Anda di halaman 1dari 10

1.

Sejarah Kedokteran

Pada awalnya, ilmu kedokteran benar-benar merupakan misteri. Tak ada


yang dapat menjawab secara benar, mengapa suatu penyakit hanya menyerang
seseorang dan tidak menyerang lainnya. Konsep-konsep penyakit yang kemudian
berkembang pada masa itu selalu dikaitkan dengan kekuatan yang bersifat
supernatural. Penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas orang-orang yang
melanggar hukum-Nya atau disebabkan oleh roh jahat yang berperang melawan
dewa-dewa pelindung manusia. Maka penyembuhannya pun hanya dapat
diusahakan melalui doa-doa para pendeta atau melalui upacara-upacara
pengorbanan.
Konsep itulah yang kemudian melahirkan “priestly medicine” dimana
profesi kedokteran menjadi monopoli kaum pendeta. Mereka merupakan kelompok
masyarakat yang tertutup, yang mengajarkan ilmu kedokteran hanya dikalangan
mereka sendiri atau menarik siswanya dari golongan atas. Mereka memanfaatkan
keuntungan berorganisasi dan berkodifikasi (membuat undang-undang) untuk
mempertahankan ketertutupan dan imago superior mereka. Undang-undang yang
dibuat, yang memberi ancaman hukuman berat (misalnya hukuman potong tangan
bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan menggunakan metode
yang menyimpang dari buku-buku yang ditulis sebelumnya) menyebabkan orang
lain enggan memasuki profesi ini.
Salah satu contoh dari model dokter jaman “priestly medicine” adalah
imhotep. Ia tidak saja dipercaya sebagai dokter, tetapi juga sebagai pendeta dan ahli
hukum yang bertugas menyampaikan hukum Tuhan. Hanya saja imhotep tidak
seperti dokter pada umumnya. Ia mempunyai pemikiran yang lebih maju dan
berhasil meletakkan landasan moral (meskipun tidak lengkap) bagi pelaksanaan
profesi kedokteran. Keberhasilannya itu menyebabkan namanya dikenang sebagai
bapak kedokteran Mesir hingga sekarang.
Mesir memang merupakan negeri yang tidak hanya maju dalam bidang
kedokteran sejak 2000 tahun sebelum Masehi, tetapi juga merupakan negara yang
sudah memiliki hukum kedokteran. Dari papirus yang ditemukan mengungkapkan
bahwa negeri itu sudah memiliki undang-undang kesehatan yang rapi, yang kira-
kira hampir sebanding dengan undang-undang kesehatan sekarang. Konsep
pelayanan kesehatan nasional sudah mulai dikembangkan. Penderita tidak ditarik
bayaran oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat. Peraturan ketat
diberlakukan bagi pengobatan eksperimen. Tak ada hukuman bagi dokter atau
kegagalannya, selama buku standar diikuti. Meskipun demikian, profesi kedokteran
tetap menjadi milik kasta pendeta dan bau mistik tetap mewarnai dunia kedokteran.
Pada era yang lebih kurang bersamaan dengan era Mesir Kuno, ilmu
kedokteran juga sudah maju di Babylonia ketika negeri ini diperintah oleh raja
Hammurabi (2200 sebelum Masehi). Pada era ini, praktek pembedahan sudah mulai
dilakukan oleh para dokter. Sistem imbalan dokter juga mudah diatur berdasarkan
hasil pengobatan, status pasien dan kemampuan membayar. Bahkan sebenarnya
hukum kedokteran yang pertama berasal dari Babylonia, bukan dari Mesir.
Didalam kode Hammurabi dapat dlihat adanya beberapa ketentuan yang
mengatur tentang kelalaian dokter serta daftar hukumannya, mulai dari hukuman
denda sampai pada hukuman yang mengerikan. Kode Hammurabi juga mengatur
masalah perdata yang berkaitan dengan praktek kedokteran. Pada paragraf 219
misalnya, dapat dilihat adanya ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti
seorang budak jika karena kelalaiannya menyebabkan matinya budak yang diobati.
Tahapan selanjutnya adalah tahapan dimana ilmu kedokteran mengalami
sekularisasi sesudah ilmu ini dibawa dari Mesir dan Babylonia ke Yunani (500
tahun sebelum Masehi). Disini pengaruh kuat pendeta meluntur dan diambil alih
oleh filosof-filosof. Melalui proses pemikiran logika, pengamatan dan dedukasi
maka filosof-filosof tersebut berhasil merubah praktek kedokteran yang berbau
mistik itu. Sekolah-sekolah kedokteran dibangun, kode intra-profesional disusun
dan konsep-konsep baru mengenai pengobatan dibuat. Pasien tak perlu lagi datang
ke rumah peribadatan untuk berobat, melainkan dokter yang harus mengunjungi
pasiennya.
Salah satu dari filosof Yunani yang berhasil meletakkan landasan bagi
sumpah dokter dan etika kedokteran, yang kemudian diakui sebagai bapak dan ilmu
kedokteran adalah Hippocrates. Ada beberapa pemikiran penting dari sumpah
Hippocrates itu yang perlu diketengahkan di sini. Pertama adanya pemikiran untuk
melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek kedokteran yang bersifat coba-
coba. Kedua, adanya keharusan dokter untuk berusaha semampu mungkin bagi
kesembuhan pasien dan larangan melakukan hal-hal yang dapat merugikannya.
Ketiga, adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan
terhadap euthanasia dan aborsi. Keempat, menggarisbawahi hubungan dokter
pasien sebagai hubungan dimana dokter dilarang mengambil keuntungan. Terakhir,
dengan keharusan memegang teguh rahasia kedokteran. Hipocrates telah berhasil
meletakkan landasan bagi hubungan yang bersifat konfidensial.
Pada zaman Renaissane dunia kedokteran berubah menjadi ilmiah dan
periode riset pun dimulai. Hal ini terutama disebabkan oleh sekularisasi dan
konsentrasi pendidikan di Universitas. Namun, persoalan baru timbul. Pada satu
sisi, ilmu kedokteran tak dapat maju tanpa riset yang ekstensif dan pada sisi lain
proses ini cenderung merubah praktek pengobatan kepada bentuk latihan mengatasi
masalah yang pada waktu itupun mudah mengundang berbagai kritik yang hebat.
Ilmu bukanlah segalanya. Bagaimana hubungan keseluruhan antara profesi
dan masyarakat itulah yang pada akhir abad ini mengalami perubahan besar.
Seorang penulis masalah-masalah etik dari Edinburgh pada tahun 1972 pernah
menggambarkan kedokteran sebagai profesi yang bebas, yang hanya boleh
dilakukan oleh seorang laki-laki yang sangat sopan dan terhormat yang di dalamnya
terkandung pemikiran paternalisme. Pada abad ke 19, profesi kedokteran yang
dikaitkan dengan perguruan tinggi menjadi hak istimewa kalangan menengah
keatas. Hasilnya para dokter merasa super terhadap pasien. Situasi seperti ini
berlangsung sampai pertengahan abad 20.
Kemudian terjadi perubahan sosial yang besar. Pintu pendidikan tertier
dibuka lebar-lebar untuk transfusi pemikiran ilmiah dan keterampilan tekhnik
terhadap kedokteran. Departemen kesehatan dibuka dimana-mana sehingga
merubah seorang dokter dari pembagi belas kasih menjadi pelayan masyarakat.
Sejajar dengan perubahan struktural pada profesi ini, terjadi pula kemajuan
individualisme di dalam masyarakat. Penghargaan terhadap hak-hak asasi
berkembang cepat dan menambah kekuatan politik melalui peningkatan kekuatan
politik melalui peningkatan kekuatan kaum muda dan kelompok determinasi,
seperti kelompok pembebasan wanita. Norma-norma yang ada mulai dipertanyakan
termasuk norma-norma yang berlaku di dunia kedokteran. Banyak diantaranya
yang berkaitan erat dengan praktek kedokteran mulai ditolak.
Gambaran dunia kedokteran pada abad ke 20 ini adalah dipengaruhi oleh
kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi sehingga mengakibatkan
lingkungan menjadi research oriented dan dipengaruhi oleh perubahan masyarakat
yang semakin hedonis (semata-mata ingin bersenang-senang) dan materialistik.
Hukum berkembang lebih lambat dibanding dengan kemajuan kedokteran dan
masyarakat. Jauh sebelum undang-undang Abortus diberlakukan, 2% wanita
Aberdeon telah melakukan abortus setiap tahunnya. Banyak respirator (alat
pernafasan buatan) dilepas sebelum memperoleh kejelasan mengenai kedudukan
hukumnya. Begitu pula mengenai inseminasi buatan yang telah dipraktekkan secara
luas sebelum disusun undang-undang yang dapat meringkankan akibat hukumnya.
Di satu ujung, profesi kedokteran perlu dipertahankan sebagai profesi yang
harus mengatur dirinya mandiri dan harus bebas untuk memutuskan tindakan yang
dapat diterima. Di ujung yang lain, dipertanyakan mengapa harus dokter itu sendiri
yang mengatur hubungannya dengan pasiennya. Membiarkan profesi kedokteran
menentukan sendiri hidup matinya seseorang misalnya. Maka sesuai dengan
pandangan ini hukum meskipun tak selalu benar paling tidak merupakan salah satu
cara untuk mengontrol profesi medis.
Sudah barang tentu dengan kehadiran hukum kedokteran tidak berarti etika
kedokteran tidak lagi diperlukan meskipun karena singkatnya dan sifatnya yang
sangat umum itu etika kedokteran menghadapi berbagai problema dalam
pelaksanaannya (problem aplikasi, konsistensi dan balikan moral). Hukum dan
etika kedokteran mempunyai kedudukan yang sama di dalam masyarakat.
Keduanya sama sama merupakan alat untuk menilai perilaku manusia, sama-sama
membutuhkan pernyataan-pernyataan tentang apa yang benar dan apa yag salah
atau tentang mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang. Tetapi hukum dan
etika berbeda dalam hal objek, tujuan dan sanksi. Objek hukum lebih
menitikberatkan pada perbuatan lahir, sedang etika lebih menitikberatkan pada
perbuatan batin. Otortita hukum bersifat heteronom sedang etika bersifat otonom.
Tujuan hukum adalah untuk perdamaian lahiriah sedang etika bersifat otonom.
Tujuan hukum adalah untuk perdamaian lahiriah sedang etika untuk kesempurnaan
manusia, sehingga kadang-kadang hukum membolehkan apa yang dilarang oleh
etika. Sanksi hukum bersifat paksaan sedang sanksi etika berupa penyesalan dan
tidak bersifat paksaan.
Dilihat dari perbedaan-perbedaan itu maka etika kedokteran tetap
diperlukan untuk mendampingi hukum kedokteran. Bahkan etika kedokteran perlu
untuk terus dikembangkan dan dihayati oleh setiap dokter agar etika tersebut tidak
menjadi arena pemikiran yang bersifat teoritis saja sebagaimana kecenderungannya
pada akhir akhir ini.

Sumber : Sopyan Dahlan dan Eko Soponyono, UNDIP

Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda.


Perkembangannya dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia
tahun 1967. Perkembangan selanjutnya melalui World Congress of the Association
for Medical Law yang diadakan secara periodik hingga saat ini. Di Indonesia
perkembangan hukum kesehatan dimulai dari terbentuknya kelompok studi untuk
Hukum Kedokteran FK-UI/RS Ciptomangunkusumo di Jakarta tahun 1982.
Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI), terbentuk di
Jakarta pada tahun 1983 dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (PERHUKI) pada kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang kesehatan yang
bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum Kedokteran/Kedokteran
Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum
Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya. Di
Indonesia mulai berkembang pada tahun 2000-an dan cakupannnya menjadi lebih
luas dan menjangkau jauh ke masa depan. Berurusan dengan profesi lain yang ada
kaitannya dengan kelahiran, kehidupan, kesehatan, penyakit, dan kematian
manusia.
Sumber: Hanafiah, M.J, Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan, EGC : Jakarta.

2. Tanggung Jawab Pidana


Timbulnya pertanggung jawaban pidana bagi seorang dokter, lazimnya
disebabkan sang dokter telah melakukan kelalaian/kealpaan (dalam istilah hukum
disebut dengan culpa) baik dalam diagnosa terhadap penyakit, maupun dalam
pengobatan dan perawatan pasien, sehingga akibat kelalaian tersebut melahirkan
delik.
Adapun pengertian kelalaian dapat dipedomi Arrest Hoge Raad tanggal 3
Februari 1913 yang mengemukakan; Een min meer grove of aanmerkelijke
onvoorzichtigheid of nalatigheid (suatu sifat kurang hati-hati, atau kurang waspada
atau kelalaian tingkat kasar).
Lalu bagaimana kelalaian yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan
delik? Untuk menjawab hal ini terlebih dahulu dikemukakan kategori
kelalaian/culpa, yaitu:
a. Kelalaian ringan (Culpa levissima); dan
b. Kelalaian berat (Culpa lata).
Lazimnya yang dikategorikan sebagai kelalaian medik apabia jenis
kelalaian tersebut digolongkan kepada kelalaian berat, sedangkan kelalaian ringan
tidak, hal ini sejalan dengan Keputusan Hoge Raad tertanggal 14 Maret 1929. Jenis
kelalaian yang dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana kepada seorang
dokter antara lain terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
antara lain:
1. Pasal 267, tentang memberikan surat keterangan palsu
2. Pasal 268, tentang memalsu surat keterangan
3. Pasal 281, tentang melanggar kesusilaan
4. Pasal 299, tentang mengobati untuk mengugurkan kandungan
5. Pasal 322, tentang pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran
6. Pasal 344, tentang euthanasia
7. Pasal 345, tentang mendorong orang lain untuk bunuh diri
8. Pasal 346, tentang Abortus Provokatus
9. Pasal 347, 348 tentang menggugurkan atau mematikan kandungan
10. Pasal 349, tentang dokter, juru obat membantu melakukan kejahatan
11. Pasal 359, tentang karena lalai menyebabkan orang mati atau luka berat
12. Pasal 360, tentang karena kelalaian menyebabkan orang luka berat

Sumber: Baca Holder, Angela, R., Treating a Minor for Veneral Disease, 214
JAMA 1949, December, 1970.

Pasal 267
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke
dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Pasal 268
(1) Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter
tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud
untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud yang sama
memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu
benar dan tidak dipalsu.
Pasal 281
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan sengaja
dan terbuka melanggar kesusilaan; 2. barang siapa dengan sengaja dan di depan
orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar
kesusilaan.
Pasal 299
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan
itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalakukan pencarian itu.
Pasal 322
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Pasal 344
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
Pasal 345
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
Pasal 347
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 359
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
Pasal 360
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-
luka sedemikian rupa sehingga timhul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan
atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Sumber :
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara,
Cet- 24, 2005.

Anda mungkin juga menyukai