Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam dan nyeri tenggorokan disertai dengan keterbatasan gerakan leher dan membuka

mulut dapat dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam

terbentuk didalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi

dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal dan leher. Gejala dan

tanda klinis biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam.

Abses submandibular merupakan salah satu abses leher dalam yang banyak disebabkan

oleh infeksi gigi. Abses submandibular dadalah salah satu abses leher dalam yang sering

ditemukan, menduduki urutan tertinggi dari seluruh abses leher dalam yaitu 70-85% kasus

yang disebabkan oleh infeksi gigi. Diagnosis harus ditegakkan dengan cepat dan akurat untuk

menentukan lokasi dan perluasan abses. Keterlambatan dalam diagnosis atau lebih buruk lagi

jika salah menentukan diagnosis dapat menyebabkan konsekuensi yang berbahaya seperti

mediastinitis dan kematian.

Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi ruang leher dalam masih merupakan tantangan.

Anatomi daerah yang kompleks dapat membuat diagnosis dan tatalaksana infeksi cenderung

sulit. Infeksi ini, sampai saat ini tetap menjadi masalah kesehatan dengan resiko morbiditas dan

mortalitas yang tinggi. Apabila pada infeksi leher dalam telah terjadi pembentukan abses, terapi

yang dapat dilakukan yaitu pemberian antibiotik, drainase abses, menghilangkan fokus infeksi.

Meskipun penggunaan antibiotic telah menurunkan angka kematian, namun abses leher dalam
2

masih merupakan masalah yang serius dan menimbulkan komplikasi yang dapat mengancam

nyawa.

Sehingga dari penjelasan di atas, mendorong penulis untuk membuat laporan kasus

mengenai pasien dengan diagnosa Abses Submandibula yang ada di RSHS Bandung.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Abses

Abses didefinisikan sebagai kumpulan nanah yang telokalisir atau merupakan rongga

patologis yang terisi oleh jaringan granulasi dan pus. Supurasi merupakan ciri khas abses,

bakteri yang biasanya terdapat pada abses adalah staphylococci yang biasanya terdapat pada

kulit.

Abses submandibular merupkan abses yang terbentuk pada ruang potensial di regio

submandibular yang disertai adanya gejala nyeri tenggorokan, demam dan terbatasnya gerakan

membuka mulut. Abses submandibular termasuk dari bagian abses leher dalam. Abses leher

dalam terbentuk di ruang potensial diantara fasial leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi

dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan

leher. Gejala dan tanda klinis biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam

yang terlibat. (Ghali, et al., 2014)

2.2 Etiologi Abses

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa

submandibular. Sebagian lain dapat merupaka kelanjutan infeksi ruang leher dalam lainnya.

Sebelum ditemukannya antibiotik, penyebab tersering infeksi leher dalam adalah faring dan

tonsil, tetapi saat ini penyebab tersering adalah infeksi gigi. Sebagian nesar kasus infeksi leher

dalam disebabkan oleh berbagai macam bakteri, baik anaerob maupun aerob. Bakteri anaerob
4

yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Neisseria sp,

Klebsiella sp, Haemophillus sp. Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan

bakteri anaerob Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococcis dan yang

jarang adalah bakteri Fusobacterium (Gadre et al., 2006).

2.3 Patofisiologi Abses

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam suatu rongga disebabkan oleh proses

infeksi bakteri, parasit atau benda asung lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan yang

bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ketubuh bagian lainnya. Pus merupakan

kumpulan jaringan local yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau benfa-

benda asing dan racun yang dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah.

Bakteri yang masuk kedalam jaringan yang sehat dapat menyebabkan terjadinya infeksi.

Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel yang

terinfeksi. Sel-sel darh putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi,

bergerak kedalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri maka sel darah putih akan mati.

Sel darah putih yang mati inilah akan membentuk pus dan mengisi rongga tersebut.

Penimbunan pus ini yang menyebabkan jaringa sekitarnya akan terdorong dan tumbuh di

sekeliling abses menjadi dinding pembatas (Gadre et al., 2006)

Infeksi ruang leher dalam dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu limfogen, hematogen

dan infeksi langsung. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan

lokasi anatomi. Ruang submandibular terletak dianta oto mylohyoid yang memiliki batas

posterior yang terbuka sehingga berhubungan dengan ruang didekatnya. Ruang mandibula
5

mengalami infeksi, pembengkakan dimulai pada batas inferior lateral dari mandibula dan

meluas ke medial melalui area digastrikus dan ke posterior menuju tulang hyoid (Ghali, et al.,

2014).

Infeksi dari submandibular dapat meluas ke ruang mastikator kemudian ke parafaring.

Perluasan infeksi ke parafarung juga dapat langsung dari ruang submandibular. Selanjutnya

infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. Penyebabran abses leher dalam dapat

melalui beberapa jalan yaitu limfatik, melalui celah antara ruang leher dalam dan trauma

tembus (Andersson et al., 2010)

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan lokasi dan penyebaran infeksi

Tulang, otot, fasia, neurovaskular, dan kulit dapat bertindak sebagai penghalang

penyebaran infeksi. Namun bagian-bagian ini tidak sebagai penghalang yang begitu ketat,

sehingga infeksi seringkali tetap menyebar ke bagian tersebut. Berikut ini adalah daerah yang

paling umum penyebaran infeksi dari infeksi dentoalveolar:

1. Upper Lip

Infeksi di dasar bibir atas berasal dari gigi anterior atas, menyebar ke otot orbicularis

dari sulkus labial antara otot levator labii superioris dan otot levator angularis oris.

2. Canine Fossa

Penyebaran infeksi pada fosa kaninus biasanya berasal dari gigi kaninus rahang atas

atau gigi premolar atas, sering muncul di perlekatan otot buccinator..Spasia ini dekat

dengan kelopak mata bawah , sehingga treatment awal sangat dianjurkan untuk
6

menghindari infeksi circumorbital. Ada risiko penyebaran kranial melalui vena angular

eksternal.

3. Infraorbital region: Buccal Space

Perlekatan otot buccinator ke dasar prosesus alveolar dapat mengontrol

penyebaran infeksi di wilayah molar mandibula dan maksila. Infeksi menyebar secara

intraoral pada otot buccinator di depan batas anterior otot masseter. Oleh karena itu

manifestasi klinis dari infeksi spasia ini ditandai dengan pembengkakan pada pipi.

Namun, infeksi dapat menyebar secara superior ke spasia temporal, inferior ke spasia

submandibular atau posterior ke spasia masseter. Dalam beberapa kasus, infeksi dapat

menyebar ke permukaan kulit, yang menyebabkan pembentukan fistula.


7

4. Palate

Palatum biasanya terkena infeksi yang berasal dari gigi insisivus lateral maksila

atau akar gigi posterior. Infeksi menyebar dari apeks gigi, melubangi tulang alveolar

palatal, dan pus terakumulasi di bawah mucoperiosteum palatal.

5. Submasseteric

Sumber infeksi yang paling umum di spasia ini dari perikoronitis molar ketiga

bawah. Spasia ini terikat secara medial oleh otot masseter, lateral oleh permukaan luar

ramus mandibula, posterior dengan spasia faring lateral. Trismus berat karena spasme

otot masseter adalah ciri khas keterlibatan spasiafasialis.


8

6. Retropharyngeal

Spasia ini terletak di antara dinding posterior faring dan fascia prevertebralis.

Spasia ini berbatasan langsung dengan dasar tengkorak secara superior dan

mediastinum secara inferior. Memiliki gejala klinis yang sama dengan infeksi spasia

faring lateral dan mempunyai komplikasi terhadap infeksi leher.

7. Lateral Pharyngeal

Spasia ini terletak di sisi lateral leher, dibatasi secara medial oleh otot konstriktor,

superior oleh faring, dan posterolateral oleh spasia parotis. Infeksi di spasia ini dapat

berasal dari molar mandibula atau perikoronitis molar ketiga. Spasia ini juga dapat

menjadi tempat penyebaran infeksi dari spasia parotid atau spasia fascial di ramus

mandibula. Spasia faring lateral mengandung selubung karotis, saraf

glossopharyngeal, saraf aksesori, dan saraf hypoglossal, serta saraf simpatik. Oleh

karena itu, penyebaran infeksi ke spasia ini dapat menyebar ke infeksi leher dan

keterlibatan mediastinum. Gejala klinis infeksi spasia faring adalah kaku leher,

pembengkakan dinding lateral pharynx, disfagia, dan trismus.


9

8. Pterygomandibular Space

Infeksi di spasia ini dimanifestasikan oleh trismus karena keterlibatan otot

pterygoideus. Spasia ini dibatasi secara medial oleh otot pterygoid medial, lateral oleh

permukaan medial mandibula, anterior oleh raphe pterygomandibular, dan posterior

oleh lobus dalam kelenjar parotid. Otot pterygoid lateral membentuk atap spasia ini.

9. Infratemporal Fossa

Infeksi dari molar rahang atas dapat masuk ke spasia ini. Infeksi juga dapat

menyebar dari daerah faring pterygomandibular, parotid atau lateral ke spasia

infratemporal. Gejala klinis trismus, disfagia, dan sulit menggerakan mandibula ke

arah lateral. Spasia infratemporal dibatasi secara superior oleh tulang sphenoid yang

lebih besar dan dekat dengan fisura orbital inferior dengan kemungkinan risiko

penyebaran infeksi ke orbit.

10. Parotid Space

Keterlibatan spasia ini mungkin merupakan perluasan infeksi dari telinga tengah

atau daerah mastoid. Infeksi dari masseteric atau ruang faring lateral juga dapat

menyebar ke daerah parotid. Oleh karena itu, gejala klinis paling khas adalah

pembengkakan daerah kelenjar parotid di bawah cuping telinga.


10

11. Suprahyoid Region:

1) Submandibular Space

Spasia ini terletak di bawah otot mylohyoid, medial ke ramus dan corpus

mandibula. Infeksi dari gigi mandibula posterior dapat melewati lingual di bawah

perlekatan otot mylohyoid ke spasia ini. Secara klinis, pembengkakan daerah

submandibular terlihat jelas, menyebabkan rasa sakit dan kemerahan pada kulit

yang melapisi daerah ini. Disfagia biasanya turut disertai.

2) Submental Space
Infeksi spasia ini biasanya timbul dari gigi anterior mandibula di mana infeksi

melubangi korteks lingua. Pembengkakan daerah submental adalah gejala klinis

yang khas. Kulit di atas pembengkakan meregang dan mengeras, dan pasien

mengalami rasa sakit dan kesulitan menelan. Infeksi dapat berkembang sehingga

menyebabkan pembengkakan di sulkus labial dan di atas dagu.


11

3) Sublingual Space
Infeksi menyebar ke spasia ini sebagai hasil perforasi korteks lingual di atas

perlekatan otot mylohyoid. Spasia ini dibatasi secara superior oleh selaput lendir

dan inferior oleh otot mylohyoid. Genioglossus dan geniohyoid membentuk batas

medial. Secara lateral, ruang ini dibatasi oleh permukaan lingual mandibula.

Infeksi di ruang ini akan menaikkan dasar mulut dan menggeser lidah secara

medial dan posterior. Penggeseran lidah dapat membahayakan jalan nafas.

Disfagia dan kesulitan berbicara juga sering terjadi.

2.5 Diagnosis Abses Submandibula

Diagnosis Abses Submandibula

1. Gambaran Klinis

Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submandibula. Tahap akhir akan

terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada pemeriksaan intra oral tidak

tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih

merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah

spasium yang terdekat


12

2. Pemeriksaan penunjang untuk abses

1) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan x-ray secara periapikal dan panoramik perlu dilakukan sebagai

skrining awal untuk menentukan etiologi dan letak fokal infeksi.

2) Tes Serologi

Tes Serologi yang paling sering digunakan adalah tes fiksasi komplemen dan tes

aglutinasi. Kedua tes ini digunakan untuk mengetahui etiologi.

2.6 Komplikasi Abses Submandibula

Komplikasi dari abses terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak

tepat dan tidak adekuat. Salah satu penyebaran infeksi pada abses submandibula yang

dapat terjadi adalah ke ruang submental. Ruang ini adalah ruang fasia kepala dan leher

yang merupakan ruang potensial terletak antara M. milohioid superior , M. platisma

inferior, terletak digaris tengah bawah dagu. Ruang ini terletak tepat di wilayah segitiga

submental, bagian dari segitiga anterior leher. Abses dari gigi molar mandibula kedua

dan ketiga dapat melubangi mandibula dan menyebar ke dalam ruang submandibula

dan submental.
13

Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai struktur

neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan n. X. Penjalaran infeksi

ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi sarung karotis atau menyebabkan

trombosis vena jugularis interna. Infeksi yang meluas ke tulang dapat menimbulkan

osteomielitis mandibula dan vertebra servikal. Dapat juga terjadi obstruksi saluran

nafas atas, mediastinitis, dehidrasi dan sepsis dengan tanda dan gejala awal menggigil,

demam, gelisah, takikardi dan takipnea. (Novialdi, 2010).

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu endokarditis. Endokarditis terjadi akibat

dari bakteremia akibat S.aureus. Insidensi endokarditis disebabkan S.aureus meningkat

selama 20 tahun terakhir dan sekarang menjadi penyebab utama endokarditis di seluruh

dunia, terhitung sekitar 25-30% kasus.

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung

(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibular paling sering

meluas ke parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis (Ariji, et al.,

2002). Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati M.

pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah

potensial lainnya (Pulungan, 2010).

Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intakranial, ke bawah

menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum serta keterlambatan diagnosis atau

kesalahan diagnosis menyebabkan medistinitis bahkan kematian.. Pada era antibiotik

modern, telah dilaporkan angka kematian akibat komplikasi dari abses submandibula

mencapai 40%.. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.
14

Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi rupture, sehingga terjadi

perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis

dan septikemia (Ariji, et al., 2002; Santosa, 2017).

2.7 Perawatan Abses Submandibula

Penatalaksanaan abses submandibula dapat dilakukan dengan memberikan

terapi antibiotik yang adekuat, insisi (pembuatan jalan keluar nanah secara bedah) dan

drainase abses. Yang paling penting untuk diperhatikan sebelum dilakukan tindakan

pembedahan ialah keadaan umum pasien, tidak adanya sumbatan jalan nafas, resusitasi

cairan dan keadaan metabolik, pemberian antibiotik. Sebagai persiapan tindakan,

penjelasan diberikan kepada pasien dan orang tua (wali) serta dilakukan

penandatanganan persetujuan tindakan oleh orang tua pasien. Persiapan preoperatif

meliputi:

1. Melindungi jalan nafas dengan observasi adanya sumbatan jalan nafas.

2. Melakukan kultur pus dan darah untuk mengetahui jenis bakteri dan menentukan

jenis antibiotik yang sesuai.

3. Memantau keadaan elektrolit dan metabolik dari tubuh.

4. Pemberian antibiotik parenteral perlu segera diberikan, sambil menunggu hasil

kultur kuman penyebab. Pemilihan jenis antibiotik biasanya yang dapat

membunuh semua jenis kuman baik gram negatif atau gram positif, ataupun

kuman aerob maupun anaerob. Penggunaan injeksi golongan penicillin dan

petronidazole sering menjadi pilihan. Secara empiris, kombinasi ceftriaxone dan


15

metronidazole masih cukup baik. Bila penderita alergi terhadap golongan penicilin

dapat diberikan eritromicin, clindamycin atau cephalosporin

Drainase abses dapat dilakukan dengan aspirasi abses yang kemudian dilanjutkan

dengan insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang

ditimbulkannya.

Gambar 2. Abses submandibular sinistra

Evakuasi abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi

umum. Insisi abses submandibula untuk drainase dibuat pada tempat yang paling

berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Insisi tersebut

sedapat mungkin sejajar dengan garis lipatan kulit menembus jaringan subkutan, M.

platysma sampai ke fascia servikal profunda.


16

Gambar 2. Insisi abses submandibular sinistra

Diseksi tumpul dengan hemostat dilakukan sampai ke dalam rongga abses dan

kemudian dilakukan drainase abses. Setelah itu rongga abses diirigasi dengan larutan

garam fisiologis dan dipasang drain.

Gambar 2. Drainase abses submandibular sinistra

Apabila sudah terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka dapat langsung

dilakukan pencabutan gigi penyebab sebagai source control. Pencabutan gigi yang

terlibat biasanya dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum

penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan
17

gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga

mungkin terjadi osteomyelitis.

Sesudah dilakukan insisi dan drainase, yang perlu dimonitor adalah tanda-tanda

respon terhadap terapi, kultur dan sensitifitas bakteri terhadap antibiotik, ada tidaknya

tanda-tanda sumbatan jalan nafas, dan ada tidaknya komplikasi dari abses

submandibular. Pasien diobservasi hingga gejala dan tanda infeksi reda.


18

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Arina Faza Rahmani

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 8 tahun

Alamat : Bandung

Agama : Islam

Status : Belum menikah

NRM : 0001718272/18120796

Jam pemeriksaan : 18.10

Dirujuk : RS Pindad

Nomor HP : 081348963255

Waktu Kerja : 1 Jam

3.2 Pemeriksaan Subjektif

1. Keluhan Utama

Pembengkakan pada pipi kiri

2. Keluhan

Pasien anak perempuan usia 8 tahun datang dengan keluhan bengkak disertai

keluar nanah pada pipi kiri. ± 14 hari SMRS, pasien mengeluh sakit gigi di
19

rahang bawah sebelah kiri kemudian dibawa ke puskesmas di daerah Talaga

Bodas dan diberi dua macam obat yaitu Amoxicillin dan Paracetamol. ± 7

hari SMRS, pasien mengeluh rahang bawah kiri membengkak lalu pasien

berobat ke klinik dokter umum di daerah Jalan Gatot Subroto dan diberi tiga

macam obat (pasien lupa namanya). ± 4 hari SMRS, pasien mengeluh ada

nanah keluar dari rahang bawahnya namun pasien tidak berobat dan hanya

dikompres dengan rivanol serta minum Paracetamol. ± 8 jam SMRS,

bengkak terasa semakin membesar dan pasien mengeluh sakit sehingga

pasien dibawa ke Puskesmas Ibrahim Adjie namun tidak dilakukan tindakan

apapun. Pasien dirujuk ke RS Pindad lalu dirujuk lagi ke IGD RSHS.

Riwayat ke dokter gigi (-).

3.3 Pemeriksaan Objektif

1. VAS : 3/10

2. Kesadaran : Komposmentis

3. Nadi : 102 x/menit

4. Suhu : 36,6 oC

5. Respirasi : 28 x/menit

6. Sp O2 : 87 %

3.4 Status Umum

1. Kulit : Turgor (+)


20

2. Wajah : Asimetris, bengkak a/r submandibular sinistra

3. Mata : Konjungtiva non anemi, sklera non ikterik

4. Leher : JVP

5. Kelenjar limfe : Tidak sakit, tidak teraba

6. Thorax : Bentuk dan gerak simetris

7. Pulmo : VBS kiri = kanan, Rh - / -, Wh - / -

8. Cor : Bunyi jantung murni, reguler

9. Abdomen : Datar dan lembut, bising usus (+) normal

10. Hepar & lien : Tidak teraba

11. Ekstremitas : Hangat, CRT <2 "

3.5 Status Lokalisata

1. Ekstra Oral:

Wajah asimetris, bengkak a/r submandibula sinistra ukuran 2x2x2 cm,

fluktuasi (+)

2. Intra Oral:

1) Bibir : TDL

2) Gingival : hiperemi

3) Vestibulum : TDL

4) Mukosa bukal : TDL

5) Palatum : TDL

6) Lidah : TDL
21

7) Dasar mulut : TDL

8) Tonsil : T1-T1

3. Odontogram

3.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Hematologi

HEMATOLOGI 15/10/18 18/10/18

Hb 12.8 11,2

Hematokrit 37.6 34,1

Leukosit 14.73 16,75

Eritrosit 4.59 3,98

Trombosit 501000 441000

2. Thorax : TDL
22

3.7 Diagnosis IKA

Tidak ada

3.8 Perawatan IKA

Tidak ada

3.9 Perawatan IBM

Perawatan yang dilakukan oleh bagian bedah mulut yaitu :

1. Observasi tanda vital

2. Cek lab darah rutin

3. R/ ceftriaxone 1 gram intravena

R/ metronidazole infus 500 mg IV

R/ Ranitidin 50 mg IV

4. Explore dan drainase a.r submandibular sinistra

5. Ekstraksi 36

6. Aplikasi penrose drain

7. Pemasangan verban a.r submandibular sinistra

8. Rawat inap

3.10 Saran

Saran pada kasus ini yaitu :

1. Instruksi kebersihan mulut


23

2. Makanan lunak tinggi protein tinggi kalori

3. IVFD RL maintenance 11 gram / menit

4. R / Ceftriaxone inj I gr IV

5. R/ metronidazole inf 500 mg IV

6. Obstruksi odem pus dan latihan membuka mulut

7. Spooling dengan Nacl 0,9% 2x/hari

8. Cek kultur resistensi antibiotic POD VII (23/10/2018)

9. Pro dilakukan scaling dari poli pedodonsia & hari lainnya

10. Pro dilakukan penambalan gigi 64, 75, 84, 46 di poli peododonsia pada

waktu kerja

11. Pro ekstraksi gigi 55, 54, 73 dari poli pedododonsi di jam & waktu kerja

3.11 Foto

1. Foto Profil
24

2. Foto Intra Oral

3. Foto Tapping Pus

4. Foto Post Debridement


25

5. Foto Post Treatment

6. Foto Post Operating Day I

7. Foto Post Operating Day II


26

8. Foto Post Operating Day IV


27

BAB IV
PEMBAHASAN

Infeksi odontogenik adalah infeksi yang terjadi pada tulang alveolar, rahang, atau

wajah dimana sumber infeksi dapat berasal dari gigi atau dari struktur pendukung

lainnya (Ogle, OE., 2017). Pada laporan kasus ini, diketahui pasien Arina telah

dipaparkan sebelumnya mengalami infeksi odontogenik dimana sumber infeksinya

berasal dari gigi yang telah mengalami nekrotik yaitu gangrene pulpa gigi 36.

Keluhan awal pasien berawal dari pada gigi rahang bawahnya yang berlubang

sebelum akhirnya mengalami pembengkakan di daerah tersebut. Proses infeksi yang

dialami oleh pasien Arina pada kasus tersebut sesuai dengan teori perjalanan infeksi

odontogenik dimana infeksi dapat berawal dari pulpa yang ter-invasi oleh bakteri

setelah karies gigi, kemudian terjadi inflamasi, edema dan kurangnya suplai darah.

Kondisi tersebut menyebabkan kongesti vena dan akhirnya pulpa menjadi nekrosis.

Gigi yang telah nekrosis ini kemudian berperan sebagai reservoir untuk pertumbuhan

bakteri (anaerob), selanjutnya terjadilah serangan periodic bakteri ke tulang alveolar

sekitarnya (Malik, Na, 2012).

Berdasarkan teori, infeksi dari gigi dapat menyebar ke spasia wajah atas dan juga

jaringan lunak bawah, di leher atau bahkan di wilayah dada. Penyebaran infeksi ke

spasia lain dapat juga terjadi (Rocha, FS., et al., 2015).

Penyebaran infeksi yang berasal dari bidang wajah kepala dan leher ke bawah

sepanjang fasia servikal ini dapat terjadi karena difasilitasi oleh gravitasi, pernapasan,
28

dan tekanan intrathoracic negatif. Selain itu berdasarkan rute penyebaran, infeksi dapat

terjadi melalui kontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan oleh limfatik ke nodus lime

regional. Penyebaran melalui pembuluh darah jarang terjadi, peyebaran ini dapat

menyebabkan bacteremia, septicemia, atau pyemia karena masuknya mikroorganisme

terinfeksi ke pembuluh darah. Sementara itu rute penyebaran infeksi yang terjadi dari

nodus limfe ke jaringan akan menyebabkan selulitis pada area sekunder dan atau abses

pada spasia (Malik, NA., 2012; Rocha, FS., et al., 2015).

Penatalaksanaan terhadap pasien dengan diagnosa abses submandibula dapat di

lakukan dengan pemberian terapi antibiotik dan terapi pembedahan. Terapi antibiotik

diantaranya adalah pemilihan antibiotik, jika tidak terdapat eksudat untuk kultur dan

bakteri yang terlibat tidak sensitif antibiotik sebelum terapi awal, maka antibiotik

dipilih secara empiris. Selain pemilihan atibiotik dilakukan terapi suportif yakni

merupakan modalitas untuk mengembalikan pertahanan tubuh pasien, meliputi

administrasi antibiotik, hidrasi melalui IV, analgesik, bed rest, aplikasi obat kumur,

membuka kavitas gigi untuk drainase. Terapi pembedahan meliputi insisi, drainase,

serta pencabutan gigi penyebab (Malik, NA., 2012).

Penatalaksanaan yang diberikan di IGD Rumah Sakit Hasan Sadikin pada pasien

Arina tersebut sesuai dengan teori diatas, dimana pasien diberikan terapi suportif

berupa administrasi antibiotik kombinasi ceftriaxone 1 gram dan metronidazole infus

500 mg sebagai terapi empiris karena menurut kepustakaan pada abses leher dalam

kemungkinan mikroorganisme penyebab lebih dari satu jenis dan ranitidin 50 mg untuk

menurunkan produksi asam lambung. Selain terapi medikamentosa, terapi non


29

medikamentosa yang sesuai teori juga dilakukan yakni dilakukan ekstraksi gigi 36 yang

dianggap sebagai penyebab infeksi, kemudian dilakukan insisi dan drainase dengan

cara drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses

dengan ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan ujung

terbuka. Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah

pengeluaran pus. Selanjutnya dilakukan penempatan drain karet di dalam rongga abses

untuk drainase (Malik, NA., 2012).


30

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Infeksi odontogenik adalah infeksi yang terjadi pada tulang alveolar, rahang,

atau wajah dimana sumber infeksi dapat berasal dari gigi atau dari struktur

pendukung lainnya (Ogle, OE., 2017). Abses submandibula yang dialami pada

pasien Arina adalah abses yang disebabkan oleh infeksi odontogenik dimana sumber

infeksinya berasal dari gigi yang telah mengalami nekrotik yaitu gigi 36 dan terjadi

pembengkakkan pada rahang bawah yang meluas. Faktor yang mempengaruhi

penyebaran infeksi yaitu faktor umum dan faktor lokal. Penatalaksana pada kasus

abses submandibular adalah pemberian terapi antibiotik dan terapi pembedahan.

Pada pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien Arina menunjukkan hasil

yang kurang dari seharusnya. Dimana hemoglobin rendah yang menunjukkan

adanya kekurangan nutrisi dan zat besi. Hal ini menyebabkan sistem imun pada

pasien anak ini rendah, sehingga saat pasien terkena infeksi akan dengan mudah

berlanjut. Pemeriksaan darah ini juga menunjukkan jumlah leukosit yang tinggi yang

menunjukkan adanya infeksi pada pasien.

Perawatan yang dilakukan pada pasien Arina ini adalah insisi drainase dengan

pemasangan penrose. medikasi, serta follow up ke bagian pedodonsia. Abses

submandibula dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan

radiologi dan tes serologi


31

5.2 Saran

Disarankan melakukan penelitian lanjutan mengenai abses submandibula pada

anak baik berupa prevalensi maupun penelitian berupa laporan kasus yang lebih

kompleks agar para pembaca dapat memahami secara mendalam mengenai kasus abses

submental yang terjadi pada anaki dan dapat membedakan kasus ini dengan diagnosa

yang lain.

Anda mungkin juga menyukai