P2 TB PARU
Disusun Oleh :
Olpin Ocdieltha Palajukan
Pembimbing :
Dr. Indah P. Kiay Demak, M.Med, Ed
dr. H. Syahriar, M.Kes
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
penemuan kasus TB merupakan awal untuk menentukan langkah
pengobatan dan pengendalian TB selanjutnya.5,6
Pada tahun 2016 di wilayah kerja Puskesmas Donggala memiliki
jumlah kasus TB paru mencapai 108 kasus, kemudian mengalami
peningkatan pada tahun 2017 yaitu sebanyak 113 kasus. Di wilayah kerja
Puskesmas Donggala telah melaksanakan Program Penanggulangan
Tuberkulosis Paru (P2TB) sebagai bentuk upaya untuk menurunkan angka
kejadian TB, seperti melaksanakan penyuluhan tentang TB paru,
melaksanakan beberapa kegiatan pokok dari Program Penanggulangan
Tuberkulosis Paru (P2TB), dan kegiatan pendukung lainnya. Meskipun
begitu, tetap terjadi peningkatan kasus TB paru. Hal ini masih menjadi
masalah kesehatan khususnya di wilayah kerja Puskesmas Donggala.7
3
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan laporan manajemen ini antara lain;
1. Sebagai bahan pembelajaran dalam manajemen pengelolaan Puskesmas
2. Sebagai syarat penyelesaian tugas di bidang Ilmu Kesehatan
Masyarakat
3. Untuk mengetahui manajemen program P2 TB paru di Puskesmas
Donggala
4. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan program P2 TB paru di
Puskesmas Donggala
5. Sebagai evaluasi keberhasilan pelaksanaan program P2 TB paru di
Puskesmas Donggala
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat yang dikenal dengan sebutan Puskesmas
adalah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang bertanggung
jawab atas kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya pada satu atau bagian
wilayah kecamatan. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun
2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat dinyatakan bahwa Puskesmas
berfungsi menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan
Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama. Puskesmas
merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dinas kesehatan
kabupaten/kota, sehingga dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, akan
mengacu pada kebijakan pembangunan kesehatan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota bersangkutan, yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Lima
Tahunan dinas kesehatan kabupaten/kota.[1]
Pemahaman akan pentingnya manajemen Puskesmas, telah
diperkenalkan sejak tahun 1980, dengan disusunnya buku-buku pedoman
manajemen Puskesmas, yang terdiri atas Paket Lokakarya Mini Puskesmas
(tahun 1982), Pedoman Stratifikasi Puskesmas (tahun 1984) dan Pedoman
Microplanning Puskesmas (tahun 1986). Paket Lokakarya Mini Puskesmas
menjadi pedoman Puskesmas dalam melaksanakan lokakarya Puskesmas
dan rapat bulanan Puskesmas. Pada tahun 1988, Paket Lokakarya Mini
Puskesmas direvisi menjadi Pedoman Lokakarya Mini Puskesmas dengan
penambahan materi penggalangan kerjasama tim Puskesmas dan lintas
sektor, serta rapat bulanan Puskesmas dan triwulanan lintas sektor. Pada
tahun 1993, Pedoman Lokakarya Mini dilengkapi cara pemantauan
pelaksanaan dan hasil-hasil kegiatan dengan menggunakan instrument
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS). Pedoman Stratifikasi Puskesmas
(tahun 1984), digunakan sebagai acuan Puskesmas dan dinas kesehatan
5
kabupaten/kota, untuk dapat meningkatan peran dan fungsinya dalam
pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.[1]
6
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian.
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan
komponen-komponenya yaitu:8
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB.
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi
semua dan penapisan TBsecara sistematis bagi kontak dan
kelompok populasi beresiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita
resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada
kebutuhan pasien (patient-centred support).
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang
lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan
dan beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan
layanan dan pencegahan TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan
dan pemberi layanankesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage)
dan kerangkakebijakan lain yang mendukung pengendalian TB
seperti wajib lapor, registrasi vital, tatakelola dan penggunaan obat
rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk
mengurangi dampakdeterminan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi.
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode
intervensi danstrategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan
merangsang inovasi-inovasi baru untuk mempercepat
pengembangan program pengendalian TB.
7
2.3. Kegiatan Program Penanggulangan TB paru (P2TB)
Kegiatan Program Penanggulangan TB Paru (P2TB), yaitu kegiatan
pokok dan kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan
penemuan penderita (case finding) pengamatan dan monitoring penemuan
penderita didahului dengan penemuan tersangka TB paru dengan gejala
klinis adalah batuk-batuk terus menerus selama tiga minggu atau lebih.
Kegiatan pendukung mencakup kegiatan penanganan logistik yaitu
penanganan tersedianya OAT (Obat Anti-Tuberkulosis) dan penanganan
tersedianya reagensia di laboratorium. Setiap orang yang datang ke unit
pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus dianggap suspek
tuberkulosis atau tersangka TB Paru dengan pasive promotive case finding
(penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).8
Kegiatan-kegiatan penanggulangan TB Paru tersebut merupakan jenis
kegiatan yang termasuk dalam upaya kesehatan wajib Puskesmas, artinya
puskesmas sebagai sarana kesehatan terdepan bertanggung jawab terhadap
keseluruhan upaya penanggulangan TB paru. Petugas kesehatan yang
terlibat langsung sebagai petugas pelaksana program TB paru di Puskesmas
adalah seluruh petugas yang sudah dilatih tentang Program Penanggulangan
TB Paru, yaitu dokter, perawat dan tenaga laboratorium untuk petugas di
Puskesmas satelit dibutuhkan tenaga yang telah dilatih terdiri dari dokter
dan perawat dan bagi Puskesmas pembantu cukup 1 orang perawat sebagai
petugas pengelola TB. Keseluruhan petugas tersebut mempunyai tugas
masing-masing sesuai uraian tugas pokoknya dalam penanggulangan kasus
TB. Tanpa penemuan suspek maka program pemberantasan TB paru dari
penemuan sampai pengobatan tidak akan berhasil, sehingga proses
penemuan suspek TB paru oleh petugas sangat menentukan keberhasilan
program. Proses ini akan berhasil apabila kompetensi yang mencakup
pengetahuan, sikap petugas dan keterampilan petugas baik.8
Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly
Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka
pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi
8
DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS
menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan
obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.8
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa
sampai 95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global
untuk menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu, (a)
komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana,
(b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis,
(c), kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d)
Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara
langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).8
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya
pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di
Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan
OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug
Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang
tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup
banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu
banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination
(FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana
jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan
dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat
menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian
obat, dan mengurangi efek samping.8
9
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan
TB paru, antara lain :
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum.
2) Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC.
3) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek.
4) Membuat sediaan hapus dahak.
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium.
6) Menegakkan diagnosis TB sesuai protap.
7) Membuat klasifikasi penderita.
8) Mengisi kartu penderita.
9) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+).
10) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita
TBC yang ditemukan.
b. Memberikan Pengobatan
1) Menetapkan jenis paduan obat.
2) Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan.
3) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita.
4) Menentukan PMO (bersama penderita).
5) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO.
6) Memantau keteraturan berobat.
7) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan.
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya.
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita.
c. Penanganan Logistik
1) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas.
2) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens).
3) Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c.
10
No Uraian Tugas Rincian Kegiatan
Menghimpun, mengolah dan menganalisa data
program TB dari Kabupaten/Kota, RS, dan BP4.
Menghimpun, mengolah dan menganalisa serta
Menyediakan bahan merencanakan kebutuhan Obat Anti tuberkulosis
1. rencana dan program Kerja (OAT) dan logistik program P2TB non OAT .
bidang P3M Membuat perencanaan kegiatan program
tahunan.
Menyiapakan bahan rencana renstra program
P2TB.
Melakukan koordinasi dengan Labkesda/Lintas
program/Lintas sektor/LSM yang terkait dengan
Melaksanakan Koordinasi
program P2TB.
2. pelaksanaan dan pelayanan
Menyelenggarakan pertemuan dengan lintas
bidang P3M
program/Lintas Sektor dan LSM untuk
mendukung program P2TB.
Melaksanakan fasilitasi Melaksanakan fasilitasi teknis program P2TB ke
3.
teknis bidang P3M puskesmas, kabupaten/ kota, BP4 dan RS.
Monitoring & evaluasi (monev) pelaksanaan
program P2TB di daerah.
Menyelenggarakan pertemuan monev dengan
Melaksanakan pemantauan
4. kabupaten/kota.
dan evaluasi bidang P3M
Monev hasil pertemuan dengan lintas sektor/
lintas program.
Melaksanakan kajian pencapaian program P2TB
Menyediakan bahan
5. Membuat laporan kegiatan program.
pelaporan bidang P3M
Tabel 1. Uraian Tugas dan Rincian Kegiatan Program Penanggulangan TB Paru
seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Input
Program Penanggulangan (P2) TB Paru di Puskesmas Donggala
dikelola oleh seorang analisis yang juga bekerja di bagian laboratorium dan
bekerja sama dengan dokter. Kegiatan berupa penemuan kasus yang bersifat
aktif dan pasif, yaitu penemuan kasus secara aktif berupa pelaporan pasien
suspek TB paru oleh warga setempat kemudian petugas akan turun langsung
ke rumah pasien suspek TB paru tersebut untuk mengumpulkan sputum dan
penemuan kasus secara pasif berdasarkan pasien yang datang berobat ke
puskesmas yang memiliki gejala utama seperti batuk lebih dari 3 minggu.
Pasien yang memiliki gejala tersebut akan berstatus suspek yang selanjutnya
akan dilakukan pemeriksaan sputum. Pemeriksaan sputum dilakuan untuk
menjaring pasien yang BTA positif terhadap pasien suspek. Pemeriksaan
sputum dilakukan selama 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu/spot, dahak
pagi, sewaktu (SPS). Cara penyimpanan sputum:
a. Penyimpanan: < 24 jam pada suhu ruang.
b. Penyimpanan pada pot steril berpenutup.
Tanpa penemuan suspek maka program pemberantasan Tuberkulosis
Paru dari penemuan sampai pengobatan tidak akan berhasil, sehingga proses
penemuan suspek Tuberkulosis Paru oleh petugas sangat menentukan
keberhasilan program. Proses ini akan berhasil apabila kompetensi yang
mencakup pengetahuan, sikap petugas, dan keterampilan petugas baik.
Untuk pemeriksaan sputum di Puskesmas Donggala sudah dapat dilakukan
secara mandiri
3.2 Proses
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB
paru, antara lain :8
a. Menemukan Penderita
12
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan
TB paru, antara lain :
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum.
2) Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC.
3) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek.
4) Membuat sediaan hapus dahak.
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium.
6) Menegakkan diagnosis TB sesuai protap.
7) Membuat klasifikasi penderita.
8) Mengisi kartu penderita.
9) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+).
10) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita
TBC yang ditemukan.
b. Memberikan Pengobatan
1) Menetapkan jenis paduan obat.
2) Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan.
3) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita.
4) Menentukan PMO (bersama penderita).
5) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO.
6) Memantau keteraturan berobat.
7) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan.
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya.
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita.
c. Penanganan Logistik
1. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas.
2. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens).
3. Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c.
Prosedur penanggulangan tuberkulosis paru di Puskesmas Donggala
dimulai dengan penemuan kasus tuberkulosis paru dilakukan secara aktif
maupun pasif. Penemuan pasien biasanya berasal dari laporan warga
13
setempat, poliklinik, rujukan atau pun kunjungan ke area rumah pasien
penderita tuberkulosis BTA positif. Penemuan ini bertujuan untuk
mendapatkan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan
terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium (pemeriksaan
dahak dan/atau foto thoraks), menentukan diagnosis dan menentukan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan
pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang
lain.
Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap
awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan,
tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara
lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh.
Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui
perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap
awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.
3.3 Output
14
2) Pengetahuan mengenai pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat
serta penularan tuberkulosis juga masih rendah.
3) Penyuluhan secara berkala oleh petugas kesehatan untuk memberi
pengetahuan mengenai pentingnya hidup bersih dan sehat serta
mengenai penyakit tuberculosis kepada masyarakat.
b) Efek samping obat yang membuat penderita TB tidak mau melanjutkan
pengobatannya.
c) Pasien TB mengalami kesulitan pada saat mengeluarkan dahak.
d) Ada beberapa pasien yang malu saat diketahui memiliki penyakit
menular
e) Sebagian anggota keluarga menolak untuk diperiksa disebabkan tidak
ada gejala.
f) Kepatuhan pasien untuk teratur meminum obat sesuai dengan dosis. Hal
ini diatasi dengan mengedukasi pasien mengenai pentingnya
pengobatan tuberculosis serta cara penularan tuberculosis sejak awal
pasien didiagnosis menderita tuberculosis dan juga memberitahu
keluarga pasien atau pun tokoh masyarakat disekitar rumah pasien yang
disegani untuk selalu mengingatkan pasien untuk teratur meminum
obat.
g) Kendala lainnya yaitu kurangnya staf di Puskesmas Donggala yang
membantu pelaksanaan program penanggulangan TB Paru. Dimana
pemegang program TB paru yang bekerja juga menjalankan program
lainnya untuk penanggulangan penyakit-penyakit menular lainnya,
seperti malaria dan kusta serta bekerja sebagai analisis di laboratorium
Puskesmas Donggala. Serta belum ada jadwal yang dibuat untuk
melakukan penyuluhan tentang TB paru secara berkala.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
1. Masalah yang ditemui pada manajemen program P2 TB paru yaitu
kurangnya SDM sehingga pelaksanaan program belum maksimal
dikarenakan pemegang program juga merangkap sebagai analisis di
laboratorium dan juga pemegang program kusta dan malaria.
2. Kurangnya penyuluhan mengenai TB paru sehingga pengetahuan
masyarakat masih kurang mengenai TB paru sehingga masih timbul
stigma dalam masyarakat terhadap penderita TB paru dan beberapa
keluarga pasien TB paru menolak untuk dilakukan pemeriksaan sputum.
3. Penderita TB paru masih kurang patuh saat meminum obat dikarenakan
efek samping obat.
4.2 SARAN
1. Aspek input
Untuk kendala SDM, sebaiknya pihak puskesmas menambah staf
pelaksana program TB paru sehingga pelaksanaan program TB paru
dapat dilakukan semaksimal mungkin.
2. Aspek proses
1. Penyuluhan kesehatan mengenai TB Paru harus lebih sering
dilakukan untuk meningkatkan kunjungan masyarakat ke puskesmas
sehingga angka penemuan kasus bisa dideteksi lebih cepat.
2. Monitoring dan evaluasi pemeriksaan maupun pengobatan TB Paru
harus lebih ketat sehingga penjaringan pasien suspek TB Paru akan
lebih baik.
3. Aspek output
Dari aspek output, melihat dari indikator keberhasilan, angka
capaian penemuan kasus TB baru di antara suspek adalah 87% dari
inkator keberhasilan yang seharusnya adalah 100%, hal ini dapat di
16
tingkatkan keberhasilanya jika dari aspek input dan prosesnya sudah
berjalan dengan baik.
17
DAFTAR PUSTAKA
18