Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Amal yang pasti diterima adalah yang dikerjakan dengan ikhlas. Amal hanya karena
Allah semata, dan tidak ada harapan kepada makhluk sedikit pun. Niat ikhlas bisa dilakukan
sebelum amal dilakukan, bisa juga disaat melakukan amal atau setelah amal dilakukan. Salah
satu karunia Allah yang harus disyukuri adalah adanya kesempatan untuk beramal. Menjadi
jalan kebaikan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Karenanya, jangan pernah
menunda kebaikan ketika kesempatan itu datang. Lakukan kebaikan semaksimal mungkin
dan lupakan jasa yang sudah dilakukan. Serahkan segalanya hanya kepada Allah. Itulah
aplikasi dari amal yang ikhlas.
Ketika orang lain merasakan manfaat dari amal yang kita perbuat, maka yakinilah
bahwa tidak ada perlunya kita membanggakan diri karena merasa berjasa. Itu semua hanya
akan menghapus nilai pahala dari amal yang diperbuat. Setiap kebaikan yang kita lakukan
mutlak karunia dari Allah, yang menghendaki kita terpilih agar bisa melakukan amal baik
tersebut. Sekiranya Allah menakdirkan kita bisa bersedekah kepada anak yatim, itu berarti
kita harus bersyukur telah menjadi jalan sampainya hak anak yatim. Tidak perlu merasa
berjasa karena hakekatnya kita hanyalah perantara hak anak yatim itu, lewat harta, tenaga
dan kekuasaan yang Allah titipkan kepada kita.
Selain itu, hindari sifat ’merasa’ lebih dari yang lain. Merasa pintar, merasa berjasa,
merasa dermawan, apalagi merasa shaleh, seakan-akan surga dalam genggamannya. Semua
yang kita miliki adalah titipan yang Allah karuniakan kepada kita untuk dipergunakan sebagai
sarana penghambaan kepada-Nya.
Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan
tujuan dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya bentuk
lahiriahnya saja. Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan itu ada badan dan
ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah
niat yang mendorong dilakukannya perbuatan itu dan jiwa ikhlas yang mendorong
terciptanya perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan
syarat sahnya suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau tidaknya suatu perbuatan sangat
tergantung kepada niat yang melakukannya.
Sedemikian pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam al-
Qur’an sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat yang
membicarakan masalah ikhlas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu, sesuai dengan tema
yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini akan berupaya memaparkan konsep ikhlas
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ikhlas ?
2. Bagaimana perbedaan ikhlasnya orang zaman dulu dengan sekarang ?
3. Bagaimana balasan orang yang tidak Ikhlas ?
4. Apa pengertian tawakal ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Ikhlas.
2. Mengetahui perbedaan ikhlasnya orang zaman dulu dengan sekarang.
3. Mengetahui balasan orang yang tidak Ikhlas.
4. Mengetahui pengertian Tawakal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ikhlas
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang
berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung
beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa
wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam
menjalankan amal ibadah apa saja harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih
apapun.
Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara
langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat
sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan
penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu,
akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak
satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun
(jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan
mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung
arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term tersebut kepada empat
macam :
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini
al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa
Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang
sama juga dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami
(Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan
membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada negeri akhirat.”
Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni
ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn),
sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih
yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan
kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat
dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut
dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik, bid’ah dan lain-
lain.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat
al-Baqarah : 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.
Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian)
menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat
dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-
A’raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-
Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan adalah dalam
bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin
(jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang
mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat al-
ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan demikian
makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah dalam
beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya harus
dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya mengapa
term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang
telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba
Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf :
24, al-Hijr : 40, al-shaffat : 40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-
ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang
memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat
tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).
B. Perbedaan Ikhlas Zaman Dahulu dengan Zaman Sekarang
Ikhlas pada dasarnya adalah bersih hati, rela hati, atau tulus hati untuk memberikan
atau menyerahkan atau merelakan sesuatu yang dimiliki, entah itu berupa tenaga, pikiran,
uang atau dalam bentuk materi lainnya. Sesuai dengan yang di kehendaki pemberi dan
disesuaikan pula dengan kondisi yang terjadi pada saat itu.
Ikhlas dianjurkan oleh Allah SWT. kepada kita semua saat melakukan segalasesuatu,
apalagi di dalam beramal saleh. Begitu pula Nabi Muhammad saw. yang menyuruh umatnya
untuk melandasi segala sesuatu pekerjaan atau kegiatan dengan tulus ikhlas.
Untuk lebih mudahnya kita membayangkan sifat ikhlas itu bagaimana bentuknya dan
bagaimana cara melakukannya, kita bisa bayangkan hal berikut ini. Misalnya, dalam hal
pahlawan yang berjuang di medan pertempuran pada saat dulu. Kita pasti sudah membaca
buku-buku yang menerangkan bagaimana perjuangan pahlawan kita ketika melawan
penjajah di negeri ini.
Kita biasa bayangkan, apabila para pahlawan ketika melawan para penjajah, tidak
memiliki rasa ikhlas didalam dirinya, mereka pasti tidak semangat di dalam melawan
penjajah. Bahkan, Mereka menjadi kalah dan kemerdekaan Indonesia tidak akan terwujud
sampai sekarang.
Kalau itu terjadi, kita sekarang tidak bisa menikmatai dunia dengan nyaman, karena
sewaktu-waktu kita bisa saja diserang oleh penjajah. Tapi, itu semua tidak terjadi pada saat
ini karena peran besar pahlawan zaman dulu yang melandasi perjuangannya dengan ikhlas.
Tak heran apabila kemudian, kemenangan diraih para pahlawan meski dengan
senjata yang sangat terbatas. Itu sudah membuktikan betapa dahsyatnya rasa ikhlas apabila
sudah ada di dalam diri seseorang.
Semangat yang di landasi rasa ikhlas itu akan dapat mengalahkan segala hal yang
berkaitan dengan kepentingan diri, yang kesemuanya berujung pada keegoisan diri
(keinginan untuk mewujudkan kepentingan dirinya sendiri). Sehingga, dengan adanya
semangat yang dilandasi rasa ikhlas itu, semua orang bisa menikmati jasa besar atau
perjuangan yang telah dilakukan para pahlawan, tidak terkecuali diri kita. Itu merupakan
manfaat besar dari sifat ikhlas. Mungkin, kalau kita sering diajak kedua orang tua kita melihat
berita di televisi, kita bisa memandingkan sifat para pahlawan dengan sifat para pemimpin
kita saat ini. Coba kita bayangkan, para pemimpin yang katanya merupakan pahlawan rakyat,
justru semakin menyusahkan kehidupan rakyat.
Mereka mendasari segala perilakunya dengan tidak ikhlas. Mereka hanya
mengharapkan imbalan ketika melakukan segala sesuatu. Sangat jauh dari pahlawan kita
dulu, yang tidak pernah mengharapkan imbalan apapun dari segala sesuatu yang
dilakukannya.
Akhirnya, kita bisa merasakan saat ini. Saat ini kita sekolah saja sudah harus
membayar biaya yang tinggi. Bagi yang tidak mampu akhirnya tidak menyekolahkan anaknya
dan akibat dari itu kemiskinan semakin meningkat. Banyak pemimpin kita yang melukukan
korupsi, yang sama saja mencuri uang rakyat, tapi dengan cara yang halus. Dari hal ini kita
sudah bisa membayangkan bagaimana bentuk dari ikhlas itu dan bagaimana pula dampaknya
apabila sifat ikhlas itu tidak ada di dalam diri orang masing-masing.
Kalau masih belum paham juga wujud dari sifat ikhlas, mari simak contoh berikut
yang lebih mudah lagi. Ketika kita memberikan sedekah kepada pengemis yang meminta-
minta kepada diri kita, apa yang ada di dalam diri kita saat itu? Apabila kita tidak ikhlas
memberi uang tersebut, pasti kita akan berat memberikan uang tersebut kepada pengemis
itu, meskipun itu hanya bernilai sangat kecil bagi diri kita. Bahkan, kita akan terus
memikirkan uang yang sudah kita berikan pada pengemis itu. Dalam setiap kesempatan, kita
akan terbayang-bayang uang yang kita berikan. Hal itu justru akan menyusahkan diri kita
sendiri.
Coba kalau kita ikhlas ketika memberi sedekah itu, kita pasti tenang dan tidak
terbayang-bayang dengan uang yang sudah kita keluarkan itu. Makanya, latihlah diri untuk
selalu memiliki sifat ikhlas ketika memberi apapun pada orang lain. Apabila kita mendasari
segala sesuatu yang kita lakukan dengan ikhlas, setelah kita selesai melakukan perbuatan itu
kita akan menjadi tenang. Dan tidak terus berfikiran serta terbayang-bayang dengan apa yang
sudah kita berikan atau kita lakukan.
Kata ikhlas memang sudah biasa kita dengar, tapi pelaksanaannya secara nyata belum
banyak terlihat. kita pasti sudah seringkali mendengar ungkapan “Dalam belajar atau
menjalankan tugas, kita harus ikhlas”, dan “Perbuatan ikhlas adalah perbuatan yang
terpuji’. Selain itu, seringkali pula kita dengar kalimat “Kita harus ikhlas melepas
kepergiannnya untuk selamanya”.
Ungkapan dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa ikhlas adalah suatu bentuk
perbuatan yang terpuji. Namun demikian, dalam prakteknya tidaklah semudah ketika kita
mengucapkannya.
Maka, tidaklah heran apabila kini belum belum banyak orang yang bisa bersikap
ikhlas, padahal dia sudah seringkali berkata “Akan melakukan segala sesuatu dengan ikhlas”.
mungkin dia sudah bisa bersikap ikhlas, tetapi rasa ikhlas itu tidak sepenuhnya
terwujud. Namun, hal itu lebih baik daripada rasa ikhlas tersebut tidak ada sama sekali dalam
diri seseorang. Ibaratnya, rasa ikhlas itu bisa secara perlahan-lahan ditambah dan terus
dipupuk dalam dirinya. Sehingga, ketika melakukan segala sesuatu, dia bisa bersikap ikhlas
secara penuh dan tidak setengah-setengah.
Memang terkadang seseorang menjadi tidak ikhlas karena tidak rela memberikan
barang atau sesuatu miliknya kepada orang lain, meskipun itu hanya sedikit. Atau kadang
ketidakikhlasan itu terwiujud karena ada rasa tidak senang kepada orang lain dikarenakan dia
pernah disakiti orang tersebut, sehingga ketika membantunya, ia melakukannya dengan
terpaksa dan bisa pula karena ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain. Sebetulnya banyak
penyebab kilta menjadi tidak ikhlas, tergantung diri orang masing-masing. , terutama sifat
pribadi seseorang itu sendiri.
Pada dasarnya, ikhlas mengandung pengertian memurnikan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. dari berbagai pandangan dan keyakinan yang buruk
dari pribadi masing-masing. Ada juga yang berpendapat, kalau ikhlas itu adalah mereflesikan
atau memikirkan setiap tujuan semata hanya kepada Allah swt., bukan karena pamer kepada
orang lain atau ingin dipuji oleh orang lain dan teman-teman kita.
C. Balasan Orang yang Tidak Ikhlas
“Maksud Hadis Nabi SAW: “Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari
kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan
kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya:
Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya berjuang di jalan-Mu
sehingga saya mati syahid. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berjuang (dengan niat) agar
dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan
untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).
Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur’an, dia
dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun
mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia
menjawab: Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur’an untuk-Mu. Allah berfirman: Kamu
dusta, kamu belajar Al Qur’an (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar),
dan kamu membaca Al Qur’an agar dikatakan sebagai seorang Qari’ (ahli membaca Al
Qur’an), dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang
itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar (neraka).
Ketiga, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikurniai berbagai macam
kekayaan, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya
serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat
itu? Ia menjawab: Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq
kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq kerana Engkau. Allah berfirman: Kamu dusta,
kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu
sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang
akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.” (HR Muslim)
Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari
keikhlasan kepada Allah. Allah lemparkan mereka ke dalam An Nar (neraka). Semoga kita
termasuk orang-orang yang dapat mengambil pelajaran daripada kisah tersebut. “

D. Pengertian Tawakal
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hakikat tawakal adalah hati benar-benar bergantung
kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat (hal-hal yang baik) dan menolak mudhorot (hal-hal
yang buruk) dari urusan-urusan dunia dan akhirat”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah menyandarkan permasalahan


kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa-apa yang tidak disenangi, disertai
percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan menempuh sebab (sebab adalah upaya dan aktifitas yang
dilakukan untuk meraih tujuan) yang diizinkan syari’at.”

Tawakal Bukan Pasrah Tanpa Usaha

Dari definisi sebelumnya para ulama menjelaskan bahwa tawakal harus dibangun di atas dua
hal pokok yaitu bersandarnya hati kepada Allah dan mengupayakan sebab yang dihalalkan. Orang
berupaya menempuh sebab saja namun tidak bersandar kepada Allah, maka berarti ia cacat
imannya. Adapun orang yang bersandar kepada Allah namun tidak berusaha menempuh sebab yang
dihalalkan, maka ia berarti cacat akalnya.

Tawakal bukanlah pasrah tanpa berusaha, namun harus disertai ikhtiyar/usaha. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh tawakal yang disertai usaha yang memperjelas
bahwa tawakal tidak lepas dari ikhtiyar dan penyandaran diri kepada Allah.

Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada
pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Tidak kita temukan seekor burung diam saja dan mengharap makanan datang sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan ini, jelas sekali bahwa seekor burung
pergi untuk mencari makan, namun seekor burung keluar mencari makan disertai keyakinan akan
rizki Allah, maka Allah Ta’ala pun memberikan rizkiNya atas usahanya tersebut.

Syarat-Syarat Tawakal

Untuk mewujudkan tawakal yang benar dan ikhlas diperlukan syarat-syarat. Syarat-syarat ini
wajib dipenuhi untuk mewujudkan semua yang telah Allah janjikan. Para ulama menyampaikan empat
syarat terwujudnya sikap tawakal yang benar, yaitu:

1. Bertawakal hanya kepada Allah saja. Allah berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di
langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia,
dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Huud: 123).

2. Berkeyakinan yang kuat bahwa Allah Maha mampu mewujudkan semua permintaan dan
kebutuhan hamba-hamba-Nya dan semua yang didapatkan hamba hanyalah dengan pengaturan dan
kehendak Allah. Allah berfirman,“Mengapa kami tidak bertawakal kepada Allah padahal Dia telah
menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-
gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang
bertawakal itu berserah diri.” (QS. Ibrahim: 12).

3. Yakin bahwa Allah akan merealisasikan apa yang di-tawakal-kan seorang hamba apabila ia
mengikhlaskan niatnya dan menghadap kepada Allah dengan hatinya. Allah berfirman, “Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.“ (QS. Ath-Thalaq: 3).
4. Tidak putus asa dan patah hati dalam semua usaha yang dilakukan hamba dalam memenuhi
kebutuhannya dengan tetap menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Allah berfirman, “Jika
mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah selain
Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung.’”(QS.
At-taubah: 129).

Apabila seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan benar-benar ikhlas dan terus mengingat
keagungan Allah, maka hati dan akalnya serta seluruh kekuatannya akan semakin kuat
mendorongnya untuk melakukan semua amalan. Dengan besarnya tawakal kepada Allah akan
memberikan keyakinan yang besar sekali bahkan membuahkan kekuatan yang luar biasa dalam
menghadapi tantangan dan ujian yang berat. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
apabila Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya selain
Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak keutamaan
dari-Nya. Allah timpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)

Dengan mendasarkan diri pada keyakinan bahwa hanya Allah saja yang dapat memberikan
kemudharatan maka seorang mukmin tidak akan gentar dan takut terhadap tantangan dan ujian yang
melanda, seberapapun besarnya, karena dia yakin bahwa Allah akan menolong hambaNya yang
berusaha dan menyandarkan hatinya hanya kepada Allah. Dengan keyakinan yang kuat seperti inilah
muncul mujahid-mujahid besar dan ulama-ulama pembela agama Islam yang senantiasa teguh di
atas agama Islam walaupun menghadapi ujian yang besar, bahkan mereka rela mengorbankan jiwa
dan raganya untuk agama Islam.

Tawakal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menjadikan hati seorang mukmin ridha kepada
segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan
kemanisan dan kesempurnaan iman. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabb-
nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
rasulnya”

Setiap hari, dalam setiap sholat, bahkan dalam setiap raka’at sholat kita selalu membaca ayat yang
mulia, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’; hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya
kepada-Mu kami meminta pertolongan… Oleh sebab itu bagi seorang mukmin, tempat
menggantungkan hati dan puncak harapannya adalah Allah semata, bukan selain-Nya. Kepada Allah
lah kita serahkan seluruh urusan kita.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian
benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23). Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban
menyandarkan hati semata-mata kepada Allah, karena tawakal adalah termasuk ibadah.

Tawakal yang Salah


Kesalahan dalam memahami dan mengamalkan tawakal akan menyebabkan rusaknya iman dan bisa
menyebabkan terjadi kesalahan fatal dalam agama, bahkan bisa terjerumus dalam kesyirikan, baik
syirik akbar (syirik besar) maupun syirik asghar (syirik kecil). Adapun kesalahan dalam tawakal yang
menyebabkan terjerumus dalam syirikakbar adalah seseorang bertawakal kepada selain Allah, dalam
perkara yang hanya mampu diwujudkan oleh Allah. Misalnya: bertawakal kepada makhluk dalam
perkara kesehatan, bersandar kepada makhluk agar dosa-dosanya diampuni atau bertawakal kepada
makhluk dalam kebaikan di akhirat atau bertawakal dalam meminta anak sebagaimana yang
dilakukan para penyembah kubur wali.

Adapus jenis tawakal yang termasuk dalam syirik asghar adalah bertawakal kepada selain Allah yang
Allah memberikan kemampuan kepada makhluk untuk memenuhinya. Misalnya: bertawakalnya
seorang istri kepada suami dalam nafkahnya, bertawakalnya seorang karyawan kepada atasannya.
Termasuk dalam syirik akbar maupun asghar keduanya merupakan dosa besar yang tidak akan
terampuni selama pelakunya tidak bertaubat darinya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang
berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung
beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa
(jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan
diri). Maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah apa saja harus disertai dengan niat yang
ikhlas tanpa pamrih apapun.
tidaklah heran apabila kini belum belum banyak orang yang bisa bersikap ikhlas,
padahal dia sudah seringkali berkata “Akan melakukan segala sesuatu dengan ikhlas”.
mungkin dia sudah bisa bersikap ikhlas, tetapi rasa ikhlas itu tidak sepenuhnya
terwujud. Namun, hal itu lebih baik daripada rasa ikhlas tersebut tidak ada sama sekali dalam
diri seseorang. Ibaratnya, rasa ikhlas itu bisa secara perlahan-lahan ditambah dan terus
dipupuk dalam dirinya. Sehingga, ketika melakukan segala sesuatu, dia bisa bersikap ikhlas
secara penuh dan tidak setengah-setengah.
Dan orang yang tidak ikhlas atau mengerjakan sesuatu bukan karna Allah dinamakan
musyrik yang akan disiksa didalam neraka.

B. Saran
Mari kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT kita usahakan ikhlas dalam beribadah
kepada Allah SWT. Jangan sampi tergiur karna harta atau yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Mohammad Ruhan Sanusi, Kuliah wahidiyah, (jombang : DPP PSW, 2010)


Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Riyadhus Shalihin.
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/ikhlas.html
http://coretanbinderhijau.blogspot.com/2013/04/hadis-tentang-ikhlas-dan-
keterangannya.html
http://andasayabisa.blogspot.com/2012/06/makalah-

Anda mungkin juga menyukai