Anda di halaman 1dari 22

Tugas Akhir

Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)


di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lalu Lintas


Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, lalu lintas didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang
di ruang lalu lintas jalan. Ruang lalu lintas jalan sendiri adalah prasarana
yang diperuntukkan baik gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang
yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. Fasilitas pendukung yang
dimaksud salah satunya adalah fasilitas penyeberangan yang layak.

Dalam menentukan fasilitas penyeberangan yang layak, ditentukan


berdasarkan besarnya arus pejalan kaki yang menyeberang jalan dan arus
lalu lintas pada ruas jalan tersebut. Dimana antara pergerakan arus lalu lintas
dan keselamatan penyeberang jalan terjadi proses penawaran. Semakin
tinggi arus lalu lintas maka akan menyebabkan semakin tinggi pula tundaan
penyeberang jalan yang pada gilirannya semakin tinggi pula risiko yang
diambil penyeberang jalan apabila tidak terdapat fasilitas yang memadai.

Dari penjelasan tersebut, maka ada 3 komponen penting dari lalu lintas
dalam menentukan fasilitas penyeberangan yang layak, yaitu pejalan kaki
yang menyeberang jalan, kendaraan yang melintas, dan jalan raya sebagai
jalur lalu lintas.
2.1.1 Pejalan Kaki
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun
2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan
Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan,
yang dimaksud dengan pejalan kaki adalah setiap orang yang
berjalan di ruang lalu lintas jalan.

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
4
5
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

Menurut Abubakar, 1996 (dalam Veridiana, 2008), ada beberapa


upaya untuk penanganan keselamatan pejalan kaki, yaitu:
1) Tersedia fasilitas pejalan kaki yang bebas gangguan;
2) Pengaturan pada penyeberangan jalan;
3) Penyediaan jembatan penyeberangan yang lebih banyak;
4) Penyediaan pagar tepi jalan untuk mencegah pejalan kaki
menyeberang semaunya;
5) Pencegahan kendaraan dengan kecepatan tinggi;
6) Penyediaan rambu-rambu lalu lintas;
7) Patroli sekolah pada fasilitas penyeberangan anak-anak sekolah;
8) Pengurangan kecepatan di zona lindungan anak;
9) Pemasangan penerangan jalan di waktu malam.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan hak dan kewajiban pejalan
kaki dalam berlalu lintas. Adapun hak pejalan kaki adalah sebagai
berikut:
1) Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang
berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain;
2) Pejalan kaki berhak mendapat prioritas pada saat menyeberang jalan
di tempat penyeberangan;
3) Jika belum tersedianya fasilitas penyeberangan, pejalan kaki berhak
menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan
keselamatannya.
Adapun kewajiban pejalan kaki menurut Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1) Menggunakan bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki;
2) Berjalan pada bagian jalan paling tepi;
3) Menyeberang di tempat yang telah ditentukan.

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
6
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun


2014, kebutuhan ruang jalur pejalan kaki untuk berdiri dan berjalan
dihitung berdasarkan dimensi tubuh manusia. Dimensi tubuh
manusia yang lengkap adalah 45 cm untuk tebal tubuh sebagai sisi
pendeknya, dan 60 cm untuk lebar bahu sebagai sisi panjangnya.
Kebutuhan ruang minimum untuk berdiri, bergerak, dan membawa
barang dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki

(Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 3, 2014)


Pejalan kaki merupakan peserta lalu lintas dengan jumlah paling
besar dibandingkan lalu lintas kendaraan. Pejalan kaki menjadi
bagian dari sistem transportasi yang perlu dipertimbangkan. Maka
dari itu, dalam melakukan proses perencanaan transportasi
seharusnya perlu memperhatikan fasilitas pejalan kaki.

2.1.2 Kendaraan
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan didefinisikan sebagai suatu
sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan
kendaraan tidak bermotor. Kendaraan bermotor sendiri adalah

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
7
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanis selain kendaraan


yang berjalan di atas rel. Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi,
dituliskan bahwa kendaraan bermotor dikelompokkan dalam
beberapa jenis, yaitu:
1. Sepeda motor merupakan kendaraan bermotor beroda dua, atau
tiga tanpa rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta samping;
2. Mobil penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang
dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 tempat duduk tidak termasuk
tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa
perlengkapan pengangkutan bagasi;
3. Mobil bus adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi
lebih dari 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk
pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan
pengangkutan bagasi;
4. Mobil barang yaitu setiap kendaraan bermotor selain dari yang
termasuk dalam sepeda motor, mobil penumpang, dan mobil
bus;
5. Kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor selain daripada
kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor
untuk barang, yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau
mengangkut barang-barang khusus.

2.1.3 Jalan Raya


Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan,
jalan dapat dikelompokkan dalam beberapa arti, yaitu:
1. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
8
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

berada pada permukaan tanah, di bawah permukaan tanah


dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel;
2. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas
umum;
3. Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan
usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk
kepentingan sendiri;
4. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem
jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunaannya
diwajibkan membayar biaya tol.
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004, jalan umum
menurut statusnya dikelompokkan sebagai berikut:
1. Jalan Nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam
sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota
provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol;
2. Jalan Provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan
jalan strategis provinsi;
3. Jalan Kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan
jalan primer yang tidak termasuk Jalan Nasional dan Jalan
Provinsi, yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan
ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta
jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah
kabupaten, dan jalan strategis kabupaten;
4. Jalan Kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
9
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil,


menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat
pemukiman yang berada di dalam kota.
5. Jalan Desa merupakan jalan umum yang menghubungkan
kawasan dan/atau antar pemukiman di dalam desa, serta jalan
lingkungan.
Dalam penggunaannya, jalan raya sebagai komponen lalu lintas
memiliki jalur lalu lintas. Menurut Silvia Sukirman (1994), jalur lalu
lintas (travelled way = carriage way) adalah keseluruhan bagian
perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan.
Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane) kendaraan. Lajur
kendaraan sendiri adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus
diperuntukkan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda
empat atau lebih dalam satu arah.
Menurut Bina Marga (1997), jalur lalu lintas dapat terdiri atas
beberapa lajur dengan tipe antara lain:
1. 1 jalur - 2 lajur - 2 arah (2/2 TB)

Gambar 2.1 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-2 Arah (2/2 TB)


(Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997)
2. 1 jalur - 2 lajur - 1 arah (2/1 TB)

Gambar 2.2 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-l Arah (2/1 TB)


(Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997)

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
10
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

3. 2 jalur - 4 lajur - 2 arah (4/2 B)

Gambar 2.3 Jalan 2 Jalur-4 Lajur- 2 Arah (4/2 B)


(Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997)

4. 2 jalur-n lajur-2 arah (n/2 B)


Keterangan:
B = terbagi
TB = tidak terbagi

2.2 Fasilitas Pejalan Kaki


Fasilitas pejalan kaki merupakan bagian dari sistem transportasi yang
digunakan untuk menyusuri jalan (trotoar), memotong jalan pada ruas jalan
(penyeberangan), dan memotong jalan di simpang (pulau-pulau). Menurut
Direktorat Jenderal Bina Marga tentang Tata Cara Perencanaan Fasilitas
Pejalan Kaki Di Kawasan Perkotaan Tahun 1995, fasilitas pejalan kaki
harus direncanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) pejalan kaki harus mencapai tujuan dengan jarak sedekat mungkin,
aman dari lalu lintas yang lain dan lancar;
b) terjadinya kontinuitas fasilitas pejalan kaki yang menghubungkan
daerah yang satu dengan yang lain;
c) apabila jalur pejalan kaki memotong arus lalu lintas yang lain harus
dilakukan pengaturan lalu lintas, baik dengan lampu pengatur ataupun
dengan dengan marka penyeberangan, atau tempat penyeberangan yang
tidak sebidang. Jalur pejalan kaki yang memotong jalur lalu lintas
berupa penyeberangan (zebra cross), marka jalan dengan lampu

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
11
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

pengatur lalu lintas (pelican cross), jembatan penyeberangan dan


terowongan;
d) fasilitas pejalan kaki harus dibuat pada ruas-ruas jalan di perkotaan atau
pada tempat-tempat yang volume pejalan kaki memenuhi syarat atau
ketentuan-ketentuan untuk pembuatan fasilitas tersebut;
e) jalur pejalan kaki sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa dari jalur lalu
lintas yang lainnya, sehingga keamanan pejalan kaki lebih terjamin;
f) dilengkapi dengan rambu atau pelengkap jalan lainnya, sehingga
pejalan kaki leluasa untuk berjalan, terutama bagi pejalan kaki yang
tuna daksa;
g) perencanaan jalur pejalan kaki dapat sejajar, tidak sejajar atau
memotong jalur lalu lintas yang ada;
h) jalur pejalan kaki harus dibuat sedemikian rupa, sehingga apabila hujan
permukaannya tidak licin, tidak terjadi genangan air serta disarankan
untuk dilengkapi dengan pohon-pohon peneduh;
i) untuk menjaga keamanan dan keleluasaan pejalan kaki, harus dipasang
kerb jalan, sehingga fasilitas pejalan kaki lebih tinggi dari permukaan
jalan.
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga tentang Tata Cara Perencanaan
Fasilitas Pejalan Kaki Di Kawasan Perkotaan Tahun 1995, fasilitas pejalan
kaki dapat dipasang dengan kriteria sebagai berikut:

a) fasilitas pejalan kaki harus dipasang pada lokasi-lokasi dimana


pemasangan fasilitas tersebut memberikan manfaat yang maksimal,
baik dari segi keamanan, kenyamanan ataupun kelancaran perjalanan
bagi pemakainya;
b) tingkat kepadatan pejalan kaki atau jumlah konflik dengan kendaraan
dan jumlah kecelakaan harus digunakan sebagai faktor dasar dalam
pemilihan fasilitas pejalan kaki yang memadai;
c) pada lokasi-lokasi/kawasan yang terdapat sarana dan prasarana umum;

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
12
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

d) fasilitas pejalan kaki dapat ditempatkan di sepanjang jalan atau pada


suatu kawasan yang akan mengakibatkan pertumbuhan pejalan kaki dan
biasanya diikuti oleh peningkatan arus lalu lintas serta memenuhi
syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan untuk pembuatan fasilitas
tersebut. Tempat-tempat tersebut antara lain:
e) fasilitas pejalan kaki yang formal terdiri dari beberapa jenis berikut ini:
(1) jalur pejalan kaki yang terdiri dari:
(a) trotoar
(b) penyeberangan:
- jembatan penyeberangan
- zebra cross
- pelican cross
- terowongan
(c) non trotoar
(2) pelengkap jalur pejalan kaki yang terdiri dari:
(a) lapak tunggu
(b) rambu
(c) marka
(d) lampu lalu lintas
(e) bangunan pelengkap

2.2.1 Jenis Fasilitas Penyeberangan Pejalan Kaki


Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana
dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, ketentuan
penyediaan penyeberangan untuk pejalan kaki berdasarkan jenisnya
dibagi, yaitu:

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
13
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

1. Penyeberangan Sebidang
Penyeberangan sebidang merupakan fasilitas penyeberangan
bagi pejalan kaki yang sebidang dengan jalan. Adapun jenis
penyeberangan sebidang adalah sebagai berikut:
a. Penyeberangan zebra
Penyeberangan zebra merupakan fasilitas penyeberangan
bagi pejalan kaki sebidang yang dilengkapi marka untuk
memberikan batas dalam melakukan lintasan. Ketentuan
penyediaan penyeberangan zebra menurut Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2014 yaitu sebagai berikut:
1) Terletak pada kaki persimpangan tanpa atau dengan alat
pemberi isyarat lalu lintas;
2) Pemberian waktu penyeberangan bagi pejalan kaki menjadi
satu kesatuan dengan lampu pengatur lalu lintas
persimpangan pada persimpangan yang memiliki lampu
pengatur lalu lintas;
3) Apabila terletak pada kaki persimpangan jalan tanpa alat
pemberi isyarat lalu lintas, maka kriteria batas kecepatan
kendaraan bermotor adalah < 40 km/jam.
b. Penyeberangan pelikan
Fasilitas untuk penyeberangan pejalan kaki sebidang yang
dilengkapi dengan marka dan lampu pengatur lalu lintas.
Ketentuan penyediaan penyeberangan pelikan menurut
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2014
adalah sebagai berikut:
1) Terletak pada ruas jalan dengan jarak minimal 300 meter
dari persimpangan, atau;
2) Pada jalan dengan kecepatan operasional rata-rata lalu lintas
kendaraan > 40 km/jam.

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
14
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

2. Penyeberangan Tidak Sebidang


Penyeberangan tidak sebidang merupakan fasilitas
penyeberangan bagi pejalan kaki yang terletak di atas atau di
bawah permukaan tanah. Adapun jenis penyeberangan tidak
sebidang adalah sebagai berikut:
a. Jembatan penyeberangan orang
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3
Tahun 2014, jembatan penyeberangan merupakan fasilitas
penyeberangan bagi pejalan kaki yang terletak di atas
permukaan tanah dan digunakan apabila:
1) Penyeberangan zebra tidak dapat diadakan;
2) Penyeberangan pelikan sudah mengganggu lalu lintas
kendaraan yang ada;
3) Ruas jalan memiliki kecepatan kendaraan yang tinggi dan
arus pejalan kaki yang cukup ramai;
4) Ruas jalan dengan frekuensi terjadinya kecelakaan pejalan
kaki yang cukup tinggi;
Ketentuan pembangunan jembatan penyeberangan harus
memenuhi kriteria:
1) Keselamatan dan kenyamanan para pemakai jembatan
serta keamanan bagi pemakai jalan yang melintas di
bawahnya;
2) Penempatannya tidak mengganggu kelancaran lalu lintas;
3) Estetika dan keserasian dengan lingkungan di sekitarnya.
b. Terowongan
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3
Tahun 2014, terowongan merupakan fasilitas bagi pejalan kaki
yang terletak di bawah permukaan tanah dan digunakan
apabila:

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
15
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

1) Jembatan penyeberangan tidak dimungkinkan untuk


diadakan;
2) Lokasi lahan memungkinkan untuk dibangun di bawah
tanah.

2.2.2 Pemilihan Fasilitas Penyeberangan Pejalan Kaki


Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana
dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, untuk
menentukan jenis penyeberangan pejalan kaki yang tepat perlu
memperhatikan kelayakannya terhadap fungsi jalan. Kelayakan jenis
penyeberangan terhadap fungsi jalan dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Pemilihan Tipe Penyeberangan Sesuai Fungsi Jalan


Fungsi Penyeberangan Operasional Penyeberangan Pulau
Tidak Sebidang Rambu Sebidang Jalan
Arteri A C C C
Bebas Hambatan
Dua Jalur B A C C
Satu Jalur B A C C
Sub Arteri
Dua Jalur B A B B
Satu Jalur B A B B
Kolektor
Satu Jalur C B B A
Lingkungan
Satu Jalur C C C C
(Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3, 2014)
Keterangan:
A = Layak
B = Semi Layak
C = Tidak Layak

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
16
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat


Tahun 2018 tentang Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki,
kriteria pemilihan penyeberangan sebidang dan tidak sebidang
didasarkan pada rumus empiris (PV2), dimana P adalah arus pejalan
kaki yang menyeberang ruas jalan sepanjang 100 meter tiap jam-nya
(pejalan kaki/jam) dan V adalah arus kendaraan tiap jam dalam dua
arah (kend/jam). P dan V merupakan arus rata-rata pejalan kaki dan
kendaraan pada jam sibuk.
Adapun kriteria pemilihan fasilitas penyeberangan berdasarkan
rumus empiris (PV2) untuk penyeberangan sebidang dapat dilihat
pada Tabel 2.3, sedangkan untuk penyeberangan tidak sebidang
dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.3 Fasilitas Penyeberangan Sebidang Berdasarkan PV2

PV2 P V Rekomendasi
> 108 50  1100 300  500 Zebra cross
> 2 x 108 50  1100 400  750 Zebra cross dengan lapak
tunggu
> 108 50  1100 > 500 Pelican cross
> 108 > 1100 > 300 Pelican cross
> 2 x 108 50  1100 > 750 Pelican cross dengan lapak
tunggu
> 2 x 108 > 1100 > 400 Pelican cross dengan lapak
tunggu
(Sumber: Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, 1995)

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
17
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

Tabel 2.4 Fasilitas Penyeberangan Tidak Sebidang Berdasarkan PV2

PV2 P V Rekomendasi

> 5 x 109 100 – 1.250 > 5.000 Pelican/jembatan


> 5 x 109 > 1.250 > 2.000 Pelican/jembatan
> 1010 10 – 1.250 > 7.000 Jembatan
> 1010 > 1.250 > 3.500 Jembatan
(Sumber: Departemental Advice Note TA/10/80 dalam Idris, Zilhardi, 2007)
Keterangan:
P = Arus lalu lintas penyeberang jalan yang menyeberang jalur lalu
lintas sepanjang 100 meter, dinyatakan dengan pejalan kaki/jam.
V = Arus lalu lintas dua arah per jam, dinyatakan dalam kendaraan/jam.

2.2.3 Fasilitas Pendukung


Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Tahun 2018 tentang Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki,
fasilitas pendukung yang digunakan untuk pejalan kaki adalah
sebagai berikut:
1. Rambu
Detail rambu mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan
No 13/2014 Tentang Rambu Lalu Lintas. Adapun rambu-rambu
yang berhubungan dengan pejalan kaki adalah sebagai berikut:
a. Rambu larangan, merupakan rambu yang berfungsi sebagai
pernyataan pelarangan bagi pengguna jalan dalam hal ini
pejalan kaki.

Gambar 2.5 Rambu Larangan


(Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
18
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

b. Rambu peringatan, adalah rambu yang memiliki fungsi


sebagai tanda peringatan apabila terdapat suatu bahaya atau
tempat bahaya di jalan yang akan dilalui.

Gambar 2.6 Peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki


(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

Gambar 2.7 Peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki dan anak-anak
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

Gambar 2.8 Peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki menggunakan fasilitas
penyeberangan
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

Gambar 2.9 Peringatan alat pemberi isyarat lalu lintas


(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
19
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

Gambar 2.10 Peringatan lampu isyarat penyeberang jalan


(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

Gambar 2.11 Peringatan


(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

c. Rambu perintah, yaitu rambu yang digunakan untuk


menyatakan perintah yang harus dilakukan oleh para
pengguna jalan dalam hal ini diperuntukan para pejalan kaki.

Gambar 2.12 Perintah menggunakan jalur/lajur lalu lintas khusus pejalan kaki
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)
d. Rambu petunjuk, yaitu rambu yang digunakan untuk
menyatakan petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi, kota,
tempat, pengaturan, fasilitas dan lain-lain bagi pengguna
jalan dalam hal ini pejalan kaki.

Gambar 2.13 Petunjuk lokasi fasilitas penyeberangan pejalan kaki


(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
20
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

2. Marka
Marka yang berhubungan dengan pejalan kaki mengacu pada
Keputusan Menteri Perhubungan No.34 Tahun 2014 tentang
Marka Jalan. Marka yang sering digunakan untuk fasilitas pejalan
kaki adalah marka melintang sebagai marka penyeberangan
pejalan kaki, yang berupa zebra cross dan marka dua garis utuh
melintang.
a. Marka zebra cross
Marka jenis ini merupakan garis yang membujur dan
disusun secara melintang dari jalur lalu lintas tanpa alat
pemberi isyarat lalu lintas untuk menyeberang (pelican
crossing), seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.14. Garis
yang membujur dibuat dengan panjang minimal 2,5 meter
dengan lebar 30 sentimeter. Jarak tiap garis membujur
memiliki jarak minimal yaitu 30 sentimeter dan maksimal 60
sentimeter.

Gambar 2.14 Marka zebra cross pada ruas jalan, dilengkapi dengan
rambu penyeberang jalan
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

b. Marka 2 garis utuh melintang


Marka jenis ini berupa 2 garis utuh yang diletakkan
secara melintang dari jalur lalu lintas dengan alat pemberi
isyarat lalu lintas untuk menyeberang (pelican crossing),
seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.12. Untuk ukuran

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
21
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

jarak antara 2 garis melintang ini minimal 2,5 meter dengan


lebar garis melintang dibuat sebesar 30 sentimeter.

Gambar 2.15 Marka penyeberangan dua garis melintang sejajar


(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018)

3. Pengendali kecepatan
Salah satu alat yang dapat mengendalikan laju kecepatan
kendaraan sebelum mencapai fasilitas penyeberangan sebidang
yaitu jendulan. Jendulan ini adalah fasilitas yang dirancang dalam
bentuk gangguan geometrik vertikal yang memberikan efek
paksaan terhadap pengendara untuk mengurangi kecepatan dalam
berkendara.

4. Lapak Tunggu
Lapak tunggu dipasang pada jalur yang memiliki volume lalu
lintas yang cukup besar dan diletakkan pada jalur lalu lintas yang
lebar, dimana penyeberang jalan sulit untuk menyeberang dengan
aman. Lebar lapak tunggu minimal 1,2 meter.

5. Lampu Penerangan
Terletak setiap 10 meter dengan tinggi maksimal 4 meter.
Bahan yang digunakan adalah bahan dengan daya tahan yang
tinggi seperti metal dan beton cetak.

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
22
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

2.2.4 Prosedur Perhitungan Fasilitas Penyeberangan Pejalan Kaki


Penentuan fasilitas penyeberangan disesuaikan dengan kondisi
lalu lintas yang akan dievaluasi. Di antaranya adalah kepadatan lalu
lintas dan banyaknya pejalan kaki.
1. Satuan mobil penumpang (smp)
Satuan mobil penumpang atau smp merupakan satuan kendaraan
yang melintas pada arus lalu lintas yang dikonversikan atau
disamakan dengan kendaraan mobil penumpang.
Pengkonversikan satuan mobil penumpang menggunakan
ekivalensi mobil penumpang (emp) atau variabel pengali
beberapa jenis kendaraan menjadi satu satuan yang sama yaitu
smp. Nilai ekivalensi mobil penumpang pada jalan perkotaan
dapat dilihat pada Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.
Tabel 2.5 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang untuk Jalan perkotaan Tak-Terbagi
Arus lalu- Emp
Tipe jalan: Jalan tak lintas total MC
terbagi dua arah HV Lebar jalur lalu-lintas Wc (m)
(kend/jam) ≤6 >6
Dua lajur tak terbagi 1,3 0,50 0,40
0 ≥ 1800
(2/2 UD) 1,2 0,35 0,25
Empat lajur tak 1,3 0,40
0 ≥ 3700
terbagi (4/2 UD) 1,2 0,25
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

Tabel 2.6 Nilai Ekivalen Mobil Penumpang untuk Jalan perkotaan Terbagi dan Satu Arah
Arah lalu- lintas Emp
Tipe jalan:
per lajur
Jalan satu arah dan jalan terbagi HV MC
(kend/jam)
Dua lajur satu arah (2/1) dan 1,3 0,40
0 ≥ 1050
Empat lajur terbagi (4/2D) 1,2 0,25
Tiga lajur satu arah (3/1) dan 1,3 0,40
0 ≥ 1100
Enam lajur terbagi (6/2D) 1,2 0,25
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
23
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

Dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), golongan


kendaraan yang dikonversi ke dalam standar ekivalensi mobil
penumpang (emp) adalah sebagai berikut:
a. HV (Heavy Vehicle) atau kendaraan berat
Kendaraan bermotor yang memiliki roda berjumlah 4 seperti
bis, truk ber-as 2, truk ber-as 3 dan kombinasi truk yang
sesuai dengan sistem klafisikasi Bina Marga.
b. LV (Light Vehicle) atau kendaraan Ringan
Kendaraan bermotor ber-as 2 yang memiliki roda 4 dengan
jarak as 2 – 3 m seperti mobil penumpang, angkot, mikrobis,
pick up, dan truk kecil sesuai sdengan sistem klasifikasi Bina
Marga.
c. MC (Motor Cycle) atau sepeda bermotor
Kendaraan bermotor yang memiliki roda 2 atau 3 seperti
sepeda motor dan kendaraan roda 3 yang sesuai dengan sistem
klasifikasi Bina Marga.

2. Metode P-V Squared


Metode untuk menentukan jenis fasilitas penyeberangan
dengan menggunakan rumus PV2 yang didapatkan dari hasil
perbandingan antara pejalan kaki yang melintas (P) dan arus
kendaraan yang melintas (V) di jalan raya. PV2 dijadikan sebagai
penentu untuk mengukur tingkat konflik pertemuan anatara arus
kendaraan dengan pejalan kaki di sekitar titik lokasi. PV2
didapatkan dari perhitungan rata – rata 6 jam tersibuk dalam 1
hari. Gambar 2.16 merupakan grafik P-V untuk menentukan jenis
fasilitas penyeberang jalan.

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
24
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

Gambar 2.16 Grafik Pemilihan Fasilitas Penyeberang Jalan


(Sumber: Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, 1995)
Catatan:
1) Arus penyeberang jalan dan arus lalu-lintas adalah rata-rata arus lalu-lintas
pada jam-jam sibuk.
2) Lebar jalan merupakan faktor penentu untuk perlu atau tidaknya dipasang
lapak tunggu.
2.3 Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga tentang Tata Cara Perencanaan
Jembatan Penyeberangan Untuk Pejalan Kaki di Perkotaan Tahun 1995,
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) adalah jembatan yang hanya
diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki yang melintas di atas jalan raya
atau jalan kereta api. Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) sebagai alat
penyeberangan merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam
menyeberang jalur lalu lintas.

Banyaknya kecelakaan yang menimpa para penyeberang jalan menjadi


faktor utama dibutuhkannya Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Hal ini
disebabkan alur penyeberang jalan dan pengendara kendaraan menjadi satu

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134
25
Tugas Akhir
Studi Evaluasi Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
di Kota Semarang (Studi Kasus JPO di Jalan Sultan Agung,
Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani)

dan tidak terpisah secara fisik, sehingga memungkinkan terjadinya


kecelakaan.

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun


2018 tentang Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Jembatan
Penyeberangan Orang (JPO) harus direncanakan berdasarkan ketentuan-
ketentuan berikut ini:

1) Jembatan penyeberangan pejalan kaki memiliki lebar minimum 2 meter


dan kelandaian tangga maksimum 20°.
2) Bila jembatan penyeberangan juga diperuntukkan bagi sepeda, maka
lebar minimal adalah 2,75 meter.
3) Jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi dengan pagar
yang memadai.
4) Pada bagian tengah tangga jembatan penyeberangan pejalan kaki harus
dilengkapi pelandaian yang dapat digunakan sebagai fasilitas untuk
kursi roda bagi penyandang cacat.
5) Lokasi dan bangunan jembatan penyeberang pejalan kaki harus sesuai
dengan kebutuhan pejalan kaki dan estetika.
6) Penempatan jembatan tidak boleh mengurangi lebar efektif trotoar.
7) Beberapa tipikal jembatan penyeberangan dapat dilihat pada Gambar
2.17.

Gambar 2.17 Tipikal Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)

Robertus Arianto Doweng Lein – 14.B1.0052 Universitas Katolik Soegijapranata


Arif Budi Laksono – 16.B1.0134

Anda mungkin juga menyukai