Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012 penyakit
kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian daripada penyakit lainnya. Infark
miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler terbanyak pada pasien
rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman dan Braunwald, 2010). Infark
miokard adalah kematian sel miokard akibat iskemia yang berkepanjangan. Menurut WHO,
infark miokard diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan gambaran EKG, dan enzim
jantung. Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan elevasi gelombang
ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang ST (NSTEMI) (Thygesen et al.,
2012).
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spectrum sindroma
koroner akut (SKA) yang paling berat (Kumar dan Canon, 2009). Pada pasien STEMI, terjadi
penurunan aliran darah koroner secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vaskuler. Injuri vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2014). Karakteristik gejala iskemia miokard yang
berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang dilihat berdasarkan EKG dapat
menentukan terjadinya STEMI. Saat ini, kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark
miokard, yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-18%
(O’Gara et al., 2013). Sekitar 865.000 penduduk Amerika menderita infark miokard akut per
tahun dan sepertiganya menderita STEMI (Yang et al., 2008).
Pada tahun 2013, ± 478.000 pasien di Indonesia didiagnosa penyakit jantung koroner.
Saat ini, prevalensi STEMI meningkat dari 25% hingga 40% berdasarkan presentasi infark
miokard (Depkes RI, 2013). Penelitian oleh Torry et al tahun 2011-2012 di RSU Bethesda
Tomohon, angka kejadian STEMI paling tinggi dari keseluruhan kejadian SKA yaitu 82%,
sedangkan untuk NSTEMI hanya 11% dan 7% pasien angina pektoris tidak stabil.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2012-2013,
STEMI juga merupakan kejadian tertinggi dari keseluruhan SKA yaitu sebesar 66,7%
(Budiana, 2015).
Berdasarkan penelitian, pasien STEMI yang mengalami distorsi sebesar 43.1%,
sedangkan pasien STEMI tanpa distorsi QRS sebesar 56.9%. Pasien dengan distorsi
cenderung memiliki infark yang lebih besar seperti yang dinilai berdasarkan Kilip Class II.
Angka mortalitas pasien STEMI dengan distorsi QRS lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa
distorsi QRS (Mulay dan Mukhedkar, 2013). Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika
plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis sehingga trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan
oklusi arteri koroner. Dari penjelasan tersebut maka penulis akan menguraikan makalah
tentang STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction).

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)?
b. Apa faktor-faktor penyebab dari STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)?
c. Bagaimana patofisiologi STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)?
d. Apa saja klasifikasi STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)?
e. Apa bentuk manifestasi dari STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)?
f. Bagaimana penatalaksaan dari STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)?
g. Apa saja pemeriksaan dari STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)?
h. Apa saja komplikasi dari STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction))?
i. Apa saja asuhan keperawatan dari STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)?
C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui lebih spesifik tentang STEMI ( ST Elevation Myocardial Infarction)
b. Tujuan Khusus
Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Myocardial infark merupakan nekrosis miokardium yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya pasokan dara akibat sumbatan akut pada arteri koroner. Sumbatan ini sebagian
besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroneryang kemudian diikuti dengan
terjadinya trombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi distal. Kadang
sumabatn akut ini juga dapat disebabkan oleh spasme arteri koroner, emboli atau vaskulitis
(Muttaqin, 2009)
Myocardial Infark dibagi 2, yaitu STEMI dan NSTEMI. ST Elevasi Miokard Infark
(STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran
darah koroner oleh proses degeneratif maupun di pengaruhi oleh banyak faktor ditandai
dengan keluhan nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan
EKG. Sedangkan NSTEMI Disebabkan oleh suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan
oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner, yang ditandai dengan keluhan nyeri
dada, peningkatan enzim jantung tetapi tanpa ST elevasi pada pemeriksaan EKG.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid
(Sudoyo, 2010).

B. Etiologi
Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit arteri koroner serta
memicu STEMI yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko modifiable dapat dikontrol
dengan mengubah gaya hidup dan kebiasaan pribadi, sedangkan faktor risiko yang
nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic yang tidak dapat dikontrol (Smeltzer, 2002).
Menurut Muttaqin (2009) ada lima faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) yaitu
merokok, tekanan darah tinggi, hiperglikemia, kolesterol darah tinggi, dan pola tingkah laku.
a. Merokok
Merokok dapat memperparah dari penyakit koroner diantaranya karbondioksida yang
terdapat pada asap rokok akan lebih mudah mengikat hemoglobin dari pada oksigen,
sehingga oksigen yang disuplai ke jantung menjadi berkurang. Asam nikotinat pada
tembakau memicu pelepasan katekolamin yang menyebabkan konstriksi arteri dan
membuat aliran darah dan oksigen jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat
meningkatkan adhesi trombosit yang akan dapat mengakibatkan kemungkinan
peningkatan pembentukan thrombus.
b. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit
arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan dapat meningkatkan gradien tekanan yang
harus dilawan oleh ventrikel kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus
menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.
c. Kolesterol darah tinggi
Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner memiliki hubungan
yang erat. Lemak yang tidak larut dalam air terikat dengan lipoprotein yang larut dengan
air yang memungkinkannya dapat diangkut dalam system peredaran darah. Tiga
komponen metabolisme lemak, kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (low density
lipoprotein) dan lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein). Peningkatan
kolestreol low density lipoprotein (LDL) dihubungkan dengan meningkatnya risiko
koronaria dan mempercepat proses arterosklerosis. Sedangkan kadar kolesterol high
density lipoprotein (HDL) yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap
penyakit arteri koronaria dengan cara mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi
dan kemudian diekskresi (Price, 1995).
d. Hiperglikemia
Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi aterosklerosis yang
lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang dapat
menyebabkan pembentukan thrombus.
e. Pola perilaku
Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut berperan dalam
menimbulkan masalah pada jantung. Rosenman dan Friedman telah mempopulerkan
hubungan antara apa yang dikenal sebagai pola tingkah laku tipe A dengan cepatnya
proses aterogenesis. Hal yang termasuk dalam kepribadian tipe A adalah mereka yang
memperlihatkan persaingan yang kuat, ambisius, agresif, dan merasa diburu waktu. Stres
menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi masih dipertanyakan apakah stres memang
bersifat aterogenik atau hanya mempercepat serangan.

C. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular. Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local
atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan plak koroner
cenderung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid
(lipid rich core).
Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai endokardium
sampai epikardium disebut infark transmural.namun bisa juga hanya mengenai daerah
subendokardial,disebut infark subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya sumbatan,infark
sudah dapat terjadi pada subendokardium,dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah
terjadi infark transmural.Kerusakan miokard ini dari endokardium ke epikardium menjadi
komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam.Meskipun nekrosis miokard sudah komplit,proses
remodeling miokard yang mengalami injury terus berlanjut sampai beberapa minggu atau
bulan karena daerah infark meluas dan daerah non infark mengalami dilatasi.

D. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit di daerah
prekordial,retrosternal dan menjalar ke lengan kiri,lengan kanan dan ke belakang
interskapuler. Rasa nyeri seperti dicekam,diremas-remas,tertindih benda padat,tertusuk
pisau atau seperti terbakar.Kadang-kadang rasa nyeri tidak ada dan penderita hanya
mengeluh lemah,banyak keringat, pusing, palpitasi, dan perasaan akan mati.
2. Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit,muka pucat,kulit basah dan dingin.Tekanan darah bisa
tinggi,normal atau rendah.Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah
paradoksal,irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau
teraba di dinding dada pada IMA inferior.
3. EKG
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut,
EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST.
Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi
gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI
inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.
4. Pemeriksaan laboratorium
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan
masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik. Oleh sebab
itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang
disebabkan kerusakan sel. Proteinprotein tersebut antara lain aspartate aminotransferase
(AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin,
carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan
T (cTnI dan cTnT). Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya
infark miokard.
E. Klasifikasi
1. Infark anterior
Adanya perubahan EKG ST elevasi pada lead V3 - V4 disebut infark anterior. Infark
anterior terjadi bila adanya oklusi pada left anterior desending (LAD). LAD mensuplai
darah ke dinding anterior ventrikel kiri dan 2/3 area septum intraventrikular anterior.
Komplikasi dari STEMI anterior adalah disfungsi ventrikel kiri yang berat yang dapat
mengakibatkan terjadinya gagal jantung dan shock kardiogenik. Oklusi LAD juga dapat
menyebabkan AV block akibat infark pada septum intraventrikular. Sinus tachycardia
merupakan tanda yang umum dijumpai akibat respon neurohormonal symphatetic untuk
mengurangi cardiac output atau tekanan darah (Underhill, 2005, Libby, 2008).
2. Infark inferior dan posterior
Infark inferior dan posterior diakibatkan oleh oklusi right coronary artery (RCA) pada
80-90% pasien sedangkan 1020% pasien diakibatkan oleh oklusi arteri left circumflex
(LCX). Pada infark inferior dijumpai adanya perubahan EKG ST elevasi pada lead II, III,
aVF sedangkan infark posterior dijumpai adanya ST segmen depresi di V1 - V4
(Underhill, 2005; Libby, 2008).
3. Infark lateral
Infark miokardial lateral terjadi bila dijumpai adanya perubahan ST elevasi pada
EKG di lead I, aVL, V5, V6. Infark ini diakibatkan oleh cabang-cabang arteri yang
mensuplai darah pada dinding lateral ventrikel kiri yaitu cabang left circumflex (LCx),
diagonal LAD dan cabang terminal dari right coronary artery (RCA). Karena LCx
mensuplai AV junction, bundle his, dan anterior dan posterior muscle papillary pada 10%
populasi, oklusi arteri ini berkaitan dengan abnormalitas konduksi jantung atau
insufisiensi katup mitral yang berkaitan dengan dysfungsi muscle papillary (Underhill,
2005; Libby, 2008; Lily, 2008).
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan biasa terjadi pada infark inferior dengan trias karakteristik
yaitu hipotensi, peningkatan tekanan vena jugularis dengan tanda kusmaul’s, serta area
paru bersih. Infark inferior di diagnosis bila dijumpai elevasi segmen ST pada sadapan
EKG sisi kanan V3R dan V4R serta adanya abnormalitas gerakan dinding ventrikel kanan.
Penatalaksanaan dilakukan dengan volume loading untuk mempertahankan PCWP 1820
mmHg, menghindari penggunaan nitrat serta pemberian dobutamin untuk mengatasi
hipotensi (Underhill, 2005, Lewis, 2004, Libby, 2008).

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Dongoes :
1. EKG
Menunjukkna peningkatan gelombang S – T, iskemia berarti ; penurunan atau datarnya
gelombang T, menunjukkan cedera, : dan atau adanya gelombang Q.
2. Enzim jantung dan iso enzim
CPK –MB (isoenzim yang ditemukan pada otot jantung) meningkat antara 4-6 jam,
memuncak dalam 12 – 24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam : LDH meningkat dalam
12-24 jam, memuncak dalam 24-48 jam, dan memakan waktu lama untuk kembali normal.
AST ( aspartat amonitransfarase) meningkat (kurang nyata / khusus) terjadi dalam 6-12
jam, memuncak dalam 24 jam, kembali normal dalam 3-4 hari.
3. Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan dapat mempengaruhi
kontraktilitas.
4. Sel darah putih
Leukosit (10.000-20.000) biasanya tampak pada hari kedua setelah IM sehubungan
dengan proses inflamasi.
5. Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada hari kedua-ketiga setelah IM, menjukan iflamasi.
6. Kimia
Mungkin normal tergantung abnormalitas fungsi / perfusi organ akut / kronis.
7. GDA/oksimetri nadi
Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
8. Kolesteron atau trigelisarida serum
Kolesteron meningkat, menunjukkan arteriosklerosis sebagai penyebab IM.
9. Foto dada
Normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau aneurisma ventrikuler.
10. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup/dinding ventrikuler dan
konfigurasi atau fungsi kutub.
11. Pemeriksaan pencitraan nuklir
Thalium : mengevaluasi aliran darah miokardia dan status miokardia, contoh lokasi /
luasnya IM akut atau sebelumnya.
Technium : terkumpul dalam sel iskemi disekitar area nekrostik.
12. Pencitraan darah jantung / MUGA
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional, fraksi
ejeksi (aliran darah).
13. Angiografi coroner
Menggambarkan penyempitan / sumbatan arteri koroner dan biasanya dilakukan
sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri
(fraksi ejeksi).
14. Digital substraction angiography (DSA
Teknik yang digunakan untuk menggambarkan status penanaman arteri dan untuk
mendeteksi penyakit arteri perifer.
15. Nuclear magnetic esomance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah , serambi jantung atau katup ventrikel, lesi
ventrikel, pembentukan plak, area nekrosis / infark, dan bekuan darah.
16. Tes stress olahraga
Menentukan respons kardiovaskuler terhadap aktifitas.

G. Penatalaksanaan
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu aspek penting perawatan pasien STEMI.
Adapun pengkajian yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: tingkat kesadaran
orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang dipantau dengan ketat. Perubahan
penginderaan berarti jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk oksigenasi
otak. Bila pasien mendapatkan obat yang mempengaruhi fungsi pembekuan darah, maka
pengawasan terhadap adanya tanda-tanda perdarahan otak merupakan hal penting yang
harus dilakukan (Smeltzer & Bare, 2008).
b. Nyeri dada
Nyeri dada bisa menjalar ke bagian lengan kiri, ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri juga dapat di jumpai
pada daerah epigastrium dan menstimulasi gangguan pada saluran percernaan seperti
mual, muntah,. Rasa tidak nyaman didada dapat menyebabkan sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada pasien STEMI terutama
pada pasien yang lanjut usia ataupun menderita diabetes mellitus (Underhill, 2005,
Ignatavicius, 2005).
c. Frekuensi dan irama jantung
Frekuensi dan irama jantung perlu dipantau secara terus menerus. Adanya disritmia dapat
merupakan petunjuk ketidakseimbangan suplai dengan kebutuhan oksigen jantung dan di
pantau terhadap perlunya diberikan terapi antidisritmia. Bila terjadi disritma tanpa nyeri
dada, maka parameter klinis lain selain oksigenasi yang adekuat harus di cari, seperti
kadar kalium serum terakhir (Smeltzer & Bare, 2008).
d. Bunyi jantung
Bunyi jantung harus diauskultasi secara terus-menerus, karena bunyi jantung abnormal
dapat timbul. Deteksi dini S3 yang diikuti penatalaksanaan medis yang agresif dapat
mencegah edema paru yang mengancam jiwa. Adanya bunyi murmur yang sebelumnya
tidak ada menunjukkan perubahan fungsi otot miokard sedangkan friction rub
menunjukkan adanya perikarditis (Lily, 2008 ).
e. Tekanan Darah
Tekanan darah di ukur dan di monitor untuk menentukan respon terhadap nyeri dan
keberhasilan terapi khususnya vasodilator.
f. Denyut nadi perifer
Denyut nadi perifer dievaluasi secara teratur. Perbedaan frekuensi nadi perifer dengan
frekuensi denyut jantung menegaskan adanya disritmia seperti atrial fibrilasi. Denyut nadi
perifer paling sering di evaluasi untuk menentukan kecukupan aliran darah ke ekstremitas
(Black & Hawk, 2005).
g. Status volume cairan
Pengukuran intake dan output cairan penting dilakukan. Cairan yang seimbang dan
cenderung negatif akan lebih baik untuk menghindari kelebihan cairan dan kemungkinan
gagal jantung. Berkurangnya haluran urine (oliguria) yang disertai hipotensi merupakan
tanda awal shock kardiogenik.
h. Pemberian Oksigen
Hipoksemia dapat terjadi akibat dari abnormalitas ventilasi dan perfusi akibat gangguan
ventrikel kiri. Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri < 90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama. Pemberian oksigen harus diberikan bersama dengan terapi medis untuk
mengurangi nyeri secara maksimal (Antman et al, 2004).
i. Nitrogliserin
Nitogliserin (NTG) sublingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan
sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG selain untuk mengurangi nyeri dada juga
untuk menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. NTG harus dihindari pada pasien dengan tekanan
darah sistolik < 90 mmHg atau pasien yang dicurigai mengalami infark ventrikel kanan
(Antman, 2004; Opie & Gersh, 2005).
j. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tata
laksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2 - 4 mg dapat tingkatkan
2 - 8 mg IV serta dapat di ulang dengan interval 5 - 15 menit. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriol melalui penurunan
simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan
arteri (Antman, 2004, Opie & Gersh, 2005).
k. Aspirin
Aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan dengan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai
dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 162 mg - 325 mg di ruang emergensi dengan
daily dose 75 162 mg.
l. Beta blocker
Beta‐blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Jika tidak ada
kontraindikasi, pasien diberi beta‐blocker kardioselektif misalnya metoprolol atau
atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari
rumah sakit. Kontraindikasi terapi beta‐blocker adalah: hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <100 mmHg, bradikardi <50 denyut/menit, adanya heart block, riwayat penyakit
saluran nafas yang reversible, Beta‐blocker harus dititrasi sampai dosis maksimum yang
dapat ditoleransi. (Antman, 2004; Black & Hawk, 2005; Libby, 2008)
m. ACE Inhibitor
ACE inhibitor mulai diberikan dalam 24‐48 jam pasca‐MI pada pasien yang telah stabil,
dengan atau tanpa gejala gagal jantung. ACE inhibitor menurunkan afterload ventrikel kiri
karena inhibisi. sistem renin‐angiotensin, menurunkan dilasi ventrikel. ACE inhibitor
harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi naik sampai dosis tertinggi yang dapat
ditoleransi. Kontraindikasinya hipotensi, gangguan ginjal, stenosis arteri ginjal bilateral,
dan alergi ACE inhibitor. Elektrolit serum, fungsi ginjal dan tekanan darah harus dicek
sebelum mulai terapi dan setelah 2 minggu (Opie & Gersh, 2005; Libby, 2008).
n. Terapi penurunan kadar lipid
Manfaat HMG Co‐A reductase inhibitor (statin) selain berfungsi sebagai penurun
kolesterol juga mempunyai efek pleiotropic yang dapat berperan sebagai anti inflamasi,
anti trombolitik. Target penurunan LDL < 100 mg/dl, sedangkan pada pasien dengan
risiko tinggi, DM, penyakit jantung koroner, target penurunan LDL kolesterol adalah < 70
mg/dl (Opie & Gersh, 2005;Sukandar et al, 2008; Libby, 2008)
o. Anti koagulan
LMWH lebih banyak digunakan daripada unfractionated heparin karena untuk membatasi
perluasan thrombosis koroner. Studi ESSENCE menunjukkan enoxaparin 1mg/kg 2
kali/hari lebih baik daripada unfractinated heparin. Biaya enoxaparin lebih tinggi, tetapi
mempunyai aktivitas anti‐faktor Xa lebih besar, tidak memerlukan monitor terus menerus,
dan dapat diberikan dengan mudah sehingga menjadi pilihan terapi yang cukup popular.
Enoxaparin diberikan terus sampai pasien bebas dari angina atau paling sedikit selama 24
jam, durasi terapi yang dianjurkan adalah 2‐8 hari (Sukandar et al, 2008; Libby, 2008).
p. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi dilakukan dengan percutaneus coronary intervention (PCI) primer
ataupun dengan terapi fibrinolisi.

H. Manajemen keperawaan pada pasien STEMI


Perawat sebagai salah satu anggota team dalam tatanan keperawatan klinik sangat
berperan dalam melakukan pengkajian riwayat kesehatan secara teliti, mengidentifikasi tanda
dan gejala awal ischemia memberikan intervensi dan implementasi keperawatan yang cepat
dan tepat sehingga akan mengembalikan aliran darah koroner dan mencegah pasien dari
komplikasi. Selain itu perawat dapat mengidentifikasi faktor risiko, memodifikasi dan
mempromosikan positive outcomes sehingga dapat hidup lebih produktif (Underhill, 2005).
Adapun tujuan utama perawatan pasien STEMI adalah:
a. Menghilangkan nyeri
Menghilangkan nyeri dada merupakan prioritas utama pada pasien dengan
STEMI, dan terapi medis diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga
penatalaksanaan nyeri dada merupakan usaha kolaborasi dokter dengan perawat.
b. Istirahat fisik
Bedrest dengan posisi semifowler atau menggunakan cardiac chair dapat
mengurangi nyeri dada dan dispnea. Posisi kepala yang lebih tinggi sangat
bermanfaat bagi pasien karena:
 Volume tidal dapat diperbaiki karena tekanan isi abdomen terhadap diafragma
berkurang sehinngga pertukaran gas dapat lebih baik
 Drainase lobus atas paru lebih baik
 Aliran balik vena ke jantung (preload) berkurang sehingga mengurangi kerja
jantung (Smeltzer & Bare, 2008; Underhill, 2005).
c. Memperbaiki fungsi respirasi
Pengkajian fungsi pernafasan yang teratur dan teliti dapat membantu perawat
mendeteksi tanda-tanda awal komplikasi yang berhubungan dengan paru. Perhatian
yang mendalam mengenai status volume cairan dapat mencegah overload jantung
dan paru.
d. Mengurangi kecemasan
Membina hubungan saling percaya dalam perawatan pasien sangat penting
untuk mengurangi kecemasan. Rasa diterima dan diperhatikan akan membantu
pasien mengetahui bahwa perasaan seperti itu masuk akal dan normal, sehingga
diharapkan dapat mengurangi kecemasannya.
e. Coronary precaution
Coronary precaution pada pasien STEMI yaitu menghindari valsava maneuver.
Valsava maneuver dapat menyebabkan udara terperangkap dalam paru akibat
penutupan glotis dan meningkatnya tekanan darah sistolik dan frekuensi jantung.
Meningkatnya tekanan intrathorak akan menyebabkan penurunan venous return,
penurunan preload, penurunan stroke volume, penurunan cardiac output sehingga
menyebabkan peningkatan heart rate dan vasokontriksi perifer. Ketika tekanan
intrathorak menurun, preload meningkat sehingga akan mengakibatkan peningkatan
beban kerja jantung (Underhill, 2005; Black & Hawk, 2005)
f. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan di rumah
Discharge planning diberikan segera setelah pasien di rawat di rumah sakit dan
sebelum pulang pasien seharusnya sudah menerima instruksi secara detail follow up
kesehatannya antara lain latihan fisik, diet, obat-obatan, modifikasi faktor risiko dan
kapan harus mencari pertolongan medis
g. Rehabilitasi jantung
Rehabilitasi bertujuan untuk mengembangkan dan memperbaiki kualitas hidup
pasien, sedangkan tujuan jangka pendek adalah mengembalikan sesegera mungkin
ke gaya hidup normal atau mendekati normal.
h. Pemantauan dan penatalaksanaan komplikasi potensial
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain disritmia, shock kardiogenik, gagal
jantung dan lain lain yang dapat menimbulkan kematian, oleh karena itu identifikasi
dini tanda dan gejala yang dapat mencetuskan awitan tersebut. Pasien dipantau
dengan ketat terhadap perubahan frekuensi, irama, bunyi jantung, tekanan darah,
nyeri dada, status pernafasan, haluaran urine, suhu, warna kulit, perubahan
penginderaan dan perubahan nilai laboratorium (Smeltzer & Bare, 2008).
STEMI disebabkan oleh adanya aterosklerotik pada arteri koroner sehingga
menyebabkan terjadinya nekrosis miokard yang bersifat irreversible.
Menghilangkan nyeri dada merupakan prioritas utama pada pasien dengan STEMI,
dan terapi medis diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga
penatalaksanaan nyeri dada merupakan usaha kolaborasi dokter dengan perawat.
I. Komplikasi
1. Aritmia
Beberapa bentuk aritmia mungkin timbul pada IMA. Hal ini disebabkan perubahan-
perubahan listrik jantung sebagai akibat ischemia pada tempat infark atau pada daerah
perbatasan yang mengelilingi, kerusakan sistem konduksi, lemah jantung kongestif atau
keseimbangan elektrolit yang terganggu.
2. Gagal jantung (Pump Failure)
Pada IMA, pump failure maupun gagal jantung kongestif dapat timbul sebagai akibat
kerusakan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya dengan atau tanpa aritmia.
Penuran cardiac output pada pump failure akibat IMA tersebut menyebabkan perfusi
perifer berkurang. Peningkatan resistensi perifer sebagai kompensasi menyebabkan beban
kerja jantung bertambah. Bentuk yang paling ekstrim pada gagal jantung ini ialah syok
kardiogenik.
3. Emboli / Tromboemboli
Emboli paru pada IMA adanya gagal jantung dengan kongesti vena, disertai tirah
baring yang berkepanjangan merupakan faktor predisposisi trombosis pada vena-vena
tungkai bawah yang mungkin lepas dan terjadi emboli paru dan mengakibatkan
kemunduran hemodinamik (DVT). Embolisasi sitemik akibat trombus pada ventrikel kiri
tepatnya pada permukaan daerah infark atau trombus dalam aneurisma ventrikel kiri.
4. Ruptura
Komplikasi ruptura miokard mungkin terjadi pada IMA dan menyebabkan
kemunduran hemidinamik. Ruptura biasanya pada batas antara zona infark dan normal.
Ruptura yang komplit (pada free wall) menyebabkan perdarahan cepat ke dalam kavum
pericard sehingga terjadi tamponade jantung dengan gejala klinis yang cepat timbulnya.
BAB II
ASUHAN KEPERWATAN

A. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
· Status kesehatan saat ini
Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
· Riwayat penyakit sekarang (PQRST)
1. Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat.
2. Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien, sifat keluhan
nyeri seperti tertekan.
3. Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium.
Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri serta ketidakmampuan bahu dan
tangan.
4. Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang 0-5 dan klien akan
menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan. Biasanya pada saat angina skala nyeri
berkisar antara 4-5 skala (0-5).
5. Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama timbulnya (durasi)
nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh infark miokardium dapat timbul pada
waktu istirahat, biasanya lebih parah dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang
menyertai infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan pingsan.
· Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, dan
hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang
masih relevan. Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat
dan reaksi alergi apa yang timbul.
· Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada anggota keluarga
yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung iskemik pada orang tua
yang timbulnya pada usia muda merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung
iskemik pada keturunannya.
· Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap, jadual olahraga
tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.
· Sirkulasi
Gejala: riwayat Infark Miokard sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung koroner,
masalah TD, DM. Tanda:
a. TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai
duduk/berdiri
b. Nadi dapat normal: penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian
kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
c. Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal jantung/penurunan
kontraktilitas atau komplian ventrikel.
d. Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
e. Friksi : dicurigai perikarditis.
f. Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
g. Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.
h. Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
 Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun
 Makanan/cairan. Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu
hati/terbakar. Tanda: penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan
perubahan berat badan.
 Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri.
 Neurosensori. Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun
(duduk/istirahat) Tanda: perubahan mental dan kelemahan
 Pernapasan. Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak
produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis Tanda: peningkatan frekuensi
pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih atau krekels, wheezing, sputum bersih,
merah muda kental.
 Interaksi social. Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping
dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi) Tanda: kesulitan istirahat dengan
tenang, respon emosi meningkat, dan menarik diri dari keluarga
Pengkajian fisik Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:
a. Tingkat kesadaran
b. Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting)
c. Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak mencukupinya
oksigen ke dalam miokard
d. Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung
e. Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan, perhatian
tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan miokard infark,
menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel
f. Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume
g. Warna dan suhu kulit
h. Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tanda-tanda gagal
ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)
i. Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika merupakan
potensial komplikasi yang fatal
j. Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya tanda dini
syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri coroner
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi
elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan
structural
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat
depresan jantung
4. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak
optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut
5. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah, misalnya
vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
6. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan kematian
C. Intervensi keperawatan
Diagnosa keperawatan Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut NOC : NIC :
-Pain Level, - Lakukan pengkajian nyeri
berhubungan dengan:
secara komprehensif
-pain control,
Agen injuri (biologi, kimia, termasuk lokasi,
- comfort level karakteristik, durasi,
fisik, psikologis), kerusakan Setelah dilakukan frekuensi, kualitas dan faktor
jaringan presipitasi
tinfakan keperawatan - Observasi reaksi nonverbal
DS: selama .... dari ketidaknyamanan
- Bantu pasien dan keluarga
- Laporan secara verbal Pasien tidak untuk mencari dan
mengalami nyeri, dengan menemukan dukungan
DO:
- Kontrol lingkungan yang
kriteria hasil: dapat mempengaruhi nyeri
- Posisi untuk menahan nyeri
- Mampu mengontrol nyeri seperti suhu ruangan,
- Tingkah laku berhati-hati pencahayaan dan kebisingan
(tahu penyebab nyeri,
- Gangguan tidur (mata sayu, mampu menggunakan tehnik - Kurangi faktor presipitasi
nyeri
tampak capek, sulit atau nonfarmakologi untuk
- Kaji tipe dan sumber nyeri
mengurangi nyeri, mencari
gerakan kacau, menyeringai) bantuan) untuk menentukan intervensi
- Ajarkan tentang teknik non
- Terfokus pada diri sendiri - Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan farmakologi: napas dalam,
- Fokus menyempit relaksasi, distraksi, kompres
menggunakan manajemen
(penurunan persepsi waktu, nyeri hangat/ dingin
- Kolaborasi pemberian
kerusakan proses berpikir, - Mampu mengenali nyeri analgetik untuk mengurangi
( skala, intensitas, frekuensi
penurunan interaksi dengan dan tanda nyeri) nyeri: .........
orang dan lingkungan) - Menyatakan rasa nyaman
- Tingkah laku distraksi, setelah nyeri berkurang - Tingkatkan istirahat

contoh : jalan-jalan, menemui - Tanda vital dalam rentang - Berikan informasi tentang
normal
orang lain dan/atau aktivitas, - Tidak mengalami gangguan nyeri seperti penyebab nyeri,
tidur berapa lama nyeri akan
aktivitas berulang-ulang)
berkurang dan antisipasi
- Respon autonom (seperti ketidaknyamanan dari
diaphoresis, prosedur
perubahan tekanan - Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
darah, perubahan analgesik pertama kali

nafas, nadi dan

dilatasi pupil )

- Perubahan
autonomic dalam

tonus otot (mungkin

dalam rentang dari

lemah ke kaku)

- Tingkah laku ekspresif


(contoh : gelisah, merintih,
menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh
kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Penurunan curah NOC : NIC :

Jantung - Cardiac Pump effectiveness - Evaluasi adanya nyeri dada


- Circulation Status - Catat adanya disritmia
berhubungan dengan:
gangguan irama jantung,- Vital Sign Status jantung
stroke volume, pre load dan- Tissue perfusion: perifer - Catat adanya tanda dan
afterload, kontraktilitas Setelah dilakukan asuhan gejala penurunan cardiac
jantung. selama.........penurunan output
kardiak output klien teratasi- Monitor status pernafasan
DO/DS:
dengan criteria hasil: yang menandakan gagal jan
- Aritmia, takikardia, - Monitor balance cairan
- Tanda Vital dalam rentang
bradikardia - Monitor respon pasien
normal (Tekanan darah, Nadi,
- Palpitasi, oedem terhadap efek pengobatan
respirasi)
- Kelelahan antiaritmia
- Dapat mentoleransi aktivitas,
- Peningkatan/penurunan JVP - Atur periode latihan dan
tidak ada kelelahan
- Distensi vena jugularis istirahat untuk menghindari
- Tidak ada edema paru,
- Kulit dingin dan lembab kelelahan
perifer, dan tidak ada asites
- Penurunan denyut nadi - Monitor toleransi aktivitas
- Tidak ada penurunan
perifer pasien
kesadaran
- Oliguria, kaplari refill lambat - Monitor adanya dyspneu,
- AGD dalam batas normal
- Nafas pendek/ sesak nafas fatigue, tekipneu dan ortopneu
- Tidak ada distensi vena leher
- Perubahan warna kulit - Anjurkan untuk
- Warna kulit normal
- Batuk, bunyi jantung S3/S4 menurunkan stress
- Kecemasan - Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR
- Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
- Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
- Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
- Monitor jumlah, bunyi dan
irama jantung
- Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
- Monitor pola pernapasan
abnormal
- Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
- Monitor sianosis perifer
- Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
- Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
- Jelaskan pada pasien tujuan
dari pemberian oksigen
- Sediakan informasi untuk
mengurangi stress
- Kelola pemberian obat anti
aritmia, inotropik, nitrogliserin
dan vasodilator untuk
mempertahankan
kontraktilitas jantung
- Kelola pemberian
antikoagulan untuk mencegah
trombus perifer
- Minimalkan stress
lingkungan

Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Intoleransi aktivitas NOC : NIC :

Berhubungan dengan : - Self Care : ADLs - Observasi adanya


- Toleransi aktivitas pembatasan klien dalam
- Tirah Baring atau imobilisasi
- Konservasi energi melakukan aktivitas
- Kelemahan menyeluruh
Setelah dilakukan tindakan - Kaji adanya faktor yang
- Ketidakseimbangan antara
menyebabkan kelelahan
suplei oksigen dengan kebutuhan keperawatan selama ....
- Monitor nutrisi dan sumber
Gaya hidup yang
Pasien bertoleransi terhadap energi yang adekuat
dipertahankan. aktivitas dengan - Monitor pasien akan adanya

DS: Kriteria Hasil : kelelahan fisik dan emosi


secara berlebihan
- Melaporkan secara verbal - Berpartisipasi dalam
- Monitor respon
adanya kelelahan atau aktivitas fisik tanpa disertai
kardivaskuler terhadap
kelemahan. peningkatan tekanan darah,
aktivitas (takikardi, disritmia,
- Adanya dyspneu atau nadi dan RR
sesak nafas, diaporesis,
ketidaknyamanan saat - Mampu melakukan
pucat, perubahan
beraktivitas. aktivitas sehari hari (ADLs)
hemodinamik)
DO : secara mandiri
- Monitor pola tidur dan
- Keseimbangan aktivitas dan
- Respon abnormal dari tekanan lamanya tidur/istirahat pasien
istirahat
darah atau nadi terhadap aktifitas - Kolaborasikan dengan
- Perubahan ECG : aritmia, Tenaga Rehabilitasi Medik
iskemia dalam merencanakan progran
terapi yang tepat.
- Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
- Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten yang
sesuai dengan kemampuan
fisik, psikologi dan sosial
- Bantu untuk
mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas
yang diinginkan

- Bantu untuk mendapatkan


alat bantuan aktivitas seperti
kursi roda, krek
- Bantu untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
- Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
- Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
- Sediakan penguatan positif
bagi yang aktif beraktivitas
- Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
- Monitor respon fisik, emosi,
sosial dan spiritual
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun
secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2010).
Gejala yang dialami pasien dengan STEMI yaitu adanya nyeri dada yang lamanya lebih
dari 30 menit di daerah prekordial, retrosternal dan menjalar ke lengan kiri,lengan kanan dan ke
belakang interskapuler. Rasa nyeri seperti dicekam, diremas-remas, tertindih benda padat,
tertusuk pisau atau seperti terbakar. Kadang-kadang rasa nyeri tidak ada dan penderita hanya
mengeluh lemah, banyak keringat, pusing, palpitasi, dan perasaan akan mati.
Penderita nampak sakit,muka pucat,kulit basah dan dingin.Tekanan darah bisa
tinggi,normal atau rendah.Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal,irama
gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau teraba di dinding dada
pada IMA inferior.
Menurut Muttaqin (2009) ada lima faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) yaitu
merokok, tekanan darah tinggi, hiperglikemia, kolesterol darah tinggi, dan pola tingkah laku.

B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman untuk memberikan kritik dan saran
yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan – kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi,I., 2009. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo A.W., et al, ed. Buku Ajar ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
1741-1756
Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D.L.,
Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450.
Aru W, Sudoyo. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Black, J. M., & Hawk, J. H. 2005. Medical surgical nursing clinical management for positive outcomes
(7th Ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Saunders.
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Libby P. 2008. Molecular Basis of The Acute Coronary Syndromes. Circulation. 91:2844-2850.
Lily Ismudiati Rilantono, 2008. Buku Ajar Kardiologi, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta:
Salemba Medika.
Price, S.A. & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi, vol.1, ed.6. EGC: Jakarta.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2002. Buku ajar keperawatan medikal-bedah, vol. 2. EGC: Jakarta.
Thygesen, K., et al. 2012. The Writing Group on behalf of the Joint ESC/ACCF/AHA/WHF Task Force
for the Universal Definition of Myocardial Infarction. European Heart Journal, 33: 2551-2567.
Underhill, S. L., Woods, S. L., Froelicher, E. S. S., & Halpenny, C. J. 2005. Cardiac nursing (5th Ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
WHO, World Health Organization, 2012. World Health Statistics. Available form:
www.who.int/iris/bitstream/10665/44844/1/9789241564441_eng.pdf [accessed December, 1st]

Anda mungkin juga menyukai