahan plastik yang diuji. Persamaannya adalah sebagai
berikut:

bobot (g ) 10000 cm 2
Gramatur (g / m 2 ) = ×
100 cm 2 1 m2

2. Densitas plastik

Densitas atau bobot jenis, yaitu bobot plastik per satuan volume (g/m3).
Densitas diperoleh dengan membagi gramatur plastik dengan tebal plastik. Tebal
plastik diukur menggunakan mikrometer sekrup di lima tempat berbeda pada satu
lembar contoh plastik dan diambil nilai rata-ratanya.

Gramatur (g / m 2 )
Densitas (g / m ) =
3

Tebal (m)
Lampiran 2. Prosedur analisis karakterisasi mutu cumi-cumi segar dan cumi-cumi
olahan.

1. Kadar air (AOAC, 1995)

Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsip


dari metode ini adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan
jalan pemanasan. Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama
10 menit. Sebanyak 2-10 gram sample ditimbang di dalam cawan yang telah
dikeringkan dan diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu
105oC selama 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobot
konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan persamaan

B1 − B 2
Kadar Air (%) = × 100%
B1
Di mana :
B1 = Bobot contoh awal (g)
B2 = Bobot contoh akhir (g)

2. Kadar protein kasar metode Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sebanyak 0,1 gram contoh dimasukkan ke dalam labu kjedahl 50 ml, lalu
ditambahkan katalis yang berupa CuSO4 dan Na2SO4 dengan perbandingan 1:1,2
dan ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi sampai cairan berwarna
hijau bening dan dibiarkan sampai dingin.
Cairan hasil destruksi kemudian didestilasi dan dilakukan penambahan 15
ml NaOH pekat. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi
25 ml HCl 0,02 N dan indikator mensel, lalu dititrasi dengan larutan NaOH 0,02
N. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan
persamaan di bawah ini :
% total N =
(ml titrasi (blanko − contoh)) × N NaOH × 14,007 × 100%
contoh (mg)

Kadar Pr otein = % total N × 6,25

3. Kadar lemak kasar metode soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak dikeringkan pada oven bersuhu 100 oC, kemudian didinginkan
dalam desikator, lalu ditmbang bobotnya (A). Sebanyak 5 gram contoh diambil
dan dimasukkan ke dalam kertas saring berbentuk tabung dan dimasukkan ke
dalam tabung soxhlet. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi, labu soxhlet
diisi dengan menggunakan pelarut heksana sebanyak 2/3 isi labu. Ekstraksi
dilakukan selama 6 jam.
Setelah selesai, biarkan hingga dingin dan sampel yang terbugkus kertas
saring diambil dari dalam tabung. Tabung kosong dipasang kembali pada
rangkaiannya dan dipanaskan kembali untuk memisahkan lemak dari pelarutnya.
Lemak yang tertinggal dalam labu soxhlet dikeringkan dalam oven selama 1 jam,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya (B). Kadar lemak
kasar diketahui berdasarkan persamaan

B−A
Kadar lemak (%) = × 100%
Sampel (g )

4. Nilai pH (Derajat Keasaman)

Pengukuran pH contoh dlakukan dengan menggunakan pH-meter. Contoh


sebanyak 5 gram dicacah kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala berisi 10 ml
air suling. Elektroda gelas dari pH-meter dicelupkan kedalam gelas piala tersebut.
Nilai pH contoh dapat dibaca langsung pada alat tersebut.

5. Kekerasan

Uji keempukan terhadap cumi siap saji dilakukan dengan menggunakan


penetrometer. Cumi siap saji diletakkan dibawah jarum penetrometer.
Penembusan oleh jarum penetrometer ke dalam daging cumi-cumi (mm) selama
10 detik menunjukkan nilai keempukan daging cumi siap saji.
6. Warna

Analisis terhadap warna cumi siap saji dilakukan dengan menggunakan alat
Color Measuring Digital Display System. Sistem penilaian terhadap nilai L
(tingkat kecerahan), a (tingkat kemerahan), dan b (tingkat kekuningan) pada alat
tersebut adalah dengan membandingkan contoh terhadap lempengan putih yang
mempunyai standar nilai L, a, dan b. Nilai L mempunyai skala 0 - 100 (0 = hitam,
100 = putih). Nilai a mempunyai skala -80 - 100 (-80 = hijau, 100 = merah). Nilai
b mempunyai skala -80 -70 (-80 = biru, 70 = kuning).
Pengukuran dilakukan dengan meletakkan contoh di tempat yang telah
disediakan. Alat tersebut secara otomatis akan menunjukkan nilai L, a, dan b dari
contoh.
Nilai L, a, dan b yang didapat selanjutnya digunakan untuk mengukur
derajat hue (ohue) dan nilai chroma. Derajat hue dihitung dengan rumus:
b
tan −1 =
a

Sedangkan nilai chroma dihitung dengan rumus: a 2 + b2

Nilai chroma menunjukkan intensitas warna sampel. Semakin tinggi nilai


chroma, berarti semakin rendah intensitas warna sampel yang berarti warna
sampel semakin memudar. Derajat hue digunakan untuk mengidentifikasikan
warna sampel. Hubungan antara derajat hue dengan warna sampel dapat dilihat
pada Lampiran 4 dan Lampiran 5.

7. Total Plate Count (Fardiaz, 1987)

Prosedur kerja perhitungan jumlah bakteri adalah sebagai berikut:


pembuatan media agar dengan pencampuran 23 g Plate Count Agar (PCA) ke
dalam 1 liter aquades ke dalam gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan
sambil diaduk sampai mendidih semua agar terlarut. Sterilisasi dilakukan terhadap
larutan agar beserta peralatan lain yang akan digunakan seperti pipet, blender, dan
larutan agar dalam autoklaf selama 15 menit. Larutan agar disimpan dalam
pemanas air bersuhu 45oC. Pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan
pencampuran 8,5 gram NaCl ke dalam 1000 ml aquades. Larutan pengencer
kemudian disterilisasi.
Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 gram bahan (cumi-
cumi) dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9 ml sampai larutam
menjadi homogen sehingga terbentuk pengenceran 10-1. Pengenceran dilakukan
dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah homogen dengan pipet steril,
lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer steril
sehingga terbentuk pengenceran 10 -2 kemudian larutan dikocok sampai homogen.
Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari
masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan sampel dan
dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet
steril. Media agar ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 20 ml dan
digoyangkan sampai merata (metode tuang). Cawan petri (agar yang sudah
membeku) diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37oC
selama 48 jam.

8. Kadar Fosfor (Muchtadi, 1989)

Sampel halus ditimbang sebanyak 5 gram di dalam gelas piala 150 ml,
ditambahkan 20 ml asam nitrat pekat, kemudian dididihkan selama 5 menit.
Didinginkan dan ditambah 5 ml asam sulfat pekat, kemudian dipanaskan dan
menyempurnakan “digestion” dengan menambah HNO3 setetes demi setetes
sampai larutan tidak berwarna. Sampel dipanaskan sampai timbul asap putih, dan
didinginkan. Ditambahkan 15 ml air destilata dan dididihkan lagi selama 10
menit, dan didinginkan. Kemudian pindahkan larutan kedalam labu takar 250 ml.
Gelas piala dibilas sampai bersih, masukkan bilasan kedalam labu takar. Larutan
diencerkan dalam labu takar sampai tanda tera dengan air destilata.
Larutan diambil sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100
ml, dan ditambahkan 40 ml air destilata dan 25 ml pereaksi vanadat-molibdat.
Larutan diencerkan dengan air destilata sampai tanda tera. Larutan didiamkan
selama 10 menit, kemudian absorbansi diukur dengan kolorimeter pada panjang
gelombang 400 nm. Konsentrasi fosfor dicatat dari kurva standar berdasarkan
absorbansi yang terbaca.
C × 2,5
Kadar Fosfor (%) = × 100%
W

C = konsentrasi fosfor dalam sampel (mg/100 ml) yang terbaca dari kurva
standar.
W = berat sampel yang digunakan

9. Kadar Besi

Senyawa besi dalam contoh uji didestruksi dalam suasana asam sampai
terlarut semua, kemudian diukur kadarnya dengan Spektrofotometer Serapan
Atom (SSA) secara langsung. Sampel sebanyak ± 3,0 gram didestruksi dengan
menggunakan asam nitrat 5-10 ml. Sebelumnya sample dilarutkan terlebih dahulu
di dalam 25 ml aquades. Larutan dipanaskan hingga tersisa ± 10 ml. Setelah
dingin, ditambahkan kembali 5 ml HNO3 dan 1-3 ml asam perklorat setetes demi
setetes melalui dinding erlenmeyer. Kemudian dipanaskan kembali hingga
menjadi jernih dan timbul asap putih. Setelah timbul asap putih, pemanasan
dilanjutkan hingga ± 30 menit. Contohn uji di saring dengan kertas saring
kuantitatif dengan ukuran pori 0,8 m. Filtrat diencerkan dalam labu takar 100 ml.
Larutan blanko dibuat dengan cara yang sama, tanpa penambahan sampel uji.
Pembuatan spike matrix dilakukan dengan cara yang sama, dengan penambahan ±
3,0 gram sampel dan larutan baku Fe.
Pengukuran kadar besi dengan menggunakan alat SSA dengan terlebih dahulu
dibuat kurva kalibrasi untuk uji Fe. Kadar besi diperoleh dengan memplotkan hasil
pengukuran besi dengan kurva kalibrasi. Perhitungan kadar besi dengan menggunakan
rumus:

C×V
Fe = di mana: Fe adalah kadar besi ( g/g)
B
C adalah kadar besi yang diperoleh dari kurva kalibrasi
g/ml)
V adalah volume akhir
B adalah berat contoh uji (g)
Lampiran 3. Rekapitulasi analisis ragam nilai pH

Descriptives

HASIL
95% Confidence
Std. Std. Interval for Mean
N Mean Deviation Error Lower Upper Minimum Maximum
Bound Bound
cumi segar 6 6.6250 .01871 .00764 6.6054 6.6446 6.61 6.66
cumi produk 6 6.6383 .05492 .02242 6.5807 6.6960 6.58 6.70
Total 12 6.6317 .03973 .01147 6.6064 6.6569 6.58 6.70

Test of Homogeneity of Variances

HASIL
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
21.000 1 10 .001

ANOVA

HASIL
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .001 1 .001 .317 .586
Within Groups .017 10 .002
Total .017 11
Lampiran 4. Diagram warna
Lampiran 5. Warna sampel dalam derajat hue

o
Warna hue
Red purple 342 – 18
Red 18 – 54
Yellow red 54 – 90
Yellow 90 – 126
Yellow green 126 – 162
Green 162 – 198
Blue green 198 – 234
Blue 234 – 270
Blue purple 270 – 306
Purple 306 – 342
Lampiran 6. Rekapitulasi analisis ragam nilai kekerasan

Descriptives

HASIL
95% Confidence
Std. Std. Interval for Mean
N Mean Deviation Error Lower Upper Minimum Maximum
Bound Bound
cumi segar 10 3.7600 1.59457 .50425 2.6193 4.9007 1.70 6.80
cumi produk 10 6.8000 1.08423 .34286 6.0244 7.5756 5.30 8.90
Total 20 5.2800 2.04775 .45789 4.3216 6.2384 1.70 8.90

Test of Homogeneity of Variances

HASIL
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.937 1 18 .346

ANOVA

HASIL
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 46.208 1 46.208 24.855 .000
Within Groups 33.464 18 1.859
Total 79.672 19
Lampiran 7. Rekapitulasi analisis ragam kadar air

Descriptives

HASIL
95% Confidence Interval for
Std. Mean
N Mean Deviation Std. Error Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
cumi segar 3 84.543033 .2334928 .1348071 83.963005 85.123062 84.2734 84.6799
cumi produk 3 72.567827 .3637236 .2099959 71.664287 73.471366 72.1510 72.8211
Total 6 78.555430 6.5647847 2.6800621 71.666111 85.444749 72.1510 84.6799

Test of Homogeneity of Variances

HASIL
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1.281 1 4 .321

ANOVA

HASIL
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 215.108 1 215.108 2302.918 .000
Within Groups .374 4 .093
Total 215.482 5
Lampiran 8. Rekapitulasi analisis ragam kadar protein

Descriptives

HASIL
95% Confidence
Std. Interval for Mean
N Mean Deviation Std. Error Lower Upper Minimum Maximum
Bound Bound
cumi segar 3 8.892967 2.8650892 1.6541600 1.775691 16.010243 5.9978 11.7270
cumi produk 2 14.427850 1.0792571 .7631500 4.731110 24.124590 13.6647 15.1910
Total 5 11.106920 3.6859255 1.6483960 6.530239 15.683601 5.9978 15.1910

Test of Homogeneity of Variances

HASIL
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.935 1 3 .405

ANOVA

HASIL
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 36.762 1 36.762 6.273 .087
Within Groups 17.582 3 5.861
Total 54.344 4

Anda mungkin juga menyukai