Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak sehat orang tua pun bahagia. Ungkapan ini ialah harapan seluruh
orang tua di negaraini. Indonesia yang mencita- citakan sebagai negara
kesejahteraan (welfare state) menjadikankesehatan bagian dari program utama
pembangunan negara ini, dikarenakan dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1
mengatur bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, serta Pasal 34 ayat (3) mengatur
bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Tolak ukur kemajuan
sebuah negara bilamana Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi dapat dipenuhi
negara secara utuh kepada setiap warga negara.
Menjadi persoalan kemudian pada media Juli 2016 dalam dunia kesehatan
Indonesia ditemukan pembuatan dan penyebaran vaksin palsu yang dilakukan
tersangka yang memiliki latar belakang di bidang farmasi dan kesehatan di
Bekasi.

B. Tujuan
1. Menganalisis masalah yang terjadi di bidang kesehatan
2. Menganalisis bebrapa kasus vaksin palsu di Indonesia

1
BAB 2
KASUS

A. Kronologis
Liputan6.com, Jakarta -
Jajaran Direktorat Tindak
Pidana Ekonomi dan Khusus
Badan Reserse Kriminal
(Bareskrim) Polri, menahan 10
orang pemalsu vaksin untuk
balita.

Direktur Tindak Pidana


Ekonomi dan Khusus
Bareskrim Polri, Komisaris
Besar Agung Setya,
mengatakan, mereka terbagi tiga kelompok. Yakni produsen, distributor, dan
kurir.
"Kita fokus di pembuatan vaksin (produsen) palsunya dan distributor," ucap
Agung saat dikonfimasi, Jumat (24/6/2016).

Sementara, Kadiv Humas Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar,


mengatakan jajarannya juga akan menyelidiki rumah sakit mana yang telah
menggunakan vaksin palsu itu.

"Ya akan diselidiki sampai ke sana, pemasarannya," jelas dia.

Boy menjelaskan, pengungkapan kasus vaksin palsu ini bermula adanya


keluhan masyarakat yang mengaku balita mereka tetap sakit meski sudah
divaksin. Berbekal laporan itu, polisi langsung menyelidiki.

2
Terbukti, vaksin tersebut didapat di apotek AM di Bekasi, Jawa Barat pada
Kamis 16 Mei 2016. Polisi akhirnya menahan J, selaku distributor.

Tak hanya di Bekasi, polisi juga menemukan vaksin palsu di Apotek IS di


kawasan Kramatjati, Jakarta Timur. Penggerebekan ini dilakukan pada 21
Juni 2016 dan menangkap MF.

Selanjutnya, polisi mengembangkan kasus pemalsuan ini ke pembuat vaksin


palsu di kawasan Puri Hijau Bintaro, Tangerang, dengan tersangka P dan
istrinya, S.

Tak berhenti di situ, polisi terus melakukan pengembangan. Rumah di Jalan


Serma Hasyim dan Kemang Regency, Bekasi, Jawa Barat pun digerebek.

Ternyata, dua tempat tersebut digunakan untuk memproduksi vaksin palsu


oleh tiga tersangka, yakni HS, R, dan H.

Selain distributor dan produsen, penyidik juga menangkap kurir dan pihak
percetakan. Kurir yang membantu penjualan yakni T, yang ditangkap di Jalan
Manunggal Sari dan S di Jalan Dilampiri Jatibening, Bekasi.

Para tersangka pembuat vaksin palsu terancam Pasal 197 UU No 36 Tahun


2009 tentang Kesehatan dan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Mereka juga akan dikenakan Pasal 62 jo Pasal 8 UU No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.

3
B. Tuntutan Masyarakat

TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga


korban mendorong pemerintah
menyelesaikan kasus vaksin palsu.
Pengacara publik Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, Wahyu
Nandang, mengatakan pihak keluarga
korban vaksin palsu tidak melihat
tanggapan pemerintah dan korporasi
untuk menyelesaikan kasus ini.

“Kami masih khawatir dan tak tahu


penyelesaian kasus ini, termasuk
langkah keluarga pasien memperjuangkan hak-haknya,” ucap Nandang di
kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu, 13 Agustus 2016.

Ia juga menilai satuan tugas penyelesaian kasus yang dibentuk pemerintah


tidak berjalan efektif. Ia menduga satuan tugas diisi lembaga dan instansi
yang terlibat dalam keberadaan vaksin itu. “Beberapa lembaga menjadi
bagian dari kasus ini dan tidak ada partisipasi publik untuk satgas ini.”

Kasus vaksin palsu mengemuka setelah kepolisian menemukan indikasi


peredaran vaksin palsu. Kementerian Kesehatan, atas desakan Dewan
Perwakilan Rakyat, membuka daftar rumah sakit yang menggunakan vaksin
palsu. Sebanyak 14 rumah sakit di Jakarta dan Bekasi ditemukan
menggunakan vaksin palsu.

4
Ketua Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu Rumah Sakit Harapan Bunda
Agus Siregar menduga ada upaya dari rumah sakit yang terlibat untuk lari
dari tanggung jawab. Tak kunjung ada penyelesaian penanganan medis,
menurut dia, mempersulit orang tua korban untuk memberi obat dari rumah
sakit lain. “Kami jadi sulit berobat karena banyak yang takut dampak dari
pengobatan di Harapan Bunda,” tuturnya.

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius


Widjajarta mengatakan penyelesaian masalah tidak semestinya membuat
keluarga korban bingung. Ia mencontohkan hak kepemilikan ringkasan rekam
medis yang menjadi milik pasien. “Ini yang tidak dilakukan rumah sakit.”
Menurut dia, ringkasan rekam medik harus diberikan untuk mengetahui
kapan dan apa vaksin yang dikasih. “Sekarang ujug-ujug minta agar di-
general check up.”

C. Tersangaka Vaksin Palsu


Jakarta - Bareskrim Mabes Polri
kembali menetapkan tersangka
kasus vaksin palsu, menyusul
penyelidikan yang bergulir. Jika
sebelumnya sudah ada 18
tersangka, kini menjadi 20 orang
tersangka.

"6 tersangka sebagai produsen, 5


orang tersangka sebagai distributor,
3 tersangka penjual, 2 tersangka
pengepul botol vaksin, 1 tersangka
pencetak label dan bungkus, 1

5
tersangka sebagai bidan, 2 tersangka sebagai dokter," kataa Kabareskrim
Mabes Polri Komjen Pol Ari Dono.

Hal itu disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi IX, di gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Kamis (14/7/2016). Turut hadir Menkes Nila Moeloek.

Ari menjelaskan, daru 20 tersangka dalam kasus vaksin palsu, sebanyak 16


diantaranya sudah ditahan, sementara 4 lainnya tidak ditahan. Para tersangka
memiliki latar belakang di bidang farmasi dan kesehatan.

Penangkapan ini berawal dari penangkapan satu orang tersangka saat


penggeledahan di tiga tempat di kantor CV Azka Medika, pada 16 Juni.
Suplier ini tidak memiliki izin menjual vaksin dan diduga vaksinnya palsu.

"Penggeledahan dilakukan di Kantor CV di Bekasi, di Tambun dan di


Kontrakan tersangka, DH," terang Ari.

Selanjutnya, penyidik melakukan pengembangan dan mendapatkan satu


tersangka berinisial MF yang merupakan pemilik apotek di Bogor sebagai
tempat penjualan vaksin palsu.

Penyidik menangkap tersangka berinisial S yang menjadi distributor Vaksin


Palsu, lalu tersangka berinisal T yang ditangkap di Jalan Manunggal, Bogor.
Kemudian, HS di Tambun Bekasi, AP di Tangerang Selatan, HE dan RA di
Bekasi.

"Kemudian penyidik melakukan pengembangan dan menangkap 7 orang


lainnya dari keterangan HS," lanjutnya.

6
Ari menuturkan, polisi juga menangkap isteri salah satu pelaku berinisial IN.
Vaksin yang dibuat ini di antaranya, vaksin harfiks, tetanus, BCG kering,
campak kering, dan hepatitis.

Kemudian tanggal 23 Juni, penyidik menangkap tiga orang tersangka lagi di


Subang, Jawa Barat, sebagai pembeli bahan bekas botol vaksin. Selanjutnya,
tanggal 24 Juni, ditangkap satu tersangka berinisal I sebagai perawat
poliklinik anak. Kemudian, penyedia botol bekas vaksi di salah satu produsen
di Kramat Jati, yaitu RH dan HT.

D. Hukum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --
Direktur Tindak Pidana Ekonomi
Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol
Agung Setya, mengatakan tersangka
kasus vaksin palsu terancam
mendapatkan hukuman maksimal.
Para tersangka tersangka berpeluang
dijerat dengan UU Kesehatan, UU
Perlindungan Konsumen, dan UU
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ancaman hukumannya di atas 10
tahun penjara.

"Pelaku yang secara aktif maupun


pasif mengelola vaksin ini nantinya berpeluang dikenai pasal pokok, yakni
UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen. Selain itu, sanksi juga dapat
diakumulasi dengan pasal tambahan dalam UU Tindak Pidana Pencucian
Uang," ujar Agung usai diskusi 'Jalur Hitam Vaksin Palsu' di Cikini, Jakarta,
Sabtu (16/7).

7
Adapun ancaman maksimal masa hukuman dalam pasal pokok adalah 15
tahun penjara untuk UU Kesehatan dan lima tahun penjara untuk UU
Perlindungan Konsumen. Ancaman hukuman maksimal dalam pasal tindak
pidana pencucian uang adalah 20 tahun penjara.

Menurut Agung, saat ini pihaknya telah menangkap 23 orang tersangka kasus
vaksin. Masing-masing peran tersangka yakni produsen (enam tersangka),
distributor (sembilan tersangka), pengumpul botol (dua tersangka), pencetak
label (satu tersangka), bidan (dua tersangka) dan dokter (tiga tersangka).

Dari salah satu distributor, lanjut dia, pihaknya telah berhasil membongkar
nilai transaksi mencapai Rp 11 miliar. Transaksi ini terindikasi kuat sebagai
tindak pidana pencucian uang. "Aliran dana mengarah kepada distributor lain,
penggun vaksin dan tenaga penduking lainnya," ujarnya Agung.

8
BAB 3
ANALISIS

Kejahatan yang dilakukan para tersangka pelaku pemalsuan dan


pengedaran vaksin palsu yang terjadi pada tahun 2016 telah menimbulkan
kegaduhan dalam masyarakat. Hal tersebut tidak hanya terkait dengan tindakan
penipuan dan pemalsuan terutama pemalsuan merek sebagaimana diatur dalam
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), namun juga melanggar Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 angka 1). Adapun pengertian
konsumen sendiri adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2).
“Barang” yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah setiap benda baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen (Pasal 1 angka 4). Sedangkan
“jasa” adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen (Pasal 1 angka 5).

A. Analisis Terhadap Konsumen


Terkait dengan perlindungan konsumen dari produk palsu, secara tegas Pasal
4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa selaku
konsumen, masyarakat berhak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; mendapatkan informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
dan mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

9
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.

B. Analisis Terhadap Pelaku Usaha


Secara timbal balik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga
disebutkan kewajiban pelaku usaha untuk melindungi konsumen dari produk
palsu. Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa pelaku usaha wajib memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam kasus vaksin palsu tentu hubungan timbal balik ini tidak sematamata
terjadi antara konsumen dengan penyedia produk farmasi atau pelaku usaha tetapi
juga melibatkan pihak rumah sakit yang menjadi kepanjangan tangan pelaku
usaha sediaan farmasi tersebut. Lebih lanjut terkait dengan jasa pengobatan dan
vaksinasi juga melibatkan para tenaga kesehatan yakni dokter dan perawat yang
memberikan jasa vaksinasi menggunakan produk-produk sediaan farmasi
tertentu. Ada profesionalitas dan tanggung jawab pihak rumah sakit dan para
tenaga kesehatan yang dipertaruhkan dalam kasus ini. Para professional tenaga
kesehatan tentu juga terikat dengan code of conduct dalam lingkungan profesinya
sedangkan pihak rumah sakit tidak kalah besar tanggungjawabnya menyediakan
sediaan farmasi yang aman dan sesuai dengan standar.
Secara khusus ada aturan yang mengatur kedua hal tersebut dalam Undang-
Undang tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang tentang Kedokteran.
Kedua profesi ini tentu terikat dengan standar pelayanan profesi dan standar
prosedur operasional dilingkungan profesi masing-masing. Pihak rumah sakit
juga terikat aturan dalam Undang-Undang tentang Rumah Sakit.

10
C. Hukuman Bagi Tersangka Vaksin Palsu
Adapun ancaman pidana terhadap pelanggaran dimaksud dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sesuai ketentuan Pasal 62 Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu pada ayat (3) Pasal 62 ditegaskan
bahwa jika pelanggaran yang dilakukan tersebut mengakibatkan luka berat, sakit
berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Jadi
Pelaku dapat dikenai juga ketentuan dalam KUHP.
Secara lebih khusus kasus pemalsuan dan pengedaran vaksin ini juga bisa
dikenai pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang tentang Kesehatan. Pelaku
atau tersangka bahkan dapat dikenai beberapa pasal pidana secara sekaligus yakni
Pasal 196 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Selain itu juga pelaku atau tersangka melanggar ketentuan pasal 197 yakni:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).
Dan Pasal 198 “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).”
Selain dari aspek pidana, masalah ini juga terkait dengan aspek perdata.
Terdapat ketentuan tanggung jawab pelaku usaha terkait ganti rugi yang timbul

11
akibat barang dan/atau jasa dimaksud. Pasal 19 Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Ganti rugi dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku. Hanya saja pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Tentu saja hal ini
sulit dilakukan dalam kasus vaksin palsu yang terungkap setelah sekian lama
transaksi dilakukan, walapun pemberian ganti rugi sama sekali tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, perlindungan konsumen dari sediaan
farmasi palsu sesungguhnya sudah cukup memadai dari sisi kelengkapan
penegakan hukum. Aturan yang jelas memagari dan mengarahkan kepada
terlindunginya konsumen dari kejahatan para pelaku usaha yang nakal. Ancaman
pidana yang dikenakan juga cukup besar dan setimpal. Namun demikian dalam
kasus vaksin palsu ini tampaknya aspek penegakan hukum bukan satu-satunya
persoalan. Masalah yang juga sangat penting adalah peran dan tanggung jawab
Pemerintah dalam konteks pengawasan.

12
BAB 4
PENUTUP

A. Simpulan
Vaksinasi pada dasarnya adalah sebuah proses pencegahan penyakit.
Pencegahan yang dimaksud di sini adalah dengan sengaja memberikan
kekebalan atau imunisasi kepada anak.
Hak dan kewajiban konsumen sebagai pasien dan pelaku usaha sebagai
tenaga medis sudah lengkap diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Hukum pelanggaran hak konsumen sebagai pasien
diatur dalam Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan pada Bab XX pasal
196-198

B. Saran
Pemerintah tentu harus mampu mengawasi produksi dan jalur distribusi
vaksin secara lebih ketat lagi. Karena vaksin adalah produk terbatas yang tidak
diperjualbelikan bebas kepada masyarakat, sehingga seharusnya pengawasan
oleh pihak yang berwenang jauh lebih mudah dibandingkan dengan obat-
obatan bebas.

13
DAFTAR PUSTAKA

Tanpa nama. 2016. Kronologi Pengungkapan Kasus Vaksin Palsu di Bekasi dan
Tangerang. Diakses di www.huntnews.id (Jun 24, 2016)

Iqbal, M. 2016. Total 20 Tersangka Kasus Vaksin Palsu: dari Dokter, Bidan,
Hingga Distributor. Diakses di m.detik.com (Kamis 14 Juli 2016)

Tanpa nama. 2017. Tersangka Vaksin Palsu Terancam Hukuman Maksimal.


Diakses di
https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/oae8
rv384

Arkhelaus. 2016. Keluarga Korban Desak Pemerintah Tuntaskan Kasus Vaksin


Palsu. Diakses di
https://m.tempo.co/read/news/2016/08/13/173795692/keluarga-korban-
desak-pemerintah-tuntaskan-kasus-vaksin-palsu
Simatupang, E. 2017. Vaksin Palsu sebagai Perbuatan Malpraktek Medis.
Diakses di www.berandahukum.com (4 Maret 2017)

14

Anda mungkin juga menyukai