NIM: 1871042002
1
Terdapat beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi merupakan cabang filsafat yang
menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin. Istilah ontologi
berasal dari bahasa Yunani yakni on/ontos yang berarti “yang ada” dan logos yang
berarti “ilmu”, sehingga ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal muasal, metode-metode, dan
sahnya ilmu pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni
episteme berarti “pengetahuan (knowledge)” dan logos berarti “ilmu atau teori
(theory)”. Jadi, epistemologi dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan (theory
of knowledge). Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang
nilai secara umum. Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yakni axios yang
berarti “nilai” dan logos yang berarti “teori”.3
2
Potong beku adalah suatu prose-dur yang telah mapan untuk memberikan
diagnosis yang cepat dari sampel intraoperatif sehingga memungkinkan
dokter ahli bedah untuk segera membuat keputusan dan langkah selanjutnya,
oleh sebab itu potong beku dituntut akurasi yang tinggi agar dokter ahli bedah
memiliki keyakinan dalam memberikan keputusan terapi selanjutnya.
Didalam pelaksanaannya teknik potong beku ini sebenarnya merupakan
prosedur yang sulit dilakukan oleh seorang ahli patologi didalam prak-teknya
karena membutuhkan penga-laman, pengetahuan, ketrampilan teknis dan
keahlian diagnostik dalam mem-buat keputusan yang akurat, selain itu
diagnosis yang dibuat oleh seorang patolog dalam tehnik potong beku
memiliki konsekuensi terapi bagi pasien.
Sensitivitas merupakan proporsi dari subyek yang berpenyakit yang
mempunyai uji yang positif, dan menunjukan seberapa baik sesuatu uji
tersebut didalam mengidentifikasi pasien dengan penyakit. Pada uji
sensitivitas Fessia et al melaporkan sensitivitas potong beku adalah 94.6%
sedangkan pada penelitian ini adalah 100% 10
MKA, Volume 38, Nomor 1, Jan-Apr 2015 http://jurnalmka.fk.unand.ac.id
3
sehingga bisa dikatakan hasil penelitian ini sangat sensitif atau sangat baik
da-lam mengidentifikasi pasien dengan penyakit. 5
Spesifisitas merupakan proporsi dari subyek tanpa penyakit yang menun-
jukkan uji negatif, yang menunjukkan seberapa baik sesuatu uji dalam
mengidentifikasi orang tanpa penyakit. Fessia melaporkan hasil
sepesifisitasnya 100% sedangkan pada hasil penelitian ini adalah 95.65%,
hal ini dikarenakan terdapat satu kasus positif palsu yang dilaporkan yaitu
mastitis yang pada saat potong beku diduga suatu keganasan. Seperti
diketahui bahwa pada suatu proses peradangan yang hebat (mastitis) akan
mengakibatkan perubahan reaktif didalam bentuk sel disamping penyulit lain
yang sering didapatkan potong beku seperti sel yang sembab, inti lebih besar
dan cenderung hiperkromatik serta sito-plasma yg bervakuol. Beberapa
penyulit yang ditemukan dalam menegakkan diagnosis sediaan potong beku
antara lain terdapatnya kristal es dalam stroma yang edema sehingga
memberikan gambaran artefak, gambaran inti yang cenderung menjadi lebih
besar, gambaran kromatin tampak lebih kromatik dibandingkan blok parafin,
gambaran sitoplasma lebih berva-kuolisasi, dan permasalahan teknis seperti
ketajaman pisau, over atau under freezing, pewarnaan, gelembung udara,
serta ketebalan sediaan.6
Didalam uji diagnostik diperlukan beberapa uji nilai prediksi yaitu nilai prediksi
positif dan nilai prediksi negatif yang membantu kita menentukan apakah
pasien benar-benar menderita sakit atau tidak berdasarkan hasil uji. Nilai
prediksi positif yang merupakan probabilitas dari seseorang dengan hasil uji
positif benar-benar mempunyai pe-nyakit dan uji ini dipengaruhi oleh hasil uji
spesifisitasnya. Fessia melaporkan nilai prediksi positif dengan 100%,
sedangkan pada kasus ini didapatkan hasil 98% karena hal ini dipengaruhi
dari hasil spesifisitasnya.
Uji nilai prediksi negatif digunakan untuk mengetahui probabilitas sese-orang
dengan hasil uji negatif adalah benar-benar tidak mempunyai penyakit dan uji
ini dipengaruhi oleh hasil uji sensitivitasnya. Pada uji ini Fessia melaporkan
hasilnya 97.8% sedang pada kasus ini dilaporkan hasilnya 100%.
Akurasi dari diagnosis potong beku secara umum pada semua kasus
dilaporkan bervariasi. Kaufman dalam penelitiannya melaporkan akurasi
potong beku secara umum adalah 97.1%, sedangkan Fariba Abbasi dalam
artikelnya melaporkan akurasi potong beku diantara 91.5%-97.4%. 7,8 Fessia
dalam penelitiannya melaporkan akurasi potong beku khusus pada kanker
payudara adalah 98.3% sedang pada penelitian ini didapatkan akurasinya
adalah 98.6% sehingga bisa disimpulkan pada kasus penelitian ini memiliki
akurasi yang diatas rata-rata.
Walaupun dari penelitian ini didapatkan akurasi yang cukup bagus, ada
beberapa keterbatasan dalam potong beku yang harus diperhatikan oleh
seorang ahli patologi yaitu (a) keterbatasan atau kesalahan sampling seperti
sampel jaringan yang jelek, kesalahan pemilihan jaringan di laboratorium,
degenerasi atau nekrosis tumor yang luas, kesalahan dalam penilaian invasi
ke kapsul atau vaskular, (b) keterbatasan masalah teknis yaitu artefak dari
pembekuan, kualitas yang 11
MKA, Volume 38, Nomor 1, Jan-Apr 2015 http://jurnalmka.fk.unand.ac.id
buruk, misalnya; terlalu tebal atau terlipat, morfologi sel yang membengkak
karena pengaruh cairan, pewarnaan yang tidak baik, (c) kesalahan pada interpretasi
4
yaitu tumor yang sulit untuk didiagnosis seperti angiosarkoma atau signet ring cells,
tumor yang heterogen terutama sarkoma, tumor campur dan tumor bifasik, derajat
diferensiasi tumor seperti pada glioma di otak dan kondrosarkoma pada tulang,
penentuan yang sulit dari pankreatitis kronis dengan karsinoma pankreas. 9 Adanya
keterbatasan ini menyebabkan tidak semua jenis tumor direkomendasikan untuk
didiagnosis menggunakan potong beku.1
Ontologi merupakan cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yakni
on/ontos yang berarti “yang ada” dan logos yang berarti “ilmu”, sehingga ontologi
adalah ilmu tentang yang ada. Martin Heidegger memahami ontologi sebagai
analisis eksistensi dan yang memungkinkan adanya eksistensi.3 Tema hari
kesehatan sedunia tahun 2011 ini adalah “Antimicrobial Drugs Resistance: No action
today, no cure tomorrow” sangat relevan dengan kenyataan bahwa resistensi
khususnya bakteri/kuman terhadap berbagai antimikroba (antibiotik) merupakan
masalah mendunia (pandemi) yang tidak kalah penting dibandingkan dengan masalah
infeksi/virulensi kuman itu sendiri. Beberapa pandemi resistensi kuman antara lain:
Extended Spectrum Beta-Lactamases, S. pneumonia resistant, MDR M. tuberculosis,
Enterobacteriaceae resistant, Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).4
Wabah MRSA pertama kali terjadi di Eropa pada era tahun 1960-an. Kemudian
MRSA menyebar dengan cepat ke berbagai rumah sakit di seluruh dunia. Oleh karena
penyebaran MRSA terjadi antar rumah sakit dan menimbulkan masalah infeksi di
rumah sakit maka MRSA sering juga disebut Healthcare associated MRSA (HA-
MRSA). Data menunjukkan bahwa sekitar 25% isolat S. aureus penyebab infeksi di
rumah sakit di Amerika Serikat adalah MRSA. Prevalensi MRSA di berbagai rumah
sakit di dunia berkisar antara 2-70% dengan angka rata-rata 20%. Prevalensi di bawah
5% dijumpai di Belanda dan beberapa negara Skandinavia, karena ketatnya
penggunaan antimikroba dan keberhasilan program pengendalian infeksi MRSA.Data
5
atau publikasi tentang MRSA di Indonesia masih sangat terbatas. Sejauh ini laporan
yang ada adalah data prevalensi MRSA berdasarkan uji kepekaan terhadap berbagai
antimikroba. Noviana melaporkan bahwa prevalensi MRSA di Rumah Sakit Atmajaya
Jakarta pada tahun 2003 mencapai 47%. Yuwono melaporkan, insiden MRSA di
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang mencapai 46%.4
6
Keberhasilan terapi terhadap infeksi S. aureus tersebut tidak berlangsung
lama karena kemudian muncul galur resisten yang mendapat plasmid yang
mengandung gen blaZ. Gen blaZ menyandi enzim betalaktamase yaitu suatu
enzim yang mampu mendegradasi penisilin dengan cara memecah cincin
betalaktam. Pada akhir tahun 1950-an, masalah resistensi terhadap betalaktam ini
dapat diatasi dengan pemberian antimikroba yang tahan terhadap betalaktamase
yaitu metisilin. Isolat S. aureus yang peka terhadap metisilin disebut Methicillin
Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA). Sayang sekali sekitar 1 tahun setelah
penggunaan metisilin di rumah sakit, masalah resistensi muncul kembali dengan
ditemukannya isolat S. aureus resisten metisilin yang disebut Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) di Inggris.4
7
Resistensi MRSA terhadap metisilin dan terhadap semua antimikroba
golongan betalaktam disebabkan perubahan pada protein binding penicillin (PBP)
yang normal yaitu PBP 2 menjadi PBP 2a. PBP 2a memiliki afinitas yang sangat
rendah terhadap beta laktam sehingga sekalipun bakteri ini dibiakan pada medium
mengandung konsentrasi tinggi beta laktam, MRSA tetap dapat hidup dan
mensintesa dinding sel (tumbuh). Eksplorasi pada struktur PBP 2a menunjukkan
adanya perubahan pada situs pengikatan (binding site) yang mengakibatkan
rendahnya afinitas. PBP 2a disandi oleh gen mecA yang merupakan bagian
SCCmec. Protein binding penicillin adalah sekelompok protein yang terlibat
dalam biosintesa peptidoglikan yaitu mengkatalisa reaksi transpeptidasi
(pembentukan anyaman peptida). Peptidoglikan Staphylococcus memiliki ciri
khas berukuran panjang, berupa struktur anyaman (cross linkage) dengan rantai
samping pentaglisin yang fleksibel. Peptidoglikan ini menjadi target antimikroba
betalaktam. Resistensi terjadi karena produksi enzim betalaktamase seperti pada
galur S. aureus producing betalactamases dan perubahan pada struktur PBP
seperti yang terjadi pada MRSA.5
8
Umumnya populasi yang resisten tumbuh lebih lambat dibandingkan populasi
yang sensistif. Selain dipengaruhi oleh perbedaan aktivitas transkripsi gen mecA,
heteroresisten kemungkinan juga dipengaruhi polimorfisme gen-gen disekitar gen
mecA dan pengaruh gen-gen lain disekitar SCCmec seperti gen grup hmr dan gen
grup fem. Sebagai dampak dari fenomena heteroresisten ini maka identifikasi
MRSA yang hanya didasarkan pada pola kepekaan terhadap antimikroba atau
identifikasi MRSA dengan mendeteksi PBP2a saja akan menjadi kurang akurat.
Oleh karena itu para ahli merekomendasikan baku emas untuk identifikasi MRSA
yaitu dengan cara mendeteksi keberadaan gen mecA dengan metode polymerase chain
reaction (PCR).4
9
Vankomisin adalah prototipe glikopeptida yang disisolasi pertama kali pada
tahun 1956 dari jamur golongan Actinoycetes yaitu Streptomyces orientalis dari
sample tanah di Kalimantan. Zat ini mulai dipakai sebagai antimikroba pada tahun
1958 dan terus meningkat penggunaannya setelah menyebarnya MRSA. Secara in
vitro, vankomisin aktif terhadap bakteri Gram positif aerob dan bakteri anaerob
seperti Staphylococcus, streptokokus, enterokokus, Clostridium spp dan
Corynebacterium spp. Menurut NCCLS, vankomisin dikatakan peka/aktif terhadap
Staphylococcus bila mampu mematikan pada konsentrasi 4µg/mL, intermediat antara
8-16 µg/mL dan resisten pada konsentrasi 32 µg/mL. Vankomisin bersifat slow
bactericidal terhadap S. aureus dan S. epidermidis. Secara in vitro juga dilaporkan
adanya efek sinergi pada campuran vankomisin dengan aminoglikosida terhadap S.
aureus. Sedangkan campuran vankomisin dengan rifampin masih diragukan
efektivitasnya karena beberapa studi memperlihatkan hasil antagonistik. Vankomisin
merupakan obat pilihan infeksi MRSA seperti bakteriemia, endokarditis, pneumonia
dan komplikasi pascabedah.3
10
DAFTAR PUSTAKA
2. file:///D:/Downloads/filsafat/ANALISIS%20FILSAFAT%20ILMU%20_
%20ONTOLOGI,%20EPISTEMOLOGI,%20AKSIOLOGI%20DAN
%20LOGIKA%20ILMU%20PENGETAHUAN
%20%E2%80%93%20Kajian%20Budaya%20filsafat).html.
11