Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis
kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya. Emfisema Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak
penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita
asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi
kriteria PPOK.1

2.2 Epidemiologi

Insidensi PPOK penduduk negeri belanda adalah 10-15 % pria dewasa, 5% wanita
dewasa dan 5% anak-anak.faktor resiko yang utama adalah rokok, perokok mempunyai resiko
4 kali lebih besar dari pada bukan perokok,dimana faal paru cepat menurun. Penderita pria :
wanita = 3-10 : 1 2,3

Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan faktor alergi dan hiperaktifitas
bronkus. Didaerah perkotaan. Insidensi PPOK 1 ½ kali lebih banyak dari pada di pedesaan.
Bila seseorang pada saat anak-anak sering batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua
sering timbul emfisema.2

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.2
2.3. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor lingkungan dan endogen termasuk faktor genetik yang
berperan dalam berkembangnya penyakit paru obstruktif kronis. Defisiensi enzim alfa 1
antitripsin merupakan faktor predisposisi untuk berkembangnya PPOK secara dini.1 Alfa 1
antitripsin merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, berfungsi dalam
melindungi paru-paru dari kerusakan. Enzim ini berfungsi untuk menetralkan tripsin yang
berasal dari rokok. Jika enzim ini rendah dan asupan rokok tinggi maka akan mengganggu
sistem kerja enzim tersebut yang bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan. Defisiensi
enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda yaitu pada mereka yang tidak merokok,
onsetnya sekitar usia 53 tahun manakala bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.3,4

Hiperresponsivitas dari saluran napas ditambah dengan faktor merokok akan


meningkatkan resiko untuk menderita Penyakit paru obstruktif kronis disertai dengan
penurunan fungsi dari paru-paru yang drastis. Selain itu, hiperaktivitas dari bronkus dapat
terjadi akibat dari peradangan pada saluran napas yang dapat diamati pada bronkitis kronis
yang berhubungan dengan merokok. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya ‘remodelling’ pada
saluran napas yang memperparahkan lagi obstruksi pada saluran napas pada penderita penyakit
paru obstruktif kronis.3,4

Faktor lingkungan seperti merokok merupakan penyebab utama disertai resiko


tambahan akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota. Sebagian pasien mengalami
asma kronis yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Faktor resiko lainnya yang berimplikasi
klinis termasuk selain hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan
paru pada janin, dan status sosioekonomi rendah.3,4

2.4 Patofisiologi

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini adalah
merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.4,5

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK


yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal,
perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik
dan perubahan struktural pada paru. Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis
PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel
untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil.
Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada
paru-paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan
formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan
restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurangakibat penebalan mukosa
yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. 5,6

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang.Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebasmempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari
berbagai macam penyakit paru. 6,7
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial, hipersekresi
mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel,
menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses
inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada
parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease menyebabkan
emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru
dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-
kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan
timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK.5,6

Gambar 2.1 Konsep patogenesis PPOK


Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan
kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar,
aktivasi sel tersebut akanmenyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti
interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF),monocyte chemotactic
peptide(MCP)-1 danreactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang
neutrofil melepaskan protease yang akanmerusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul
kerusakan dinding alveolar danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan
dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada
keadaan normal terdapatkeseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang
ada dipermukaan makrofagdan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen
menjadi anion superoksidadengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen
peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri
menjadi ion fero, ion fero denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).

Gambar 2.2 Patogenesis PPOK


Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang
terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2
rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari
alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd),
menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk
mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk
mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan
terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.6,7

2.5 Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi atas
4 derajat :7,8,9
2.5.1 Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran
udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang
tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2.5.2 Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <
VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini
pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
2.5.3 Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk
(VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin
memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak
pada kualitas hidup pasien.
2.5.4 Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 <
30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik
dan gagal jantung kanan. Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala
penderita, oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin
tidak bisa diprediksi dengan VEP1
2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala.
Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik
lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis. Gejala klinis
yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut.8,9,10

a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir
yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang
hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk. Karakterisktik
batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
c. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas
sesuai skala sesak.
Perlu diperhatikan juga untuk beberapa faktor risiko berikut:

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat pasien dan
keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat. Merokok merupakan faktor
resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada penyakit ini berkaitan dnegan
merokok dan orang yang merokok memiliki resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang
tidak merokok. Resiko untuk perokok aktif sekitar 25%.6,9,10

Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus PPOK. Faktor
resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan kronis polutan
lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada
keluarga dan defisiensi α1-antitripsin. Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-
kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk
kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.10,11,12

2.6.2 Pemeriksaan fisik

 Inspeksi

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai

- Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing
- Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
 Palpasi

- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar


 Perkusi

- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma


rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi

- Suara napas vesikuler normal, atau melemah


- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh

2.6.3 Pemeriksaan penunjang

Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan


spirometri.The National Heart, Lung, dan Darah Institute merekomendasikan spirometri untuk
semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk,
mengi, atau dahak persisten. Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur
sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh praktisi
kesehatan. 12,13

Gambar 2.3 Derajat PPOK


Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1
s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan
secara pak dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi
dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang
pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.13,14
Uji bronkodilator dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal
dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.12,13

Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa tes tambahan
berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada harus dilakukan untuk
mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan
dan computed tomography untuk memonitor kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus
dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.Hal ini wajar untuk melakukan
elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk
mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga,
dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen
tambahan.12,14

2.6.4 Diagnosis banding


- Asma

- SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)

Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita


pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

- Pneumotoraks

- Gagal jantung kronik

- Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.

- Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.
Tabel 2.4 Perbedaan Asma, PPOK, dan SOPT

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-
farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala,
mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi,
menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi
angka kematian.13,14
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan
merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta
memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.13,14
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan
pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti kortikoteroid, antibiotic dan
antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal
atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan denganklasifikasi derajat berat
penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting). 13,14
Macam-macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagaibronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kaliperhari).
b. Golonganβ– 2 agonis.
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnyaeksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakanbentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapatdigunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkanuntuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutanatau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik danβ– 2 agonis.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yangberbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi
lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat.Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas),bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasiakut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :13,14

1. Gagal napas

- Gagal napas kronik

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

2. Infeksi berulang

3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik :


- Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan , jaga keseimbangan Po2 dan PCo2, bronkodilator adekuat, terapi
oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur, antioksidan

Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing Gagal napas akut pada gagal napas kronik,
ditandai oleh :

- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

- Sputum bertambah dan purulen

- Demam

- Kesadaran menurun

- Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

Kor pulmonal :

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan

Daftar Pustaka

1. Anonim 2008. Konsensus PPOK. Tersedia di:


http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/konsensus-ppok
2. Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, p. 16-19 Didapat dari
: http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
3. BMJ. ABC of COPD.2006. [Cited] 17 Maret 2011. Didapat dari:
http://www.bmj.com/content/332/7552/1261.full
4. Corwin EJ 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, p. 437-8.
5. DMI. 2006.Acuan Penanganan PPOK Terkini. Tersedia di:
www.kalbe.co.id/news/seminar/acuanpenangananppokterkini
6. Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et all 2011. Inhaled Corticosteroids in
Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of American
Medical Association, p. 2408-2416.
7. Irwanto 2010. Penyakit Paru Obstruktif Kronis.. Didapat dari: hhtp://Irwanto-
FK04USK.blogspot.com/2010/08/Penyakit-Paru-Obstruktif-Kronik-PPOK.html
8. Rahajeng 2009. Penggunaan Rasional Antibiótica Pada Pasien PPOK. . Didapat
dari:http://dokterblog.wordpress.com/2009/05/01/penggunaan-rasional-antibiotik-
pada-pasien-ppok/
9. Rani AA 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD FKUI, p. 105-8
10. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 984-
5.
11. Roberto RR et all 2007. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and
Prevention. USA. Tersedia di http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
12. Sin DD, McAlister FA, Paul SF, et all 2003. Management of chronic obstructive
pulmonary disease (COPD). Journal of American Medical Association, p 2302-
2312.
13. Slamet H 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta:. p. 1-18.
14. Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator therapy for COPD. New England Journal
Medicine. Diakses tgl 6 Agustus 2011.

Anda mungkin juga menyukai