Anda di halaman 1dari 2

Public Sphere

Konsep ‘ruang publik’ pertama kali digagas oleh Jurgen Habermas dalam buku Strukturwandel
der Offentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Burgerlichen Gesellschaft (1962)
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1989 dengan judul The
Structural Transformation of The Public Sphere.
Dalam bukunya, Habermas merujuk pada konsep “ruang publik borjuis”, yang berfungsi untuk
memperantarai keprihatinan privat individu dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga,
yang dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dan keprihatinan dari kehidupan sosial dan publik.
Menengahi kontradiksi antara kaum borjuis dan penduduk, mengatasi kepentingan-kepentingan
dan opini privat, guna menemukan kepentingan-kepentingan bersama, dan untuk mencapai
konsensus yang bersifat sosial.

Konsep public sphere ini merujuk pada "pentas atau arena di mana masyarakat mampu
mengemukakan opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas dari
tekanan siapapun". Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud komunikasi yang
memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak bersama secara diskursif.

Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17
dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul
dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas deskripsi historis tersebut diperluas
Habermas untuk merumuskan konsep ideal partisipasi publik didalam masyarakat demokratis
dewasa ini.
Menengok kembali pada dewasa ini, tentang fenomena publik sphare tercermin melalui tempat-
tempat umum seperti pasar, taman, warung makan, kedai kopi, dsb. Ditempat-tempat tersebut
orang-orang mendiskusikan topic terhangat yang terjadi disekitar mereka, mulai dari masalah
ekonomi, sosial hingga politik. Atmosphere yang santai dan bebas berpendapat menjadi
penunjang utama public sphere tersebut berjalan.
Disamping itu kestaraan derajat sosial menjadi persyaratan penting dalam terbentuknya public
sphere. Kita tengok saja fenomena hubungan yang terjadi di mall. Walaupun mall juga termasuk
sebuah public sphere, namun tidak semua kalangan masyarakat dapat mengaksesnya tanpa
terbentur diskriminasi. Contohnya bila ada seorang yang berpakaian lusuh bak gelandangan,
security pasti akan melarangnya masuk dengan alasan kemanan dan kenyamanan pengunjung
mall lainnya. Padahal ruang publik yang paling ideal adalah ruang yang harus bisa diakses
semua orang, tanpa diskriminasi.

Bila kita telaah lebih dalam konsep tentang ruang public borjuis, baik masa sekarang ataupun
masa lampau, kesenjangan sosial selalu menjadi masalah utama dalam terbentuknya public
sphere. Masing-masing kelas masyarakat seakan-akan memiliki "ruang publik"-nya sendiri-
sendiri.
Kaum borjuis memiliki ruang publik mereka sendiri untuk membicarakan kebijakan-kebijakan
dan bisnis yang akan melibatkan masyarakat sipil dalam pelaksanaannya, dan masyarakat sipil
memiliki ruang public mereka sendiri untuk mengkritik prilaku kaum borjuis ini. Dalam hal ini
media masa berperan sebagai alat untuk menghubungkan antara public sphare kaum borjuis dan
public sphare masyarakat sipil.

Kualitas ruang publik sebuah kota bergantung pada negosiasi kepentingan antara tiga kekuatan:
swasta, publik, dan negara. Masalah selalu muncul karena terjadi ketidakseimbangan, terutama
ketika ruang publik hanya dipandang sebagai komoditas yang bisa dengan mudah diperjual-
belikan oleh negara. Terjadilah kota yang hanya diperuntukkan untuk memfasilitasi kepentingan
kapital.

Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik
sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti lapangan olah raga, taman kota,
arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya lama-kelamaan menghilang digantikan oleh
mal, pusat-pusat perbelanjaan, ruko-ruko dan ruang-ruang bersifat privat lainnya. Mall atau
pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang publik meski
dewasa ini tempat-tempat tersebut sering dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi,
atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan seusai menghadapi berbagai rutinitas pekerjaan.
Karena meskipun terbuka untuk umum, mall tetap menampilkan wajah yang privat di mana di
dalamnya orang yang ada di sana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu.

Referensi :

http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/38

http://ibnuadamaviciena.wordpress.com/2007/07/24/ruang-publik/

http://www.goodreads.com/story/show/17211-sedikit-rubrik-tentang-ruang-publik

Anda mungkin juga menyukai