Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya cakupan dayasaing tidak hanya pada suatu Negara,
melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan
wilayah. Pengembangan komoditas di daerah sesuai dengan kondisi
sumberdaya alam untuk meningkatkan dayasaing memberikan banyak
manfaat, selain dapat meningkatkan efisiensi, menjaga kelestarian
sumberdaya alam, juga dapat meningkatkan aktivitas pertanian dan
perdagangan sehingga mampu meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan
masyarakat. Banyak penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas
di daerah tertentu untuk meningkatkan dayasaing karena banyak manfaat
yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah
berbasiskan sumberdaya lokal. Seperti daerah Sukabumi yang memiliki
potensi alam dalam sektor perikanan baik perikanan tangkap maupun
budidaya (Fadillah, 2011), atau daerah Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara
yang memiliki potensi tanaman pangan jagung (Mantau, Bahtiar, Aryanto,
2009).
Adapun metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun
menilai dayasaing suatu komoditas pertanian antara lain Revealed
Competitive Adventage (RCA), Berlian porter, dan Policy Analysis Matrix
(PAM). Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk
mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi
perekonomian aktual. Berbeda dengan metode Revealed Competitive
Adventage (RCA), metode Berlian Porter digunakan untuk mengukur dan
menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan Policy
Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis
ukuran yakni keuntungan privat, keuntungan sosial atau ekonomi, dan
analisis dayasaing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif serta analisis
dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas.
Pendekatan untuk meningkatkan dayasaing suatu komoditas adalah
tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan
komoditas tersebut. Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni
keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi perusahaan
dilihat dari dua indikator yakni keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif. Dengan analisis perbedaan harga harga finansial dan ekonomi
dapat diketahui nilai dayasaing suatu komoditas dan bagaimana dampak
kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani.
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya dayasaing pada umumnya
terdiri dari teknologi, produktivitas, harga, biaya input, struktur industri,
kualitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tersebut dapat
dibedakan menjadi (1) faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, seperti
strategi produk, teknologi, pelatihan, riset dan pengembangan, (2) faktor yang
dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga,
exchange rate), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan, dan regulasi pemerintah, (3) faktor semi terkendali,
seperti kebijakan harga input, dan kualitas permintaan domestik, dan (4)
faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam (Feryanto,
2010).
Berdasarkan penjelasan diatas diperoleh kesimpulan bahwa pengukuran
dayasaing dapat menggunakan PAM, selain itu dapat mengidentifikasi
dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem usahatani. Kebijakan masih
sangat dibutuhkan para petani maupun konsumen domestik dan juga
mengingat bahwa komoditas pertanian memiliki karakteristik yang unik dan
memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Dayasaing
sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas yang tidak lepas dari
peranan pemerintah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimakasud dengan Policy Analysis Matrix (PAM)?
2. Bagaimana simulasi dan praktek dari Policy Analysis Matrix (PAM)?
C. Tujuan
1. Mengetahui Konsep daya saing dan kebijakan pemerintah.
2. Mengetahui tentang Policy Analysis Matrix (PAM).
3. Mengetahui simulasi dan praktek Policy Analysis Matrix (PAM).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
1. Konsep Daya Saing
Perdagangan Internasional merupakan perdagangan yang terjadi
antara suatu negara tertentu dengan negara lainnya. Perdagangan
internasional terjadi karena beberapa hal, diantaranya perbedaan dalam
keragaman sumberdaya dan pengelolaannya, perbedaan selera (preferensi)
masing-masing negara, dan perbedaan biaya. Perbedaan dalam keragaman
sumberdaya berhubungan dengan faktor-faktor yang secara alamiah
dimiliki oleh negara tertentu. Selain itu perdagangan dapat saling
menguntungkan atas dasar perbedaan selera (preferensi) dimasing-masing
negara. Perbedaan biaya berkaitan dengan biaya produksi, yang
menyebabkan setiap negara akan berspesialisasi dalam memproduksi
komoditasnya. Jika negara-negara melakukan spesialisasi, maka skala
ekonomi akan tercapai dan biaya produksi per unit akan semakin murah.
Selain itu hubungan saling ketergantungan antara negara satu dengan yang
lain dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan
berkembang dan menjadi penting. Namun dayasaing tidak hanya
mencakup suatu negara, melainkan juga dapat ditetapkan pada suatu
komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah.
Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk
memprodukasi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga
pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi
tersebut menguntungkan (Simanjuntak,1992). Menurut Kadariah dkk
(1978), efisiensi tidaknya produksi suatu komoditi yang bersifat treadable
tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinnya, apakah biaya
produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumbersumber domestik cukup
rendah sehingga harga jualnnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga
batas yang relevan (Border price).
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu
komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam
pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi
yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi
pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing yang
menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif
digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan
pengembangan usahatani komoditi komersial, dimana keunggulan untuk
menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif
untuk menganaslisis efisiensi dari sisi finansial.
Berdasarkan hal tersebut konsep dayasaing yang digunakan adalah
daya saing menurut Esterhuizen et.al (2008) dalam Daryanto (2009),
dimana memungkinkan ditingkat produsen suatu komoditi dapat memiliki
keunggulan komparatif yakni memiliki biaya opprtunity cost yang relatif
lebih rendah, namun ditingkat konsumen komoditi tersebut tidak memiliki
keunggulan kompetitif karena adanya distorsi pasar. Sebaliknya karena
ada intervensi dari pemerintah suatu komoditi memiliki keunggulan
kompetitif namun tidak memiliki keunggulan komparatif.
a. Keunggulan Komparatif
Sudaryanto dan Simpatupang (1993) dalam Daryanto (2009)
menyebutkan bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran
dayasaing (keunggulan) potensial dalam artian dayasaing yang akan
dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata
lain komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga
memiliki keunggulan efisiensi secara ekonomi.
Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk
menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu
barang dan jasa. Selain itu konsep ini juga dapat digunakan untuk
wilayah yang lebih kecil seperti propinsi. Konsep ini pertama kali
diterapkan oleh David Ricardo yang dikenal dengan nama hukum
keunggulan komparatif ( the law of comparative advantage ) atau
disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa
sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan
absolut dalam memproduksi suatu komoditi, jika dibandingkan dengan
negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih
dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi
dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai
keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor
komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditi
inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif ( Salvator,
1994 ).
Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja
merupakan satu-satunnya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja ini
menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu komoditi sama dengan
atau dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk
memproduksi komoditi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan
bahwa (1) hanya tenaga kerjalah faktor produksi atau tenaga kerja
digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua
komoditi, dan (2) tenaga kerja homogen. Teori nilai tenaga kerja ini
merupakan kelemahan dari model Ricardian, karena (1) tenaga kerja
bukan merupakan satu-satunnya faktor produksi, juga tidak digunakan
dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi, dan
(2) tenaga kerja tidak homogen.
Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu
negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara
dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004)
menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan
komparatif, yaitu :
1) Perubahan dalam sumberdaya alam
2) Perubahan faktor-faktor biologi
3) Perubahan harga input
4) Perubahan Teknologi
5) Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien.
Melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan
komparatif diatas, maka sebenarnya keunggulan komparatif merupakan
suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu
pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang
mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja,
modal serta dari segi pengolahannya (Nuryartono,1992).
David Ricardo (dalam Nopirin, 2010:14) mengemukakan
perdagangan antar negara akan timbul apabila masing – masing negara
memiliki compatarive cost yang terkecil. Sebagai contoh Portugis dan
Inggris yang sama sama memproduksi anggur dan pakaian.
Tabel 2.1 Comparative Cost Produksi Anggur, Pakaian Portugis
dan Inggris

Negara Anggur (1 botol) Pakaian (1 yard)

Portugis 3 hari 4 hari

Inggris 6 hari 5 hari

Sumber : Nopirin, 2010

Dalam hal ini Portugis akan berspesialisasi pada produksi anggur,


sedangkan Inggris pada produksi pakaian. Pada nilai tukar 1 botol
anggur sama dengan 1 yard pakaian maka Portugis akan mengorbankan
3 hari kerja untuk 1 yard pakaian yang apabila diproduksi sendiri
memerlukan waktu 4 hari kerja. Inggris juga akan beruntung dari
pertukaran dengan spesialisasi pada produksi pakaian dan ditukar
dengan anggur maka untuk memperoleh 1 botol anggur hanya
dikorbankan 5 hari kerja yang kalau diproduksi sendiri memerlukan
waktu 6 hari kerja.
Berdasarkan teori tersebut apabila suatu negara tidak lebih efisien
daripada negara lain dalam memproduksi komoditi, negara tersebut
masih dapat melakukan perdagangan internasional. Negara tersebut
dapat melakukan ekspor yang menguntungkan dan melakukan impor
untuk mengurangi ketidak efisienan memproduksi suatu komoditi.
b. Keunggulan Kompetitif
Keunggulan Kompetitif ( Competitive Advantage ) merupakan alat
untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi
perekonomian aktual. Adannya konsep keunggulan kompetitif
didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami
distorsi sama sekali sulit ditemukan didunia nyata, dan keunggulan
komparatif suatu aktivitas ekonomi dari susut pandang atau individu
yang berkentingan langsung (Rosalita,1996)
Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh poter
pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan
perdagangan internasional yang ada. Menurut porter, keunggulan
perdagangan antar negara didalam perdagangan internasional
sebenarnya tidak ada. Pada kenyataanya yang ada adalah persaingan
antara kelompok-kelompok kecil industri disatu negara dengan negara
lainnya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara
(Warr dalam Suryana dkk,1995)
Keunggulan kompetitif (Competitive Adventage) juga dapat
didefinisikan sebagai alat bantu untuk mengukur dayasaing suatu
aktivitas berdasarkan perekonomian aktual atau harga pasar. Hal ini
berbeda dengan konsep keunggulan komparatif yang mengukur manfaat
aktivitas ekonomi dari segi masyarakat keseluruhan atau general.
Keunggulan kompetitif dalam perkembangannya merupakan konsep
yang sesuai untuk mengukur kelayakan secara finansial. Sehingga
konsep keunggulan kompetitif bukan untuk menggantikan konsep
keunggulan komparatif, namun saling melengkapi antara satu sama
lain. Artinya jika suatu komoditas memiliki keunggulan secara
kompetitif dan komparatif, maka komoditas tersebut layak dan
menguntungkan untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar
internasional. Jika keunggulan komparatif berfungsi sebagai alat untuk
mengukur keuntungan sosial dan dihitung berdasarkan harga sosial dan
harga bayangan nilai tukar, maka keunggulan kompetitif berfungsi
sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dan dihitung
berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Akan tetapi
jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan komparatif namun
tidak memiliki kunggulan kompetitif, dapat diasumsikan telah terjadi
distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu
kegiatan produksi seperti administrasi, perpajakan dan lain-lain.
Sebaliknya jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif
dan tidak memiliki keunggulan komparatif berarti pemerintah
memberikan proteksi terhadap komoditas tersebut seperti melalui
stabilitas harga, kemudahan perizinan, dan lainnya.
2. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan
ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar
dapat bersaing dengan produk dari luar negeri. Kebijakan tersebut
biasannya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan
terjadinnya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta
produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnnya terjadi jika dalam
kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan
pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu berupa subsidi dan
hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan
subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan
quota.
Menurut ( Salvator, 1994 ), Subsidi adalah pembayaran dari atau
untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan
pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi
bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan
harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan
perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor
suatu komoditi, yang berupa pajak dan kuota dengan maksud untuk
menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional
(treadable) dan untuk menciptakan perbedaan harga dipasar internasional
dengan harga dipasar domestik. Kebijakan perdagangan ada dua, yaitu
kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor ditujukan untuk
melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik
yang lebih rendah dari harga dunia., yaitu dengan pengenaan pajak ekspor
baik perunit barang yang diekspor maupun secara keseluruhan. Kebijakan
impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri melalui
penetapan harga pasar domestik yang lebih rendah dari harga pasar dunia,
sehingga kebijakan dilakukan berupa pengenaan tarif impor atau kuota
impor.
a. Kebijakan Output
Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi maupun pajak dapat
diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah
terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO)
dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection
Coefficient on Output atau NPCO). Pada kebijakan output, kebijakan
harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama, tipe instrumen yang
berupa substitusi atau kebijakan perdagangan, kedua kelompok
penerimaan, meliputi produsen dan konsumen, dan ketiga tipe
komoditas yang berupa komoditas dapat diimpor atau dapat diekspor.
1) Tipe Instrument
Kebijakan tipe instrumen mencakup pada substitusi dan kebijakan
perdangan. Substitusi merupakan bentuk pembayaran dari dan atau
untuk pemerintah. Jika dibayarkan dari pemerintah maka disebut
subsidi positif, sedangkan jika dibayarkan untuk pemerintah disebut
subsidi negatif atau pajak. Pada umumnya, subsidi positif dan negatif
bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan
harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen
dalam negeri. Kebijakan terhadap output dapat berupa subsidi
maupun pajak. Subsidi terhadap komoditas ekspor akan berdampak
positif sedangkan penerapan pajak akan berdampak negatif.
Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada
impor atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat berupa
pembatasan terhadap harga komoditas atau pembatasan jumlah
komoditas (kuota) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan
di pasar internasional sehingga dapat mengendalikan harga
internasional dengan harga domestik
2) Kelompok Penerima
Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah kebijakan yang
dimaksudkan untuk produsen atau konsumen. Subsidi atau kebijakan
perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer antara produsen,
konsumen, dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan
subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya
harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh
keuntungan maka konsumen mengalami kerugian, sebaliknya ketika
produsen mengalami kerugian maka konsumen memperoleh
keuntungan. Kondisi ini menggambarkan bahwa keuntungan yang
didaptkan oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian
yang dialami oleh pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang
diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang, maka keuntungan yang
diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita, oleh
karena itu manfaat yang didapatkan dari kelompok tertentu baik itu
konsumen, produsen atau keunangan pemerintah adalah lebih kecil
dari jumlah yang hilang dari kelompok lain.
3) Tipe Komoditas
Tipe komoditas mengklasifikasikan antara komoditas yang dapat
diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada
kebijakan harga maka harga domestik sama dengan harga di pasar
internasional, dimana untuk barang yang diekspor digunakan harga
FOB (Free On Board) dan untuk barang impor digunakan CIF (Cost,
Insurance, and Freight). Kebijakan harga yang diterapkan pada
input dapat berupa kebijakan subsidi positif maupun subsidi negatif
(pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota.
Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga barang,
jumlah barang, surplus produsen, dan surplus konsumen berubah.
Kebijakan hambatan perdagangan pada barang-barang impor
maupun ekspor merupakan kebijakan selain subsidi yang dapat
diterapkan pada output. Hambatan pada barang impor yang terdapat
tarif sehingga meningkatkan harga dalam negeri baik untuk produsen
maupun konsumen. Peningkatan output domestik serta konsumsi
yang mengalami penurunan menyebabkan impor juga turun.
b. Kebijakan Input
Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input
non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi
positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan
perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable)
karena input non tradable diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.
1) Kebijakan Input Tradable.
Kebijakan pada input tradable memiliki relevansi langsung pada
petani dan intervensi pada kelembagaan pertanian dan pemasaran
komoditas pertanian. Pengaruh kebijakan subsidi terhadap input
akan mengurangi biaya produksi sehingga meningkatkan keuntungan
petani. Sebaliknya, pajak menyebabkan peningkatan biaya produksi
sehingga petani akan mengurangi penggunaan input. Hal tersebut
akan membebani petani dan akan berimbas penurunan jumlah output
yang akan mengurangi keuntungan petani.
2) Kebijakan Input Non Tradable
Kebijakan pemerintah pada input non tradable meliputi kebijakan
pajak dan subsidi. Ilustrasi mengenai kebijakan tersebut dapat dilihat
pada Gambar 5. Harga sebelum ditetapkan pajak dan subsidi berada
pada tingkat Pd. Harga pada tingkat konsumen setelah diberlakukan
pajak dan subsidi adalah sebesar Pc serta Pp adalah harga pada
tingkat produsen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi. Kondisi
keseimbangan sebelum subsidi pada Gambar 5a berada pada titik A
dengan tingkat harga Pd dan output sebesar Q1. Setelah adanya
subsidi, terjadi peningkatan produksi output menjadi Q2 sehingga
harga yang diterima produsen menjadi Pp dan harga pada tingkat
konsumen turun menjadi Pc. Keadaan ini memberikan keuntungan
bagi produsen maupun konsumen.
Pada Gambar 5b keseimbangan awal berada pada titik A dengan
tingkat output sebesar Q1 dan pada tingkat harga Pd. Adanya pajak
berakibat pada penurun output menjadi Q2, harga yang diterima
produsen menurun menjadi Pp dan harga yang harus dibayar
konsumen meningkat mejadi Pc. Penerapan pajak atau subsidi
negatif terhadap input non tradable selalu berdampak negatif baik
kepada produsen maupun konsumen dibandingkan pemberian
subsidi positif.
B. Policy Analysis Matrix (PAM)
Policy Analysis Matrix (PAM) atau matriks kebijakan digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem
komoditas. Sistem komoditas dapat dipengaruhi melalui empat aktivitas yaitu
tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolahan, pengolahan
dan pemasaran (Monke and Pearson, 1989). Metode PAM merupakan suatu
analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yakni keuntungan privat
dan keuntungan sosial (finansial), analisis daya saing yang membahas
keunggulan komparatif dan kompetitif, serta analisis dampak kebijakan
pemerintah. Dalam metode PAM terdapat asumsi-asumsi yang digunakan,
antara lain :
1. Perhitungan berdasarkan Harga Privat (Privat Cost), yaitu harga yang
benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga
yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.
2. Perhitungan berdasarkan Harga Sosial (Social Cost) atau harga bayangan
(Shadow Price), yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau
harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan pada komoditas yang
diperdagangkan (Tradable), harga bayangan adalah harga yang terjadi di
pasar internasional.
3. Output bersifat tradable dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen
asing (Tradable) dan domestik (Non Tradable).
4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.
Menurut Pearson et.al. (2005), metode PAM membantu pengambilan
kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah tiga isu sentral
analisis kebijakan pemerintah. Isu pertama berkaitan dengan sebuah sistem
usahatani memiliki dayasaing atau tidak pada tingkat harga dan teknologi
yang ada yakni apakah petani, pedagang, dan pengolah mendapatkan
keuntungan pada tingkat harga aktual. Sebuah kebijakan harga akan
mengubah nilai output atau biaya input dan keuntungan privatnya (private
profitability). Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan
menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan atas dayasaing pada tingkat
harga aktual (harga pasar).
Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan
infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi
diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability), yaitu tingkat
keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Investasi publik yang
berhasil seperti investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi akan
meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan
keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik
menunjukkan peningkatan keuntungan sosial.
Isu ketiga sangat berkaitan dengan isu kedua, yaitu dampak investasi
baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi
sistem usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih,
teknik budidaya, atau teknik pengolahan hasil akan meningkatkan hasil
usahatani atau hasil pengolahan, dan juga akan meningkatkan pendapatan
atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah
investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut.
Analisis ini dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai
wilayah, tipe usahatani, dan teknologi.
Variabel dalam usahatani pada analisis PAM dibedakan menjadi dua
jenis yaitu variabel tradeable dan variabel non tradeable (variabel domestik).
Variabel tradeable merupakan variabel yang diperdagangkan di pasar
internasional, sebaliknya variabel non tradeable merupakan variabel yang
tidak diperdagangakan secara internasional.
Variabel input dan output dihitung menggunakan harga privat dan harga
sosial. Harga privat (harga pasar) merupakan harga yang secara aktual
dikeluarkan dan diterima oleh petani. Sedangkan harga sosial (harga
efisiensi) merupakan harga yang seharusnya dibayar oleh petani apabila tidak
ada kebijakan pemerintah pada masing – masing input dan output. Harga
sosial untuk input maupun output tradeable merupakan harga internasional
untuk 45 barang yang sejenis (compareable), harga impor untuk komoditas
impor, harga ekspor untuk komoditas ekspor. Untuk itu harga internasional
ditentukan melalui paritas impor/ekspor komoditas. Begitu pula dengan biaya
input tradeable yang dihitung menggunakan biaya sosial apabila
mengimpor/mengekspor input tradeable yang bersangkutan.
Harga sosial (harga efisiensi) faktor domestik (lahan, tanaga kerja, dan
modal) juga diestimasi dengan menggunakan social opportunity cost. Namun
karena faktor domestik tidak diperdagangkan secara internasional, sehingga
tidak memiliki harga internasional, maka social opportunity cost nya
diestimasi melalui pengamatan pada wilayah yang diteliti. Tujuannya adalah
untuk mengetahui berapa pendapatan yang hilang karena faktor domestik
digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut dibandingkan dengan
apabila digunakan utnuk komoditas alternatif terbaiknya (Pearson, et al.,
2005:24).
Biaya
Input Non
Keterangan Penerimaan Input Keuntungan
Tradabel
Tradable
(faktor domestiK)
Harga Privat A B C D
Harga Sosial E F G H
Efek
I J K L
Divergensi
Sumber : Pearson et.al (2005)
Keterangan :
Keuntungan Privat : (D) = (A) – (B) – (C)
Keuntungan sosial : (H) = (E) – (F) – (G)
Transfer Output : (I) = (A) – (E)
Transfer Input : (J) = (B) – (F)
Transfer Faktor : (K) = (C) – (G)
Transfer Bersih : (L) = (D) – (H) = I – (J + K)
Rasio Biaya Privat : (PCR) = C / (A - B)
Rasio Biaya Sumbedaya Domestik : (DRCR) = C / (E - F)
Koefisien Proteksi Output Nominal : (NPCO) = A / E
Koefisien Proteksi Input Nominal : (NPCI) = B / F
Koefisien Proteksi Efektif : (EPC) = (A - B) / (E - F)
Koefisien Keuntungan : (PC) = D / H
1. Analisis Keuntungan
Kuntungan didefinisikan sebagai penerimaan dikurangi biaya yang
dikeluarkan. Analisis keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan
keuntungan sosial.
a. Kuntungan Privat
Keuntungan privat (KP) menunjukkan selisih antara penerimaan dengan
harga atau biaya aktual yang terjadi di pasar. Nilai KP yang lebih besar
dari nol berarti kebijakan pemerintah atau komoditi yang diusahakan
secara financial menguntungkan. Sebaliknya jika KP kurang dari nol
maka kegiatan usaha tidak menguntungkan pada kondisi intervensi
pemerintah terhadap input dan output. Berdasarkan Tabel 9 diperoleh
rumus perhitungan keuntungan privat, yakni:
KP : D = A – (B + C)
Keterangan:
D = Keuntungan Privat
A = Penerimaan Privat
B = Biaya Input Tradable Privat
C = Biaya Input Non Tradable (domestik) Privat
b. Keuntungan sosial
Keuntungan sosial menunjukkan selisih antara penerimaan dengan
biaya yang dinilai dengan harga sosial. Jika nilai KS lebih besar dari
nol, kondisi pasar yang terjadi yakni persaingan sempurna, kegiatan
pengusahaan komoditi dapat dilanjutkan karena menguntungkan atau
dengan kata lain memiliki keunggulan komparatif. Jika nilai KS kurang
dari atau sama dengan nol maka kegiatan usaha tidak menguntungkan
secara ekonomi. Adapun rumus untuk menghitung keuntungan sosial
berdasarkan Tabel 9 yakni:
KS : H = E – (F + G)

Keterangan:
H = Keuntungan Sosial
E = Penerimaan Sosial
F = Biaya Input Tradable Sosial
G = Biaya Input Non Tradable (domestik) Sosial
2. Analisis Daya Saing
Tingkat efisiensi pengusahaan suatu komoditi dapat dilihat dari dua
indikator yaitu indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif.
a. Keunggulan komparatif
Keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Private
(Private Cost Ratio atau PCR) yakni rasio anatara biaya input domestik
privat dengan nilai tambah privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu,
berarti untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan
diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan.
Dengan kata lain pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial
atau memiliki keunggulan kompetitif pada saat kebijakan pemerintah.
Sebaliknya jika nilai PCR lebih besar atau sama dengan satu maka
untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan
tambahan biaya daktor domestik lebih besar dari satu satuan.
Private Cost Ratio (PCR) = C / (A – B)
Keterangan:
PCR = Rasio Keuntungan Privat
C = Biaya Input Non Tradable (domestik) Privat
A = Penerimaan Privat
B = Biaya Input Tradable Privat
Keunggulan komparatif dilihat dari nilai Rasio Biaya Sumberdaya
Domestik (Domestic Resource Cost atau DRC). Jika nilai DRC lebih
kecil dari satu maka pengusahaan komoditi efisen secara ekonomi atau
memiliki keunggulan komparatif pada kondisi tanpa adanya kebijakan
atau nilai tambah yang dihasilkan melebihi biaya sumberdaya domestik
yang digunakan. Sedangkan jika nilai DRC lebih dari satu maka
penggunaan sumberdaya tidak efisien atau dengan kata lain nilai sosial
faktor domestik yang digunakan untuk memproduksikomoditas tersebut
melebihi nilai yang digunakan utnuk memproduksi komoditas tersebut
melebihi nilai tambah sosialnya.
Domestic Resource Cost Ratio (DRC) = G / (E – F)
Keterangan:
DRC = Rasio Keuntungan Sosial
G = Biaya Input Non Tradable (domestik) Sosial
E = Penerimaan Sosial
F = Biaya Input Tradable Sosial
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Dampak kebijakan dalam penerapan PAM meliputi dampak kebijakan
pemerintah terhadap output, input dan dampak kebijakan terhadap input-
output.
a. Dampak Kebijakan Output
Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan oleh Nilai Transfer
Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal
Protection Coefficient on Output atau NPCO).
1) Nilai Transfer Output
Transfer output adalah selisih pendapatan privat dengan pendapatan
sosial. Nilai transfer output yang positif menyebabkan timbulnya
implisit subsidi atau transfer sumberdaya yang menambah
keuntungan. Dengan kata lain masyarakat membeli produk dengan
harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima. Jika
nilai transfer output bernilai negative menyebabkan implisit pajak
atau transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat kebijakan subsidi negatif pada output
yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga
sosialnya. Untuk output ekspor, angka negatif menunjukkan bahwa
kebijakan menyebabkan harga yang output yang diterima oleh
produsen di dalam negeri lebih kecil dari harga di pasar dunia.
Berdasarkan matrik PAM pada Tabel 9, nilai TO dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Transfer Output = A – E
Keterangan:
TO = Transfer Faktor
A = Penerimaan Privat
E = Penerimaan Sosial
2) Koefisien Proteksi Output Nominal
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) merupakan rasio yang
dibuat untuk mengukur output transfer (TO) serta menunjukkan
seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga
sosial. Berdasarkan analisis PAM pada Tabel 9, bila NPCO lebih
besar dari satu atau positif, berarti harga domestik lebih tinggi
daripada harga impor atau ekspor dan pengusahaan komoditi
tersebut menerima proteksi. NPCO yang bernilai negatif
menunjukkan adanya kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecil
dari harga dunia, sehingga dapat dikatakan produsen output
memberikan transfer kepada pemerintah. Dengan kata lain, harga
domestik atau privat tidak di proteksi oleh pemerintah.
NPCO = A / E
Keterangan:
NPCO = Rasio Proteksi Output Nominal
A = Penerimaan Privat
E = Penerimaan Sosial
b. Dampak Kebijakan Input
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input tradable dijelaskan
dengan Transfer Input (TI) dan Koefisien Proteksi Input Nominal
(NPCI), sedangkan dampak kebijakan input domestik dijelaskan oleh
Transfer Faktor (TF) (Tabel 9).

1) Nilai Transfer Input (TI)


Nilai Transfer Input menujukkan biaya input tradable berbeda
dengan biaya sosialnya. Nilai TI positif menunjukkan kebijakan
pemerintah pada input tradable menyebabkan keuntungan yang
diterima secara privat lebih besar dibandingkan tanpa adanya
kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan kebijakan pemerintah
menyebabkan keuntungan yang diterima secara finansial lebih kecil
dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Transfer Input (TI) = B – F
Keterangan:
TI = Transfer Input
B = Input Tradable Privat
F = Input Tradable Sosial
2) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)
NPCI merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable.
Rasio ini juga menunjukkan besarnya harga domestik atau privat
dari input tradable dengan harga sosialnya. Bila nilai NPCI lebih
dari satu menunjukkan biaya input domestik lebih mahal dari biaya
input pada tingkat dunia. Dengan kata lain,kegiatan usaha seolah
olah dibebani pajak yang sangat merugikan produsen. Bila NPCI
lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah atau sama dengan
harga dunia, atau adanya hambatan ekspor input, sehingga produksi
menggunakan input lokal.
NPCI = B / F
Keterangan:
NPCI = Rasio Proteksi Input Nominal
B = Input Tradable Privat
F = Input Tradable Sosial

3) Transfer Faktor (TF)


Nilai Transfer Faktor menunjukkan pengaruh kebijakan pemerintah
terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan
pada input tradable. Nilai TF menunjukkan besarnya subsidi
terhadap input non tradable. Bila nilai transfer faktor negatif berarti
terdapat subsidi positif pada input non tradable.
Transfer Faktor (TF) = C – G
Keterangan:
TF = Transfer Faktor
C = Biaya Input Non Tradable (domestik) Privat
G = Biaya Input Non Tradable (domestik) Sosial
c. Dampak Kebijakan Input – Output
Pengaruh kebijakan Input-Output dapat dijelaskan melalui analisis
Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coeffisien atau EPC),
Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi
bagi Produsen (SRP).
1) Koefisien Proteksi Efektif
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan rasio antara nilai
tambah pada harga privat dengan nilai tambah harga sosial atau
analisis gabungan proteksi output dengan proteksi input. Nilai EPC
menggambarkan arah kebijakan pemerintah bersifat melindungi
atau menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai EPC lebih
besar dari satu menunjukkan kebijakan untuk melindungi produsen
domestik berjalan dengan efektif. Jika EPC lebih kecil dari satu
maka kebijakan untuk melindungi produsen domestik tidak berjalan
dengan baik.
EPC = (A – B) / (E – F)
Keterangan:
EPC = Koefisien Proteksi Efektif
A = Penerimaan Privat
B = Biaya Input Tradable Privat
E = Penerimaan Sosial
F = Biaya Input Tradable Sosial
2) Transfer Bersih
Transfer bersih (Net Transfer atau NT) menunjukkan selisih antara
keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai NT juga
menggambarkan selisih antara transfer output dengan transfer input.
Jika nilai NT lebih besar dari nol, maka nilai tersebut menunjukkan
tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Sebaliknya NT
lebih kecil dari nol maka yang terjadi adalah sebalikya. Berdasarkan
Tabel 9 diperoleh rumus net transfer yakni:
NT = D – H
Keterangan:
NT = Transfer Bersih
D = Keuntungan Privat
H = Keuntungan Sosial
3) Koefisien Keuntungan
Koefisien keuntungan (Profitability Coefficient atau PC) adalah
rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai PC
kurang dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah membuat
keuntungan yang diterima produsen lebih kecil bila dibandingkan
tanpa ada kebijakan. Sebaliknya jika nilai PC lebih dari satu maka
kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh
produsen lebih besar dibandingkan tanpa ada kebijakan.
PC = D / H
Keterangan:
PC = Koefisien Keuntungan
D = Keuntungan Privat
H = Keuntungan Sosial
4) Rasio Subsidi bagi Produsen
Rasio subsidi bagi produsen (Subsidi Ratio to Producers atau SRP)
adalah rasio yang digunakan untuk mengukur semua dampak
transfer. SRP dirumuskan sebagai berikut :
SRP = L / E
Keterangan:
SRP = Rasio Subsidi Produsen
L = Keuntungan Efek Divergensi
E = Penerimaan Sosial
Subsidi Ratio to Producers (SRP) menunjukkan sejauh mana
pendapatan dari usaha meningkat atau menurun karena pengaruh
transfer. Nilai SRP negative menunjukkan kebijakan pemerintah
yang berlaku membuat produsen mengeluarkan biaya produksi lebih
besar dari biaya imbangan untuk berproduksi dan sebaliknya jika
Nilai SRP positif, menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku
membuat produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari
biaya imbangan untuk berproduksi.

C. Simulasi dan Praktek Policy Analysis Matriks


Kentang dapat dijadikan sebagai komoditas hortikultura unggulan
seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah pusat atau Kabupaten
Wonosobo untuk mendorong meningkatkan dayasaing kentang. Namun yang
terjadi pada komoditas kentang di Indonesia adalah berfluktuatifnya volume
ekspor dan meningkatnya impor. Dengan kata lain menunjukkan bahwa
jumlah impor kentang lebih besar daripada ekspor kentang. Hal ini akan
menimbulkan kekhawatiran bagi petani kentang karena akan terjadi
persaingan dengan produk - produk kentang impor. Selain itu juga
memungkinkan produk kentang impor dapat menguasai pasar kentang di
Indonesia, sehingga akan mengancam produksi kentang dan petani kentang,
karena yang akan menerima dampak karena adanya impor kentang ini adalah
petani kentang.
Berfluktuatifnya produksi dan produktivitas kentang disebabkan
beberapa kendala diantaranya rendahnya kualitas dan kuantitas bibit kentang,
yang merupakan issue utama dalam usaha peningkatan produksi kentang,
teknik budidaya yang masih konvensional, faktor topografi yakni daerah
dengan ketinggian tempat dan temperatur yang sesuai untuk penanaman
kentang, dan Indonesia merupakan daerah tropis yang sangat mendukung
perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro, 2000).
Tingginya produksi kentang di Kabupaten Wonosobo seharusnya
mampu menyejahterahkan masyarakat khususnya petani kentang. Akan tetapi
peningkatan produksi ini tidak diiringi dengan meningkatnya pendapatan para
petani. Petani masih harus dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang
seringkali merugikan petani, seperti kebijakan pemerintah tentang penurunan
tarif bea masuk impor kentang. Pada Juni tahun 2011, kentang impor yang
beredar di Indonesia mencapai 50 ribu ton yang berasal dari Cina dan India
dengan harga di bawah standar. Dengan banyaknya jumlah kentang yang
beredar di pasaran dengan harga yang jauh lebih murah mengakibatkan
kentang lokal tidak mampu bersaing dengan kentang impor.
Untuk membuktikan hal diatas, maka kami mengambil contoh penelitian
yang berada di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Kejajar merupakan daerah yang
memberikan kontribusi terbesar terhadap total produksi kentang Kabupaten
Wonosobo. Desa yang diamati adalah desa Sigedang dan desa Dieng yang
mana akan dilihat daerah mana yang memiliki keunggulan kompetitif dan
komparatif yang lebih besar satu sama lain. Dengan asumsi untuk usahatani
kentang pada ketinggian diantara 1500 – 1800 meter dpl (di atas permukaan
laut) merupakan daerah dengan ketinggian rendah dan dekat dengan pasar
dan usahatani kentang pada ketinggian lebih dari 2200 meter dpl (di atas
permukaan laut) merupakan daerah tinggi dan semakin jauh dari pasar.
Berikut adalah Tabel PAM untuk Sistem Usahatani Kentang di
Kecamatan Kejajar.
Tabel 1. PAM untuk Sistem Usahatani Kentang di Kecamatan Kejajar.
Biaya
Input Non
Penerimaan
Keterangan Input Tradabel Keuntungan
(Rp/Hektar)
Tradable (faktor
domestiK)
Sigedang 1500 ≤ DPL ≤ 1800
Privat 38.771.387,15 2.317.073,35 35.179.935,25 1.274.378,55
Sosial 53.996.002,64 2.424.556,72 39.286.335,36 12.285.110,56
Efek
(15.224.615,49) (107.484,37) (4.106.400,11) (11.010.732,01)
Divergensi
Dieng DPL ≥ 2200
Privat 19.342.172,03 1.143.312,71 18.248.115,43 (49.256,11)
Sosial 24.988.509,27 1.180.864,35 19.968.097,75 3.839.547,17
Efek
(5.646.337,24) (37.551,64) (1.719.982,32) (3.888.803,28)
Divergensi
1. Analisis Daya Saing
Analisis daya saing dapat dilihat dari keunggulan kompetitif dan
keunggulan komparatif.
a. Analisis Keunggulan Kompetitif
Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur
kelayakan finansial usahatani. Analisis keunggulan kompetitif dari
kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, dapat dilihat dari
Keuntungan Privat (KP) yang dihitung berdasarkan harga yang berlaku
di pasar (harga aktual), dan Rasio Biaya Privat (PCR) yang merupakan
indikator yang menunjukkan bahwa komoditi yang dihasilkan efisien
dalam menggunakan sumberdaya dan menguntungkan. Pada tabel
diatas menunjukkan besarnya nilai Keuntungan Privat (KP) dan Rasio
Biaya Privat (PCR) di kedua sistem usahatani kentang.
Keuntungan privat yang positif di Desa Sigedang menunjukkan
bahwa petani yang menjalankan usahatani kentang memperoleh
keuntungan diatas nol. Sebaliknya keuntungan privat di Desa Dieng
yang negatif atau lebih kecil dari nol tersebut memiliki arti bahwa
usahatani kentang yang dilakukan oleh petani mengalami kerugian.
Tabel 2. Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR)
Komoditas Kentang di Kecamatan Kejajar.
Keuntungan
No Uraian PCR
Privat
1. Desa Sigedang (Rp/hektar) 1.274.378,55 0,97
2. Desa Dieng (Rp/hektar) (49.256,11) 1,00

Berdasarkan Tabel 2 diatas, keuntungan privat yang diperoleh dari


usahatani kentang di Desa Sigedang sebesar Rp 1.274.378,55 per
hektar. Artinya, bahwa keuntungan yang diterima petani dengan ada
kebijakan pemerintah pada saat penelitian adalah sebesar Rp
1.274.378,55 per hektar. Penerimaan petani berdasarkan nilai rpivat
lebih besar dari pengeluaran biaya input tradable daninput domestik.
Sedangkan keuntungan privat yang diperoleh petani di Desa Dieng
bernilai negatif atau kurang dari nol yakni Rp 49.256,11 per hektar.
Dengan kata lain pengusahaan kentang di Desa Dieng merugikan petani
sebesar Rp 49.256,11 per hektar. Perbedaan tersebut dikarenakan
adanya perbedaan harga yang diterima oleh petani di kedua desa. Disisi
lain adanya perbedaan dalam penggunaan bibit kentang dan perbedaan
perlakuan dalam pemeliharaan tanaman kentang di lokasi penelitian
juga mempengaruhi besarnya penerimaan atau keuntungan yang
diperoleh petani. Perbedaan dalam penggunaan bibit akan berpengaruh
terhadap produksi kentang pada saat panen, dan perlakuan dalam
pemeliharaan tanaman akan berpengaruh terhadap nilai biaya-biaya
yang dikeluarkan biaya tradable dan faktor domestik.
Keunggulan kompetitif juga dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya
Privat (PCR) yang merupakan indikator bagaimana alokasi sumberdaya
diarahkan untuk mencapai efisiensi dalam usahatani kentang. Rasio
biaya privat merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor
domestik dengan selisih antara penerimaan dan biaya input tradable
pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1)
menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial.
Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat
keunggulan kompetitif yang dimiliki. Nilai aktual PCR di kedua desa,
Desa Sigedang dan Desa Dieng, masingmasing sebesar 0,97 dan 1,00.
Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambahan output sebesar
satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestic masing-masing
sebesar 0,97 dan 1,00. Namun untuk usahatani kentang di Desa Dieng
tidak layak secara finansial karena nilai PCR yang dimiliki sama
dengan satu. Nilai PCR di Desa Sigedang yakni 0,97 lebih kecil
dibandingkan dengan nilai PCR di Desa Dieng yakni 1,00, ini
menunjukkan bahwa pengusahaan kentang di Desa Sigedang lebih
efisien dan memiliki keunggulan kompetitif.
Namun nilai PCR di kedua desa yang mendekati satu dan bernilai
satu menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan relatif tidak efisien.
Hal inidisebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk usahatani
kentang, terutama dalam biaya pupuk, peralatan, dan tenaga kerja
b. Analisis Keunggulan Komparatif
Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur
kelayakan secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat
secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas
ekonomi tersebut. Analisis keunggulan komparatif dapat dilihat
menggunakan nilai Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya
Sumberdaya Domestik (DRC) yang merupakan indikator dayasaing
tanpa bantuan pemerintah. Perbedaan analisis Keuntungan Sosial (KS)
dengan Keuntungan Privat (KP) yakni komponen input dan output
dalam Keuntungan Sosial (KS) dinilai menggunakan harga bayangan.
menunjukkan besarnya nilai Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya
Sumberdaya (DRC) di kedua sistem usahatani kentang.
Tabel 3. Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya
Domestik (DCR) Komoditas Kentang di Kecamatan Kejajar.
Keuntungan
No Uraian PCR
Sosial
1. Desa Sigedang (Rp/hektar) 12.285.110,56 0,76
2. Desa Dieng (Rp/hektar) 3.839.547,17 0,84

Berdasarkan Tabel 20, nilai keuntungan sosial menggambarkan


keuntungan yang diperoleh jika terjadi pasar persaingan sempurna.
Nilai keuntungan sosial (KS) di Desa Sigedang dan Desa Dieng
masing-masing sebesar Rp 12.285.110,56 per hektar dan Rp
3.839.547,17 per hektar. Nilai KS yang positif atau lebih dari nol
tersebut menunjukkan bahwa pengusahaan kentang di lokasi penelitian
menguntungkan secara ekonomi tanpa adanya campur tangan dari
kebijakan pemerintah. Perbedaan nilai KS di kedua desa, Desa
Sigedang dan Desa Dieng, disebabkan karena adanya perbedaan biaya
yang dikeluarkan masing-masing petani di lokasi penelitian, terutama
biaya penggunaan pupuk, obat-obatan dan penggunaan tenaga kerja.
Nilai KS di Desa Sigedang lebih besar daripada Desa Dieng,
dikarenakan produksi usahatani kentang yang berbeda. Perbedaan ini
dikarenakan besarnya bibit kentang yang ditanam petani berbeda di
kedua lokasi sehingga mempengaruhi hasil yang diterima petani ketika
panen. Disisi lain harga sosial kentang berpengaruh terhadap besarnya
keuntungan sosial yang diperoleh karena harga sosial kentang lebih
besar daripada harga privatnya, sehingga keuntungan sosial yang
diperoleh lebih besar.
Berdasarkan infomasi yang telah disampaikan bahwa nilai
keuntungan privat (KP) usahatani kentang di lokasi penelitian nilainya
lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai keuntungan sosial (KS). Hal
ini disebabkan karena harga sosial kentang lebih tinggi daripada harga
privatnya. Artinya, kebijakan pemerintah yang ditetapkan pemerintah
saat ini seperti kebijakan tarif impor belum mampu meningkatkan
keuntungan pengusahaan kentang.
Selain dari Keuntungan Sosial (KS), keunggulan komparatif
kentang juga dapat diketahui dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik
(DCR). Rasio Biaya Sumberdaya Domestik merupakan rasio antara
biaya non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara
penerimaan dikurangi biaya tradable pada harga bayangan atau harga
sosial. Nilai DRC yang diperoleh dari pengusahaan kentang di Desa
Sigedang sebesar 0,76 dan di Desa Dieng sebesar 0,84. Nilai DRC yang
masing-masing kurang dari satu menunjukkan bahwa pengusahaan
kentang di lokasi penelitian efisien secara ekonomi dan mempunyai
keunggulan komparatif tanpa ada bantuan atau intervensi pemerintah.
Nilai DRC di Desa Sigedang sebesar 0,76 lebih kecil daripada nilai
DRC di Desa Dieng yakni sebesar 0,84. Nilai sebesar 0,76 menjelaskan
bahwa untuk memproduksi atau menambah nilai tambah output sebesar
satu satuan di Desa Sigedang dibutuhkan tambahan sumberdaya
domestik sebesar 0,76. Sedangkan nilai 0,84 di Desa Dieng meskipun
efisien karena nilainya kurang dari nol, namun bila dibandingkan
keunggulan komparatif yang dimiliki tidak sebesar Desa Sigedang.
Dengan kata lain, biaya produksi yang dikeluarkan petani di Desa
Dieng lebih besar dibandingkan dengan Desa Sigedang. Nilai DRC
yang kurang dari satu menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan
domestik akan komoditas kentang mengindikasikan lebih
baikdiproduksi di dalam negeri daripada harus mengimpor kentang.
Namun kenyataan yang terjadi impor kentang terus meningkat setiap
tahunnya. Dengan demikian diperlukan keseriusan pemerintah dan
pihak terkait agar kentang lokal dapat mensubtitusi kentang impor,
seperti peningkatan produksi kentang dan kebijakan pemerintah yang
mendukung pengusahaan kentang.
Nilai DRC yang lebih kecil dari nilai PCR memiliki arti bahwa
tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi petani
dalam memproduksi kentang. Beberapa hal yang menjadi penyebab
diantaranya kebijakan subsidi pupuk yang merugikan petani karena
harga pupuk yang beredar di pasar lebih tinggi daripada harga eceran
tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu adanya kebijakan
melalui peraturan menteri keuangan No.241/PMK.011/2010 tentang
kenaikan pajak impor sebesar lima persen atas bahan baku produksi
pertanian seperti pupuk, bibit, dan obat-obatan menyebabkan biaya
produksi yang harus dikeluarkan petani menjadi lebih tinggi.
Dilihat dari perbedaan antara keuntungan privat dan keuntungan
sosial dan nilai DRC yang lebih kecil daripada nilai PCR yang
diperoleh petani di kedua sistem usahatani dapat disimpulkan bahwa
keuntungan privat yang diperoleh lebih rendah dari keuntungan
sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa harga input yang dibayarkan
petani lebih tinggi atau harga output yang diterima oleh petani lebih
rendah dari harga sosial. Artinya adanya pengaruh pemerintah atau
distorsi pasar yang tidak memberikan insentif yang baik bagi petani
kentang sehingga keuntungan privat yang diperoleh lebih rendah
daripada keuntungan sosialnya terhadap input produksi dan distorsi
pada pasar output. Adanya distorsi pasar dapat dilihat kebijakan
penurunan tarif impor menjadi nol persen yang menyebabkan
konsumen yang cenderung membeli kentang impor karena harganya
lebih murah, selain itu dampak yang muncul yakni harga kentang akan
turun karena untuk dapat bersaing produsen harus menurunkan harga
kentang.
2. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Dampak Kebijakan Output
Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai
Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO).
Transfer Output (TO) merupakan selisih antara penerimaan pada harga
privat dengan harga sosial.Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya
intensif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Koefisien Output
Nominal (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan
pemerintah yang menyebabkan terjadinya berbedaan nilai output
berdasarkan harga privat dan harga sosial. Bentuk distorsi pemerintah
tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan
berupa tarif dan pajak ekspor/impor. Nilai Transfer Output (TO) dan
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) usahatani kentang di
Kecamatan Kejajar dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output
Nominal (NPCO).
No Uraian Transfer Output NPCO
1. Desa Sigedang (Rp/hektar) (15.224.615,49) 0,72
2. Desa Dieng (Rp/hektar) (5.646.337,25) 0,77

Berdasarkan Tabel 4, nilai transfer output (TO) yang negatif


menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan
harga privat output kentang lebih rendah daripada harga sosialnya. Hal
ini berarti bahwa konsumen atau masyarakat dapat membeli produk
kentang dengan harga yang lebih murah dari harga sebenarnya.
Berdasarkan nilai TO, kerugian terbesar dialami petani di Desa
Sigedang yakni sebesar Rp 15.224.615,49 per hektar daripada kerugian
yang dialami petani di Desa Dieng sebesar Rp 5.646.337,25 per hektar.
Hal ini terjadi karena harga sosial kentang yang dihitung berdasarkan
harga di pasar internasional lebih tinggi daripada harga kentang lokal.
Disisi lain rendahnya harga kentang lokal membuat kentang lokal dapat
bersaing dengan kentang impor, namun efeknya pendapatan dan
keuntungan yang diperoleh petani akan berkurang.
Nilai koefisien proteksi output nominal (NPCO) menunjukkan
bahwa adanya kebijakan pemerintah yang mempengaruhi besarnya
Transfer Output. NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung
berdasarkan harga financial dengan penerimaan yang dihitung
berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu
(NPCO<1), menunjukkan bahwa harga domestik lebih rendah dari
harga dunia.Berdasarkan Tabel 4, nilai NPCO kedua desa, Desa
Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing lebih kecil dari satu, yakni
0,71 dan 0,77. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan yang
menyebabkan harga privat kentang lebih rendah daripada harga
sosialnya. Nilai NPCO yang bernilai kurang dari satu juga
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk petani kentang belum
berjalan efektif sehingga terjadi pegurangan penerimaan petani.
Pada lokasi penelitian, baik Desa Sigedang maupun Desa Dieng
tidak ada kebijakan output yang diberlakukan pemerintah terhadap
komoditas kentang. Hal ini dikarenakan komoditas kentang bukanlah
komoditas pangan utama seperti beras. Rendahnya harga jual kentang
yang diterima petani daripada harga bayangannya disebabkan karena
petani menjual hasil panennya secara individual sehinggi tidak
memiliki kekuatan tawar (bergaining position) dalam menentukan
harga, sehingga penetapan harga jual kentang berdasarkan harga yang
ditetapkan oleh tengkulak atau pembeli besar yang datang ke lokasi
penelitian.
b. Dampak Kebijakan Input
Interpretasi dampak kebijakan input adalah sama seperti dampak
kebijakan kebijakan output karena keduanya didasarkan pada
perbandingan antara harga privat dan harga sosial. Kebijakan
pemerintah terhadap input dapat dilihat dari nilai Transfer Input (TI),
Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI).
Tabel 5. Nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien
Proteksi Input Nominal (NPCI).
Transfer Input NPCI TF
No Uraian
(Rp/hektar) (Rp/hektar)
Desa 0,96
1. (107.484,37) (4.106.400,11)
Sigedang
2. Desa Dieng (37.551,64) 0,97 (1.719.982,32)

Nilai transfer input (TI) merupakan selisih biaya input tradable


dengan biaya bayangannya. Nilai TI yang positif menunjukkan adanya
kebijakan pemerintah berupa pajak atau subsidi yang akan mengurangi
tingkat keuntungan petani atau dengan kata lain produsen tidak
mendapat insentif. Sebaliknya nilai TI yang negatif menunjukkan
adanya kebijakan subsidi pada harga input sehingga menyebabkan
biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat menjadi
lebih rendah daripada tingkat harga sosialnya. Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa kebijakan subsidi akan menguntungkan
produsen atau petani kentang.
Berdasarkan Tabel 5, nilai TI masing-masing di kedua desa, Desa
Sigedang dan Desa Dieng, sebesar Rp 107.484,37 per hektar dan Rp
37.551,64 per hektar. Hasil TI yang negatif mengindikasikan bahwa
kebijakan subsidi untuk mengurangi biaya input tradable menyebabkan
petani kentang menerima harga yang lebih rendah daripada harga sosial.
Seperti kebijakan penetapan harga eceran tertinggi untuk pupuk Urea
dan non Urea.
Koefisien proteksi input nominal (NPCI) merupakan rasio yang
mengukur transfer input tradable yang menunjukkan besarnya harga
privat dari input tradable dengan harga sosial nput tradable. Nilai NPCI
juga menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan
pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa ada kebijakan.
Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI>1) menunjukkan adanya
proteksi terhadap produsen input tradable. Dengan kata lain
menunjukkan bahwa biaya input tersebut lebih mahal daripada biaya
input pada tingkat dunia, sehingga menyebabkan sektor yang
menggunakan input tersebut dibebani pajak dan akan meningkatkan
biaya produksi. Sebaliknya, bila nilai NPCI kurang dari satu (NPCI<1)
menunjukkan adanya subsidi atas input tersebut yang menyebabkan
harga input tradable lebih rendah dari harga dunia.
Nilai NPCI yang diperoleh kedua desa, Desa Sigedang dan Desa
Dieng, masing-masing sebesar 0,96 dan 0,97. Nilai NPCI yang bernilai
kurang dari satu mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan atas input
tradable yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga
sosialnya. Meskipun nilai NPCI bernilai kurang dari satu, namun nilai
NPCI relatif mendekati satu. Hal ini mengindikasikan adanya
penyimpangan dalam kebijakan subsidi tersebut dimana harga input
tradable yang dipasarkan lebih mahal dari harga subsidi yang telah
ditetapkan. Seperti subsidi pupuk, dilapangan harga pupuk bersubsidi
yang dijual lebih mahal dari harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi
yang ditetapkan pemerintah.Selain input tradable, petani kentang juga
menggunakan input non tradable (faktor domestik) seperti peralatan,
biaya modal, lahan, dan input domestik lainnya. Nilai transfer faktor
(TF) menunjukkan besarnya intervensi pemerintah terhadap input non
tradable. Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai TF pada pengusahaan
kentang di Desa Sigedang dan Desa Dieng bernilai negatif.
Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non tradable yang
dikeluarkan pemerintah pada tingkat harga privat lebih rendah daripada
biaya input non tradable yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi
atau sosial. Artinya, ada implisit subsidi atau transfer dari produsen
faktor domestik kepada petani sehingga petani menerima harga input
faktor domestik lebih rendah dari harga sosialnya. Salah satu penyebab
perbedaan biaya faktor domestik privat dengan biaya faktor domestik
sosial yakni modal kerja.
c. Dampak Kebijakan Input-Ouput
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-ouput merupakan
gabungan dari kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan
input-output dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC),
Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi
bagi Produsen (SRP). Tebel 6 menyajikan nilai-nilai dari Koefisien
Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan
(PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) di Kecamatan Kejajar.
Tabel 6. Nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT),
Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen
(SRP).
Uraian NT (Rp/hektar) EPC PC SRP
Desa Sigedang (11.010.732,01) 0,71 0,1 -0,20
Desa Dieng (3.888.803,28) 0,76 -0,01 -0,16

Nilai Koefisien Protektif Efektif (EPC) merupakan indikator dari


dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem
produksi suatu komoditas di dalam negeri. Berdasarkan Tabel 23, nilai
EPC disetiap desa masing masing bernilai kurang dari satu, yakni Desa
Sigedang sebesar 0,71 dan Desa Dieng sebesar 0,76. Nilai EPC kurang
dari satu menunjukkan bahwa tidak adanya perlindungan atau proteksi
pemerintah terhadap petani. Hal ini menyebabkan petani tidak memiliki
nilai tambah untuk produknya dan harga privat cenderung lebih kecil
daripada harga sosialnya.
Transfer bersih (NT) menggambarkan dampak kebijakan
pemerintah secara keseluruhan terhadap petani apakah merugikan atau
menguntungkan. Transfer bersih ditujukkan dengan selisih antara
keuntungan privat dan keuntungan sosial atau selisih antara transfer
output dengan transfer input. Nilai NT di kedua desa, Desa Sigedang
dan Desa Dieng bernilai negatif, yakni Rp 11.010.732,01 per hektar dan
Rp 3.888.803,28 per hektar. Artinya, ada surplus produsen atau
keuntungan petani yang hilang sebesar nilai transfer besih, yakni Rp
11.010.732,01 per hektar untuk Desa Sigedang dan Rp 3.888.803,28 per
hektar untuk Desa Dieng.
Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan keuntungan
bersih privat dengan keuntungan sosial. Nilai PC yang diperoleh kedua
desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, dari analisis PAM masing-
masing adalah sebesar 0,1 dan -0,01. Artinya nilai 0,1 menunjukkan
bahwa petani tidak mengalami kerugian yang besar, namun keuntungan
yang diterima petani lebih rendah dari seharusnya. Sedangkan nilai PC
sebesar -0,01, berarti bahwa petani mengalami kerugian, sehingga
secara keseluruhan kebijakan pemerintah tidak memberikan
insentifkepada petani dan membuat keuntungan yang diterima produsen
lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan.
Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) merupakan indikator
yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan
atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah.
Berdasarkan Tabel 6, nilai SRP di kedua desa bernilai negatif yakni
sebesar 0,20 (Desa Sigedang) dan 0,16 (Desa Dieng). Nilai ini secara
umum berarti kebijakan pemerintah terhadap input dan output
merugikan petani, karena petani diharuskan membayar lebih tinggi dari
biaya imbangannya (opportunity cost) untuk berproduksi sebesar 20
persen untuk Desa Sigedang dan 16 persen untuk Desa Dieng. Secara
keseluruhan kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini belum
menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing
kentang di Kabupaten Wonosobo.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep dayasaing yang digunakan adalah dimana memungkinkan
ditingkat produsen suatu komoditi dapat memiliki keunggulan komparatif
yakni memiliki biaya opprtunity cost yang relatif lebih rendah, namun
ditingkat konsumen komoditi tersebut tidak memiliki keunggulan
kompetitif karena adanya distorsi pasar. Sebaliknya karena ada intervensi
dari pemerintah suatu komoditi memiliki keunggulan kompetitif namun
tidak memiliki keunggulan komparatif.
2. Policy Analysis Matrix (PAM) atau matriks kebijakan digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem
komoditas. Sistem komoditas dapat dipengaruhi melalui empat aktivitas
yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolahan,
pengolahan dan pemasaran. Metode PAM merupakan suatu analisis yang
dapat mengidentifikasi tiga analisis yakni keuntungan privat dan
keuntungan sosial (finansial), analisis daya saing yang membahas
keunggulan komparatif dan kompetitif, serta analisis dampak kebijakan
pemerintah.
3. Simulasi dan penerapan dari PAM diambil dari studi kasus terhadap
komoditas kentang di KabupatenWonosobo dihasilkan Koefisien
Keuntungan (PC) adalah perbandingan keuntungan bersih privat dengan
keuntungan sosial. Nilai PC yang diperoleh kedua desa, Desa Sigedang
dan Desa Dieng, dari analisis PAM masing-masing adalah sebesar 0,1 dan
-0,01. Artinya nilai 0,1 menunjukkan bahwa petani tidak mengalami
kerugian yang besar, namun keuntungan yang diterima petani lebih rendah
dari seharusnya. Sedangkan nilai PC sebesar -0,01, berarti bahwa petani
mengalami kerugian, sehingga secara keseluruhan kebijakan pemerintah
tidak memberikan insentifkepada petani dan membuat keuntungan yang
diterima produsen lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, maka dicoba merumuskan beberapa
kebijakan yang relevan untuk dipertimbangkan bagi pengembangan
komoditas kentang di lokasi penelitian:
1. Kebijakan untuk mengantisipasi kegagalan pasar, baik input atau output.
Seperti meninjau kembali kebijakan subsidi pupuk karena dinilai tidak
efektif dan merugikan petani. Meskipun pemerintah sudah menetapkan
harga eceran tertinggi, namun petani masih harus membayar lebih tinggi
dari harga eceran yang ditetapkan. Menetapkan kebijakan subsidi pupuk
harus diimbangi dengan perbaikan struktur pasar yang menyebabkan
tingginya biaya transportasi. Perbaikan struktur pasar dapat berupa
mengaktifkan kembali subterminal agribisnis, pasar, dan menghapuskan
pungli (pungutan liar) yang membebani produsen kentang.
2. Kebijakan insentif pemberdayaan kelembagaan pertanian, seperti
kelompok tani, koperasi, dan kemitraan agar petani dapat meningkatkan
posisi tawarnya (bergaining position).
DAFTAR PUSTAKA

Haryono, Dede.dkk. 2011. Analisis Daya Saing Dan Dampak Kebijakan


Pemerintah Terhadap Produksi Kakao Di Jawa Timur. J-SEP Vol 5
No.2 : 73 - 7

Kuraisin, Vivin. 2006. Analisis Daya Saing Dan Dampak Perubahan


Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Susu Sapi ( Kasus di
Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor )
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Novianto, Joko. 2012. Analisis Daya Saing Dan Dampak Kebijakan


Pemerintah Terhadap Komoditas Kentang Di Kabupaten Wonosobo
(Kasus: Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa
Tengah) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Nurayati, Aisyah. 2015. Analisis Daya Saing Dan Kebijakan Pemerintah


Terhadap Usahatani Padi, Jagung Dan Kedelai Provinsi Jawa
Tengah [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang
INI BUAT PEGANGAN AJA, NGGA USAH DIMASUKIN KE
MAKALAH, SOALNYA INI CUMA KESIMPULAN RINGKAS DARI
HASIL CONTOH KASUSNYA
Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian ini antara lain :
1. Pengusahaan kentang di Kecamatan Kejajar dengan sistem usahatani
diketinggian 1500 – 1800 dpl memiliki keunggulan kompetitif dan
komparatif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Rasio Biaya Privat (PCR)
dan dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) kurang dari satu
(PCR, DRC < 1). Namun, pada ketinggian lebih dari 2200 dpl hanya
memiliki keunggulan komparatif tanpa memiliki keunggulan
kompetitif. Hal ini dikarenakan nilai DRC kurang dari satu dan nilai
PCR yang dimiliki sama dengan satu (DRC<1; PCR≥1)
2. Kebijakan pemerintah yang dibuat untuk meningkatkan keunggulan
kompetitif dan komparatif kentang di Kecamatan Kejajar tidak
sepenuhnya menguntungkan petani. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) kedua sistem usahatani
masih lebih kecil daripada satu (NPCI<1).
3. Perubahan variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, harga
kentang, harga pestisida, dan harga pupuk bersubsidi memberikan
pengaruh terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif pada kedua
sistem usahatani. Terdepresiasinya nilai mata uang rupiah terhadap
dollar Amerika, harga output kentang naik, harga pestisida menurun,
dan harga pupuk mengalami penurunan, memiliki dampak positif
terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif kedua sistem
usahatani. Sebaliknya jika nilai mata uang terapresiasi, harga output
kentang turun, harga pestisida dan harga pupuk naik, maka akan
menyebabkan keunggulan komparatif dan kompetitif kedua sistem
usahatani menurun.

Anda mungkin juga menyukai