Anda di halaman 1dari 14

HEY!

ROCKAPOLKA
hello, call me Iwul . welcome to the randomnest thing ever in my life! haha ♫♫♫♫

Minggu, 07 Juli 2013

Clostridium tetani dan Clostridium botulinum

BAB II
ISI

A.    Clostridum tetani


Klasifikasi Ilmiah
Kingdom: Bacteria
Division: Firmicutes
Class: Clostridia
Order: Clostridiales
Family: Clostridiaceae
Genus: Clostridium
Species: Clostridium tetani
Karakteristik Umum
-          Morfologi dan identifikasi
Clostridium tetani adalah bakteri yang terdapat di tanah yang tercemar tinja manusia
dan binatang berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan
lebar 0,4-0,5 mikron. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic
berflagel peritrik berspora yang terletak disentral,subterminal maupun terminal.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah
protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas
H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora dari Clostridium tetani resisten
terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan
pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit. Juga resisten terhadap
phenol dan agen kimia yang lainnya. Bentuk koloni bakteri ini adalah koloni yang
kecil meluas dalam jalinan filamen halus.
-          Biakan
Klostridia hanya tumbuh pada keadaan anaerob yang tumbuh dengan salah satu
cara berikut ini
1.      Lempeng agar atau tabung biakan diletakkan dalam botol kedap udara, udara
dibuang dan diganti dengan nitrogen dan CO2 10%.
2.      Perbenihan cair diletakkan dalam tabung panjang yang mengadung jaringan
hewan segar mislanya cincangan daging rebus atau agar 0,1% dan suatu zat
pereduksi seperti tioglikolat. Tabung ini dapat digunakan seperti perbenihan
aerob dan pertumbuhan akan terjadi pada dasar keatas sampai 15mm dari
permukaan yang berhubungan dengan udara.
Cara Penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang
penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi.
Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia serta binatang. Clostridium tetani
berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Infeksi
terjadi setelah trauma kecil (lecet luka tusuk, infeksi tunggul tali pusat bayi baru
lahir), Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju
ke bagian anterior spinal cord. Eksotoksin yang bekerja pada sinaptosum dan
menutup respons refleks menghambat dari serabut syaraf dan menyebabkan
terjadinya influs-influs yang tak terkendali, daya kerja utamanya ialah terhadap
batang otak dan tanduk depan sumsum tulang belakang.
Pada SSP toksin mengikat diri pada ganglion di batang otak dan sumsum tulang
belakang. Toksin ini bekerja secara blokade dengan dikeluarkannya mediator
penghambat sinapsis neuron motorik. Hasilnya adalah hiperefleksi dan spasme otot
tubuh terhadap rangsangan apa saja. Masa inkubasi dari 4-5 hari sampai berminggu-
minggu. Gejala penyakitnya adalah konvulsi kontraksi tonik dari otot tubuh.
Biasanya kekakuan otot dan kejang otot mulai pada tempat infeksi, kemudian otot
mulut (risus sardonicus), kejang otot pengunyah dan punggung yang melengkung
seperti busur,   hingga kejang otot seluruh tubuh yang disebut opistotonus, kejang-
kejang otot tak sadar yang singkat dan sering setelah beberapa minggu terjadi
kefatalan akibat kelelahan dan kegagalan nafas.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium tetani
sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah Luka-luka tembus pada kulit
atau yang menimbulkan kerusakan luas, luka bakar, Fistula kulit atau pada sinus-
sinusnya, luka-luka di bawah kuku, ulkus kulit yang iskemik, luka bekas suntikan
narkoba,bekas irisan umbilicus pada bayi, endometritis sesudah abortus septic, abses
gigi, mastoiditis kronis, ruptur apendiks, abses dan luka yang mengandung bakteri
dari tinja.
Toksin
Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.
Tetanolisin bersifat hemolisin dan Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan
penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin
(tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram
untuk 70 kilogram (154lb) manusia. Sel vegetatif Clostridium tetani menghasilkan
tetanospasmin yang terutama dilepaskan bila bakteri tersebut mengalami lisis.
Produksi toksin tampaknya dikendalikan oleh gen dalam plasmid. Toksin
intraseluler itu merupakan polipeptida dengan BM 160.000 yang dapat dibelah oleh
enzim proteolitik (tripsin, kemotripsin, elastase, clostripain,dan papain) menjadi dua
fragmen dengan toksisitas yang lebih tinggi. Toksin murni mengandung lebih dari 2
x 107 dosis letal mencit per miligram. Tetanospasmin bekerja terhadap susunan saraf
pusat dengan beberapa cara. Toksin ini menghambat pelepasan asetilkolin sehingga
mengganggu transmisi neuromuskuler. Namun, secara kerja yang paling penting
adalah penghambatan neurospinal postsinaps dengan menghambat pelepasan
mediator penghambat. Ini mengakibatkan kejang otot yang menyeluruh,
hiperefleksia dan kejang umum.
Gejala
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan
kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis.
Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan
susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan
penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang. Penyakit ini khas
dengan  adanya tonik pada otot serang lintang, biasanya dimulai dari daerah sekitar
 perlukaan, kemudian otot-otot pengunyahan, sehingga akan  mengalami kesukaran
dalam mengunyah mulut.
Secara bertahap kejang tersebut akan melibatkan semua otot seran lintang sehingga
akan terjadi kejang tonik. Adanya ransang dari luar dapat memacu timbulnya
kekejangan. Kesadaran penderita tetap baik dan penyakit terus berlanjut. Kematian
biasanya terjadi akibat kegagalan fungsi pernafasan, yang umumnya 50%.
Secara klinis tetanus dibedakan menjadi :
1. tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini
dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini
dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
2. tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak,
trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter
dapat  terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan,
biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang me-netap menyebabkan
ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas,
pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang
menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot,
menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini
penderita berada dalarn kesadaran penuh
3. tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala,
wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.Tetanus tipe
ini mempunyai prognosis buruk.
Diagnosa
Tetanus ditegakan berdasarkan gejala-gejala klinik yang khas. Secara bakteriologi
biasanya tidak diharuskan oleh karena sukar sekali mengisolasi Clostridium tetani
dari luka penderita , yang kerap kali sangat kecil dan sulit dikenal kembali oleh
penderita sekalipun.
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat,
berupa :
1.Gejala klinik : Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile
).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
Penatalaksanaan dan pengobatan
1.      Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam
secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat
diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi
dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila
tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24
jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh
bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila
dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat
dilakukan.
2.      Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis
3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara
intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ",
yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada,
dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan,
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin
dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena,
pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang
tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.

          Serum Anti Tetanus


Serum Anti Tetanus ini adalah serum yang dibuat dari plasma kuda yang
dikebalkan terhadap toksin tetanus. Plasma ini dimurnikan dan dipekatkan serta
mengandung fenol 0,25%  sebagai pengawet. Indikasinya untuk pencegahan dan
pengobatan tetanus.
Komposisi :
Untuk pencegahan tiap ml mengandung :
Antitoksin tetanus    1.500     IU
Fenol            0,25 % v/v
Untuk pengobatan tiap ml mengandung :
Antitoksin tetanus    5.000     IU
Fenol            0,25 % v/v 
Dosis dan Cara Pemberian :
1.    Pencegahan tetanus : 1 dosis profilaktik (1.500 I.U.) atau lebih, diberikan
intramuskuler secepat mungkin kepada seseorang yang luka dan terkontaminasi
dengan tanah, debu jalan atau lain-lain bahan yang dapat menyebabkan infeksi
Clostridium tetani. Dua minggu kemudian dilanjutkan dengan pemberian
kekebalan aktif dengan vaksin jerap tetanus, supaya jika mendapat luka lagi tidak
perlu diberi serum anti tetanus profilaktik, tetapi cukup diberi booster vaksin jerap
tetanus.
2.Untuk pengobatan : 10.000 IU atau lebih, intramuskuler atau intravena,
tergantung dari keadaan penderita.
Efek Samping
1.Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau
dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2.Serum sickness; timbul 5 hari setelah suntikan dan dapat berupa demam, gatal-
gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Sebelum memberi suntikan
serum anti tetanus dengan dosis penuh, sebaiknya dilakukan tes hipersensitifitas
subkutan terutama bagi mereka yang mempunyai penyakit alergi (asthma, dll).
Penyimpanan dan Daluarsa
Disimpan pada suhu 2O - 8OC. kadaluarsa : 2 tahun
Kemasan ampul
1 ml :   1.500 IU
2 ml : 10.000 IU
Vial 5 ml : 20.000 IU
3.      Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4.      Antikonvulsan.
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang
hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan
obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
- Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)
- Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
- Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
- Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid
merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan
denganpemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan
cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara.
      imunisasi aktif dengan toksoid

      perawatan luka menurut cara yang tepat ( yang terkontaminasi tanah )

      penggunaan antitoksin profilaksis


          selama kehamilan berikan vaksinasi ulangan untuk merangsang pembuatan

antibodi pada ibunya yang akan melindungi bayi yang akan dilahirkan.
      Pemberian penisilin pada penderita luka

B. Clostridium botulinum

                            Klasifikasi Ilmiah


Kingdom: Bacteria
Division: Firmicutes
Class: Clostridia
Order: Clostridiales
Family: Clostridiaceae
Genus: Clostridium
Species: Clostridium botulinum

Karakteristik Umum
Clostridium botulinum adalah bakteri anaerobik yang menyebabkan botulisme. Ini
organisme Gram-positif berbentuk batang, motil, dan memiliki spora yang sangat tahan
terhadap sejumlah tekanan lingkungan seperti panas, asam tinggi dan dapat menjadi aktif
dalam asam rendah (pH lebih dari 4,6) serta kelembaban lingkungan tinggi dengan suhu
berkisar antara 3 ° C untuk 43 ° C (38 ° F sampai 110 ° F). Spora memungkinkan bakteri
untuk bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang merugikan dan menjadi bentuk
vegetatif setelah kondisi menjadi lebih menguntungkan. Clostridium botulinum sering
ditemukan pada tanah dan air. Meskipun bakteri dan spora sendiri tidak menyebabkan
penyakit, produksi toksin botulinum adalah yang menyebabkan botulisme, kondisi lumpuh
serius yang dapat mengakibatkan kematian. Ada tujuh strain C. botulinum berdasarkan
perbedaan antigenisitas antara racun, masing-masing ditandai oleh kemampuannya untuk
menghasilkan neurotoksin protein, enterotoksin, atau haemotoxin. Tipe A, B, E, dan F
botulisme penyebab pada manusia, sementara jenis C dan D menyebabkan botulisme pada
hewan dan burung. Tipe G diidentifikasi pada tahun 1970 tapi belum ditentukan sebagai
penyebab botulisme pada manusia atau hewan.
Pathogenesis
Botulisme adalah suatu keracunan akibat memakan makanan dimana Clostridium
botulinum tumbuh dan menghasilkan toksin. Spora Clostridium botulinum tumbuh
dalam keadaan anaerob, bentuk vegetative  tumbuh dan menghasilkan toksin. Ada
beberapa cara bakteri Clostridium botulinum masuk kedalam tubuh antara lain
adalah sebagai berikut :
1.          Menelan makanan yang mengandung toksin Clostridium botulinum. Toksin
botulinum dapat ditemukan dalam makanan yang belum ditangani dengan
benar atau kaleng dan sering hadir dalam sayuran kaleng, daging, dan produk
makanan laut. Penyebab paling sering adalah makanan kaleng yang bersifat
basa, dikemas kedap udara, diasap, diberi rempah-rempah, yang dimakan
tanpa dimasak lagi.
2.          Botulisme pada bayi terjadi ketika bayi menelan C. Botulinum spora yang
berkecambah dan memproduksi toksin dalam intestine.
3.          Clostridium botulinum menginfeksi luka dan menghasilkan racun. Toksin
dapat dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
4.          Toksemia usus dewasa / kolonisasi terjadi dengan cara yang sama dengan
botulisme pada bayi.
5.          Botulisme iatrogenik adalah kecelakaan overdosis racun, yang telah
disebabkan oleh inhalasi disengaja oleh pekerja laboratorium.
Gejala klinis botulisme mulai 18-36 jam setelah konsumsi toksin dengan kelemahan,
pusing dan kekeringan mulut. Mual dan muntah dapat terjadi. Neurologis segera
mengembangkan fitur, termasuk penglihatan kabur, ketidakmampuan untuk
menelan, kesulitan dalam berbicara, turun dari kelemahan otot rangka dan
kelumpuhan pernapasan. Toksin yang terdapat dalam makanan yang terkontaminasi
oleh bakteri Clostridium botulinum dalam bentuk vegetatif maupun spora akan
terserap oleh bagian atas dari saluran pencernaan di duodenum dan jejunum lalu
melewati aliran darah hingga mencapai sinapsis neuromuskuler perifer. Racun
tersebut melakukan blokade terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa
mengganggu saraf adrenegik. Karena blokade itu, pelepasan asetilkolin terhalang.
Efek ini berbeda dengan efek kurare yang menghalang-halangi efek asetil kolin
terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek racun botulisme menyerupai khasiat
atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari kelumpuhan flacid yang
menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi terhadapt cahaya), lidah kering,
takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian otot penelan dan okular ikut
terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia menjadi keluhan
penderita. Akhirnya otot pernafasan dan penghantaran impuls jantung sangat
terganggu, hingga penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest.
                                                                                                   
Toksin Botulinum
Selama pertumbuhan Clostridium botulinum dan selama autolysis bakteri,
toksin dikeluarkan ke dalam lingkungan sekitarnya. Dikenal tujuh varaiasi antigenic
toksin (A-G). tipe A,B, dan E (kadang-kadang F) adalah penyebab utama penyakit
pada manusia. Tipe A dan B dihubungkan dengan berbagai makanan, dan tipe E
terutama pada hasil ikan. Tipe C mengakibatkan leher lemas pada unggas; tipe D
botiulisme pada mamalia. Toksin merupakan protein neurotoksik (BM  150.000)
dengan struktur dan kerja yang mirip.
Toksin Clostridium botulinum merupakan substansi paling toksik yang
diketahui. Dosis letal bagi manusia mungkin sekitar 1-2 µg. Toksin  dirusak oleh
pemanasan selama 20 menit pada suhu 1000C. pembentukan toksin dibawah kendali
suatu gen virus. Beberapa strain Clostridium botulinum pembentuk toksin
menghasilkan bakteriofaga yang dapat menginfeksi strain nontoksigenik dan
mengubahnya menjadi toksigenik. Racun botulinum sangat mirip dalam struktur
dan fungsi terhadap toksin tetanus, tetapi berbeda secara efek klinis karena mereka
menargetkan sel-sel yang berbeda dalam sistem saraf. Botulinum neurotoksin
dominan mempengaruhi sistem saraf perifer mencerminkan preferensi toksin untuk
stimulasi motor neuron pada sambungan neuromuskuler. Gejala utama adalah
kelemahan atau kelumpuhan lembek. Toksin tetanus dapat mempengaruhi sistem
yang sama, namun tetanospasmin yang menunjukkan tropisme untuk
penghambatan motor neuron sistem saraf pusat, dan efeknya terutama kekakuan
dan kelumpuhan spastik.
Toksin botulinum disintesis sebagai rantai polipeptida tunggal dengan berat
molekul sekitar 150 kDa. Dalam bentuk ini, racun tersebut memiliki potensi yang
relatif rendah. Toksin ini dibentuk dari rantai ringan dan rantai berat yang diikat
oleh pita disulfida. Rantai berat diduga untuk mengikat toksin secara spesifik dan
kuat pada ujung saraf motorik dan dengan internalisasi toksin. Rantai ringan
menghambat pelepasan asetilkolin yang diperantai kalsium. Toksin bekerja dengan
menghambat pelepasan asetilkolin pada sinaps dan hubungan saraf-otot,
mengakibatkan paralisis flasid. Toksin dibelah oleh protease bakteri (atau mungkin
oleh protease lambung) untuk menghasilkan dua rantai: rantai cahaya (fragmen A)
dengan berat molekul 50 kDa, dan rantai berat (fragmen B), dengan berat molekul
100kDa.

Toksin Aksi

Toksin botulinum adalah spesifik untuk ujung saraf perifer pada titik di mana
neuron motor merangsang otot. Toksin mengikat neuron dan mencegah pelepasan
asetilkolin di celah sinaptik. Rantai berat toksin mengikat reseptor presinaptik.
Daerah yang mengikat molekul toksin terletak di dekat terminal karboksi dari rantai
berat. Terminal amino dari rantai berat diperkirakan membentuk saluran melalui
membran dari neuron yang memungkinkan rantai cahaya untuk masuk. Toksin
(fragmen A) memasuki sel dimediasi oleh reseptor. Begitu di dalam neuron, jenis
toksin yang berbeda mungkin berbeda dalam mekanisme menghambat pelepasan
asetilkolin, tetapi mekanisme yang sama atau identik dengan tetanospasmin telah
dilaporkan yaitu pembelahan proteolitik synaptobrevin II. Sel-sel yang terkena gagal
untuk melepaskan neurotransmiter, sehingga menghasilkan kelumpuhan sistem
motorik. Sekali rusak, sinaps diterjemahkan secara permanen tidak berguna.
Pemulihan fungsi memerlukan tumbuh dari akson presinaptik baru dan
pembentukan selanjutnya dari sinaps baru. mekanisme produksin asetilkolin yang
dicegah tidak diketahui. Namun, bukti terbaru menunjukkan bahwa kedua toksin
botulinum serta toksin tetanus tergantung pada endopeptidases yang membelah
protein tertentu yang terlibat dalam ekskresi neurotransmitter. Kedua racun
membelah satu set protein yang disebut synaptobrevins. Synaptobrevins ditemukan
pada vesikel sinaptik neuron, vesikel jawab atas pelepasan neurotransmitter.
Pembelahan proteolitik synaptobrevin II akan mengganggu fungsi vesikel dan
pelepasan neurotransmitter.

Gambaran klinik
Gejala-gejala dimulai 18-24 jam setelah makan makanan yang beracun, dengan
gangguan penglihatan (inkoordinasi otot-otot mata, penglihata ganda ),
ketidakmampuan menelan, dan kesulitan bicara, tanda-tanda paralisis bulbar
berjalan progresif, dan kematian terjadi karena paralisis pernafasan atau henti
jantung. Gejala gastrointestinal biasanya tidak menonjol. Tidak ada demam.
Penderita tetap sadar sepenuhnya. Penderita yang sembuh tidak membentuk
antitoksin dalam darah.
Di Amerika Serikat, botulisme pada bayi lazim atau lebih lazim ditemui daripada
bentuk klasik botulisme paralitik yang berkaitan dengan memakan makanan
terkontaminasi toksin. Bayi menjadi tidak mau makan, lemah, dan adanya tanda-
tanda paralisis(“floopy baby”). Botulisme bayi mungkin merupakan satu dari sekian
penyebab kematian akibat sindroma kematian bayi yang tiba-tiba. Clostridium
botulinum dan toksin botulinus ditemukan difeses tetapi tidak di dalam serum.
Disimpulkan bahwa spora Clostridium botulinum berada dalam makanan bayi,
mengakibatkan produksi toksin dalam usus. Diduga, merupakan media yang
digunakan untuk spora. Sebagian besar bayi sembuh  hanya dengan terapi suportif.
Tes Diagnostic Laboratorium
Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan
pemeriksaan klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak
cukup untuk menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa
banding, seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan
gambaran yang serupa. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari botulisme
berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan bertambah
dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otot-otot
pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan
diagnosa botulisme adalah
      CT-Scan

      pemeriksaan serebro spinalis

      nerve conduction test seperti electromyography atau EMG,

     tensilon test untuk myastenia gravis.


      Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum pasien

juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne
atau infant botulisme

Pengobatan
Penderita botulisme harus segera dibawa ke rumah sakit. Pengobatannya segera
dilakukan meskipun belum diperoleh hasil pemeriksaan laboratorium untuk
memperkuat diagnosis. Untuk mengeluarkan toksin yang tidak diserap dilakukan:
       perangsangan muntah.

      pengosongan lambung melalui lavase lambung

     pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi usus.


Bahaya terbesar dari botulisme ini adalah masalah pernafasan. Tanda-tanda vital
(tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas dan suhu) harus diukur secara rutin.
Jika gangguan pernafasan mulai terjadi, penderita dibawa ke ruang intensif dan
dapat digunakan alat bantu pernafasan. Perawatan intensif telah mengurangi angka
kematian karena botulisme, dari 90% pada awal tahun 1900 sekarang menjadi 10%.
Mungkin pemberian makanan harus dilakukan melalui infus. 
Pemberian antitoksin tidak dapat menghentikan kerusakan, tetapi dapat
memperlambat atau menghentikan kerusakan fisik dan mental yang lebih lanjut,
sehingga tubuh dapat mengadakan perbaikan selama beberapa bulan. Antitoksin
diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian ini pada
umumnya efektif bila dilakukan dalam waktu 72 jam setelah terjadinya gejala.
Antitoksin tidak dianjurkan untuk diberikan pada bayi, karena efektivitasnya pada
infant botulism masih belum terbukti. 
Antitoksin yang poten terhadap tiga tipe toksin botulinum telah dibuat pada hewan.
Karena tipe penyebab pada suatu kasus tertentu biasanya tidak diketahui, antitoksin
trivalent (A, B, E) harus diberikan secara intravena sedini mungkin dengan hati-hati.
Bila perlu, ventilasi yang adekuat harus dipertahankan oleh respirator  mesin. Secara
eksperimental telah dicoba pemberian guanidine hidroklorida yang kadang-kadang
berhasil. Tindakan-tindakan ini mengurangi angka kematian dari 65% menjadi di
bawah 25%.

Pencegahan, dan pengendalian


              Spora sangat tahan terhadap pemanasan dan dapat tetap hidup selama beberapa
jam pada proses perebusan. Tetapi toksinnya dapat hancur dengan pemanasan, Karena itu
memasak makanan pada suhu 80 derajat Celsius selama 30 menit, bisa mencegah
foodborne botulism. Memasak makanan sebelum memakannya, hampir selalu dapat
mencegah terjadinya foodborne botulism. Tetapi makanan yang tidak dimasak dengan
sempurna, bisa menyebabkan botulisme jika disimpan setelah dimasak, karena bakteri
dapat menghasilkan toksin pada suhu di bawah 3 derajat Celsius (suhu lemari pendingin). 
Penting untuk memanaskan makanan kaleng sebelum disajikan. Makanan kaleng yang
sudah rusak bisa mematikan dan harus dibuang. Bila kalengnya penyok atau bocor, harus
segera dibuang. Anak-anak dibawah 1 tahun sebaiknya jangan diberi madu karena mungkin
ada spora di dalamnya. 
Toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia, baik melalui saluran pencernaan, udara
maupun penyerapan melalui mata atau luka di kulit, bisa menyebabkan penyakit yang
serius. Karena itu, makanan yang mungkin sudah tercemar, sebaiknya segera dibuang.
Hindari kontak kulit dengan penderita dan selalu mencuci tangan segera setelah mengolah
makanan.                               
            Faktor utama yang membatasi pertumbuhan untuk Clostridium botulinum adalah
1.      suhu pH ekstrim <4 span="">6
2.       aktivitas air rendah karena makanan dengan kadar air yang tinggi dan dengan kadar
gula atau garam yang tinggi dapat menjadi pemicu pertumbuhan bakteri
3.          pengawet makanan misalnya pengawet seperti nitrit, asam sorbat, fenolik
antioksidan, polifosfat, dan ascorbates, dan
4.      mikroorganisme yang lainnya yang tumbuh bersamaan dengan bakteri ini misalnya
bakteri asam laktat.
Strain Clostridium botulinum dapat baik mesofilik dan Psikotropika, dengan
pertumbuhan antara 3 ° C hingga 43 ° C (38 ° F sampai 110 ° F). Oleh karena itu,
strain dapat tumbuh tidak hanya pada suhu kamar, tetapi pada pendinginan normal
dan suhu yang lebih tinggi. Waktu yang tepat, suhu, dan tekanan yang diperlukan
untuk menghancurkan spora tahan panas, dan metode penyimpanan yang benar
diperlukan untuk menjamin keamanan konsumen. Sebuah pressure cooker dapat
digunakan untuk tujuan pengalengan rumah karena dapat mencapai suhu lebih tinggi
dari mendidih (212 ° F), yang diperlukan untuk membunuh spora. Sementara spora
botulinum dapat bertahan hidup dalam air mendidih, toksin botulinum adalah panas
labil. Memanaskan makanan sampai suhu 80 ° C (176 ° F) selama 10 menit sebelum
dikonsumsi dapat sangat mengurangi risiko penyakit.
Hal yang dapat mencegah Clostridium botulinum bawaan makanan :
1.      Jika makanan kaleng, makanan dipanasi untuk setidaknya 80 ° C (176 ° F) selama 10
sampai 20 menit.
2.          Produk makanan kaleng, baik di rumah dan komersial, harus diperiksa sebelum
digunakan. Kaleng dengan tutup menggembung atau rusak, kebocoran, atau bau
yang tidak enak tidak boleh digunakan karena pertumbuhan bakteri sering dapat
menghasilkan gas, menyebabkan berkembangnya kaleng wadah makanan .
3.      makanan kaleng harus diberi tekanan dengan waktu,suhu dan persyaratan tertentu
untuk menghindari pertumbuhan bakteri dan spora.
4.          Membaca label makanan kalengan sebelem mengkonsumsi dan membuang
makanan tersebut jika sudah melewati batas kadaluarsa atau terdapat
goresan,peyok,terbuka label kaleng wadah makanan tersebut.
5.          Bagi produsen makanan kalengan disarankan untuk menggunakan pengawet yang
telah direkomendasikan atau diizinkan untuk menekan pertumbahan bakteri dalam
makanan kalengan.
6.          Kemasan atau kaleng vaccum harus disimpan dalam frezzer dengan waktu yang
direkomendasikan dalam waktu yang sedikit diperpanjang.
7.      Jauhkan makanan panas di atas 57 ° C (135 ° F) dan makanan dingin di bawah 5 ° C
(41 ° F) untuk mencegah pembentukan spora.
8.          Cuci tangan,peralatan memasak sebelum menghidangkan makanan atau
menghindarkan peralatan masak yang kontak dengan daging mentah dengan
makanan sebelum disajikan.

KESIMPULAN

          Clostridium tetani adalah bakteri yang terdapat di tanah yang tercemar tinja manusia
dan binatang berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-
0,5 mikron. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berflagel peritrik
berspora yang terletak disentral,subterminal maupun terminal. Sedangkan Clostridium
botulinum adalah bakteri anaerobik yang menyebabkan botulisme. Ini organisme Gram-
positif berbentuk batang, motil, dan memiliki spora yang sangat tahan terhadap sejumlah
tekanan lingkungan seperti panas, asam tinggi dan dapat menjadi aktif dalam asam rendah
(pH lebih dari 4,6) serta kelembaban lingkungan tinggi dengan suhu berkisar antara 3 ° C
untuk 43 ° C (38 ° F sampai 110 ° F). Keduanya dapat menyebabkan kelumpuhan dengan
mekanisme yang berbeda. Racun botulinum sangat mirip dalam struktur dan fungsi
terhadap toksin tetanus, tetapi berbeda secara efek klinis karena mereka menargetkan sel-
sel yang berbeda dalam sistem saraf. Botulinum neurotoksin dominan mempengaruhi
sistem saraf perifer mencerminkan preferensi toksin untuk stimulasi motor neuron pada
sambungan neuromuskuler. Gejala utama adalah kelemahan atau kelumpuhan lembek.
Toksin tetanus dapat mempengaruhi sistem yang sama, namun tetanospasmin yang
menunjukkan tropisme untuk penghambatan motor neuron sistem saraf pusat, dan efeknya
terutama kekakuan dan kelumpuhan spastik.

SUMBER PUSTAKA

1.          Staf pengajar FKUI. 1994.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa
Aksara
      Jawetz, Melnick dan Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta. Salemba
Medika.
          http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/196805091994031-
KUSNADI/BUKU_COMMON_TEXT_MIKROBIOLOGI,_Kusnadi,dkk/BAB_XII_MIKRO_KESEHAT
AN.pdf (diunduh tanggal 2 Juni 2012)
          http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/9491/bab%202_2006ins.pdf
(diunduh tanggal 2 Juni 2012 )
      www.who.int/csr/delibepidemics/clostridiumbotulism.pdf
      www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/botulism/
      www.edis.ifas.ufl.edu/fs104.

      www.foodsafety.gov/poisoning/causes/.../botulism/index.html
      www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?mode.

10.  www.medicinenet.com/botulism/article.htm
11.  textbookofbacteriology.net/clostridia.html
12.  http://www.biofarma.co.id/index.php/detil/items/serum-anti-tetanus.html

heyrockapolka di 19.50

Berbagi 0

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link

‹ Beranda ›
Lihat versi web

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai