Anda di halaman 1dari 42

IMUNITAS BAWAAN DAN IMUNITAS ADAPTIF PADA KULIT

1. Respon imun bawaan (innate)


 Dipakai pejamu untuk mempertahankan diri
 Menentukan kualitas dan kuantitas dari banyak respon imun adaptif
 Bersifat short lived (sebentar)
 Tidak terdapat memori
 Termasuk:
- Sawar fisik (epitel kulit dan mukosa)
- Faktor-faktor yang dapat larut (komplemen, peptida antimikrobial,
kemokin, sitokin)
- Sel-sel seperti monosit/ makrofag, sel dendritik, NK dan PMN
2. Respon imun adaptif
 Terdapat memori
 Spesifisitas (+)
 Long-lasting (bertahan lama)
 Pada kulit: dimulai oleh sel dendritik APC di epidermis (sel Langerhans)
dan dermis
 Antigen dieksekusi sel limfosit T dan antibodi (yang diproduksi oleh
limfosit B)

Sistem imun manusia terdiri dari dua bagian fungsional yang jelas yaitu
bawaan dan adaptif. Dua komponen ini memiliki tipe-tipe berbeda pada reseptor-
reseptor pengenalan, serta berbeda pada kecepatan dalam merespon. Sel-sel dari
sistem imun bawaan, termasuk makrofag dan sel dendritik (DCs), menggunakan
Pattern Recognition Receptors, yang dikodekan secara langsung oleh DNA
germline, merespon struktur biokimia yang biasanya disebabkan oleh patogen-
patogen yang bervariasi dan mendatangkan respon yang cepat dalam melawan
patogen-patogen tersebut, meskipun tidak ada imunitas yang digerakkan.
Sebaliknya, sel-sel dari sistem imun adaptif, limfosit T dan B menghasilkan
reseptor-reseptor antigen spesifik dengan mengatur ulang gen-gen, dan sebagai
perbandingan terhadap respon imun bawaan, imunitas adaptif berkembang lebih

1
lambat. Gambaran unik dari respon imun adaptif adalah kemampuannya untuk
menggerakkan dan menyimpan memori; memiliki kemampuan dalam menyediakan
respon yang lebih cepat pada peristiwa paparan imunologi yang berikutnya.
Meskipun respon imun bawaan dan adaptif berbeda, mereka berinteraksi dan saling
mempengaruhi besaran dan tipe masing-masing. Secara bersama-sama sistem imun
bawaan dan adaptif bekerja secara sinergis untuk mempertahankan host dalam
melawan infeksi dan kanker. Bab ini mendeskripsikan peran dari respon sistem
imun bawaan dan adaptif dalam menggerakkan mekanisme pertahanan host pada
kulit.

RESPON IMUN BAWAAN


Mekanisme imun yang digunakan host dengan segera untuk
mempertahankan dirinya disebut sebagai imunitas bawaan. Yang termasuk di
dalamnya adalah barier fisik seperti kulit dan mukosa epitelium; faktor-faktor yang
dapat larut seperti komplemen, peptida antimikroba, kemokin dan sitokin; dan sel-
sel seperti monosit/ makrofag, DCs, Natural Killer Cells (NK cells) dan
Polymorphonuclear Leukocytes (PMNs).
Barier Fisik dan Kimia
Struktur fisik mencegah masuknya patogen dan toksin-toksin lingkungan
yang membahayakan host. Kulit dan lapisan epitelium pada organ respiratori,
gastrointestinal dan traktus genitourinari, menyediakan barier fisik antara host dan

2
dunia luar. Kulit, awalnya dipikirkan sebagai struktur yang tidak berdaya, ternyata
memiliki peran penting dalam melindungi individu dari lingkungan luar. Epidermis
menghalangi penetrasi dari organisme mikrobial, zat-zat iritan kimia dan toksin,
mengabsorbsi dan memblok sinar matahari dan radiasi ionisasi, dan mencegah
kehilangan air.

Molekul-molekul dari Sistem Imun Bawaan


Komplemen
Salah satu mekanisme pertahanan bawaan pertama yang menghadapi
patogen yang dapat menembus sawar epitel adalah jalur alternatif komplemen.
Tidak seperti jalur komplemen klasik yang perlu untuk memicu antibodi, jalur
tergantung lektin dan begitu juga dengan jalur alternatif dari aktivasi komplemen
dapat secara spontan diaktifkan oleh permukaan sel mikroba tanpa adanya antibodi
spesifik. Dengan cara ini, mekanisme pertahanan pejamu diaktivasi segera setelah
pertemuan dengan patogen tanpa perlu membutuhkan 5-7 hari untuk memproduksi
antibodi.

3
NEUROPEPTIDA
Kulit adalah sumber yang kaya akan neuropeptida, termasuk
neurotransmiter (contohnya calsitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P,
somastostatin) dan neurohormon. Neurohormon proopiomelanocortin (POMC),
diproduksi oleh glandula pituitary, dan juga oleh sejumlah tipe sel, termasuk
keratinosit.

PEPTIDA ANTIMIKROBIAL
Peptida antimikrobial merupakan mekanisme pertahanan bawaan host yang
penting pada berbagai organisme. Keratinosit juga menghasilkan peptida ini,
termasuk cathelicidin (LL-37) dan β-defensin (BD-1, BD-2, BD-3). Mekanisme
kerja antimikroba peptida-peptida ini mungkin berhubungan dengan insersi
membran dan formasi pori. Adrenomedullin (anggota superfamili CGRP), α
melanocyte-stimulating hormone dan secretory leukocyte protease inhibitor
merupakan peptida-peptida yang telah teridentifikasi sebelumnya tetapi aktivitas
antimikrobanya baru ditemukan kemudian.
β-defensins adalah peptida antimikrobial dengan berat molekul yang rendah
dan merupakan kation yang kaya sistein. β-defensins yang pertama pada manusia,
HBD-1, diisolasi dari hemofiltrat diperoleh dari pasien dengan penyakit ginjal
stadium akhir. HBD-1 diekspresikan di epidermis dan tidak diatur secara transkripsi
oleh agen inflamasi. HBD-1 memiliki aktivitas antimikroba melawan bakteri gram
negatif dan berperan dalam diferensiasi keratinosit. β-defensins kedua pada
manusia, HBD-2, ditemukan dalam lesi pasien psoriasis. Tidak seperti ekspresi
HBD-1, ekspresi HBD-2 diinduksi oleh mikroba termasuk diantaranya
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Candida albicans. Tidak
hanya mikroba yang bisa mengstimulasi ekspresi HBD-2, sitokin proinflamasi
seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin 1 (IL-1) juga dapat
menginduksi transkripsi HBD-2 dalam keratinosit. Ketika dicoba pada aktivitas
antimikroba, HBD-2 menunjukkan aktivitas yang efektif melawan bakteri gram
negatif seperti E. coli dan P. aeruginosa tetapi tidak dapat melawan bakteri gram
positif seperti S. aureus. Β-defensin yang ketiga, HBD-3, telah diisolasi dan
diketahui. Kontak dengan TNF-α dan dengan bakteri dapat menginduksi ekspresi

4
messenger RNA HBD-3 dalam keratinosit. Sebagai tambahan, HBD-3 telah
didemonstrasikan dapat memperkuat aktivitas antimikroba melawan S. aureus dan
vancomysin-resistant Enterococcus faecium. Oleh karena itu HBD-3 merupakan β-
defensin yang pertama pada kulit yang diuji untuk memperlihatkan keefektifan
aktivitas antimikroba melawan bakteri gram positif. Penempatan HBD pada lapisan
luar kulit dan bukti β-defensin memiliki aktivitas antimikroba melawan berbagai
macam mikroba memberi kesan bahwa HBD merupakan bagian penting dari sistem
imun bawaan pada kutaneus. Selanjutnya, bukti penelitian menunjukkan bahwa
HBD menarik DCs dan sel T memori melalui CC chemokine receptor 6 (CCR6),
hal ini menunjukkan hubungan sistem imun bawaan dengan sistem imun adaptif
pada kulit.
Cathelicidins adalah peptida kation dengan sebuah antimikroba struktural
berdomain pada C-terminus. Pada beberapa binatang mamalia, seperti babi dan sapi
terdapat variasi gen cathelicidin, sedangkan manusia hanya memiliki 1 gen
cathelicidin. Protein precursor hCAP18 (human cathelicidin antimicrobial protein
18) dihasilkan oleh sel kulit, meliputi keratinosit, sel mast, netrofil dan sel duktus
kelenjar ekrin. Protease neutrofil (misalnya proteinase 3) memproses hCAP18
menjadi molekul efektor LL-37, yang berperan penting dalam pertahanan kutaneus
host karena aktivitas antibakterial, antijamur dan antivirus. LL-37 berkontribusi
pada sistem imun bawaan dengan menarik sel mast dan neutrofil melalui formyl
peptide receptor-like 1 dan dengan menginduksi pelepasan mediator dari sel yang
terakhir melalui G protein-dependent, mekanisme IgE independen. Hal ini telah
dibuktikan bahwa LL-37 disekresikan ke keringat manusia, dimana LL-37 dipotong
oleh sebuah mekanisme serine protease-dependent ke peptide RK-31 atau KS-30.
Menariknya, komponen-komponen ini menunjukkan potensi aktivitas
antimikrobial yang lebih daripada LL-37.
Pada dermatitis atopi, LL-37 diregulasikan, kemungkinan akibat efek T2
sitokin IL-4 dan IL-13, yang mengakibatkan kulit yang atopi lebih berkemungkinan
terinfeksi misalnya oleh S. aureus, virus vaccinia (eczema vaccinatum) atau virus
herpes simpleks (eczema herpeticum).
Human antimicrobial peptide penting lainnya yaitu psoriasin (S100A7),
disekresi secara dominan oleh keratinosit dan memainkan peranan penting dalam

5
membunuh bakteri yang umum dalam saluran pencernaan seperti E.Coli. Faktanya,
penatalaksanaan secara in vivo pada kulit manusia menghasilkan pertumbuhan E
Coli yang masif.

MEDIATOR-MEDIATOR LAIN
Mediator-mediator protein lain yang dapat disintesis dan dilepaskan oleh
keratinosit dan mungkin memiliki peran pada pertahanan pejamu merupakan
komponen komplemen C3 dan faktor B. Keratinosit termasuk diantara sel-sel yang
mengsintesis eicosanoid, suatu kelompok mediator lemak yang mengatur reaksi
inflamasi dan imunologi. Eicosanoid dapat memproduksi dan melepaskan produk
siklooksigenase prostaglandin E2, yang mempunyai properti pro-inflamasi dan
imunosupresi, dan sewaktu bekerja pada DC membantu perkembangan respon sel
T tipe 2 yang didominasi oleh IL-4. Eicosanoid lain yang berasal dari keratinosit
termasuk kemoatraktan neutrofil leukotrien B4, produk 12-lipooksigenase pro-
inflamasi 12(s)-hydroxyeicosatetraenoic acid, dan 15-hydroxyeicosatetraenoic
acid, yang merupakan metabolit anti-inflamasi dan imunosupresif dari jalur 15-
lipoksigenase.
Grup lain pengubah respon biologik yang berasal dari keratinosit dan sel-
sel epidermis lain adalah molekul-molekul radikal bebas, sekarang disebut sebagai
reactive oxygen species. Molekul ini termasuk superoksida radikal (O2-), hidrogen
peroksida (H2O2), hidroksil radikal (OH-), nitrit oksida (NO), dan yang lainnya.
Radikal ini dipandang sebagai molekul-molekul reaktif dan berbahaya yang dapat
mengancam integritas banyak jaringan. Kulit terutama beresiko karena terpapar
pada oksigen baik dari luar maupun dari dalam, dan karena aktivasi oksigen oleh
cahaya. Radikal bebas kemungkinan berkontribusi terhadap kerusakan akibat sinar
matahari dan photoaging kulit. Meskipun demikian, reactive oxygen species
tertentu memiliki properti pencetus inflamasi yang poten (misalnya radikal oksigen
bebas) juga properti imunomodulator (contohnya NO), dengan demikian
memberikan pertahanan pada pejamu yang penting untuk melawan invasi mikroba.

6
PATTERN RECOGNITION RECEPTOR
Bagaimana sel-sel pada imunitas bawaan dapat mengenali patogen asing?
Salah satu cara dimana patogen dapat dikenali dan dihancurkan oleh sistem
imunitas bawaan adalah melalui reseptor pada sel-sel fagosit. Tidak seperti
imunitas adaptif, imunitas bawaan mengandalkan sebahagian kecil reseptor yang
dikodekan (germline-encoded) yang dapat mengenali pola molekul yang bergabung
dengan grup besar patogen. Hal ini biasanya merupakan struktur molekul yang
biasanya diperlukan untuk kelangsungan hidup mikroba. Tambahannya, pathogen-
associated molecular ini spesifik untuk mikroba dan tidak diekspresikan pada
sistem tubuh. Oleh karenanya, sistem imun bawaan mempunyai cara yang pintar
untuk membedakan antara self dan nonself dan meneruskan pesan ini kepada sistem
imun adaptif.
Kunci penting adalah penemuan Toll-Like Receptors (TLRs) yang
sebelumnya dinamakan Drosophila Toll gene yang merupakan produk protein,
Toll, berperan serta pada imunitas bawaan. Yang penting dari Toll-signaling pada
sel-sel manusia telah dikonfirmasikan dengan demonstrasi transmembrane leucine-
rich protein TLR4 yang terlibat pada pengenalan lipopolisakarida (LPS).
Ada berbagai macam TLRs dari molekul transmembran lainnya, dengan
mengenali kehadiran patogen. Ini meliputi reseptor pencetus yang diekspresikan
pada protein sel-sel myeloid (TREM), famili dari sigleic molecules, dan reseptor
dari grup C-type lectin yang secara menonjol diekspresikan pada Antigen
Presenting Cell (APCs), contoh: dectin-1 dan DC-SIGN [DC-specific intercellular
adhesion molecule 3 (ICAM-3) grabbing nonintegrin]. Mereka dapat
memperantarai ikatan mikroorganisme yang efisien seperti ragi dan mikobakteri,
masing-masing mencapai tempat fagositosisnya, dan menginduksi aktivasi jalur
sinyal yang menghasilkan pematangan fagosom sejalan dengan produksi oksigen
reaktif dan derivat nitrogen. Anggota dari famili TREM protein, berfungsi sebagai
penyaring respon imun bawaan. Contoh yang ekstrim dari konsekuensi aktivasi
mikroba dari protein TREM adalah sepsis yang mengancam kehidupan dan demam
berdarah yang disebabkan oleh infeksi virus Marburg dan Ebola yang mematikan.

Toll Like Receptors

7
Sekarang ada bukti yang mendukung peran TLRs mamalia pada imunitas
bawaan. Pertama, TLRs mengenali pola pathogen-associated molecular yang
terdapat pada berbagai macam bakteri, fungi dan virus. Kedua, TLRs diekspresikan
pada tempat yang terpapar dengan mikroba. Ketiga, aktivasi TLRs menginduksi
jalur sinyal yang dapat menstimulasi produksi dari molekul efektor (reactive
oxygen species, NO) dan mempromosikan ekspresi molekul co-stimulatory dan
pengeluaran sitokin dan hasilnya adalah meningkatkan respon imun bawaan.
Keempat, TLRs secara langsung mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh dan
kemudian memerangi invasi asing.
TLRs mulanya ditemukan untuk diekspresikan pada semua jaringan limfoid
tapi paling banyak diekspresikan pada leukosit di pembuluh darah perifer, termasuk
monosit, sel B, sel T, granulosit, DCs. TLRs tertentu diinternalisasi setelah ligasi.
Pada situasi ini, TLRs direkrut ke tempat fagosom yang berisi patogen dan
dibedakan antara bakteri gram positif dan negatif, selanjutnya mensurvei bagian
intraselular dari sel-sel yang diinvasi mikroba.
Ekspresi TLRs pada sel-sel monosit/ makrofag konsisten dengan peran
TLRs dalam modulasi respon inflamasi melalui pengeluaran sitokin. Karena sel-sel
ini pindah ke tempat yang berhubungan dengan lingkungan, paru-paru, kulit, usus
yang merupakan lokasi dari sel-sel yang mengekspresikan TLRs, akan
menyebabkan mereka mempertahankan diri terhadap invasi mikroba. Ekspresi
TLRs oleh adiposa, sel epitel intestinal, dan sel endotelial dermal menyokong
konsep bahwa TLRs berperan sebagai penjaga dari serangan mikroorganisme.
Pengaturan ekspresi TLRs penting untuk peran mereka pada pertahanan tubuh,
sebelumnya beberapa faktor telah diidentifikasi memodulasi proses ini. IL-4
bekerja untuk mengurangi ekspresi TLRs, dengan perkiraan bahwa T helper 2 (Th2)
pada respon imunitas adaptif mungkin menginhibisi aktivasi TLRs.
Pada Drosophila, Toll penting untuk pertahanan tubuh. Kerentanan pada
tikus dengan mutasi spontan pada TLRs terhadap infeksi bakteri mengindikasikan
bahwa TLRs mamalia mempunyai peran yang hampir sama. Aktivasi TLRs oleh
lipoprotein mikroba menginduksi aktivasi dari inducible NO synthase promoter
(NOS II atau iNOS) yang memproduksi NO, agen antimikroba yang sudah dikenal.
Ada bukti kuat bahwa aktivasi TLRs membunuh mycobacterium tuberculosis

8
intraseluler pada tikus dan makrofag manusia. Pada makrofag tikus, aktivasi
lipoprotein TLRs bakteri berperan terhadap pembunuhan NO-dependent basil
tuberkel intraseluler. Pada monosit manusia dan alveolar makrofag, lipoprotein
bakteri dengan cara yang hampir sama, mengaktivasi TLRs untuk membunuh
Mycobacterium tuberculosis intraseluler, bagaimanapun ini terjadi dengan sebuah
jalur antimikroba yang NO-independent, tapi dependent pada aktivasi reseptor
vitamin D dan potensial dalam menginduksi cathelicidin. Aktivasi dari TLRs juga
dapat merugikan, berperan dalam kerusakan jaringan. Administrasi dari LPS
terhadap tikus dapat menghasilkan manifestasi seperti syok sepsis, yang dependent
pada TLR4. Bukti memperkirakan bahwa aktivasi TLR2 oleh Propionibacterium
acne menginduksi respon inflamasi pada akne vulgaris yang berperan pada
kerusakan jaringan. Aliprantis dkk menunjukkan bahwa lipoprotein mikroba
mempunyai kemampuan untuk memperoleh aktivasi TLR-dependent dari
pertahanan tubuh dan patologi jaringan. Kedua jalur aktivasi ini mirip dengan
reseptor TNF dan sinyal CD40, yang berperan terhadap aktivasi nuclear factor dan
apoptosis. Dengan cara ini kemungkinan sistem imun untuk menggunakan molekul
yang sama untuk mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh, yang kemudian
dengan apoptosis, mengurangi respon yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Aktivasi dari TLR dapat menginhibisi Major Histocompatibility Complex (MHC)
class II antigen presentation pathway, yang dapat menurunkan respon imun yang
menyebabkan kerusakan jaringan tapi juga dapat berkontribusi terhadap
imunosupresi.
Akhirnya, aktivasi Toll terlibat dalam penghancuran tulang. Peran biologis
yang penting dari TLRs pada pertahanan tubuh manusia dapat disimpulkan dari
ditemukannya TLR4 mutasi yang terkait dengan LPS hypo-responsiveness pada
manusia. Kesimpulan, seseorang dapat mengantisipasi perubahan genetik pada
TLR yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi mikroba tertentu.
Selanjutnya, mungkin dapat mengeksploitasi jalur dari aktivasi TLR untuk
pembuatan vaksin dan pengobatan terhadap infeksi penyakit dengan jalan
menghilangkan respon yang merugikan tubuh.

9
Sel-sel pada Sistem Imun Bawaan
Fagosit. Dua sel kunci pada sistem imun bawaan dikarakteristikkan oleh fungsi
fagositnya yaitu makrofag dan PMNs. Sel ini mempunyai kapasitas untuk
mengambil patogen, mengenali dan menghancurkannya. Beberapa fungsi sel ini
diregulasi melalui TLRs dan reseptor komplemen seperti yang diuraikan
sebelumnya. PMNs normalnya tidak ada di kulit; bagaimanapun, selama proses
inflamasi, dimana mereka merupakan sel-sel fagosit yang mula-mula direkrut. Sel-
sel ini mempunyai reseptor yang dapat mengenali patogen secara langsung dan
berhubungan dengan ekspresi mereka dari FcγRIII/CD16 dan C3bR/CD35, dapat
memfagositosis mikroba yang dilapisi antibodi dan dengan komponen komplemen
C3b. Konsekuensinya, pengeluaran granul (yang berisikan myeloperoksidase,
elastase, lactoferrin, collagenase dan enzim-enzim lainnya) dan mikrobisid radikal
superoksida (O2-) yang dihasilkan.

Fungsi Efektor dari Fagosit. Aktivasi fagosit oleh patogen menginduksi beberapa
mekanisme efektor yang penting, contohnya perangsangan produksi sitokin.

10
Sitokin penting disekresikan oleh makrofag dalam respon terhadap mikroba,
termasuk IL-1, IL-6, TNF-α, IL-8, IL-12, IL-10. IL-1 dan IL-6 dan TNF-α berperan
penting dalam menginduksi respon fase akut pada liver dan dalam menginduksi
respon inflamasi yang kuat terhadap infeksi. IL-8 penting sebagai mediator
kemotaksis PMN terhadap tempat infeksi. Mekanisme penting lainnya yang
dirangsang pada respon fagosit terhadap patogen adalah induksi dari respon
antimikroba secara langsung. Sel-sel fagositik seperti PMNs dan makrofag yang
mengenali patogen, menelan patogen tersebut, dan menginduksi mekanisme efektor
antimikroba untuk membunuh patogen. PMNs menghasilkan oxygen-dependent
atau oxygen-independent killing. Pengeluaran toxic oxygen radicals, enzim
lisosom, peptida antimikroba seperti human neutrophil defensins berperan dalam
membunuh organisme mikroba secara langsung. Dengan cara yang sama, aktivasi
TLRs pada makrofag oleh mikroba berikatan dengan upregulates iNOS(NOS-II)
yang menghasilkan generasi yang cepat dari NO dan aktivitas mikrobisid yang kuat.
Makrofag menggunakan mekanisme ini untuk mengisi tempat yang infeksius yang
tidak mungkin diserang oleh PMN, seperti mikobakterium, fungi tertentu dan
parasit. Sel-sel fagosit dari sistem imun bawaan dapat juga diaktivasi oleh sel-sel
dan sistem imun adaptif. CD40 adalah 50-kd glycoprotein yang terdapat pada
permukaan sel B, monosit, DCs dan sel-sel endotelial. Ligan untuk CD40 adalah
CD40L, sebuah membran protein tipe II dari 33kd, diekspresikan pada aktivasi
CD4+ sel T dan sel mast. Interaksi CD40-CD40L berperan penting pada
perkembangan fungsi efektor. CD4+ sel T mengaktivasi makrofag dan monosit
untuk memproduksi TNF-α, IL-1, IL-12, interferon-γ dan NO melalui interaksi
CD40-CD40L. Interaksi CD40-CD40L selama aktivasi sel T oleh APC, hasilnya
adalah produksi IL-12. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa interaksi CD40-
CD40L di antara sel T dan makrofag berperan dalam pemeliharaan respon Th1 tipe
seluler dan memperantarai respon inflamasi. Studi lain telah membuat peran
interaksi CD40-CD40L pada aktivasi sel B, diferensiasi, dan perubahan kelas
imunoglobulin. Interaksi CD40-CD40L mengatur B7.1 (CD80) dan B7.2 (CD86)
pada sel B. Aktivitas co-stimulatory diinduksi pada sel B kemudian bekerja untuk
memperkuat respon sel T. Mekanisme ini menggarisbawahi pentingnya hubungan

11
saling mempengaruhi diantara sistem imun bawaan dan adaptif dalam
menghasilkan pertahanan tubuh yang efektif.

Eosinofil. Eosinofil merupakan granulosit asal sumsum tulang yang berbeda


kelasnya, yang normalnya hanya bagian kecil dari leukosit pembuluh darah perifer
dan dalam jumlah kecil pada jaringan perifer. Cytokines granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF), IL-3 dan yang paling penting, IL-5, penting
untuk perkembangan dan pematangan eosinofil.

Sel-sel Natural Killer. Sel-sel ini muncul sebagai granular limfosit yang besar.
Pada manusia, sebagian besar dari sel-sel ini menunjukkan fenotip CD3-, CD56+,
CD16+, CD94+, CD161+. Fungsi mereka adalah mensurvei perubahan sel-sel pada
tubuh, apakah mereka berubah atau terinfeksi dengan virus (misalnya
cytomegalovirus, bakteri (misalnya Listeria monocytogenes) atau parasit (misal
Toxoplasma gondii). Patogen-patogen ini secara langsung dibunuh melalui
perforin/ granzyme, atau mekanisme Fas/ FasL-dependent atau secara tidak
langsung melalui sekresi dari sitokin (misal IFN-γ). Bagaimana sel NK dapat
membedakan jaringan normal dan jaringan yang berubah atau terinfeksi patogen.
Semua sel-sel nucleated mengekspresikan molekul MHC kelas I. Sel-sel NK
mempunyai reseptor, dinamakan killer inbitory receptors, yang mengenali molekul
self MHC class I. Pengenalan ini menghasilkan penghantaran sinyal negatif ke sel
NK yang melumpuhkannya. Jika sel nucleated kehilangan ekspresi dari molekul
MHC kelas I, yang sering terjadi setelah transformasi maligna atau infeksi virus,
untuk menghadapinya sel NK akan menjadi aktif dan membunuhnya. Sel NK
mempunyai activating receptor yang berikatan dengan MHC-like ligand pada sel
target, salah satunya NKGD2, yang berikatan dengan molekul human non-classic
MHC class I chain-related A dan B, MICA dan MICB. MICA dan MICB tidak
diekspresikan dalam jumlah besar pada jaringan normal tapi diekspresikan
berlebihan pada karsinoma. Sel NK dapat membunuh MICA/MICB bearing
tumors, yang diperkirakan peran untuk NKGD2 pada pemantauan imun. Tipe sel
lainnya, setidaknya pada tikus, dapat berfungsi sama adalah IFN-producing killer
DC, yang berhubungan dengan beberapa ciri dengan DCs dan sel NK.

12
Keratinosit. Keratinosit, sel-sel yang dominan di epidermis, dapat meningkatkan
respon imun atau inflamasi melalui sekresi dari sitokin dan kemokin, metabolit
asam arakidonat, komponen komplemen, peptida antimikroba. Keratinosit
memproduksi hanya sedikit mediator-mediator, seperti sitokin IL-1, IL-7 dan
transforming growth factor- β (TGF-β). Keratinosit di kulit berisi banyak pre-
formed dan biologis aktif IL-1α sebanyak IL-1β pada sitoplasmanya. Seperti peran
intraseluler IL-1, keratinosit merupakan inisiator segera dari inflamasi dan proses
perbaikan setelah kerusakan epidermis. IL-7 merupakan limfosit growth factor
penting yang mempunyai peran dalam kelangsungan hidup dan proliferasi limfosit
T dari kulit manusia. Ada beberapa bukti untuk IL-7-driven propagation dari sel-
sel limfoma pada sindrom Sezary. TGF-β, efek pengaturan pertumbuhan pada
keratinosit dan fibroblast, memodulasi inflamasi dan respon imun dan penting
untuk perkembangan LC. Pada penghantaran bahan berbahaya tertentu atau
setidaknya potensial berbahaya (misalnya hipoksia, trauma, radiasi nonionisasi,
hapten atau bahan kimia reaktif seperti poison ivy catechols, silica, LPS dan toksin
mikroba), produksi dan atau pengeluaran banyak sitokin sering secara dramatis
ditingkatkan. Konsekuensi biologi dari peristiwa ini, termasuk inisiasi inflamasi
(IL-1, TNF-α,IL-6, anggota dari famili kemokin), modulasi fenotip dan fungsi LC
(IL-1, GM-CSF, TNF-α, IL-10, IL-15), aktivasi sel T (IL-15, IL-18), inhibisi sel T
(IL-10, TGF-β), dan perubahan respon limfosit pada tipe 1 yang sama (IL-12, IL-
18), tipe 2 (thymic stromal lymphopoeitin) atau direksi Th17 (IL-23). Pada
beberapa kasus, keratinosit dapat juga berperan dalam memperkuat sinyal inflamasi
di epidermis. Contoh yang menonjol adalah induksi dari sitokin pro-inflamasi
seperti TNF-α pada keratinosit oleh LC derived IL-1β pada permulaan fase dari
dermatitis kontak alergi. Dengan adanya stimulus yang kuat, sitokin yang berasal
dari keratinosit mungkin dikeluarkan ke sirkulasi dalam jumlah yang menyebabkan
efek sistemik. Selama reaksi sunburn yang berat, contohnya level serum IL-1, IL-6
dan TNF-α jelas tinggi dan kemungkinan bertanggung jawab untuk manifestasi
sistemik dari reaksi ini, seperti demam, leukositosis dan produksi dari protein fase
akut. Ada juga bukti bahwa radiasi ultraviolet (UV) menginduksi sitokin IL-6 dan
IL-10 dapat menginduksi produksi autoantibodi dan kemudian terlibat dalam

13
eksaserbasi penyakit autoimun seperti lupus eritematosus. Fakta bahwa sekresi
produk keratinosit dapat mencapai sirkulasi dapat dipikirkan untuk digunakan
dalam tujuan pengobatan. Fungsi penting lainnya dari keratinosit adalah produksi
atau sekresi dari faktor-faktor yang mengatur pemasukan dan pengeluaran leukosit
ke dalam dan ke luar kulit. Dua contoh bagus adalah kemokin timus dan activation-
regulated chemokine (TARC; CC Chemokine ligand 17 atau CCL17) dan
cutaneous T cell-attracting chemokine (CTAK)/ CCL27 dan sesuai dengan
reseptor-reseptor CCR4 dan CCR10, ekspresi yang selektif pada T-limfosit di kulit.
Penghambatan kedua kemokin secara drastis dapat menginhibisi perpindahan sel T
ke kulit, contohnya Contact Hipersensitivity (CHS). Fungsi lainnya yang berbeda
dari kemokin asal keratinosit yaitu dalam perekrutan leukosit subpopulasi ke
epidermis yang diperkirakan oleh ekspresi selektif dari receptor Macrophage
Inflammatory Protein-3α/ CCL20, CCR6 pada LCs dan prekursor LC. Demonstrasi
reseptor sitokin dan responnya oleh keratinosit menunjukkan bahwa sifat
fungsional dari sel-sel ini dapat menjadi subjek pengaturan oleh sel-sel sistem imun.
Konsekuensinya, ekspresi keratinosit diinduksi untuk mengekspresikan imunologis
yang dapat menjadi target oleh leukosit untuk menstimulasi atau menginhibisi
sinyal tranduksi. Keratinosit mensekresi faktor-faktor lain seperti neuropeptida,
eicosanoids dan spesies reactive oksigen. Mediator-mediator ini mempunyai sifat
inflamator dan imunomodulator dan mempunyai peran penting pada patogenesis
inflamatori, penyakit infeksi dan penuaan. Keratinosit juga dapat mensintesis
komplemen dan reseptor terkait, termasuk reseptor C3b [Complement receptor 1
(CR1), CD35], Epstein-Barr virus, reseptor CR2 (reseptor C3d, CD21), C5a
reseptor (CD88), membrane co-factor protein (CD46), decay-accelerating factor
(CD55) dan komplemen protektin (CD59). CD59 dapat melindungi keratinosit dari
serangan. Membran co-factor (CD46) telah dilaporkan menjadi reseptor untuk
protein dari grup A streptokokus dan untuk virus measles. Ligasinya menginduksi
sitokin pro-inflamatory di keratinosit seperti IL-1α, IL-6 dan GM-CSF.

14
RESPON IMUN ADAPTIF
Kekuatan dan tipe imun adaptif menentukan kuantitas dan kualitas dari
respon imun adaptif, dimulai oleh dendritik APCs di epidermis (LCs) dan dermis
(dermal DCs atau DDCs).

Limfosit
Respon imun adaptif diperantarai oleh limfosit T dan limfosit B. Peran unik
dari sel-sel ini adalah kemampuan untuk mengenali antigen spesifik. Semua
limfosit berasal dari stem sel sumsum tulang. Penemuan ini sudah dieksploitasi
dalam berbagai pengaturan klinis, dengan upaya untuk mengembalikan seluruh
limfosit dengan transplantasi sumsum tulang atau stem sel.

Tipe dari Limfosit. Sel B matang di liver dan sumsum tulang orang dewasa. Mereka
memproduksi kompleks protein antibodi yang berikatan secara spesifik dengan
molekul tertentu yang didefinisikan sebagai antigen. Sebagai konsekuensi dari
rekombinasi pada segmen gen Ig yang berbeda (V atau variable, D atau diversity,
J atau joining), setiap sel B memproduksi molekul antibodi yang berbeda. Beberapa
dari antibodi ini ada di permukaan sel B, kemampuan yang unik dari sel B untuk
mengenali antigen yang spesifik. Sel B kemudian berdiferensiasi menjadi sel-sel
plasma, sel-sel yang memproduksi dan mensekresi antibodi. Sekresi antibodi
memperantarai respon imunitas humoral. Pada kulit, imunitas humoral
berkontribusi pada pertahanan imun terhadap patogen ekstraselular. Antibodi
berikatan dengan agen mikroba dan menetralisir mereka atau mempermudah
pengambilan patogen oleh fagosit yang menghancurkan patogen tersebut. Antibodi
juga bertanggungjawab untuk memperantarai kondisi patologik tertentu di kulit.
Pada keadaan tertentu, antibodi dapat menyerang self-antigen yang dinamakan
autoimun disease, ditandai dalam patogenesis pemfigus, dan pemfigoid bulosa.
Selanjutnya, reaksi antibodi IgE terhadap zat asing dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik (misalnya urtikaria penisilin). Sel T yang matang di timus akan diseleksi
untuk hidup atau mati. Sel-sel itu akan memperoleh kemampuan untuk mengenali
antigen asing dinamakan seleksi positif dan dapat masuk ke dalam sirkulasi. Sel-
sel T yang bereaksi dengan self dinamakan seleksi negatif dan dihancurkan. Sel T

15
mempunyai kemampuan unik, dengan mengeluarkan sitokin. Contohnya, sel T
berperan terhadap Cell Mediated Immunity (CMI) , diperlukan untuk
mengeliminasi patogen intraseluler, dengan mengeluarkan sitokin yang
mengaktivasi makrofag dan sel T lainnya. Sel T mengeluarkan sitokin yang
mengaktifkan sel-sel NK dan juga mengeluarkan sitokin untuk pertumbuhan,
diferensiasi dan aktivasi sel-sel B. Selama pematangan mereka di timus, timosit
mulai mengekspresikan molekul-molekul yang memungkinkan sel-sel T untuk
menampilkan fungsi unik mereka, yang secara spesifik mengenali antigen pada
MHC-restricted fashion. Ini adalah T cell antigen receptor (TCR) dan molekul
aksesori CD4 dan CD8. Mayoritas seleksi positif timosit matur adalah CD4+/CD8-
(single positif) MHC class II-restricted cell atau CD8+/CD4- (single positif) MHC
class I-restricted cell, tapi beberapa dari mereka mengekspresikan TCR tetapi tidak
ada molekul aksesoris (double negative thymocytes). Timosit matur ini
meninggalkan timus dan pindah ke jaringan limfoid perifer (lymph nodes, spleen,
peyer’s patches, dan sebagainya). Proses ini paling aktif pada awal infant dan anak-
anak tapi menurun pada kehidupan dewasa. TCR adalah kompleks molekul yang
terdiri dari antigen-binding heterodimer (rantai α/β atau γ/δ) yang tidak
berhubungan kovalen dengan 5 CD3 sub unit. Molekul TCR α/β atau TCR γ/δ harus
diperbaiki dengan molekul CD3 yang dimasukkan ke membran permukaan sel T.
Rantai TCR membentuk actual antigen binding unit, sedangkan CD3 complex mem
perantarai sinyal tranduksi yang hasilnya aktivasi produktif atau non produktif dari
limfosit T. Rantai TCR memiliki urutan asam amino homolog dan struktur yang
mirip dengan rantai berat dan ringan. Gen yang mengkode molekul TCR dikodekan
sebagai klaster dari segmen gen (V, J, D, C atau konstan) yang disusun ulang selama
maturasi sel T. Bersama-sama dengan penambahan nukleotida pada junction
segmen gen, proses rekombinasi ini, yang terlibat adalah enzim recombinase
activating gen 1 dan 2, hasilnya adalah heterogen dan keanekaragaman unit
pengenalan antigan yang cukup luas untuk memungkinkan keberhasilan dari
pertahanan tubuh. Molekul aksesoris CD4 dan CD8 menstabilkan interaksi TCR
dengan MHC-linked peptide antigen. Meskipun CD4 berikatan dengan molekul
MHC kelas II, CD8 bekerja secara adesif dengan berikatan terhadap molekul MHC
kelas I.

16
Limfosit T Sub Populasi. Sel T dapat diklasifikasikan dan dibagi menjadi: (1)
didasarkan pada molekul asesoris CD4 dan CD8, (2) didasarkan pada aktivasi
mereka (naive, memori, efektor sel T), (3) didasarkan pada peran fungsi mereka
pada respon imun yang sering berhubungan dengan sifat sekresi sitokin dari
masing-masing populasi sel. Sejauh aktivasi status sel T tetap, muncul kekuatan
dan sinyal antigen yang membedakan akhir dari sel T naive. Aktivasi yang kuat,
sel-sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel-sel efektor, yang kemudian diseleksi
untuk masuk ke dalam grup memori menurut kapasitas mereka untuk mengakses
dan menggunakan sinyal kelangsungan hidup. Sel-sel memori efektor kembali ke
jaringan perifer dan bertanggungjawab untuk perlindungan segera. Di sisi lain, sel-
sel CCR7+ sentral memori kembali ke organ limfoid sekunder dan bertanggung
jawab untuk respon jangka panjang terhadap antigen dan mungkin terlibat dalm
pemeliharaan jangka panjang dari sel-sel efektor memori. Fungsi kapasitas dari
berbagai sel T, diasumsikan bahwa sel CD4+ dominan membantu fungsi helper,
dan sel-sel CD8+ bekerja sebagai sel-sel pembunuh. Pengecualian aturan ini
sekarang sudah diketahui, contohnya, kedua sel-sel regulator CD4+ dan CD8+
ditemukan, kecuali sel CD4+ masih disebut helper T cells (Th cells) dan CD8+
sebagai cytotoxic T cells. Sel T naive yang disebut Th0 cells dapat berdiferensiasi
menjadi beberapa kelas fungsi sel-sel selama respon imun yaitu sel Th1 (Sel T tipe
1), sel Th2 (Sel T tipe 2), sel Th17, sel T regulator (Treg) dan Natural killer sel T
(NKT).

Paradigma T helper 1/ T helper 2. Sel-sel T yang memproduksi IL-2, IFN-γ dan


TNF disebut Th1 cells. Mereka merupakan pembawa utama dari CMI. Sel T lainnya
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-13 dan Il-15 yang dinamakan Th2 cells dan
terutama bertanggung jawab untuk imunitas ektraseluler. Banyak faktor yang
mempengaruhi apakah uncommitted Th cells berkembang menjadi sel Th1 matur
atau Th2. Sitokin IL-12 dan IL-4 bekerja melalui sinyal tranduser dan aktivasi
transkripsi (STAT) 4 dan 6, masing-masing kunci penentu dari hasil tersebut yaitu
dosis antigen, level dari co-stimulation, dan pengubahan genetik. Faktor transkripsi
tertentu mempunyai aturan penyebab dalam program ekspresi gen dan Th1 dan

17
Th2. Contohnya, T-box transcription factor T-bet pusatnya terlibat dalam
perkembangan Th1, mendorong kompetensi transkripsi dari lokus IFN-γ dan respon
yang selektif terhadap faktor pertumbuhan IL-12. Berlawanan dari hal tersebut,
zinc-finger transcription factor GATA-3 kelihatannya sangat penting dalam
menginduksi kunci tertentu dari sel-sel Th2 seperti kompetensi transkripsi Th2
cytokin cluster, termasuk gen yang mengkodekan IL-4, IL-5, IL-13. Pada contoh
infeksi intraseluler, ketahanan versus kerentanan respon imun muncul untuk
diregulasi oleh subpopulasi sel T. Sel Th1 terutama dikeluarkan oleh IFN-γ,
mengaktivasi makrofag untuk membunuh atau menginhibisi pertumbuhan patogen
dan meransang respon sel T sitotoksik. Berlawanan dengan itu, sel Th2
memfasilitasi respon humoral dan menginhibisi beberapa respon Cell Mediated
Immunity. Th1 sitokin IFN-γ mengurangi respon Th2. IFN-γ mengurangi respon
Th2. Sitokin Th2 IL-4 dan IL-10 menurunkan respon Th1 dan fungsi makrofag.
Hasilnya respon tubuh dalam cara yang efisien terhadap patogen dengan membuat
respon Th1 atau Th2. Beberapa host memilih pola sitokin yang sesuai, yang
hasilnya tampak pada klinis penyakit. Penemuan bahwa respon Th1/Th2 dapat
berkontribusi pada hasil dari penyakit manusia berhubungan dengan single antigen
pertama digambarkan oleh studi tentang lepra, karena lepra mempresentasikan
spektrum dari manifestasi klinis yang berhubungan dengan respon imun terhadap
patogen. Di ujung spektrum, pasien dengan lepra tuberkuloid melambangkan
respon yang resisten yang membatasi pertumbuhan patogen. Jumlah lesi sedikit,
meskipun kerusakan jaringan dan saraf sering. Berlawanan pada akhir spektrum,
pasien dengan lepra lepromatous mewakili kerentanan yang ekstrim terhadap
infeksi M. leprae. Pada lepra lepromatous, lesi kulit banyak dan pertumbuhan
patogen berlanjut, yang menghasilkan banyak M. leprae pada lesi kulit. Klinis
memperlihatkan hubungan level CMI terhadap M. leprae. Pengukuran standar CMI
pada patogen yaitu reaksi Mitsuda. Pasien diinjeksikan dengan M. leprae
intradermal, indurasi diukur 3 minggu setelahnya. Hasil tes positif pada pasien
tuberkuloid dan negatif pada pasien lepromatous. Keterlibatan sel T pada CMI
sangat penting untuk menentukan hasil infeksi dengan M. leprae, karena
berhubungan dengan hasil tes kulit, reaksi limfosit positif pada pasien tuberkuloid
tapi negatif pada pasien lepromatous. Ada paradoks menarik bahwa CMI dan

18
respon humoral memperlihatkan hubungan yang terbalik. Level anti M. leprae
antibodi paling tinggi pada pasien dengan bentuk lepromatous. Paradoks ini
dijelaskan dengan baik dari pola sitokin pada lesi. Sitokin Th1, prinsipnya, IL-2 dan
IFN-γ, lebih kuat diekspresikan pada lesi tuberkuloid, sedangkan Th2 sitokin,
terutama IL-4, IL-5 dan IL-10 merupakan karakteristik dari lesi lepromatous. Pola
sitokin ini dapat diamati pada lesi CD4+ sel T dominan pada lesi tuberkuloid dan
CD8+ sel T dominan pada lesi lepromatous. Semua M. leprae spesifik CD4+ sel T
yang berasal dari pasien tuberkuloid memproduksi IL-2 dan IFN-γ dan merupakan
desain sel CD4+ tipe 1. CD8+ sel T yang berasal dari lesi lepromatous
memproduksi level tinggi IL-4 dan level rendah IFN-γ dan merupakan desain sel
CD8+ tipe 2. Pada imunopatogenesis lepra, IL-2 dan IFN-γ yang melimpah pada
lesi tuberkuloid, mungkin berkontribusi pada fase resisten dari imunitas pada pasien
ini. IL-2 mungkin berkontribusi terhadap pertahanan tubuh dengan menginduksi
clonal expansion of activated, cytokine-producing T cells dan menambah produksi
IFN-γ. IFN-γ diketahui meningkatkan baik produksi reactive oksigen maupun
nitrogen, diperantarai oleh makrofag dan menstimulasi mereka untuk membunuh
atau membatasi pertumbuhan patogen intraseluler. Sitokin ditemukan meningkat
pada lesi lepromatous, diharapkan mungkin berkontibusi terhadap imunitas yang
tidak respon atau gagal dari aktivasi makrofag pada individu-individu ini. IL-4 dan
IL-10 mungkin berkontribusi untuk meningkatkan antibodi M. Leprae pada pasien
lepromatous melalui peran mereka dalam diferensiasi dan perubahan kelas
imunoglobulin dari sel B, tapi mereka juga mempunyai efek negatif imuno
regulator pada CMI yaitu penurunan fungsi sel T dan makrofag. Pada kepentingan
imunologis tertentu adalah penggambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pola
sitokin sel T. Respon imun bawaan merupakan satu dari faktor penting yang terlibat
dalam menentukan tipe respon sitokin sel T. Kemampuan respon imun bawaan
untuk menginduksi perkembangan respon Th1 diperantarai oleh pengeluaran IL-
12, suatu protein heterodimeric 70-kd. Contoh, pada respon terhadap patogen
intraseluler, makrofag mengeluarkan IL-12, yang bekerja pada sel NK untuk
mengeluarkan IFN-γ. Kehadiran Il-12, IL-2 dan IFN-γ dengan relatif berkurangnya
IL-4, memfasilitasi respon Th1. Berlawanan dengan hal tersebut, respon terhadap
alergen atau patogen ekstraseluler, sel mast atau basofil mengeluarkan IL-4 yang

19
dengan ketiadaan IFN-γ dapat membuat sel T berdiferensiasi sepanjang jalur Th2.
Menarik untuk dispekulasikan adalah bahwa keratinosit juga berpengaruh terhadap
respon nature sitokin sel T. Keratinosit dapat memproduksi IL-10, khususnya
setelah terpapar dengan radiasi UVB. Pengeluaran IL-10 dapat spesifik
menurunkan respon Th1, memfasilitasi perkembangan respon Th2.

Sel T helper 17. Tidak setiap penyakit yang diperantarai sel T dapat dengan mudah
dijelaskan oleh paradigma Th1/Th2. Beberapa sel T sub populasi dikarakteristikkan
oleh sekresi IL-17, sel-sel ini dinamakan sel Th17. IL-23, anggota dari keluarga IL-
12, rupanya merupakan kunci penting untuk perkembangan sel Th17, yang
berhubungan dengan pertumbuhan penyakit autoimun dan inflamasi seperti
neuroinflammatory disorders, asma, lupus eritematosus, artritis reumatoid dan
terutama psoriasis. IL-17 dipercaya berperan terhadap patogenesis dari penyakit-
penyakit ini dengan bekerja sebagai mediator proinflamator yang kuat. Asalnya
diasumsikan bahwa Th1 dan Th17 secara lengkap terpisah dan garis keturunan awal
dan produksi efektor sel Th CD4+ dari naive sel T CD4+.

Sel T sitotoksik. Berhubungan dengan patogen intraseluler (misalnya virus) sel T


harus membersihkan sel-sel infeksi tersebut. Untuk melakukan hal ini, sel T harus
dapat mengenali dan merespon terhadap antigenic peptides encoded oleh patogen
ini dan ditampilkan pada permukaan sel. Supaya hal ini dapat terjadi, antigen timbul
pada sitosol ke dalam lumen retikulum endoplasma, dimana mereka berasosiasi

20
dengan molekul MHC kelas I. Peptide-class I complexes diekspor ke aparatus golgi
dan kemudian ke permukaan sel. Pematangan sel T CD8+ menjadi sel T killer
membutuhkan tidak hanya sinyal antigen tapi juga pengiriman sinyal helper dari sel
T CD4+, fungsi interaksi antara CD40 pada APC dan CD40L pada sel T CD8+
dapat diganti. Dua bagian yang berbeda dari sel T sitotoksik sudah diidentifikasi
dan dapat berdiferensiasi. Hasil akhirnya menjadi induksi dari kematian sel yang
diprogram yang dikenal sebagai apoptosis. Mekanisme pertama dari sitotoksisitas
terlibat interaksi dua protein permukaan sel, Fas ligand (CD95L) pada sel T dan Fas
(CD95) pada target. Ligasi dari molekul-molekul ini memberikan sinyal melalui
tahap yang menginduksi apoptosis cascade di target. Mekanisme kedua terlibat
pengeluaran granul sitoplasmik seperti yang ada pada sel T. Granul ini berisi
perforin, yang menginduksi pori-pori pada target dan granzymes, serine esterase
yang ketika diinjeksikan ke sel-sel merangsang jalur apoptosis; seperti granul yang
juga berisi granulisin, protein dengan aktivitas antimikroba spektrum luas terhadap
bakteri, jamur dan parasit. Dengan cara ini, sel T sitotoksik dapat secara langsung
membunuh mikroba. Disamping perannya pada pertahanan tubuh terhadap infeksi
dan tumor, sel T sitotoksik dapat juga berkontribusi terhadap kerusakan jaringan.
Contohnya sel T sitotoksik mengenali self antigen dari melanosit dan bisa
berkontribusi pada patogenesis vitiligo.
Sel T regulator. Tipe yang penting dari sel T imunomodulator yang mengontrol
respon imun disebut sel T regulator (sel Treg), diketahui sebagai sel T supresor.
Sel-sel Treg diinduksi oleh APC, DCs imatur dan mempunyai peran kunci dalam
pemeliharaan self antigen pada perifer. Kehilangan sel-sel Treg merupakan
penyebab dari autoimunitas organ spesifik pada tikus dan dapat menyebabkan
tiroiditis, adrenalitis, oophoritis/ orchitis dan sebagainya. Sel-sel Treg juga penting
untuk mengontrol besarnya dan durasi dari respon imun terhadap mikroba. Pada
keadaan normal, awal dari respon imun terhadap antimikroba menghasilkan
penyisihan dari mikroorganisme patogen dan kemudian diikuti oleh penekanan
respon antimikroba oleh sel Treg dan pencegahan trauma pada host. Beberapa
mikroorganisme (contohnya parasit Leishmania, mikobakterium) mempunyai
kapasitas untuk menginduksi reaksi imun dimana komponen Treg mendominasi
respon efektor. Situasi ini mencegah eliminasi dari mikroba dan hasilnya adalah

21
infeksi kronik. Fungsi regulasi diperantarai oleh grup yang berbeda dari CD4+,
CD8+ dan sel NKT, karaketristik terbaik dari Treg adalah CD4+/CD25+/CTLA-
4+/GITR (glucocorticoid-induced TNF receptor family-related
gene)/foxP3+lymphocytes. Faktor transkripsi FoxP3 spesifik berhubungan dengan
fungsi supresi, dengan bukti ditemukannya mutasi pada gen FoxP3 sebagai
penyebab autoimun dan inflamasi yang fatal pada tikus dan IPEX (immune
dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked) pada manusia. Sitokin
TGF-β dan IL-10 diperkirakan menjadi mediator supresi utama. Sel-sel CD8+ dapat
diaktivasi menjadi sel-sel supresor oleh antigenic peptides yang disajikan dalam
konteks dari sebuah MHC class Ib molecule [Qa1 pada tikus, human leukocyte
antigen E (HLA-E) pada manusia]. Sel-sel CD8+ Treg supresi sel T yang
mempunyai afinitas intermediate untuk antigen self atau antigen asing dan
utamanya terlibat pada diskriminasi self-nonself. Sel-sel NKT merupakan populasi
khusus dari sel T. Mereka mempunyai sifat dari NK, tapi pada waktu yang sama,
mengekspresikan TCR α/β yang terdiri dari invariant rantai α (vα24-JαQ)
berpasangan dengan bermacam rantai vβ. Sel-sel ini spesifik mengenali sel-sel
tumor tertentu atau glikolipid bakteri pada konteks dari molekul CD1 dan oleh
karenanya terlibat pada tumorisidal dan bakterisidal respon tubuh. Pada stimulasi
antigen, sel-sel NKT memproduksi sejumlah besar sitokin, khususnya IL-4 dan IL-
10 dan dapat digunakan untuk mensupresi respon Th1. Hal ini relevan dengan data
yang dapat disimpulkan dari observasi bahwa deplesi dari NKT sel dapat
memperburuk dan mempercepat penyakit autoimun yang diperantarai Th1 pada
tikus, seperti insulin-dependent diabetes, multiple sclerosis, dan inflammatory
bowel disease.

SEL T NAIF

Sel T naif. Setelah seleksi positif di timus, sel T matang dengan afinitas rendah
untuk peptida sendiri / molekul MHC dilepaskan ke dalam aliran darah dan
membentuk saluran panjang sel T naif. Untuk bertahan hidup, sel T naif
membutuhkan sinyal IL-7 dan tingkat rendah penjamu self-reaktivitas oleh
keterlibatan konstan TCR dengan diri-p / molekul MHC.

22
Limfosit-limfosit pada kulit. Kulit normal merupakan prototipe dari organ
nonlimfoid, sebuah organ dimana respon limfosit utama tidak dimulai. Kebalikan
dari kulit normal tikus, yang merupakan populasi tetap dari dendritik epidermis. Sel
T dilengkapi dengan nonpolymorphic, seperti TCR γ/δ, kulit tubuh manusia berisi
hanya sedikit limfosit, yang utamanya berlokasi di dermis dan mengekspresikan
lebih banyak TCR α/β daripada TCR γ/δ. Sel-sel ini pada dermis normal manusia
dikelompokkan di sekeliling post-capillary venules dari superficial pleksus high di
papillary dermis dan sering terletak tepat di bawah dermal-epidermal junction dan
dekat dengan adnexal appendages seperti folikel rambut dan kelenjar keringat
ekrin. Kebanyakan dari mereka termasuk populasi memori CD45RO+ dengan
fenotip CD4+/CD8- lebih mendominasi daripada fenotip CD4-/CD8+ dan
mengekspresikan skin homing receptor cutaneous lymphocyte-associated antigen
(CLA). Pada perivaskular terdapat kebanyakan sel T yang positif untuk HLA-DR
dan CD25, mengindikasikan bahwa beberapa dari mereka mewakili sel-sel efektor
dan sel Treg yang mungkin lainnya. Jumlah sel T epidermal kira-kira 2-3% dari
CD3+ pada normal kulit manusia. Mereka terutama berada pada lapisan basal dan
suprabasal, sering dekat dengan posisi LCs. Kebanyakan dari limfosit CD8+/CD4-
merupakan TCR α/β dimer yang besar. Juga ada bagian kecil dari double negative
(CD4-/CD8-) sel T intraepidermal dengan TCRs dari fenotip α/β atau γ/δ.
Hubungan mereka dengan dendritik sel T epidermal tidak diketahui. Mekanisme
dimana limfosit T masuk ke kulit tergantung rantai dari peristiwa molekular di
antara sel-sel pada skin-draining lymph nodes, interaksi dari sel T naïve dengan
antigen-bearing cutaneous DCs (LCs, DDCs), hasilnya adalah induksi dari
permukaan sel molekul CLA. CLA adalah glikoprotein yang didefinisikan sebagai
bagian dari sel T memori yang kembali ke kulit. CLA adalah glycosylated-form dan
P-selectin glycoprotein ligand I yang diekspresikan pada semua sel T, pembuluh
darah perifer manusia. Level CLA pada sel diatur oleh sebuah enzim, α(1,3)-fucosyl
transferase VII, yang mengubah P-selectin glycoprotein ligand 1. Pada cara ini, sel
CLA+ berikatan dengan E-selectin dan P-selectin. Penguatan interaksi antara
sirkulasi sel T dan endotelium kutaneus, sedangkan CLA- berikatan dengan P

23
selectin tapi tidak berikatan dengan E-selectin. Pada pasien dengan dermatitis
kontak alergi, bagian CLA+, bukan CLA-, berisi sel T dengan kapasitas untuk
merespon alergen. Selanjutnya, lebih dari 90% sel T, pada penyakit inflamasi
adalah CLA+. CLA memfasilitasi masuknya limfosit T ke kulit dengan
memperantarai penarikan dan perputaran sel T pada sel-sel endotelial yang
meningkatkan afinitas ikatan dn adhesi molekul sel T. Sel-sel T berikatan erat
dengan endotelium melalui interaksi lymphocyte function-associated antigen 1
(LFA-1) dengan ICAM-1. Interaksi dengan sel-sel endotelial cukup kuat untuk
mengizinkan perpindahan sel T ke kulit dan memungkinkan partisipasi mereka
dalam proses inflamasi. Keragaman kemokin berkontribusi kepada tissue-specific
T cell homing. Leukosit di kulit ataupun leukosit yang tidak terdapat di kulit dapat
memproduksi kemokin dengan sifat sel T kemotaktik, seperti IL-8/CXC chemokine
ligand 8 (CXCL8), Gro α/ CXCL1, IFN-γ inducible protein 10, monokin yang
diinduksi oleh IFN-γ/CXCL9, macrophage chemoattractant protein-1 (MCP-1),
MCP-2/ CCL8, MCP-3/ CCL17, regulasi aktivasi normal dan ekspresi dan sekresi
sel T (RANTES/ CCL5, MIP-1α/ CCL3, MIP-1β/CCL4 dan lymphotactin/ XCL1.
Kepentingan tertentu dari skin homing dari memori sel T adalah interaksi antara
TARC/CCL17 dan CTACK/CCL27 dengan hubungan respon kemokin pada CLA+
sel T, CCR4 dan CCR10.
CC kemokin TARC/CCL17 diekspresikan oleh sel-sel endotel pembuluh darah
vena pada kulit normal dan kulit yang infeksi. Sel T memori CLA+ di pembuluh
darah perifer menunjukkan CCR4 mengikuti pembuluh kulit melalui TARC/
CCL17-induced yang berikatan dengan ICAM-1 dan dengan demikian tertarik ke
kulit. Penarikan Th2 ke kulit yang sakit dapat dimediasi oleh TARC/CCL17. Pada
dermatitis atopik, contoh yang penting untuk respon imun Th2-mediated, kemokin
ini diketahui diregulasi pada basal keratinosit. CTACK/CCL27, kemokin CC
lainnya, juga terlibat penting pada proses homing dibawah kondisi fisilogik dan
inflamasi. Kemokin ini diproduksi oleh basal keratinosit dan juga diperlihatkan
pada permukaan sel-sel endotel dermal, ekspresinya diregulasi oleh IL-1β dan
TNF-α dan diturunkan oleh glukokortikosteroids. Reseptor untuk CCL27, CCR10,
diekspresikan pada sel T CLA, dan uji in vivo telah menunjukkan peran penting
interaksi CCL27-CCR10 pada inflamasi kulit yang diperantarai sel T. Interaksi

24
molekul adhesi yang membantu jangkar sel T ke epidermis termasuk adanya LFA-
1 (CD11a)-bearing T cells ke ICAM-1+ (CD54) keratinosit pada kulit yang
inflamasi dan lebih fisiologisnya, αE β7-E-cadherin-mediated berikatan dengan sel
T terhadap keratinosit yang tidak teraktivasi. Populasi sel T spesifik
diidentifikasikan oleh penentu permukaan sel, dan profil sitokinnya yang berlokasi
di kulit. Penentu berbagai macam permukaan sel pada sel T memungkinkan deteksi
adanya sel T. Mulanya populasi sel T fungsional dapat digambarkan pada kulit
menurut ekspresi mereka terhadap molekul CD4 dan CD8. Studi pada kondisi
inflamasi yang utama, termasuk liken planus, psoriasis, dan dermatitis atopi, sel T
CD4 melebihi jumlah sel T CD8, proporsi yang sama atau agak besar daripada yang
terlihat di pembuluh darah perifer. Bagaimanapun, studi dari lesi kulit dari lepra,
CD4 sel T ditemukan dominan pada bentuk tuberkuloid, sedangkan CD8 ditemukan
dominan pada bentuk yang lepromatous karena semua pasien lepra mempunyai
kelebihan sel T CD4 pada darah mereka, sel T CD8 yang melimpah di lesi kulit
lepromatous memberikan bukti yang jelas untuk spesifik akumulasi dari populasi
sel T di kulit. Kemungkinan yang lebih relevan penanda populasi sel T adalah
keberagaman TCRs mereka. Contoh yang jelas adalah klonal dari populasi sel T di
limfoma sel T kutaneus, dimana penggunaan single V gene ditemukan dominan
pada lesi kulit yang berbeda dari individu yang sama. Ekspresi yang dominan dari
banyak TCR V gene dalam infiltrat diperkirakan mengindikasikan terdapat sedikit
antigen pada respon inflamasi lokal. Tidak seperti kulit manusia normal yang
mempunyai TCR beragam, penggunaan TCR V gene yang terbatas telah dilaporkan
terdapat pada lesi kulit lepra, psoriasis, karsinoma sel basal, dan reaksi lain yang
tidak terhitung dengan adanya sel T. Bagaimanapun antigen disebutkan berkorelasi
dengan penggunaan TCR. Indikasi langsung yang paling banyak dari populasi sel
T yang relevan pada kulit adalah penentuan dari jumlah sel T yang dikenali oleh
antigen. Telah didokumentasikan bahwa 1/1000-1/10.000 sel T di pembuluh darah
perifer mengenali antigen yang masuk. Pada kulit, kira-kira 1/50-1/100 sel T
mengenali antigen yang menyebabkan penyakit. Kemudian ada sebanyak 100 fold
dari antigen-reaktif sel T pada tempat inflamasi kulit. Pada kelangsungan hidup dan
atau ekspansi sel T dari kulit manusia-epidermis, muncul IL-2, IL-7 dan IL-15 yang
mempunyai peran penting. Dua faktor pertumbuhan sel T yang terakhir dapat

25
diproduksi oleh sel-sel epidermal manusia, dan semua ekspresi yang berlebihan
pada lesi kulit yang banyak mengandung sel T pada pasien lepra tuberkuloid.
Paradigma Th1-Th2 memberikan wawasan tentang patogenesis dari banyak
penyakit kulit dimana sel T mempunyai peran imunologis.
Ada cukup bukti bahwa paradigma Th1-Th2 tidak kaku, situasi dimana campuran
sitokin ditemukan dan contoh dari T sel clones diketahui sebagai sel Th0, yang
mengsekresikan kombinasi dari sitokin Th1 dan Th2. Bagaimanapun ada
kemungkinan untuk menemukan kondisi dermatologis pada pola sitokin Th1 atau
Th2 yang dominan. Pada infeksi kulit, lepra dan lesmaniasis merupakan contoh dari
penyakit dengan spektrum klinis dimana Th1 dan Th2 sitokin muncul untuk peran
patogenik.
Lesmaniasis, seperti lepra bukan kesatuan penyakit, tapi mempunyai
imunopatogenesis yang berbeda. Pada lepra tipe 1 pola sitokin dikarakteristikkan
dari lesi lesmaniasis dimana CMI terhadap parasit kuat dan terdapat lesi
penyembuhan diri; pola tipe 2 menunjukkan lesi dimana imunitas terhadap parasit
lemah dan lesi kulit progresif. Studi pada model hewan memperkirakan bahwa
mungkin untuk menginduksi CMI efektif dengan vaksinasi menggunakan
kombinasi antigen parasit dan rekombinan IL-12. Strategi imunoterapi ini
menimbulkan respon sitokin Th1. Respon Th1 terlibat dalam imunologi untuk
melawan Borrelia burgdorferi dan Treponema pallidum, agen penyebab dari
penyakit lyme dan sifilis. Konsep dari patogenesis dermatitis atopi mencakup peran
sentral alergen sel T spesifik yang memproduksi Th2 atau sitokin tipe 2, termasuk
IL-4 dan IL-5. Alergen sel T spesifik dengan profil sitokin ini ditunjukkan pada
pembuluh darah perifer dan lesi kulit dari subjek dengan penyakit yang aktif. Reaksi
dari dermatitis atopi banyak mengandung ekspresi IL-10, meskipun sumber dari
lesi ini mungkin makrofag dan keratinosit. Pola sitokin Th2 bersama-sama
diperkirakan mendorong peningkatan produksi Ig, khususnya IgE, pertumbuhan sel
mast dan infiltrasi dari eosinofil. Sitokin ini mungkin juga menurunkan respon Th1
yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi bakteri di kulit.
Bukti memperkirakan bahwa pruritus, gejala utama dari dermatitis atopi, mungkin
terkait dengan respon Th2. Sitokin IL-31 menginduksi pruritus yang berat dan
dermatitis pada tikus dan diekspresikan pada sel Th2. IL-31 pada manusia secara

26
signifikan diregulasi dalam bentuk pruritik dari inflamasi kulit (dermatitis atopik,
prurigo nodularis) tapi tidak dalam bentuk non pruritik (psoriasis), dan sirkulasi
CLA sel T memori positif dari pasien dermatitis atopi memproduksi level IL-
31yang tinggi. Uji klinis mencoba mengubah respon Th2 pada dermatitis atopi
melalui administrasi dari IFN-γ, ditunjukkan bahwa pengobatan diinduksi secara
signifikan tapi hanya didapat perbaikan klinis sederhana tanpa pengurangan level
IgE pada beberapa pasien. Ini penting, karena sitokin Th2 membantu sel B
memproduksi autoantibodi pada pemfigus vulgaris. Efek dari IFN-γ tiba-tiba pada
perubahan mediator yang telah dijelaskan pada dermatitis atopi, dengan sitokin Th2
mendominasi pada lesi akut dan sitokin Th1 pada lesi kronik.
Pada dermatitis kontak alergi, sensitisasi melibatkan perkembangan respon Th1,
sebagai bukti oleh dominasi IL-2 dan produksi sel T mensensitisasi ke haptenated
APCs. Situasi pada fase elisitasi kurang jelas. Pada dermatitis kontak dengan nikel,
antigen-specific Th1- type Tcell clones telah digambarkan, begitu juga Th2-type
infiltrating T cell pada lesi kulit.
Respon Th1/Th2 terlibat dalam imunitas antitumor. Contoh, IL-4 dan IL-10
dominan pada lesi karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamous, sedangkan
respon Th1 ada di neoplasma jinak. Sumber IL-10 pada karsinoma kulit ini adalah
tumor itu sendiri, sebuah mekanisme dimana kanker dapat menurunkan respon
antitumor sel T. Dalam spektrum dari cutaneous T-cell lymphoma, mycosis
fungoides, mewakili respon sitokin Th1, sedangkan pasien yang lebih progesif pada
Sezary syndrome menunjukkan sebuah respon sitokin Th2. Diasumsikan bahwa
repon sitokin Th1 dominan terlibat dan untuk tingkat yang lebih rendah tidak
terlibat, seperti pada kulit pasien dengan psoriasis. Bukti yang lebih baru
memperkirakan bahwa IL-23, daripada IL-12, merupakan kunci sitokin pada
penyakit ini dan efeknya dipicu oleh produksi IL-22 oleh sel-sel Th17 yang hasilnya
berupa inflamasi dan akantosis pada dermal. Meskipun tidak menentu, sel-sel Th17
ini mungkin autoimun yang respon terhadap self-antigens di epidermis. Apapun
peran dari pola sitokin yang diobservasi pada penyakit, paradigm Th1-Th2-Th17
memaparkan target baru untuk terapi. Percobaan sedang berjalan untuk
mengeksploitasi pengetahuan ini melalui penggunaan agonis dan antagonis sitokin

27
untuk perubahan keseimbangan diantara pola Th yang berbeda yang bermanfaat
pada pasien.

Sel-sel Langerhans dan Sel-sel Dentritik Lainnya


Definisi. Pada 1868 mahasiswa medis Paul Langerhans, didorong oleh
ketertarikannya pada anatomi saraf kulit, mengidentifikasi sebuah populasi sel-sel
bentuk dendritik pada daerah suprabasal dari epidermis setelah mengolesi kulit
dengan garam emas. Sel-sel ini yang belakangan ditemukan sebenarnya merupakan
epitel squamos stratified dari mamalia, sekarang yang dimaksud adalah sel-sel
Langerhans. Ada juga jumlah yang substansial dari leukosit dendritik pada dermis.
Meskipun beberapa dari mereka mewakili LCs pada jalan masuk dan keluar dari
epidermis, kebanyakan dari sel-sel ini secara fenotif sedikit berbeda dari LCs dan
secara umum yang dimaksud adalah sel-sel dendritik dermal.

Sifat Fenotif dari Sel Langerhans dan Sel Denritik Dermal. Ekspresi dari Ca2+
dependent lectin langerin (CD207) saat ini merupakan ciri yang membedakan LCs
dari sel-sel lainnya. Langerins adalah sebuah molekul transmembran yang terkait
dan cukup untuk membentuk Granules Birbeck. Granules birbeck merupakan
struktur pentilaminar sitoplasma yang sering ditampilkan bentuk raket tenis pada
level ultra struktural. Dengan adanya langerin pada permukaan sel LC yang
bergabung dengan spesifisitas ikatan untuk manosa diperkirakan bahwa langerin
terlibat dalam pengambilan manosa yang berisi patogen oleh LCs. Gangguan dari
gen langerin pada hewan percobaan tidak memberikan hasil yang merugikan dari
fungsi LC. Langerin terutama diekspresikan pada LCs di epitel stratified begitu pula
dengan DCs pada paru-paru, yang mungkin atau tidak mungkin secara langsung
berhubungan dengan LCs epidermal. Ekspresi dari molekul tambahan disamping
langerin memungkinkan identifikasi dari LCs dalam epidermis normal. Ini meliputi
CD1a; MHC kelas II antigen HLA-DR, HLA-DQ, dan HLA-DP; dan CD39, sebuah
membran, formalis resisten, sulf-hydryl-dependent adenosime triphosphatase
(ATPase).
DDCs secara fenotif kurang baik dikarakteristikkan. Penanda yang terbaik
kemungkinan berupa molekul CD1b dan CD1c. DDCs dapat lebih baik dari LCs

28
dengan ketiadaan ekspresi langerin dan Granule Birbeck dan dari makrofag oleh
ekspresi yang banyak dari molekul MHC kelas II, DEC205/CD205, dan dengan
ketiadaan fagolisosom pada level ultra struktur.

Distribusi Sel-sel Langerhans dan Sel-sel Denritik Dermal. Pada epidermis


kepadatan dari populasi LC bervariasi pada kulit manusia. Di kepala, wajah, leher,
batang tubuh kepadatan LC berkisar diantara 600-1000/mm2. Kepadatan yang
relatif rendah (kira-kira 200/mm2) ditemukan pada kulit sakrokoksigeal dan
anogenital dan mukosa bukal. Kepadatan dari LCs manusia menurun seiring
dengan umur dan jumlah LC di kulit dengan kerusakan aktinik kronik secara
signifikan rendah dari kulit yang tidak terpapar sinar matahari. DDCs berlokasi
utama di daerah sekitar pleksus pembuluh darah superfisial.

Perkembangan, Perawatan dan Aktivitas dari Sel-sel Denritik Kulit. HLA-


DR+/ATPase+DCs dapat diidentifikasikan pada epidermis manusia sejak umur
kehamilan 6-7 minggu. Sel-sel ini berasal dari sel-sel progenitor hemopoitik pada
kantong janin atau liver janin, tempat yang utama dari hemopoeisis selama periode
embrionik. Sampai dengan kehamilan 12 minggu, sel-sel ini adalah CD1a negatif

29
dan kekurangan Granule Birbeck. Setelah itu dan sejalan dengan fungsi awal
sumsum tulang, terjadi peningkatan yang dramatis dari ekspresi CD1a oleh DCS
epidermal, yang menunjukkan munculnya populasi LC yang sebenarnya. Jumlah
yang relatif stabil dari LC dicapai dengan keswimbangan generasi LC dan imigrasi
ke epidermis dan kematian LC dan emigrasi dari epidermis.
Dalam epidermis LCs akan berlabuh di sekeliling keratinosit oleh E-caderin-
mediated homotypic adhesion. Tampilan dari TGF-β1 mencegah difrensiasi
terminal dan migrasi, kemudian menempati intra epidermal dibawah kondisi yang
homeostatik.
Dua jalur eksklusif yang tidak menguntungkan dari LC epidermis yang mungkin
ada yaitu divisi LC dalam epidermis dan difrensiasi dari LCs dari skin resident.
Bukti untuk kemungkinan pertama adalah pertunjukkan dari cycling-mitotik LCs
di epidermis, meskipun apakah divisi sel cukup untuk merawat populasi LC
epidermal. Terutama ditemukan bahwa proliferasi DDCs pada dermis manusia,
yang mengindikasikan bahwa divisi sel-sel homeostatik juga berkontribusi terhadap
perawatan populasi DC pada kulit.
Observasi dari waktu paruh LCs pada epidermis sekitar 2-3 bulan, diperkirakan
pertukaran yang signifikan dari populasi LC epidermal bahkan pada kondisi non
inflamasi. Pada kondisi kontradiksi dari observasi bahwa terdapat populasi LC pada
kulit manusia, meskipun tudak ada proliferasi dermal dan ketiadaan dari prekursor
dari LCs manusia. Lebih lanjut, LCs epidermal pada tikus yang sumsun tulangnya
teriradiasi dan kemudian ditransplantasikan, menunjukkan bahwa hanya sebagian
yang diganti dengan donor asal LCs, sedangkan DCs di organ lainnya efisien untuk
donor DCs. Bersama-sama, observasi ini memperkirakan bahwa populasi sel
prekursor berada di dermis, yang berikatan secara konstan melalui pembaruan diri
populasi LC epidermal di bawah kondisi non inflamasi. Kandidat pertama precursor
LC adalah sel-sel dermal CD14+/ CD11c+ yang mempunyai potensi untuk
berdiferensiasi ke LCs dalam TGF-β1-dependent fashion. Di bawah kondisi
inflamasi (contoh paparan radiasi UV, graft versus penyakit host), jalur tambahan
dari perekrutan LC dermal menjadi operatif. Pada situasi ini, prekursor LC masuk
ke jaringan dan populasi epidermis pada fashion-dependent chemoattraction
diperantarai oleh LC-expressed reseptor kemokin CCR2 dan CCR6, ikatan yang

30
disekresikan oleh sel-sel endotelial dan keratinosit. Menariknya, sebuah jalur yang
hampir sama dari prekursor inflamasi dependent perekrutan ada untuk DDCs, yang
kontras terhadap LCs, mengandalkan CCR2- tapi tidak CCR6-dependent cell
migration. Kemudian, CCR6 dan ikatannya MIP-3α/CCL20 mungkin penting
untuk lokalisasi dermal LC, sebagai dalil sebelumnya pada studi dari LCs
differentiated dari sel-sel progenitor manusia in vitro. Akhir dari MIP-3α/ CCL20
mungkin diganti atau dibantu di bawah situasi non inflamasi oleh kemokin
BRAK/CXCL14, yang diproduksi oleh keratinosit. Fase diferensiasi dan keadaan
biologis prekursor LC memasuki kulit yang inflamasi secara in vivo tetap
diselesaikan. Ada bukti bahwa common myeloid progenitors, granulocyte-
macrophage progenitors, monocyte dan juga common lymphoid progenitor dapat
naik sampai munculnya populasi LC epidermal pada hewan percobaan. Di bawah
kondisi inflamasi, tipe DC yang bukan penduduk normal lingkungan kulit muncul
pada kulit. Ini termasuk plasma cytoid DCs (pDCs) dan DCs yang secara fenotip
menyerupai myeloid DCs dari pembuluh darah perifer. pDCs adalah prekursor DCs
yang dikarakteristikkan oleh perkembangan retikulum endoplasma, yang hasilnya
berupa plasma cell-like appearance. Secara fungsional, pDCs menunjukkan
kemampuan unik untuk memproduksi sejumlah besar natural IFNs dalam respon
ikatan TLR dan kemudian dinamakan principal tipe 1 IFN-producing cells. Di
bawah kondisi homeostasis, pDCs ditemukan pada pembuluh darah perifer dan
daerah yang banyak sel T dari jaringan limfatik sekunder. Pada tipe tertentu dari
inflamasi kulit (contoh: infeksi virus, lupus eritematosus, psoriasis, DKA,
dermatitis atopi), pDCs memasuki kulit pada fashion yang mengikat CXC
chemokine receptor CXCR3. Dalam kulit, lokasi pDCs di daerah perivaskular
dengan sel T, dan pada aktivasi mungkin berkontribusi terhadap pertahanan imun
antimikroba atau (auto)imun yang diperantarai inflamasi jaringan oleh sekresi dari
natural IFNs dan mekanisme yang lain yang sudah diidentifikasikan. Populasi DC
lainya yang bukan resident dari lingkungan normal berasal dari populasi myeloid
prekursor dan telah dideteksi pada inflamasi kulit seperti dermatitis atopi dan
contact eczema. Yang disebut inflammatory dendritic epidermal cells
dikarakteristikkan oleh ekspresi dari CD1a, CD1b, FcεRI, CD23, HLA-DR, dan
CD36. Akhirnya, tetap dipertanyakan nasib akhir dari epidermal dan populasi

31
dermal. Gangguan utama dari microenvironment cutaneous (sinyal berbahaya)
merupakan aktivasi mereka yang hasilnya pada eliminasi mereka melalui stratum
korneum pada LCs atau yang lebih penting, migrasi dari LCs/DDCs ke jaringan
limfoid, dimana mereka memulai tipe 1 (Th1/sel T sitotoksik). Berlawanan dengan
hal tersebut, kurang jelas apa yang terjadi pada kulit normal. Apakah pengumpulan
LC terjadi di bawah kondisi fisiologik (tidak berbahaya)? Adakah natural flux dari
LCs/ DDCs ke regional limfe node? Jika begitu, apa fungsi dari kejadian itu? Ada
bukti bahwa granul melanin ditangkap di kulit kemudian berakumulasi di regional
lymph nodes, tapi tidak di jaringan lain. Obsevasi lebih lanjut dari sedikit sel yang
berisi granul melanin pada TGF-β1-/- tikus diperkirakan bahwa, di bawah kondisi
steady state, epidermal dan/atau antigen dermal dibawa ke regional lymph nodes
oleh TGF-β1 dependent cells (paling banyak LCs/DDCs). Muncul limfosit T
menghadapi APCs tidak berespon dengan cara antigen-spesifik. Oleh karena itu
diasumsikan bahwa ketiadaan patogenik autoimun sel T dan atau kurang reaktif
terhadap senyawa lingkungan yang tampaknya tidak berbahaya (contoh
aeroallergen) di perifer utamanya merupakan konsekuensi dari respon imun aktif.
Pada penerimaan sinyal berbahaya (contoh TLR ligands, chemical haptens,
hipoksia). Situasi cukup berbeda setelah beberapa jam, LCs mulai membesar,
ditunjukkan peningkatan jumlah surface bound MHC class II molecule, dan untuk
pindah ke bawah dermis, dimana mereka memasuki aferen limfatik, dan akhirnya
mencapai daerah sel T dari draining lymph nodes. Selama proses ini, LCs menjalani
perubahan fenotip yang sama terhadap kejadian itu pada kultur sel single epidermal
yang menurunkan regulasi molekul atau struktur yang bertanggungjawab terhadap
pengambilan antigen dan memproses lampiran keratinosit (misalnya Fc receptor,
E-cadherin) dan regulasi gugus yang diperlukan untuk perpindahan aktif dan
stimulasi dari respon yang kuat dari sel T naïve (misal CD40, CD80, CD83, CD86).
Mekanisme pengaturan perpindahan LC menjadi jelas. TNF-α dan IL-1β (pada
caspade 1-dependent fashion) merupakan promoter penting dari proses ini,
sedangkan IL-10 menginhibisi kejadian ini. Meningkatnya produksi kulit dan/atau
pengeluaran sitokin pro-inflamator kemungkinan satu dari mekanisme oleh
senyawa imunostimulator tertentu, diterapkan atau diinjeksikan ke kulit (contoh:
imiquimod, unmethylated cytosine phosphate guanosine (CpG) oligonucleotides

32
mempercepat migrasi LC/DDC. IL-16 juga menginduksi mobilisasi LC. Proses ini
mungkin menjadi operatif pada dermatitis atopi. Pada penyakit ini, lesi DCs pada
kulit menunjukkan IgE permukaan berikatan terhadap afinitas tinggi reseptor Fc
(FcεRI) dan allergen mediated receptor cross linking resulting meningkatkan
produksi IL-16. Rintangan yang penting untuk emigrasi LCs adalah basement
membrane. Selama perjalanan mereka, LCs kemungkinan melampirkan α6-
containing integrin receptors dan memproduksi enzim proteolitik seperti
kolagenase tipe 4 (matriks metalloproteinase 9) untuk berpenetrasi dan sebagai
jalan mereka melalui jaringan dermal ke sistem limfatik. Bukti mengakumulasi
bahwa migrasi LC/DDC terjadi secara aktif. Osteopontin adalah protein kemotaktik
yang penting, yang diawali emigrasi LC dari epidermis dan menarik LCs/DDCs ke
draining nodes oleh interaksi dengan N-terminal epitope dari molekul CD44.
Masuk ke dalam melalui transport aktif dari DCs kulit dalam pembuluh limfatik
muncul diperantarai oleh MCPs terikat dengan CLR2 dan oleh secondary
lymphoid-organ chemokine/CCL21 yang diproduksi oleh sel-sel endotelial limfatik
dari dermis dan berikatan dengan CCR7 pada pematangan LCs dan DDCs.
Menariknya, ekspresi CCL21 diregulasi pada dermatitis kontak iritan dan alergi,
yang mengakibatkan pengaturannya berdampak pada emigrasi DC dari kulit.

33
Sifat Fungsional dari Sel-sel Dendritik. Seperti anggota lainnya dari family DC,
LCs dan DDCs merupakan professional APCs, mempunyai kapasitas yang unik
untuk menstimulasi respon antigen spesifik pada sel T naive. Untuk menyediakan
sifat ini, prinsip dasar dari pengambilan antigen, proses dan presentasi secara
singkat ditinjau.

Prinsip Umum dari Presentasi Antigen


Tidak seperti sel B, sel T tidak dapat mengenali antigen protein terlarut, reseptor
antigen mereka didesain untuk mengenali péptida antigen asal yang berikatan
dengan MHC locus-encoded molecules dan diekspresikan oleh APCs. Untuk
aktivasi antigen spesifik dari sel Th, antigen péptida eksogen asal biasanya
dipresentasikan pada molekul MHC kelas II. Pada situasi ini, peptida dihasilkan di
endositik, endosomal/ jalur lisosom dan berikatan ke molekul MHC kelas II. Hasil
dari MHC-peptida complex diekspresikan pada permukaan APC untuk pertemuan
oleh TCR dari CD4+ sel Th. Berlawanan, kebanyakan CD8+ diperuntukkan

34
menjadi sel T sitotoksik, mengenali antigen endogen dalam asosiasi dengan
molekul MHC kelas I. Karena banyak sel nucleated transkrip dan mengekspresikan
gen MHC kelas I dan produk gen, menjadi bukti bahwa banyak tipe sel dapat
menjadi APCs untuk MHC class I-dependent dilawan oleh sel T. Pada MHC class
II- dependent antigen presentation pathway, DCs, termasuk LCs dan DDCs, sel B
dan monosit/makrofag merupakan populasi APC yang utama.

MHC Class I-Restricted Antigen Presentation


Classic MHC Class I Presentation Pathway. Segera setelah biosintesis, MHC class
I rantai berat dan ringan (β2-mikroglobulin) dimasukkan ke membrane
endoplasmic reticulum. Ketiga subunit dari kompleks MHC class I fungsional
adalah peptida itu sendiri. Sumber utama dari peptida untuk MHC class I adalah
protein sitosol, yang dapat menjadi target untuk kerusakan cepat melalui katalisis
ubiquitin. Material proteinaceus sitosolik dibawah digesti enzim oleh proteasom
yang menghasilkan peptida rantai pendek dari 8-12 asam amino, panjang yang
sesuai untuk ikatan MHC class I. Pada penyesuaian dasar, proteasom merupakan
pabrik yang aktif untuk self-peptida. IFN-γ, menggunakan, menggantikan atau
menambah sub unit proteasom tertentu, menginduksi respon imun. Peptida yang
diproses bertranslokasi ke retikulum endoplasma oleh transporter yang berasosiasi
dengan antigen prosesing (TAP), sebuah MHC-ENCODET dimeric peptide
transporter. Tujuan dari Calnexin, calreticulin, tapasin, MHC kelas I molekul diisi
dengan peptida, dikeluarkan dari retikulum endoplasma dan ditransport ke
permukaan sel. Beberapa agen infeksi yang relevan dengan geologi kulit
mempunyai strategi untuk menumbangkan MHC kelas I, dan kemudian memantau
integritras sel, dengan mengganggu target molekul. Contoh yang penting seperti
gangguan adalah inhibisi dari fungsi proteasom oleh Epstein Barr virus-encoded
EBMA-I protein. Kompetisi untuk peptide-TAP interaksi oleh herpes simplex virus
protein dan penyimpanan atau destruksi dari molekul MHC kelas I oleh adeno virus
dan produk human cytomegalo virus-encoded.

35
Alternatif Major Histocompability Complex Class I Presentation Pathways
(Cross-presentation)
Di bawah kondisi tertentu, antigen eksogen dapat mencapai jalur presentasi MHC
kelas I. Bukti nyata untuk cross-presentation pertama datang dari eksperimen
invivo pada tikus yang menunjukkan bahwa viral, tumor, antigen MHC dapat di
transfer dari MHC-mismatched donor sel ke bone morrow-derived APCs host untuk
memperoleh antigen spesifik sitotoksit respon sel T yang terbatas pada molekul sel
MHC. Study in vitro sekarang mendefinisikan bahwa eksosom (vesicel sekretori
kecil) kira-kira diameter 100 nm disekresikan oleh berbagai macam tipe sel
termasuk sel-sel tumor, protein heat shock, kompleks imun, dan sel-sel apoptotik
(diambil melalui CD36 dan αvβ3 atau αvβ5 integrins) semua bisa bertindak sebagai
wahana-wahana untuk pengiriman dari antigen kepada DCs dengan cara

36
mengijinkan presentasi dari antigen. Semua sistem in vitro dimana perbandingan
langsung telah dibuat, DCs, mencakup LCs, tetapi tidak monosit/makrofag, mampu
melakukan presentasi silang. Tiga jalur yang berbeda saat ini dieksploitasi oleh
antigen yang dapat mengakses molekul MHC kelas I dari DCs: (1) jalur daur ulang
untuk MHC kelas I dimana antigen terisi di endosom; (2) jalur dengan mana
transpor antigen mundur dari endosom ke retikulum endoplasmik memberikan
fasilitas masukan ke dalam jalur presentasi antigen kelas MHC kelas I, dan (3) jalur
transport dari endosom ke sitosol yang memungkinkan antigen memproses melalui
jalur presentasi antigen MHC klasik kelas I.

Major Histocompatibility Complex Class II-Restricted Antigen Presentation.


Molekul MHC kelas II sebagian besar mengikat peptida di dalam endosomal/
kompartemen lisosom. Peptida organella subseluler memungkinkan molekul kelas
I untuk berasosiasi dengan susunan peptida yang diperoleh dari target protein untuk
degradasi setelah internalisasi dengan cara endositosis atau makropinositosis yang
diperantarai reseptor. Salah satu dari perbedaan struktural yang mencolok antara
molekul MHC kelas I dan kelas II adalah penyesuaian dari alur ikatan peptida.
Molekul MHC kelas I mempunyai ikatan untuk mengakomodasikan peptida
terminal dan dengan selektif menghubungkan dengan peptida pendek, tempat
ikatan dari molekul MHC kelas II dimana membuka pada kedua ujung. Dengan
begitu, molekul MHC kelas II mengikat peptida dengan panjangnya 15-22 asam
amino. MHC kelas II α dan β yang baru saja disintesis berkumpul pada
stoichiometric kompleks dengan trimers jenis II trans-membrane glycoprotein
invarian rantai (Ii). Asosiasi dengan Ii menyokong sedikitnya tiga cara berbeda
pada fungsi kelas II molekul: (1) Pengumpulan Ii mempromosikan lipatan yang
sesuai dari molekul kelas II di endoplasmik retikulum; (2) bagian abluminal Ii berisi
urutan sinyal yang memberikan fasilitas ekspor dari kelas MHC II-Ii kompleks
melalui sistem golgi ke endosom/lisosom; dan (3) Ii mencegah molekul kelas II dari
pengisian prematur oleh peptida yang dimaksudkan untuk ikatan terhadap molekul
MHC kelas I di retikulum endoplasma. Segmen Ii berfungsi sebagai sebuah
kompetitor untuk ikatan ke peptida ke kelas II yang dinamakan class II-associated
Ii peptide (CLIP; residu 81-104 dari Ii).

37
CD1-Dependent Antigen Presentation. Di samping peptida, self-
glycosphingolipids dan lipoglycans bakteri dapat bertindak sebagai T cell-
stimulatory ligands. Molekul yang mengikat dan menyajikan ini merupakan
keluarga dari nonpolymorphic, kelas MHC I dan II yang berhubungan dengan
protein CD1. Pada kulit, anggota dari famili CD1 diekspresikan terutama oleh LCs
dan DDCs . CD1 membentuk CD1a, CD1b, CD1c, dan CD1d didaur ulang di sistem
endositik awal dan akhir endosom serta lisosom dimana lipid antigen diantarkan.
Tidak seperti jalur MHC kelas II, antigen memuat jalur CD1 terjadi dalam satu
vacuolar acidification-independent fashion. Sel-sel T mengekspresikan Vα24-
containing canonic. TCR, sel-sel NKT, dan sel T CD4-/CD8- meliputi bagian yang
paling menonjol dari sel T CD1-restricted. Sel T CD1-restricted memainkan
peranan penting dalam pertahanan host melawan infeksi mikroba. Karenanya, pada
subjek manusia yang terinfeksi dengan M. tuberculosis menunjukkan respon lebih
kuat pada presentasi CD1 diperantarai lipid antigen dibandingkan subjek kontrol,
dan aktivasi dari CD1-restricted NKT cells dengan antigen glikolipid sintetis,
antigen yang menghasikan peningkatan respon imun pada beberapa patogen
infeksius. Dengan begitu, jalur CD1 presentasi antigen dan sel-sel T spesifik
glikolipid dapat memberikan perlindungan selama infeksi bakteri dan parasit,
kemungkinan oleh sekresi sitokon proinflamatori, pembunuhan langsung dari sel
target yang terinfeksi dan sel B dapat membantu memproduksi immunoglobulin.

KULIT-TEMPAT INISIASI DAN TARGET DARI RESPON IMUN


Pada tahun 1983, Wayne Streilein mengusulkan istilah skin-associated
lymphoid tissue,untuk menggambarkan fungsi interaktif dari sel-sel dan jaringan
(dendritic APCs, cyto-kine-producing keratinocytes, dan skin homing sel-sel T
dalam skin draining peripheral lymph nodes) yang menyediakan kulit dengan
mekanisme immunosurveillance unik untuk keberhasilan pencegahan dari
pertempuran melawan kanker dan penyakit infeksi. Sel-sel dan jaringan ini juga
mengamankan homeostasis host dengan cara menurunkan ekspresi dari respon
imun yang berlebihan yang menyebabkan kerusakan jaringan seperti autoantigen
dan alergen tertentu. Penting untuk mengetahui situasi yin-yang, di bawah kondisi

38
homeostatik, mayoritas dari antigen-presenting DCs pada keaadan matur
memungkinkan mereka secara efisien mengambil antigen dengan bantuan tempat
reseptor yang spesifik (misalnya Langerin, macrophage mannose receptor, C-ype
lectin receptor DEC-205, afinitas-rendah IgG sel peka rangsangan CD32/FcyRII,
afinitas-tinggi IgE receptor FcεRI, sel peka rangsangan thrombospondin CD36,
DC-SIGN), tetapi tidak memiliki imunostimulator untuk sel T naive. Pada
pengantaran sinyal berbahaya, DCs di bawah metamorfosis fenotipik dan
fungsional memungkinkan untuk menjadi produktif dan pada keadan optimal,
melindungi respon imun. Diasumsikan bahwa induksi dari antigen spesifik yang
tidak respon terjadi ketika antigen dipresentasikan dalam konteks non-
dendritic APCs (nonprofessional APCs). Observasi awal dimana aplikasi hapten
terhadap LC-deficient kulit atau mukosa menghasilkan toleransi spesifik hapten.
Bukti yang lebih lanjut sekarang bahwa DCs/ LCs dapat secara aktif
menginduksi toleransi imun. In vitro, DCs immatur mengaktivasi sel-sel Treg. In
vivo, pada steady state, DCs menginduksi toleransi target antigen spesifik terhadap
sel-sel ini. Mekanisme yang bertanggungjawab untuk sifat menginduksi toleransi
DCs yang nonaktif, meskipun sepenuhnya tidak dimengerti, meliputi (1).
Pengurangan ekspresi dari kompleks MHC-antigen dan molekul co-stimulatori
pada permukaan sel. (2). Sekresi dari sitokin imunosupresif seperti IL-10, yang
cocok untuk induksi oleh irradiasi UV, IL-10 memproduksi sel-sel Treg. (3).
Ekspresi dari enzim imunoinhibitor seperti indoleamine 2,3-dioxygenase. (4)
Penerimaan sinyal mengganggu dengan maturasi dan migrasi dari DCs, seperti
contoh, neuropeptida seperti CGRP dan vasoactive intestinal peptide berikatan
dengan CD47/SHPS-1 kaskade tranduksi sinyal dan lainnya. Munculnya faktor-
faktor yang berbeda ini tidak sama operatif dalam semua situasi. LCs, contohnya,
dapat mengaktivasi self antigen spesifik sel T CD8 pada steady state, pada penyakit
kulit kronis dan pada waktu yang sama, LCs tidak diperlukan atau dapat
menurunkan induksi dari CHS. Gangguan dari homeostasis jaringan (misalnya
penghantaran sinyal yang berbahaya) memulai seri dari peristiwa molekular yang
memungkinkan DCs perifer secara cepat bermigrasi ke organ limfoid sekunder,
perjalanan selama mereka matur menjadi sel-sel poten imunostimulator mampu
mensensitisasi unprimed limfosit untuk respon yang produktif. Ini dapat dengan

39
baik dicontohkan dengan manipulasi yang sederhana yaitu kultur dari kulit yang
hipoksia rupanya cukup untuk memicu migrasi dan maturasi dari DCs kulit. Contoh
lain adalah aplikasi topikal pada kontak sensitiser (contohnya dinitrofluorobenzene)
yang mengaktivasi protein tyrosine kinase tertentu, modifikasi dari konten seluler
dan struktur dari organela intrasitoplasmik. Sitokin, dikeluarkan sebagai
konsekuensi dari fisika kimia atau gangguan jaringan yang berhubungan dengan
infeksi atau ligasi dari molekul CD40 pada permukaan DC/LC, memberikan sinyal
yang penting untuk induksi dari maturasi LC. Tapi bagaimana sel-sel dapat
mengenali sinyal berbahaya dan menerjemahkannya sehingga dapat meningkatkan
produksi sitokin? Sebuah jalur biologis yang relevan adalah dengan sinyal maturasi
tertentu yang dihantarkan kepada DCs-LCs oleh pengambilan sel-sel mikrotik.
Fakta bahwa LCs mampu untuk presentasi silang dapat menjadi sebuah mekanisme
penting dalam menghasilkan respon imun protektif anti tumor. Keberhasilan
pertahanan terhadap mikroorganisme melibatkan pengenalan pola molekul yang
berhubungan dengan patogen melalui anggota-anggota dari family protein TLR,
sebelas anggota yang sudah dapat diklasifikasikan. Sekarang ada bukti bahwa LCs
manusia mengekspresikan messenger RNA yang dikodekan yaitu TLR1, TLR2,
TLR3, TLR5, TLR6 dan TLR10. Ligan dari TLR1, TLR2 dan TLR6 termasuk lipo
protein dari M. Tuberculosis, B. burdogferi, T. pallidum, Mycobacterial lipo-
arabinomanan, peptidoglycan, zymo-san dan glycophosphatidyl inositol anchors
dari T. pallidum dan T. cruzi lipoprotein. Sedangkan TLR5 mendeteksi bacterial
flagenlin, TLR3 berasosiasi dengan pengenalan dari virus double-stranded RNA.
Untuk tujuan imunoterapi perhatian khusus sudah difokuskan pada TLR7, TLR8
dan TLR9 yang merupakan reseptor intra selular untuk asam nukleat. TLR7 dan
TLR8 diikat oleh virus single-stranded RNA dan oleh molekul kecil sintetik yang
mirip dengan asam nukleat seperti imiquimod dan R-848. TLR9 mengenali
oligodeoxynucleotides (ODNs) yang berisi unmethylated CpG motifs (CpG ODN),
yang kurang dipresentasikan pada mamalia tapi banyak pada DNA virus dan
bakteri. Ligan TLR7 dan TLR9 mempunyai efek pada sistem imun kulit. Imiquimot
imidazoquinolines lainnya menginduksi inflamasi yang kuat dan akhirnya regresi
dari akantoma virus dan neoplasma superfisial kulit lainnya. CpG ODNs
mempromosikan migrasi LC dan mempromasikan perkembangan dari respon TH1.

40
Masih belum jelas bagaimana aplikasi topikal dari ligan TLR7 dan TLR8 dapat
menyebabkan respon inflamatori yang kuat karena masing-masing reseptor secara
dominan diekspresikan pada pDCs yang merupakan produsen utama dari IFNs tipe
I dan biasanya tidak ada di kulit normal manusia. Induksi dari kerusakan sel kulit
atau kematian sel dari sistem imun bawaan seharusnya tidak mengurangi fakta
bahwa mekanisme adaptif bertanggung jawab untuk reaksi imun yang diinginkan
pada kulit, contohnya eliminasi dari mikroorganisme patogen dan sel-sel
neoplastik. Begitu juga dengan kerusakan kulit yang diperantarai imun. Contoh
yang terakhir adalah penyakit bullous seperti pemphigus dan pemphigoid bullous.
Meskipun diperantarai oleh auto antibodi, penyakit kulit lainnya merupakan hasil
dari reaksi sel-sel T yang berlebihan dan atau salah arah. Sistem imun kulit juga
dipengaruhi oleh berbagai macam imun modulator yang diaplikasikan ke kulit.
Efikasi dari imidazoquinolines dan CpG oligonucleotides pada neoplasma kulit
sudah didiskusikan dan diprediksi bahwa target yang lebih selektif dari LCs-DDCs
akan meningkatkan efikasi toleransi dan keamanan. Kortikosteroid merupakan
imunoinhibitor dan anti inflamasi yang paling sering digunakan pada dermatologi,
mempunyai pengaruh pada fenotip dan fungsi lekosit kulit pada level topikal dan
sistemik. Setelah aplikasi topikal dari betamethasone valerate untuk beberapa hari,
dapat terlihat dengan jelas apoptosis pada populasi LC epidermal dan terapi yang
berkelanjutan pada epidermis dapat menghabiskan sel-sel ini, yang dinamakan
inflammatory-type DCs, (inflammatory dendritic epidermal cells dan pDCs), yang
mungkin hampir sama dengan kortikosteroid dimana merupakan salah satu alasan
pemakaian topikal kotikosteroid pada pengobatan dermatitis akut/ eczema. Efek
dari calcineurin inhibitors tacrolimus dan pimecrolimus topikal lebih selektif.
Aplikasinya pada kulit pasien dermatitis atopik dapat menyebabkan apoptosis-
induced depletion of T cells. Waktu juga yang akan mengatakan apakah efek yang
berbeda dari kortikosteroid topikal dan inhibitor calcineurin pada sistem imun kulit
mempunyai pengaruh pada keamanan jangka panjang. Topical immunomodulasi
sekarang berkembang dengan cepat karena: (1) meningkatnya pengetahuian tentang
fungsi imun kulit, dapat mengidentifikasikan target obat yang menjanjikan, (2)
metode komputerisasi yang baru dari design obat, (3) teknologi baru yang
memungkinkan penetrasi yang lebih baik dari senyawa yang diberikan ke kulit

41
untuk mencapai target yang diinginkan. Perkembangan ini merupakan era emas dari
imunoterapi kulit dan pengetahuan yang baik bagi dermatologist yang memerlukan
penggunaan terapi untuk manfaat yang maksimum pada pasien.

42

Anda mungkin juga menyukai