Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT


UNIVERSITAS PATTIMURA (FEBRUARI 2019)

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


(PPOK)

DISUSUN OLEH:
Apriana Rurman Labok (2012-83-054)

Pembimbing :
dr. Ria Jewerissa, Sp.PD, M. Biomed

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan Referat ini. Dalam referat ini penulis

menjelaskan mengenai penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penulis

menyadari, dalam referat ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini

disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan pengalaman, namun

demikian banyak pula pihak yang telah membantu dengan menyediakan dokumen

atau sumber informasi, dan memberikan masukan pemikiran. Oleh karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembimbing. Semoga referat ini dapat

bermanfaat bagi kami Koass dan dapat memotivasi kami untuk lebih giat lagi

dalam belajar.

Ambon, Februari 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………. i
DAFTAR ISI………………………………………………………… ii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA………………………………………………………........
2.1 ANATOMI PARU 2
2.2 FISIOLOGI PARU………………………………………………. 4
2.3 PPOK…………………………………………………………….. 9
2.3.1 DEFENISI……………………………………………………… 9
2.3.2 EPIDEMIOLOGI………………………………………………. 9
2.3.3 FAKTOR RESIKO…………………………………………….. 10
2.3.4 ETIOLOGI……………………………………………………..
2.3.5 PATOFISIOLOGI. 12
2.3.6 GEJALA KLINIS………………………………………………. 13
2.3.7 KLASIFIKASI………………………………………………… 14
2.3.8 PENEGAKAN DIAGNOSIS…………………………………. 15
2.3.9 DIAGNOSA BANDING………………………………………. 20
2.3.10 TATALAKSANA…………………………………………….. 21
2.3.11 KOMPLIKASI………………………………………………... 24
2.3.12 PROGNOSIS…………………………………………………. 25
BAB III 26
PENUTUP……………………………………………………………
KESIMPULAN……………………………………………………… 26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………. 27
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang


dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang
signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap
individual.1

Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih


penting dari faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering
dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi
utama dari protease serin.1

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : PPOK ringan, PPOK sedang, PPOK
berat, PPOK sangat berat.2

Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas,


batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, dan terdapat faktor resiko. PPOK
ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Gold standart untuk menegakkan PPOK
adalah uji spirometri.1

Penatalaksanaan bisa dibedakan berdasarkan derajat tingkat keparahan


PPOK. PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai peningkatan keluhan/gejala pada
penderita PPOK berupa 3P yaitu: Peningkatan batuk/memburuknya batuk,
Peningkatan produksi dahak/phlegm dan peningkatan frekuensi napas. Komplikasi
bisa terjadi gagal nafas, infeksi berulang dan cor pulmonal. Prognosa PPOK
tergantung dari stage/ derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. Anatomi dan fisiologi Paru


2.1 Anatomi Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya

berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru

terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai

tiga lobus sedangkan paru- paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus

tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi

beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut

bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang

yang disebut mediastinum.4

Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi

pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung

membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada

rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum

pleura.5 Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.

Pembentukan paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut. Pada

Groove terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut

Primary Lung Bud. Bagian proksimal foregut membagi diri menjadi 2 yaitu

esophagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung

dengan primary lung bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan

cabang-cabangnya. Bronchial-tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu,


sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus

meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Alveoli bertambah besar sesuai dengan

perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan paru

berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan somatic berhenti.6

Gambar 3. Anatomi paru7

Sistem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian atas dan

pernafasan bagian bawah. Pernafasan bagian atas meliputi, hidung, rongga

hidung, sinus paranasal, dan faring. Pernafasan bagian bawah meliputi, laring,

trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus paru.5 Pergerakan dari dalam ke luar

paru terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah

pergerakan dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan

dari dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar

dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru.

Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu :


a. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,

sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.

b. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan

interkostalis internus.5

Gambar 4. Otot-otot pernafasan inspirasi dan ekspirasi.7

2.2 Fisiologi Paru


Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan
normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga
paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada ruangan
antara paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer.5
Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme
seseorang, tapi pernafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan
karbon dioksida tersebut.5 Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa
yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-
paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru
(alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan
karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari
300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis. Ruang udara tersebut
dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat
menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis.5
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat
mekanisme dasar, yaitu:

a. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan
atmosfer
b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah
c. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh
ke dan dari sel
d. Pengaturan ventilasi.5

Pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi, tetapi


pengeluaran pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup
dalam, penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru
dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi
semula. Aktivitas bernafas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk
sewaktu bernafas dalam dan volume udara bertambah.5

Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Inspirasi menaikkan


volume intratoraks. Selama bernafas tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5
mmHg relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun
sampai -6mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan
tertanam dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir
ke dalam paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi
ekspirasi dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan
dalam jalan pernafasan seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir
ke luar dari paru-paru.5

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat


elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga
udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi
sama kembali pada akhir ekspirasi.8 Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu,
perpindahan oksigen dari alveol ke dalam pembuluh darah dan berlaku
sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari daerah yang
bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang berpengaruh
pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor
sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru
ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah.5

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru adalah:


a. Usia
Kekuatan otot maksimal pada usia 20-40 tahun dan dapat berkurang
sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan terjadi
penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan
kapasitas paru.
b. Jenis kelamin
Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi 20-25% dari pada wanita,
karena ukuran anatomi paru laki-laki lebih besar dibandingkan wanita.
Selain itu, aktivitas laki-laki lebih tinggi sehingga recoil dan compliance
paru sudah terlatih.
c. Tinggi badan dan berat badan
Seorang yang memiliki tubuh tinggi dan besar, fungsi ventilasi parunya
lebih tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek.2
2.2.1 Volume dan kapasitas paru
Menurut Guyton5 volume paru terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi
pada setiap kali pernafasan normal. Besarnya ± 500 ml pada rata-rata
orang dewasa.
b. Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang
diinspirasi setelah volume tidal, dan biasanya mencapai ± 3000 ml.
c. Volume Cadangan Eskpirasi adalah jumlah udara yang masih dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal,
pada keadaan normal besarnya ± 1100 ml.
d. Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam
paru-paru setelah ekspirasi kuat. Besarnya ± 1200 ml. Kapasitas paru
merupakan gabungan dari beberapa volume paru dan dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:

e. Kapasitas Inspirasi, sama dengan volume tidal + volume cadangan


inspirasi. Besarnya ± 3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang
dapat dihirup seseorang mulai pada tingkat ekspirasi normal dan
mengembangkan paru sampai jumlah maksimum.

f. Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan


inspirasi + volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan
besarnya udara yang tersisa dalam paru pada akhir eskpirasi normal.

g. Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume


tidal + volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan
merupakan jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru,
setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal dan kemudian
mengeluarkannya sebanyak-banyaknya.

h. Kapasitas Vital paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC)


adalah volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah
inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum.
Hasil ini didapat setelah seseorang menginspirasi dengan usaha
maksimal dan mengekspirasi secara kuat dan cepat ( Ganong, 2005).

i. Volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1) atau Forced Expiratory


Volume in One Second (FEV1) adalah volume udara yang dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum per satuan detik. Hasil ini
didapat setelah seseorang terlebih dahulu melakukakn pernafasan
dalam dan inspirasi maksimal yang kemudian diekspirasikan secara
paksa sekuat-kuatnya dan semaksimal mungkin, dengan cara ini
kapasitas vital seseorang tersebut dapat dihembuskan dalam satu
detik.

j. Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu.


Besarnya ± 5800ml, adalah volume maksimal dimana paru
dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa.Volume dan
kapasitas seluruh paru pada wanita ± 20 – 25% lebih kecil daripada
pria, dan lebih besar pada atlet dan orang yang bertubuh besar
daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis.5

Tabel 1. Daftar nilai KVP dan VEP1 beserta interpretasinya

Klasifikasi Nilai

Normal KVP≥ 80%, VEP1/KVP≥75%

Gangguan Obstruksi VEP1< 80% nilai prediksi,


VEP1/KVP< 70% nilai prediksi

Gangguan Restriksi Kapasitas Vital (KV)< 80% nilai


prediksi, KVP<80%

Gangguan Campuran KVP< 80% nilai prediksi,


VEP1/KVP< 75% nilai prediksi

Klasifikasi nilai KVP dan VEP19

2.2.2 Makna dari volume dan kapasitas paru

Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah bentuk anatomi


tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernafasan dan
pengembangan paru dan rangka dada. Volume udara normal dalam paru
bergantung pada bentuk dan ukuran tubuh. Posisi tubuh juga mempengaruhi
volume dan kapasitas paru, biasanya menurun bila berbaring, dan meningkat bila
berdiri. Perubahan pada posisi ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu
kecenderungan isi abdomen menekan ke atas melawan diafragma pada posisi
berbaring dan peningkatan volume darah paru pada posisi berbaring, yang
berhubungan dengan pengecilan ruang yang tersedia untuk udara dalam paru.
Berdasarkan nilai-nilai diatas fungsi paru dapat digolongkan menjadi dua yaitu
gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif (hambatan
pengembangan paru). Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru
obstruktif bila nilai VEP1/KVP kurang dari 70% dan menderita gangguan fungsi
paru restriktif bila nilai kapasitas vital kurang dari 80% dibanding dengan nilai
standar.5

2.3 PPOK
2.3.1 Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik


dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang berbahay.2

2.3.2 Epidemiologi

Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda
dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika
kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang
berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.
Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan
kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah dari
partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut. Insidensi pada pria > wanita.
Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat dengan semakin
bertambahnya jumlah perokok wanita.10
2.3.3. Faktor Resiko

Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-


partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya.2

1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru dan mortalitas yang lebih tinggi daripada
orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK bergantung pada
“dosis merokok” nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok
yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok.1
2. Enviromental Tobacco Smoke (ETS)
Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat
mengalami gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikel-
partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru
“terbakar”.1
3. Merokok selama masa kehamilan
Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko
kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan
perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga dapat
mengganggu sistem imun dari janin tersebut.5
4. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)5
5. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan.
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang,
kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk
memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Ini
memungkinkan bahwa wanita di negara berkembang memiliki angka kejadian
yang tinggi terhadap kejadian PPOK.11 Sehingga IAP memiliki tanggung jawab
besar jika dibandingkan dengan polusi di luar ruangan seperti gas buang
kendaraan bermotor.
6. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan.1
7. Jenis kelamin
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa
ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh
perubahan pola dari merokok itu sendiri. Namun hal tersebut masih
kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita
lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan perokok pria. Di negara
berkembang wanita lebih banyak terkena paparan polusi udara yang berasal dari
asap saat mereka memasak.11
8. Status sosioekonomi dan status nutrisi
Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A, C, E, kadang-kadang
berhubungan dengan peningkatan resiko terkena PPOK, meskipun banyak
penelitian terbaru menemukan bahwa vitamin C dan magnesium memiliki
prioritas utama.11
9. Asma
Orang dengan riwayat asma pada usia pertengahan memiliki resiko
memiliki kemungkinan mendapatkan PPOK.5
10. Usia
Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan5
11. Faktor Genetik
Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia.5

2.3.4 Patofisiologi

Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas,


parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Diberbagai bagian paru
dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel
radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti Leukotrien
B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan
inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting
yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.8
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar
(central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru dan
vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang
pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan
jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi bronkus.
Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya
siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini akan
menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran napas dengan
peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang
menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada
parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema sentrilobuler.
Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa
terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary capilary bed.

Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh


darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang
pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan
infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah
lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding
pembuluh darah bertambah tebal.8

Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran


napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak.
Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2mm)
menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena
metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.5,8
Konsep Patogenesis PPOK8

2.3.5 Gejala Klinis

Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu sesak napas dan


batuk. Adapun gejala yang terlihat seperti :
1. Sesak Napas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan
lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah
berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.
2. Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu
pagi hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila
eksaserbasi.
3. Sesak napas (wheezing)
Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini menunjukan
komponen reversibel penyakitnya. Bronkospasme bukan satun-satunya
penyebab wheezing. Wheezing pada PPOK terjadi saat pengerahan tenaga
(exertion) mungkin karena udara lewat saluran napas yang sempit oleh
radang atau sikatrik.
4. Batuk Darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran
napas yang radang dan khasnya “blood streaked purulen sputum”.
5. Anoreksia dan berat badan menurun
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek8

2.3.6 Klasisifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat :2

a. Derajat I: PPOK ringan


Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada
derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya
abnormal.
b. Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50%
< VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas.
Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena
sesak nafas yang dialaminya.
c. Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi
sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan
eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
d. Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya
gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh
sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin
tidak bisa diprediksi dengan VEP1
2.3.7 Alur penegakan diagnosis5,8,10

Diagnosis dibuat berdasarkan :


1. Anamnesis:
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
 Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Keterangan :
 Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed – lips breathing.
 Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
 Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda:


- pasien biasanya tampak kurus dengan Barrel shaped chest
- fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada
- perkusi dada hipersonor, batas peru hati lebih rendah
- suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, suara tambahan (ronkhi
atau wheezing)

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin:
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
 Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.
 Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
 Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular
shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus
menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan
pembuluh darah pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.

Normal Hyperinflation

Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


a. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
e. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia. riwayat penyakit yang ditandai dengan gejala-gejala diatas.
PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk
dengan dahak atau sesak napas dan atau riwayat terpapar faktor resiko.
Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan obyektif adanya hambatan aliran
udara (dengan spirometri).5

2.3.8 Diagnosa Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca


TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal
jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik
dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003.10

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada


PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik

2.3.9 Penatalaksanaan10

1. Edukasi
2. Obat-obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan
edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma. Secara umum bahan edukasi yang harus
diberikan adalah :
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (merokok)
- Penyesuaian aktifitas

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah


diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu
itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan
edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang
ireversibel.
Edukasi berdasarkan derajat penyakit:
Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap
melalui saluran nafas), nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas
lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik,
golongan agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan beta-2 dan
golongan xantin.
b. Anti inflamasi
Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral
(diminum) atau injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini
berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi. Dipilih golongan
metilpradnisolon atau prednison.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang
digunakan untuk lini pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan
untuk lini kedua diberikan amoksisilin dikombinasikan dengan asam
klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas
hidup. Digunakan N-asetilsistein, dan dapat diberikan pada PPOK
dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian
yang rutin.
e. Mukolitik (pengencer dahak)
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian jangka panjang.
a. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati
3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan
yang mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi
oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
oksigenasi dalam sel dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ-organ lainnya.
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal
napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
intubasi atau tanpa intubasi.
5. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan
terjadinya hipermetabolisme.
6. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini
dapat dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh
suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori
terapis dan psikolog. Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik,
psikososial dan latihan pernapasan.

2.3.9 Kompklikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas


kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan
kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas
darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat
normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak
napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen,
demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang
berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan
terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG,
hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).10

2.3.10 Prognosis
DAFTAR PUSTAKA

1. Slamet H. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di


Indonesia. Jakarta: 2006. p. 1-18.
2. Antonio et all. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease : USA,2007.p. 16-
19 Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
3. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI, 2006 p. 984-5.
4. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC; 2011
5. Guyton A.C, J.E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC, 2007
6. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed. 6. Jakarta:
EGC; 2006
7. Tortora. Principles Of anatomy and Physiology. USA; 2006
8. Price, Sylvia. Patofisikogi. Jakarta: EGC, 2005
9. Pierce, 2007
10. ( PDPI, 2006 ).
11. (Hansel and Barnes, 2003

Abidin A, Yunus F, Wiyono WH, Ratnawati A. Manfaat rehabilitasi paru


dalam meningkatkan atau mempertahankan kapasitas fungsional dan kualitas
hidup penderita penyakit paru obstruktif kronik di RSUP Persahabatan. J Resp
Ind 2009; 29:70-78.

Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, et al. Systemic effects of chronic


obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003; 21 :347-60.
Dodd JW, Hogg L, Nolan J, et al. The COPD Assessment Test (CAT) :
response to pulmonary rehabilitation. A multicentre, prospective study. Torax
2011 May; 66 (15) :425-9.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive lung disease
updated 2012.

Palmer P.E.S, Cockshott W.P, Hegedus V, Samuel E. Manual of Radiographic


Interpretation for General Practitioners (Petunjuk Membaca Foto Untuk
Dokter Umum). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : EGC,1995.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit paru Obstruktif


Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2011.

Pitta Fabio, Trossters T, Vanessa S et al. Are patients with COPD more active
after pulmonary rehabilitation? Chest 2008; 134: 273-280.

Rasad Sjahriar. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Balai Penerbit FKUI.


Jakarta,2005. ((http://mabastore.com/buku-radiologi-diagnostik-edisi-
2.html#more-1065))

Seymour JM, Moore L, Jolley JC. Outpatient pulmonary rehabilitation


following acute exacerbations of COPD. Bmj 2010; 65: 423-428.

Soemantri S, Budiarso RL, Suhardi, Sarimawar, Bachroen C. Survei kesehatan


rumah tangga (SKRT). Jakarta: Depkes RI; 1995.96-125.

Wibisono MJ, Winariani, Hariadi s. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam:


Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, 2010: 37-51.

Anda mungkin juga menyukai