Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan definisi dari International Association for Study of Pain (IASP),

neuralgia adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang

digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Neuralgia Post Herpetika (NPH)

adalah sindrom nyeri neuropatik yang ditandai dengan nyeri yang menetap selama

berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah proses penyembuhan ruam herpes

zoster (HZ).2 Ini adalah virus yang sama yang menyebabkan cacar air. Bertahun-

tahun kemudian, usia lanjut, penyakit, stres, penurunan fungsi sistem kekebalan,

atau obat-obatan dapat mengaktifkan kembali virus, menyebabkan wabah herpes

zoster. Terkadang, tidak ada alasan yang jelas untuk wabah ini.4 Setelah infeksi

awal varicella, VZV tidak aktif di ganglia akar dorsal dari berbagai saraf di seluruh

tubuh, termasuk saraf trigeminal, yang dipengaruhi oleh Herpes Zoster Oftalmikus.

Neuralgia Post Herpetika Oftalmikus terjadi sebagai sekuel dari Herpes Zoster

Oftalmikus yang ditandai dengan timbulnya rasa terbakar yang hebat dan rasa sakit

yang parah yang sering dikaitkan dengan alodinia.10

Dari total 2232 pasien herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di

Indonesia (2011-2013), total kasus NPH adalah 593 kasus (26.5% dari total kasus

HZ). Puncak kasus NPH pada usia 45-64 yaitu 250 kasus NPH (42% dari total kasus

NPH). Tujuan tatalaksana pada pasien dengan Neuralgia Post Herpetika Oftalmikus

adalah mengurangi durasi penyakit, memberikan obat antinyeri, dan mencegah

1
komplikasi. Hampir seluruh pasien dengan penyakit tersebut memerlukan terapi

sistemik karena manifestasi klinis yang timbul tidak hanya sebatas di okular.13

Terapi awal dengan antiviral dalam 72 jam setelah rash muncul mengurangi

manifestasi okular pada pasien dari 50% menjadi 20% - 30%.15 Antiviral yang

digunakan adalah Acyclovir, namun dikatakan juga penggunaan Valaciclovir dan

Famciclovir memiliki efektifitas yang sama dengan Acycoclovir dalam mengurangi

nyeri. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin membahas mengenai Diagnosis dan

Manajemen Terapi Terkini Neuralgia Post Herpetika Oftalmikus.

1.2 Rumusan Masalah

- Bagaimana definisi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi, dan etiologi,

manifestasi klinis, terapi, hingga prognosis dari Neuralgia Post Herpetika

Oftalmikus.

1.3 Tujuan

- Untuk mempelajari mengenai Neuralgia Post Herpetika Oftalmikus.

1.4 Manfaat

- Mengetahui lebih lengkap mengenai Neuralgia Post Herpetika

Oftalmikus.

- Mengetahui diagnosis dan manajemen terapi terkini untuk Neuralgia Post

Herpetika Oftalmikus yang dapat digunakan kedepannya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neuralgia Post Herpetika Oftalmikus

Postherpetic neuralgia (PHN) merupakan sindrom nyeri neuropatik yang

ditandai dengan nyeri yang menetap selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun

setelah proses penyembuhan ruam herpes zoster (HZ). Ini adalah virus yang sama

yang menyebabkan cacar air. Selama infeksi awal cacar air, virus tetap berada di

dalam tubuh, tertidur di dalam sel-sel saraf. Bertahun-tahun kemudian, usia lanjut,

penyakit, stres, penurunan fungsi sistem kekebalan, atau obat-obatan dapat

mengaktifkan kembali virus, menyebabkan wabah herpes zoster. Terkadang, tidak

ada alasan yang jelas untuk wabah ini. Setelah infeksi awal varicella, VZV tidak

aktif di ganglia akar dorsal dari berbagai saraf di seluruh tubuh, termasuk saraf

trigeminal, yang dipengaruhi oleh Herpes Zoster Oftalmikus.2 Herpes Zoster

Oftalmikus (HZO) didefinisikan sebagai zoster dalam divisi oftalmologi dari saraf

kranial kelima (V1). HZO menyumbang 10-20% dari kasus HZ, dan dapat

dikategorikan lebih lanjut sebagai HZO dengan atau tanpa keterlibatan mata.3 HZO

dimulai dengan gejala seperti flu termasuk demam, mialgia, dan malaise selama

kurang lebih satu minggu. Pasien mengalami ruam dermatom unilateral yang

menyakitkan dalam distribusi satu atau lebih cabang V1: supraorbital, lacrimal,

dan nasocilliary. Manifestasi kulit biasanya dimulai dari ruam makula eritematosa,

berkembang selama beberapa hari menjadi papula, vesikel, dan kemudian pustula.

Pustula kemudian pecah dan menjadi keropeng, dan pada individu imunokompeten

akan terjadi selama dua sampai tiga minggu.4 Manifestasi oftalmik yang paling

3
umum pada HZO adalah keratitis, uveitis dan konjungtivitis. Manifestasi lain

termasuk episkleritis dan skleritis, nekrosis retina akut, keterlibatan saraf kranial

dan atau meningoensefalitis. Komplikasi jangka panjang dari penyakit ini yaitu

glaukoma, katarak, jaringan parut kornea, dan Post Herpetic Neuralgia dapat

memiliki hasil yang menghancurkan pada fungsi visual dan atau kualitas hidup.3

Neuralgia Post Herpetika Oftalmikus terjadi sebagai sekuel dari Herpes Zoster

Oftalmikus yang ditandai dengan timbulnya rasa terbakar yang hebat dan rasa sakit

yang parah yang sering dikaitkan dengan alodinia.4

2.2 Epidemiologi

Di Negara Amerika Serikat, NPH merupakan penyebab nyeri neuropatik

tersering ketiga setelah low back pain dan neuropati diabetik. Frekuensi dan durasi

NPH mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. NPH berkembang

pada 73% pasien diatas 70 tahun, 47% pasien diatas 60 tahun sedangkan untuk usia

diatas 55 tahun hanya 27%. Hampir setengah dari pasien diatas 70 tahun tersebut

(48%) menderita NPH dengan durasi lebih dari 1 tahun.5 Dari total 2232 pasien

herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia (2011-2013), total kasus

NPH adalah 593 kasus (26.5% dari total kasus HZ). Puncak kasus NPH pada usia

45-64 yaitu 250 kasus NPH (42% dari total kasus NPH). Persentase Herpes Zoster

Oftalmikus di Kandou Hospital: 39/224 = 17.41%. Insidensi tertinggi 45-64 tahun

(48%) dan 65 tahun (35%).8 Herpes zoster oftalmikus mewakili sekitar 10 hingga

25 persen dari semua kasus herpes zoster. Meskipun herpes zoster oftalmikus paling

sering menghasilkan ruam dermatomal klasik, sebagian kecil pasien mungkin

hanya memiliki temuan oftalmik, terutama terbatas pada kornea. Keterlibatan mata

4
langsung tidak secara spesifik berkorelasi dengan usia, jenis kelamin, atau tingkat

keparahan penyakit.6

2.3 Anatomi

Neuralgia paska herpetika sering mengenai dermatom regio torakal diikuti

divisi oftalmik pada regio trigeminal, regio saraf kranial lainnya dan regio servikal

kemudian dermatom lumbar dan sakral.3

Jalur sensorik wajah dari saraf trigeminal analog dengan tubuh. Semua

informasi sensorik perjalanan kembali ke ganglion, dan sensasi rasa sakit dan suhu

perjalanan secara terpisah dari modalitas lain. Ganglion sensorik dari CN 5 disebut

ganglion gasserian, yang berada di Meckel cave (mnemonik : ganglion atau saraf

kranial V berada di Meckel cave).9

5
B
C
Gambar 1. A. Gambaran klinis pasien Herpes Zoster, B. Persarafan Nervus Trigeminal
Oftalmikus tampak lateral, C. Persarafan Nervus Trigeminal tampak anterior.
(Sumber : Pusponegoro et al, 2014)

Ganglion gasserian menerima input somatosensorik dari ace dan

mentransmisikan informasi itu ke batang otak di tingkat pons. Distal ke ganglion

gasserian, saraf trigeminal membelah menjadi tiga cabang: oftalmik (V1), maksila

(V2), dan mandibula (V3). V1 dan V2 melewati sinus kavernosa, sedangkan V3

tidak melewati sinus kavernosa. V1 keluar dari tengkorak melalui celah orbital

superior, V2 melalui foramen rotundum, dan V3 melalui foramen ovale. Proksimal

ke ganglion gasserian, informasi somatosensori dari CN 5 memasuki batang otak

di tingkat pons. Meskipun titik masuknya CN 5 ke batang otak berada pada level

pons (seperti yang diharapkan atau skema 5-6-7-8 yang dijelaskan dalam Bab 9),

CN 5 memiliki nuklei di sepanjang tiga tingkat batang otak.5

6
2.4 Patofisiologi

Herpes Zoster menyerang cabang pertama nervus trigeminus. Erupsi kulit

sebatas mata sampai ke verteks, tetapi tidak melalui garis tengah dahi. Herpes zoster

oftalmikus terjadi ketika reaktivasi virus laten di ganglia trigeminal melibatkan

pembelahan saraf oftalmik. Virus merusak mata dan struktur di sekitarnya oleh

peradangan sekunder dan radang saraf sensorik. Temuan patologis termasuk

degenerasi tubuh sel akson dan akson aferen primer yang terkena, atrofi tanduk

dorsal sumsum tulang belakang, jaringan parut ganglion akar dorsal, dan hilangnya

persarafan epidermis.2 Patogenesis NPH yaitu adanya perlukaan neuronal yang

berefek baik pada komponen sentral maupun perifer dari sistem saraf. Setelah

perbaikan infeksi primer VZV, virus menetap secara laten di dalam ganglion radiks

dorsalis saraf kranial atau saraf spinal. Reaktivasi virus VZ yang diikuti replikasi

menginduksi terjadinya perubahan inflamasi pada neuron perifer dan ganglion

sensoris. Setelah diaktifkan kembali, virus bergerak sepanjang serabut saraf,

menyebabkan rasa sakit. Ketika virus mencapai kulit Anda, itu menghasilkan ruam

dan lepuh. Hal ini dapat menginduksi siklus sensitisasi yang mengakibatkan nyeri

yang menetap.3 Bila mengenai anak cabang nasosilaris (adanya vesikel pada puncak

hidung yang dikenal sebagai tanda Hutchinson, sampai dengan kantus medialis)

harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi pada mata.8

2.5 Etiologi

Varicella – Zoster Virus merupakan virus double – stranded DNA, dan

memiliki dinding pembungkus yang termasuk ke dalam famili Herpesviridae.

Infeksi primer virus ini terjadi ketika terdapat kontak dengan mukosa pernapasan

maupun mukosa konjungtiva, kemudia virus ini akan menyebar.4 Selama fase
7
infeksi primer ini, partikel virus ini menyebar menginfeksi kulit mengikuti jalur

dermatom nerve ending sensoris, hingga akhirnya mencapai ganglia.10 Terdapat

hipotesis yang mengatakan penyebaran melalui jalur hematogen pada fase viremik

yang menyebabkan terjadi penyebaran ke ganglia. Setelah fase infeksi primer

tersebut terjadi migrasi virus sepanjang serabut – serabut saraf sensoris menuju sel

satellite di dorsal root ganglia dan menjadi dormant.11

Sel imun inang akan menekan replikasi dari virus ini, namun virus masih

tetap dalam kondisi dormant selama beberapa tahun hingga beberapa dekade.

Secara umum virus ini dorman di dorsal root ganglia dan ganglia nervus kranialis.

Selain itu, virus ini juga dapat mengenai nervus kranialis tigeminalis (Nervus V)

yang merupakan suplai sensori untuk wajah dan mukosa dan juga memberikan

suplai motorik untuk daerah wajah.9 Tidak menutup kemungkinan untuk terjadi

infkesi berulang akibat Varicella – Zoster Virus ini. Reaktivasi bisa terjadi pada

beberapa kondisi seperti, pada kondisi stress, dengan imosupresi, dan terpapar

kembali dengan virus.10 Pada saat terjadi reaktivasi akan menyebabkan proliferasi

sel T dan produksi interferon – alfa dan herpes virus – specific antibodies. 12

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinisnya dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu, fase pre erupsi, fase

erupsi akut, dan fase kronik. Pada fase pre erupsi ini ditandai dengan gejala

neuropati seperti sensasi terbakar, kesemutan, dan rasa nyeri yang awalnya ringan

dan hanya terbatas sesuai dengan lokasi dermatomnya.7 Sering juga disertai gejala

seperti pada fase prodromal dari herpes zoster bisa berupa flu – like syndrome,

fotopobia, dan nyeri kepala. Biasanya demamnya tidak terlalu tinggi selama kurang

8
lebih satu minggu sebelum muncul rash di sekitar dahi. Kemudian pada fase erupsi

akut akan ditemukan pustul dan juga kemerahan yang berlangsung sekitar 10 – 15

hari. Pada herpes zoster optalmikus rash berada di sekitar periokular, seperti

palpebra, kantus media, dan pada ujung hidung yang dikenal dengan Hutchinson

sign (gambar 2).9

Gambar 2. Pasien dengan Herpes Zoster Ophthalmicus dengan


Hutchinson sign. (Sumber : Vrcek I et al, 2017)

Pada palpebra dapat ditemukan makula yang kemudian bisa terjadi infeksi

sekunder sehingga muncul sekret kekuningan dan membentuk krusta ketika

mengering.7 Keterlibatan dari konjungtiva berupa injeksi pembuluh darah

konjungtiva dan kemosis yang biasa disebut boggy edema dengan reaksi papil di

9
konjungtiva bulbar. Pada kornea dapat ditemukan keratitis punctate dan

pseudodendritik jika dilakukan tes pewarnaan fluorescin hasilnya akan negatif

(Gambar 3). 10

Gambar 3. Pasien dengan Pseudodendritik.


(Sumber : Vrcek I et al, 2017)

Infeksi pada kornea menyebabkan terjadinya anterior stromal keratitis

dengan infiltrate stroma berkumpul menjadi Numular Keratitis. Numular keratitis

akan tampak opasitas berbentuk bulat yang multipel. Apabila mengenai endotel

kornea akan terjadi disciform keratitis yang tampak seperti opasifikasi berbentuk

bulat berukuran relatif besar pada kornea selain itu sering juga disertai

peninggkatan tekanan intraokular akibat trabekulitis (Gambar 4). Hal ini terjadi

akibat terkenanya kornea sehingga terbentuk neovaskularisasi dengan ekstravasasi

lipid sehingga terbentuk opasifikasi kornea.14 Keterlibatan pada uvea akibat rekasi

seluler di bilik mata depan dan secara progresif terjadi sinekia posterior (iris

mengalami adhesi ke lensa). Keterlibatan pada kornea sering dijumpai seperti

10
inflamasi yang menyebabkan nekrosis pada retina sehingga bisa terjadi kebutaan

permanen (gambar 5). Retinal detachment merupakan komplikasi tersering yang

dapat dijumpai, terjadi sekitar 50% pada seluruh pasien dengan herpes zoster

oftalmikus. 11

Gambar 4. Keratitis Disciform (Sumber : Vrcek I et al, 2017)

11
Gambar 5. Retinopati Herpes Zoster (Sumber : Vrcek I et al,
2017)

Fase kronik ditandai dengan postherpetic neuralgia yang berlangsung selama

kurang lebih 30 hari atau bahkan bisa mencapai lebih dari 3 bulan. Hal ini ditandai

dengan nyeri neuropatik yang bisa menyebabkan kelemahan tenaga. Nyeri perih

dan parestesia dan terkadang terjadi alodinia di mana nyeri berulang tanpa adanya

stimulus yang jelas. Nyeri pada permukaan ocular dan infeksi sekunder akibat defek

pada permukaan kornea yang terjadi sebelumnya. 13

2.7 Diagnosis

Evaluasi penyakit ini bisa dimulai dengan anamnesis. Pada anamnesis

penting untuk menanyakan sacred 7 dan fundamental 4. Riwayat terinfeksi dengan

varicella harus didapatkan. Selain itu yang tidak kalah penting juga menanyakan

riwayat vaksin. Menggali lebih dalam dari anamnesis sehingga kemungkinan

didapatkan apakah pasien mengalami imonukomrpomis sehingga perlu ditanyakan

riwayat penyakit terhadulu, riwayat keluarga, maupun riawayat sosial. Dari

12
anamnesis yang terperinci bisa mengekslusi diagnosis banding yang memiliki

gambaran klinis yang serupa. 12

Pemeriksaan fisik dilakukan secara lengkap dan mengevaluasi keterlibatan

dermatome dari herpes zoster. Pada pemriksaa fisik kita curigai suatu Herpes Zoster

Optalmiku apabila ditemukan Hutchinson sign. Apabila diperlukan dapat dilakukan

pemeriksaan Tzanck smear atau pewarnaan Wright yang mana dapat menentukan

apakah lesi tersebut menganadung virus tipe herpes, walaupun tidak dapat

membedakan apakah itu virus varicella atau herpes simpleks.11

Ketika curiga suatu Herpes Zoster Oftalmikus maka harus dilakukan

pemeriksaan mata secara lengkap. Pemeriksaan mata yang pertama dilakukan yaitu,

pemeriksaan visus, tekanan bola mata, dan reaksi pupil. Dilanjutkan dengan

pemeriksaan gerakan bola mata dan tes konfrontasi lapangan pandang. Pemeriksaan

luar mata dilakukan dengan evaluasi kelopak mata dan adnexa. Pertama evaluasi

konjungtiva dan sklera, dan penting evaluasi konjungtiva palpebra. Selanjutnya

dapat dilakukan pemeriksaan kornea dengan pewarnaan fluorescein. Evaluasi bilik

mata depan, iris, dan lensa. Pemeriksaan retina dilakukan dengan melakukan

midriasis pada pupil terlebih dahulu jika tidak ada kontraindikasi untuk melakukan

funduskopi.13

2.8 Diagnosis Banding

Banyak diagnosis banding yang memiliki gambaran klinis dengan inflamasi

pada palpebra dengan penurunan visus dan mata merah. Beberapa faktor penting

yang bisa mengekslusi penyakit lain yaitu dengan ditemukannya kemerahan pada

daerah dermatom, pseudodendritik kornea, rash vesikuler hingga mengenai ujung

13
hidung (Hutchinson sign). Manifestasi yang muncul pada kornea menyerupai

herpes simplek eputelitis, mata kering dengan penyakit filamen, keratopati

exposure, dan abrasi kornea. Manifestasi pada kornea juga bisa mirip dengan

sarcoidosis, cytomegalovirus retinitis, penyakit Behcet, endoptalmitis, dan

retinopati lupus. 13

2.9 Tatalaksana

Tujuan tatalaksana pada pasien dengan Neuralgia Post Herpetika

Oftalmikus adalah mengurangi durasi penyakit, memberikan obat antinyeri, dan

mencegah komplikasi. Hampir seluruh pasien dengan penyakit tersebut

memerlukan terapi sistemik karena manifestasi klinis yang timbul tidak hanya

sebatas di okular.13 Terapi awal dengan antiviral dalam 72 jam setelah rash muncul

mengurangi manifestasi okular pada pasien dari 50% menjadi 20% - 30%.15

Antiviral yang digunakan adalah Acyclovir, namun dikatakan juga penggunaan

Valaciclovir dan Famciclovir memiliki efektifitas yang sama dengan Acycoclovir

dalam mengurangi nyeri.16 Namun belum ada penelitian yang menunjukkan efikasi

dari Valaciclovir dan Famciclovir dalam mengurangi manifestasi pada ocular akibat

vius Zoster. Terapi pada 72 jam awal dapat mengurangi durasi postherpetic

neuralgia. Pemberian antiviral topikal biasanya tidak digunakan untuk terapi

Herpes Zoster Optalmikus. Harus diperhatikan juga pasien dengan

imunokompromais karena herpes Zoster Optalmikus secara mayoritas 4 – 5 kali

lebih banyak ditemukan pada pasien dengan imunokompromais.17

Pilihan untuk terapi antiviralnya seperti Acyclovir oral 800mg 5 kali per

hari , untuk Famciclovir oral dengan dosis 500mg 3 kali per hari dan Valacyclovir

14
oral dengan dosis 1g 3 kali per hari menunjukkan ketiganya memiliki efektivitas

yang sama untuk terapi herpes zoster dan mengurangi komplikasi. Penggunaan

Acyclovir intravena direkomendasikan pada pasien dengan imunokompromais

untuk mencegah encephalitis. Biasanya durasi terapi antiviral selama 7 – 10 hari.18

Pemberian kortikosteroid oral bersamaan dengan antiviral

direkomendasikan yang mana dapat mengurangi durasi nyeri pada fase akut. Selain

kortikosteroid oral, dapat juga digunakan sedian dalam bentuk topikal untuk

membantu megurangi komplikasi seperti keratitis stroma, uveitis, maupun

scleritis/episkleritis. Namun penggunaan steroid topikal ini harus digunakan

dengan hati – hati dan hanya jika dianjurkan oleh dokter spesialis mata mengingat

penggunaan steroid topikal ini bisa menyebabkan perburukan dari ulkus kornea

hingga terjadi perforasi.17

Pemberian analgesik seperti capsaicin pada pasien dengan posherpetik

neuralgia untuk mengurangi rasa nyeri. Substansi P merupakan neuropeptide yang

dilepaskan dari serabut sensoris nyeri dalam respon terhadap trauma, substansi ini

juga dilepas ketika capsaicin diaplikasikan di kulit sehingga menghasilkan sensasi

terbakar.18 Analgesia terjadi ketika Substansi P berkurang di serabut saraf. Untuk

mendapatkan respon ini, krim capsaicin harus diaplikasikan pada area yang terkena

sebanyak 3 – 5 kali per hari. Plester yang mengandung lidocaine juga digunakan

pada NPH. Beberapa penelitian menunjukkan plester lidocaine dapat mengurangi

intensitas nyeri dengan absorpsi sistemik yang minimal, namun efeknya hanya

bertahan selama 4 – 12 jam saja.16

Tricyclic antidepresan bisa efektif untuk mengurangi nyeri neuropati pada

postherpetic neuralgia bekerja dengan menghambat reuptake dari serotonin dan

15
norephineprine. Amitriptyline, nortriptyline, imipramine, dan desipramine

merupakan contoh – contoh obat Tricyclic antidepresan. Pada awlanya diberikan

dosis rendah diberikan sebelum tidur. Untuk mencapai dosis efektivitasnya dapat

ditingkatkan setiap 2 – 4 minggu. Namun perlu diwaspadai beberapa efek

sampingnya seperti, sedasi, bibir kering, postural hipotensi, pandangan kabur, dan

retensi urin. Karena obat inin tidak bekerja cepat maka respon obat pada pasien di

cek pada bulan ketiga. 19

Pemberian antikonvulsan seperti phenytoin, carbamazepine, dan

gabapentine cukup sering digunakan untuk mengurangi nyeri neuropati. Namun

antikonvulsan memiliki efek samping seperti, sedasi, gangguan daya ingat,

abnormalitas elektrolit, toksisitas hati dan trombositopenia. Efek samping dapat

dihindari dengan terapi inisiasi dosis rendah dan dapat dinaikkan dosisnya secara

perlahan. Hal ini juga ditunjukkan pada penelitian bahwa dosis yang diperlukan

untuk analgesia lebih rendah dibandingkan dosis untuk terapi epilepsi.19

Terapi yang biasanya diterapkan yaitu inisiasi dengan Valacyclovir oral

dengan dosis 1g 3 kali per hari selama 10 hari, direkomendasikan penggunaan

artificial tear dengan erythromycin ointment setiap 4 kali per hari untuk mencegah

infeksi dan menjaga permukaan mata tetap terlubrikasi. 10

2.10 Komplikasi

Beberapa komplikasi bisa melibatkan nervus kranialis yang lain, seperti

nervus okulomotor. Hal ini mungkin akibat terjadinya vaskulitis sekunder di dalam

orbita (orbital apex syndrome) yang akan memberikan pergerakan bola yang tidak

menetap sehingga akan terjadi diplopia. Selain itu dapat terjadi juga pada nervus

empat, dan enam yang berhubungan dengan pergerakan bola mata. Mayoritas kasus

16
tersebut akan membaik dalam 6 bulan. Optik neuritis akut yang dapat menyebabkan

kebutaan secara permanen. Gangguan pada perfusi dari retina dan induksi nekrosis

dari virus telah ditemukan, namun hal ini jarang terjadi pada pasien dengan imunitas

yang baik. Pada suatu kondisi yang kronis bisa ditemukan hemiparesis.17

2.11 Prognosis

- Ad vitam : dubius ad bonam

- Ad functionam : dubius ad malam

- Ad sanationam : dubius ad malam

Prognosis ad functionam dan ad sanationam, dubius ad malam karena dilihat

dari komplikasinya yang melibatkan nervus kranialis akan menyebabkan vaskulitis

sekunder di dalam orbita (orbital apex syndrome) yang akan memberikan

pergerakan bola yang tidak menetap sehingga akan terjadi diplopia dan pada

kondisi kronis bisa ditemukan hemiparesis.17

17
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Neuralgia Post Herpetika (NPH) adalah sindrom nyeri neuropatik yang

ditandai dengan nyeri yang menetap selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun

setelah proses penyembuhan ruam herpes zoster (HZ). Ini adalah virus yang sama

yang menyebabkan cacar air. Bertahun-tahun kemudian, usia lanjut, penyakit, stres,

penurunan fungsi sistem kekebalan, atau obat-obatan dapat mengaktifkan kembali

virus, menyebabkan wabah herpes zoster. Terkadang, tidak ada alasan yang jelas

untuk wabah ini. Manifestasi oftalmik yang paling umum adalah keratitis, uveitis

dan konjungtivitis. Manifestasi lain termasuk episkleritis dan skleritis, nekrosis

retina akut, keterlibatan saraf kranial dan atau meningoensefalitis. HZO

menyumbang 10-20% dari kasus HZ, dan dapat dikategorikan lebih lanjut sebagai

HZO dengan atau tanpa keterlibatan mata. Herpes zoster oftalmikus mewakili

sekitar 10 hingga 25 persen dari semua kasus herpes zoster. Meskipun herpes zoster

oftalmikus paling sering menghasilkan ruam dermatomal klasik, sebagian kecil

pasien mungkin hanya memiliki temuan oftalmik, terutama terbatas pada kornea.

Keterlibatan mata langsung tidak secara spesifik berkorelasi dengan usia, jenis

kelamin, atau tingkat keparahan penyakit. Beberapa komplikasi bisa melibatkan

nervus kranialis yang lain, seperti nervus okulomotor. Hal ini mungkin akibat

terjadinya vaskulitis sekunder di dalam orbita (orbital apex syndrome) yang akan

memberikan pergerakan bola yang tidak menetap sehingga akan terjadi diplopia.

Selain itu dapat terjadi juga pada nervus empat, dan enam yang berhubungan

dengan pergerakan bola mata. Mayoritas kasus tersebut akan membaik dalam 6

18
bulan. Optik neuritis akut yang dapat menyebabkan kebutaan secara permanen.

Terapi awal dengan antiviral dalam 72 jam setelah rash muncul mengurangi

manifestasi okular pada pasien dari 50% menjadi 20% - 30%. Antiviral yang

digunakan adalah Acyclovir, namun dikatakan juga penggunaan Valaciclovir dan

Famciclovir memiliki efektifitas yang sama dengan Acycoclovir dalam mengurangi

nyeri.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Theresa et al. Postherpetic neuralgia: epidemiology, pathophysiology, and


pain management pharmacology. Journal Of Multidisciplinary Healthcare.
2016 : 9 447–454.
2. Gupta R et al. Post Herpetic Neuralgia. BJA Education Oxford Academy.
2012 ; 12(4): 181-185.
3. Nguyen K, Gallagher J, Hitchmoth D. Herpes Zoster Ophthalmicus: A
Teaching Case Report. Optometry at the Department of Veterans Affairs in
White River Junction. 2014 ; 39(2): 67-68.
4. Tran KD,Falcone MM, Choi DS et al. Epidemiology of Herpes Zoster
Ophthalmicus: Recurrence and Chronicity. Ophthalmology. 2016 ; 123(7) :
1470-1471.
5. Koshy RC. ‘Successful Pain Management of Post Herpetic Ophthalmic
Neuralgia with Regional Nerve Blocks – A Case Report'. 2003.
6. Sampathkumar P, Drage LA, Martin DP. Herpes Zoster (Shingles) and
Postherpetic Neuralgia. Mayo Clin Proc. 2009 ; 84(3) : 274-280.
7. Catron T, Hern G. Herpes Zoster Ophthalmicus. Western Journal of
Emergency Medicine. 2008 ; 9(3) : 175-176.
8. Gharibo C, Kim C. Postherpetic Neuralgia: An Overview of The
Patophysiology, Presentation and Management. Pain Medicine News. 2011:
1-7.
9. Pusponegoro, et al. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia 2014. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2014. Hal. 7-
14.
10. Shaikh S & Christopher. Evaluation and Management of Herpes Zoster
Ophthalmicus. Am Fam Physician. 2002 Nov 1;66(9):1723-1730.
11. Vrcek I., Choudhury E., Durairaj V.,. Herpes Zoster Ophthalmicus: A
Review For A Internist. The American Journal Of Medicine. 2017. 103(1).
Pp: 1-6.

20
12. Kinchington PR, Leger AJS, Guedon J-MG, Hendricks RL. Herpes simplex
virus and varicella zoster virus, the house guests who never leave.
Herpesviridae. 2012. Pp: 3-5.
13. Starr CE, Pavan-Langston D. Varicella-zoster virus: mechanisms of
pathogenicity and corneal disease. Ophthalmol Clin North Am. 2002. 15(1).
Pp: 7-15.
14. Saad S., Christopher N., Evaluation and Management of Herpes Zoster
Ophthalmicus. American Family Physician. 2002. 66(9). Pp: 1- 8.
15. Yawn BP, Wollan PC, St Sauver JL, et al.. Herpes zoster eye complications:
rates and trends. Mayo Clin Proc. 2013. 88(6). Pp:562-570.
16. Cobo LM, Foulks GN, Liesegang T, Lass J, Sutphin JE, Wilhelmus K, et
al.,. Oral acyclovir in the treatment of acute herpes zoster ophthalmicus.
Ophthalmology. 2002. 93. Pp:763-70.
17. Tyring S, Engst R, Corriveau C, Robillard N, Trottier S, Van Slycken S, et
al. Famciclovir for ophthalmic zoster: a randomised aciclovir controlled
study. Br J Ophthalmol. 2001. 85. Pp:576-81.
18. Wim O. Michel J. W. Z.,. Managing ophthalmic herpes zoster in primary
care. 2005. 33(1). Pp: 147 – 151.
19. Balfour HH Jr.. Varicella zoster virus infections in immunocompro- mised
hosts. A review of the natural history and management. Am J Med. 2008.
85. Pp :68-73.
20. Seth J.S., Michael D., Deborah P.,. Management of Herpes Zoster
(Shingles) and Postherpetic Neuralgia. American Family Physician. 2019.
61(8). Pp: 1-5.

21

Anda mungkin juga menyukai