Anda di halaman 1dari 9

Dimensi Religi Dalam Pembuatan Pinisi .......................................

(Nendah Kurniasari, Christina Yuliaty dan Nurlaili)

DIMENSI RELIGI DALAM PEMBUATAN PINISI


Dimensions of Religious Elements in Making Pinisi

Nendah Kurniasari, Christina Yuliaty dan Nurlaili


Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Jl. KS. Tubun Petamburan VI Jakarta 10260
Telp. (021) 53650162, Fax. (021)53650159
Diterima 23 Oktober 2012 - Disetujui 4Juni 2013

ABSTRAK
Pinisi merupakan salah satu contoh perwujudan pengetahuan masyarakat lokal dalam
beradaptasi dengan lingkungannya secara harmonis. Pengetahuan ini, mencakup dimensi unsur religi
yang sarat akan sejumlah makna, nilai dan simbol yang menjadi landasan membentuk harmonisasi
dirinya dengan alam. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
dimensi religi dalam pembuatan pinisi serta dinamika yang menyertainya. Penelitian dilakukan dengan
pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam sebagai teknik pengambilan data dan deskriptif
analitik sebagai metoda analisis. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2011 di Desa Ara dan Tanah
Beru Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba Sulawesi Tenggara. Pinisi sebagai bagian
dari suatu budaya sarat akan sejumlah makna, simbol, dan nilai yang tertuang dalam setiap prosesi
pembuatannya.  Perubahan kondisi sumber daya dan intervensi modernitas pada setiap aspek kehidupan
menyebabkan perubahan dalam aktivitas  unsur religi yang terkandung dalam pembuatan pinisi. Panrita
lopisebagai tokoh kunci dalam menjaga tradisi tersebut tidak bisa mengelak dari tuntutan perubahan
peradaban, namun melalui berbagai kebijaksanaannya, mereka mencoba mengeliminir perubahan
agar tetap berada dalam sendi-sendi keseimbangan antara unsur makrokosmos dan mikrokosmos
yang diyakini sebagai syarat agar kehidupan tetap terjaga. Sinergitas program pelestarian sumber daya
antar Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perindustrian dan
Kepolisian dalam melestarikan sumber daya guna mendukung pelestarian pinisi merupakan langkah
yang harus segera direalisasikan.

Kata Kunci: Pinisi, Bontobahari, panrita lopi, religi

ABSTRACT
Pinisi is one example embodiment knowledge local people in adapting to the environment
harmoniously. This knowledge, includes dimensions element religious laden will meaning, a number
value and symbol as the basis form harmonizing himself with nature. Based on it, this study aimed to
identify the religious dimension in manufacture and dynamics accompanying phinisi. The study was
conducted with a qualitative approach through in-depth interviews as the data collection techniques and
analytical description as a method of analysis. The study was conducted in July 2011 in Ara and Tanah
Beru Village Bontobahari Bulukumba Southeast Sulawesi. Pinisi as part of a culture full of a number
of meanings, symbols, and values ​​contained in each process making. Changes in resource conditions
and interventions of modernity in every aspect of life led to a change in the activity of religious elements
contained in the making pinisi. Panrita lopi as a key figure in keeping the tradition cannot escape from
the demands of a changing civilization, but through wisdom, they tried to eliminate the change in order
to remain in the joints of the balance between the elements of the macrocosm and microcosm are
believed to be requirement in order to maintain life. Resource conservation program synergy between
the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Ministry of Forestry, Ministry of Industry and Police in
conserving resources to support the preservation pinisi is a step that must be realized.

Keywords: Pinisi, Bontobahari, panrita lopi, religion

75
J. Sosek KP Vol. 8 No. 1 Tahun 2013

PENDAHULUAN produk dari relasi antara manusia dan alam,


sistem religi inipun mengalami dinamika seiring
Kapal pinisi merupakan sebuah warisan dengan perubahan pada kondisi alam dan
budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang peradaban manusia. Begitupun sistem religi yang
mencirikan identitas bangsa ini sebagai Bangsa menyertai prosesi pembuatan pinisi di Desa Ara
Bahari. Melalui tangan para panrita lopi, kapal pinisi Kecamatan Bontobahari. Penelitian inibertujuan
telah menjadi simbol kebanggaan tidak hanya untuk mendeskripsikan bagaimana dimensi religi yang
Indonesia namun dunia pun mengakuinya sebagai terdapat pada proses pembuatan pinisi serta
sebuah karya yang luar biasa. Pengakuan dunia dinamika yang menyertainya. Hasil penelitian ini
ini dibuktikan dari pemesanan-pemesanan dari luar dapat memberikan gambaran bahwa bangsa ini
negeri yang terus mengalir kepada para panrita pada dasarnya mempunyai beragam nilai yang
lopi di Desa Ara dan Desa Tanah beru Kecamatan dapat dikembangkan sebagai nilai dasar kemajuan
Bontobahari Kabupaten Bulukumba Sulawesi bangsa. Pranaji (2012) menegaskan bahwa
Tenggara. pencarian kembali nilai-nilai dasar kemajuan
bangsa bisa diawali dengan mengeksplorasi nilai-
Sebagai sebuah produk kebudayaan, pinisi nilai yang bersumber dari khasanah agama. Oleh
merupakan sebuah perwujudan pengetahuan karenanya, gambaran mengenai dimensi religi
lokal (local knowledge) masyarakat Bontobahari dalam pembuatan pinisi diharapkan dapat menjadi
dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Cunha masukan bagi pemerintah untuk memberikan
(1997) seperti yang dikutip oleh Hanafi (2009) intervensi kebijakan mengenai upaya perlindungan
mengatakan bahwa kelahiran pengetahuan terhadap kearifan-kearifan lokal Nusantara
tradisional nelayan banyak didasari karakteristik khususnya pinisi agar kekayaan tersebut tetap
konteks fisik lautan yang mengelilinginya. lestari dan dapat memberdayakan masyarakat.
Pengetahuan ini diproduksi secara kultural dan
diakumulasi melalui pengalaman dan terus
menerus dievalusi dan diciptakan kembali METODOLOGI
berdasarkan fitur lingkungan laut yang bergerak
dan unpredictable. Jadi, pengetahuan manusia Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ara
dan sifat lingkungannya mempunyai keterkaitan dan Desa Tanahberu Kecamatan Bontobahari
yang bisa saling mempengaruhi. Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan
pada Tahun 2011. Data diambil melalui wawancara
Rappaport (1967) menyebutkan bahwa mendalam dan observasi. Wawancara mendalam
manusia dan lingkungannya sebagai suatu dilakukan dengan informan kunci yang ditentukan
jaringan yang amat kompleks terwujud dalam secara purposif. Informan kunci terdiri dari tokoh
sistem religi. Rappaport memberikan contoh adat setempat sebanyak empat orang, panrita
bagaimana masyarakat suku Maring Tsembagadi lopi (pembuat pinisi) sebanyak empat orang,
Papua New Guinea menciptakan berbagai ritual sawi dan pandega sebanyak enam orang serta
untuk mengendalikan populasi babi. Babi dijadikan Kepala Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan
persembahan sakral yang wajib diadakan pada Kabupaten Bulukumba. Observasi dimaksudkan
setiap ritual tersebut. Dengan demikian populasi untuk melengkapi informasi dari hasil wawancara
babi di wilayahnya dapat dikendalikan. Kasus mendalam.
tersebut mengindikasikan bahwa relasi yang terus
menerus antara pengetahuan masyarakat dengan Data yang diambil berupa data primer
kondisi lingkungannya kemudian memunculkan yang dibedakan atas tiga bagian yaitu sistem
sebuah keyakinan atau religi yang mengakar dan kepercayaan yang terdiri dari mitos dan simbol,
dipercaya sebagai sebuah fenomena sakral dibalik sistem upacara ritual menyangkut berbagai
setiap peristiwa. upacara yang dilakukan terkait pembuatan pinisi
serta perubahan-perubahan yang terjadi di
Begitu pun halnya ritual-ritual yang menyertai dalamnya seiring dengan perkembangan kondisi
proses pembuatan pinisi tidak hanya terbatas sumber daya alam dan kebijakan. Data Primer
pada bentuk keterikatan manusia dengan unsur diperoleh dari catatan lapang (field note) hasil
makrokosmosnya, tapi terdapat berbagai nilai wawancara dengan informan dan hasil observasi
dan makna yang terkait dengan upaya mereka selama melaksanakan survei mengenai dimensi
beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang religi yang terdapat pada proses pembuatan pinisi
cenderung selalu berubah. Sebagai sebuah serta dinamika yang menyertainya. Data sekunder

76
Dimensi Religi Dalam Pembuatan Pinisi ....................................... (Nendah Kurniasari, Christina Yuliaty dan Nurlaili)

diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan (library yang hidup dalam diri manusia yang tampak dalam
research), jurnal dan hasil penelitian sebelumnya. kehidupan kesehariannya. Geertz melihat agama
sebagai inti kebudayaan. Nilai-nilai keagamaan
Data dianalisis secara kualitatif dengan tersebut terwujud dalam kehidupan masyarakat.
perspektifekologi manusia yaitu pendekatan
ekosistemik. Pendekatan ekosistemik melihat Teorisasi yang digambarkan diatas dapat
komponen-komponen manusia dan lingkungan diterapkan dalam kehidupan masyarakat pesisir
sebagai satu kesatuan ekosistem yang seimbang Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba
(Lampe dalam Akhbar dan Syarifudin, 2007). Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa Ara, Desa
Dalam hal ini, komponen yang dilihat adalah Tanah Beru dan Tanah Lemo. Masyarakat di
unsur religi yang terdiri dari sistem kepercayaan desa tersebut memiliki matapencaharian yang
dan ritual yang dilaksanakan dalam prosesi berbedayaitu masyarakat Desa Ara bermata
pembuatan pinisi, teknologi yang digunakan, pencaharian sebagai panrita lopi atau perancang
dan perkembangan kondisi sumber daya yang kapal pinisi dan kapal-kapal laut lainnya yang
tersedia. Melalui interpretasi logis, dicari hubungan terbuat dari kayu. Sedangkan, masyarakat Desa
antara setiap komponen tersebut sebagai sebuah Tanah Beru dan Tanah Lemo berprofesisebagai
subsitem yang saling berhubungan dan sawi atau tukang membuat kapal. Ternyata kondisi
saling menyesuaikan dalam rangka menjaga ini tidak terlepas dari mitos yang kemudian menjadi
keseimbangan dan harmonisasi antara unsur religi masyarakat pesisir Bontobahari dalam
makrokosmos dan mikrokosmos dalam sebuah melakukan aktivitas ekonomi.
ekosistem.
Pinisi dan Mitologi Sawerigading
HASIL DAN PEMBAHASAN Pinisi bagi masyarakat Desa Ara, Tanah
Lemo dan Tanah Beru tidak semata-mata
Pengertian religi bukan sekedar agama
merupakan sebuah karya dari sebuah peradaban
seperti Islam, Kristen, Budha, dan sebagainya.
manusia, namun karya dari manusia beserta
Menurut Robertson dalam Sanderson (2010)
kekuatan spiritulisme alam yang tak pernah dapat
agama ialah perangkat kepercayaan dan simbol-
dipisahkan dan memiliki mekanisme sebab akibat.
simbol (dan nilai-nilai yang secara langsung
Alamlah yang mengajarkan kepada masyarakat ke
diperoleh dari situ) yang bertalian dengan
tiga desa tersebut tentang kepiawaian membuat
perbedaan antara suatu realitas transenden
pinisi. Alkisah diceritakan oleh budayawan setempat
yang empiris dan yang superempiris, masalah-
bernama Arief Saenong bahwa pada jaman dahulu
masalah empiris disubordinatkan artinya terhadap
Sawerigading (putra Raja Luwu) jatuh cinta pada
yang non empiris. Sanderson juga mengutip
saudara kembarnya yaitu We Tenri Abeng. Karena
pengertian agama menurut Anthony Wallace yaitu
mereka bersaudara maka cinta tersebut tidak
jenis perilaku yang dapat digolongkan sebagai
dapat disatukan. Sawerigading disarankan untuk
kepercayaan dan ritual yang bersangkutan dengan
menikah dengan sepupunya yaitu We Cudai
makhluk, kekuasaan dan kekuatan supernatural.
Dg. Risompa (Putri Raja Cina-Wajo) yang memiliki
Henslin mengatakan bahwa ada tiga unsur dalam
wajah serupa dengan Tenri Abeng, akhirnya
agama yaitu kepercayaan, praktik atau ritual dan
Sawerigading pun bersedia. Untuk mengantarkan
komunitas (Martono, 2011). Sistem kepercayaan
Sawerigading maka ditebanglah pohon raksasa
mencakup hal-hal tertentu yang bersifat sakral
yang tumbuh di hutan untuk membuat perahu.
misalnya mitos-mitos, sedangkan ritual –menurut
Ketika pohon tersebut rubuh terjadilah gempa
Scott (2011)– merupakan tindakan yang ditentukan
yang selanjutnya pohon tersebut ditelan bumi
aturan yang diperintah dengan simbolisme. Melalui
bersama nenek Sawerigading La Toge Langi
aturan kita dibawa ke dalam persekutuan (komuni)
(gelar Batara Guru). Beberapa waktu kemudian
dengan kekuasaan yang suci. Komunitas adalah
pohon tersebut muncul kembali di pantai setelah
sekelompok orang yang menganut atau mengikuti
menjadi perahu besar.Berangkatlah Sawerigading
religi tersebut.
ke Cina, dan kemudian menikah dengan We Cudai.
Geertz (1970) melihat agama atau religi Suatu hari Sawerigading pulang ke negerinya,
sebagai pedoman yang dijadikan sebagai dalam perjalanan perahunya ditimpa badai dan
kerangka interpretasi tindakan manusia. Agama pecah berkeping-keping. Kepingan-kepingan
pun merupakan pola dari tindakan yaitu sesuatu perahu tersebut terdampar di beberapa tempat
yaitu kepingan bagian badan di Ara, bagian sotting

77
J. Sosek KP Vol. 8 No. 1 Tahun 2013

(linggi) di Tanah Lemo dan bagian layar dan tali mendukung. Hal ini merupakan dasar bagi
temali terdampar di Bira. Mitos inilah yang mendasari pelaksanaan upacara ritual pelepasan kapal untuk
keahlian masyarakat di ketiga desa tersebut yaitu pertama kali ke laut yang disebut appassili. Melalui
masyarakat desa Ara dan Tanah Lemo mahir ritual appassili kayu sebagai bahan utama kapal
dalam pembuatan kapal, sedangkan masyarakat yang merupakan bagian dari unsur darat harus
Bira mahir dalam berlayar. Sebagian masyarakat bisa menyatu dengan laut sebagai unsur tersendiri
Desa Ara masih percaya bahwa mereka tidak akan sehingga diharapkan dalam operasionalnya
bisa mempunyai kapal karena mereka ditakdirkan kapal akan menyatu dengan laut sehingga
sebagai pembuat kapal. Seorang pembuat kapal tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh
menceritakan bahwa “orang Ara tidak akan pernah karena itu,appassili menjadi bersifat wajib, yang
punya kapal, jika punya kapal tersebut akan selalu pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan
terkena bencana baik tenggelam di laut atau pemesan kapal.
diterjang badai”.
Tidak hanya dari unsur alam saja yang
Selain mitos yang berkaitan dengan kapal perlu disatukan, masyarakat darat (petani)
pinisi, terdapat pula mitos yang terkait dengan dengan masyarakat laut (nelayan) merupakan
penangkapan ikan. Masyarakat Bira terkenal dua komunitas yang perlu dijaga persatuannya.
sebagai nelayan penyelam, sebelum menyelam Penyatuan ini disimbolkan dalam ritual Mancerra
nelayan harus melakukan persembahan kepada Tasi yaitu upacara syukuran atas rizki hasil bumi
penguasa laut dengan cara melarung telur ayam yang dikaruniakan Tuhan.
kampung ke laut, daun sirih yang telah dilinting
berjumlah tujuh lembar atau bilangan ganjil lainnya, Sebagai sesuatu yang dianggap mempunyai
beras hitam, beras kuning mentah, dan melalukan kehidupan, masyarakat pembuat kapal menganggap
baranzi (pujia-pujian kepada yang Maha Pencipta). kapal ibarat bayi, jika kedua orang tuanya
Nelayan yang tidak melakukan persembahan mempunyai masalah maka bayi (kapal) tersebut
dipercaya akan mendapatkan hasil tangkapan akan rewel. Makna tersebut berpengaruh terhadap
yang sedikit. Namun demikian, sekarang ini banyak perilaku dan etos kerja yang mereka bangun
nelayan yang tidak melakukannya lagi. dalam prosesi pembuatan kapal. Kapal ibarat
bayi membawa konsekuensi bahwa dalam proses
Selain itu, nelayan mempunyai pantangan pembuatan kapal setiap pelaku harus senantiasa
untuk tidak boleh mencuci alat masak dengan menjaga keharmonisan kerja misalnya sambalu
mencelupkannya ke laut tetapi harus mengambil (pemilik usaha kapal) atau ponggawa (pemimpin)
air laut dulu baru dibasuhkan ke barang yang akan akan selalu membayar sawi (pekerja) tepat waktu
dicuci di atas kapal. Karena dianggap membuang sehingga para sawi akan bekerja dengan tenang
rizki sehingga hasil yang didapat pun akan sedikit. dan semangat sehingga kapal yang sedang dibuat
Pada malam Jum’at tidak boleh menyapu dan akan cepat selesai dengan tidak mendapatkan
tidak boleh membawa makanan ke luar rumah banyak hambatan. Mereka pun menganggap
karena diyakini pada malam itu para arwah leluhur bahwa membuat kapal seperti meletakkan telur
mengunjungi mereka sehingga menyapu dianggap di ujung tanduk sehingga dalam membuat kapal
tidak sopan dan makan dipersiapkan untuk harus konsentrasi dan secermat mungkin karena
menyambut tamu tersebut. Mitos ini kemudian jika sedikit saja kapal tidak seimbang maka kapal
menjadi sebuah religi yang mendasari masyarakat tersebut akan tenggelam bila dioperasionalkan di
Desa Ara, Tanah Beru dan Tanah Lemo dalam laut. Kapal juga diibaratkan manusia yang akan
melakukan aktivitas ekonomi yang berhubungan sempurna bila memiliki pusar, oleh karenanya pada
dengan laut. tahap akhir pembuatan kapal akan dibuat lubang
di tengah lunas sebagai pusar dari kapal tersebut.
Makna Alam Darat dan Laut
Sistem Upacara Ritual
Bagi masyarakat pesisir Bontobahari, laut
merupakan bagian dari unsur alam yang terpisah Upacara menurut Poerwadarminto dalam
dari unsur daratan. Laut dan darat mempunyai Ditjen KP3K (2011) merupakan peralatan menurut
kekuatan tersendiri sehingga ketika unsur laut dan adat, melakukan sesuatu perbuatan yang menurut
unsur darat disatukan maka harus melalui upacara adat kebiasaan atau menurut agama. Secara
ritual sebagai sarana untuk mempersatukan etimologis upacara berasal dari upa artinya
kedua unsur tersebut agar menyatu dan saling penunjang, pelengkap, pembantu; kara artinya

78
Dimensi Religi Dalam Pembuatan Pinisi ....................................... (Nendah Kurniasari, Christina Yuliaty dan Nurlaili)

hidup, jadi upacara adalah pelengkap agar hidup. lunas disimbolkan sebagai perempuan dan sotting
Ritual yang dilakukan oleh masyarakat pesisir disimbolkan sebagai laki-laki.
Bulukumba dalam pembuatan kapal pinisi adalah
Annakbang kalibeseang,annatara, appassili, dan Annattara sangat kental dengan makna
ammosi. Selain itu ada juga ritual yang dilakukan sebuah keluarga dan kewajiban yang diemban
oleh masyarakat pesisir Bulukumba sebagai wujud setiap anggota keluarga. Hasil pemotongan lunas
rasa syukur atas rizki yang diberikan Tuhan yaitu bagian depan akan dibuang kelaut dan bagian
ritual Mancera Tasi. belakang disimpan dirumah. Hal ini bermakna
bahwa suami –yang disimbolkan oleh lunas bagian
Annakbang Kalibeseang (Ritual menebang depan- harus siap mencari rizki di laut sedangkan
kayu) istri – disimbolkan oleh lunas bagian belakang-
harus menunggu dan mengurusi kepentingan
Ritual Annakbang Kalibeseang bertujuan rumah selama suami pergi melaut.
untuk meminta persetujuan kepada pohon yang
Pelaksanaan upacara diawali dengan
akan ditebang untuk diambil kayunya sebagai bahan
menyiapkan kue-kue oleh ibu-ibu untuk diletakkan
pembuatan kapal. Ritual ini pun dimaksudkan untuk
di atas lunas. Kue-kue tersebut terdiri dari dumpi
mengusir roh penunggu pohon yang akan ditebang.
(cucur), onde-onde (ketan berisi unti dibalut tepung
Penyembelihan ayam sebagai persembahan
sagu), lebo-lebo (ketan yang dibentuk seperti
merupakan prasyarakat dilakukannya ritual
kelereng dengan kuah yang terbuat dari santan
annakbang kalibeseang. Sebelum tahun 1990 an,
dan gula merah). Ayam menjadi syarat dalam ritual
pohon yang akan dijadikan pinisi masih berasal dari
daerah sekitar Bontobahari, namun seiring dengan annattara, darahnya di oleskan pada ujung lunas.
semakin berkurangnya hutan di daerah tersebut,
Appassili (Ritual peluncuran kapal)
maka kayu sering didatangkan dari luar daerah
terutama daerah Sulawesi Tenggara. Appassili dilakukan pada malam hari sebelum
upacara ammossi yang bertujuan untuk menolak
Berubahnya mekanisme pengadaan
bala. Upacara ini bersifat wajib bagi pemilik kapal
bahan baku dimana para pembuat kapal sudah
agar kapal tidak tertimpa bencana. Besarnya
menerima kayu dalam bentuk kayu siap olah
upacara tergantung pada kemampuan pemilik
berpengaruh terhadap keberlanjutan eksistensi
kapal dalam menyediakan dana. Pada Appassili
ritual annakbang kalibeseang. Berkurangnya hutan
disediakan kue-kue tradisional gogoso, kolapisi
sebagai sumber kayu untuk bahan baku pinisi di
(kue lapis), onde-onde, kaddo massingkulu (kue
daerah Bontobahari khususnya dan di daerah
dari beras yang dibungkus daun bamboo), Sogkolo
Sulawesi Selatan pada umumnya tidak hanya
(nasi ketan) dan unti labbu.
menghilangkan ritual aankbang kalibiseang namun
juga akan mengancam eksistensi buadaya seputar Sebelum diadakan Appassili dilakukan
pembuatan pinisi sebagai kekayaan Sulawesi ritual songkabala atau penyembelihan hewan
Selatan karena pembuatan pinisi sekarang ini berupa sapi, kerbau atau kambing di depan kapal.
cenderung berpindah ke daerah-daerah lain yang Jenis hewan yang disembelih tergantung pada
masih banyak sumber kayunya diantaranya adalah kemampuan pemilik kapal. Darah hewan tersebut
ke Papua dan Kalimantan. kemudian dibasuhkan ke bagian haluan, mesin,
perpeler, dan daun kemudi untuk menghindari
Annattara (Ritual memasang lunas) hal-hal buruk terjadi pada kapal. Daging hewan
tersebut kemudian dimasak untuk disajikan pada
Annatara dilakukan sebagai syukuran awal
upacara appassili pada malam harinya. Appassili
pembuatan kapal. Menurut Arief Saenong (2010)
dihadiri oleh para pekerja, pemilik kapal, tokoh
annatara artinya ‘memotong’ yaitu memotong/
masyarakat adat dan warga sekitar. Ritual diisi oleh
meratakan ujung lunas untuk disambung dengan
berbagai do’a, makan bersama dan dilanjutkan
kedua penyambung muka dan belakang.
dengan menarik kapal sampai kapal bergeser
Terdapat simbol perkawinan dalam ritual ini yaitu
sedikit sebagai tanda bahwa kapal sudah siap
lunas perahu terdiri dari tiga potong balok; yang
diturunkan ke laut.
ditengah disebut kalabiseang yang disimbolkan
sebagai perempuan, dan penyambung merupakan Appassili merupakan upacara yang wajib
symbol laki-laki. Namun ada juga panrita yang dilakukan, jika tidak melakukannya maka akan
memakai satu balok untuk lunas, untuk cara ini terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap kapal

79
J. Sosek KP Vol. 8 No. 1 Tahun 2013

tersebut.Dikisahkan oleh seorang panrita lopi dari hasil adaptasi manusia selama puluhan tahun
Desa Ara bahwa dalam menyikapi kondisi alam. Seiring dengan
perubahan kondisi alam dan peradaban manusia
“pernah ada seorang pemesan maka religi ini pun mengalami dinamika.
kapal dari Inggris yang ketika sudah selesai Lebih lanjut, manusia pun merubah perilakunya
dia tidak melakukan appassili dengan dalam mengelola sumber daya alam untuk
alasan akan melakukan ritual tersebut memenuhi kebutuhan hidupnya. Poerwanto (2000)
di daerahnya. Ketika akan melewati pun mengatakan bahwa makhluk manusia selalu
perairan Ambon kapal tersebut tidak bisa berupaya untuk menyesuaikan dirinya dengan
lagi dijalankan. Setelah gagal melakukan berbagai perubahan yang terjadi di sekitarnya
upaya apapun, maka orang Inggris sehingga melahirkan suatu pola-pola tingkah laku
tersebut menghubungi pembuat kapal yang baru.
untuk meminta pertanggungjawaban”.
Perubahan kondisi alam di kawasan
Panrita lopi tersebut hanya menyarankan Bulukumba dan sekitarnya-yang semula memiliki
agar melakukan appassili, atas persetujuan pemilik kawasan hutan yang luas dimana kayu tersedia
kapal maka dilakukanlah appassili di daerah dalam jumlah yang banyak berangsur-angsur
pembuatan kapal. Setelah upacara tersebut menghilang-berpengaruh terhadap prosesi
selesai, kapal tersebut dapat berjalan kembali. pembuatan pinisi. Para pembuat pinisi yang
semula menebang pohon guna mendapatkan kayu
Ammossi (Ritual membuat pusar) sebagai bahan baku pinisi sekarang membeli kayu
siap pakai dari daerah lain karena sudah tidak ada
Sebagai kelengkapan dari sosok kapal yang lagi pohon disekitarnya.
diibaratkan sebagai manusia, maka kapal pun
harus mempunyai pusar. Ritual membuat pusar Sulawesi Tenggara merupakan pemasok
(possi) ini dinamakan Ammossi yang dilakukan kayu paling banyak ke bantilang (tempat pembuatan
sebagai tahap terakhir pembuatan kapal. Arief kapal) di Bulukumba. Namun, hal ini menyebabkan
Saenong mengatakan bahwa ammosi merupakan biaya transportasi menjadi meningkat. Selain adanya
simbol kelahiran bayi perahu setelah diproses beberapa retribusi resmi dalam rantai tataniaga
selama beberapa bulan sejak terbentuknya janin kayu, sekarang ini sering terjadi pemalakan liar
perahu pada upacara annattara. dari para oknum, sehingga harga kayu menjadi
meroket. Hal ini tentunya, sangat merugikan para
Amossi dilengkapi oleh berbagai sesajian pembuat pinisi. Sehubungan dengan hal tersebut,
yang terdiri dari kue-kue tradisional dan kemenyan. seorang pengusaha kapal pinisi dari Desa Ara
Sesajian ini diletakkan di atas lunas, kemudian mengatakan bahwa perlu dilakukan kerjasama
seorang tetua adat membacakan mantra-matra. lintas sektoral untuk mendukung produksi kapal
Setelah itu dia membuat lubang pada lunas tersebut pinisi di Bontohari yaitu antara Pemda Sulawesi
dengan menggunakan bor. Ritual ini dilakukan Selatan, Pemda Sulawesi Tenggara, Kementerian
pada malam hari sebagai tahap akhir ritual appasili. Kehutanan, Kemeterian Perhubungan, Kementerian
Ammossi menandakan bentuk penyerahan sang Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan
bayi perahu kepada Nabi Sulaeman (penguasa serta Kepolisian. Untuk mengantisipasi adanya
bumi) dan Nabi Haidir (penguasa laut) (Arief dan pembalakan hutan maka perlu dibuat Perda yang
Nurdin, 2008) mengatur pengelolaan hutan terkait usia tebang,
rehabilitasi hutan dan ijin pengangkutan kayu
Dinamika Sistem Religi dalam Pembuatan
olahan.
Kapal Pinisi
Semakin sedikitnya pasokan kayu dari
Pinisi merupakan karya dari sebuah sekitar Bulukumba dan daerah Sulawesi Selatan
peradaban masyarakatKecamatan Bontobahari. pada umumnya, menyebabkan lokasi pembuatan
Masyarakat dunia sudah mengakui kualitasnya, kapal pun menyebar ke daerah-daerah lain di
terbukti dengan banyaknya pesanan dari luar negeri luar Sulawesi Selatan dimana kayu masih banyak
terutama dari Negara-negara Eropa. Kehebatan ditemui. Seorang ibu di Desa Ara menuturkan
ini tidak terlepas dari unsur spiritualisme atau bawa dirinya sudah empat bulan ditinggal suami
unsur religi yang dianut masyarakat yang terlibat yang berprofesi sebagai panrita lopi ke Kalimantan
dalam prosesi pembuatan pinisi. Religi merupakan untuk membuat kapal. Hal ini terjadi karena kayu

80
Dimensi Religi Dalam Pembuatan Pinisi ....................................... (Nendah Kurniasari, Christina Yuliaty dan Nurlaili)

di Kalimantan masih banyak. Selain ke Kalimantan, (laut). Pelaksanaannya disesuaikan dengan


beberapa panrita lopi melakukan pembuatan kapal kemampuan pemilik atau pemesan pinisi. Hal ini
di Papua, Sumatera, Sulawesi Tenggara, dan Bali. terkait dengan mitos Sawerigading. Jika tidak maka
akan terkena bencana, baik itu karam maupun
Hal ini tentu berpengaruh terhadap
dihempas badai.
budaya yang menyertai pembuatan pinisi. Ritual
annakbang kalibeseang yang dulu selalu dilakukan Dampak Dimensi Unsur Religi terhadap Kinerja
pada setiap kali penebangan pohon, sekarang Masyarakat Pesisir
tidak lagi dilakukan karena kayu didatangkan
sudah dalam bentuk kayu siap olah dari daerah Mitos Sawerigading telah membentuk pola
lain. Beberapa orang masih melakukan hal tersebut pikir sebagian masyarakat Bontobahari bahwa
meskipun kayu yang dia tebang ada di daerah mereka adalah bagian dari alam, alam memiliki
lain di luar Bontobahari. Dahulu, pembuat pinisi kekuatan supranatural yang mempengaruhi setiap
sangat memperhatikan ukuran, bentuk, umur dan sendi kehidupan mereka. Mitos ini kemudian
jenis kayu sesuai dengan yang disyaratkan untuk melahirkan berbagai upacara ritual yang dijadikan
membuat pinisi. Sekarang sulit untuk mencari sarana untuk berhubungan dengan sumber kekuatan
kayu sesuai dengan syarat tersebut, karena jenis- supranatural sebagai unsur makrokosmos. Selain
jenis kayu tertentu misalnya kayu besi sudah sulit itu, mitos ini pun melahirkan berbagai macam tabu
ditemui. Selain itu, waktu penebangan kayu yang yang harus dihindari agar tidak menjadi penghalang
semula sangat diperhatikan yaitu pada hari ke lima hubungan mereka (unsur mikrokosmos) dengan
dan hari ke tujuh pada bulan pertama, sekarang sumber kekuatan (unsur makrokosmos).
sudah sangat jarang yang melakukan hal tersebut.
Adanya ritual dan tabu-tabu yang dianut
Selain berubahnya ritual annakbang dan dilaksanakan oleh masyarakat Bontobahari
kalibiseang, berpindahnya lokasi pembuatan tersebut tidak hanya berimplikasi pada kehidupan
pinisi tentunya akan berpindah pula prosesi ritual spiritual saja namun juga berpengaruh terhadap
annatara, appasili dan ammosi. Meskipun tetap produktivitas ekonomi masyarakatnya. Secara
dilakukan, terdapat beberapa hal yang berubah garis besar hubungan pengaruh itu dapat dilihat
dalam prosesi tersebut. Diantaranya, keterlibatan pada Gambar 1.
istri-istri para ponggawa dan sawi menjadi tidak
ada. Tentunya hal ini, secara psikososial akan Seperti yang digambarkan oleh Weber
merubah tatanan hubungan sosial yang selama (1992) dalam tesisnya The Protestant Ethic and
ini sudah terjalin harmonis dalam keluarga besar The Spirit of Capitalismbahwa ada hubungan
pekerja yang terlibat dalam pembuatan pinisi. antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi.
Dalam buku tersebut digambarkan bagaimana
Perubahan budaya dalam prosesi ajaran protestan (protestan Ethic) menjadi motivasi
pembuatan pinisi tidak hanya disebabkan karena kuat bagi kaumnya untuk bekerja, karena bagi
semakin menyusutnya ketersediaan kayu di daerah mereka bekerja merupakan wujud kesholehan
asal, juga disebabkan banyaknya pesanan pinisi kaum protestan terhadap Tuhannya. Begitu pun
terutama dari luar negeri melalui sistem kontrak. mitos mengenai berpencarnya serpihan pinisi yang
Proses pembuatan yang harus selesai dengan ditumpangi oleh Sawerigading dalam melakukan
jangka waktu tertentu menyebabkan beberapa perjalanan pulang dari negeri Cina telah membawa
ritual terkadang harus ditinggalkan misalnya ritual dampak pada aktivitas ekonomi masyarakat Desa
annakbang kalibiseang. Ara, Tanah Lemo dan Bira. Dengan kata lain, mitos
tersebut telah memberikan spirit pada masyarakat
Walaupun demikian, menurut seorang
di ketiga desa tersebut dalam berperilaku ekonomi.
tokoh masyarakat yang kebetulan menjadi panrita
Hal ini dimungkinkan karena orientasi nilai budaya
lopi yaitu Bapak Haji Baso, seorang panrita lopi
ibarat jiwa atau pikiran bagi seorang manusia
akan selalu melakukan rangkaian upacara inti
untuk berperilaku (Sunarti, 2013). Mintaroem dan
yaitu annatara, appasili, dan ammosi, meskipun
Farisi (2013) mengatakan bahwa pada masyarakat
pelaksanaannya tidak seperti jaman dahulu.
tradisional, pekerjaan tidak terlalu didasarkan
Apalagi ritual appasili itu wajib dilakukan, agar
pada motif-motif murni ekonomi yang sangat
pinisi mampu berlayar di lautan. Ritual ini diyakini
berorientasi pasar dan laba, namun pekerjaan
sebagai kunci menyatukan beberapa hal yaitu
tidak lain dipandang sebagai “sarana pengabdian”
antara kekuatan mikrokosmos dan makrokosmos,
terhadap kewajiban-kewajiban moral, sosial, etika
serta antara unsur darat (kayu) dan unsur laut

81
J. Sosek KP Vol. 8 No. 1 Tahun 2013

Mitos Sawerigading/ Sawerigading Myth

Ritual/ Rituals Tabu-tabu/ Taboos

Potensi Wisata/ Keyakinan Menjaga kinerja sawi dan


Tourism potency terhadap kodrat ponggawa / maintain
secara turun performance sawi and
temurun/ Belief in ponggawa
the hereditary
nature

Spesialisasi pekerjaan/
Jobs Specialization

Potensi lain kurang Produk pinisi yang


berkembang/Other berkualitas/Good
potency undeveloped quality pinisi product

Gambar 1. Hubungan Mitos Sawerigading sebagai Unsur Religi dengan Produktivitas Ekonomi
Masyarakat Bontobahari.
Figure 1. The Relationship Between Sawerigading Myth as Religious Elements and Bontobahari
Community Economic Productivity.

dan keagamaan. Lebih lanjut dia mengatakan produksi di Bulukumba. Akibatnya tidak semua
bahwa setiap aktivitas ekonomi, apapun bentuk masyarakat tertampung dalam kegiatan pinisi
dan jenisnya senantiasa berada di dalam konteks tersebut. Oleh karenanya, adanya keyakinan
tradisi. bahwa mereka telah dikodratnya sebagai orang
yang memiliki keahlian tertentu, misalnya membuat
Keterikatan masyarakat Ara dan sekitarnya kapal, menjadikan mereka tidak memanfaatan
sangat kuat terhadap takdir bahwa mereka potensi yang lain misalnya berlayar untuk
telah terlahir sebagai seorang panrita lopi bagi mengambil ikan, dan lain-lain.
masyarakat Desa Ara, sebagai pekerja pembuatan
pinisi bagi masyarakat Tanah Lemo serta sebagai Dampak positif dari unsur religi yang dianut
pelaut bagi masyarakat Bira menjadikan mereka oleh masyarakat Bontobahari yang tercermin
terspesialisasi dalam melakukan pekerjaan. dalam aktivitas ritual dan tabu-tabu tertentu dalam
Adanya spesialisasi kerja ini tentunya membawa prosesi pembuatan pinisi dapat menjadi objek
dampak positif dan negatif. wisata yang sangat menarik. Hal ini, tentunya
selain sebagai upaya untuk mengenalkan adat-
Spesialisasi kerja berakibat pada semakin istiadat masyarakat juga merupakan sarana
mapannya keahlian setiap individu sehingga yang potensial untuk mengembangakan mata
terjadi pembagian kerja yang jelas sesuai dengan pencaharian alternatif.
keahliannya masing-masing. Hal ini terlihat dalam
pembuatan pinisi, setiap orang ahli dibidangnya
sehingga pinisi yang dihasilkan mempunyai KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
kualitas yang tinggi. Namun demikian, kepercayaan
Prosesi pembuatan pinisi di pesisir
terhadap kodrat bahwa mereka telah dilahirkan
Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba
dengan jenis keahlian tertentu menyebabkan
sangat kental dipengaruhi oleh mitos Sawerigading.
potensi lain yang dimiliki tidak termanfaatkan
Mitologi ini mencerminkan sistem pengetahuan
secara optimal. Kelangkaan kayu yang ada di
masyarakat pesisir Bontobahari terutama Desa
wilayah Bulukumba menjadi kendala dalam
Ara, Tanah Beru dan Bira dalam memaknai adanya

82
Dimensi Religi Dalam Pembuatan Pinisi ....................................... (Nendah Kurniasari, Christina Yuliaty dan Nurlaili)

keterikatan yang saling mempengaruhi antara Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan
unsur makrokosmos dan unsur mikrokosmos. Pulau-Pulau Kecil. 2010. Eksistensi
Keseimbangan hubungan ini bisa diwujudkan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber
melalui berbagai ritual yang harus dilaksanakan daya Kelautan dan Perikanan di Indonesia.
dan tabu-tabu yang harus dihindari. Jakarta : Direktorat Jendral Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian
Pinisi sebagai bagian dari suatu budaya Kelautan dan Perikanan.
sarat akan sejumlah makna, simbol, dan nilai yang
Geertz, C. 1973. Religion as a Cultural System
tertuang dalam setiap prosesi pembuatannya. dalam The Interpretation of Cultures. New
Perubahan kondisi sumber daya dan intervensi York: Basic Books.
modernitas pada setiap aspek kehidupan
menyebabkan perubahan dalam aktivitas unsur Martono, N. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial:
religi yang terkandung dalam pembuatan pinisi. Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Panrita lopi sebagai tokoh kunci dalam menjaga Poskolonial. Jakarta : PT. RajaGrafindo
tradisi tersebut tak bisa mengelak dari tuntutan Persada.
perubahan peradaban, namun melalui berbagai Mintaroem, K dan Farisi, M.I. 2013. Aspek
kebijaksanaannya, mereka mencoba mengeliminir Sosial Budaya Pada Kehidupan Ekonomi
perubahan agar tetap berada dalam sendi-sendi Masyarakat Nelayan Tradisional. http://
keseimbangan antara unsur makrokosmos dan pk.ut.ac.id/jsi/112karjadi.htm.
mikrokosmos yang diyakini sebagai syarat agar
Poerwanto, H. DR. 2000. Kebudayaan dan
kehidupan tetap terjaga.
Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi.
Upaya menjaga kelestarian Pinisi sebagai Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
karya masyarakat lokal ini memerlukan kerjasama Pranaji, T. 2012. Perspektif Pengembangan
lintas sektoral yaitu antara Pemda Sulawesi Nilai-Nilai Sosial Budaya Bangsa. Bogor :
Selatan, Pemda Sulawesi Tenggara, Kementerian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Ekonomi Pertanian.
Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan
dan Perikanan serta Kepolisian. Selain itu, upaya Rappaport, R.A. 1967. Pigs For The Ancestors:
mengantisipasi adanya pembalakan hutan perlu Ritual in The Ecology of a New Guinea
People. London : New Haven. Yale University.
penegakan aturan pengelolaan hutan terkait usia
tebang, rehabilitasi hutan dan ijin pengangkutan Saenong, A. 2010. Pinisi: Panduan Teknologi dan
kayu olahan. Budaya. Unpublished.

Sanderson, S.K. 2010. Makro Sosiologi. Jakarta :


DAFTAR PUSTAKA PT. RajaGrafindo Persada.
Akhmar, A.M dan Syarifudin. 2007. Mengungkap Scott, J. 2011. Sosiologi: The Key Concepts.
Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Makasar : PPLH Regional Sulawesi,
Maluku dan Papua, Kementerian Negara Sunarti, E. 2013. Pengaruh Perubahan Sosial
Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press. Terhadap Keluarga. http://euissunarti.staff.
ipb.ac.id/pengaruh-perubahan-sosial-terh-
Arief, A.A dan Nurdin, 2008. Trasnformasi Proses adap-keluarga/. (Diakses tanggal 29 April
Pembuatan, Pola Hubungan Kerja dan 2013).
Distribusi Pendapatan pada Industri Perahu
Pinisi di Sulawesi Selatan. http://www.scribd. Weber, M. 1992. The Protestant Ethic And The
com/doc/13137285/Perahu-Pinisi-Di-Su- Spirit of Capitalism. London and New York:
lawesi-Selatan-Dan-Dinamikanya. (Diakses Routledge.
tanggal 3 Desember 2012).

Hanafi, B. 2009. Konstruksi Keberagamaan


Masyarakat Nelayan (Studi Terhadap Ritual
“Rokat Tase” di Desa Branta, Tlanakan,
Pamekasan, Madura. Yogyakarta : Jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas
Adat, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga.

83

Anda mungkin juga menyukai