DISPEPSIA
Pembimbing
Diterjemahkan oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
REFERAT
DISPEPSIA
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Penyakit Dalam
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Pembimbing
Dipresentasikan di hadapan
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
B. Definisi
C. Epidemiologi
D. Klasifikasi
E. Patofisiologi
1. Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
- Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
- Perasaan cepat kenyang
- Nyeri ulu hati
- Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang
menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang
terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas
[SCBA])
Kriteria penunjang
- Adanya rasa kembung di daerah perut bagian
atas atau mual setelah makan atau bersendawa
yang berlebihan 2.
- Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri
epigastrium.
b. Epigastric pain syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
- Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di
daerah epigastrium dengan tingkat keparahan
moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali
dalam seminggu
- Nyeri timbul berulang
- Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah
perut atau dada selain daerah perut bagian
atas/epigastrium
- Tidak berkurang dengan BAB atau buang
angin
- Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi
kriteria diagnosis kelainan kandung empedu
dan sfi ngter Oddi
1. Pendekatan Umum
Penjelaan kepada pasien mengenai latar belakang
keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang
penting. Nasehat untuk menghindari makanan yang dapat
mencetuskan serangan keluhan. (Sudoyo et al., 2009)
2. Dietetik
Prinsip dasarnya adalah menghindari makanan
pencetus serangan, seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi.
Untuk keluhan cepat kenyang, dapat dianjurkan untuk
makan porsi kecil tapisering dan rendah lemak. (Sudoyo et
al., 2009)
3. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah
memberikan terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum
hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp. Untuk
daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko
tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida,
antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazole,
rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor
Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor
(misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan
berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan
pasien sebelumnya.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi,
strategi test and treat diterapkan pada pasien dengan
keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya. Test and treat
dilakukan pada:
1) Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang
tidak berespon terhadap perubahan gaya hidup,
antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4
minggu dan tanpa tanda bahaya.
2) Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus
duodenum yang belum pernah diperiksa.
3) Pasien yang akan minum OAINS, terutama
dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
4) Anemia defisiensi besi yang tidak dapat
dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik
dan defisiensi vitamin B12.
4. Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak
diberikan terapi empirik, melainkan harus dilakukan
investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau
tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai
dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus
dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.
(Marcellus Simadibrata; et al, 2014)
a. Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal
damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan
berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan
yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia
organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik,
duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau
proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus
gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang
diberikan antara lain kombinasi PPI, misal
rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan
mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.
b. Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak
ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat
diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang
ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid,
domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya
dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa
pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait
dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai
salah satu patofisiologi dispepsia fungsional.
Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan
cisaprid oleh karena potensi komplikasi
kardiovaskular.
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan
sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin
merupakan faktor penting dalam respon terhadap
terapi antidepresan pada pasien dispepsia
fungsional.
c. Dispepsia dengan infeksi Hp
Eradikasi Hp mampu memberikan
kesembuhan jangka panjang terhadap gejala
dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional
pada pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta (Utia et al., 2010) didapatkan bahwa terapi
eradikasi memberikan perbaikan gejala pada
mayoritas pasien dispepsia dengan persentase
perbaikan gejala sebesar 76% dan 81% penemuan
Hp negatif yang diperiksa dengan UBT. Penelitian
prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010
menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp dengan
triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan
klaritromisin) selama 7 hari lebih baik dari terapi
selama 5 hari.
Tabel. Regimen Terapi Eradikasi Hp
Gambar 2. Algoritma Tata Laksana Dispepsia di berbagai Layanan
Kesehatan
Gambar 3. Algoritma Tata Laksana Dispepsia Fungsional
H. Prognosis
KESIMPULAN
Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari
seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke
dokter. Terdapat banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau
penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor,
infeksi Helicobacter pylori. Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid
(OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit
pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis, pankreatitis, kolesistetis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia
fungsional atau dispepsia non ulkus.
Glenda, N., 2006. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. 6th ed.
Jakarta: EGC.
Purnamasari, L., 2017. Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia.
Continuning medical education, 44(12), pp.870-3.
Sudoyo, A.W. et al., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta:
Interna Publishing.
Syam AF, A.M.R.A.e.a., 2006. Evaluation of the use of rapid urease test: Pronto
Dry to detect H pylori in patients with dyspepsia in several cities in
Indonesia. World J Gastroenterol , 12, pp.6216-8.