Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga
kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J,
et al, 2009). Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut, memiliki batu empedu.
Kadang suatu infeksi bakteri menyebabkan terjadinya peradangan. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan kolesistitis diantarannya: Faktor biologi (jenis kelamin), faktor lingkungan,
faktor penyakit.
Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan kolesistitis akut
biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar 10 – 20% warga Amerika
menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit
putih. Pada wanita, terutama pada wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat
hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini
berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis
dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara – negara barat.
Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia
di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien –
pasien di negara kita. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk secara
progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.
Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri kolesistitis akut makin menjadi
generalisata di abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke
daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti
peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien
juga mengalami anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang
dapat mengganggu kualitas hidup pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Walaupun telah banyak ditemukan obat serta terapi bedah untuk kolesistitis namun, penyakit
ini masih memeiliki tingkat kematian yang cukup tinggi terutama pada orang lanjut usia.
1.2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan kolesistitis

b. Tujuan Khusus
1. Mampu memahami definisi kolesistitis
2. Mengetahui prevalensi kolesistitis
3. Mampu memahami klasifikasi kolesistitis
4. Mampu memahami etiologi dan faktor resiko kolesistitis
5. Mampu memahami manifestasi klinis kolesistitis
6. Mampu memahami patofisiologi kolesistitis
7. Mampu memahami pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan penunjang
kolesistitis
8. Mampu memahami penatalaksanaan medis kolesistitis
9. Mampu memahami komplikasi kolesistitis
10. Mampu memahami asuhan keperawatan kolesistitis

1.3. Ruang Lingkup


Dalam penulisan makalah ini, penulis hanya membahas mengenai penyakit kolesistitis
dan asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit kolesistitis
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 . Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009). Kolesistitis akut (radang
kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup
sering dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Kolesistitis merujuk pada inflamasi akut dari kandung empedu. Ini biasanya mengiritasi
lapisan kandung empedu. Ini dapat menjadi padat dalam ductus sistik yang menyebabkan
obstruksi dan inflamasi dinding kandung empedu, mecetuskan infeksi (Barbara,1998). Jadi,
kolesistitis adalah peradangan yang terjadi pada kandung empedu yag biasanya terjadi karena
sumbatan batu empedu yang ditandai dengan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Kolesistitis akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu,biasanya merupakan
akibat dari adanya batu empedu di duktus sistikus,yang secara tiba-tiba menyebabkan serangan
nyeri yang luar biasa. Kolesistitis kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung
empedu,yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat.

2. 2 . Prevalensi
Sejauh ini belum ada data epidemiologis penduduk di Indonesia, angka kejadian
kolesistitis di Indonesia relative lebih rendah dibanding negara-negara barat. Penyakit ini lebih
sering terajdi pada wanita dan angka kejadiannya meningkaat pada usia diatas 40tahun. (
Pridadi, 2007 ).

2. 3 . Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang
berada di duktus sistikus. Terdapat pada lebih dari 90% pasien kolesistitis akut. Pada
kolesistitis kalkulus, batu kandung emepdu menyumbat saluran keluar empedu. Getah
emedu yang tetap berada pada kandung empedu akan menimbulkan suatu reaksi kimia:
terjadi otolisis serta edema, dan pembuluh darah dalam kandung empedu akan
terkompresi sehingga suplay vaskulernya terganggu. Sebagai konsekuensinya dapat
terjadi gangrene pada kandung empedu disertai perforasi. Bakteri kurang berperan
dalam kolesistitis akut, meskipun demikian, infeksi sekunder oleh E. coli dan kuman
enteric lainnya terjadi pada sekitar 40% pasien.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu inflamasi kandung empedu akut tanpa adanya obstruksi
oleh batu emped. Kolesistitis akulkulus timbul sesudah tindakan bedah mayor trauma
brat atau luka baker. Factor-faktor lain yang berkaitan dengan tipe kolesistitis ini
mencangkup obstruksi duktus sistikus akibat terinfeksi primer bacterial pada kandung
empedu dan tranfusi darah yang dilakukan berkali-kali kolesistitis akalkulus
diperkirakan terjadi akibat visceral. Kejadiannya yang menyertai tindakan bedah mayor
atau trauma mempersulit penegakan diagnosis keadaan ini.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik.
Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih
nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik
merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat
hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.
(Sudoyo W. Aru, et al, 2006)

2. 4 Etiologi
Penyebab terjadinya kolesistitis adalah statis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia
dinding kandung empedu. Bagaimana stasis di duktus sistitis dapat menyebabkan kolesistitis
dalam belum jelas. Banyak factor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Selain factor-faktor di atas kolesistitis dapat terjadi juga pada pasien yang dirawat cukup
lama dan mendapat nutrisi secara parentesal pada sumbatan karena keganasan kandung
empedu, batu disaluran emepedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti
demam tipoid dan IOM (Prof. dr. H.M. Sjaifaoellah Noer).
Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut,memiliki batu empedu.
Kadang suatu infeksi bakteri menyebabkan terjadinya peradangan. Ada beberapa faktor yang
dapat menyebabkan timbulnya kolesistitis :
 Faktor Biologi
 Jenis kelamin
 Faktor Lingkungan
2. 5 Faktor Resiko
a. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun
mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin
tinggi. Hal ini disebabkan:
 Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
 Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai
dengan bertambahnya usia.
 Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria
menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia,
walaupun umumnya selalu pada wanita.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
d. Makanan.
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk
menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar
kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu
dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu.44 Intake rendah klorida,
kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
2. 6 Manifestasi Klinis Kolesistitis
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:
1. Gejala dan tanda lokal
 Tanda Murphy
 Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
 Massa di kuadran kanan atas abdomen
2. Gejala dan tanda sistemik
 Demam
 Leukositosis
 Peningkatan kadar CRP
3. Pemeriksaan pencitraan
 Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi (Strasberg SM, 2008)

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan
tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak
atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya
keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya
riwayat serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada
pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah
relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan
ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila
dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang
dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas
biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Sudoyo W.
Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri
secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi
abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum
generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi.
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila
konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada
tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan
kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda
– tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa
terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2. 7 Patofisiologi
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan
terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah dan
limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu.
Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan
kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang
diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen
pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien
ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan
spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut
dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya
menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu (Cullen JJ, et al,
2009).

2. 8 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan
leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien,
ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di
duktus biliaris. ( Takada T, 2007)
2. USG
Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda
sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J. ,
2009)
3. Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih
besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan
dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas
intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak
terlihat pada pemeriksaan USG. (Kim YK, 2009)
4. Skintigrafi
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak
mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum
terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus
koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, 2009)
Gambar Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit.
Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit

2.9. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan
dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis
awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut
dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat
diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara
intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah
statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa
komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda –
tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium
dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai. (Isselbacher, KJ, 2009)
2. Terapi bedah
Kolesistektomi adalah pengangkatan kantung empedu, hal ini merupakan
standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Kolesistektomi laparoskopik adalah
standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Penelitian menunjukkan semakin cepat
dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu perawatan di rumah sakit semakin
berkurang.

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:


 Resiko tinggi untuk anestesi umum
 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau
fistula
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang berat.
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase perkutaneus
dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik dengan
bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang
tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien
kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini. (Bloom AA,
2011).
3. Farmakoterapi
 Diberikan asam ursodeoksikolat (uradafalk) dan kerodeoksikolat (chenodical,
chenofalk digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran
kecil terutama terbentuk dari kolesterol
 Mekanisme kerja ursodeoksikolat dan konodeoksikolat adalah menghambat
sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah
empedu
 Diperlukan terapi selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu dan
selama terapi keadaan pasien dipantau terus.
 Dosis yang efektif bergantung pada berat pasien, cara terapi ini umumnya
dilakukan pada pasien yang menolak pembedahan atau yang dianggap terlalu
beresiko untuk menjalani pembedahan.
 Obat-obatan tertentu lainnya seperti estrogen, kontrasepsi oral, klofibrat dan
kolesterol makanan dapat menimbulkan pengaruh merugikan terhadap cara terapi
ini.
4. Penatalaksanaan pendukung dan diet
 Istirahat yang cukup
 Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda.
 Berikan diit makanan cair rendah lemak dan karbohidrat
 Pemberian buah yang masak, nasi / ketela, daging tanpa lemak, kentang yang
dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti,kopi atau teh.
 Hindari telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan bubu-bumbu berlemak.

2.10. Komplikasi
1. Empiema dan hydrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis
akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang
tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Empiema kandung empedu
memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan
intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah
diagnosis dicurigai (Gruber PJ, et al, 2009).
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan
ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan
oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel –
sel epitel mukosa.(Gruber PJ, et al, 2009).
2. Gangren dan perforasi
Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan
bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan
kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan
oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu,
tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan
sebelumnya abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi
kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien
sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin
memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar
30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran
kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi
kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).
3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu
mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. (Isselbacher, K.J, et
al, 2009).
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang
diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut
biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut.
Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan
usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak
memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya maupun keluhan
kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi
kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung
empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen
(misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu
ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula
kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini
diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan
kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu lainnya (Isselbacher, K.J, et al,
2009).
4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.
Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam
konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi
empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen.
Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak
berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada
kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena
deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu yang mengalami radang secara
kronik, mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada
semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi
temuan ini tampak terkait dengan perkembangan karsinoma kandung empedu
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Kasus Kolisistitis


Seorang perempuan 52 tahun dirawat di RS Keluarga Sehat dengan keluhan nyeri pada
bagian perut kanan atas, semakin sakit jika disentuh dan rasnya seperti ditusuk-tusuk, klien
mengatakan nyeri berskala 5 dan persisten. Klien tampak meringis dan membungkuk. Klien
mengatakan tidak nyaman saat beraktivitas karena merasa nyeri. Klien juga mengeluh demam
sejak 3 hari yang lalu. Klien tampak lemas dan berkeringat. Klien mengatakan merasa mual
muntah sehingga tidak bisa makan. Makanan hanya habis seperempat. Setelah anamnesa
diketahui bahwa klien pernah menderita batu empedu. Klien mengatakan suka makanan yang
digoreng dan bersantan. IMT klien terlihat melebihi batas normal. Klien cemas dengan
kondisinya saat ini. TTV TD:130/90 mmHg, N: 95x/mnt, S: 390C, RR:24x/mnt. Hasil
laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dan peningkatan CRP. Murphy sign(+), Hasil
USG: terdapat cairan perikolestik dan penebalan dinding kandung empedu.

3.2 Asuhan Keperawatan dengan Kolesistitis


MANAJEMEN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994). Pengkajian pasien Post operatif (Doenges, 1999)
adalah meliputi :
1) Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer,
atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
2) Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple,
misalnya financial, hubungan, gaya hidup. Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan
ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
3) Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ ketoasidosis)
; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering
(pembatasan emasukkan / periode puasa pra operasi.
4) Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
5) Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ;
Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan
penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga
tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari
detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah
/ reaksi transfuse. Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
6) Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik
glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic,
antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau
obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang
mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan
diri pasca operasi).
b. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post Operatif meliputi :
1) Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan
perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru, obstruksi trakeobronkial.
2) Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia misalnya
penggunaan obat-obat farmasi, hipoksia ; lingkungan terapeutik yang terbatas
misalnya stimulus sensori yang berlebihan ; stress fisiologis.
3) Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pembatasan
pemasukkan cairan tubuh secara oral, hilangnya cairan tubuh secara tidak normal,
pengeluaran integritas pembuluh darah.
4) Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integrittas
otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang (Doenges,1999).
Data Fokus
Data Subjektif (DS) Data Objektif (DO)
1. Klien mengeluh nyeri pada perut 1. Klien tampak meringis dan
bagian kanan atas membungkuk
2. Klien mengatakan nyerinya 2. Klien tampak lemas dan berkeringat
semakin sakit jika disentuh dan 3. Klien tampak lemas dan gelisah
rasnya seperti ditusuk-tusuk 4. IMT klien terlihat melebihi batas
3. Klien mengatakan nyeri berskala 5 normal.
dan persisten. 5. TTV
4. Klien mengatakan tidak nyaman TD:130/90 mmHg, N: 95x/mnt,
saat beraktivitas karena merasa S: 390C, RR:24x/mnt.
nyeri. 6. Pengakajian nyeri
5. Klien juga mengeluh demam sejak 3 P: saat beraktivitas
hari yang lalu Q: ditusuk-tusuk
6. Klien mengatakan merasa mual R:perut kanan atas
muntah sehingga tidak bisa makan. S: 5 T: persisten
7. Keluarga mengatkan makanan 7. Hasil laboratorium menunjukkan
hanya habis seperempat. adanya leukositosis dan peningkatan
8. Klien mengatakan pernah menderita CRP.
batu empedu 8. Murphy sign(+),
9. Klien mengatakan suka makanan 9. Hasil USG: terdapat cairan
yang digoreng dan bersantan. perikolestik dan penebalan dinding
kandung empedu.

Analisa data
No. Data Fokus Masalah Etiologi
1. Data Subjektif (DS) Nyeri akut Agen
1. Klien mengeluh nyeri pada perut bagian pencedera
kanan atas biologis
2. Klien mengatakan nyerinya semakin
sakit jika disentuh dan rasnya seperti
ditusuk-tusuk
3. Klien mengatakan nyeri berskala 5 dan
persisten.
4. Klien mengatakan tidak nyaman saat
beraktivitas karena merasa nyeri.
Data Objektif (DO)
1. Klien tampak meringis dan
membungkuk
2. TTV
N: 95x/mnt, RR:24x/mnt
3. Pengkajian nyeri
P: saat beraktivitas
Q: ditusuk-tusuk
R:perut kanan atas
S: 5
T: persisten
4. 4. Murphys sign (+)
2. Data Subjektif (DS) Hipertermi Penyakit
1. Klien mengeluh demam sejak 3 hari
yang lalu
Data Objektif (DO)
1. Klien tampak lemah
2. Turgor kulit buruk
3. Klien tampak berkeringat
4. Klien tampak lemas dan gelisah
5. TTV Suhu: 390C
6. Hasil laboratorium menunjukkan
adanya leukositosis dan peningkatan
CRP.
3. Data Subjektif (DS) Kekurangan kehilangan
1. Klien mengatakan merasa mual muntah volume cairan aktif
sehingga tidak bisa makan. cairan
Data Objektif (DO)
2. Klien tampak lemas
3. Klien tampak berkeringat
4. Turgor kulit klien buruk
4. Data Subjektif (DS) Ketidakseim kurang asupan
1. Klien mengatakan merasa mual muntah bangan makanan
sehingga tidak bisa makan. nutrisi
2. Keluarga mengatkan makanan hanya kurang dari
habis seperempat. kebutuhan
Data Objektif (DO) tubuh
1. Klien tampak lemas dan gelisah
2. Turgor kulit klien buruk
3. TTV
TD:130/90 mmHg, N: 95x/mnt, S:
390C, RR:24x/mnt.

5. Data Subjektif (DS) Hambatan Nyeri


1. Klien mengatakan tidak nyaman saat Mobilitas
beraktivitas karena merasa nyeri. fisik
Data Objektif (DO)
2. Klien tampak meringis dan
membungkuk
3. Penkajian Nyeri
P: saat beraktivitas
Q: ditusuk-tusuk
R:perut kanan atas
S: 5
T: persisten
Diagnosa

No. Diagnosa Keperawatan

1. 1 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis


2. 2 Hipertermi b.d Penyakit
3. 3 Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
4. 4 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makanan
5. 5 Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri

Intervensi
Hari/ Diagnosa Tujuan dan Kriteria
Tindakan
Tanggal Keperawatan Hasil
Kamis Nyeri akut Setelah dilakukan Mandiri:
20-05- berhubungan tindakan keperawatan  Catat karakteristik nyeri,
2017 dengan agen selama 3x24 jam, lokasi, intensitas, lamanya,
08.30 cedera diharapkan masalah dan penyebaran
biologis nyeri akut dapat  Anjurkan pada klien atau
berkurang keluarga untuk segera
menghubungi perawat bila
Kriteria Hasil: terjadi nyeri
1. Skala nyeri 3  Lakukan managemen nyeri:
2. · Atur posisi klien sesuai dengan
TTV klien dalam kenyamanan klien.
batas normal:  Memberikan ketenangan
- HR 60-100 pada klien dengan
kali/menit mengurangi rangsang
- RR 16-20 kali/menit lingkungan dan bekerja
3. Klien tidak terlihat dengan tenang
meringis  Anjurkan dan ajarkan teknik
4. Klien tidak sesak pernapasan dalam
napas lagi  Ajarkan distraksi pada saat
merasa nyeri
 Mengobservasi tanda-tanda
vital dan tanda-tanda
komplikasi.
Kolaborasi:
 Kolaborasi dengan dokter
tentang pemberian terapi
farmakologis anti-nyeri
Hipertermi Setelah dilakukan  Observasi TTV
b.d Penyakit tindakan keperawatan  Observasi dan catat IWL
2×24 jam masalah  Monitor warna kulit klien
keperawatan  Monitor intake dan output
Hipertermi dapat  Berikan kompres hangat
diatasi, dengan  Anjurkan klien mengenakan
kriteria hasil : pakaian tipis dan menyerap
1. TTV: keringat
TD : 120/90 mmHg
N : 60-100 ×/menit
RR: 16-22 ×/menit Kolaborasi :
S : 36,5 – 37,5 ͦ C  Kolaborasi dengan dokter
2. Bibir lembab pemberian cairan IV
3. Klien tidak
 Kolaborasi dengan dokter
mengeluh pusing
pemberian terapi obat.

Kamis Ketidakseimb Setelah dilakukan Mandiri:


20-05- angan nutrisi tindakan keperawatan  Pemberian vitamin
2016 kurang dari selama 2x24 jam, penambah nafsu makan pada
16.30 kebutuhan diharapkan masalah klien.
tubuh ketidakseimbangan  Identifikasi faktor pencetus
berhubungan nutrisi: kurang dari mual
dengan kebutuhan tubuh  Berikan makanan bergizi,
kehilangan dapat teratasi. tinggi kalori, dan bervariasi
nafsu makan yang dapat dipilih klien.
Kriteria hasil:
1. Klien tampak segar  Berikan informasi yang tepat
tentang kebutuhan nutrisi

2. Klien tidak dan bagaimana

meringis memenuhinya.

3. Minat klien untuk  Atur dan anjurkan klien


makan meningkat untuk membuat pola makan
4. Membran mukosa yang teratur dan adekuat
klien berwarna merah Kolaborasi:
muda  Diskusikan dengan ahli gizi
5. Turgor kulit : < 3 dalam menentukan
detik kebutuhan nutrisi klien
6. BB meningkat seperti jumlah kalori dan
7. Klien tidak mual jenis zat gizi yang
dibutuhkan.
 Diskusikan dengan dokter
kebutuhan stimulasi nafsu
makan, makanan pelengkap,
agar asupan kalori yang
adekuat dapat
dipertahankan.

Kamis Kekurangan Setelah dilakukan Mandiri :


18-05- volume tindakan keperawatan 1.Observasi TTV
2016 cairan b.d 2×24 jam masalah 2.Catat intake dan output cairan
17.00 kehilangan keperawatan 3.Anjurkan minum air putih 1–2
cairan aktif Kekurangan volume liter/hari (8–9 gelas/hari);
cairan dapat diatasi, asupan
dengan criteria hasil : cairan yang adekuat
4.Observasi kulit kering
1.Turgor kulit baik berlebihan dan membrane
2.Mukosa mukosa,penurunan turgor kulit.
bibir lembab
3.BAB 2×/hari
5.Palpasinadiperifer,
4.TTV: temperature kulit,kaji
TD : 120/90 mmHg kesadaran, tanda pendarahan
N : 60-100 ×/menit
RR: 16-22 ×/menit Kolaborasi :
S : 36,5 – 37,5 ͦC 1.Kolaborasi dengan dokter
pemberian cairan parenteral
5.Tidak ada tanda-
tanda dehidrasi

Kamis Hambatan Setelah dilakukan Mandiri:


18-05- mobilitas tindakan keperawatan  Kaji aktivitas yang
2016 fisik b.d nyeri selama 1x24 jam mengakibatkan hambatan
17.30 diharapkan masalah mobilitas
hambatan mobilitas  Anjurkan klien untuk
dapat teratasi. melakukan distraksi saat
nyeri waktu aktivitas
Kriteria Hasil:  Anjurkan klien untuk
1. Klien nyaman saat membuat periode saat
beraktivitas beristirahat dan beraktivitas
2. Klien dapat berjalan  Pantau TTV klien sebelum,
dengan normal selama, dan sesudah
3. TTV normal aktivitas
RR : 16-22x/mnt
TD : 120/90 mmHg
N : 60-100 ×/menit
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang ditandai
dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis. Terdapat
dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni kolesistitis akut kalkulus dan
kolesistitis akut akalkulus. Kolesistitis akut kalkulus lebih banyak ditemukan pada wanita, usia
> 40 tahun dan pada wanita hamil atau yang mengkonsumsi obat hormonal, walaupun pada
kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan (tanda Murphy
positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia dan demam. Dapat teraba pula massa di kuadran
kanan atas perut. Pemeriksaan penunjang sering menunjukkan leukositosis,. Pemeriksaan USG
dapat merupakan pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan karena kesensitifitasannya
sampai 95%. Terapi dibagi menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan kondisi
umum pasien, antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan anti-emetik dan terapi
pembedahan bila terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih sering dilakukan laparaskopik
kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan pada pasien yakni rasa nyeri pasca
operasi minimal, memperpendek masa perawatan dan memperbaiki kualitas hidup pasien lebih
cepat.

4.2. Saran
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dan paling berharga dalam diri kita. Dengan
menjadi sehat kita dapat beraktivitas sesuai rutinitas kita sehari-hari. Maka dari itu pencegahan
sebelum terjadinya sakit sangat penting untuk dilakukan bagi semua orang yang
menginginkannya mulai dari makan makanan yang sehat, berolahraga secara rutin,
menghindari rokok dan alcohol.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges,, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta


Noer, Sjaifoellah. 1996. Ilmu Penyakit Dalam. HKUI: Jakarta
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta
Smeltzer, Suzanne c, dkk. 2001. Keperawatan medical bedah EGC: Jakarta
Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep 2009;188(3):325-
6.
Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol Clin
North Am. Mar 2009;28(1):75-97.
Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and leukocytosis in acute
cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7.
Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin Gastroenterol Hepatol.
Sep 9 2009.
Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta.
2009.

Anda mungkin juga menyukai