Anda di halaman 1dari 8

PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG

ISLAMISASI BAHASA SEBAGAI LANGKAH AWAL ISLAMISASI SAINS


A Khudori Soleh

Email: khudori_uin@yahoo.com
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Alamat Korepondensi: Jalan Gajayana 50 Malang, Telp/Fax (0341) 558916

Abstract
Naguib’s Islamization of science is a response to negative impacts of modern science
progress (the West) which according to him is not based on Islamic world view. This has an impact
on epistemological aspects, so that it can not be used as a method of scientific development in
Islamic science. Therefore, there should be reformation of ontology and epistemology to get
harmony and usefullness for the development of Islamic sciences. According to Naguib, world view
of Islam is monotheism, unity, integration between psyche and physical, spiritual and material,
even the spiritual aspect is more important. Based on this, the source of knowledge is not just the
material of objects but the meaning of the object, so that knowledge does not fall on positivistic,
materialistic and empiric. The method of achieving knowledge is done through the power of
observation, rational thought, interpretations of revelation and intuition. The methods are not
contradictory but complementary. As the first step of Islamization of science, which change the
aspect of metaphysics (world view) and epistemology, according to Naguib, can be started by
Islamization of language
Kata Kunci
Naquib, Epistemologi, Islamisasi Bahasa

Pendahuluan perguruan tinggi, the International Institute of


Islamic Thought (IIIT), di Washington DC, tahun
Salah satu tokoh kunci dalam diskursus 1982. Secara rinci, IIIT ini bertujuan, (1)
Islamisasi sains adalah Syed Muhammad Naquib meningkatkan pandangan Islam yang universal
al-Attas. Dialah orang pertama yang secara dalam mengkaji dan memperjelas permasalahan
eksplisit menyatakan dan “meresmikan” proyek global Islam; (2) mengembalikan jati diri
Islamisasi ilmu ketika diadakan Konferensi intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha
Pendidikan Islam Internasional di Makkah, tahun islamisasi ilmu, kemanusiaan dan sosial, dan
1977. Ide ini kemudian disempurnakannya meneliti serta memahami secara mendalam
sendiri lewat beberapa buku yang ditulis dan pemikiran kontemporer dalam dunia Islam untuk
diterbitkan tahun 1978. Menurutnya, islamisasi kemudian mencari kemungkinan solusinya; (3)
bukan sekedar mempertemukan atau mengembangkan suatu pendekatan
menyandingkan ilmu umum dan ilmu keislaman komprehensif yang Islami terhadap ilmu-ilmu
tetapi rekonstruksi ontologis dan epistemologis sosial dan kemanusiaan dengan cara yang sesuai
semu bentuk keilmuan agar sesuai dengan nilai- dengan kebutuhan masyarakat kontemporer bagi
nilai Islam. cita-cita Islam dan manusia; (4) menghidupkan
pemikiran Islam, mengembangkan
Gagasan Naquib ini ternyata mendapat sambutan metodologinya dan menghubungkannya dengan
luar biasa dari para intelektual muslim dunia, tujuan syariah; (5) mengembangkan,
sehingga pada tahun yang sama diadakan mengkoordinasi dan mengadakan penelitian
Konferensi I di Swiss, disusul Konferensi II di langsung dalam bidang-bidang yang berbeda
Islamabad, Pakistan, tahun 1983; Konferensi III sehingga mampu memproduksi buku-buku teks
di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 1984; yang menjelaskan visi-visi dan meletakkan dasar
Konferensi IV di Khortum, Sudan, tahun 1987. Di bagi disiplin ilmu Islam dalam ilmu-ilmu tentang
Amerika, gagasan Islamisasi sains Naquib kemanusiaan; (6) mengembangkan SDM yang
disambut masyarakat Islam yang dipelopori mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut
Ismail Raji al-Faruqi dengan mendirikan sebuah (Barzinji, 1998:59).
Volume 5, Nomor 1, Juni 2010 – ISSN 1693-4725

Tulisan ini akan mendiskusikan ide-ide Naquib dekan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Melayu di
al-Attas tentang Islamisasi sains di atas yang perguruan tinggi baru ini, tahun 1975.
menurutnya harus dan dapat dimulai dari Selanjutnya, ketika didirikannya ISTAC (The
Islamisasi bahasa. Internasional Institut of Islamic Thaught and
Civilization), 4 Oktober 1991, ia ditunjuk sebagai
Biografi Singkat direkturnya (Muzani, 1991:90; Jawahir, 1989:32).
Terakhir ia diserahi untuk memimpin Institut
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Jawa Internasional Pemikiran dan Olah Raga Malaysia,
Barat, Indonesia, 5 September 1931. Ayahnya, lembaga otonom yang berada pada Universitas
Syed Ali ibn Abdullah al-Attas adalah orang Antar Bangsa, Malaysia (Jawahir, 1989:32).
terkemuka di kalangan Syed, sementara ibunya,
Syarifah Raguan al-Idrus, adalah keturunan dari Naquib sering diundang untuk menyampaikan
raja-raja Sunda Sukaparna (Muzani, 1991:90). ceramah atau seminar. Antara lain, di Temple
Pada usia 5 tahun ia bawa ke Johor, Malaysia, University, Philadelpia AS, pada September 1971,
untuk dididik oleh saudara ayahnya, Encik kemudian di Institut Vostokovedunia, Moskow,
Ahmad, kemudian Ny. Azizah, istri Engku Abd al- pada bulan berikutnya. Pada Juli 1973, Naquib
Aziz ibn Abd Majid, seorang menteri besar Johor. terpilih sebagai pimpinan Panel bagian Islam di
Namun, pada masa penjajahan Jepang, Naquib Asia Tenggara dalam Congress International des
pulang ke Jawa Barat dan masuk di pesantren al- Orientalis, XXIX, di Paris; menyampaikan makalah
Urwah al-Wusta, Sukabumi, belajar bahasa Arab pada konferensi pendidikan Islam I di Makkah,
dan agama Islam. tahun 1977; konferensi pendidikan Islam II di
Islamabad, Pakistan, 15-20 Maret 1980;
Empat tahun kemudian, tahun 1946, Naquib berbicara tentang filsafat dan sains Islam di USM
kembali ke Malaysia. Selain tinggal di rumah (Universitas Sains Malaysia), di Pinang, Malaysia,
Engku Abd Aziz, ia juga sempat beberapa lama Juni 1989 (Jawahir, 1989:32).
tinggal bersama Datuk Onn, ketua UMNO
pertama. Di negeri jiran ini ia masuk dan Naquib pernah juga datang ke Indonesia,
bersentuhan dengan pendidikan modern, English pertengahan Januari 1987 dan terlibat ‘debat
College, di Johor Baru, dan selanjutnya masuk terbuka’ dengan Nurcholis Madjid, yang
dinas militer, dan karena prestasinya yang mengangkat persoalan sekularisasi, tuhan dan
cemerlang ia berkesempatan mengikuti Tuhan, reaktualisasi ajaran Islam, konsep negara
pendidikan militer di Easton Hall, Chester, Islam, ilmu pendidikan Islam dan lainnya.
Inggris, tahun 1952-1955. Namun, Naquib Gagasan yang disampaikan saat itu kemudian
rupanya lebih tertarik pada dunia akademik diperbaruhi pada kedatangan kedua, Oktober
dibanding militer, sehingga ia keluar dari dinas 1988. Tahun berikutnya, Februari 1989, Naquib
militer dengan pangkat terakhir Letnan. datang kembali di Jakarta untuk berbicara
tentang sains dalam konferensi Asia Pasifik
Karier akademiknya setelah keluar dari dinas (Yatim, 1987: 16-21; Panji Masyarakat, 1988: 48-
militer adalah masuk University of Malay, 53).
Singapura, 1957-1959. Kemudian melanjutkan di
McGill University, Kanada, untuk kajian Di samping seminar dan mengajar, Naquib juga
keislaman (Islamic Studies) sampai memperoleh rajin menulis buku. Menurut Saiful Muzani (Saiful
Master tahun 1963. Selanjutnya, menempuh Muzani, 1991: 84; Naquib, 1995:8), karya-karya
program doktor pada School of Oriental and Naquib bisa dibagi dalam dua kelompok; karya
African Studies, Universitas London, yang oleh kesarjanaan (scholarly writing) dan karya-karya
banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum pemikiran. Yang pertama menggambarkan
orientalis. Di sini ia menekuni teologi dan Naquib sebagai seorang ahli atau sarjana
metafisika, dan menulis desertasi berjudul The (scholar), sedang kelompok kedua
Mysticism of Hamzah Fansuri. mengambarkannya sebagai seorang pemikir. Di
antara karyanya yang terpenting adalah Islam the
Sekembalinya dari London, ia mengabdi sebagai Concep of Religion and the Fundation of Ethic and
dosen di almamaternya, University of Malay, Morality, Kuala Lumpur, ABIM, 1976; Islam and
Singapura, yang tidak lama kemudian diangkat Secularisme, Kuala Lumpur, ABIM, 1978; dan The
sebagai Ketua Jurusan Sastra Melayu di lembaga Concep of Education in Islam A Framework to an
yang sama. Kariernya terus naik dan di lembaga Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur,
ini ia merancang dasar bahasa Malaysia. Pada ABIM, 1980.
tahun 1970 Naquib termasuk sebagai salah
seorang pendiri Universitas Kebangsaan, Berkat semangat dan prestasinya dalam
Malaysia, dan dua tahun kemudian ia diangkat pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya
sebagai Guru Besar, kemudian diangkat sebagai dalam dunia Melayu dan Islam, Naquib mendapat

2 Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas


Volume 5, Nomor 1, Juni 2010 – ISSN 1693-4725

beberapa penghargaan, antara lain, diangkat realitas dan kebenaran yang terjebak dalam
sebagai anggota American Philoshopical perjuangan tanpa henti. Dualisme ini meliputi
Assosiation, penghargaan sebagai ‘Sarjana semua aspek kehidupan dan filsafat Barat, yang
Akademi Falsafah Maharaja Iran’ (Fellow of the spekulatif, yang sosial, maupun cultural (Naquib,
Imperial Iranian Academi of Philosophy) dari Iran, 1981:198; Sardar, 1998:43).
tahun 1975, dan penghargaan dari Pakistan,
tahun 1979, atas kajian-kajianya yang mendalam Ilmu pengetahuan yang dihasilkan Barat dan
tentang pemikiran Iqbal (Yatim, 1987:16). diambil masyarakat dunia, termasuk sarjana
muslim, tidak lepas dari persoalan ini, karena
Latar Belakang Islamisasi Ilmu pengetahuan tidak bersifat netral (Naquib, 1981:
196). Ketidaknetralan pengetahuan dikarenakan
Gagasan Islamisasi ilmu Naquib al-Attas, pada bahwa ia sebenarnya diinduksikan dari semacam
dasarnya, adalah respon intelektualnya terhadap hakekat atau essensi yang menyamar atau
efek negatif ilmu modern (Barat) yang semakin dianggap sebagai pengetahuan. Bahkan, secara
tampak dan dirasakan masyarakat dunia, yang keseluruhan, apa yang disebut pengetahuan
menurutnya, merupakan akibat dari adanya sendiri, sesungguhnya, bukan pengetahuan yang
krisis di dalam basis ilmu modern (Barat), yakni sebenarnya melainkan hanya merupakan
konsepsi tentang realiatas atau pandangan dunia interpretasi-interpretasi melalui prisma
yang melekat pada setiap ilmu, yang kemudian pandangan dunia, pandangan intelektual dan
merembet pada persoalan Epistemologis, seperti persepsi psikologis dari peradaban yang
sumber pengetahuan, hubungan antara konsep melingkupi perumusan dan penyebarannya.
dan realitas, masalah kebenaran, bahasa dan Artinya, apa yang dirumuskan dan disebarkan
lainnya yang menyangkut masalah pengetahuan. tersebut adalah pengetahuan yang telah dituangi
dengan watak dan kepribadian peradaban yang
Menurut Naquib (1981:197), pandangan dunia ada, sehingga pengetahuan yang disajikan
Barat bersifat dualistik akibat dari kenyataan sebenarnya adalah pengetahuan semu yang
bahwa peradaban Barat tumbuh dari peleburan dilebur secara halus dengan yang sejati; orang-
historis dari berbagai kebudayaan dan nilai-nilai. orang tanpa sadar menerima dan
Yakni peleburan dari peradaban, nilai, filsafat dan menganggapnya sebagai pengetahuan yang sejati.
aspirasi Yunani, Romawi kuno dan perpaduannya Jelasnya, pengetahuan modern yang diproduk
dengan ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen yang Barat tidak bersifat netral melainkan telah
kemudian dikembangkan lebih jauh oleh rakyat dituangi dan ‘dicemari’ oleh watak dan
Latin, Jermania, Keltik dan Nordik. Dari Yunani peradaban Barat yang dualistis; suatu watak dan
diperoleh unsur-unsur filosofis, epistemologis, peradaban yang tidak Islami karena Islam tidak
landasan-landasan pendidikan, etika dan mengenal dualisme dalam sesuatu.
estetika; dari Romawi diperoleh unsur-unsur
hukum dan ilmu tata negera; dari ajaran Yahudi Akibat lebih lanjut dari cara pandang-dunia yang
dan Kristen diperoleh unsur-unsur kepercayaan dualistik sebagaimana di atas, konsep kebenaran
religius; dan dari rakyat Latin, Jermania, Keltik Barat tidak dirumuskan di atas pengetahuan yang
serta Nordik diperoleh nilai-nilai semangat dan diwahyukan atau kepercayaan keagamaan, tetapi
tradisonal yang bebas dan nasionalisme. di atas tradisi kebudayaan yang diperkuat dengan
dasar-dasar pendapat filosofis dan renungan-
Paduan dari unsur-unsur yang berbeda tersebut, renungan yang bertalian terutama dengan
pada saatnya juga di masuki oleh semangat kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia
rasional dan ilmiah Islam. Namun, pengetahuan sebagai makhluk fisik dan rasional. Bahkan,
dan semangat rasional serta ilmiah ini, ketika di kebenaran-kebenaran agama yang fundamental
Barat, telah dibentuk dan dipolakan kembali hanya di pandang sebagai teori-teori belaka atau
untuk disesuaikan dengan pola kebudayaan bahkan sama sekali di kesampingkan sebagai
Barat. Ia dilebur dan dipadukan dengan semua angan-angan yang sia-sia. Nilai-nilai mutlak
unsur yang membentuk watak serta kepribadian disangkal sementara nilai-nilai nisbi dikuatkan.
Barat. Peleburan-peleburan ini pada akhirnya Tidak ada sesuatu yang pasti kecuali kepastian
melahirkan suatu karakter yang dualistik dan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang pasti.
khas dalam pandangan dunia serta nilai-nilai Akibatnya, dunia fana menjadi satu-satunya
kebudayaan dan peradaban Barat, dan dualisme perhatian manusia mengalahkan yang
ini ternyata tidak dapat diselesaikan ke dalam transenden, bahkan Tuhan sendiri, dan apa yang
suatu kesatuan yang selaras dan harmonis, disebut keabadian tidak lain adalah kelangsungan
karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, doktrin- jenis manusia dan kebudayaannya dalam dunia
doktrin dan teologi-teologi yang berbeda bahkan (Naquib, 1981:200).
saling bertentangan di mana semuanya
merefleksikan visi yang dualistik mengenai

A Khudhori Sholeh 3
Volume 5, Nomor 1, Juni 2010 – ISSN 1693-4725

Epistemologi Barat yang mengagungkan Naquib (1981:44), berarti sama dengan ikut
skeptisme dan meragukan segala sesuatu mengembangkan nilai-nilai dan ketegangan batin
tersebut, menurut Naquib (1981:199), dari kebudayaan dan peradaban Barat. Wadah
menyebabkan ketegangan batin yang pada kesarjanaan dan keilmuan seperti ini tidak benar-
gilirannya membangkitkan keinginan tak pernah benar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan
terpuaskan untuk mencari dan memulai suatu masyarakat muslim, apalagi menyentuh akar-
perjalanan untuk mencapai penemuan demi akar persoalan yang ada di antara mereka.
penemuan. Pencarian ini tidak pernah Karena itu, diperlukan islamisasi ilmu atau
terpuaskan karena keraguan senantiasa parameter-parameter keilmuan yang sesuai
menguasai sehingga apa yang dicari tidak pernah dengan nilai-nilai Islam, untuk memenuhi
ditemukan dan apa yang ditemui tidak pernah kebutuhan tersebut sekaligus mengatasi
memuaskan. Artinya, epistemologi skeptisme persoalan dualisme dan ketegangan batin yang
yang diagungkan Barat, sesungguhnya, tidak bisa ada dalam sistem keilmuan Barat. Dalam hal ini,
mengantarkan kepada kebenaran, dan Naquib mengartikan islamisasi ilmu sebagai
kenyatannya tidak ada bukti bahwa keraguan upaya untuk mengenali, memisahkan dan
bisa mengantarkan kepada kebenaran, mengasingkan unsur-unsur peradaban Barat
sebaliknya ia justru menyebabkan kebenaran yang dualistik, sekularistik dan evolusioneristik
tertutup dalam perdebatan dan percekcokan yang pada dasarnya bersifat relativistik dan
tanpa akhir. nihilistik, dari tubuh pengetahuan. Sebab, unsur-
unsur ini beserta apapun yang dicelupinya tidak
Dalam pandangan Naquib (Naquib, 1995:31), menggambarkan isi pengetahuan sejati tetapi
kebenaran hanya bisa dicapai lewat hidâyah hanya menentukan bentuk dan karakter di mana
(petunjuk Ilahi), bukan keraguan. Keraguan pengetahuan dikonsepkan, dievaluasi dan
adalah pergerakan antara dua hal yang saling ditafsirkan sesuai dengan pandangan dunia Barat
bertentangan tanpa ada kecenderungan pada (Naquib, 1981: 202).
salah satunya. Ia merupakan keadaan tak
bergerak di tengah-tengah dua yang Pandangan Dunia
bertentangan tanpa kecondongan hati terhadap
salah satunya. Jika hati lebih condong pada yang Setiap pengetahuan, secara apriori, menerima
satu, bukan yang lainnya, sementara tidak adanya realitas sebagai objek pengetahuan,
menolak lainnya tersebut, maka keadaan ini sehingga pandangan tentang realitas atau
disebut dugaan; jika menolak lainnya, maka ia pandangan dunia merupakan dasar dari seluruh
masuk dalam tahap kepastian. Penolakan hati bangunan ilmu. Semua pemikiran yang
terhadap yang lain ini bukan merupakan tanda menyangkut masalah ini dalam kaitannya dengan
keraguan terhadap kebenarannya, namun keberadaan teori, masuk dalam tataran filsafat,
merupakan pengenalan positif terhadap khususnya epistemologi dan filsafat ilmu.
kesalahan atau kepalsuannya. Inilah yang Sehubungan dengan ini, Naquib merumuskan
dimaksud hidayah. Keraguan, baik bersifat pasti konsepsi tentang realitas, dengan menelaah ulang
atau sementara, membawa kepada dugaan atau khazanah intelektual Islam yang banyak memuat
kepada posisi ketidak-pastian yang lain dan tidak pemikiran tentang realitas dari para ahli ilmu
pernah kepada kebenaran (QS. 10:36). kalam, filosof dan sufi, yang dari kajian-kajian ini
ia kemudian menyuarakan suatu ‘filsafat ilmu
Meski demikian, bukan berarti Naquib menolak Islam’.
keraguan dan skeptisme sama sekali; ia tidak
menolak keraguan dan skeptisme per se, sehingga Menurut Naquib (1981:120; 1971:50), Islam
ia setuju pendapat filosof dan epistemologi memandang realitas sebagai sesuatu yang ‘ada’
muslim kenamaan, al-Ghazali (1058-1111 M), bukan sesuatu yang ‘menjadi’ sebagaimana yang
yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa dipahami Barat, sehingga objek epistemologisnya
sungguh-sungguh percaya sampai ia merasa ragu, menjadi tetap, jelas dan pasti, bukan relatif dan
dan bahwa skeptisme yang sehat adalah sangat skeptis. Dengan konsep bahwa realitas adalah
penting untuk kemajuan intelektual (Sardar, ‘menjadi’, pemikiran Barat menjadi tidak
1998:42; Osman Bakar, 1995:51). Yang di tolak mengenal objektivitas melainkan relatifitas yang
adalah keraguan dan skeptisme keilmuan Barat berujung pada skeptisme, sehingga yang ada
yang –sampai—mengorbankan atau bukan pengetahuan tetapi ‘pendapat’, ‘opini’ dan
mengabaikan nilai-nilai sosial dan cultural lain-lain yang bersifat subjektif; padahal
(Sardar, 1998:42). subjektifisme merupakan akar dari kesimpulan
‘apa saja boleh’. Sebaliknya, dengan konsep
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka jika bahwa realitas merupakan sesuatu yang ‘ada’,
sarjana dan ilmuwan muslim bekerja dan realitas menjadi sesuatu yang satu, tetap dan
mengikuti sistem pengetahuan Barat, menurut mutlak, begitu pula dengan kebenaran,

4 Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas


Volume 5, Nomor 1, Juni 2010 – ISSN 1693-4725

kebenaran hanya satu dan semua nilai-nilai Islam Pandangan dunia yang dirumuskan Naquib
bergantung terhadapnya. tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan
gagasan Islamisasi ilmu-ilmu sosial atau
Meski demikian, sebagaimana yang ada dalam humaniora. Sebab, ilmu-ilmu sosial menyangkut
teori emanasi filsafat dan tasawuf, Naquib masalah manusia dan masyarakat serta
mengakui adanya hierarki wujud. Menurutnya, hubungan di antara keduanya, di mana
meski realitas hanya satu adanya tetapi ia persoalan-persoalan ini sedikit banyak telah
tersusun atas tiga tingkatan. Tingkat I adalah dikemukakan Naquib dalam beberapa karyanya.
essensi yang merupakan wujud absolut yang
tidak diketahui kecuali hanya aspek luar-Nya Sumber dan Metode Pengetahuan
yang merupakan cerminan dari aspek dalam-Nya.
Dari aspek-luar-wujud-absolut ini melimpah Berbeda dengan filsafat dan sains modern,
aspek batin dari Keesaan Ilahiyah, dan aspek Naquib menyatakan bahwa pengetahuan datang
limpahan ini mempunyai aspek luar yang darinya dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan oleh
melimpah aspek batin ke eksistensi tingkat II, kekuatan potensi-potensi manusia, sehingga
yang mencakup nama-nama, sifat-sifat dan pengetahuan yang dimiliki manusia adalah
bentuk-bentuk permanen. Dari eksistensi II tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan.
melimpah eksistensi tingkat III yang juga Dengan konsep ini, maka dari sisi sumbernya,
mencakup aspek luar dan aspek dalam. Aspek pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu
batin eksistensi tingkat III adalah ruh manusia dari Tuhan ke dalam jiwa manusia; sebaliknya,
sedang aspek lahirnya adalah benda-benda dari sisi subjek atau manusianya, pengetahuan
semesta, yang juga terdiri atas aspek batin dan adalah sampainya jiwa pada makna sesuatu objek
aspek luar. Aspek luar inilah yang terus berubah pengetahuan (Naquib, 1987: 42-3).
sebagaimana yang ditangkap oleh indera
(Naquib, 1986:160). Dengan pemahaman yang demikian, bagi Naquib,
objek pengetahuan bukan ada-nya melainkan
Dengan pandangan seperti ini, maka realitas yang makna dari ada-nya, atau makna dari realitas
sesungguhnya adalah Tuhan. Dari Tuhan objek. Artinya, subjek atau manusianya yang
melimpah wujud-wujud, dan karena merupakan lebih berperan dan menentukan apa yang ada
limpahan-Nya, semuanya mengandung aspek pada objek. Makna objek ada dalam persepsi
ilahiyah. Namun, prosentase kandungan ilahiyah manusia bukan dalam diri objek. Ini
masing-masing maujud ini berbeda sesuai berseberangan dengan epistemologi Barat yang
perbedaan tingkat hierarkinya, semakin jauh dari positivistik, materialistik dan empiris. Menurut
pusat hierarki berarti semakin kecilnya sifat Epistemologi ini, makna pengetahuan ada dalam
ilahiyah suatu maujud. Artinya, dalam eksistensi diri objek (in-itself) secara objektif, otonom dan
tingkat III, manusia adalah yang paling ilahiyah tanpa ada pengaruh kreatif dari manusia
dibanding wujud-wujud lain di bumi karena (subjek). Manusia hanya bersikap pasif, yang diisi
secara hierarkhis ia berada setingkat di atas objek material melalui pengalaman inderawi
benda-benda bumi. Dari sinilah lahir konsep (Muzani, 1991: 98).
mokrokosmos di mana manusia dipandang
sebagai jagat kecil yang memuat dan melalui Untuk menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan
dirinya alam raya ini wujud (Muzani, 1991: 92). menangkap makna-makna objek pengetahuan,
menurut Naqib (Naquib, 1995:34), manusia
Lebih lanjut dari konsep hierarkhi emanasi ini, menggunakan kekuatan potensi-potensi yang
dalam kaitannya dengan individu dan dimiliki, yakni indera yang sehat, akal sehat dan
masyarakat, individu menduduki rangking lebih intuitif. Indera sehat disini mengacu pada
utama dibanding masyarakat atau komunitas, pengamatan dan persepsi lima indera lahir, yakni
sebab kebaikan dan kebenaran yang bersumber perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat
dari Tuhan melimpah lebih dahulu kepada dan pendengar, yang semua berfungsi untuk
individu, yang kemudian membentuk kemunitas mempersepsi hal-hal partikular dalam alam lahir.
masyarakat. Karena itu, dalam hal perbaikan Namun, terkait dengan panca indera lahir ini ada
moral, yang lebih utama adalah mental individu lima indera batin yang secara batiniyah
bukan masyarakat, jika moral individu baik maka mempersepsi citra-citra inderawi dan maknanya,
akan baik pula moral masyarakat. Kebaikan menyatukan atau memilahkan, menkonsepsi
masyarakat adalah cerminan dari kebaikan gagasan tentangnya, menyimpan hasil-hasil
individu-individu. Dari titik inilah Naquib pencerapan dan melakukan interaksi
mengkritik pemikir Barat yang dianggap lebih terhadapnya. Kelima indera batin ini adalah
menekankan masalah masyarakat di banding indera umum, representasi, estimasi, pengingat
individu, pada persoalan sosial politik ketimbang kembali dan imajinasi. Dalam hal ini, yang di
perbaikan individu (Naquib, 1981: 161-2.). persepsi adalah ‘rupa’ (form) dari objek lahiriyah,

A Khudhori Sholeh 5
Volume 5, Nomor 1, Juni 2010 – ISSN 1693-4725

yakni representasi realitas atau inderawi, bukan temukan, pengalaman ruhani yang dialami
realitas itu sendiri. Apa yang disebut realitas lahir selama baqa’, tetap ada pada dirinya (Naquib,
atau objek lahir adalah sesuatu yang 1995:38).
diabstrasikan oleh indera, yang disebut ‘rupa’
(form), bukan realitas sesungguhnya dalam Berawal dari Islamisasi Bahasa
dirinya sendiri yang disebut ‘makna’. Perbedaan
antara rupa dan makna objek-objek inderawi Dari mana kita harus memulai Islamisasi sains?
adalah bahwa ‘rupa’ merupakan apa yang Menurut Naquib, proses Islamisasi atas konsep-
pertama kali dipersepsi oleh indera lahir dan konsep di atas, yaitu tentang pandangan dunia,
kemudian oleh indera batin, sedang ‘makna’ tentang realitas dan epistemologis, yang
adalah apa yang di persepsi indera batin dari bertujuan untuk mengimbangi dan “meluruskan”
objek inderawi tanpa terlebih dahulu dipersepsi pandangan dunia (metafisika) dan epistemologis
indera lahir (Naquib, 1995:35). Barat yang tidak sesuai dengan tata nilai Islam
dan cenderung merusak tata kehidupan manusia
Mengenai akal sehat, ia bukan sekedar unsur- sendiri, menurut Naquib (1987:26; 1995: 11),
unsur inderawi atau fakultas mental yang secara dapat dimulai dari apa yang diistilahkan dengan
logis mensistemasi dan menafsirkan fakta-fakta “Islamisasi bahasa”. Akan tetapi, Islamisasi
pengalaman inderawi, atau yang mengubah data bahasa yang dimaksud tidak sama dengan
pengalaman inderawi menjadi citra akliyah yang arabisasi bahasa sebagaimana yang sering terjadi
dapat dipahami, atau yang melakukan kerja dan dipahami oleh sebagian masyarakat Islam.
abstraksi fakta-fakta dan data inderawi serta Yang pertama (Islamisasi Bahasa)
hubungan keduanya. Lebih dari itu, akal disini mempersyaratkan adanya perubahan cara
adalah substansi ruhaniyah yang melekat dalam pandang dan pemahaman atas kandungan makna
organ ruhaniyah pemahaman yang disebut hati sebuah bahasa, istilah atau kata-kata,
(qalb) yang merupakan tempat terjadinya intuisi berdasarkan atas world view yang digali dari
(Naquib, 1995:37). Jadi, apa yang disebutkan keyakinan dan nilai-nilai ajaran Islam, sedang
diatas baru merupakan bagian dari aspek akal. yang kedua (Arabisasi Bahasa) hanya sekedar
merubah dari bahasa lokal kepada kata-kata dan
Tentang intuisi sendiri, Naquib tidak membatasi bahasa Arab tanpa memperhatikan perubahan
pada pengenalan langsung tanpa perantara, oleh idiologi atau world view yang bersangkutan.
subjek yang mengenali tentang dirinya sendiri, Karena itu, Islamisasi bahasa tidak mesti diiringi
keadaan sadarnya, diri-diri lain yang seperti dengan adanya perubahan atau penterjemahan
dirinya, dunia lahiriyah, hal-hal universal, nilai- bahasa daerah kepada bahasa Arab, tetapi yang
nilai atau kebenaran-kebenaran rasional. Intuisi penting adalah perubahan pemahaman dan
juga pemahaman langsung akan kebenaran- kandungan makna lafat atau bahasa yang
kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, digunakan.
serta realitas eksistensi sebagai lawan essensi;
bahkan dalam tingkat yang lebih tinggi, intuisi Menurut Naquib, gagasan islamisasi bahasa ini
adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri bukan sesuatu yang mengada-ada. Sebab,
(Naquib, 1995:37). menurutnya (Naquib, 1987:26), cara pandang
dunia (metafisika) muslim dan juga sosialisasi
Selanjutnya, pada tingkat-tingkat kebenaran yang konsep-konsep al-Qur`an, pada awalnya adalah
lebih tinggi, intuisi tidak datang pada sembarang dimulai dari islamisasi bahasa, termasuk bahasa
orang tetapi hanya pada orang yang telah Arab. Salah satu contoh adalah kata karîm. Pada
menjalani hidupnya dengan mengalami masa jahiliyah, kata ini berarti kemuliaan garis
kebenaran agama melalui praktek pengabdian keturunan yang berkaitan dengan
kepada Tuhan secara ikhlas. Intuisi ini datang kedermawanan, sehingga kata karîm merupakan
pada orang yang, dengan pencapaian lawan kata dari bukhl (pelit). Al-Qur`an kemudian
intelektualnya, telah mengalami hakekat keesaan mengganti bidang semantik karama menjadi
Tuhan dan arti keesaan dalam suatu sistem kemuliaan berdasarkan taqwa (QS. Al-
metafisik terpadu. Intuisi ini datang pada orang Hujurat:13), sehingga menghasilkan suatu medan
yang merenungkan secara terus menerus hakekat semantik yang sama sekali baru yang tidak
realitas, untuk kemudian selama perenungan dikenal sebelumnya. Al-Qur`an merubah dasar
mendalam ini dan dengan kehendak-Nya, struktur konseptual istilah-istilah kunci jahiliyah
kesadaran akan dirinya dan kesadaran secara radikal, sehingga terjadi perombakan
subjektifnya terhapuskan, lalu masuk kedalam semua medan semantik jahiliyah (Naquib,
kedirian yang lebih tinggi, baqa’ dalam Tuhan. 1987:28). Jaringan-jaringan semantik konseptual
Ketika kembali kepada keadaan manusiawi dan yang lama lambat laun larut dan terhapus,
subjektifnya, yang bersangkutan kehilangan apa digantikan jaringan semantik konseptual baru
yang ditemukan, tetapi ilmu tentang apa yang ia yang khas qur`ani.

6 Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas


Volume 5, Nomor 1, Juni 2010 – ISSN 1693-4725

Proses islamisasi ini, menurut Naquib, tidak bisa --dan harus-- digali dari wahyu. Seperti
hanya terjadi pada al-Qur’an, tetapi juga pada dikatakan Sardar (1998:54), Epistemologi Islam
bahasa-bahasa Islam lain, bahasa non Arab, menekankan totalitas pengalaman dan
seperti bahasa Turki, Persia dan Melayu, ketika kenyataan, dan tidak menganjurkan satu cara
para da`i datang ke wilayah-wilayah ini. Di tanah melainkan banyak cara untuk mempelari objek
air, khususnya di wilayah Jawa, gagasan Naquib kajian. Konsep ilmu mencakup semua bentuk
tersebut tampaknya tidak berbeda dengan yang pengetahuan, yang diperoleh lewat observasi,
dilakukan oleh Wali Songo. Ketika melakukan olah nalar maupun intuisi. Tegasnya,
dakwah, mereka tidak langsung merubah tata pengetahuan dapat diperoleh dari wahyu
aqidah dan ibadah masyarakat Jawa yang maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari
mayoritas Hindhu-Budda, melainkan masuk tradisi maupun spekulasi teoritis. Berbagai cara
lewat budaya dan bahasa. Yaitu, dengan untuk mengetahui alam dan realitas adalah valid
menggubah tembang-tembang, hikayat, cerita karena semuanya adalah ‘wahyu’ dan tunduk di
wayang, tradisi, kebiasaan dan seterusnya yang bawah sunnah Tuhan. Wahyu-Nya terdiri atas
awalnya bernuansa politheistik atau materialistik dua macam, tertulis dan tidak tertulis: yang
menjadi sesuatu yang bernuansa dan tertulis adalah al-Qur`an, yang tidak tertulis
mengandung nilai-nilai tauhid dan keakheratan. adalah alam semesta.
Bahasa dan istilah-istilah dalam tembang,
gending atau cerita wayang dibiarkan tetap Pernyataan Naquib bahwa Islamisasi konsep atau
menggunakan bahwa Jawa, tidak diganti dengan teori harus pararel atau didahului oleh Islamisasi
istilah-istilah bahasa Arab, tetapi isi dan nilai bahasa adalah sesuatu yang sangat bagus dan
kandungannya yang dirubah. Berawal dari membantu. Sebab, perubahan bahasa dan
perubahan kandungan bahasa inilah kemudian Islamisasi bahasa dapat memberi pengaruh besar
dirubah cara pandang (world view) dan aqidah pada cara pandang dunia seseorang, sehingga
masyarakat. dapat merubah keyakinan dan perilaku yang
bersangkutan. Akan tetapi, Islamisasi bahasa
Di samping itu, menurut Naquib (Naquib, 1995: tentu tidak sama dengan reislamisasi bahasa.
14), saat ini telah terjadi perusakan bahasa- Bahkan, pernyataan Naquib bahwa kita perlu
bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, melakukan reislamisasi bahasa, dapat dinilai
yang sebagiannya merupakan bagian dari sebagai kemunduran. Sebab, bahasa-bahasa atau
sekularisasi atau lewat modernisasi tanpa kata-kata kunci dalam Islam, seperti dikatakan
disadari sepenuhnya oleh pelakunya. Karena itu, Naquib sendiri (1987:16), telah selesai sejak abad
perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan permulaan Islam. Karena itu, yang diperlukan
bahasa dan istilah-istilah tersebut kepada makna saat ini bukan reislamisasi bahasa tetapi
asalnya, sehingga jaringan konseptual pandangan aktualisasi bahasa-bahasa Islam. Kita harus
dunia muslim tidak berubah atau rusak (Naquib, menggali kembali khazanah bahasa keilmuan
1987: 6). Islam yang ada, kemudian menambah vacab baru
yang belum dikenal yang mencerminkan
Penutup metafisika atau pandangan dunia Islam. Fakultas
Humaniora dan Budaya, khususnya Jurusan
Menurut Naquib, meski pengetahuan bersumber Bahasa, jelas sangat berkepentingan dengan
dari Tuhan bukan berarti pengetahuan hanya persoalan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syafi`i. 1992. ‘ISTAC Rumah Ilmu untuk Masa Depan’ dalam jurnal Ulumul Qur’an, vol. III,
No. I. Jakarta: LSAF.

Anwar, Zainah. 1990. Kebangkitan Islam di Malaysia. Jakarta: LP3ES.

Attas, Naquib. 1986. A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry. Malaysia: The
Ministry of Culture and Sports.

----------. 1971. Islam the Concenpt of Religion and the Foundation of Ethics and Morality. Kuala
Lumpur: ABIM.

----------. 1979. Aims and Objektives of Islamic Education. London: Hodder & Stoughton.

A Khudhori Sholeh 7
Volume 5, Nomor 1, Juni 2010 – ISSN 1693-4725

----------. 1981. Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo. Bandung: Pustaka.

----------. 1987. Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Baqir. Bandung: Mizan.

----------. 1995. Islam dan Filsafat Sains, terj. Zainal Abidin. Bandung: Mizan.

Bakar, Osman. 1995. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah.

Jawahir. 1989. ‘Syed Muhammad Naquib al-Attas Pakar Agama, Pembela Aqidah dari Pemikiran
Islam yang dipengaruhi Paham Orientalis’ dalam majalah Panji Masyarakat, no. 603, edisi
21-28 Februari.

Muzani, Saiful. 1991. ‘Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi SM. Naquib al-Attas’, dalam
jurnal al-Hikmah, No. 3, edisi Juli-Oktober.

Panji Masyarakat, ‘Naquib al-Attas Vs Nurcholis Madjid Partai Ulang’, No. 592, 1988

Sardar, Ziauddin. 1998. Jihad Intelektual, terjemahan Priyono. Surabaya: Risalah Gusti.

Soleh, A Khudori (ed). 1998. Kegelisahan al-Ghazali Otobiografi Intelektual. Bandung: Pustaka
Hidayah.

Tahanawi. 1966. Kasyaf Istilah al-Funûn, I. Beirut: Dar al-Fikr.

Yatim, Badri. 1987. ‘Mengantar Sebuah Dialok’ dalam majalah Panji Masyarakat, No. 531, th.
XXVIII, 21 Februari.

8 Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas

Anda mungkin juga menyukai