Anda di halaman 1dari 23

1.

Cephalopelvic Disproportion

Absolute CPD—True Mechanical Obstruction


Permanent (Maternal)
 Contracted pelvis
 Pelvic exostoses
 Spondylolisthesis
 Anterior sacrococcygeal tumors

Temporary (Fetal)
 Hydrocephalus
 Large infant

Relative CPD
 Brow presentation
 Face presentation—mentoposterior
 Occipitoposterior positions
 Deflexed head

Pelvic
Pelvimetry Using Imaging Technology
Dalam melakukan pelvimetri, terdapat aturan 3s yang menunjukkan ada 3 bagian panggul
untuk diperiksa, dan setiap bagian memiliki 3 komponen, yaitu:
Hasil pemeriksaan yang diharapakan dalam pemeriksaan pelvis:

Prediksi intrapartum dan mendeteksi CPD


Fetal Head Descent

CPD akan menyebabkan kegagalan keturunan kepala janin melalui panggul. Obstruksi
mungkin di pelvic brim atau pelvic inlet. Turunnya kepala janin melalui panggul juga
tergantung pada compliance jaringan lunak ibu, kekuatan kontraksi,dan upaya ekspulsif ibu
pada tahap kedua.
Engagement adalah passage dari bagian terluas presentasi melalui pelvic brim, dan diukur
dalam 5s di atas simfisis pubis dengan cara palpasi abdomen. Untuk presentasi cephalic,
bagian terluas presentasi adalah diameter biparietal. Kepala yang teraba 2/5 atau lebih rendah
engaged di pelvis. Jumlah peturunan dan keterlibatan kepala dinilai dengan merasakan posisi
kepala di pelvic brim.
• kepala teraba 5/5, artinya keseluruhan kepala berada di atas pelvic brim.
• kepala teraba 4/5, artinya sebagian kecil kepala berada di bawah pelvic brim dan bias
terangkat keluar dari panggul dengan cengkeraman panggul yang dalam.
• kepala teraba 3/5, artinya kepala tidak bisa diangkat keluar dari panggul. Pada panggul yang
dalam jari pemeriksa akan bergerak ke luardari leher janin, lalu ke dalam sebelum mencapai
pelvic brim.
• kepala teraba 2/5, artinya sebagian besar kepala di bawah pelvic brim, dan di dalam
pegangan panggul, jari pemeriksa merentang ke luar dari leher janin ke pelvic brim.
• kepala teraba 1/5, artinya hanya pangkal kepala janin bisa dirasakan di atas pelvic brim.
Jika kepala teraba 2/5 atau kurang dari itu, maka engagement telah terjadi dan kemungkinan
disproporsi di panggul dapat dikesampingkan.

Head-Fitting Tests
Ketika kepala janin tidak engaged saat aterm, ada 2 metode untuk menentukan apakah inlet
panggul cukup untuk kepala janin.
Salah satu metode untuk menentukan apakah inlet panggul memadai head-fitting test. Jika
kepala dapat didorong ke panggul, CPD karena contracted inlet dapat disingkirkan. Tes Munro-
Kerr salah satu metode yang paling terkenal. Pemeriksan berdiri disebelah kanan pasien, dan
mendorong kepala janin ke pelvis dengan tangan kiri, dan tangan kanan sambal merasakan
penurunan kepala di vagina.

Overlap kepala janin pada simpisis menandakan kemungkinan CPD. Jika kepala janin tidak
dapat melewati pelvic brim, ibu jari tangan kanan melewatisimfisis untuk memperkirakan
tingkat overlap. Overlap deraja pertama dikatakan jika kepala janin yang teraba setara dengan
simpisis pubis, yang menandakan CPD deraja sedang. Overlap derajat kedua jika kepala janin
yang teraba di anterior simpisis pubis dan menandakan CPD dengan serious degree.
Cara lain untuk mendeteksi contracted inlet adalah kepala tidak engaged dalam 3 sampai 4
minggu terakhir kehamilan pada primigravida dengan metode Pinard.
Pasien mengevakuasi kandung kemih dan rektum, dan ditempatkan dalam posisi semi-duduk
untuk membawa sumbu janin tegak lurus. Tangan kiri pemeriksa mendorong kepala janin ke
bawah dan ke belakang panggul sementara jari tangan kanan diletakkan pada simfisis
untuk mendeteksi disproporsi.

Sumber: Assessing Cephalopelvic Disproportion: Back to the Basics. Volume 65, Number 6.
Lippincott Williams & Wilkins. 2010.

2. Imunologi preekalmpsia
Hipotesis primipaternitas vs hipotesis interval

Pre-eklampsia sejati adalah penyakit pada kehamilan yang pertama (Roberts dan
Redman, 1993). Sebuah kehamilan normal yang terdahulu dihubungkan dengan menurunnya
insidensi terjadinya pre-eklampsia, hal ini juga akan terjadi walaupun yang terjadi sebelumnya
hanyalah suatu aborsi (Strickland et al. 1986). Efek perlindungan multiparitas adalah,
bagaimanapun, hilang dengan perubahan pasangan. Need (1975) adalah orang pertama yang
menyatakannya dalam kehamilan pasien yang pertama tanpa pre-eklampsia, respon limfosit
maternal, pada kultur campuran limfosit, penyerangan terhadap limfosit ayah pertama akan
lebih lemah daripada penyerangan terhadap limfosit ayah yang berbeda dari kehamilan
berikutnya yang mana telah terkomplikasi pre-eklampsia berat. Feeney dan Scott (Feeney,
1980; Feeney dan Scott, 1980) dalam sebuah survei retrospektif pada 34.000 persalinan
multigravida, menemukan 47 pasien dengan pre-eklampsia terjadi walaupun kehamilan yang
sebelumnya normal. Pada 13 (28%) pasien ini kehamilan yang terpengaruh adalah kehamilan
oleh ayah yang berbeda, dibandingkan dengan hanya 4,3% dalam grup kontrol yang besar. Di
Nigeria, Ikedife menemukan bahwa 34 dari 46 (74%) eklampsia pada pasien multipara
memiliki pasangan baru dalam kehamilan yang terpengaruh, dibandingkan dengan 5-10%
wanita multipara dengan kehamilan normal (Ikedife, 1980).

Istilah primipaternitas dikenalkan oleh Robillard et al. (1993) menguak hubungan


antara pre-eklampsia berat dan perubahan dalam pola paternitas diantara multigravida di
Guadeloupe (Perancis Hindia Barat). Pasien multipara dengan pre-eklampsia berat dan atau
eklampsia dan pemeriksaan kontrol. Informasi mengenai paternitas untuk indeks dan
kehamilan terdahulu dikumpulkan dari tiga grup: wanita dengan pre-eklampsia; wanita dengan
hipertensi kronik; dan sebuah grup kontrol yang terdiri oleh wanita tanpa hipertensi selama
hamil. Pada 21/34 (61,7%) ibu dengan pre-eklampsia, ayah janin sekarang berbeda dengan
ayah kehamilan sebelumnya, dibandingkan dengan 4/40 (10%) diantaranya wanita dengan
hipertensi kronik dan 10/60 (16,6%) di grup kontrol (P<0.001). Karena pola paternitas yang
berubah berkorelasi signifikan dengan pre-eklampsia pada multipara tapi tidak dengan
hipertensi kronik dan kontrol, penulis mengajukan bahwa pre-eklampsia mungkin merupakan
masalah yang disebabkan lebih karena primipaternitas daripada primigraviditas. Adanya
perhatian dihubungkan dengan definisi yang digunakan oleh Robillard et al. (1993) telah
dikeluarkan, penelitian Amsterdam (Tubbergen et al. 1999), menggunakan kriteria diagnostik
yang sangat ketat, meneliti 333 pasien multipara dengan pre-eklampsia dan atau sindrom
HELLP. Grup kontrol terdiri atas 182 wanita multipara tanpa pre-eklampsia. Prevalensi
paternitas baru lebih signifikan (P<0.0001) untuk pasien pre-eklampsia dan juga pasien
HELLP dalam perbandingan dengan kontrol, dengan rasio bermakna 8.6 (95% CI: 3.1-23.5)
dan 10.9 (95% CI: 3.7-23.5). Dalam paragraf diskusi Tubbergen et al. (1999) menekankan
bahwa setiap wanita multipara seharusnya ditanyakan apakah kehamilannya berasal dari
pasangan yang sama. Berdasarkan konsep primipaternitas, wanita multipara dengan pasangan
yang baru harus menjalani perawatan antenatal yang sama dengan primigravida. Menggunakan
pendekatan kelompok, Trupin et al. (1996) meneliti 5068 nulipara dan 5800 multipara, 573
diantaranya memiliki pasangan baru. Insidensi pre-eklampsia pada nulipara (3,2%) dan
multipara dengan perubahan paternitas (3%) ditemukan sama, dibandingkan dengan insidensi
yang signifikan lebih rendah (1,9%) pada multipara yang mana tidak berganti pasangan.

Konsep primipaternitas baru-baru ini disangkal oleh Skjaerven et al. (2002). Investigasi
ini menggunakan data dari Registrasi Kelahiran Medik Norwegia, sebuah registrasi berdasar
populasi yang berisi data kelahiran antara 1967-1998. Mereka meneliti 551.478 wanita yang
telah menjalani dua atau lebih persalinan tunggal, dan 209.423 wanita yang telah menjalani
tiga atau lebih persalinan tunggal. Pre-eklampsia terjadi selama 3,9% kehamilan pertama, 1,7%
pada kehamilan yang kedua dan 1,8% pada kehamilan yang ketiga pada wanita dengan
pasangan yang sama. Risiko pada kehamilan kedua atau ketiga berhubungan langsung dengan
waktu yang dipakai sejak sebelum persalinan dan, apabila interval antara persalinan lebih dari
10 tahun atau lebih, risiko dirkirakan diantara wanita nulipara. Perubahan paternitas untuk
kehamilan kedua dihubungkan dengan pengurangan risiko pre-eklampsia setelah berkontrol
sejak persalinan yang pertama (OR 0.80, 95% CI: 0.72-0.90), tetapi interaksi antara perubahan
paternitas dan waktu antara persalinan hanya signifikan untuk wanita yang tidak pernah
mengalami pre-eklampsia. Interaksi antara riwayat pre-eklampsia dan waktu antara dua
persalinan sangat berarti signifikan dan, untuk wanita tanpa riwayat pre-eklampsia, risiko pre-
eklampsia pada kehamilan kedua meningkat dengan meningkatnya interval waktu. Untuk
interval lebih lama dari 15 tahun, OR-nya 2.11 (95% CI: 1.75-2,53). Untuk wanita dengan
riwayat pre-eklampsia, risiko cenderung menurun dengan meningkatnya interval antara
persalinan. Skjaerven et al. (2002) menyimpulkan bahwa pengaruh proteksi seorang ayah baru
dalam kehamilan kedua meragukan hipotesis primipaternitas, dan berimplikasi bahwa
peningkatan risiko pre-eklampsia dianggap berasal dari ayah baru atau oleh mekanisme lain
yang dikarenakan kontrol yang kurang untuk interval antara persalinan.

Harus diperhatikan bahwa penelitian lain telah lebih dahulu mendeskripsikan tentang
efek interval persalinan. Mostello et al. (2002) mengadakan penelitian kontol-kasus
berdasarkan populasi menggunakan data sertifikat kelahiran dari Missouri. Data dari wanita
yang sudah melahirkan dua anak tunggal antara tahun 1989 dan 1997 (2332 kasus dengan pre-
eklampsia di kehamilan kedua, dan 2370 kasus kontrol) telah dianalisis. Faktor risiko yang
signifikan untuk terjadinya pre-eklampsia pada kehamilan kedua termasuk lamanya interval
persalinan, riwayat melahirkan bayi prematur, penyakit ginjal, hipertensi kronik, diabetes
melitus, obesitas, ras hitam dan antenatal care yang kurang. Lebih penting, berlawanan dengan
hasil penelitian orang Norwegia, paternitas yang sama ditemukan memiliki efek proteksi.

Basso et al. (2001) meneliti hasil dari kehamilan kedua dalam kelompok wanita Danish
dengan riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya (8401 wanita) dan pada semua
wanita dengan riwayat pre-eklampsia pada kehamilan kedua (tapi tidak pada kehamilan
pertama) dan dengan sampel dari wanita yang sudah melahirkan dua kali (26.596 wanita).
Interval persalinan yang lama dihubungkan dengan risiko pre-eklampsia yang lebih tinggi pada
wanita tanpa riwayat pre-eklampsia apabila dengan pasangan yang sama. Hampir mirip dengan
penelitian Norwegia, perubahan pasangan dihubungkan dengan peningkatan risiko pre-
eklampsia pada wanita tanpa riwayat pre-eklampsia; efek ini akan menghilang setelah
disesuaikan dengan interval persalinan. Peneliti menyebutkan bahwa mereka melihat hasil
yang berbeda saat lama interval persalinan distratifikasi.

Conde-Agudelo dan Belizan (2000), meneliti akibat interval persalinan pada morbiditas
dan mortalitas ibu, dilaporkan penelitian yang paling besar pada efek lamanya interval
persalinan sebagai faktor risiko pre-eklampsia. Penelitian ini, menggunakan data Sistem
Informasi Perinatal Pusat Amerika Latin untuk Perinatologi dan Pengembangan Manusia di
Montevideo, meneliti 456.889 wanita para yang melahirkan bayi tunggal. Mereka menyatakan
bahwa interval antar persalinan pendek (<6 bulan) dan panjang (>59 bulan) telah diobservasi
berturut-turut pada 2.8 dan 19,5% dari wanita. Setelah penyesuaian dengan faktor pengganggu,
dibandingkan dengan wanita yang mengandung pada 18-23 bulan setelah persalinan
sebelumnya, wanita dengan interval persalinan 5 bulan atau kurang memiliki risiko tinggi
kematian ibu (OR=2.54; 95% CI:1.22-5.38), perdarahan trimester ketiga (1.73; 1.42-2.24),
ruptur membran prematur (1.72; 1.53-1.93), endometritis purpura (1.33; 1.22-1.45) dan anemia
(1.30; 1.18-1.43). dibandingkan dengan wanita dengan interval persalinannya 18-23 bulan,
wanita dengan interval persalinan lebih lama dari 59 bulan memiliki peningkatan signifikan
risiko terjadi pre-eklampsia (1.83; 1.72-1.94) dan eklampsia (1.80; 1.38-2.32).

Peneliti berkeyakinan bahwa ada perbedaan interpretasi data Norwegia yang tidak
layak menyangkal hipotesis primipaternitas. Pertama-tama, penelitian Norwegia memiliki
beberapa kelemahan penting. Registrasi kelahiran tidak memuat secara terperinci hal-hal yang
dibutuhkan untuk meneliti paternitas manusia. Disamping itu ada 12% data paternitas yang
hilang pada penelitian oleh Skjaerven et al. (2002), telah diketahui bahwa ada nilai yang
signifikan (1-30%) dari kesalahan pengakuan paternitas pada pasangan stabil di kota
berkembang (Lucassen dan Parker, 2001). Maka dari itu, tidak diragukan, menjadikannya grup
“ayah yang sama” pada penelitian baru-baru ini. Sehingga, kesimpulan berkaitan dengan
hubungan paternitas dan pre-eklampsia berdasarkan registrasi kelahiran saja harus dihindari;
ada banyak indikasi kasar dari paternitas yang sebenarnya dan tidak memuat informasi yang
dibutuhkan dalam kohabitasi seksual, yang mana merupakan fundamental pada kemajuan
ilmiah dari diskusi berlanjut ini. Skjaerven et al. (2002) juga mengusulkan bahwa diagnosis
pre-eklampsia di penelitian mereka termasuk adanya 0.3 gr protein dalam 24 jam. Para penulis
Norwegia tidak memperhatikan kenyataan bahwa kebanyakan kota di Barat, dan kita tidak tahu
alasan lain mengapa orang Norwegia berperilaku berbeda, hanya menggunakan analisis urin
24 jam selama tahun 1980. Sehingga, diagnosis proteinuria pada sekurangnya 60% pasien “pre-
eklampsia” mereka bisa dipertanyakan. Hal ini merupakan perhatian yang relevan, mengingat
indeks pasien pada penelitian Norwegia kebanyakan adalah wanita yang berumur, jelas sulit
menjadikannya diagnosis pre-eklampsia yang dapat dipercaya pada kategori wanita ini.

Kedua, tampaknya ada inkonsisten derajat biologis yang signifikan pada penelitiannya.
Skjaerven et al. (2002) gagal mendiskusikan penemuan yang dikeluarkan oleh Li dan Wi
(2000), yang melaporkan penelitian berdasarkan kelompok pada 140,147 wanita dengan dua
persalinan yang berurutan selama 1989-1991 diidentifikasi melalui jalur data sertifikat
kelahiran tahunan Kalifornia. Diantara wanita tanpa pre-eklampsia/ eklampsia pada kehamilan
pertama, perubahan pasangan meningkatkan 30% risiko terjadinya pre-eklampsia/ eklampsia
pasa kehamilan berikutnya dibandingkan dengan wanita yang memiliki pasangan tetap (95%
CI:1.1-1.6). Di sisi lain, diantara wanita dengan riwayat pre-eklampsia/ eklampsia pada
kehamilan pertama, pergantian pasangan menurunkan risiko pre-eklampsia/ eklampsia dala
kehamilan berikutnya (95% CI:0.4-1.2). Lebih menarik lagi grup yang sama dari penulis
Norwegia (Lie et al., 1998), pada penelitian terdahulu, juga menemukan bahwa risiko
perkembangan pre-eklampsia pada ibu yang pernah menderita pre-eklampsia pada kehamilan
pertamanya memiliki 13% kemungkinan apabila dia hamil lagi dengan pasangan yang sama.
Risiko ini menurun hingga 11.8% jika dia berganti pasangan. Jika mungkin, seseorang bisa
berasumsi makin lama interval persalinan setelah mengalami saat traumatik dalam hidup
walaupun dalam hal ini kehamilan yang berkomplikasi pre-eklampsia dikombinasi adanya
waktu maka mereka akan mencari pasangan baru. Seperti data sebelumnya yang telah
dikeluarkan (Lie et al., 1998), sama halnya dengan data Li dan Wi (2000), menunjukkan
kontradiksi terhadap “hipotesis interval kelahiran”. Ini seharusnya juga diperhatikan bahwa,
pada publikasi International Journal of Epidemiology (Trogstad et al., 2001) mendahului
publikasi New England Journal of Medicine (dalam kelompok populasi yang sama, dengan
penulis yang berbeda), jurnal ini secara spesifik menegaskan bahwa interval persalinan bukan
faktor risiko pada wanita dengan riwayat pre-eklampsia dengan kehamilan atas paternitas yang
tetap ataupun baru. Kemudian, penemuan ini membuat hipotesis interval persalinan tidak
masuk akal. Sangat sulit untuk memahami setiap faktor risiko (lingkungan, infeksi, stres, BMI,
dan lain-lain) yang mungkin meningkatkan risiko pada wanita dengan riwayat persalinan
normal dan, pada waktu yang sama, menurunkan risiko pada wanita dengan riwayat pre-
eklampsia sebelumnya.

Penggabungan data Norwegia dan Amerika Latin, biarkan kita berasumsi bahwa
interval kehamilan yang lama adalah faktor risiko penting terjadinya pre-eklampsia di masa
mendatang pada wanita multipara, terbebas dari usia ibu. Apa saja penjelasan yang mungkin?

1. Penelitian Norwegia dan Amerika Latin keduanya membenarkan pengetahuan


umum bahwa mayoritas pasangan (>80%) normalnya memiliki interval <5 tahun
antara kelahiran anak-anaknya. Karena ini, satu yang harus dipirkan ulang adalah
alasan yang paling mungkin kenapa beberapa pasangan (<20%) tampaknya “lebih
memilih” untuk memperpanjang interval antara kelahiran anak-anaknya. Sejauh ini,
semua penelitian awalnya menyebutkan bahwa telah meneliti hasil kehamilan
berikutnya pada wanita multipara, tetapi dalam kenyataannya, hasil kehamilan
hanya memuat kehamilan setelah 16 (Norwegia) atau 19 (Amerika Latin) minggu
masa gestasi. Dengan kata lain, semua keguguran telah diabaikan. Kejadian satu
atau lebih keguguran, peristiwa yang sangat umum bagi wanita di masyarakat Barat,
dapat menjelaskan proporsi signifikan pasangan yang tampaknya “memilih” untuk
memperpanjang interval persalinan. Wanita dengan keguguran yang berulang telah
diketahui memiliki insidensi tinggi atas hasil kehamilan yang merugikan di
kehamilan berikutnya yang sedang berlangsung (Jivraj et al., 2001).
2. Hilangnya fertilitas juga bisa diperhitungkan pada interval persalinan >5 tahun yang
kurang dari 20% jumlah pasangan. Penyebab yang paling banyak yaitu dengan
menghilangkan fertilitas termasuk sindrom Obesitas dan Polikistik Ovarium
(PCO), keduanya memiliki hubungan jelas dengan pre-eklampsia pada kehamilan
berikutnya (Dekker, 1999; de Vries et al., 1998). Bagaimanapun, bahkan infertilitas
yang tak dapat dijelaskan memiliki hubungan jelas dengan pre-eklampsia. Pada
1983, Moore dan Redman menggambarkan, pada penelitian kontrol-kasus 24
pasien dengan pre-eklampsia berat didiagnosis sebelum masa gestasi 34 minggu,
dan 48 kontrol yang diseleksi secara acak sebanding untuk umur dan paritas, yang
mana riwayat infertilitas merupakan faktor risiko signifikan terjadi pre-eklampsia.
Pandian et al. (2001) memeriksa hasil kehamilan tunggal pada pasangan dengan
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan yang ditemukan pada Klinik Fertilitas
Aberdeen, dan mereka menggunakan populasi obstetri secara umum sebagai grup
kontrol. Wanita dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan berumur signifikan
lebih tua (30.8 banding 27.9 tahun) dan kebanyakan merupakan primipara (59
banding 40%, 95% CI=+1.3-+1.9) setelah penyesuaian umur dan paritas, wanita
dengan riwayat infertilitas memiliki insidensi yang lebih tinggi terjadi pre-
eklampsia dan abrupsi plasenta. Penulis menyimpulkan bahwa wanita dengan
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan adalah wanita dengan komplikasi obstetri
yang lebih tinggi termasuk pre-eklampsia. Menariknya, grup Skandinavia yang lain
(Basso et al., 2003) baru-baru ini memeriksa hubungan antara infertilitas dan pre-
eklampsia. Menggunakan data wawancara yang dikumpulkan selama trimester
kedua kehamilan (1998-2001) dari wanita yang berpartisipasi di Kelompok
Persalinan Nasional Danish, mereka menemukan 20.034 dan 24.698 kelahiran
tunggal hidup dari wanita primipara dan multipara, berturut-turut, untuk penyedia
informasi pre-eklampsia dari rekam medis rumah sakit. Diantara wanita yang tidak
tahu hipertensi, penulis memperkirakan risiko yang lebih tinggi terjadi pre-
eklampsia pada mereka yang memperlama kehamilan setelah penyesuaian umur
ibu, BMI sebelum hamil, dan merokok. Dibandingkan dengan primipara yang
segera hamil (kategori referen), risiko pre-eklampsi meningkat dengan
bertambahnya interval konsepsi dan kemudian distabilisasi untuk wanita yang
membutuhkan 6 bulan atau lebih untuk mengandung-dimana wanita dengan risiko
pre-eklampsia meningkat menjadi 50%. Pada multipara juga terjadi peningkatan
risiko, tetapi hanya bagi mereka yang melaporkan waktu-untuk-hamil menjadi lebih
dari 12 bulan (OR=2.47, 95% CI: 1.30-4.69). penulis menemukan bahwa waktu
yang lama-untuk-hamil dihubungkan dengan pre-eklampsia, mendukung hipotesis
bahwa beberapa faktor menunda penampakan klinis terjadinya konsepsi mungkin
juga berpengaruh dalam jalur penyebab terjadinya pre-eklampsia.
3. Penjelasan ketiga lebih hipotetikal.di masyarakat Barat, persentase perkawinan
yang berakhir dengan perceraian makin meningkat menjadi lebih dari 40%. Seperti
juga, bertambahnya jumlah hubungan yang mendekati krisis. Dua mekanisme
mungkin bisa dilakukan dalam hubungan seperti ini: banyak wanita bisa saja
memiliki hunbungan diluar nikah, yang kadang-kadang menghasilkan kehamilan
yang tak dikehendaki. Wanita ini memiliki dua pilihan. Mereka bisa bercerai dan
memulai hidup baru dengan pasangan baru (yang mana bisa diperhitungkan sebagai
paternitas baru) atau tetap dengan suaminya dan, dengan alasan yang jelas, tidak
akan mengakui perubahan dalam paternitasnya. Kebenaran banyaknya kejadian
non-paternitas tidak diketahui tapi, seperti yang sudah disebutkan, laporan
menunjukkan insidensi serendah 1% per generasi hingga 30% di populasi Barat
(Lucassen dan Parker, 2001). Mekanisme ini mungkin relevan (setidaknya
separuhnya) dalam penjelasan penemuan Norwegia. Wanita dengan interval
kehamilan yang lama seringkali berumur belasan tahun saat hamil pertama kali atau
di umur awal 20an; wanita seperti ini diketahui memiliki risiko ketidaksetiaan yang
lebih tinggi dan perceraian dimasa depan (Atkins et al., 2001). Pada beberapa
pasangan yang memiliki anak, nafsu seks akan menurun hingga ke tingkat yang
rendah karena stres selama beberapa periode waktu (dan berkurangnya kejadian
kehamilan). Beberapa pasangan ini mungkin memutuskan untuk memiliki bayi lagi
dalam usaha menyelamatkan/ membangkitkan perkawinan mereka. Mungkin saja
bahwa keputusan emosional diikuti reaktivasi seksualitas yang tiba-tiba dan
menyebabkan interval yang pendek antara “keputusan” dan kehamilan berikutnya.
Jika pemaparan sperma yang terus-menerus dibutuhkan untuk menaikkan proses
pengaktifan sel NK-berhubungan toleransi imun spesifik pasangannya, salah
satunya mungkin akan bisa menjadi kehamilan “penyelamat perkawinan” dengan
insidensi pre-eklampsia yang tinggi (Dekker, 2002).

Eskenazia dan Harleyb (2001) juga mengulas bukti untuk dan melawan hipotesis
primipaternitas banding hipotesis interval persalinan, dan menekankan bahwa, dimana Lie et
al. (1998) dan juga Li dan Wi (2000) melaporkan rasio rentang yang mengontrol waktu interval
persalinan, kedua kelompok menyatakan bahwa interval waktu telah diteliti dan bukan
merupakan sebuah pengganggu. Lebih jauh, waktu antara persalinan tidak tampak sebagai
pengganggu dalam penelitian Li dan Wi (2000) yang mengusulkan penulis untuk mengetatkan
pemilihan populasi menjadi wanita yang melahirkan dengan perbedaan waktu 1 dan 3 tahun.

Sebuah penelitian mendukung penuh konsep primipaternitas baru-baru ini diterbitkan


oleh Saftlas et al. (2003). Penulis ini meneliti wanita nulipara yang direkrut sebelumnya dalam
acara Kalsium - Percobaan Pencegahan Pre-Eklampsia, 1992-1995. Mereka secara spesifik
mengkaji apakah wanita nulipara dengan aborsi sebelumnya yang mana kemudian memiliki
pasangan baru akan kehilangan efek proteksi dari kehamilan sebelumnya. Data mereka
memperlihatkan wanita dengan riwayat aborsi yang sedang mengandung lagi dengan pasangan
yang sama memiliki hampir separuh risiko pre-eklampsia (rasio rentang disesuaikan =0.54,
95% CI: 0.31, 0.97) wanita tanpa riwayat aborsi sebelumnya. Sebaliknya, wanita dengan
riwayat aborsi yang sedang mengandung dengan pasangan baru memiliki risiko pre-eklampsia
yang sama dengan wanita tanpa riwayat aborsi (rasio rentang disesuaikan= 1.03, 95% CI: 0.72,
1.47). Maka dari itu, efek proteksi aborsi sebelumnya berperan hanya pada wanita yang
mengandung lagi dengan pasangan yang sama. Menurut para peneliti data mereka mendukung
kuat sebuah mekanisme etiologi berdasarkan imun, dimana pemaparan lama pada antigen fetal
dari perlindungan pre-eklampsia kehamilan sebelumnya pada kehamilan berikutnya dengan
ayah yang sama. Dalam diskusi mereka, Satlas et al. (2003) juga menekankan bahwa peneliti
Skandinavia (Skjaerven et al.,2002) mengabaikan efek riwayat aborsi, terutama menginduksi
aborsi. Mereka mengatakan “Karena proteksi aborsi mencegah pre-eklampsia dan didapatkan
lebih sering pada pasangan tidak menikah, berpisah, atau wanita yang bercerai daripada wanita
dalam perkawinan yang stabil, kegagalan menghitung terminasi kehamilan antara kelahiran
yang diregistrasi akan menghasilkan kekeliruan interval persalinan khususnya untuk wanita
yang berganti pasangan. Lebih lagi, penyesuaian untuk aborsi yang diinduksi akan menurunkan
risiko relatif dihubungkan dengan pergantian pasangan.” Walaupun interval intra kehamilan
tidak terlalu pasti berhubungan langsung dalam Percobaan CPEP, yang diikuti hanya oleh
wanita nulipara (umur median, 19.7 tahun) rata-rata interval intra kehamilan diperkirakan 1
tahun, memperlihatkan bahwa rata-rata umur primigravida adalah kurang 1 tahun daripada
wanita yang telah pernah hamil sebelumnya. Saftlas et al. (2003) menekankan bahwa gangguan
karena interval intra kehamilan juga tidak tampak dikarenakan rasio rentang untuk wanita
diatas atau dibawah usia median telah identik secara virtual, meskipun fakta bahwa interval
intra-kehamilan adalah, oleh kepentingan, lebih pendek untuk wanita dibawah daripada wanita
diatas usia median. Sebagai tambahan, usia rata-rata wanita yang mana berganti pasangan
hanya terpaut sebulan lebih tua daripada wanita yang tetap dengan pasangannya yang sama.

Sebagai ringkasan, hipotesis primipaternitas tetap tak tergoyahkan. Bagaimanapun kita


harus tidak menjadi buta pada kenyataan bahwa mungkin ada efek tambahan dihubungkan
dengan interval persalinan lama. Khong et al. (2003) baru-baru ini mendemonstrasikan bahwa
perubahan struktural arteri spiralis yang dibutuhkan untuk kehamilan tidak sempurna
memecahkan persalinan berikutnya, dan bahwa derajat perubahan anatomis dihubungkan
dengan jumlah kehamilan sebelumnya; duplikasi dan fragmentasi lamina elastik internal, dan
proporsi jaringan non-muskular meningkat sejalan bertambahnya paritas. Akan sangat penting
untuk mengetahui apakah ya atau tidak perubahan regresi ini dengan interval persalinan yang
lama.

Paparan sperma

Marti dan Herrmann (1977) adalah orang pertama yang mengenali bahwa pemaparan
sperma yang berulang akan mencegah pre-eklampsia. Mereka meneliti 83 primigravida, 28
dengan pre-eklampsia, dan 55 dengan kehamilan tak terkomplikasi. Para wanita dengan pre-
eklampsia memiliki rata-rata 59.5 paparan fisiologis oleh semen sementara kelompok kontrol
non-pre-eklampsia memiliki 191.6 paparan. Dengan tambahan, jumlah wanita menggunakan
kontrasepsi oral (yang membolehkan paparan sperma) dan periode total penggunaan
kontrasepsi oral signifikan lebih rendah pada wanita pre-eklampsia. Penulis menyatakan bahwa
penemuan mereka mungkin menyediakan sebuah penjelasan unutk insidensi pre-eklampsia
yang tinggi pada anak remaja. Satu kekurangan yang mungkin pada penelitian ini adalah fakta
bahwa pre-eklampsia ditetapkan dengan melihat nilai indeks gestasi (Goecke dan Schwabe,
1965). Indeks gestasi (Goecke dan Schwabe, 1965) mengkombinasi tekanan darah sistole dan
diastole, proteinuria dan edema untuk mengklasifikasi pasien mengalami gestasi Edema-
Proteinuria-Hipertensi (EPH) ringan, sedang atau berat. Sehingga, adanya edema fisiologis
cukup untuk mengklasifikasikan seorang wanita hamil normotensi mengalami gestasi EPH
ringan. Menggunakan definisi yang lebih kontemporer untuk menetapkan gangguan hipertensi
diinduksi kehamilan, persoalan paparan sperma melindungi terhadap pre-eklampsia telah
ditetapkan ulang oleh Klonoff et al. (1989). Sebuah penelitian kasus kontrol telah
membandingkan riwayat kontrasepsi dan reproduksi 110 wanita primipara pre-eklampsia
dengan 115 wanita hamil tanpa pre-eklampsia. Kontrol dicocokkan pada kasus dengan usia,
ras dan jarak dari rumah sakit. Analisis regresi logistik tak bersyarat mengindikasikan 2.37 kali
lipat (95% CI: 1.01-5.58) risiko pre-eklampsia yang meningkat pada pengguna kontrasepsi
yang mencegah adanya paparan sperma, contohnya kondom, diafragma, spermisida, dan
interuptus. Lusinan respon gradien telah diobservasi, dengan peningkatan risiko pre-eklampsia
pada mereka yang memiliki episode rendah paparan sperma. Sesuai Klonoff et al. (1989),
metode barier bisa berkontribusi sebanyak 60% kasus pre-eklampsia. Mills et al. (1991) tidak
dapat mengkonfirmasi efek “berlawanan” kontrasepsi barier ini. Setelah publikasi Klonoff et
al. (1989), mereka menganalisis, post hoc, data dari penelitian dua kehamilan perspektif
(“Kaiser Permanente Birth Defects Study” dan Penelitian Infeksi Vagina dan Prematuritas),
terutama terdiri dari wanita yang melahirkan pada pertengahan tujuh belas, untuk memeriksa
hubungan antara penggunaan kontrasepsi sebelum konsepsi, dan pre-eklampsia. Jumlah pre-
eklampsia diantara wanita yang menggunakan metode kontrasepsi barier signifikan tidak lebih
tinggi daripada jumlah wanita yang menggunakan metode non-barier atau mereka yang tidak
menggunakan kontrasepsi sama sekali. Bagaimanapun, penelitian Mills et al. (1991) belum
dibentuk secara spesifik untuk mengeksplorasi hubungan antara penggunaan kontrasepsi dan
pre-eklampsia, dan harus diperhatikan bahwa hanya penggunaan kontrasepsi setahun sebelum
penelitian kehamilan dievaluasi. Mungkin saja wanita yang telah menggunakan metode barier
selama periode penelitian menggunakan metode non-barier sebelum ini. Wanita seringkali
berhenti meminum kontrasepsi oral beberapa waktu sebelum mereka benar-benar mencoba
agar hamil, karena perhatian tentang bayi yang terpapar oleh “pil” hormon, atau kekhawatiran
jika fungsi ovulasi tidak lagi utuh setelah tahun-tahun dengan kontrasepsi oral (Mosher dan
Pratt, 1990; Serfaty, 1992). Juga, walaupun dikatakan (Mills et al., 1991) bahwa kriteria
kontemporer digunakan untuk mendiagnosis gangguan hipertensi diinduksi kehamilan,
insidensi gangguan hipertensi diinduksi kehamilan yang dilaporkan pada penelitian ini pada
umumnya lebih tinggi daripada yang pernah dilaporkan oleh kebanyakan autoritas. Pada
“Kaiser Permanente Birth Defects Study,” 6,1% primigravida akan mengalami pre-eklampsia,
yang mana hal ini berkesesuaian dengan penelitian di literatur. Bagaimanapun, melihat dari
multipara mereka, satu yang dilanggar oleh 5.4% insidensi pre-eklampsia, yang mana sangat
tinggi. Pada “Penelitian Infeksi Vagina dan Prematuritas”, insidensi pre-eklampsia pada wanita
nulipara sebanyak 16,4% dan 13,3% pada wanita multipara. Data ini meyebabkan perhatian
serius tentang validitas kesimpulan yang dibuat oleh Mills et al. (1991).

Beberapa penelitian di negara lain telah membenarkan hubungan antara peningkatan


risiko eklampsia dengan kontrasepsi barier (Cepicky dan Podrouzek, 1990; Hernandez-
Valencia et al., 2000). Belum lama ini, Einarsson et al. (2003) mempublikasi data yang
mendukung risiko berhubungan penggunaaan kontrasepsi barier. Penulis Texas ini
menggunakan bentuk kasus-kontrol dimana wanita dengan pre-eklampsia (kasus) dicocokkan
dengan dua wanita tanpa pre-eklampsia (kontrol) dalam usia dan paritasnya. Sejumlah 113
kasus telah dibandingkan dengan 226 kontrol. Wanita dengan periode pendek kohabitasi (<4
bulan) menggunakan metode kontrasepsi barier memiliki kenaikan risiko substansial untuk
terjadinya pre-eklampsia dibandingkan dengan wanita yang mengalami kohabitasi selama
lebih dari 12 bulan sebelum konsepsi (rasio rentang 17.1, P=0.004).

Robillard et al. (1994) adalah orang yang pertama kali menampilkan penelitian
prospektif dalam hubungan antara paparan sperma dan pre-eklampsia. Mereka meneliti durasi
kohabitasi seksual dengan ayah sebelum terjadi konsepsi dan insidensi hipertensi diinduksi
kehamilan. Selama periode 5 bulan, 1011 wanita yang berturut-turut melahirkan pada sebuah
unit obstetri telah diwawancarai tentang paternitas dan durasi kohabitasi seksual sebelum
konsepsi. Diagram obstetri secara abstrak telah menggambarkan tiga kelompok; mereka
dengan hipertensi diinduksi kehamilan, hipertensi kronik, dan mereka dengan tekanan darah
normal. Insidensi hipertensi diinduksi kehamilan sebanyak 11.9% diantara primigravida, 4.7%
diantara multigravida dengan paternitas yang sama, 24.0% diantara multigravida dengan
paternitas yang baru. Untuk primigravida dan multigravida, lamanya kohabitasi seksual
sebelum konsepsi berbanding terbalik dengan kejadian hipertensi diinduksi kehamilan
(P<0.0001). Hasil yang sama telah diobservasi setelah penilikan ras, edukasi, usia maternal,
status perkawinan, dan jumlah kehamilan. Memakai kohabitasi wanita yang lebih dari 12 bulan
sebagai referensi, penyesuaian rasio rentang (OR) untuk terjadinya pre-eklampsia apabila
periode kohabitasi selama 0-4 bulan sebanyak 11.6 (95% CI: 6.4-20.9), untuk periode 5-8 bulan
sebanyak 5.9 (95% CI: 2.9-12.5), dan untuk periode 9-12 bulan sebanyak 4.2 (95% CI: 1.7-
10.4). dalam penelitian prospektif ini, Robillard et al. (1994) menunjukkan bahwa multigravida
dengan gangguan hipertensi diinduksi kehamilan memiliki pasangan baru pada 66.7% kasus
dibandingkan dengan 24.1% pada multigravida normotensi (P=0.0001). Insidensi yang sangat
tinggi (24.0%) hipertensi diinduksi kehamilan diantara multigravida dengan paternitas baru
terlihat berhubungan dengan periode pendek paparan sperma sebelum konsepsi. Robillard et
al. (1994) menduga bahwa gangguan hipertensi diinduksi kehamilan dalah suatu masalah dari
primipaternitas daripada primigraviditas, dan bahwa pemanjangan durasi kohabitasi seksual
sebelum konsepsi melindungi terhadap kejadian gangguan hipertensi diinduksi kehamilan.
Pada penelitian 21 pasien dengan kejadian proteinuri hipertensi diinduksi kehamilan (pre-
eklampsia), sementara pada 81 pasien yang lain berkembang menjadi hipertensi diinduksi
kehamilan. Pada analisis ini, pasien ini juga dikelompokkan sebagai hipertensi diinduksi
kehamilan. Maka dari itu, walaupun penelitian preospektif ini menyediakan data yang akurat,
penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk melihat apakah paparan sperma memberikan proteksi
mencegah pre-eklampsia sejati, dan terutama pre-eklampsia yang dihubngkan dengan hasil
perinatal yang jelek. Pada penelitian kasus-kontrol yang relatif kecil, Verwoerd et al. (2002)
menemukan bahwa multigravida, tetapi bukan primigravida, dengan periode kohabitasi seksual
tanpa perlindungan >6 bulan, mengalami penurunan risiko terjadinya pre-eklampsia.
Sebaliknya pada penelitian Robillard, Morcos et al. (2000) dalam penelitian kasus-kontrol
retrospektif baru-baru ini dari 68 wanita paritas campuran dengan hipertensi diinduksi
kehamilan menemukan bahwa, pada wanita primipara, durasi kohabitasi seksual dihubungkan
dengan penurunan risiko hipertensi diinduksi kehamilan yang kecil dan bahkan tidak
signifikan. Untuk wanita multipara, lamanya interval konsepsi dan penghentian penggunaan
kontrasepsi barier dihubungkan dengan peningkatan risiko hipertensi diinduksi kehamilan
yang lebih besar. Bagaimanapun, pada penelitian Morcos et al. (2000) memiliki beberapa
masalah utama: (a) persentasi yang relatif tinggi (20-40% kasus) memiliki riwayat aborsi
sebelumnya, dan (b) kontrol dan kasus keduanya memiliki faktor pembatas fertilitas yang
signifikan. Rata-rata jumlah bulan dari aktivitas seksual tanpa persalinan kontrol sebanyak 13.2
dan 10.9 bulan, berturut-turut, pada kasus dan kontrol hipertensi primipara, dan 49.4 dan 27.1
bulan, berturut-turut, pada kasus dan kontrol hipertensi multipara.

Paparan sperma alternatif di mukosa

Penggunaan oral mielin dan kolagen memiliki efek menguntungkan yang signifikan
pada pasien dengan multipel sklerosis dan reumatoid artritis. Efek ini (tolerisasi oral) mungkin
berhubungan pada jalur spesifik dimana antigen diproses oleh sistem imun saluran digestif.
Toleransi oral adalah metode yang sudah lama dikenal untuk menginduksi toleransi imun.
Menariknya, antigen yang menstimulasi usus-dihubungkan dengan jaringan limfa (GALT)
lebih dahulu mencetus tipe respon Th2 (Weiner et al., 1994). Pada 1986, dua tipe sel T
pembantu inhibitor mutualis yang berbeda telah digambarkan (Mossman et al., 1986). Tipe sel
yang pertama, disebut Th1, mensekresi IL-2, IFN-γ, dan limfotoksin. Hal ini berlawanan
dengan sel Th2 yang mensekresi IL-4, IL-6 dan IL-10 (Mossman dan Moore, 1991). Sitokin
Th1 dihubungkan dengan imunitas dimediasi sel dan memperlambat reaksi hipersensitivitas,
sementara sitokin Th2 membantu perkembangan respon antibodi dan reaksi alergi. Karena
sitokin Th1 dianggap berbahaya bagi kehamilan, dan sitokin Th2 seperti IL-10 dapat
menurunkan produksi sitokin Th1, sehingga dikemukakan oleh Wegmann di awal tahun 1990
bahwa kehamilan yang berhasil adalah merupakan fenomena Th2 (Marzi et al., 1996;
wegmann et al., 1993). Sekarang kita tahu bahwa paradigma ini jelas hanya sebuah
penyederhanaan yang berlebihan. Bagaimanapun, berdasarkan konsep toleransi mukosa, dan
paradigma tipe 1 banding 2, Koelman et al. (2000) mengevaluasi apakah seks oral dihubungkan
dengan insidensi rendah pre-eklampsia; 41 wanita primipara dengan riwayat pre-eklampsia,
ditetapkan secara ketat oleh kombinasi adanya hipertensi diinduksi kehamilan, proteinuria dan
hiperurisemia, dan kelompok kontrol dari 44 wanita dengan kehamilan normal telah ditenya
apakah mereka melakukan seks oral (ejakulasi intraoral) dengan pasangan mereka sebelum
indeks kehamilan. Pada 41 wanita pre-eklampsia 18 (44%) melakukan seks oral dengan
pasangannya sebelum indeks kehamilan banding 36 dari 44 (82%) pada kelompok kontrol
(P=0.0003). Dengan tambahan, 7 dari 41 (17%) pasien pre-eklampsia banding 21 dari 44
pasien kontrol (48%) mengakui bahwa mereka telah meneguk sperma (P=0.003). maka dari
itu, seks oral sebelum kehamilan pertama tampaknya dihubungkan dengan penurunan
signifikan insidensi pre-eklampsia. Penulis mengakui bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk mengetahui apakah penemuan ini memperlihatkan tolerisasi terhadap antigen paternal
atau apakah seks oral dihubungkan dengan peningkatan paparan sperma oleh traktus genitalia.

Antigen paternal manakah yang penting dan bagaimana tubuh wanita menerima pesan
HLA paternal?

Jalur pasti dimana tubuh wanita menerima pesan HLA paternal belum diketahui.

Koelman et al. (2000) menunjukkan adanya molekul kelas I HLA yang terlarut dalam
plasma semen menghasilkan jalur utama yang langsung pada paparan endometrium.
Menariknya, molekul HLA terlarut juga bisa menginduksi apoptosis sel T sitotoksik manusia
(Zavazava dan kronke, 1996), dan induksi apoptosis bisa menjadi sebuah mekanisme untuk
menginduksi toleransi spesifik melawan membran molekul HLA pasangannya. Sebuah model
pengganti, diajukan oleh Clark (1993,1994), menyatakan bahwa traktus genitalia memiliki sel
T yang tidak biasa dengan tipe reseptor γδ lebih banyak daripada tipe reseptor αβ untuk antigen.
Dia mengusulkan bahwa sel T ini bereaksi terhadap antigen di vagina dan uterus tanpa
memerlukan pengikatan simultan pada antigen tipe HLA-A, -B, -C, atau -D dalam antigen
ditampilkan sel (APC). Mekanisme seperti ini akan membuka jalur untuk pengenalan trofoblas
manusia yang kurang permukaannya untuk antigen klasik HLA.

Bagaimanapun, berdasarkan penelitiannya tentang kehamilan setelah inseminasi intra


uterina, Smith et al. (1997) mengemukakan bahwa faktor proteksi ada di spermatozoa dan
bukan pada cairan semen. Hasil ini didukung kuat oleh Wang et al. (2002) di penelitian
berikutnya. Mereka menggunakan model elegan untuk menegaskan efek proteksi paparan
sperma sebelumnya dan untuk menganalisis apakah proteksi ini dibawa oleh sel sperma atau
plasma semen. Penulis ini mengharapkan hasil dari kehamilan dengan cara Injeksi Sperma
Intra-Sitoplasmatik (ICSI), dimana fertilisasi didapat dengan menginjeksi sperma pada plasma
oosit. ICSI pada mulanya digunakan pada kasus dimana ada kekurangan semen yang berat,
termasuk azoospermia. Pada beberapa pasien diperlukan pengambilan sperma secara bedah.
Pasangan dimana pasangan laki-lakinya mengidap azoospermia dan dimana sel sperma
didapatkan dengan metode bedah adalah “model” yang ideal untuk menguji proteksi toleransi
imun spesifik pasangan yang dibawa oleh sel sperma. Model ini menyediakan analisis
independen dari apa yang bisa terdapat dalam cairan semen, karena pada pasangan ini tidak
terjadi paparan sel sperma di traktus genitalia wanita selama berhubungan badan, sementara
paparan oleh cairan semen tidak terpengaruh. Kesemuanya, 1621 persalinan yang dikandung
sesuai standar IVF, ICSI menggunakan sel sperma yang didapat dengan masturbasi, dan ICSI
menggunakan sel sperma dengan metode bedah telah dianalisis; 195 (12%) terjadi hipertensi
gestasional, dan 67 dari mereka (4.1%) terjadi pre-eklampsia. Risiko hipertensi gestasional
meningkat menjadi dua kali lipat, sementara risiko pre-eklampsia meningkat menjadi tiga kali
lipat pada ICSI menggunakan metode bedah dibandingkan dengan standar IVF dan ICSI
menggunakan sperma dengan masturbasi. Penelitian ini menjelaskan bahwa paparan
sebelumnya oleh sel sperma sebenarnya pasti membawa sebagian besar proteksi, karena wanita
di kelompok ICSI yang menggunakan sel sperma dengan metode pengambilan bedah
transkutaneus tidak pernah mengalami kontak dengan sel sperma pasangannya – dan hal ini
hanya pada pasien dengan infertilitas yang lama yang terlihat terjadi peningkatan insidensi pre-
eklampsia dan hipertensi gestasional.
Hall et al. (2001) menyimpulkan hal yang berbeda. Peneliti ini memeriksa hasil
kehamilan wanita yang mengandung oleh donor inseminasi, dibandingkan dengan wanita yang
mengandung setelah IVF dengan spermatozoa pasangannya. Ini merupakan penelitian
kelompok retrospektif dari 218 wanita yang mendatangi klinik IVF, 45 diantaranya
mengandung dengan inseminasi donor dan 173 yang mengandung dari spermatozoa
pasangannya. Kasus diidentifikasi dari unit IVF dan data diambil dari rekam pasien dengan
observer yang disamarkan. Analisis menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok,
dengan 22% wanita yang mengandung dari spermatozoa donor dan 24% wanita yang
mengandung dari spermatozoa pasangannya berkembang menjadi penyakit hipertensi pada
kehamilan. Inseminasi dengan spermatozoa pasangannya tidak dihubungkan dengan
penurunan insidensi terjadinya penyakit hipertensi, dan begitu juga inseminasi dari
spermatozoa donor. Harus diperhatikan bahwa (a) sampel penelitian ini sangat kecil, dan (b)
insidensi gangguan hipertensi diinduksi kehamilan terjadi sangat tinggi di kedua kelompok.
Kami merasa, bagaimanapun, bahwa Hall et al. (2001) membuat satu kesalahan yang signifikan
yang bisa menjelaskan hasil mereka yang berlawanan. Kelompok wanita dengan metode IVF
menggunakan sperma pasangannya hampir pasti memiliki faktor pembatas fertilitas tambahan
dibandingkan dengan kelompok wanita dengan sperma donor. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, Basso et al. (2003) menemukan bahwa beberapa faktor memperlambat
pengenalan konsepsi secara klinis mungkin juga menjadi jalur penyebab terjadi pre-eklampsia.

Sebagai ringkasan, paparan sperma tidak meyediakan proteksi mencegah terjadinya


pre-eklampsia. Paparan yang sebenarnya oleh sel sperma tampaknya menjadi faktor yang
penting. Deposisi semen pada traktus genitalia wanita menimbulkan kaskade peristiwa selular
dan molekular yang menyerupai respon inflamasi klasik. Faktor penting ini tampaknya adalah
vesikel seminal yang mengubah faktor pertumbuhan β (TGFβ). Vesikel seminal TGFβ
disekresi lebih banyak pada bentuk laten.

Plasmin semen dan faktor uterus mengubah bentuk laten menjadi TGFβ bioaktif
(Tremellen et al., 1998). Inseminasi intra uterin in vivo TGFβ menghasilkan peningkatan
produksi faktor stimulasi koloni granulosit-monosit (GM-CSF) yang cukup untuk menginisiasi
leukositosis endometrial yang sebanding dengan yang terjadi pada hubungan seksual
(Robertson, 2002). Pemaparan TGFβ di uterus, dalam kombinasinya dengan antigen ejakulasi
paternal, menyokong pertumbuhan dan keselamatan fetus semi-alogenik, dibuktikan dengan
peningkatan signifikan pada berat fetal dan plasenta pada penelitian hewan. Hal ini dipercaya
difasilitasi oleh dua jalur. Yang pertama, dengan inisiasi reaksi inflamasi setelah berhubungan
badan, TGFβ meningkatkan kemampuan untuk meneliti dan memproses antigen paternal yang
ada di cairan ejakulat. Peran penting TGFβ yang lain dan respon inflamasi post-koital yang
berikutnya, adalah inisiasi deviasi imun tipe 2 kuat. Pengolahan sebuah antigen oleh sel
pembawa antigen dalam lingkungan yang mengandung TGFβ tampaknya menginisiasi
fenomena Th2 didalam sel T pemberi reaksi (Robertson, 2002). Dengan menginisiasi respon
imun tipe 2 kepada antigen ejakulat paternal, TGFβ semen bisa mencegah induksi respon tipe
1 pada konsepsi semi-alogenik yang diperkirakan bertanggungjawab pada terjadinya
pertumbuhan plasenta dan fetal yang jelek. Makrofag desidual, ada pada saat implantasi, akan
mencegah aktivitas lisis sel NK melalui pelepasan molekul seperti TGF, IL-10 dan
prostaglandin-E2 (PGE2). Dibawah pengaruh lingkungan sitokin lokal, sel pembawa antigen
(seperti makrofag dan sel dendritik) bisa menyebabkan, pengolahan dan adanya antigen
ejakulat (sperma, sel somatik, dan antigen terlarut) pada sel T dalam saluran nodus limfe
(Tremellen et al., 1998). Pada tikus, pengambilan mRNA sperma disandi untuk HLA paternal
oleh antigen desidual dibawa sel telah berlangsung. Ada penerjemahan berikutnya dari mRNA
sperma ini yang menyandi MHC paternal kelas I di dalam sel pembawa antigen maternal. Sel
pembawa antigen ini berjalan melalui uterus ke saluran nodus limfe selama respon inflamasi
post-koital. Tidak diketahui apakah mekanisme yang mengagumkan ini terjadi pada manusia.
HLA-G pastinya tidak berperan disini, karena sel sperma manusia tidak memiliki mRNA untuk
HLA-G (Hiby et al., 1999; Watson et al., 1983). Karena HLA-G berupa monomorf sehingga
tidak memungkinkan menjadi calon untuk mewakili spesifitas HLA paternal. HLA-A dan
HLA-B klasik juga tidak tampak berperan karena tidak dikeluarkan oleh trofoblas.

Inseminasi donor dan donasi oosit

Analog dengan periode paparan sperma, inseminasi donor buatan telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti yang menghasilkan peningkatan substansial insidensi pre-eklampsia
(Schenker dan Ezra, 1994). Mengenai inseminasi donor buatan, penelitian pokok pertama
dilaporkan oleh Need et al. pada tahun 1983. Mereka melaporkan 584 kehamilan dengan
inseminasi donor buatan (ADI) dalam program di seluruh Australia. Insidensi keseluruhan pre-
eklampsia (hipertensi diinduksi kehamilan proteinuria) tinggi (9.3%) dibandingkan dengan
insidensi yang diharapkan dari 0.5-5%. Insidensi meningkat pada wanita multigravida dan juga
primigravida. Insidensi pre-eklampsia yang diharapkan pada wanita Australia primigravida
sebanyak 5%, sementara sebanyak 10.1% pada wanita primigravida yang hamil setelah ADI.
Peningkatan insidensi pre-eklampsia pada wanita primigravida setelah ADI ini mendukung
penemuan Robillard et al. (1994), yang menunjukkan efek proteksi pemanjangan periode
paparan sperma. Insidensi pre-eklampsia yang diharapkan sebanyak 0.9% pada pasien
multigravida, sementara sebanyak 7.8% pada wanita multigravida dengan ADI. Sehingga, efek
proteksi yang diharapkan dari kehamilan yang sebelumnya tidak terlihat, dalam kenyataannya
ada peningkatan pre-eklampsia sebanyak 47 kali lipat (diobservasi banding diharapkan) pada
kehamilan ADI setelah kehamilan cukup bulan sebelumnya, dan peningkatan sebanyak 15 kali
lipat setelah kehamilan dengan durasi yang lebih pendek. Data dari pasien multigravida yang
telah menjalani ADI juga cenderung mendukung konsep primipaternitas yang dibuat oleh
beberapa kelompok independen peneliti (Feeney, 1980; Feeney dan Scott, 1980; Ikedife, 1980;
Robillard et al., 1993; Trupin et al., 1996; Tubbergen et al., 1999). Grefenstette et al. (1990)
menunjukkan hasil dari 487 kehamilan setelah ADI dengan semen beku, dan menemukan
peningkatan signifikan insidensi hipertensi diinduksi kehamilan dibandingkan dengan
kelompok kontrol, dan dengan kelompok kontrol dari penelitian nasional yang diadakan oleh
INSERM di Perancis tahun 1981.

Laporan pertama mengenai efek donasi oosit pada insidensi gangguan hipertensi
diinduksi kehamilan dibuat oleh Serhal dan Craft (1987). Mereka melaporkan bahwa 5 dari 10
pasien hamil pertama mereka yang hamil dengan donasi oosit, yang kesemuanya normotensi
sebelum hamil, berkembang menjadi hipertensi proteinuria. Dua tahun kemudian, mereka
mempublikasi rangkaian 61 kehamilan dengan donasi oosit; insidensi pre-eklampsia sebanyak
38% (Serhal dan Craft, 1989). Insidensi yang sama (32%) telah dilaporkan oleh Pados et al.
(1994), dan oleh Soderstrom-Anttila dan Hovatta (1995) (41%). Bagaimanapun, akibat donasi
oosit/ADI pada insidensi pre-eklampsia tidak terus menerus dilaporkan oleh peneliti lainnya.
Perkins (1993) mengikuti rangkaian kecil kehamilan diinisiasi AID. Insidensi komplikasi
hipertensi pada kelompok ini, 36 wanita nulipara, tidak berbeda dari rata-rata semua kehamilan
di institusi mereka. Friedman et al. (1996) membandingkan hasil perinatal pada rangkaian kecil
dari berturut-turut 22 kehamilan dengan ovum donor. Sampel dicocokkan dalam usia, paritas
dan urutan gestasi dengan sebuah kelompok kontrol terdiri dari 22 wanita yang telah melalui
standardisasi transfer embrio IVF selama periode yang sama. Kedua kelompok menunjukkan
rata-rata yang sama dari gangguan hipertensi. Antinori et al. (1995) melaporkan 44 pencapaian
kehamilan setelah donasi oosit, ditemukan insidensi gangguan hipertensi diinduksi kehamilan
sebanyak 13% yang meningkat hanya sedikit dibandingkan pada literatur, terutama mengingat
relatif tingginya umur wanita pada penelitian ini. Hendler et al. (1997) membandingkan hasil
kehamilan pada 35 kehamilan tunggal sedikitnya 24 minggu setelah hamil dengan donasi oosit
pada satu pusat reproduksi, dengan 95 kehamilan tunggal yang hamil setelah IVF pada wanita
dengan umur yang sama yang melahirkan selama periode yang sama (1988-1996). Insidensi
gangguan hipertensi diinduksi kehamilan sebanyak 25.7% pada kelompok donasi oosit,
banding 4.2% pada kelompok kontrol (P< 0.01). perbandingan umur maternal pada wanita
donasi oosit dibandingkan dangan pasien IVF biasa adalah fitur penting penelitian ini. Hal ini
dikarenakan sebagian besar penelitian melaporkan insidensi tinggi komplikasi hipertensi pada
kehamilan donasi oosit diperburuk dengan meningkatnya usia pasien, yang mana dan umur itu
sendiri yang dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi (Michalas et al.,
1996). Salha et al. (1999) membandingkan efek tipe yang berbeda dari gamet donasi. Pada
penelitian kelompok retrospektif ini, sejumlah 144 wanita telah diteliti. Pada sejumlah itu, 72
adalah pasien infertilitas yang telah hamil dengan donasi sperma, ovum atau embrio.
Sedangkan 72 wanita yang lain sebagai kontrol disesuaikan pada umur dan paritas yang hamil
dengan gamet mereka sendiri, secara spontan ataupun setelah inseminasi intauterin dengan
spermatozoa pasangannya. Penelitian pasien dibagi menjadi tiga kelompok tergantung asal
gamet yang di donasi. Kelompok 1 terdiri dari kehamilan yang dicapai dengani nseminasi
intrauterine dengan spermatozoa donor yang sudah dicuci (n=33). Kelompok 2 terdiri dari
wanita yang hamil dengan donaso oosit (n=27), dan kelompok 3 terdiri dari wanita yang hamil
dari donasi embrio (n=12). Insidensi hipertensi diinduksi kehamilan pada kelompok penelitian
donasi gamet sebanyak 12.5% (9/72) dibandingkan dengan 2.8% (2/72) pada kelompok
kontrol. Sebagai tambahan, pre-eklampsia didiagnosis dalam 18.1% (13/72) dari kelompok
penelitian donasi gamet dibandingkan pada 1.4% (1/72) pada kontrol yang sesuai umur dan
paritas.

Sebagai ringkasan, sejalur dengan hipotesis maladaptasi imun, kehamilan dengan


donasi gamet, dan lebih spesifik kehamilan dengan donor embrio, jelas meningkatkan risiko
pre-eklampsia. Dengan kemungkinan peningkatan penggunaan teknik reproduksi ini di masa
mendatang, para klinisi obstetri membutuhkan adaptasi ANC mereka untuk kehamilan risiko
tinggi tersebut.

Pasangan yang “berbahaya”

Terdapat data yang menyediakan bukti adanya ayah yang “berbahaya”. Lie et al. (1998)
mempublikasi penelitian Norwegia (1967-1992; sekitar 60.000 kelahiran per tahun) dimana
mereka diidentifikasi sebagai 363.758 pasang kehamilan pertama dan kedua dimana dua janin
berasal dari ibu dan ayah yang sama; 14.266 pasang kehamilan dimana janinnya berasal dari
ibu yang sama tetapi ayah yang berbeda; dan 26.152 pasang dimana janin berasal dari ayah
yang sama tetapi ibu yang berbeda. Penemuan terbesar penelitian ini adalah laki-laki “ayah”
dari sebuah kehamilan pre-eklampsia yang mana hampir dua kali lipat seperti yang terjadi pada
“ayah” kehamilan pre-eklampsia pada wanita yang berbeda (1.8; 95% CI: 1.2-2.6; setelah
penyesuaian paritas), tanpa memperhatikan apakah wanita ini sudah pernah mengalami
kehamilan pre-eklampsia atau tidak. “Ibu” tersebut memiliki peningkatan substansial pada
kehamilan keduanya (2.9%) jika mereka hamil dari laki-laki “ayah” kehamilan pertama yang
pre-eklampsia pada wanita lain. Risiko ini hampir sebanyak rata-rata risiko diantara kehamilan
yang pertama. Menjadi laki-laki yang “berbahaya” atau tidak, tergantung spesifik HLA-nya,
faktor semen (contohnya TGFβ yang rendah) atau faktor lain yang belum diketahui.

Terdapat predisposisi maternal diwariskan yang dikenali dengan baik untuk terjadinya
pre-eklampsia. Apakah terdapat komponen paternal diwariskan, bagaimanapun, belum pasti,
tetapi Esplin et al. (2001) menggunakan rekam medik dari Pusat data Populasi Utah untuk
mengidentifikasi 298 laki-laki dan 237 wanita yang lahir diantara tahun 1947 sampai 1957
yang ibunya mengalami pre-eklampsia selama kehamilannya. Untuk setiap laki-laki dan wanita
pada kelompok penelitian, mereka diidentifikasi dengan dua kecocokan, subjek kontrol yang
tidak berhubungan yang mana bukan hasil dari kehamilan pre-eklampsia. Mereka kemudian
mengidentifikasi 947 anak dari 298 subjek penelitian laki-laki dan 830 anak dari 237 subjek
penelitian wanita yang dilahirkan antara tahun 1970 dan 1992. Anak-anak ini dicocokkan
dengan anak-anak dari kelompok subjek kontrol (1950 anak kelompok kontrol laki-laki dan
1658 anak dari kelompok kontrol wanita). Setelah penyesuaian tahun lahir anak, paritas
maternal, dan usia gestasi anak saat kelahiran, rasio rentang dari seorang dewasa yang ibunya
mengalami pre-eklampsia akan memiliki anak yang merupakan hasil kehamilan yang
dikomplikasi pre-eklampsia sebanyak 2.1 (95% CI: 1.0-4.3; P=0.04) pada klompok penelitian
laki-laki dan 3.3 (95% CI: 1.5-7.5; P=0.004) pada kelompok penelitian wanita. Para penulis
menyimpulkan bahwa pria dan wanita yang merupakan hasil dari kehamilan dengan pre-
eklampsia tampaknya juga akan memiliki anak hasil kehamilan dengan pre-eklampsia
dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Sumber: Fiona lyall and Michael Belfort. Pre-eclampsia Etiology and Clinical Practice,
Cambridge medicine: 2007. New York.

Anda mungkin juga menyukai