Anda di halaman 1dari 20

SINDROMA STEVEN JOHNSON DAN

NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

Zuhrial Zubir, Reny Fahila

PENDAHULUAN

Defenisi

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah reaksi mukokutan
akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas, disertai rasa sakit dan
dapat menyebabkan kematian. Makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas,
berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Karena
kesamaan dalam temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya
penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang berbeda hanya dalam
persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua penyakit dikelompokkan sebagai
1
nekrolisis epidermal (NE)..

Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens dan F.C. Johnson
setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular dan oral akibat reaksi obat.
Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ, seperti ibuprofen. Pada umumnya obat
tersebut adalah obat anti konvulsan, antibiotik (seperti sulfa, penicillin dan sefalosporin), dan
1,2,3
antiinflamasi.

Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena
kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SJS dan NET ini
dianggap variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta
persentase permukaan tubuh yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan

menggunakan istilah eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET.3

SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit < 10% dari
permukaan tubuh

NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh

Universitas Sumatera Utara


SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit 10-30% dari luas permukaan
tubuh.1,2,14

Tabel 1. Klasifikasi SSJ dan NET

(Dikutip sesuai kepustakaan nomor: 1)

Gambar 1. Gambaran luas permukaan pelepasan epidermis pada SSJ, NET dan SSJ overlap NET

(Dikutip sesuai dengan kepustakaan nomor:1)

Epidemiologi

Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET diperkirakan 1
sampai 6 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada semua usia tapi

2
insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio
jenis kelamin 0,6.3,14

Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN, yaitu pada pasien HIV
dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum, dengan jumlah hampir 1
kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV positif. Perbedaan regional pada peresepan obat,
latar belakang genetik dari pasien (HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama
dengan radioterapi dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit tersebut
10% untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET. Dalam analisa
kelangsungan hidup SJS / NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan adalah 23% pada
enam minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun .Bertambahnya usia, komorbiditas
yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang
buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi

pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih. 1,3,5,6,14

Sebuah skor prognosis (SCORTEN) telah disusun untuk SSJ dan NET, dan kegunaannya sudah
dibuktikan pada banyak tim.

Tabel 2. Sebuah sistem skor untuk menilai prognosis pada pasien NET

(Dikutip sesuai kepustakaan nomor:3)

Kepentingan Klinis

SSJ dan NET merupakan salah satu penyakit yang dianggap sebagai kasus kegawatdaruratan dan
mengancam jiwa, sehingga membutuhkan pertolongan yang cepat. Selain itu, penanganan

3
SSJ/NET juga melibatkan multidisiplin ilmu. 1,2,3 Tulisan ini membahas tentang pendekatan
untuk diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk SSJ dan NET.

Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi

Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara pasti, namun sekarang diketahui obat-obatan
adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa atau anak-anak. Terdapat lebih dari
100 obat yang dikenal sebagai penyebab SSJ/NET. Sebuah penelitian case control mengevaluasi
resiko SSJ dan NET yang berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik sulfonamide (khususnya
sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, obat-obat
antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol, klormezanon, aminopenisillin,
sefalosporin,lamotrigin,Nevirapin, kuinolon, dan antibiotik siklik dihubungkan dengan resiko
1,2,5,14
relatif tertinggi.

Tabel 3. Obat-obatan yang dapat beresiko menyebabkan SSJ dan NET

(Dikutip sesuai kepustakaan nomor:3)

Universitas Sumatera Utara


5

Universitas Sumatera Utara


Pasien dengan SSJ dan NET juga harus dievaluasi kemungkinan penyakit dasarnya yang
memungkinkan sebagai penyebab timbulnya reaksi. Infeksi Mycoplasma pneumonia (Sontheiner
dkk, 1978) dan herpes simplek (Orthon, 1984) merupakan infeksi tersering yang menyebabkan
SSJ dan NET. Infeksi adalah penyebab SSJ pada anak-anak yang tersering dimana seringkali
diimplikasikan dengan Mycoplasma pneumonia. Infeksi penyebab lainnya yaitu virus herpes
simpleks, Mycobacterium tuberculosis, streptokokus grup A, virus hepatitis B, dan virus
Eipstein-Barr. Dalam sebuah ulasan sistemik dari literature Jepang yang dipublikasikan, hampir
70% kasus SSJ dianggap disebabkan oleh obat-obatan dan 10% oleh M.pneumoni atau
kombinasi M.pneumonia dan/atau obat-obatan. Seluruh kasus NET dicurigai disebabkan

terutama obat-obatan.2

Faktor Resiko

Faktor resiko nonmedikasi yang telah dihipotesiskan dapat meningkatkan resiko NET termasuk
HIV, radioterapi, dan lupus eritematosus. Sebagai contoh radioterapi dapat memicu atau
memperburuk NET dimana djumpai lesi kulit yang maksimal pada tempat yang terpapar. Infeksi
herpes yang baru dapat berperan dalam perkembangan SSJ akan tetapi tidak pada kasus SSJ/NET
overlap atau NET. Pada pasien HIV telah dilaporkan memiliki 100x lipat lebih tinggi terkena SJS
/NET. NET telah dilaporkan pada pasien lupus eritematosus sistemik, pasien-pasien ini dapat
mengalami NET walaupun tidak mengkonsumsi obat-obatan resiko tinggi atau telah
menggunakan obat-obat tersebut untuk waktu yang lama. Insufisiensi renal dapat menjadi faktor
resiko efek samping kulit yang serius yang diinduksi allopurinol. Kasus SSJ/NET pernah
dilaporkan terjadi setelah transplantasi sumsum tulang, beberapa dapat berat menjadi graft
versus host disease. Radioterapi bersama terapi anti epilepsi juga pernah dilaporkan
2,14
menyebabkan NE pada tempat radiasi tersebut.

Patofisiologi & Patogenesis

Patogenesis NE belum diketahui secara jelas. Penerapan teknik farmakogenomik dan biologi
molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut mengungkapkan bahwa disposisi genetik
sebagaimana mediator imun adalah hal yang penting dalam perkembangan SSJ dan NET.
Walaupun interaksi Fas-FasL sudah dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan
apoptosis keratinosit.

Universitas Sumatera Utara


Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik yang diperantarai sel
melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif. Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+
dan CD 8+ yang menghasilkan mediator sitotoksik yang berakibat apoptosis keratinosit.
Penelitian imunopatologis dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis
dan CD4+ pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis.
Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah perifer penderita SSJ ataupun NET. Sel
sitotoksik CD8+ mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh melalui perforin dan
granzyme B, tidak melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian
akan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen (APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi
toleran atau reaksi efektor seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik
terhadap obat, MHC (major histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan

keratinosit.5,7

Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+ bereaksi terhadap obat-
obatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan jaringan sitotoksik yang rumit dan terbatas
berlawanan dengan keratinosit. Selanjutnya, regulasi CD4+ CD 25+ sel T telah menunjukkan
pentingnya pencegahan kerusakan epidermal hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik reaktif.
Sitokin penting seperti IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas ligand (Fas-L) juga ada
1,2,5,7
pada lesi kulit SSJ/NET..

Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan menyebabkan kematian
sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini bahwa peningkatan level FasL dapat
ditemukan pada serum pasien dengan SSJ dan NET, dan levelnya meningkat secara konsisten

ketika sebelumnya terdapat pelepasan kulit.1,7

Viard et al. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis keratinosit . Ketika limfosit T
sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi kaskade enzim intraseluler yang disebut
kaspase yang kemudian menyebabkan kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi
kaskade kaspase melalui perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi
perubahan pada Fas yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain
Protein). FADD merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang fungsinya
membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan ini kemudian mengalami

Universitas Sumatera Utara


autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya mengaktifkan kaskade kaspase yang
berujung pada apoptosis keratinosit.1,2,7

Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T sitotoksik
mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada membran sel target. Kemudian
granzyme B melewati saluran ini dan mengaktifkan kaskade kaspase. Obat-obatan dapat
mengaktifkan sel T dengan bertindak sebagai hapten, prohapten atau dengan interkasi
7
farmakologi langsung antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T.

Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte Antigen (HLA-B*1502)
berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan SSJ dan NET yang diinduksi
karbamazepin tetapi tidak dengan erupsi eksantematosa diinduksi karbamazepin atau sindroma
hipersensitivitas obat (juga dikenal sebagai reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik
atau DRESS). Satu dari laporan pertama menunjukkan bahwa HLA-B*1502 dijumpai pada
100% pasien SSJ yang diinduksi karbamazepin tetapi hanya sebesar 3% dari pasien yang
mentoleransi karbamazepin dan pada 9% populasi umum. HLA-B*1502 terjadi pada 10-15%
individu dari Cina selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan, dan mempunyai
2,7
angka prevalensi 2-4% lebih tinggi di kelompok Asia selatan lainnya termasuk India.

Gambar 2. Apoptosis keratinosit yang diinduksi sinaps imun dari interaksi obat

(Dikutip sesuai kepustakaan nomor: 7)

Universitas Sumatera Utara


Diagnosis

Tanda dan Gejala

SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat (biasanya setelah 4-30 hari).
Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang cepat dalam beberapa jam. Biasanya

terpapar oleh obat yang sama.5,6

Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian proses penyakit yang
sama termasuk SSJ dan NET. Eritema multiforme (EM), EM mayor, dan EM mayor atipikal
adalah reaksi kutaneus yang biasanya tampak setelah infeksi daripada setelah pengobatan.
Kasus-kasus berat EM mayor dan EM mayor atipikal dapat dibingungkan dengan SSJ.
Kebanyakan peneliti mempercayai bahwa SSJ dan NET berada dalam satu spektrum keparahan

dan berbeda dengan penyakit-penyakit EM.2,3 Diferensiasi antara SSJ dan NET tergantung pada
riwayat lesi kulit dan luasnya area permukaan tubuh yang terlibat. Secara klinis setiap pola reaksi
tersebut ditandai dengan adanya trias erosi membran mukosa, lesi target, dan nekrosis epidermal
2
dengan pengelupasan kulit.

Gejala Prodromal

Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperature melebihi 39°C ( 102,2°F)
sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbul kelainan pada kulit. Timbul
rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal dan panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini
menandakan gejala awal keterlibatan mukosa..Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala
non spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya dengan
keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise dapat mendahului

perkembangan lesi kulit selama 2 minggu.1,3,14

Lesi Pada Kulit

Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian menyebar cepat ke
muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal setelah 4 hari. Erupsi biasanya
simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa
sampai seluruh badan. Lesi kulit awal dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah
kehitaman bentuk ireguler yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna gelap

Universitas Sumatera Utara


di tengah sering terlihat. Lesi nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang meluas
dan difus. Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan, meninggalkan daerah yang
2,3
merah dan erosi. Bula SSJ/NET kendur dan dapat dijumpai Nikolsky’s sign. . Bila terkena
sentuhan lesi ini terasa sakit.

Pasien dapat diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang terkena, yaitu SSJ apabila
total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%. NET apabila total permukaan tubuh yang
terkena >30% dan SSJ/NET overlapping dengan NET bila mengenai total permukaan tubuh yang

terkena adalah antara 10-30%.1,2,3,5,14

Lesi Pada Mukosa

Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati pada 90% kasus dan
mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan eritema yang diikuti oleh erosi
mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri. Biasanya diikuti dengan gangguan
pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir lebih
banyak terkena dan gambaran erosi hemoragik yang nyeri tertutup grayish white
pseudomembrane dan krusta pada bibir.Stomatitis dan mucositis menyebabkan gangguan asupan
1,2,3,5,14
oral sehingga mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi

Pada 85% pasien terdapat lesi konjungtiva, umumnya bermanifestasi hyperemia, erosi, edema
pada konjungtiva, fotofobia dan lakrimasi. Dapat memungkinkan terjadi shedding of eyelashes.
Bentuk yang berat dapat menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan opthalmitis dan
3,14
konjungtivitis purulen. Sinekia antara eyelid dan konjungtiva sering terjadi.

Keterlibatan membran mukosa dapat mengakibatkan komplikasi jangka pendek maupun jangka
panjang yang disebabkan oleh fibrosis dan striktur. Dalam sebuah analisis retrospektif, 60%
pasien SSJ/NET mengalam manifestasi okular selama stadium akut dari sindroma. Keterlibatan
kornea dapat mengakibatkan ulserasi kornea, perforasi, dan perubahan kornea sklerotik yang
2
permanen.

Urogenital sering terlibat pada penderita SJS/NET terutama wanita. Uretritis terjadi sekitar 2/3
pasien , hal ini dapat menyebabkan retensi urin serta erosi genital. Keterlibatan ini ditandai
dengan ulseratif vaginitis, bula vulva dan sinekia vagina. Dalam jangka panjang dapat terjadi

10

Universitas Sumatera Utara


adhesi vagina dan stenosis, terhambat aliran kemih serta retensi urin, cystitis berulang,
hematocolpos. Adenosis vulvovaginal terkait adanya metaplasti serviks atau kelenjar epitel
14
endometrium pernah dilaporkan pada penderita SJS/NET.

Gejala Ekstra Kutan

SSJ/NET dapat melibatkan organ visceral terutama komplikasi pada paru-paru dan
gastrointestinal. Komplikasi pada paru dijumpai 25% kasus yang ditandai dengan sesak nafas,
hipersekresi bronkus, hipoksia, hemaptoe dan edema paru. Keterlibatan bronkus pada SSJ/NET
tidak berhubungan dengan beratnya lesi pada kulit. Pada beberapa kasus yang dilaporkan,
apabila terjadi gagal nafas akut segera setelah munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya
lebih jelek. Kelainan pada gastro dari SSJintestinal jarang ditemukan. Kelainan gastrointestinal
biasanya berupa nekrosis epithelial esofagus, diare, perdarahan gastrointestinal, melena, dan
perforasi kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria, mikroalbuminuria, hematuria
3
dan azotemia. Dapat pula ditemukan adanya akut tubular nekrosis, glomerulonefritis.

LABORATORIUM

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat menegakkan
diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan anemia, limfopenia dan
jumlah leukosit yang normal atau leukositosis nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia
dapat terjadi pada 1/3 pasien. Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya
infeksi bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya insidensi

infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas.4,14

Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah pertama untuk
dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan harus diperiksa secara
menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri. Tingkat serum bikarbonat dibawah 20 µm
mengindikasikan prognosis yang buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan

yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.3

Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET adalah gangguan
keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia

11

Universitas Sumatera Utara


prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia, sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase,
hiperglikemia.Serum urea nitrogen > 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap penanda
3,14
keparahan penyakit.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi
kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Lesi awal menunjukkan
apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis
epidermal yang tebal dan pelepasan epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan
kepadatan sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit dan

makrofag.10,13,14

DIAGNOSIS BANDING

Tidak adanya lesi pada membran mukosa atau hanya terbatas pada satu bagian harus selalu
meningkatkan kecurigaan terhadap diagnosis alternatif : staphylococcal scalded skin syndrome
pada bayi, purpura fulminans pada anak-anak dan dewasa muda, acute generalized,
exanthematous pusstulosis, thermal burns, phototoxicity,atau tekanan bula pada orang dewasa.
Penyakit bullous Linear immunoglobulin A dan pemphigus paraneoplastik muncul dengan hanya
sedikit perkembangan akut. Penemuan patologis dan hasil positif pada tes direct
8,9
immunofluorescence penting diagnosis ini.

Tabel 3. Diagnosis banding SSJ dan NET

12

Universitas Sumatera Utara


(Dikutip sesuai kepustakaan nomor: 13)

PENATALAKSANAAN

Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang harus dilakukan
mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim pada intensive care unit
(ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik
dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan

luka bakar yang luas.1,2

Penatalaksanaan Umum

Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada luka bakar . Selain
menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka, manajemen cairan dan
elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan
15
pengobatan infeksi.

Penghentian Obat Penyebab

Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala obat-obatan yang
diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir. Morbiditas dan mortalitas meningkat
jika obat-obatan yang menjadi penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan
penelitian untuk menentukan apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan prognosis
pasien NET atau SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah
apabila obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1
hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu

paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.2

Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi

SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan erosi, yang
menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang cairan harus
dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka
bakar pada tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran vena
perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran sentral sering

13

Universitas Sumatera Utara


melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang perlu dijaga adalah
temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah
pengeluaran kalori yang berlebihan karena kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara

saat tidur meningkatan rasa nyaman pasien.3,15

Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga memerlukan tambahan
nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh yang terlibat. Terapi
enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan
dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan
akses vena sentral dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube
3
apabila terdapat lesi mukosa mulut.

Antibiotik

Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat menyebabkan resistensi
organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda
klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil, hipoterimia,
menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan
bakteri pada kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat
disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan
5,10,15
yang dikultur dari kulit.

Perawatan Luka

Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif tidak
direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah halangan untuk
reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin

peradangan.3

Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan mencegah
terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik dengan derivat morfin
sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik seperti sabun

povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.3,15

14

Universitas Sumatera Utara


Perawatan Mata dan Mulut

Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap SSJ/NET. Sekitar 80%
pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular akut yang sama pada SSJ maupun NET
dengan keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien,
biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling sering
dilaporkan adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien penyakit
ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata, inflamasi episodik rekuren,
skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang menyerupai pemfigoid membran mukosa.
Perawatan mata meliputi pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan

obat tetes atau salep mata.2,15

Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan rongga mulut,
berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan topikal anestesi seperti
xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan.
Tindakan ini hanya direkomendasikan bila penderita tidak mengalami pharyngealdysphagia.
Hindari makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar. Sebaiknya
makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-kadang
diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-kumur soda bikarbonat, hydrogen
5
peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin.

Perawatan vulvovaginal

Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini harus dilakukan pada
semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan ini untuk mencegah
keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan aglutinasi labial serta mencegah adenosis vagina
( bila dijumpai keterlibatan metaplastik serviks / endometrium, epitel kelenjar divulva atau
vagina ). Pencegahan dengan memberikan kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali sehari
pada pasien dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian kortikosteroid

topical ini disertai dengan krim antijamur topical untuk mencegah kandidiasis vagina.15

Penatalaksanaan Spesifik

Kortikosteroid Sistemik

15

Universitas Sumatera Utara


Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi menemukan bahwa
pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada fase awal.
Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan
dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya,
banyak kasus telah dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan meningkatkan
resiko SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai pedoman
utama pengobatan SSJ/NET.

Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk mencegah penyebaran
yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap (tapering off).
Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat digunakan deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan
karena pada umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET,
kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis. Kortikosteroid
juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak jaringan termasuk kulit dengan menghambat

aktivitas Fas-FasL.5,11,12,15

Immunoglobulin Intravena (IVIG)

Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada demonstrasi bahwa
kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh aktivitas anti-Fas yang ada dalam
sejumlah immunoglobulin manusia normal. Keuntungan telah ditegaskan oleh beberapa studi

dan laporan kasus tetapi disangkal oleh beberapa yang lainnya.13,15

IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang diperantarai oleh Fas-L dan
reseptor. Secara teoritis, yang paling baik pemberian IVIG pada awal (24-72 jam setelah munculnya
bulla pertama), sebelum Fas-L dan reseptor berikatan, walaupun masih efektif jika bulla yang baru
muncul. Pasien dengan defisiensi Ig A akan terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan
pemeriksaan tingkat IgA sebelum pemberian namun menunggu hasilnya dapat menyebabkan
keterlambatan pengobatan. Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih diperdebatkan, dan IVIG
tidak disarankan sebagai pengobatan rutin. Namun jika diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan
penyakit berat diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut ) pada fase awal
13,15
penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala.

16

Universitas Sumatera Utara


Efek samping IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko komplikasi
yang serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi IVIG serta pada
penderita gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis berat dan nefropati pada

pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG.15

Siklosporin A

Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan dihubungkan dengan
efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan SSJ/NET. Dalam sebuah serial
kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi
siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang cepat dan angka mortalitas yang rendah bila
dibandingkan dengan siklofosfamid dan kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus
individual yang menggunakan dosis 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah
dipublikasikan memperlambat perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang signifikan. Durasi
pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien mengalami
reepitelisasi. Efek samping termasuk peningkatan ringan dari serum kreatinin, hipertensi dan
infeksi. Siklofosfamid sebagai bahan tunggal telah digunakan meskipun saat ini tidak digunakan

di kebanyakan sentra.2,15

Agen TNF-α

Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb TNF- α
menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan memicu epitelisasi. Pemberian
15
etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan dalam sejumlah kecil pasien.

Plasmafaresis atau Hemodialisis

Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah mendorong perpindahan
obat yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan seperti sitokin. Sebuah laporan kasus
kecil melaporkan efikasi dan keamanannya dalam penatalaksanaan SSJ/NET. Bagaimanapun,
mempertimbangkan tidak adanya dasar dan adanya resiko yang dihubungkan dengan
pemasangan kateter intravaskular, penatalaksanaan ini tidak direkomendasikan.

Algoritma Penatalaksanaan

17

Universitas Sumatera Utara


Riwayat menggunakan obat secara
sistemik atau kontak pada kulit terbuka

Gejala Kelainan kulit: Kelainan Laboratorium:


Prodromal: Eritema, mukosa: mata, Darah lengkap,
vesikel, papul, orifisium, elektrolit,
1-14 hari erosi, mulut, albumin, fungsi
(demam, malaise, ekskoriasi, anogenital hati
sakit kepala) purpura,

BSA (Body Surface Area)

< 10% 10-30% >30%

SSJ SSJ/NET NET

SCORTEN

0 atau 1 >1

Ruang perawatan non intensif Ruang perawatan intensif


Identifikasi & Terapi aktif: Langkah suportif:
eliminasi obat Kulit: erosi ditutup dgn gauze &
penyebab: hentikan Kortikosteroid sistemik, hidrokolid dressing; Mata:
obat yg diduga sbg IVIG, antibiotik, lubrikan, steroid, antibiotik tetes
penyebab dan kontrol keseimbangan mata, melepaskan adhesive
infeksi hemodinamik, protein & lidglobe secara perlahan; Sal.
elektrolit Nafas: postural drainage;
Sal.cerna: tinggi kalori, protein,
Dikutip sesuai IVFD
kepustakaan nomor:17

18

Universitas Sumatera Utara


Kepustakaan

1. Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson syndrome. Dalam:
Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11

2. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson syndrome, toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451

3. Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc
Graw;2008;349-55

4. Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens Johnson Syndrome-A life


threatening disorder: A review. Dalam: J Chem Pharm Res 2010,2(2):618-26

5. Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan Pelatihan “What’s new in
Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5

6. Torres MJ, Mayorga C, Blanca M. Nonimmediate Allergic Reactions Induced by Drugs:


Pathogenesis and Diagnostic Test. Dalam: J Investing Allergol Clind Immunol 2009;19:80-90

7. Chung WH, Hung SI. Genetic markers and danger signals in stevens Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis. Dalam: Allergology International, 2010;59:325-32

8. Hamzah M. Sindrom Stevens Johnson. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;163-65

9. Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
keenam, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;166-68

10. Yim H, Park JM, Suk Kong, Kim D, Hur J, Chun W, et all. A clinical study of stevens
Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Efficacy of treatment in Burn Intensive care
unit. Dalam: J.Korean Surg Soc: 2010(78):133-39

11. Michaels B, Q James. The role of systemic corticosteroid therapy in erythema multiforme
major and stevens Johnson syndrome. Dalam: Clinical Aesthetic Dermatology;2009;2:51-55

19

Universitas Sumatera Utara


12. Widgerow DA. Toxic epidermal necrolysis-management issues and treatment options.
Dalam: Int J Burn Trauma; 2011;1(1);42-50

13. Ho, H. Diagnosis and management of stevens johnsosn syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Dalam: Hongkong Medical Bulletin;2010 Vol.13 No 10.

14. Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis :
Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD Employee of UpToDate Inc , Feb 2015

15. Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis :
Management, Prognosis and Long term sequelae. MD Employee of UpToDate Inc, March 2015

16. Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven Johnsos Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin Immunol 7 (6), 803 – 815 ( 2011 )

17. Perdoski. Kedaruratan Kulit. Dalam: Panduan pelayanan medis dokter spesialis kulit dan
kelamin, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UI/RSCM:2011:263-7

20

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai