Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KOMPONEN PASANG SURUT UNTUK MENENTUKAN ELEVASI DERMAGA

PELABUHAN KUALA TANJUNG

Hafni Jayanti1, Dr. Ir A. P. Mulia Tarigan, M.Sc2


1
Mahasiswa Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus USU Medan
Email : hafnijayanti82@gmail.com
2
Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus USU
Medan
Email : a.perwira@usu.ac.id

ABSTRAK

Pengetahuan tentang hidrografi salah satunya adalah pengamatan pasang surut air laut, sangat diperlukan
dalam pengembangan wilayah perairan seperti transportasi laut, kegiatan di pelabuhan, pembangunan di daerah
pesisir pantai dan lain-lain karena mengingat wilayah Indonesia yang tersebar luas. Metode penelitian yang
digunakan yaitu metode kuantitatif dan data yang digunakan adalah data sekunder kemudian dianalisis
menggunakan dengan menggunakan metode Admiralty dan Least Square. Dari hasil analisa pasang surut diperoleh
nilai komponen pasang surut M2 dan S2 lebih dominan dibandingkan dengan komponen yang lain, yaitu senilai
79,152 dan 79,658 cm serta nilai fase 102,635˚ dan 25,548˚ yang berasal dari data pengamatan tidak langsung
menggunakan metode Admiralty dan Least Square (program World Tides). Dari perhitungan tersebut diperoleh
bilangan Formzhal sebesar 0,185. Pengolahan data pasang surut menggunakan metode Admiralty menghasilkan
nilai komponen amplitudo yang mendekati nilai komponen hasil pengolahan metode Least Square tetapi berbeda
pada nilai fase. Berdasarkan bilangan Formzhal dapat diketahui bahwa perairan pelabuhan Kuala Tanjung memiliki
tipe harian ganda (semi diurnal). Dari hasil analisa dan perhitungan diperoleh nilai High Water Spring pada tahun
2016 sebesar 296 cm dan elevasi dermaga pelabuhan Kuala Tanjung sebesar 5,5 m dari LWS.

Kata Kunci : Pasang surut, Admiralty, Least square, World Tides, High Water Spring, Elevasi Dermaga

ABSTRACT

The observation of tides is one of the knowledge in Hidrology, which is really important in case to
develop the territorial zone, such as water transportation, activities in harbour, the development in coast, and any
others knowing the landmass of Indonesian area is quite large. The research method that used is quantitative
method and the data which is used is the second data. The second data itself is analysed using Admiralty method
and Least Square. From the result of tides analysis, we have got a component value of tides M 2 dan S2 are more
dominant compared with other values; 79,152 and 79,658 cm also the number of phase 102,635 O and 25,548O,
which are came from the data of indirect observation that using Admiralty method and Least Square (World
Tides program), from that calculation we have got the number of Formzhal is 0.185. The processing data of tides
that using Admiralty method deliver the value of Amplitudo’s component, which is closer to the value of
processing Least Square’s method, but the difference is on the number of phase. According to the number of
Formzhal, we acknowledge a harbour water of Kuala Tanjung have a semi-diurnal tides. From the result of the
analysis and the calculation, we have got the number of High Water Spring in year 2016 on the amount of 296
cm and the elevation of Jetty in Kuala Tanjung is on the amount of 5,5 m from LWS.

Keywords: tides, Admiralty, Least Square, World Tides, High Water Spring, Elevation of Jetty
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan, wilayah Indonesia yang terdiri lebih dari 17.499 pulau dan
tersebar luas (Dishidros, 2006), Indonesia menyadari potensi perairan yang ada sebagai
sumberdaya kehidupan maritim maupun sebagai media penghubung antar pulau, masih perlu
dikembangkan. Berdasarkan hal tersebut, pengetahuan tentang hidrografi sangat diperlukan dalam
pengembangan wilayah perairan seperti transportasi laut, kegiatan di pelabuhan, pembangunan di
daerah pesisir pantai dan lain-lain.
Hidrografi adalah cabang dari ilmu terapan yang membahas tentang pengukuran dan
deskripsi atau uraian permukaan laut dan kawasan pantai terutama untuk keperluan navigasi
maupun kegiatan kelautan yang lainnya, termasuk kegiatan lepas pantai, perlindungan lingkungan,
dan untuk kegiatan peramalan (IHO, 2006). Salah satu bagian dari survei hidrografi adalah
pengamatan pasang surut (pasang surut) air laut. Pasang surut air laut didefinisikan sebagai naik
turunnya permukaan laut karena adanya pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh benda-benda langit
(Ali, dkk, 1994).
Pada umumnya, data pasang surut dapat digunakan untuk menetapkan ketinggian patok
titik ikat (titik referensi) geodesi dalam rangka pengembangan wilayah perairan serta pembuatan
peta topografi. Titik ikat utama berupa peil, yang dipasang di tepi pantai, biasanya di daerah
pelabuhan. Ada beberapa definisi muka air yang digunakan sebagai tinggi referensi, antara lain
yang sering digunakan yaitu muka air tertinggi untuk perencanaan elevasi bangunan-bangunan
pelabuhan agar tetap aman
Komponen harmonik yang dihasilkan dari data pengamatan pasang surut dapat digunakan untuk
menentukan datum vertikal. Datum vertikal merupakan permukaan ekipotensial yang mempunyai
kedudukan permukaan air laut rata-rata yang digunakan sebagai bidang acuan dalam penentuan
posisi vertikal (Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan, 2004).
Berdasarkan hal tersebut, pada tugas akhir ini dilakukan pengolahan data pasang surut
dengan metode Admiralty dan Least Square untuk mendapatkan komponen harmonik pasang
surut sehingga dapat digunakan untuk menentukan datum vertikal. Datum vertikal yang digunakan
dalam tugas akhir ini yaitu HWS (High Water Spring).
Dengan diketahuinya HWS, maka dapat dihitung pula elevasi dermaga pelabuhan sesuai
dengan Standar Kriteria Desain untuk Pelabuhan di Indonesia tahun 1984. Selain itu, pada
penelitian ini juga menentukan prediksi pasang surut pada tahun berikutnya untuk menganalisa
keamanan dermaga.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pasang Surut
Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik- turunnya muka
laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan
terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan
suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh
kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh
matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih
jauh atau ukurannya lebih kecil.
Pasang surut yang terjadi di bumi ada tiga jenis yaitu: pasang surut atmosfer (atmospheric
tide), pasang surut laut (oceanic tide) dan pasang surut bumi padat (tide of the solid earth).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek
sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung
dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari
matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam
membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi.
Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua
tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan
oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari.
Komponen penting yang perlu diketahui sebagai hasil analisis data pasang surut adalah :
 LWS (Low Water Spring) merupakan hasil perhitungan level muka air rata-rata terendah
(surut), sering disebut juga MLWS ( Mean Low Water Surface)
 MSL (Mean Sea Level) adalah elevasi rata-rata muka air pada kedudukan pertengahan antara
muka air terendah dan tertinggi
 HWS (High Water Spring) adalah elevasi rata-rata muka air tertinggi (pasang), disebut juga
MHWS (Mean High Water Surface)

Tipe Pasang Surut

Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesia dibagi menjadi 4 yaitu :


1. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)
Merupakan pasang surut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu, ini
terdapat di Selat Karimata
2. Pasang surut harian ganda (semidiurnal tide)
tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andam
3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal)
Merupakan pasang surut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut
terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan
waktu. Pasang surut ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.
4. Pasang surut campuran condong harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal)
Merupakan pasang surut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi
terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang
berbeda. Tipe ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur.

Menurut Dr. Ir. Nur Yuwono, Dip. HE (1994) tipe-tipe pasang surut di atas dapat diketahui
dengan menggunakan angka pasang surut ( tide of number) atau bilangan Formzal (F) :

𝐴𝐾1 +𝐴𝑂1
𝐹= (1)
𝐴𝑀2 +𝐴𝑆2

dengan : F = angka Pasang Surut ( bilangan Formzal)


𝐴𝐾1 = amplitudo dari komponen pasang surut K1
𝐴𝑂1 = amplitudo dari komponen pasang surut O1
𝐴𝑀2 = amplitudo dari komponen pasang surut M2
𝐴𝑆2 = amplitudo dari komponen pasang surut S2

Klasifikasi pasang surut dilakukan sebagai berikut :


F ≤ 0.25 = Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide)
F ≥ 3.00 = Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)
0.25 < F < 1.50 = Pasang surut campuran condong harian ganda
1.50 < F < 3.00 = Pasang surut campuran condong harian tunggal

Elevasi Dermaga
Untuk menghitung elevasi dermaga, digunakan rumus sebagai berikut:
1
H = HWS + 𝐻𝑑 + 𝐹𝑟𝑒𝑒𝑏𝑜𝑎𝑟𝑑 (2)
2

dengan : H = elevasi dermaga (m)


HWS = High Water Spring (m) = 𝑆0 +(𝑀2 +𝑆2+ 𝐾1 + 𝑂1 )
Hd = Tinggi gelombang rmaksimum
Freeboard = Tinggi jagaan
3. METODE PENELITIAN
Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini digambarkan pada bagan alir berikut :

Gambar 1 Diagram alir pengolahan data

4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN


Analisa Komponen Pasang Surut (Metode Admiralty)
Analisis harmonik komponen pasang surut dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo dan fase
dari komponen ( M2, S2, N2, K1, O1, M4, MS4) dari data pasang surut.
Nilai amplitudo dan fase dari komponen pasang surut daerah perairan pelabuhan Kuala Tanjung
dengan pengolahan metode admiralty untuk bulan Januari sampai Desember 2016 dapat dilihat
pada Tabel 1. Pada Tabel tersebut, terlihat bahwa komponen pasut M2 (Komponen utama Bulan)
merupakan komponen yang dominan dengan nilai amplitud0 79,152 cm dan fase 102,635˚
.Sedangkan komponen S2 (komponen matahari) merupakan komponen terbesar kedua kedua
setelah M2 dengan nilai amplitudo 35,023 cm dan fase 125,451˚.
Tabel 1 Nilai amplitudo dan fase pasang surut tahun 2016 menggunakan metode Admiralty
Analisa Komponen Pasang Surut (Metode Least Square)
Nilai amplitudo dan fase dari komponen pasang surut daerah perairan pelabuhan Kuala Tanjung
dengan pengolahan metode Least Square dengan program world tides untuk bulan Januari sampai
Desember 2016 dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel tersebut, terlihat bahwa komponen pasang
surut M2 (Komponen utama Bulan) merupakan komponen yang dominan dengan nilai amplitudo
79,658 cm dan fase 25.548˚ .Sedangkan komponen S2 (komponen matahari) merupakan
komponen terbesar kedua kedua setelah M2 dengan nilai amplitudo 34,967 cm dan fase 127,160˚.
Tabel 2 Nilai amplitudo dan fase pasang surut tahun 2016 menggunakan metode Least Square
(Program World Tides).

Perbandingan Hasil Pengolahan Data Pasang Surut Metode Admiralty dengan Least Square

1. Analisa Komponen Pasang Surut


Pebandingan nilai amplitudo dan fase dari komponen pasang surut daerah perairan pelabuhan
Kuala Tanjung antara metode Admiralty dengan Least Square untuk bulan Januari sampai
Desember 2016 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan nilai amplitudo dan fase pasang surut tahun 2016 metode Admiralty dengan
Least Square

2. Analisa Tipe Pasang Surut


Tipe pasang surut dapat ditentukan dari hasil pembagian jumlah amplitudo komponen K1
dan O1 dengan jumlah amplitudo komponen M2 dan S2. Perbandingan nilai Formzhal antara
metode Admiralty dengan Least Square dapat dilihat di bawah ini :
1. Metode Admiraty
01 + K1 3,247 + 17,793
F= = = 0,184
M2 + S2 79,152 + 35,023
2. Metode Least Square
01 + K1 3,250 + 18,017
F= = = 0,185
M2 + S2 79,658 + 34,967

Dari perhitungan di atas diketahui bahwa nilai Formzhal pada metode admiralty dan Least Square
lebih kecil dari 0,25 maka pasang surut di perairan pelabuhan Kuala Tanjung memiliki tipe harian
ganda (semidiurnal tide) dengan bilangan Formzhal sebesar 0,184 dan 0,185 dimana komponen
M2 dan S2 lebih dominan dibandingkan komponen yang lainnya.

3. Fluktuasi Mean Sea Level


Dari pengolahan data pasang surut selama satu tahun dengan metode admiralty dan least
square, dapat diketahui pola fluktuasi duduk tengah atau mean sea level di perairan kuala tanjung
pada tahun 2016 dengan rata-rata S0 sebesar 160 cm.

4. Analisa High Water Spring


High Water Spring (HWS) perairan pelabuhan Kuala Tanjung pada tahun 2016 diperoleh
dengan menggunakan rumus :
HWS = S0 +(M2 +S2+ K1 + O1 )

Perbandingan antara High Water Spring metode Admiralty dengan Least Square dapat dilihat pada
perhitungan di bawah ini.

Metode Admiralty : HWS = 160,086+(79,152+35.023+17.793+3,247)


= 295,301 ≈ 296 cm
= 2,96 m
Metode Least Square : HWS = 160,083+(79,658+34,967+18,017+3,250)
= 295,975 ≈ 296 cm
= 2,96 m

Analisa Elevasi Dermaga


Berdasarkan laporan LAPI ITB seluruh nilai elevasi pada perencanaan dermaga pelabuhan
dikaitkan pada elevasi terendah +0.00 LWS. Untuk menghindari gaya angkat pada lantai dermaga
akibat gelombang, elevasi terendah lantai dermaga harus memenuhi :
1
Elevasi Dermaga (H) = 𝐻𝑊𝑆 + 𝐻𝑑 + 𝐹𝑟𝑒𝑒𝑏𝑜𝑎𝑟𝑑
2
Dimana :
HWS = High Water Spring
Hd = Tinggi Gelombang Maksimum
Freeboard = Tinggi Jagaan
= 1 m (menurut buku Bambang Triatmodjo,Pelabuhan)

Hasil dari data ECMWF ( European Center for Medium-Range Weather Forecasts) dalam Andika
(2015) selama 1999 - Juni 2014 diketahui tinggi gelombang Hd yaitu 1,69 m. Maka elevasi
terendah lantai dermaga pelabuhan Kuala Tanjung yaitu :
1
𝐻 = 2,96 + (1,69) + 1 = 4,8 𝑚 LWS
2
Karena 4,8 m LWS merupakan elevasi minimum, maka elevasi dermaga diambil +5,5 m LWS.

Kenaikan Muka Air Laut ( Sea Level Rise)


Kenaikan muka air laut yang sering disebut dengan sea level rise merupakan peningkatan
volume air laut yang disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks, seperti pasang surut dan
perubahan iklim global.

Peta kenaikan muka air laut Indonesia berdasarkan satelit Altimeter dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Kenaikan muka air laut berdasarkan Altimeter

Dari gambar di atas maka diperkirakan kenaikan muka air laut perairan pelabuhan kuala
tanjung berkisar antara 2-8 mm/tahun.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor KP 148 tahun
2016 tentang rencana induk pelabuhan Kuala Tanjung Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa
tahun akhir rencana pelabuhan Kuala tanjung yaitu tahun 2078. Sehingga pada akhir tahun
rencana 2078 dapat diperoleh sebagai berukut :
Kenaikan muka air laut pada tahun 2078 = (2078 − 2016) 𝑥 8 𝑚𝑚 ≈ 500 𝑚𝑚

Elevasi Muka Air Dermaga


Berdasarkan Hasil Analisis data pasang surut dan data perencanaan maka elevasi muka air
dermaga pelabuhan Kuala Tanjung dapat ditentukan sebagai berikut :
LWS ( Low Water Spring) = 0,00 m
MSL ( Mean Sea Level ) = +1,60 m LWS
HWS (High Water Spring ) = +2,96 m LWS
Elevasi Dermaga = +5,5 m LWS
Kedalaman kolam dermaga = -14,00 m LWS
Kenaikan Muka air Laut = 0,5 m pada Tahun 2078

Berdasarkan data di atas maka elevasi muka air dermaga pelabuhan Kuala Tanjung pada tahun
2016 dan 2078 (tahun akhir rencana) dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3 Elevasi Dermaga pelabuhan Kuala Tanjung


Gambar 4 Elevasi Dermaga pelabuhan Kuala Tanjung terhadap kenaikan muka air laut pada
tahun 2078

Analisa Draft Kapal Terbesar


Draft kapal adalah kedalaman kapal atau badan kapal yang tenggelam di dalam air. Draft
kapal ditentukan oleh karateristik kapal terbesar yang menggunakan pelabuhan, muatan yang
diangkut, dan juga sifat-sifat air seperti berat jenis, salinitas, dan temperatur.

1. Karakteristik Kapal
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor KP 148 tahun
2016 tentang rencana induk pelabuhan Kuala Tanjung Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa
ukuran kapal maksimum pelabuhan Kuala tanjung yaitu 50.000 DWT. Spesifikasi ukuran draft
kapal dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Ukuran Kapal Kontainer (PANAMAX)

Sumber : Fentek Marine Fendering System


di mana :
DWT = Deadweight Tonnage
MD = Displacement (ton)
LOA = Length Overall (m)
LBP = Length Between Perpendiculars (m)
B = Beam (m)
D = Laden Draft (m)
F = Laden Freeboard (m)
Dari Tabel di atas, ukuran draft kapal maksimum pelabuhan Kuala Tanjung dapat dilihat pada
Gambar 5 .

Gambar 5 Ukuran draft kapal 50.000 DWT

2. Kedalaman Alur pelayaran


Kedalaman alur pelayaran ditentukan berdasarkan beberapa faktor seperti ditunjukkan pada
Gambar 6.

Gambar 6 Kedalaman alur pelayaran

Kedalaman dasar alur ( H ) dapat dicari dengan rumus :


H=d+G+z+R
di mana :
d = draft kapal terbesar = 12,5 m
G = Gerakan vertikal kapal karena gelombang = 0,5 x B x sin α ; B = lebar
kapal terbesar = 32,2 m, α = sudut kemiringan kapal = 5 ˚
G = 0,5 x 32,2 x sin 5˚
= 1,40 m
z = squat = pertambahan draft kapal terhadap muka air yang disebabkan
oleh kecepatan kapal
∆.Fr2 v
z = 2,4 ; ∆= volume air yang dipindahkan (m^3), Fr = Angka Froude ( ),
Lbp2 x√1−Fr2 √2gh
v = kecepatan kapal (m/s), g = percepatan gravitasi (m/s^2), h = kedalaman air (m) dan
Lbp = panjang lambung bebas

∆ = Cb x d x Lbp x B ; Cb = koefisien blok kapal, d = draft kapal, Lbp = panjang lambung


bebas, B = lebar kapal
= 0,651 x 12,5 x 253 x 32,2
∆ = 66293
v 7,5
Fr = = = 0,575
√gh √10.17
66293 x 0,5752
z = 2,4 =1m
2532 x √1−0,5752
R = ruang kebebasan bersih = 0,5 m (dasar laut berpasir)

Sehingga
𝐻 = 12,5 + 1,40 + 1 + 0,5 = 15,4 𝑚
Karena kedalaman muka air rencana sebesar 14 m lebih kecil dari elevasi alur nominal maka
diperlukan pekerjaan pengerukan. Kedalaman pengerukan alur ditetapkan dari kedalaman dasar
alur dengan memperhitungkan ketelitian pengukuran, endapan yang terjadi antara dua periode
pengerukan dan toleransi pengerukan.
Kedalaman alur pelayaran (H ) total adalah :
H= d+G+z+R+P+S+K
di mana P = ketelitian pengukuran, S = pengendapan sedimen antara dua pengerukan, K= toleransi
pengerukan, P+S+K = 1 m
Maka :
H = 12,5 + 1,40 + 1 + 0,5 + 1 = 16,4 m ≈ 17 m

Jadi kedalaman pengerukan alur pelayaran yang dibutuhkan yaitu :


h = 17 m – 14 m = 3 m

3. Lebar Alur
Menurut buku Triadmodjo ( 2009) lebar alur pelayaran dapat dibagi menjadi dua yaitu :

1. Lebar alur satu lajur

Lebar alur satu jalur pelayaran dapat dilihat pada Gambar 7 dan dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :

Lebar alur = 1,5 B + 1,8 B + 1,5 B

Gambar 7 Lebar alur satu lajur


di mana :
B = lebar kapal = 32,2 m
A = lebar lintasan manuver kapal = 1,8 B = 1,8 x 32,2 = 57,96 m
D = ruang bebas minimum di bawah lunas kapal (Under Keel Clearance)
Under Keel Clearance minimum = 10% x draft kapal = 10% x 12.5 m = 1.25 m
Maka lebar alur satu jalur pelayaran yaitu :

Lebar alur = 1,5 (32,2) + 1,8 (32,2) + 1,5 (32,2) = 154,56 m


2. Lebar alur dua jalur pelayaran

Lebar alur dua jalur pelayaran dapat dilihat pada Gambar 8 dan dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
Lebar alur = 1,5 B + 1,8 B + C + 1,8 B + 1,5 B

Gambar 8 Lebar alur dua lajur

di mana :
B = lebar Kapal = 32,2 m
A = lebar lintasan manuver kapal = 1,8 B = 1,8 x 32,2 = 57,96 m
C = ruang bebas antara lintasan maneuver kapal = B = 32,2 m
D = ruang bebas minimum di bawah lunas kapal (Under Keel Clearance)
Under Keel Clearance minimum = 10% x draft kapal = 10% x 12.5 m = 1.25 m

Maka lebar alur satu jalur pelayaran yaitu :

Lebar alur = 1,5 (32,2) + 1,8 (32,2) + 32,2 + 1,8 (32,2) + 1,5 (32,2) = 244,72 m

Struktur Dermaga Pelabuhan Kuala Tanjung

Struktur jetty direncanakan berupa deck-on-pile, dimana struktur atas terbuat dari beton bertulang
dan didukung oleh tiang-tiang pancang baja.
\Konfigurasi struktur jetty terdiri atas berthing dan mooring dolphin sebagai struktur sandar dan
tambat kapal, lading platform sebagai tempat bongkar-muat komoditas curah (CPO dan
turunannya) dari/ke kapal serta trestle yang menghubungkan loading platform dengan fasilitas di
darat.

Struktur dermaga pelabuhan Kuala Tanjung dapat dilihat pada Gambar 9.


Gambar 9 Struktur dermaga pelabuhan Kuala Tanjung ( Perencanaan pelabuhan Kuala Tanjung
2014 )

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah :
1. Dari pengolahan data pasang surut menggunakan metode Admiralty menghasilkan nilai
komponen amplitudo yang mendekati nilai komponen hasil pengolahan metode Least Square
tetapi berbeda pada nilai fase.
2. Perairan pelabuhan Kuala Tanjung memiliki tipe pasang surut harian ganda (semi diurnal)
dengan bilangan Formzhal sebesar 0,185 dimana komponen M2 dan S2 lebih dominan
dibandingkan komponen yang lainnya.
3. Nilai High Water Spring yang didapat dari perhitungan komponen pasang surut tahun 2016
yaitu sebesar 296 cm.
4. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh elevasi dermaga pelabuhan Kuala Tanjung sebesar 5,5
m dari LWS.

Saran
1. Dalam pengolahan data pasang surut harus dilakukan dengan teliti. Hindari kekosongan data
agar data tersebut dapat diolah dengan hasil yang baik dan maksimal.
2. Dalam penentuan elevasi dermaga, diperlukan pengamatan yang panjang dan teliti karena hal
ini merupakan pekerjaan yang berfungsi untuk jangka panjang serta menuntut keamanan
sebagai faktor utama.
3. Pemantauan secara berkala terhadap bangunan dermaga harus terus dilakukan agar keamanan
dermaga dapat terus terkontrol.
6. DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. 2003. Kegunaan Informasi dan Data Pasang Surut Dalam Rekayasa Wilayah Pesisir
dan Laut. Bandung. Institut Teknologi Bandung.

Armono, H. 2005. Final Report Elevasi Dermaga. Surabaya. Jurusan Teknik Kelautan ITS
Surabaya.

Dronkers, J. J. 1964. Tidal Computations in Rivers and Coastal Waters. North- Holland
Publishing Company. Amsterdam.

Jasin, I, dkk. 2015. Analisa Pasang Surut di Pantai Nuangan Boltim dengan Metode
Admiralty.Manado. Jurusan Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi.

Kamphuis, J. W. (2000), Introduction to Coastal Engineering and Management World Scientific,


Singapura.

Kramadibarata, S. (1985), Perencanaan Pelabuhan, Bandung, Ganexa Exact Bandung.

King, C. A. M. 1966. An Introduction to Oceanography. McGraw Hill Book Company, Inc. New
York. San Francisco.

Kisnarti, A. E, dkk. 2014. Methods of Tidal Approach for determination of Sea Level Rise
in Surabaya Waters, The International Journal Of Engineering And Science 3(2) 12-17.

LAPI ITB, 2012, Laporan Detail Desain Rencana Pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung,
LAPI ITB: Bandung.

Leorri, E. 2011. Sea Level Rise and Local Tidal Range Change in Coastal Embayments, Journal of
Integrated Coastal Zone Management 11(3):307-31.

Mac Millan, C. D. H. 1966. Tides American Elsevier, Publishing Company, Inc, New York.

Masoud, M. 2012. Least Square Analysis of Noise Free Tides, Journal of the Persian Gulf
(Marine Science), Vol : 3 / 13-24.

Pariwono, J. I. 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut. Dalam Pasang Surut. Ed. Ongkosongo,
O.S.R dan Suyarso. P3O-LIPI. Jakarta.

R. N , Glen, N.C. 1977. The Admiralty Method of Tidal Prediction.N. P. 159, International
Hydrographic Review.

Republik Indonesia, 2016, Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor KP 148
tahun 2016 tentang rencana induk pelabuhan kuala tanjung Provinsi Sumatera Utara,
Kementrian Perhubungan: Jakarta.

T. Frank, dkk. 2011. Mean Sea Level and Tidal Analysis along the german North Sea Coastline,
Journal of Coastal Resaearch SI 64/ 501-505.

Triatmodjo, B. 1996. Pelabuhan.. Beta Offset, Yogyakarta.

Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai.. Beta Offset, Yogyakarta.

Triatmodjo, B. 2009. Perencanaan Pelabuhan. Beta Offset, Yogyakarta.

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the South East Asian Waters. NagaReport Vol. 2
Scripps, Institute Oceanography, California.

Anda mungkin juga menyukai