Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

DISPEPSIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing

dr. Nurhidayat, Sp. PD

Diterjemahkan oleh :

Aulia Nanda Safitri, S. Ked J510170010


KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018
REFERAT

DISPEPSIA

Yang diajukan Oleh :

Aulia Nanda Safitri, S. Ked J510170010

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Penyakit Dalam
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Pembimbing

Nama : dr. Nurhidayat, Sp. PD (.................................)

Dipresentasikan di hadapan

Nama : dr. Nurhidayat, Sp. PD (.................................)


BAB I

PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai untuk suatu sindroma


atau kumpulan gejala/kelu-han berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada ulu hati,
mual, kembung, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut merasa
penuh/begah. Keluhan tersebut dapat secara bergantian dirasakan pasien atau
bervariasi baik dari segi jenis keluhan atau pun kualitasnya. (Djojoningrat, 2005)

Populasi orang dewasa di Negara-negara barat yang dipengaruhi oleh


dispepsia berkisar antara 14-38%. Namun, sekitar 13-18% memiliki resolusi
spontan selama satu tahun, dengan prevalensi yang stabil dari waktu ke waktu.(2)
Dispepsia mempengaruhi 25% dari populasi Amerika Serikat setiap tahun dan
sekitar 5% dari semua penderita pergi ke dokter pelayanan primer. Sedangkan
Inggris memiliki prevalensi dispepsia sekitar 21% dan hanya dua persen dari
populasi tersebut berkonsultasi ke dokter pelayanan primer mereka dengan
episode baru atau pertama dispepsia setiap tahun, dan dispepsia menyumbang
40% dari semua konsul ke bagian gastroenterologi. Survei pada komunitas
memperkirakan bahwa hanya sekitar 35% dari penderita dispepsia yang
berkonsultasi ke dokter, walaupun proporsinya akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. (Depkes RI, 2008)

Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%


orang dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Negara-negara di
Barat (Eropa) memiliki angka prevalensi sekitar 7-41%, tetapi hanya 10-20%
yang akan mencari pertolongan medis. Angka insiden dispepsia diperkirakan
sekitar 1-8%. Sedangkan di Indonesia belum didapatkan data epidemiologi yang
pasti.4 Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia sudah
menempati peringkat ke-10 untuk kategori penyakit terbanyak pasien rawat inap
di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien 34.029 atau sekitar 1,59%.
Ditemukan ada pengaruh pola makan terhadap dispepsia fungsional. Pola
makan yang tidak teratur mungkin menjadi predisposisi untuk gejala
gastrointestinal yang menghasilkan hormon-hormon gastrointestinal yang tidak
teratur sehingga akan mengakibatkan terganggunya motilitas gastrointestinal.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Lambung


Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak
di bawah diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum
adalah tempat di mana makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari
makanan diserap. Lambung dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitu
daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah bagian atas, daerah
pintu masuk makanan dari oesofagus . Fundus adalah bagian tengah,
bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang
berhubungan dengan usus 12 jari duodenum.
Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni
mukosa, submukosa, muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan
dimana sel-sel mengeluarkan berbagai jenis cairan, seperti enzim,
asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti palung
untuk memperbesar perbandingan antara luas dan volume sehingga
memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan.
Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat
ditemukan untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut
sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap, urea, dan karbon
dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang
membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi
menjadi 3 lapisan otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan
menyerong. Kontraksi dari ketiga macam lapisan otot tersebut
mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak
peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk.
Lapisan terluar yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut.
Sel-sel di lapisan ini mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi
gaya gesekan yang terjadi antara perut dengan anggota tubuh lainnya.
(Glenda, 2006)
Gambar. Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus,
4.Selaput Lendir, 5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus,
8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus, 10.Duodenum

Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam


pencernaan, yaitu sel goblet [goblet cell], sel parietal [parietal cell],
dan sel chief [chief cell]. Sel goblet berfungsi untuk memproduksi
mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel agar tidak rusak
karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk
memproduksi asam lambung [Hydrochloric acid] yang berguna dalam
pengaktifan enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal
memproduksi 1.5 mol dm-3 asam lambung yang membuat tingkat
keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang bersifat sangat asam.
Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim
pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk
tidak aktif agar enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki
oleh sel tersebut yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut
(Glenda, 2006).

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-


kelenjar yang menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna,
dan selera terhadap makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi
getah lambung. Getah lambung mengandung asam lambung (HCI),
pepsin, musin, dan renin. Asam lambung berperan sebagai pembunuh
mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi pepsin.
Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi
molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang
melicinkan makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya
terdapat pada mamalia, berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein.
Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari susu sehingga dapat dicerna oleh
pepsin. Tanpa adanya renim susu yang berwujud cair akan lewat
begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna (Glenda,
2006).

Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah


makanan menjadi lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau
bubur makanan. Otot lambung bagian pilorus mengatur pengeluaran
kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya, otot pilorus yang
mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh kim
yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke
duodenum akan berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi,
misalnya kim yang bersifat asam tiba di pilorus depan, maka pilorus
akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh karena makanan asam
mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan tersebut
dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa
di belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka.
Akibatnya, makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum.
Demikian seterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju
duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut dapat
tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali
(Glenda, 2006).

Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun


hormon. Impuls parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus va-
gus akan meningkatkan motilitas, secara reflektoris melalui vagus juga
akan terjadi pengosongan lambung. Refleks pengosongan lambung ini
akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang tinggi dan reaksi
asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormon
saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin,
yang dibentuk dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran
darah ke lambung. Dengan demikian proses pengosongan lambung
merupakan proses umpan balik humoral.

Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah


lambung, yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis
dengan pH antara 0,8-1,5, yang mengandung pula enzim pencemaan,
lendir dan faktor intrinsik yang dibutuhkan untuk absorpsi vitamin
B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi protein makanan dan
menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida juga
menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah
pepsinogen yang tak aktif menjadi pepsin.

B. Definisi

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari


daerah abdomen bagian atas (Dyspepsia refers to pain or discomfort
centered in the upper abdomen). Rasa tidak nyaman tersebut dapat
berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium,
rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.
Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung
setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan
sebelum diagnosis ditegakkan. (Sudoyo et al., 2009)

C. Epidemiologi

Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum


diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional.
Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong,
Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan
Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah
dispepsia fungsional. Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550
pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003
sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada
gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal
pada 8,2% kasus. (Syam AF, 2006)

D. Klasifikasi

Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik


(struktural) dan fungsional (nonorganik). Pada dispepsia organik
terdapat penyebab yang mendasari, seperti penyakit ulkus peptikum
(Peptic Ulcer Disease/PUD), GERD (GastroEsophageal Reflux
Disease), kanker, penggunaan alkohol atau obat kronis. Non-organik
(fungsional) ditandai dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas
yang kronis atau berulang, tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik
dan endoskopi. (Purnamasari, 2017)

E. Patofisiologi

Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan


obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak
diketahui. Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor
utama, antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp,
asam lambung, hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktor-
faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya hidup,
lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.
(Marcellus Simadibrata; et al, 2014)
1. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari
penurunan kapasitas lambung dalam menerima makanan
(impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal,
dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas
gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme utama dalam
patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan
begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen,
kembung, dan rasa penuh.
2. Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam
patofisiologi dispepsia fungsional, terutama peningkatan
sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap
rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal
lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau
memperberat gejala dyspepsia.
3. Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor
pencetus yang berperan dalam dispepsia fungsional. Derajat
beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat
keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia
fungsional.
4. Peranan asam lambung
Kasus dengan dyspepsia fungsional, umumnya
emmpunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal
maupun stimlasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga
adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap
asam yang menimbulkan rasa tidak enak diperut. (Sudoyo et
al., 2009)
5. Peranan infeksi Helicobacter Pylori
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional
bervariasi dari 39% sampai 87%. Peran infeksi Hp pada
dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan
diterima.
F. Diagnosis

Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik


dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus
duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan.
Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III. Kriteria
Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik
(2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis
Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen
bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.
(Miwa et al., 2012)

Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2


subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress
syndrome. (Marcellus Simadibrata; et al, 2014)

Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional


(Murdani Abdullah, 2012)

1. Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
 Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
- Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
- Perasaan cepat kenyang
- Nyeri ulu hati
- Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
 Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang
menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang
terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas
[SCBA])

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi


sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula
gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome


Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah
ini seluruhnya terpenuhi:
- Rasa penuh setelah makan yang mengganggu,
terjadi setelah makan dengan porsi biasa,
sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
- Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak
mampu menghabiskan porsi makan biasa,
sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
-
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas
terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6
bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang
- Adanya rasa kembung di daerah perut bagian
atas atau mual setelah makan atau bersendawa
yang berlebihan 2.
- Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri
epigastrium.
b. Epigastric pain syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
- Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di
daerah epigastrium dengan tingkat keparahan
moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali
dalam seminggu
- Nyeri timbul berulang
- Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah
perut atau dada selain daerah perut bagian
atas/epigastrium
- Tidak berkurang dengan BAB atau buang
angin
- Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi
kriteria diagnosis kelainan kandung empedu
dan sfi ngter Oddi

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas


terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6
bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
- Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar,
namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal
- Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang
dengan makan, namun mungkin timbul saat
puasa
- Dapat timbul bersamaan dengan sindrom
distres setelah makan.
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari
evaluasi pasienpasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda
bahaya pada dispepsia yaitu: (Marcellus Simadibrata; et al, 2014)

1) Penurunan berat badan (unintended)


2) Disfagia progresif
3) Muntah rekuren atau persisten
4) Perdarahan saluran cerna
5) Anemia
6) Demam
7) Massa daerah abdomen bagian atas
8) Riwayat keluarga kanker lambung
9) Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun Pasien-
pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan
investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi
G. Penatalaksanaan

Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi


patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia
sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan
(belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.
(Marcellus Simadibrata; et al, 2014)

1. Pendekatan Umum
Penjelaan kepada pasien mengenai latar belakang
keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang
penting. Nasehat untuk menghindari makanan yang dapat
mencetuskan serangan keluhan. (Sudoyo et al., 2009)
2. Dietetik
Prinsip dasarnya adalah menghindari makanan
pencetus serangan, seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi.
Untuk keluhan cepat kenyang, dapat dianjurkan untuk
makan porsi kecil tapisering dan rendah lemak. (Sudoyo et
al., 2009)
3. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah
memberikan terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum
hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp. Untuk
daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko
tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida,
antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazole,
rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor
Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor
(misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan
berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan
pasien sebelumnya.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi,
strategi test and treat diterapkan pada pasien dengan
keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya. Test and treat
dilakukan pada:
1) Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang
tidak berespon terhadap perubahan gaya hidup,
antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4
minggu dan tanpa tanda bahaya.
2) Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus
duodenum yang belum pernah diperiksa.
3) Pasien yang akan minum OAINS, terutama
dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
4) Anemia defisiensi besi yang tidak dapat
dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik
dan defisiensi vitamin B12.
4. Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak
diberikan terapi empirik, melainkan harus dilakukan
investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau
tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai
dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus
dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.
(Marcellus Simadibrata; et al, 2014)
a. Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal
damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan
berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan
yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia
organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik,
duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau
proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus
gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang
diberikan antara lain kombinasi PPI, misal
rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan
mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.
b. Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak
ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat
diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang
ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid,
domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya
dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa
pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait
dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai
salah satu patofisiologi dispepsia fungsional.
Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan
cisaprid oleh karena potensi komplikasi
kardiovaskular.
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan
sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin
merupakan faktor penting dalam respon terhadap
terapi antidepresan pada pasien dispepsia
fungsional.
c. Dispepsia dengan infeksi Hp
Eradikasi Hp mampu memberikan
kesembuhan jangka panjang terhadap gejala
dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional
pada pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta (Utia et al., 2010) didapatkan bahwa terapi
eradikasi memberikan perbaikan gejala pada
mayoritas pasien dispepsia dengan persentase
perbaikan gejala sebesar 76% dan 81% penemuan
Hp negatif yang diperiksa dengan UBT. Penelitian
prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010
menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp dengan
triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan
klaritromisin) selama 7 hari lebih baik dari terapi
selama 5 hari.
Tabel. Regimen Terapi Eradikasi Hp
Gambar 2. Algoritma Tata Laksana Dispepsia di berbagai Layanan
Kesehatan
Gambar 3. Algoritma Tata Laksana Dispepsia Fungsional
H. Prognosis

Pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup


lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik.
Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh
individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa
pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap
pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi
dan gangguan psikiatris. (Murdani Abdullah, 2012)
BAB III

KESIMPULAN

Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari
seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke
dokter. Terdapat banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau
penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor,
infeksi Helicobacter pylori. Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid
(OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit
pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis, pankreatitis, kolesistetis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia
fungsional atau dispepsia non ulkus.

Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau


gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari clue atau
penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Disebabkan kanker digestif bagian
atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada
pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami
penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang
terlalu teruk. Penatalaksanaan dispepsia adalah meliputi pola hidup sehat,
berpikiran positif dan pemakanan yang sehat dan seimbang, selain daripada
pengobatan. Pengobatan dispepsia adalah antaranya seperti antasid,
antikolinergik, antagonis reseptor histamin2, Proton Pump Inhibitor, sitoprotektif,
golongan prokinetik, antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori dan kadang –
kadang diperlukan psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2008. Profil kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Djojoningrat, D., 2005. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Buku Ajar :


Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Balai penerbit FK UI.

Glenda, N., 2006. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. 6th ed.
Jakarta: EGC.

Marcellus Simadibrata; et al, 2014. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Dispepsia dan Infeksi Helicobacter Pylori.

Miwa, Ghoshal & Gonlachanvit, 2012. Asian consensus report on functional


dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil, pp.150-68.

Murdani Abdullah, J.G., 2012. Dispepsia. Continuing Medical Education, 39(9),


pp.647-51.

Purnamasari, L., 2017. Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia.
Continuning medical education, 44(12), pp.870-3.

Sudoyo, A.W. et al., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta:
Interna Publishing.

Syam AF, A.M.R.A.e.a., 2006. Evaluation of the use of rapid urease test: Pronto
Dry to detect H pylori in patients with dyspepsia in several cities in
Indonesia. World J Gastroenterol , 12, pp.6216-8.

Utia et al., 2010. Clinical evaluation of dyspepsia in patients with functional


dyspepsia,with the history of Helicobacter pylori eradication therapy in
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.. Acta Med Indones, 42, pp.86-93.

Anda mungkin juga menyukai