Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH AGAMA ISLAM

“ SUMBER AJARAN ISLAM”

Disusun Oleh:
1.Abdini Ulfa Nasir (1804123954)
2.Herliza Khairani Sahputri (1804111613)
3.Nano Rizki Syahfutra (1804112309)
4.Silfia Nurjijar (1804124191)

Dosen Pengampu : Dr.Herv Rizal S.ag.M.A


Manajemen Sumber Daya Perairan
Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Riau
2018
Kata Pengantar

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan
rahmat,taufik,dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan pembuatan tugas makalah diskusi
Pendidikan Agama Islam dengan judul Sumber – Sumber Ajaran Agama Islam.

Shalawat dan salam kami sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW karena
beliaulah satu – satunya Nabi yang mampu mengubah dunia dari zaman kegelapan menuju
zaman terang benderang yakni Agama Islam.

Makalah ini disusun dan diuraikan secara efektif dengan landasan pengetahuan yang diambil dari
buku untuk menambah wawasan,kemudian makalah ini disusun berdasarkan hasil diskusi
anggota masing – masing kelompok yang dijilid menjadi satu kedalam bentuk makalah.

Kiranya makalah ini masih sangat jauh dari kata kesempurnaan oleh karena itu kami menerima
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi memperbaiki isi dari makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kepada
pembaca serta ridho dari Allah SWT.

Pekanbaru,28September 2018

Penulis

i
Daftar isi

Kata Pengantar ……………………………………………………………………. I


Daftar Isi …………………………………………………………………………. II
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………....1
Latar Belakang ………………………………………………………………….1
Rumusan masalah …………………………………………………………........2
Tujuan ……………………………………………………………………......... 2
BAB II ISI ………………………………………………………………………... 2
A. Al- Quran…………………................……………………………………... 2
B. As- Sunnah ………….........………………………………………………... 4
C. Ijtihad.......................…………………………………………………….... 14
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………... 16
Kesimpulan ………………………………………………………………….. 16
Saran ……………………………………………………………………….... 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….....17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan
yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber
ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.

Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran
yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama
agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak)
dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk
mengembangkannya.

Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap
muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh
akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.

Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh


kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat
untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuka
ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.

Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam
perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat menghasilkan pemahaman Islam yang
komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena kualitas pemahaman ke Islaman seseorang
akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan ke Islaman yang bersangkutan.

1
1.2 Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang diatas, berikut rumusan masalah yang


menjadi acuan kami dalam menyusun makalah ini, yaitu:
1. Apa saja sumber-sumber ajaran islam?
2. Apa fungsi dan kelebihan dari Al-Quran?
3. Apa saja isi kandungan Al-Quran?
4. Apa fungsi dan kelebihan Sunnah?
5. Apa saja bagian-bagian dari Sunnah?
6. Apa hubungan Al-Quran dan Sunnah?
7. Apa yang membedakan Al-Quran dan Sunnah?
8.Apa itu Ijtihad?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari rumusan masalah diatas adalah:

1. Mengetahui apa saja sumber_sumber ajaran islam.


2. Mengetahui fungsi dan kelebihan Al-Quran.
3. Mengetahui apa saja isi kandungan dari Al-Quran
4. Mengetahui fungsi dan kelebihan Sunnah.
5. Mengetahui apa saja bagian-bagian dari Sunnah.
6. Mengetahui apa hubungan Al-Quran dan Sunnah.
7. Mengetahui apa perbedaan dari Al-Quran dan Sunnah.
8. Mengetahui makna Ijtihad.

BAB II
ISI
2.1Al-Quran
A.Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk
Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.

Al-Qur’an sebagai sesuatu yang bersumber dari Allah Yang Maha Bijaksana,
diturunkan kepada manusia memiliki maksud dan tujuan yang besar. Dan yang pasti

2
bahwa maksud dan tujuan itu adalah untuk kebaikan dan kemashlahatan manusia itu
sendiri baik dunia maupun akhirat.

B. Fungsi dan kelebihan Al-Qur’an


1. Sebagai pembenar kitab-kitab suci sebelumnya, yakni Taurat, Zabur, dan Injil.
2. Sebagai pembanding atau pembeda (Furqan) antara yang haq dan bathil.

3. Sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan yang lebih baik.

4. Sebagai peringatan dan penyejuk.

5. Sebagai panduan dalam menyelesaikan sesuatu yang timbul ditengah masyarakat.

6. Sebagai mu’jizat terbesar dari Nabi Muhammad saw.

7. Sebagai penutup wahyu-wahyu yang diturunkan Allah swt kepada para Nabi dan
Rasulnya.

C.Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:

1. Petunjuk mengenai akidah yang harus diyakini oleh manusia. Petunjuk akidah ini berintikan
keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan kepastian adanya hari kebangkitan, perhitungan
serta pembalasan kelak.

2. Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang harus diikuti manusia dalam berhubungan
dengan Allah dan dengan sesama insan demi kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di
akhirat kelak.

3. Petunjuk tentang akhlak, mengenai yang baik dan buruk yang harus diindahkan leh manusia
dalam kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial.

4. Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau. Sebagai contoh kisah kaum Saba yang tidak
mensyukuri karunia yang diberikan Allah, sehingga Allah menghukum mereka dengan
mendatangkan banjir besar serta mengganti kebun yang rusak itu dengan kebun lain yang
ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit rasanya.

5. Berita tentang zaman yang akan datang. Yakni zaman kehidupan akhir manusia yang disebut
kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala (terompet) oleh
malaikat Israil. “ Apabila sangkakala pertamaditiupkan, diangkatlah bumi dan gunung-gunung,
lalu keduanya dibenturkan sekali bentur. Pada hari itulah terjadilah kiamat dan terbelahlah
langit...”. (Qs al-Haqqah (69) : 13-16.

6. Benih dan Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.

3
D.KANDUNGAN AL-QUR’AN

1. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah swt., malaikat, rasul, hari akhir, qadha dan qadar, dan
sebagainya.

2. Prinsip-prinsip syari’ah baik mengenai ibadah khusus maupun ibadah umum


sepertiperekonomian, pemerintahan, pernikahan, kemasyarakatan dan sebagainya.

3. Janji dan ancaman.

4. Kisah para nabi dan Rasul Allah swt. serta umat-umat terdahulu ( sebagai i’tibar / pelajaran ).

5. Konsep ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang masalah ketuhanan ( agama ), manusia,


masyarakat maupun tentang alam semesta.

2.2 As-Sunnah
1. PENGERTIAN SUNNAH

Ditinjau dari segi bahasa, Sunnah berarti cara, jalan, kebiasaan dan tradisi. Makna
Sunnah secara terminologi menurut Muhammad “Ajaj Al-Khatib(1975) identik dengan hadis,
yaitu informasi yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun takrir(keizinan).

Menurut istilah (terminology) para ahli mendefinisikan hadis adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan
berhubungan dengan hukum Allah yang disyariatkan kepada manusia.

Para Muhadditsin membagi Sunnah/ Hadisn menjadi 4 macam :

a. Sunnah Qauliyah: yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW
berupa perkataan.

b. Sunnah Fi’iliyah: yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW
berupa perbuatan

c. Sunnah Taqririyah: yaitu Sunnah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW.

4
d. Sunnah Hammiyah: yaitu sesuatu yang menjadi hasrat Nabi Muhammad SAW tetapi belum
sempat dilaksanakannya, seperti puasa pada tanggal 9 Asyura.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya.
Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan
sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.

A.Dari Segi Jumlah Periwayatan

Hadits di tinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi
sumber berita,maka dalam hal ini pada garis besarnya hadist dibagi menjadi dua macam yaitu
hadist mutawatir dan hadist ahad.

1.Hadist Mutawatir

Kata mutawatir menurut Lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan antara satu
dengan yang lain.Sedangkan menurut istilah ialah suatu hasil hadis tanggapan pancaindera,yang
diriwatyatkan oleh sejumlah besar rawi,yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan
bersepakat untuk dusta.

2.Hadist ahad

Menurut istilah ahli hadis ,tarif hadis ahad antara lain adalah suatu hadis yang jumlah
pemberitanya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir,baik pemberita itu seorang,dua
orang,tiga orang dan seterusnya,tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadist
tersebut masuk kedalam hadist mutawatir.

B. Dari Segi Kualitas Sanad dan Matan Hadis

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu
jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-
rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang
sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis
yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih
tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.

5
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang
jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada
waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi
cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.

Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir
sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi mutawatir.

Contoh hadis :

Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir.
Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.

Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap


dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat
menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan
masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan

6
firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan
bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah
akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang
matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya
dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya
hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi
taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah
tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia
berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi
rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis
daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan
matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.

1.Hadist Shahih

Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal
dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi
ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.

7
2.Hadis Hasan

Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan
adalah :

Artinya :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami,
yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang
dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula
yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."

3.Hadist Daif

Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :

Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadis hasan.

8
Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan
lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

C.Dari Segi Kedudukan dalam Hujjah


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan
dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai
derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury,
yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad
ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis
maqbul dan hadis mardud.
A.Hadist Maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan.
Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis
nasikh,sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis
mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara
satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang
kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.

B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan
menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :

9
Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki
keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima
hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak
boleh diamalkan (harus ditolak).Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi
daif.

D.Fungsi Hadist terhadap Al-Qur’an


Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman- firman
Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan.
Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat
dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al- quran menetapkan
hukum puasa, dalam firman-Nya :
Hai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al
Baqarah/2:183 )
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan
Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan
dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
10
2. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah / 2:110) shalat
dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan
sunat. sabda Rasulullah SAW:
Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada
Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang
difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat”
(HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah
SAW:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan
wasiat:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan
dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara
makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180)
Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui
sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada
Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan
seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkan.
4. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat
umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih
atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan
binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala.
Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan.
(Q.S Al Maidah /5:3)

11
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu
(bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan
dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan
limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
5. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat global,
banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits berperan
menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang
bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)
‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi
Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan,
yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang
pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-
Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari
ayat-ayat Al-Quran.

A. Kedudukan Hadith Terhadap Al-Qur’an

Hubungan hadis dengan al-qur’an – Allah SWT menutup risalah samawiyah dengan
risalah islam. Dia mengutus Nabi SAW. Sebagai Rasul yang memberikan petunjuk, menurunkan
Al-qur`an kepadanya yang merupakan mukjizat terbesar dan hujjah teragung, dan
memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan dan menjelaskannya.

Pada masa Rasulullah SAW. Tidak ada sumber hukum selain Al-kitab dan As-sunnah. Di
dalam Al-qur’an terdapat pokok-pokok yang bersifat umum bagi hukum-hukum syari’at, tanpa
pemaparan rincian keseluruhannya dan pencabangannya, kecuali yang sejalan dengan pokok-
pokok yang bersifat umum itu yang tidak pernah berubah oleh bergulirnya waktu dan tidak
berkembang lantaran keragaman manusia di lingkungan dan tradisi masing-masing. Secara

12
global, sunnah sejalan dengan Al-Qur’an, menjelaskan yang mubham, merinci
yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan menguraikan hukum-
hukum dan tujuan-tujuannya. Di samping mebawa hukum-hukum yang belum dijelaskan secara
eksplisit oleh Al-qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi
dari tujuan dan sasarannya.

Dalam hukum Islam, Hadith menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an . Penetapan
Hadith sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al qur`an sendiri, kesepakatan
(ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al qur`an menunjuk nabi sebagai orang yang
harus menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan
Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani kaum muslimin sejak
masa sahabat sampai hari ini telah bersepakat untuk menetapkan hukum berdasarkan sunnah
Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadith sebagai sumber
hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-qur`an hanya memberikan garis- garis besar
dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat
dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadith sebagai sumber kedua
secara logika dapat diterima.

Al-qur’an dan Hadith merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang tetap, yang
orang Islam tidak mungkin memahami syri’at Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa
kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Al qur`an dan hadith merupakan rujukan yang
pasti dan tetap bagi segala macam perselisihan yang timbul di kalangan umat islam sehingga
tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan. Apabila perselisihan telah dikembalikan kepada
ayat dan hadith, maka walaupun masih terdapat perbedaan dalam penafsirannya, umat Islam
seyogyanya menghargai perbedaan tersebut.
Sebagaimana sering disebutkan bahwa Hadith merupakan catatan kehidupan Rasulullah,
maka teori besarnya, hadith berfungsi menjelaskan atau menjadi contoh bagaimana
melaksanakan ajaran Al-qur’an. Kalau Al-qur’an itu bersifat konsep, maka hadith lebih bersifat
operasional dan praktis
Dari pandangan umum, Al-qur’an dan Sunnah merupakan dua sumber Islam. Al-qur’an
yang didahulukan sedangkan As-Sunnah melengkapinya, menerangkan dan menjelaskan apa
yang sulit dipahami manusia. Nabi Muhammad memberikan petunjuk melalui Hadith-nya dan

13
memberikan contoh untuk diikuti. Umat Muslim memandangnya sebagai suri teladan bagi Islam
dan ajaran-ajaranya tidak dapat dipisahkan dari ajaran-ajaran Al-qur’an.

2.3 Ijtihad
A.Pengertian ijtihad

Pengertian ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan


pikiran. sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah adalah mencurahkan seluruh tenaga dan
pikiran dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum syariat.

Pengertian Ijtihad secara umum adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-
sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist
dengan syarat menggunakan akal sehat dan juga pertimbangan matang.

Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam.
Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas
kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah,
sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama
Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam
menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat
untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk
membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Perbedaan Mazdhab

Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para
Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2. Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.

Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil ijtihad
seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-
kaidah istinbath.”Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil
ijtihad seorang imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.

14
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam
Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh
sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab
bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab
tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima
hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab saja.

Menganut suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan
hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang
ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.

Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu


menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.Dibawah ini akan
dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.

A. IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk
kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat
umum (global).
3. Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena
menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.

15
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau
perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5. Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari
keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan
maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an,
Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau
melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan
istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.

B. IMAM MALIKI BIN ANAS


Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata
berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas
5. Istishlah (Mashalihul Mursalah)

C. IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i.Mengenai dasar-dasar hukum yang
dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah
sebagai berikut:
2. Al-Qur’an
3. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad
pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya,
yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung
sampai kepada Nabi SAW

16
4. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
5. Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum,
juga dalam keadaan memaksa.
6. Istidlal (Istishhab)

D. IMAM AHMAD BIN HAMBALI


Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada
dasar-dasar sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi
memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang
menyalahinya.
2. Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu
pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau
berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
3. Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah,
maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak
berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
5. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada
sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sumber-sumber Islam merupakan hal yang penting bagi kita, karena sumber Islam
merupakan petunjuk kita untuk menjalani hidup. Adapun yang di namakan dengan sumber
hukum Islam yaitu segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila di langgar akan menimbulkan sanksi yang tegas
dan nyata.
2. Sumber ajaran Islam di rumuskan dengan jelas oleh Rasuluallah SAW, yakni terdiri dari tiga
sumber, yaitu kitabuallah (Al-Qur’an), As-Sunnah (Hadits), dan Ra’yu atau akal pikiran manusia
yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
3. Mengenai karakteristik masing-masing sumber ajaran islam dapat di bagi menjadi 2, yaitu:
a. Sumber ajaran Islam primer yang terdiri dari Al-Qur’an dan Hadits.
Al-Qur’an sendiri didalamnya terdapat pokok isi utama yaitu, tauhid, ibadah, janji & ancaman,
kisah umat terdahulu, berita tentang zaman yang akan datang, dan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan. Di dalam Al-Qur’anpun terdapat komponen-komponen sumber ajaran Islam yaitu,
hukum I’tiqodiyah, Amaliah, dan Khuluqiah. Sedangkan khusus hukum syara terdiri dari hukum
Ibadah dan Muamalat.
Adapun di dalam hadits terdapat beberapa komponen yaitu, sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah,
sunnah taqririyah, dan sunnah hammiyah. Fungsi hadits sendiri adalah: Memperkuat hukum,
memberikan rincian, memberi pengecualian, dan menetapkan hukum yang tidak didapati dalam
Al-Qur’an.1[17]
b. Sumber ajaran islam sekunder di dalamnya terdapat ijtihad, dan dilam ijtihad tersebut
mengandung beberapa pokok isi utama yaitu ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, syadudz
dzariah, istishab dan ‘urf.

18
3.2 Saran
Saran dari penulis adalah marilah kita mengamalkan dan menjadikan Al-qur’an dan Al-
sunnah sebagai pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari yang merupakan sumber dari hukum
agama Islam dan sekaligus dapat membuat kita bahagia baik itu di dunia maupun diakhirat nanti.

DAFTAR PUSTAKA
Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

Hj.Nurhasanah Bakhtiar ,M.Ag,Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi
Umum
Rustam, Rusyja, Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Andalas Padang. Pendidikan Agama
Islam Di Perguruan Tinggi Umum

19

Anda mungkin juga menyukai