PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya cakupan dayasaing tidak hanya pada suatu Negara,
melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan
wilayah. Pengembangan komoditas di daerah sesuai dengan kondisi
sumberdaya alam untuk meningkatkan dayasaing memberikan banyak
manfaat, selain dapat meningkatkan efisiensi, menjaga kelestarian
sumberdaya alam, juga dapat meningkatkan aktivitas pertanian dan
perdagangan sehingga mampu meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan
masyarakat. Banyak penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas
di daerah tertentu untuk meningkatkan dayasaing karena banyak manfaat
yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah
berbasiskan sumberdaya lokal. Seperti daerah Sukabumi yang memiliki
potensi alam dalam sektor perikanan baik perikanan tangkap maupun
budidaya (Fadillah, 2011), atau daerah Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara
yang memiliki potensi tanaman pangan jagung (Mantau, Bahtiar, Aryanto,
2009).
Adapun metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun
menilai dayasaing suatu komoditas pertanian antara lain Revealed
Competitive Adventage (RCA), Berlian porter, dan Policy Analysis Matrix
(PAM). Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk
mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi
perekonomian aktual. Berbeda dengan metode Revealed Competitive
Adventage (RCA), metode Berlian Porter digunakan untuk mengukur dan
menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan Policy
Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis
ukuran yakni keuntungan privat, keuntungan sosial atau ekonomi, dan
analisis dayasaing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif serta analisis
dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas.
Pendekatan untuk meningkatkan dayasaing suatu komoditas adalah
tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan
komoditas tersebut. Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni
keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi perusahaan
dilihat dari dua indikator yakni keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif. Dengan analisis perbedaan harga harga finansial dan ekonomi
dapat diketahui nilai dayasaing suatu komoditas dan bagaimana dampak
kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani.
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya dayasaing pada umumnya
terdiri dari teknologi, produktivitas, harga, biaya input, struktur industri,
kualitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tersebut dapat
dibedakan menjadi (1) faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, seperti
strategi produk, teknologi, pelatihan, riset dan pengembangan, (2) faktor yang
dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga,
exchange rate), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan, dan regulasi pemerintah, (3) faktor semi terkendali,
seperti kebijakan harga input, dan kualitas permintaan domestik, dan (4)
faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam (Feryanto,
2010).
Berdasarkan penjelasan diatas diperoleh kesimpulan bahwa pengukuran
dayasaing dapat menggunakan PAM, selain itu dapat mengidentifikasi
dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem usahatani. Kebijakan masih
sangat dibutuhkan para petani maupun konsumen domestik dan juga
mengingat bahwa komoditas pertanian memiliki karakteristik yang unik dan
memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Dayasaing
sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas yang tidak lepas dari
peranan pemerintah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimakasud dengan Policy Analysis Matrix (PAM)?
2. Bagaimana simulasi dan praktek dari Policy Analysis Matrix (PAM)?
C. Tujuan
1. Mengetahui Konsep daya saing dan kebijakan pemerintah.
2. Mengetahui tentang Policy Analysis Matrix (PAM).
3. Mengetahui simulasi dan praktek Policy Analysis Matrix (PAM).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
1. Konsep Daya Saing
Perdagangan Internasional merupakan perdagangan yang terjadi
antara suatu negara tertentu dengan negara lainnya. Perdagangan
internasional terjadi karena beberapa hal, diantaranya perbedaan dalam
keragaman sumberdaya dan pengelolaannya, perbedaan selera (preferensi)
masing-masing negara, dan perbedaan biaya. Perbedaan dalam keragaman
sumberdaya berhubungan dengan faktor-faktor yang secara alamiah
dimiliki oleh negara tertentu. Selain itu perdagangan dapat saling
menguntungkan atas dasar perbedaan selera (preferensi) dimasing-masing
negara. Perbedaan biaya berkaitan dengan biaya produksi, yang
menyebabkan setiap negara akan berspesialisasi dalam memproduksi
komoditasnya. Jika negara-negara melakukan spesialisasi, maka skala
ekonomi akan tercapai dan biaya produksi per unit akan semakin murah.
Selain itu hubungan saling ketergantungan antara negara satu dengan yang
lain dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan
berkembang dan menjadi penting. Namun dayasaing tidak hanya
mencakup suatu negara, melainkan juga dapat ditetapkan pada suatu
komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah.
Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk
memprodukasi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga
pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi
tersebut menguntungkan (Simanjuntak,1992). Menurut Kadariah dkk
(1978), efisiensi tidaknya produksi suatu komoditi yang bersifat treadable
tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinnya, apakah biaya
produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumbersumber domestik cukup
rendah sehingga harga jualnnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga
batas yang relevan (Border price).
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu
komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam
pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi
yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi
pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing yang
menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif
digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan
pengembangan usahatani komoditi komersial, dimana keunggulan untuk
menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif
untuk menganaslisis efisiensi dari sisi finansial.
Berdasarkan hal tersebut konsep dayasaing yang digunakan adalah
daya saing menurut Esterhuizen et.al (2008) dalam Daryanto (2009),
dimana memungkinkan ditingkat produsen suatu komoditi dapat memiliki
keunggulan komparatif yakni memiliki biaya opprtunity cost yang relatif
lebih rendah, namun ditingkat konsumen komoditi tersebut tidak memiliki
keunggulan kompetitif karena adanya distorsi pasar. Sebaliknya karena
ada intervensi dari pemerintah suatu komoditi memiliki keunggulan
kompetitif namun tidak memiliki keunggulan komparatif.
a. Keunggulan Komparatif
Sudaryanto dan Simpatupang (1993) dalam Daryanto (2009)
menyebutkan bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran
dayasaing (keunggulan) potensial dalam artian dayasaing yang akan
dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata
lain komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga
memiliki keunggulan efisiensi secara ekonomi.
Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk
menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu
barang dan jasa. Selain itu konsep ini juga dapat digunakan untuk
wilayah yang lebih kecil seperti propinsi. Konsep ini pertama kali
diterapkan oleh David Ricardo yang dikenal dengan nama hukum
keunggulan komparatif ( the law of comparative advantage ) atau
disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa
sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan
absolut dalam memproduksi suatu komoditi, jika dibandingkan dengan
negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih
dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi
dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai
keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor
komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditi
inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif ( Salvator,
1994 ).
Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja
merupakan satu-satunnya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja ini
menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu komoditi sama dengan
atau dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk
memproduksi komoditi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan
bahwa (1) hanya tenaga kerjalah faktor produksi atau tenaga kerja
digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua
komoditi, dan (2) tenaga kerja homogen. Teori nilai tenaga kerja ini
merupakan kelemahan dari model Ricardian, karena (1) tenaga kerja
bukan merupakan satu-satunnya faktor produksi, juga tidak digunakan
dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi, dan
(2) tenaga kerja tidak homogen.
Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu
negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara
dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004)
menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan
komparatif, yaitu :
1) Perubahan dalam sumberdaya alam
2) Perubahan faktor-faktor biologi
3) Perubahan harga input
4) Perubahan Teknologi
5) Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien.
Melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan
komparatif diatas, maka sebenarnya keunggulan komparatif merupakan
suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu
pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang
mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja,
modal serta dari segi pengolahannya (Nuryartono,1992).
David Ricardo (dalam Nopirin, 2010:14) mengemukakan
perdagangan antar negara akan timbul apabila masing – masing negara
memiliki compatarive cost yang terkecil. Sebagai contoh Portugis dan
Inggris yang sama sama memproduksi anggur dan pakaian.
Tabel 2.1 Comparative Cost Produksi Anggur, Pakaian Portugis
dan Inggris
Keterangan:
H = Keuntungan Sosial
E = Penerimaan Sosial
F = Biaya Input Tradable Sosial
G = Biaya Input Non Tradable (domestik) Sosial
2. Analisis Daya Saing
Tingkat efisiensi pengusahaan suatu komoditi dapat dilihat dari dua
indikator yaitu indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif.
a. Keunggulan komparatif
Keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Private
(Private Cost Ratio atau PCR) yakni rasio anatara biaya input domestik
privat dengan nilai tambah privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu,
berarti untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan
diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan.
Dengan kata lain pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial
atau memiliki keunggulan kompetitif pada saat kebijakan pemerintah.
Sebaliknya jika nilai PCR lebih besar atau sama dengan satu maka
untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan
tambahan biaya daktor domestik lebih besar dari satu satuan.
Private Cost Ratio (PCR) = C / (A – B)
Keterangan:
PCR = Rasio Keuntungan Privat
C = Biaya Input Non Tradable (domestik) Privat
A = Penerimaan Privat
B = Biaya Input Tradable Privat
Keunggulan komparatif dilihat dari nilai Rasio Biaya Sumberdaya
Domestik (Domestic Resource Cost atau DRC). Jika nilai DRC lebih
kecil dari satu maka pengusahaan komoditi efisen secara ekonomi atau
memiliki keunggulan komparatif pada kondisi tanpa adanya kebijakan
atau nilai tambah yang dihasilkan melebihi biaya sumberdaya domestik
yang digunakan. Sedangkan jika nilai DRC lebih dari satu maka
penggunaan sumberdaya tidak efisien atau dengan kata lain nilai sosial
faktor domestik yang digunakan untuk memproduksikomoditas tersebut
melebihi nilai yang digunakan utnuk memproduksi komoditas tersebut
melebihi nilai tambah sosialnya.
Domestic Resource Cost Ratio (DRC) = G / (E – F)
Keterangan:
DRC = Rasio Keuntungan Sosial
G = Biaya Input Non Tradable (domestik) Sosial
E = Penerimaan Sosial
F = Biaya Input Tradable Sosial
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Dampak kebijakan dalam penerapan PAM meliputi dampak kebijakan
pemerintah terhadap output, input dan dampak kebijakan terhadap input-
output.
a. Dampak Kebijakan Output
Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan oleh Nilai Transfer
Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal
Protection Coefficient on Output atau NPCO).
1) Nilai Transfer Output
Transfer output adalah selisih pendapatan privat dengan pendapatan
sosial. Nilai transfer output yang positif menyebabkan timbulnya
implisit subsidi atau transfer sumberdaya yang menambah
keuntungan. Dengan kata lain masyarakat membeli produk dengan
harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima. Jika
nilai transfer output bernilai negative menyebabkan implisit pajak
atau transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat kebijakan subsidi negatif pada output
yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga
sosialnya. Untuk output ekspor, angka negatif menunjukkan bahwa
kebijakan menyebabkan harga yang output yang diterima oleh
produsen di dalam negeri lebih kecil dari harga di pasar dunia.
Berdasarkan matrik PAM pada Tabel 9, nilai TO dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Transfer Output = A – E
Keterangan:
TO = Transfer Faktor
A = Penerimaan Privat
E = Penerimaan Sosial
2) Koefisien Proteksi Output Nominal
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) merupakan rasio yang
dibuat untuk mengukur output transfer (TO) serta menunjukkan
seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga
sosial. Berdasarkan analisis PAM pada Tabel 9, bila NPCO lebih
besar dari satu atau positif, berarti harga domestik lebih tinggi
daripada harga impor atau ekspor dan pengusahaan komoditi
tersebut menerima proteksi. NPCO yang bernilai negatif
menunjukkan adanya kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecil
dari harga dunia, sehingga dapat dikatakan produsen output
memberikan transfer kepada pemerintah. Dengan kata lain, harga
domestik atau privat tidak di proteksi oleh pemerintah.
NPCO = A / E
Keterangan:
NPCO = Rasio Proteksi Output Nominal
A = Penerimaan Privat
E = Penerimaan Sosial
b. Dampak Kebijakan Input
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input tradable dijelaskan
dengan Transfer Input (TI) dan Koefisien Proteksi Input Nominal
(NPCI), sedangkan dampak kebijakan input domestik dijelaskan oleh
Transfer Faktor (TF) (Tabel 9).