PENDAHULUAN
Napkin Eczema atau Diaper Rash atau juga disebut Diaper Dermatitis
merupakan suatu erupsi pada area kulit yang tertutupi diaper atau popok pada bayi.
Kondisi ini dapat disebabkan karena penggunaan atau kontak langsung popok dengan
kulit bayi (dermatitis kontak iritan) yang merupakan penyebab terbanyak. Selain itu
penggunaan diaper juga dapat memperparah kondisi kulit yang sudah memiliki erupsi
misalnya pada psoriasis. Hal tersebut dibuktikan pada beberapa penelitian
menyebutkan bahwa pada daerah tertentu yang jarang menggunakan popok pada bayi
akan memiliki insiden Napkin Eczema (NE) yang lebih rendah (Serdaroglu &
Ustunbas, 2010).
Beberapa hal yang dapat mencetuskan Napkin Eczema (NE) atau Diaper rash
(DR) meliputi kondisi kulit yang lembab, pajanan langsung kulit dengan urin atau
feses, infeksi mikroorganisme (jamur, bakteri, dan virus), gangguan nutrisi, iritasi
bahan kimia, antibiotic, penyakit diare, dan anomali traktus urinarius.Diaper rash
adalahsalahsatugangguan kulit yang paling umum pada masa anak-anak, tercatat
hampir 1 juta anak berobat jalan tiap tahunnya. Dalamsuatu survei pada 1.089 bayi,
50% di antaranya mengalami diaper rash, namunhanya 5% yang memilikiruamparah.
Puncakkejadiandiaper rashyaitu antara usia 9 sampai 12 bulan.
Hubunganantarausiadanfrekuensidiaper rashdapatdisebabkanolehbeberapafaktor,
termasukperubahanpolamakandari ASI kesusu formula danmakananpadatselama 12
bulanpertamakehidupan. Bayi yang diberi ASI lebih jarang mengalami diaper rash
daripada bayi yang diberi susu formula. ASI mengandung sel darah putih yang aktif
melawaninfeksi dan bahan kimia alami yang sekaligus
memberikanpeningkatanperlindunganterhadapinfeksipadabulan-bulanpertama.
Insidensi diaper rash3 sampai 4 kali lebihtinggipadabayi yang
mengalamidiare(Singalavanija & Frieden, 2005).
Sejauh ini, tipe diaper rash yang paling banyak adalah irritant diaper
dermatitis. Dermatitis ini ditemukan pada siapa saja yang memakai popok, tanpa
pengaruh umur. Predileksi yang paling sering adalah pada gluteal, genital, bagian
bawah abdomen, pubis dan paha atas.Irritant diaper dermatitis menampakkan
efloresensi berupa daerah eritema, lembab dan kadang timbul sisik pada genital dan
1
gluteal, yang awalnya timbul pada daerah yang lebih sering kontak dengan
popok(Gawkrodger, 2002).
Tujuan dari terapi diaper rash yaitu: (1) memperbaiki kerusakan kulit, dan (2)
mencegah rekurensi. Prinsip terapi yaitu menjaga area popok tetap bersih dan kering,
meskipun hal ini tidak mudah. Popok tipe superabsorbent (berdaya serap tinggi)
merupakan jenis popok yang paling bagus, dan sebaiknya diganti secara teratur,
terutama di malam hari. Jika menggunakan popok kain, sebaiknya dicuci secara
menyeluruh dengan bersih dan juga diganti secara teratur. Area yang bersentuhan
dengan popok sebaiknya dibersihkan dengan air, dan aqueous cream setiap kali
pergantian popok. Ointment protektif, seperti zink, dan ointment silikon protektif,
seringkali berguna. Steroid poten sebaiknya tidak digunakan pada kasus-kasus ringan.
Penggunaan topikal steroid pada bayi perlu diperhatikan dan dibatasi selama 3 sampai
7 hari, sebab obat ini lebih banyak diabsorbsi perkutaneus pada bayi dibanding pada
orang dewasa. Terapi anti jamur hendaknya tidak digunakan secara rutin, hanya jika
dicurigai adanya infeksi Candida spp(Chang & Orlow, 2008).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Napkin Eczema atau Diaper Rash atau juga disebut Diaper Dermatitis
merupakan suatu erupsi pada area kulit yang tertutupi diaper atau popok pada bayi.
Kondisi ini dapat disebabkan karena penggunaan atau kontak langsung popok dengan
kulit bayi (dermatitis kontak iritan) yang merupakan penyebab terbanyak. Selain itu
penggunaan diaper juga dapat memperparah kondisi kulit yang sudah memiliki erupsi
misalnya pada psoriasis. Hal tersebut dibuktikan pada beberapa penelitian
menyebutkan bahwa pada daerah tertentu yang jarang menggunakan popok pada bayi
akan memiliki insiden Napkin Eczema (NE) yang lebih rendah (Serdaroglu &
Ustunbas, 2010).
Erupsi seperti ini mempunyai banyak penyebab, sehingga istilah diaper rash
sebaiknya dihindari dan hanya dipakai untuk pengertian yang lebih umum. Istilah
dermatitis popok iritan primer lebih tepat dipakai pada keadaan dimana erupsi yang
terjadi akibat kontak iritan, meskipun etiologi belum diketahui pasti(Serdaroglu &
Ustunbas, 2010).
2.2 Epidemiologi
Diaper rash adalahsalahsatugangguan kulit yang paling umum pada masa
anak-anak, tercatat hampir 1 juta anak berobat jalan tiap tahunnya. Dalamsuatu survei
pada 1.089 bayi, 50% di antaranya mengalami diaper rash, namunhanya 5% yang
memilikiruamparah. Puncakkejadiandiaper rashyaitu antara usia 9 sampai 12 bulan.
Hubunganantarausiadanfrekuensidiaper rashdapatdisebabkanolehbeberapafaktor,
termasukperubahanpolamakandari ASI kesusu formula danmakananpadatselama 12
bulanpertamakehidupan. Bayi yang diberi ASI lebih jarang mengalami diaper rash
daripada bayi yang diberi susu formula. ASI mengandung sel darah putih yang aktif
melawaninfeksi dan bahan kimia alami yang sekaligus
memberikanpeningkatanperlindunganterhadapinfeksipadabulan-bulanpertama.
Insidensi diaper rash3 sampai 4 kali lebihtinggipadabayi yang
mengalamidiare(Singalavanija & Frieden, 2005).
Frekuensidantingkatkeparahandiaper rashlebihrendah jika jumlah rata-rata
penggantian popok per hari sebanyak delapan kali ataulebih, terlepasdarijenispopok
3
yang digunakan. Bayi yang menggunakanpopoksekalipakai yang superabsorbent
memilikifrekuensi dantingkatkeparahanruampopok yang
jauhlebihrendahbiladibandingkandenganbayi yang
menggunakanpopokkain(Singalavanija & Frieden, 2005).
Pada populasi di China dilaporkan 25% bayi mengalami diaper rash selama 4
minggu pertama kehidupan. Pada penelitian lain menunjukan 52% anak mulai dari
masa bayi hingga usia <24 bulan dapat mengalami diaper rash. Meskipun jarang
menimbulkan efek samping yang dapat mengancam kehidupan, namun diaper rash
dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman pada anak-anak(Li, Zhu, & Dai, 2012).
2.3 Etiologi
Penyebab dermatitis popok adalah multifaktorial. Faktor-faktor pemicunya
adalah kelembaban yang berkepanjangan, urin, feses, dan lain-lain. Hal ini dapat
membuat integritas kulit mudah rusak akibat gesekan, menurunkan fungsi sawar, dan
membuat kulit menjadi mudah terkena iritasi yang tidak jarang akan menimbulkan
infeksi sekunder pada kulit(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).
Faktor yang mendasari terjadinya iritasi pada kulit, meliputi derajat
kelembapan ( kulit yang basah lebih mudah mengalami kerusakan), peningkatan pH (
kulit yang alkalis dapat meningkatkan penetrasi mikroorganisme dan aktivitas fecal
enzim), kolonisasi mikroorganisme (Staphylococcus aureus atau Candida), dan
riwayat keluarga mengenai keadaan dermatologik primer ( psoriasis, eksema, atau
dermatitis seboroik)(Dunitz, 2004).
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya diaper rash, antara
lain:
1. Maserasi dan kelembapan
Stratum korneum menentukan fungsi pertahanan (barrier) pada epidermis.
Stratum korneum terdiri atas sel yang akan berhenti mengelupas dan
memperbarui diri pada siklus 12-24 hari. Matriks ekstraselular hidrofobik
berperan sebagai barier, mencegah kehilangan cairan dan sebagai tempat
masuknya air dan bahan hidrofilik lainnya. Sel hidrofilik pada stratum
korneum (korneosit) memberikan perlindungan mekanis dari lingkungan luar
dalam bentuk lapisan lilin. Keadaan basah yang berlebihan akan memberikan
dampak berat pada stratum korneum. Pertama, keadaan ini akan membuat
permukaan kulit menjadi pecah-pecah dan lebih sensitif terhadap gesekan.
4
Kedua, keadaan ini mengganggu fungsi perlindungan, menambah penyerapan
bahan iritan ke dalam lapisan sensitif pada kulit di bawah stratum korneum
dan membuka lapisan ini sehingga menjadi kering dan menjadi tempat
masuknyamikroorganisme. Oklusi kulit yang berkepanjangan dapat
menimbulkan eritema, terutama jika air kontak dengan permukaan kulit dan
akhirnya dapat terjadi dermatitis (Serdaroglu & Ustunbas, 2010)
2. Gesekan
Gesekan antara kulit dan popok merupakan faktor penting dalam beberapa
kasusdiaper rash. Hal ini didukung oleh predileksi tersering diaper rash yaitu
di tempat yang paling sering terjadi gesekan, misalnya pada permukaan dalam
paha, permukaan genital, bokong dan pinggang(Serdaroglu & Ustunbas,
2010)
3. Urin
Bayi yang baru lahir mengeluarkan urine lebih dari 20 kali dalam 24 jam.
Frekuensi berkemih ini berkurang seiring pertumbuhan dan mencapai 7 kali
dalam 24 jam pada umur 12 bulan. Selama beberapa tahun, amonia dipercaya
sebagai penyebab utama terjadinya diaper rash. Namun sekarang telah
diketahui bahwa amonia bukan penyebab utama terjadinya diaper rash.
Jumlah mikroorganisme terkait amonia tidak berbeda antara bayi dengan atau
tanpa diaper rash. Hal ini menunjukkan bahwa hasil degradasi urine lainnya
selain amonia memegang peranan penting pada kejadian diaper rash. Suatu
penelitian membuktikan bahwa urin yang disimpan selama 18 jam pada suhu
37o C dapat menginduksi terjadinya dermatitis ketika diberikan pada kulit bayi.
Saat ini jelas bahwa pH urin memegang peranan penting pada penyakit ini.
Urin yang memiliki pH tinggi (alkalis) pada bayi dapat menimbulkan irritant
napkin dermatitis(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).
4. Feses
Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa feses manusia memiliki efek
iritan pada kulit. Pada feses bayi terdapat protease, pankreas, lipase, dan
enzim-enzim lainnya yang dihasilkan olehbakteri dalam usus. Enzim ini
berperan penting dalam proses terjadinya iritasi kulit. Efek iritan dari enzim
tersebut semakin meningkat dengan adanya kenaikan pH dan gangguan fungsi
barier(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).
5
5. Urea yang diproduksi oleh berbagai bakteri pada feses dapat meningkatkan pH
feses. Meningkatnya pH dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase dan
protease pada feses. Produksi feses cair yang berlebihan berhubungan dengan
pemendekan waktu transit dan feses ini mengandung sejumlah besar sisa
enzim percernaan yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit(Serdaroglu &
Ustunbas, 2010)
6. Mikroorganisme
Mikroorganisme seperti bakteri (Streptococcus dan Staphylococcus), dan
jamur (Candida) dapat menyebabkan diaper rash. Meskipun sering dinyatakan
bahwa infeksi bakteri berperan penting dalam terjadinya napkin dermatitis tipe
iritasi primer, studi kuantitatif menunjukkan bahwa flora bakteri yang diisolasi
dari daerah yang mengalami erupsi tidak berbeda dengan bakteri yang
diisolasi dibeberapa area kulit yang normal pada bayi (Serdaroglu & Ustunbas,
2010)
7. Antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas pada bayi dengan otitis media dan
infeksi traktus respiratorius menunjukkan peningkatan insiden terjadinya
irritant napkin dermatitis. Antibiotik dapat membunuh bakteri, baik flora
normal maupun bakteri patogen. Ketidakseimbangan kedua bakteri ini, dapat
menyebabkan infeksi jamur. Hal ini dapat terjadi ketika bayi mengkonsumsi
antibiotik atau pemberian ASI oleh ibu yang mengkonsumsi antibiotik. Selain
itu, kesalahan dalam penggunaan bahan topikal untuk melindungi kulit juga
dapat meningkatkan resiko terjadinya diaper rash(Serdaroglu & Ustunbas,
2010).
8. Kesalahan atau kurangnya perawatan kulit
Penggunaan sabun mandi dan bedak yang salah dapat meningkatkan resiko
terjadinya dermatitis iritan. Cara pembersihan dan pengeringan di daerah
popok yang tidak tepat serta frekuensi penggantian popok yang jarang juga
dapat menjadi faktor pencetus(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).
9. Reaksi alergi
Alergennya biasanya adalah parfum dan bahan dari popok. Kulit yang
mengalami iritasiterlihat berwarna merah, berbatas tegas dengan
permukaannya terdapat vesikel dan erosi. Untuk itu, diperlukanpemeriksaan
berupa patch test untuk mengidentifikasi agen penyebab. Namun, secara
6
umum reaksi alergi jarang menyebabkan diaper rash(Serdaroglu & Ustunbas,
2010).
10. Kelainan anomali pada traktus urinarius
Kelainan anomali pada traktus urinarius dapat menyebabkan terjadinya infeksi
traktus urinarius(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).
2.4 Patofisiologi
Etiologi pasti dari diaper rash belum dapat dijelaskan. Timbulnya
ruam ini merupakan hasil kombinasi dari beberapa faktor yang terdiri dari keadaan
lembab, gesekan, urin, feses dan adanya mikroorganisme. Secara anatomis, bagian
kulit yang menonjol dan daerah lipatan menyulitkan pembersihan dan pengontrolan
terhadap lingkungan. Bahan iritan utama adalah enzim protease dan lipase dari feses,
dimana aktivitasnya akan meningkat seiring dengan kenaikan pH(James, Berger, &
Elston, 2006)
Aktivitas enzim lipase dan protease feses akan meningkat akibat percepatan
transit gastrointestinal, oleh karena itu insiden tertinggi diaper rash terjadi pada bayi
yang diare dalam waktu kurang dari 48 jam. Penggunaan popok menyebabkan
peningkatan kelembaban kulit dan pH. Kondisi lembab yang berkepanjangan dapat
menyebabkan terjadinya maserasi pada stratum korneum, lapisan luar, dan lapisan
pelindung kulit yang berhubungan dengan kerusakan pada lapisan lipid interselular.
Kelemahan integritas fisik membuat stratum korneum lebih mudah terkena kerusakan
oleh gesekan permukaan popok dan iritasi local(James, Berger, & Elston, 2006).
7
Kulit bayi mempunyai barier yang efektif terhadap penyakit dan memiliki
permeabilitas yang sama dengankulit orang dewasa. Berbagai studi melaporkan
bahwa kehilangan cairantransepidermal pada bayi lebih rendah daripada kulit orang
dewasa. Namun, kondisi yang lembab, kekurangan paparan udara, keasaman, paparan
bahan iritan, dan meningkatnya gesekan pada kulit dapat menyebabkan kerusakan
barier kulit(James, Berger, & Elston, 2006).
Pada kulit normal, pH berkisar antara 4,5-5,5. Ketika zat urea dari urin dan
feses bercampur, enzim urease akan menguraikan urine dan menurunkan konsentrasi
ion hidrogen (meningkatkan pH). Peningkatan pH juga menyebabkan peningkatan
hidrogen pada kulit dan membuat permeabilitas kulit meningkat(James, Berger, &
Elston, 2006).
8
kemampuan penyerapan yang tinggi maka insiden JED semakin berkurang
(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).
Gambaran lain yang dapat timbul adalah miliaria rubra akibat oklusi dari
duktus kelenjar ekrin kulit pada daerah yang kontak dengan komponen plastic pada
popok. Sedangkan papul pseudoverrucous dan nodul terjadi pada area perianal pasien
segala usia yang memiliki predisposisi adanya kulit lembab yang terus menerus
(Serdaroglu & Ustunbas, 2010).
2.6 Diagnosis
Seperti halnya pada penyakit lain penegakan diagnosis dari NE dilakukan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
keluhan yang sering muncul adalah berupa kemerahan atau rash pada pantat dan
selakangan serta area sekitar genital setelah penggunaan popok yang cukup lama.
Selain itu jenis popok dan lama penggunaan dalam satu hari juga harus digali karena
akan mempengaruhi penegakan diagnosis. Riwayat atopi pada keluarga serta
penggunaan obat-obatn juga harus ditanyakan kepada keluarga pasien (Singalavanija
& Frieden, 2005).
Kemudian pada pemeriksaan fisik, yang meliputi inspeksi (efloresensi), juga
harus dievaluasi khususnya area yang mengalami lesi. Area yang sering terjadi adalah
pada daerah yang kontak dengan popok, yaitu bokong, alat kelamin, perut bagian
bawah, daerah kemaluan, dan paha atas. Bagian-bagian yang lebih dalam dari lipatan
inguinal jarang terkena. Pola khas lain yang baru-baru ini diketahui adalah erosi yang
terlokalisir di lateral paha atas dan bokong, permukaan kulit dalam kontak terdekat
dengan popok basah atau kotor. Bokong, genitalia, perut bagian bawah, dan atas paha
biasanya yang paling parah terkena dampak, paling sering unilateral, namun tidak
jarang bilateral, dalam posisi yang sesuai ke daerah-daerah di mana kontak langsung
dapat terjadi dengan perekat yang kuat pada popok. Biasanya distribusi lesi juga
tergantung pada posisi di mana bayi diperbolehkan untuk berbaring.Pada bentuk
paling ringan hanya ada eritema, tetapi dengan meningkatnya keparahan, papula,
vesikel, erosi kecil, dan ulkus lebih besar dapat terjadi. Pada bentuk kronis,
skuamadapat disertai eritema. Skuama biasanya tampak mencolok, terutama dalam
tahap penyembuhan. Pada kasus yang parah, dapat erosi superfisial atau bahkan
ulserasi (Singalavanija & Frieden, 2005).
Pada beberapa bayi, erosi terbatas pada batas daerah yang tertutup popok dan
kadang peradangan dapat terlihat pada tepi popok akibat kontak kulit yang lama
9
dengan bagian tepi popok. Gambaran dapat berupa eritema, lembab, dan kadang
muncul plak berskuama pada daerah genital dan bokonga. Pada reaksi akut, eritema
dapat disertai pengelupasan kulit sedikit demi sedikit. Skuama yang lebih halus lebih
sering muncul pada kasus lama. Kadang-kadang, bentuk erosi diaper rash dapat
disertai vesikel kecil, dan erosi dapat berkembang menjadi lebih karakteristik,
dangkal, bulat, ulkus dengan tepi yang menonjol (Jacquet dermatitis).Pada bayi laki-
laki dapat terjadi iritasi dan krusta di ujung penis. Pada bayi laki-laki dan perempuan,
keterlibatan alat kelamin dapat menyebabkan disuria. Jika mengenai glans penis, bayi
laki-laki dapat mengalami retensi urin akut(Singalavanija & Frieden, 2005).
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis ini jarang dilakukan.
Pemeriksaan penunjang lebih cenderung untuk menemukan apakah terdapat infeksi
dan mikroorganisme apa yang menginfeksi.
- Pemeriksaan laboratorium
o Darah lengkap : Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan,
terutama jika muncul gejala sistemikseperti demamdan jika
dicurigai adanya infeksi sekunder. Jika ditemukan anemia
bersama dengan hepatosplenomegali dan timbul ruam dapat
dicurigai sebagai histiositosis sel Langerhans atau sifilis
kongenital.
o Pemeriksaan serologi untuk sifilis dilakukan pada pasien
yang dicurigai menderita sifiliskongenital.
o Kadar serum zink kurang dari 50 mcg/dl dapat ditemukan
pada pasien dengan acrodermatitis enterohepatika.
- Pemeriksaan kerokan kulit. Pada pasien yang diduga candidiasis,
pengikisan lesi papul atau pustul menunjukkan adanya pseudohifa, hifa
dan blastospora dengan diameter 2-4 µm dengan menggunakan larutan
KOH 10%, larutan lugol atau air suling
- Pemeriksaan histopatologi : biopsi kulit dilakukan untuk melihat struktur
histologinya. Gambaran histologi diaper rash umumnya seperti dermatitis
iritan primer dengan spongiosis epidermal dan inflamasi ringan pada
lapisan dermis(James, Berger, & Elston, 2006).
10
2.7 Differential Diagnosis
1. Dermatitis seboroik Infantil
Terjadi pada beberapa minggu pertama kelahiran yaitu sekitar pada
usia 2 minggu sampai 6 bulan. Predileksi pada daerah lipatan kulit misalnya
pada aksila, paha dan leher dan bahkan bisa pada wajah dan kulit kepala.
Daerah flexural tampak lembab, dan dapat pula berupa eritema, berbatas tegas,
terang, dan kadang ditemukan krusta kekuningan serta skuama, dan dapat pula
disertai vesikel.Adanya eritem pada kulit kepala (cradle cap), wajah, aksila,
retroaurikuler, dan leher dapat dijadikan petunjuk untuk diagnosis.
11
3. Napkin Psoriasis
Diaper rash tipe psoriasis terjadi selama 2 bulan dan berakhir 2-4 bulan.
Ruam terdiri dari plak bentuk psoriasis pada area popok disertai papul satelit.
plak merah terang berbatas tegas, tidak bersisik, dan berbatas tegas, baik
terlokalisir maupun berkelompok di daerah intertriginosa/lipatan seperti ketiak
juga merupakan ciri dari penyakit ini. Terkadang lesi pada punggung dan
ekstremitas memiliki morfologi yang sama dengan lesi di area popok.
12
5. Candidiasis
Infeksi primer oleh C. albicans jarang terjadi pada bayi sehat. Hal ini
umumnya terjadi akibat komplikasi sekunder dari infantile seborrhoeic
eczema atau diaper rash. Lesi dapat berupa eritema, skuama dan pustul.
Seringkali melibatkan daerah fleksura, dan dapat tampak lesi satelit
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi diaper rash yaitu: (1) memperbaiki kerusakan kulit,
dan (2) mencegah rekurensi. Prinsip terapi yaitu menjaga area popok tetap bersih
dan kering, meskipun hal ini tidak mudah. Popok tipe superabsorbent (berdaya
serap tinggi) merupakan jenis popok yang paling bagus, dan sebaiknya diganti
secara teratur, terutama di malam hari. Jika menggunakan popok kain, sebaiknya
dicuci secara menyeluruh dengan bersih dan juga diganti secara teratur. Area yang
bersentuhan dengan popok sebaiknya dibersihkan dengan air, dan aqueous cream
setiap kali pergantian popok. Ointment protektif, seperti zink, dan ointment silikon
protektif, seringkali berguna. Steroid poten sebaiknya tidak digunakan pada kasus-
kasus ringan. Penggunaan topikal steroid pada bayi perlu diperhatikan dan
dibatasi selama 3 sampai 7 hari, sebab obat ini lebih banyak diabsorbsi
perkutaneus pada bayi dibanding pada orang dewasa. Terapi anti jamur
hendaknya tidak digunakan secara rutin, hanya jika dicurigai adanya infeksi
Candida spp(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
Keberhasilan terapi mencakup hal-hal sebagai berikut:
Memperhatikan penggunaan popok
a) Penggunaan popok sekali pakai
Penggunaan popok sekali pakai yang berkualitas baik, terutama yang
mengandung bahan gel absorbent (popok sekali pakai berdaya serap
13
tinggi), dapat mengurangi kejadian diaper rash dengan tingkat keparahan
yang cukup ringan dibandingkan popok kain yang dapat dicuci. Gel yang
terdapat pada popok sekali pakai dapat mengabsorbsi sekitar 80 kali lipat
dari total beratnya, sehingga dapat mengurangi kelembaban, dan akhirnya
mencegah terjadi maserasi kulit. Penggunaan popok jenis ini juga
berhubungan dengan pH normal kulit.(Atherton, Gennery, & Cant, 2004)
(b) Pemakaian popok yang mengandung emolien
Saat ini tersedia popok sekali pakai yang lapisan teratasnya mengandung
emolien, biasanya didominasi oleh white soft paraffin. Penggunaan popok
ini dapat mengurangi tingkat keparahan diaper rash. Saat ini, telah
tersedia juga jenis popok dengan struktur dasar berkerut yang menahan
feses di inti popok (diaper core)(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
(c) Frekuensi penggantian popok
Popok sebaiknya diganti lebih dari delapan kali sehari dan sesegera
mungkin setelah defekasi. Penggantian popok juga sebaiknya dilakukan
saat tengah malam agar bayi tidak tidur dengan popok yang basah
sepanjang malam(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
Perawatan rutin di area popok
Perawatan kulit rutin akan mencegah rekurensi setelah erupsi hilang.
Setiap penggantian popok, dapat digunakan emolien seperti white soft paraffin,
dan campuran white soft paraffin dan cairan paraffin, zink, Dexpanthenol
ointment(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
Terapi spesifik
Kortikosteroid topikal berguna dan biasanya digunakan kecuali pada
kasus-kasus ringan. Namun penggunaannya tidak melebihi hidrokortison 1%.
Pendapat lainnya menyatakan dapat digunakan hidrokortison 1 sampai 2,5 %
dalam jangka pendek, yaitu 3-7 hari. Obat ini diberikan sebanyak 2 kali sehari
setelah mandi, idealnya dalam bentuk ointment. Sebuah studi penelitian
menunjukkan bahwa Aloe vera topikal dan Calendula officinalismerupakan
terapi efektif dermatitis popok pada bayi(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
14
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari diaper rash yaitu ulkus punch-out atau erosi dengan tepi
meninggi (Jacquet erosive dieper dermatitis), papul dan nodul pseudoverucous dan
plak dan nodul violaceous (granuloma gluteale infantum). Jacquet erosivediaper rash
memberikan gambaran eritema, skuama berlapis-lapis, terdapat fisura dan area erosi
pada kulit yang kontak dengan popok. Granuloma gluteal infantum merupakan
penyakit yang tidak biasa dengan ciri nodul merah keunguan dengan ukuran yang
berbeda-beda (0.5-0.3 cm) timbul pada area popok pada bayi umur 2-9 bulan. Pada
pemeriksaan biopsi didapatkan infiltrat limfosit, sel plasma, netrofil, dan eosinophil
(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
2.10 Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan yang paling baik. Tujuannya adalah untuk
mengurangi kontak antara kulit dengan bahan iritan. Semakin sering popok diganti
semakin kecil kemungkinan terkena diaper rash. Popok harus diganti segera setelah
BAK/BAB untuk membatasi jumlah bahan iritan ini dan mencegah tercampurnya
feses dan urin. Penggunaan popok dengan daya serap kuat mengurangi kelembaban
pada daerah popok (Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
Pencucian dan penggosokan yang berlebihan pada daerah popok akan
menimbulkan iritasi kulit. Setelah BAK/BAB, pencucian dapat dilakukan dengan air
hangat dan pembersih ringan(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
Preparat protektif yang digunakan terdiri dari losion, krim atau ointment, yang
mengandung emolien dapat ditambah dengan kaolin, talk atau zinc oxide. Penggunaan
preparat ini akan mengurangi gesekan dan absorbsi bahan iritan. pH kulit sedikit lebih
bersifat asam dan mendekati pH normal kulit dan berfungsi sebagai buffer terhadap
pH yang lebih tinggi yang disebabkan oleh adanya amonia. Emolien digunakan 2-3
kali sehari(Atherton, Gennery, & Cant, 2004).
2.11 Prognosis
Diaper rash hampir selalu menunjukkan respon yang baik terhadap terapi dan
sebagian besar kasus dapat membaik jika tidak memakai popok dalam jangka waktu
beberapa minggu. Dan jika tetap persisten kemungkinan didiagnosis dengan atopic
eczema, psoriasis, zinc defisiensi, histiosit sel langerhans atau imunodefisiensi(James,
Berger, & Elston, 2006).
15
BAB 3
KESIMPULAN
Napkin Eczema atau Diaper Rash atau juga disebut Diaper Dermatitis
merupakan suatu erupsi pada area kulit yang tertutupi diaper atau popok pada bayi.
Kondisi ini dapat disebabkan karena penggunaan atau kontak langsung popok dengan
kulit bayi (dermatitis kontak iritan) yang merupakan penyebab terbanyak. Penyebab
Diaper Dermatitisatau dermatitis popok adalah multifaktorial. Faktor-faktor
pemicunya adalah kelembaban yang berkepanjangan, urin, feses, gesekan,
mikroorganisme dan juga obat-obatan.Sejauh ini, tipe diaper rash yang paling banyak
adalah irritant contact dermatitis. Gejala akut yang sering muncul adalah eritema
pada kulit area pubis, pantat dan beberapa area yang memiliki lipatan kulit yang
menunjukkan bahwa gejala tersebut muncul akibat paparan langsung kulit dengan
diaper atau popok. Gambaran eritema tersebut akan menetap selama 3-12 minggu.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang. Pada anamnesis keluhan yang sering muncul adalah berupa
kemerahan atau rash pada pantat dan selakangan serta area sekitar genital setelah
penggunaan popok yang cukup lama. Selain itu jenis popok dan lama penggunaan
dalam satu hari juga harus digali karena akan mempengaruhi penegakan diagnosis.
Riwayat atopi pada keluarga serta penggunaan obat-obatn juga harus ditanyakan
kepada keluarga pasien. Kemudian pada pemeriksaan fisik, yang meliputi inspeksi
(efloresensi), juga harus dievaluasi khususnya area yang mengalami lesi. Area yang
sering terjadi adalah pada daerah yang kontak dengan popok, yaitu bokong, alat
kelamin, perut bagian bawah, daerah kemaluan, dan paha atas. Gambaran yang dapat
muncul adalah eritema, vesikel, papul dan bahkan sampai erosi.
Penatalaksanaan yang paling utama adalah menjaga kebersihan kulit pada
daerah yang kontak langsung dengan popok. Popok tipe superabsorbent (berdaya
serap tinggi) merupakan jenis popok yang paling bagus, dan sebaiknya diganti secara
teratur, terutama di malam hari. Jika menggunakan popok kain, sebaiknya dicuci
secara menyeluruh dengan bersih dan juga diganti secara teratur. Area yang
bersentuhan dengan popok sebaiknya dibersihkan dengan air, dan aqueous cream
setiap kali pergantian popok. Ointment protektif, seperti zink, dan ointment silikon
protektif, seringkali berguna.
DAFTAR PUSTAKA
16
Atherton, D. J., Gennery, A. R., & Cant, A. R. (2004). The Neonate. In S. Breathnach,
N. Cox, & C. Griffiths, Rook's Textbook of Dermatology (pp. 1722-1726).
Massachusetts: Blackwell Sciences.
Chang, M. W., & Orlow, S. J. (2008). Neonatal, Pediatric and Adolescent
Dermatology. In K. Wolff, L. A. Goldsmith, S. I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S.
Paller, & D. J. Leffell, Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine (pp.
942-944). New York: Mc Graw Hill.
Dunitz, M. (2004). Skin Care for Children. In R. Baran, Cosmetic Dermatology (pp.
349-355). London: Mc Graw Hill.
Gawkrodger, D. J. (2002). Pediatric Dermatology. In D. J. Gawkrodger, Dermatology
an Illustrated Color Text (p. 108). Edinburgh: Churchill Livingstone.
James, W., Berger, T., & Elston, D. (2006). Atopic Dermatits, Eczema, and
Noninfectious Immunodeficiency Disorders. In Andrew, Andrew's Disease
of the Skin : Clinical Dermatology (pp. 80-81). New York: Waunder's
Company.
Li, C. H., Zhu, Z. H., & Dai, Y. H. (2012). Diaper Dermatitis : a Survey of Risk
Factor for Children Aged 1 - 24 Months in China. Journal of International
Medical Research, XL, 1752-1760.
Serdaroglu, S., & Ustunbas, T. K. (2010). Diaper Dermatitis (Napkin Dermatitis,
Nappy Rash). Journal of the Turkish Academy of Dermatology, IV (4), 1-4.
Singalavanija, S., & Frieden, I. J. (2005). Diaper Dermatitis. Pediatric in Review,
XVI, 142-147.
17