VISUM ET REPERTUM
Dr. dr. Taufik Suryadi, SpF
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA
Tujuan belajar:
mahasiswa mampu menuangkan dan menyusun hasil pemeriksaan barang bukti
medis dan analisisnya ke dalam suatu Visum et Repertum.
Pendahuluan
Dalam perundang-undangan setelah Indonesia merdeka sebenarnya kata visum et
repertum tidak disebutkan secara tersurat, hanya disebutkan sebagai keterangan
ahli di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 133.
Pernyataan tentang visum et repertum yang tersurat ada pada staatblad No. 350
tahun 1937 yang menyatakan “visa et reperta adalah laporan tertulis yang dibuat
oleh dokter yang telah menyelesaikan pendidikanya baik di Indonesia ataupun
negeri Belanda...”. Sering sekali para mahasiswa bahkan dokter salah memahami
kata visum et repertum yang menganggap bahwa visum et repertum merupakan
kata kerja karena sering kita dengar dan saksikan di televisi tersiar berita seorang
korban penganiayaan dibawa ke rumah sakit untuk divisum, padahal sebenarnya
kata visum et repertum merupakan kata benda, jadi seharusnya yang benar dari
berita di televisi adalah seorang korban penganiayaan dibawa ke rumah sakit
untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik untuk pembuatan visum et
repertum.
Definisi visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat dokter
atas permintaan resmidari penyidik tentang pemeriksaan medis forensik terhadap
seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh
manusia,berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk
kepentingan peradilan. Kasus klinik yang terbanyak dimintakan pemeriksaan
forensik adalah kasus trauma mekanik/fisik lalu berikutnya trauma seksual dan
psikologis. Pada pembuatan visum et repertum dari hasil pemeriksaan korban
trauma fisik yang terpenting adalah penentuan derajat kualifikasi luka pada
korban hidup dan penentuan sebab kematian pada korban meninggal.
Pada pasal 133 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dijelaskan “Dalam hal penyidik memeriksa seorang korban baik luka, keracunan
atau mati karena tindak pidana, ia berwenang meminta keterangan ahli kepada
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”. Pada penjelasan pasal
tersebut yang dimaksud luka adalah kecederaan atau trauma atau ruda paksa
akibat kekerasan fisik (tubuh/jasmani), kekerasan psikis (kejiwaan/rohani) dan
kekerasan seksual. Terjemahan dari pasal ini adalah bahwa keterangan ahli
tersebut dimintakan pertama sekali kepada ahli kedokteran kehakiman
(kedokteran forensik), atau dokter (dokter layanan primer, dokter spesialis dan
dokter subspesialis bersama-sama dengan ahli forensik atau langsung sendiri
melakukan pemeriksaan seperti ahli kebidanan dan kandungan memeriksa kasus
kekerasan seksual) atau ahli lainnya (tetap dokter juga, seperti ahli Telinga
Hidung Tenggorok (THT) pada kasus kekerasan pada telinga, ahli mata pada
1
kekerasan pada mata, ahli toksikologi untuk kasus keracunan, ahli psikiatri untuk
kasus trauma psikis dan lain-lain).
2
4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dari fakta yang ditemukan sendirioleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan
maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus
memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi
luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil
pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan.
Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan
penuh hati-hati.
KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas
kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya
dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan
diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan visum et repertumnya seperti
yang tertulis di dalam surat permintaan visum et repertum. Situasi tersebut
membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara
identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan
identitas korban yang diperiksa.
3
pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan
sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (darurat).
Korban hidup juga merupakan pasien sehingga mempunyai hak sebagai pasien.
Apabila pemeriksaan ini sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan
pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat
penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin
dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.
Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang
memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak
laintidak dapat memintanya.
4
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum. Undang-undang
menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter. Setiap
lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi
bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang terlambat,
sedangkandokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana kesehatan itu
lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang harus
menandatangani visum et repertumkorban hidup tersebut. Hal yang sama juga
terjadi bila korban ditangani beberapadokter sekaligus sesuai dengan kondisi
penyakitnya yang kompleks.Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu
orang dokter, maka yang menandatangani visum yang telah selesai adalah
dokter yang menangani tersebut (dokter pemeriksa).Dalam hal korban
ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang menandatangani
visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam penanganan atas
korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa yang
melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan
luka/cedera/racun/tindak pidana. Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi
ada di tempat (di luar kota) atau sudahtidak bekerja pada Rumah Sakit
tersebut, maka visum et repertum ditandatangani oleh dokter penanggung
jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk oleh Rumah Sakit atau oleh
Direktur Rumah Sakit tersebut.
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa Benda bukti yang telah
selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik sajadengan
menggunakan berita acara.
g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum. Surat keterangan
ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak penyidik yang
memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus meminta
surat visum et repertum.
5
REFERENSI
6
CHECKLIST :VISUM ET REPERTUM
Nilai
No. Aspek yang dinilai
0 1 2
Menuliskan kata “Pro justitia” pada sudut kiri formulir
1
visum et repertum
2 Bagian pendahuluan
- Memberikan penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan, tujuan, cara dan manfaat visum et repertum
- Menuliskan identitas peminta visum et repertum pada
formulir pemeriksaan kedokteran forensic
- Menuliskan identitas dokter pemeriksa visum et
repertum pada formulir pemeriksaan kedokteran forensic
- Menanyakan dan menuliskan identitas pasien pada
formulir pemeriksaan kedokteran forensik sesuai dengan
yang tertera pada surat permintaan visum et repertum
- Menanyakan dan menuliskan alasan dimintakannya
visum et repertum
- Menuliskan kapan dilakukan pemeriksaan
- Menuliskan dimana dilakukan pemeriksaan
3 Bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan)
- Menanyakan kepada pasien tentang kronologis
terjadinya peristiwa yang dialaminya
- Melakukan anamnesis atau wawancara mengenai apa
yang dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang
menyangkut tentang ‘penyakit’ yang diderita korban
sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga
kekerasan.
- Melakukan pemeriksaan fisik korban perlukaan mulai
dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan hanya
menulis uraian tentang keadaan umum dan perlukaan
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak
pidananya (status lokalis).
a. Melakukan pemeriksaan vital sign
b. Mendeskripsikan luka, menguraikan seobjektif mungkin
tentang:
Jumlah luka
Lokasi luka meliputi
a) Lokasi berdasarkan regio anatomiknya
b) Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan
bagian-bagian tertentu dari tubuh.
Bentuk luka
a) Bentuk sebelum dirapatkan
b) Bentuk setelah dirapatkan
7
Sifat-sifat luka
a) Garis batas luka meliputi:
- Bentuk (teratur atau tidak teratur)
- Tepi luka (rata atau tidak rata)
- Sudut luka (jumlahnya, runcing atau tidak)
b) Daerah di dalam garis batas luka, meliputi :
- Tebing luka (rata atau tidak, terdiri dari jaringan apa)
- Antara kedua tebing ada tidak jembatan jaringan
- Dasar luka (terdiri dari jaringan apa, warnanya,
perabaannya, ada apa di atasnya)
c) Daerah di sekitar garis batas luka, meliputi :
- Memar (ada atau tidak)
- Bekuan darah (ada atau tidak)
4 Membuat kesimpulan visum et repertum
a. Menuliskan identitas korban
b. Menentukan jenis luka yang ditemukan
c. Menentukan benda penyebabnya
d. Bagaimana cara benda itu menimbulkan luka
e. Apa akibatnya atau derajat lukanya
5 Penutup visum et repertum
Menyatakan dan menuliskan bahwa keterangan tertulis
dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau
janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpahatau janji lebih dahulu sebelum
melakukan pemeriksaan sertadibubuhi tanda tangan
dokter pembuat VeR.
Keterangan:
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tapi kurang sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan = skor total / 68 x 100% = ....%
Banda Aceh,……..2019
Instruktur
8
II. PEMERIKSAAN TANATOLOGIS
Tujuan belajar:
Mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan pemeriksaan tanatologis luar terhadap jenazah forensik
2. Menemukan dan menilai perubahan-perubahan postmortem (ciri tanatologis)
Pendahuluan
Tanatologi adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kematian
dan perubahan-perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut. Tanatologi berasal dari kata Thanatos yang
artinya kematian dan Logos yang artinya Ilmu. Adapun maksud dan tujuan dokter
mempelajari Tanatologi adalah untuk beberapa kepentingan diantaranya:
1. Mengetahui tanda-tanda kematian
2. Mengetahui tanda pasti kematian
3. Mengetahui berapa lama kematian telah terjadi
4. Mengetahui posisi mayat ketika kematian terjadi
5. Mengetahui cara kematian
6. Mengetahui sebab kematian
7. Mengetahui identitas korban
Definisi kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan
tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian
misalnya kerja jantung dan peredaran darah berhenti , pernafasan berhenti, refleks
cahaya dan refleks kornea mata hilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah
beberapa waktu timbul beberapa perubahan paska mati yang jelas yang
memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal
sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu
tubuh, pembusukan, mumifikasi dan adipocera.
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis (mati
klinis), mati suri, mati seluler (mati molekuler), mati serebral, dan mati otak (mati
batang otak). Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga
sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan
sistem pernafasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan
refleks-refleks. EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar
tidak ada suara pernafasan, suara napas tidak terdengar pada auskultasi.
Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga item
penunjang kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana.
Dengan alat kedokteran canggih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem itu masih
9
dapat berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada orang keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam.
Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing
organ atau jaringan berbeda-beda sehingga kematian seluler terjadi pada tiap
organ tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati
seluler dalam waktu 4 menit, otot masih dapat dirangsang listrik sampai kira-kira
2 jam pasca mati , dan mengalami mati seluler setelah 4 jam, dilatasi pupil masih
terjadi setelah pemberin adrenalin 0,1 % atau penyuntikan sulfas atropin 1% ke
dalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1% atau fisostigmin 0,5 %
akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam pascamati. Kulit masih dapat
berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan menyuntikkan subkutan
pilokarpin 2 % atau asetilkolin 20%, spermatozoa masih bertahan hidup beberapa
hari dalam epididimis; kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih
dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.
Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireverible kecuali
batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem
pernafasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati otak
adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal intrakranial yang ireversibel,
termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya batang otak maka
dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan.
Tanda-tanda kematian
Ada 9 tanda-tanda kematian yang dibagi dalam 3 stadium yaitu:
1. Stadium segera (Immediate state)
2. Stadium dini (Early state)
3. Stadium lanjut (Late state)
10
Stadium lanjut juga terdiri dari 4 perubahan yaitu:
1. Kaku mayat (Rigor mortis)
2. Pembusukan (Dekomposisi)
3. Adipocera (Safonikasi)
4. Mumifikasi
Livor Mortis
Livor mortis (lebam, hipostasis postmortem) adalah perubahan warna merah
keunguan pada daerah tubuh yang terjadi karena akumulasi darah dari pembuluh
darah kecil yang dipengaruhi oleh gravitasi. Lebam postmortem seringkali disalah
interpretasikan sebagai memar oleh orang-orang yang tidak mengenal fenomena
ini.
Area dependent melawan permukaan yang kuat maka akan muncul kepucatan
yang kontras disekeliling livor mortis dikarenakan kompresi dari pembuluh darah
di daerah tersebut, yang menghambat akumulasi dari darah. Hal terjadi pada
daerah yang menunjang berat badan, sebagai contoh, tulang belikat, bokong, dan
betis pada seseorang yang berbaring dengan punggungnya, tidak menunjukkan
livor mortis, tetapi tampak sebagai daerah kepucatan. Pakaian yang ketat,
contohnya, bra, korset, atau ikat pinggang, yang menekan jaringan lunak,
menekan pembuluh darah, juga menghasilkan daerah kepucatan.
Livor mortis biasanya, tetapi tidak selalu, memiliki warna merah ceri sampai
merah muda pada kematian karena karbon monoksida. Ini dikarenakan terjadinya
karboksihemoglobin. Perubahan warna yang identik mungkin disebabkan oleh
terpaparnya tubuh mayat oleh suhu yang dingin, dan kematian disebabkan karena
menjadi sianosis.
Livor mortis biasanya muncul antara 30 menit sampai 2 jam setelah kematian.
Pada individu yang meninggal dengan proses yang lambat dengan gagal jantung
terminal, livor mortis mungkin akan muncul antemortem. Livor mortis muncul
bertahap, biasanya mencapai perubahan warna yang maksimal dalam 8-12 jam.
Pada waktu-waktu tersebut, dapat dikatakan sudah menjadi “fixed”. Sebelum
11
menjadi “fixed”, livor mortis akan berpindah bila tubuh mayat dipindahkan. Jadi,
jika seseorang meninggal dengan posisi berbaring, livor mortis muncul di bagian
posterior, yaitu pada punggung. Jika seseorang memutar tubuhnya dengan wajah
dibagian bawah, darah akan turun ke permukaan anterior dari tubuh mayat. Livor
mortis menjadi “fixed” tidak lama setelah perpindahan atau turunnya darah, atau
ketika darah keluar dari pembuluh darah ke sekeliling jaringan lunak yang
dikarenakan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah. Fiksasi dapat terjadi setelah
8-12 jam jika dekomposisi terjadi cepat, atau pada 24-36 jam jika diperlambat
dengan suhu dingin. Jadi, pernyataan bahwa livor mortis menjadi “fixed” pada 8-
12 jam adalah hanyalah sebuah ketidakjelasan yang umum. Untuk mengetahui
bahwa livor mortis tidak “fixed” dapat didemostrasikan dengan melakukan
penekanan ke daerah yang mengalami perubahan warna dan tidak ada kepucatan
pada titik dimana dilakukan penekanan.
Sebagaimana akumulasi darah pada area dependent, tekanan dari endapan darah
dapat memecahkan pembuluh darah kecil, dengan pembetukan dari petekie
(perdarahan dalam menit atau bintik Tardieu) dan purpura (perubahan warna
keunguan yang kecil). Ini biasanya memakan waktu 18-24 jam dan sering
menunjukkan bahwa dekomposisi terjadi cepat. Fenomena ini lebih sering pada
keadaan asfiksia atau kematian yang terjadi lambat. Tetapi sayang sekali, sejalan
dengan waktu, itu tidak selalu dapat dijelaskan dengan pasti apakah purpura
dibentuk saat ante- atau postmortem. Keberadaan dari petekiae dan purpura hanya
pada daerah yang terkena dapat diperkirakan asalnya dari postmortem. Pada
anggota badan yang bergantung di sisi tempat tidur atau kaki dan lengan dari
seseorang yang bergantung, bintik Tardieu mungkin terbentuk lebih cepat, muncul
pada awal 2-4 jam setelah kematian.
12
subaraknoid atau subdural yang menutupi lobus oksipital. Bagian lain dari otak
tidak menunjukkan perdarahan subaraknoid atau subdural. Pada kasus tenggelam
dimana mayat terapung dengan kepala dibawah, dekomposisi menghasilkan
gambaran dari penyebaran perdarahan kulit kepala.
Jarang terjadi, pada postmortem kebocoran darah ke jaringan lunak dan otot pada
bagian anterior dari leher juga mungkin terjadi pada kasus tenggelam.
“Perdarahan” disini minimal.
Rigor Mortis
Rigor mortis, atau kekakuan dari tubuh mayat setelah kematian, dikarenakan
menghilangnya adenosine trifosfat (ATP) dari otot. ATP adalah sumber utama
dari energi untuk kontraksi otot. Otot memerlukan pemasukan yang berkelanjutan
dari ATP untuk berkontraksi karena jumlah yang ada hanya cukup untuk
menyokong kontraksi otot selama beberapa detik. Ada tiga sistem metabolik yang
bertanggungjawab untuk mengatur berkelanjutannya pemasukkan ATP pada otot
yaitu sistem fosfagen, sistem glikogen- asam laktat, dan sistem aerob. Dibawah
kondisi yang optimal, sistem fosfagen dapat menyediakan kekuatan otot yang
maksimal untuk 10-15 detik, sistem glikogen- asam laktat untuk 30-40 detik, dan
sistem aerob untuk periode waktu yang tak terhingga.1 Setelah berolahraga, ketiga
sistem ini membutuhkan waktu untuk mengisi kembali. Setelah kematian,
generasi dari ATP terhenti, walaupun kebutuhan terus berlanjut. Pada ketiadaan
dari ATP, filament aktin dan myosin menjadi kompleks yang menetap dan
terbentuk rigor mortis. Kompleks ini menetap sampai terjadi dekomposisi.
13
mortis “broken”, itu tidak akan kembali. Jika hanya sebagian rigor mortis yang
dilakukan peregangan, maka masih akan ada sisa rigor mortis yang “unbroken”.
Rigor mortis biasanya muncul 2-4 jam setelah kematian, dan muncul keseluruhan
dalam 6-12 jam. Ini dapat berubah-rubah. Pada satu kasus yang dilihat oleh
penulis, seorang wanita muda meninggal dikarenakan dosis yang berlebihan dari
aspirin. Unit EMS dipanggil ketika dia sedang berada dalam keadaan menderita.
Pada saat kedatangan, dia masih bernapas dan masih ada denyut nadi. Hampir
seketika itu juga, dia mengalami henti kardiopulmoner. Usaha resusitasi dilakukan
dan berlanjut sampai kurang lebih 15-20 menit. Tidak lama setelahnya, dia
dinyatakan meninggal. Mayatnya kemudian siap untuk diantarkan ke kantor
medical examiner. Pada waktu itu, telah disadari bahwa dia telah dalam keadaan
rigor mortis yang menyeluruh, hanya dalam beberapa menit setelah kematian. Dua
jam kemudian, pada kamar mayat, dia memiliki suhu rektal 106oF.
Ketika rigor mortis terjadi, menyerang semua otot-otot pada saat yang bersamaan
dan kecepatan yang sama. Bagaimanapun, itu menjadi lebih jelas pada otot-otot
yang lebih kecil. Jadi, rigor mortis dikatakan muncul pertama kali pada otot-otot
yang lebih kecil, seperti rahang, dan berurutan menyebar ke kelompok otot besar.
Penampakan awal dari rigor mortis adalah pada rahang, ektremitas atas dan
ekstremitas bawah. Rigor mortis menghilang pada saat muncul dekomposisi. Pada
iklim yang dingin, rigor mortis menghilang dalam 36 jam, tetapi dapat mencapai
sampai 6 hari. Pada iklim panas, seperti di Texas, tubuh mayat mengalami
kecepatan sedang untuk mencapai dekomposisi yang sempurna dalam 24 jam,
dimana di lain kasus, didapatkan tidak adanya rigor mortis.
Pada kasus yang dilihat oleh salah satu penulis (VJMD), dekomposisi dari tubuh
mayat seorang anak laki-laki berusia 14 tahun, ditemukan mengapung pada danau
yang dingin. Dia mengalami tenggelam 17 hari yang lalu. Tubuh mayat tersebut
berada pada keadaan awal sampai pertengahan dari dekomposisi eksternal: wajah
membengkak, perubahan warna kulit yang licin dan seperti pualam. Organ-organ
dalam berada pada tahap awal dari dekomposisi – dekomposisi tidak sama seperti
yang terlihat pada perubahan eksternal. Aspek yang paling tidak biasa dari kasus
tersebut adalah bahwa tubuh mayat masih dalam keadaan rigor mortis yang
menyeluruh. Ada satu pemikiran bahwa perendaman dalam air dingin adalah
alasan masih adanya rigor mortis.
Rigor mortis dapat berjalan lambat atau sangat lemah pada individu yang kurus.
Onsetnya juga dapat sangat cepat pada bayi. Racun, seperti striknin, yang
menimbulkan konvulsi dapat mempercepat terjadinya rigor mortis. Banyak
penyakit atau faktor lingkungan yang meningkatkan suhu tubuh sehingga
mempercepat terjadinya rigor mortis. Jadi, hipertermia, kehilangan regulasi suhu
tubuh dikarenakan perdarahan serebral, dan infeksi dapat mempercepat terjadinya
rigor mortis.
Pada kematian karena tenggelam, rigor mortis dapat muncul menyeluruh hanya
dalam 2 sampai 3 jam. Ini dikarenakan pembuangan dari ATP melalui usaha yang
keras selama tenggelam. Seseorang yang mengalami pengejaran sebelum
14
kematiaannya dapat memperlihatkan rigor mortis yang lebih cepat pada kakinya
daripada keseluruhan otot-ototnya yang tersisa. Ini, lagi-lagi dikarenakan
pembuangan dari ATP oleh otot-otot kaki karena berlari. Seperti livor mortis,
rigor mortis dapat mengindikasikan apakah tubuh mayat telah dipindahkan.
Suhu Tubuh
Beberapa dokter mencoba untuk menentukan berapa lama seseorang telah
meninggal dari suhu tubuhnya. Beberapa penjelasan membuat dua asumsi yang
mungkin tidak benar: yang pertama, bahwa suhu tubuh pada saat kematian adalah
normal, dan yang kedua, bahwa tubuh mendingin diikuti pola pengulangan yang
progresif seperti sesuatu dapat menunjukkan apa yang utama dari suhu tubuh dan
apa yang akan terjadi.
Masalah yang kedua: Walaupun jika kita tahu berapa suhu normal itu, apakah
pada waktu kematian, suhu dalam keadaan normal? Olahraga berat dapat
meningkatkan suhu rektal sampai 104oF. Infeksi secara nyata dapat meningkatkan
suhu tubuh. Perdarahan intraserebral atau perlukaan otak dapat membuat sistem
termoregulasi dari batang otak tidak berfungsi, yang menyebabkan peningkatan
dari suhu tubuh. Paparan oleh dingin dapat menyebabkan hipotermia, yaitu
penurunan suhu tubuh.
Dengan kata lain, suhu tubuh bervariasi dari lokasi dimana suhu diperiksa (oral
atau rektal, otak atau hati), dari orang yang satu ke orang yang lain, dari hari ke
hari, dari aktifitas yang dilakukan seseorang, dan juga dari kesehatan seseorang.
Untuk membuat tidak membuat keadaan lebih buruk, Hutchins, dalam
membandingkan suhu rektal premortem dengan suhu rektal postmortem,
15
observasi peningkatan suhu tubuh rektal pada awal periode postmortem dan
merasakan bahwa ini mungkin sudah tepat.3 Kegunaan dari anilisis regresi linear
dari perbedaan suhu rectal pre- dan postmortem sejalan dengan fungsi waktu, dia
menyimpulkan bahwa, nilai rata-rata, suhu rektal postmortem memakan waktu
sekitar 4 jam untuk mengembalikan ke tingkat premortem setelah kematian. Dia
berhipotesis bahwa aktifitas metabolik yang berkelanjutan dari jaringan lunak
tubuh dan dari bakteri dalam saluran pencernaan adalah penyebab dari efek
tersebut.
Faktor lain yang dipertimbangkan adalah bahwa kematian mungkin tidak terjadi
segera setelah penyerangan. Pasien-pasien akan terluka dan terbaring dalam koma
untuk beberapa jam. Mereka dapat menderita pneumonia, peningkatan suhu
tubuh, atau meninggal perlahan dalam koma, menjadi hipotermia. Jadi, walaupun
diketahui secara pasti kapan seseorang meninggal, waktu dapat tidak sesuai
dengan waktu terjadinya penyerangan.
Jika patologi forensik memutuskan untuk mengambil suhu rektal, rektum harus
selalu diperiksa sebelum memasukkan thermometer. Pada kasus-kasus dimana
terjadi penyerangan secara seksual, pengusapan harus diambil sebelum
memasukkan thermometer.
Sebagai tambahan untuk masalah suhu tubuh “normal” tersebut, kami memiliki
masalah bahwa pendinginan tubuh tidak dibutuhkan, demikian pula pola yang
berulang sehingga orang dapat memproyeksikan berapa suhu tubuhnya. Pada
tubuh mayat, panas tubuh hilang oleh karena konduksi (absorpsi dari panas oleh
objek yang bersentuhan dengan tubuh), radiasi (hilang oleh karena pemanasan
sinar infra merah, dan konveksi (perpindahan air). Jadi, kami dapat melihat bahwa
hilangnya panas tubuh terjadi secara pasif. Jika suhu dari lingkungan sekitar tubuh
mayat adalah lebih dari 98.6oF, tubuh mayat akan hangat; jika sama, pada tubuh
mayat akan tetap pada 98.6oF; dan jika lebih dingin, tubuh mayat juga akan
dingin. Tetapi buruknya, tidak ada mengkontrol suhu lingkungan tersebut.
Pada tempat kejadian, ada kemungkinan udara menjadi dingin atau menjadi panas.
Tubuh mayat yang terbaring di bawah sinar matahari akan menahan panas lebih
lama dari pada tempat yang teduh. Tetapi jika matahari berpindah, kondisi
tersebut akan berubah menjadi terpapar matahari, dan menjadi panas. Tubuh
mayat yang basah menghantarkan panas lebih cepat. Apakah tubuh mayat
berbaring di batu, yang mana lebih baik untuk konduksi, atau di tempat tidur,
yang mana bertindak sebagai insulator? Apakah individu tersebut gemuk atau
kurus? Berpakaian atau telanjang? Pakaian dan kegemukan bertindak sebagai
insulator yang akan menahan panas. Anak-anak dan bayi lebih cepat dingin
karena mereka memiliki permukaan yang lebih luas dibandingkan beratnya.
Kebalikannya terjadi pada individu yang obesitas, yaitu mereka memiliki
permukaan yang lebih kecil dibandingkan beratnya. Individu yang kakhetik
(kurus), tentu saja, lebih cepat dingin daripada individu yang obese.
16
suhu tubuh ketika terjadi kematian dan tidak satupun tahu perkiraan kapan dia
mendingin.
Dekomposisi
Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis dan putrefaction. Autolisis
menghancurkan sel-sel dan organ-organ melalui proses kimia aseptik yang
disebabkan oleh enzim intraselular. Proses kimia ini, dipercepat oleh panas,
diperlambat oleh dingin, dan dihentikan oleh pembekuan atau penginaktifasi
emzim oleh pemanasan. Organ-organ yang kaya dengan enzim akan mengalami
autolisis lebih cepat daripada organ-organ dengan jumlah enzim yang lebih
sedikit. Jadi, pankreas mengalami autolisis lebih dahulu daripada jantung.
Bentuk kedua dari dekomposisi, yang mana pada setiap individu berbeda-beda
adalah putrefaction. Ini disebabkan oleh bakteri dan fermentasi. Setelah kematian,
bakteri flora dari traktus gastrointestinal meluas keluar dari tubuh, menghasilkan
putrefaction. Ini mempercepat terjadinya sepsis seseorang karena bakteri telah
meluas keseluruh tubuh sebelum kematian.
Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah, dimana
bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan lidah
menjulur keluar antara gigi dan bibir. Wajah berwarna pucat kehijauan, berubah
menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi hitam. Cairan dekomposisi (cairan
purge) akan keluar dari mulut dan hidung. Hal ini sering disalahinterpretasikan
sebagai darah dimana dicurigai adanya trauma kepala. Cairan dekomposisi akan
berakumulasi pada rongga tubuh dan akan membingungkan pada kasus
hemothoraks pada rongga pleura. Biasanya, cairan berakumulasi pada setiap
rongga pleura kurang dari 200 mL.
17
yang harus menjadi perhatian dalam menginterpretasi darah pada jaringan adalah
sebagai sebuah kontusio.
Deskripsi dari dekomposisi yang terjadi berangsur-angsur dari tubuh mayat ini
mengasumsikan suatu iklim suhu lingkungan. Dengan suhu tinggi, proses akan
menjadi lebih cepat. Di Texas, ada mayat ditinggal di dalam mobil selama musim
panas akan memakan waktu kurang dari 24 jam untuk mengalami pembengkakan,
tubuh hijau kehitaman dengan perubahan seperti pualam, perubahan vesikel, kulit
menjadi licin, dan ada cairan purge.
Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas, pakaian yang tebal, dan sepsis, semua
yang mempertahankan tubuh tetap hangat. Dekomposisi diperlambat oleh pakaian
yang tipis atau oleh tubuh yang berbaring pada permukaan yang terbuat dari besi
atau batu yang mana lebih cepat menjadi dingin karena terjadi konduksi. Pada
kasus sepsis yang menyeluruh, penulis telah melihat tubuh mayat lebih cepat
terdekomposisi walaupun faktanya mereka telah dimasukkan ke dalam lemari es
sesegera mungkin. Pada tubuh sepsis yang telah meninggal 6-12 jam memiliki
penampakan seperti sudah meninggal 5-6 hari walaupun sudah di masukkan ke
dalam lemari es.
Sejalan dengan kemajuan dekomposisi, rambut akan terlepas dari kepala dan kulit
tangan terkelupas. Sehingga akan ditemukan “gloves” pada kulit. Rambut
mungkin akan diambil oleh burung-burung dan digunakan untuk membuat sarang.
Sejalan dengan tubuh mayat yang telah terdekomposisi dan membengkak,
seseorang mungkin ada yang mendapat pengaruh paling berat. Ketika tubuh mayat
ditimbang, berat badan akan ditemukan secara signifikan lebih rendah daripada
yang diperkirakan pada pemeriksaan secara kasar. Pada proses dekomposisi, berat
dari organ-organ akan menurun.
Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami dehidrasi
secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada dekomposisi. Pada
saat kulit mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam, organ-organ interna
18
akan berlanjut memburuk, seringkali konsistensinya menurun menjadi berwarna
seperti dempul hitam kecoklatan.
Waktu yang diperlukan untuk menulang pada tubuh mayat bervariasi. Pada daerah
dimana tubuh terpapar elemen-elemen dan binatang pemakan bangkai, itu akan
membuat prosesnya menjadi lebih cepat, terjadi dalam 9-10 hari. Pada keadaaan
yang lebih jarang, ini mungkin dapat akan lebih cepat lagi. Uterus dan prostate
adalah dua organ-organ yang terakhir terdekomposisi.
Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau dalam
keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami
hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase
endogen dan enzim bacterial. Enzim bakterial, umumnya berasal dari Clostridium
perfringens, yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi.
Adiposera dikatakan memakan waktu beberapa bulan untuk berkembang,
walaupun perkembangannya juga dapat terjadi singkat hanya selama beberapa
minggu. Hal ini bergantung pada tingkat perlawanan dari bakteriologik dan
degradasi dari kimia.
Penjelasan yang singkat harus dibuat pada maserasi pada bayi yang meninggal
dalam kandungan. Ini bukan putrefaction yang sesungguhnya, tetapi lebih kepada
sebuah proses autolitik aseptik.
19
Perubahan mata postmortem adalah sesuatu yang sulit untuk diinterpretasikan.
Perubahannya tergantung pada apakah mata itu terbuka atau tertutup dan
tergantung pada lingkungan. Tache noire dapat terlihat tetapi sering tidak
diobservasi. Hal ini adalah sebuah artifak dari kekeringan yang terdiri dari
perubahan warna sklera dari coklat menjadi hitam dimana mata setengah terbuka
dan terpapar oleh udara. Pada mata tertutup, dalam 24 jam, biasanya ditemukan
penumpukan busa putih pada kornea, yang dapat dikatakan “cloudy”.
Sistematika pemeriksaan
Pencatatan tanda kematian berguna untuk penentuan saat kematian,. Jangan lupa
mencatat waktu/saat dilakukan pemeriksaan.
a. Lebam mayat
Catatan letak/distribusi lebam mayat, adanya bagian tertentu di daerah
lebam mayat yang justru tidak menunjukkan lebam (karena tertekan
pakaian terbaring di atas benda keras dan lain-lain). Warna dari lebam
mayat serta intensitas (hilang dengan penekanan/sedikit hilang/tidak
menghilang sama sekali).
b. Kaku mayat
Catat distribusi kaku mayat serta derajat kekakuan pada beberapa sendi
(daerah dagu/tengkuk, lengan atas, siku, pangkal paha, sendi lutut) dngan
menentukan apakah mudah/sukar dilawan
Apabila ditemukan spasme kadaverik (cadaveric spasm), harus dicatat
dengan sebaik-baiknya, karena spasme kadaverik memberi petunjuk apa
yang dilakukan korban saat terjadi kematian).
c. Suhu tubuh mayat
Kriteria penurunan suhu tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan,
namun kadang masih membantu dalam perkiraan kematian. Pengukuran
suhu dengan menggunkana termometer rektal. Jangan lupa mencatat suhu
ruangan pada saat yang sama.
d. Pembusukan
Tanda pembusukan yang pertama tampak berupa kulit perut sebelah kanan
bawah yang berwarna kehijau-hijauan, Pada pembusukan lebih lanjut,
kulit ari telah terkelupas, terdapat gambaran pembuluh superfisial yang
melebar berwarna biru hitam, ataupun tubuh yang telah mengalami
penggembungan akibat pembusukan lanjut.
e. Lain-lain
Mencatat perubahan tanatologik lain yang mungkin ditemukan, (misalnya
mummifikasi/adipocare).
20
d. Pembusukan: Ada/ Tidak ada
(Jika ada, dibuat deskripsi temuan, misalnya: dijumpai pembusukan
mayat pada bagian bawah perut berbentuk tidak beraturan, warna
hijau, berbau busuk menyengat)
21
REFERENSI
22
CHECK LIST :PEMERIKSAAN TANATOLOGIS
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tapi kurang sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Instruktur
23
III. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN
STATUS MENTAL
dr. Subhan Rio Pamungkas, SpKJ
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA
Tujuan belajar:
Mahasiswa mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan status mental secara
sistematis dan benar.
Prior Knowledge:
Sebelum mempelajari keterampilan ini mahasiswa harus menguasai :
- Ketrampilan komunikasi interpersonal
Pendahuluan
Pemeriksaan psikiatri yang lengkap memiliki kekhususan yaitu lebih diarahkan
pada manifestasi fungsi mental, emosional dan perilaku. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menyusun laporan tentang keadaan psikologis dan psikopatologis
pasien.
I. Anamnesis
Pemeriksa memulai anamnesis dengan perkenalan singkat lalu dilanjutkan dengan
keluhan utama, hal mengenai penyakit saat ini, riwayat lampau dan riwayat
keluarga. Garis besar riwayat psikiatri yang perlu didapat :
- Data Pribadi
Perlu dikumpulkan data demografi pasien berupa nama, alamat, umur, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, bahasa, suku bangsa,
agama dan data lain yang berhubungan dengan kehidupan pasien saat ini.
- Keluhan Utama
Untuk mengetahui apa alasan utama pasien datang berobat dapat digunakan
pertanyaan pembuka, contoh : bagaimana saya bisa menolong bapak/ibu?,
gangguan kesehatan apa yang ibu alami?. Umumnya pertanyaan seperti ini
24
akan membuat pasien berbicara bebas yang lebih bermakna dibandingkan
apabila diberikan prosedur tanya jawab formal. Ada pula pasien yang tidak
dapat menyampaikan keluhannya namun keluhan bisa datang juga dari pihak
keluarga, kerabat, sahabat atau kerabat lainnya yang khawatir tentang perilaku
pasien. Bila pasien tidak berbicara, perlu dideskripsikan keadaaan yang
dijumpai saat wawancara pasien.
- Riwayat Hidup
Prenatal dan perinatal
Masa kanak awal (sampai 3 tahun)
Masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
Masa remaja
Masa dewasa
o Riwayat pekerjaan
o Riwayat perkawinan/ berpasangan
o Riwayat pendidikan
o Riwayat militer (kalau ada)
o Riwayat agama/ kehidupan agama
o Aktivitas sosial dan situasi kehidupan sekarang
o Riwayat pelanggaran hokum
o Riwayat psikoseksual
o Riwayat keluarga
o Impian, fantasi dan nilai-nilai
25
- Penampilan
Merupakan gambaran tampilan dan kesan keseluruhan terhadap pasien yang
direfleksikan dari postur, sikap, cara berpakaian dan berdandan. Juga perlu
dicatat bila ada tato, tindikan, bekas tusukan atau sayatan (khususnya pada
bagian lengan bawah) yang tidak biasa. Terminologi yang sering digunakan
untuk menggambarkan penampilan pasien seperti tampak sehat, tampak
tenang, tampak lebih tua, tidak rapi, kekanak-kanakan atau bizarre.
- Mood
Mood adalah perasaan yang bersifat pervasif dan bertahan lama, yang
mewarnai persepsi seseorang terhadap kehidupannya. Pemeriksa dapat menilai
suasana perasaan pasien dari pernyataan yang disampaikan pasien atau bila
perlu dapat pemeriksa yang menanyakan kepada pasien tentang suasana
perasaannya. Mood dapat digambarkan dengan mood depresi, iritabel, cemas,
marah, ekspansif, euphoria, kosong, ketakutan, labil dan lainnya.
- Afek
Afek adalah respon emosional saat sekarang, yang dapat dinilai lewat ekspresi
wajah, pembicaraan, sikap dan gerak gerik tubuh pasien (bahasa tubuh).
Penilaian afek dapat berupa afek normal, terbatas, tumpul atau mendatar.
- Keserasian afek
Pemeriksa mempertimbangkan keserasian respons pasien terhadap topik yang
sedang didiskusikan dalam wawancara.
- Pembicaraan
Deskripsi yang disampaikan dapat seperti berbicara spontan atau tidak,
kecepatan bicara, adanya hendaya bicara, volume bicara (keras, biasanya atau
kecil/ berbisik-bisik) dan seterusnya. Hal ini dilaporkan berdasarkan hasil
observasi selama wawancara dengan pasien.
- Persepsi
Gangguan persepsi antara lain seperti halusinasi, ilusi, derealisasi dan
depersonalisasi. Halusinasi adalah kesalahan persepsi tanpa stimulus eksternal
yang dipercayai benar dan berasal dari luar, sedang ilusi kesalahan persepsi
terhadap stimulus eksternal. Halusinasi dapat terjadi pada seluruh indra,
26
meskipun halusinasi auditorik dan visual lebih sering terjadi. Dapat juga
dijumpai halusinasi yang tidak bermakna yaitu halusinasi hipnagogik
(halusinasi yang muncul pada saat mulai tidur) dan halusinasi hipnopompik
(halusinasi yang muncul pada saat bangun tidur).
- Pikiran
Pikiran dapat dibagi menjadi proses dan isi pikir. Proses pikir merupakan cara
seseorang menyatukan semua ide-ide dan asosiasi-asosiasi yang membentuk
pikiran. Proses pikir yang digambarkan dapat berupa koheren, tidak logik/
komprehensif, flight of idea, blocking, neologisme dan lainnya. Gangguan isi
pikir yang utama yaitu waham/ delusi (keyakinan yang salah dan menetap dan
tidak terkait latar belakang budaya).
- Pengendalian impuls
Dinilai kemampuan pasien untuk mengontrol impuls seksual, agresif dan
impls lainnya. Pengendalian impuls dilakukan pula untuk menilai apakah
pasien berpotensi membahayakan diri dan orang lain.
- Daya nilai
Pada wawancara psikiatri berlangsung perlu diperhatikan kemampuan daya
nilai sosial pasien. Apakah pasien memahami akibat dari perbuatan yang
dilakukannya dan apakah pemahamannya ini mempengaruhi dirinya.
- Tilikan
Menilai pemahaman pasien terhadap penyakit yang dideritanya. Derajat tilikan
terdiri atas :
1. Penyangkalan penuh terhadap penyakit
2. Mempunyai sedikit pemahaman terhadap penyakit tetapi juga
sekaligus menyangkalnya pada waktu yang bersamaan.
3. Sadar akan penyakitnya tetapi menyalahkan orang lain, faktor luar atau
faktor organik.
4. Pemahaman bahwa dirinya sakit, tetapi tidak mengetahui
penyebabnya.
5. Tilikan intelektual : mengakui bahwa dirinya sakit dan tahu bahwa
penyebabnya adalah perasaan irasional atau gangguan-gangguan yang
dialaminya, tetapi tidak memakai pengetahuan tersebut untuk
pengalaman di masa datang.
27
6. Tilikan emosional : pemahaman emosional terhadap motif dan
perasaan-perasaan pada diri pasien dan orang-orang penting dalam
kehidupan pasien, yang dapat membawa perubahan mendasar pada
perilaku pasien.
28
REFERENSI
29
CHECKLIST :ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Membina Hubungan Baik
1. Menyapa dan mengucapkan salam
2. Berdiri dan memperkenalkan diri
3. Mengklarifikasi tujuan pasien datang berobat (langsung
pada pasien atau keluarga)
4. Duduk berhadapan dengan pasien, perhatikan keamanan,
kemungkinan adanya ancaman tindak kekerasan
II Anamnesis Psikiatri
1. Data umum pasien
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat keluarga
6. Riwayat pribadi
a. Prenatal dan perinatal
b. Awal masa kanak-kanak
c. Masa kanak-kanak pertengahan
d. Terlambat masa kanak-kanak
e. Dewasa (riwayat pekerjaan, perkawinan dan riwayat
hubungan, riwayat militer, riwayat sekolah, agama,
aktifitas sosial, situasi tempat tinggal, riwayat legal)
f. Riwayat sexual
g. Mimpi dan Fantasi
h. Nilai-nilai
III Pemeriksaan Internus
IV 1. Status present
2. Status Internus
V Status Psikiatri Khusus
1. Penampakan Umum
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor
3. Sikap terhadap pemeriksa
4. Mood
5. Afek
6. Keserasian afek
7. Persepsi
8. Proses Fikir
9. Isi Pikir
10. Ingatan
11. Orientasi
12. Intelektual
13. Daya Tilikan ( Insight )
14. Pendapat ( Judgment )
15. Pikiran abstrak
16. Ide kreatif
30
VI Resume disesuaikan dengan kriteria diagnostik yang ada
dalam PPDGJ
VII Dilakukan Differensial Diagnosis kemudian baru tegakkan
diagnosis
VIII Penatalaksanaan
1. Terapi biologis
2. Terapi psikologis
3. Terapi social
IX Prognosis
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
3
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/82x100% =… %
Instruktur
31
IV. PEMERIKSAAN FOTO KEPALA, LEHER DAN
TULANG BELAKANG
Tujuan Belajar :
1. Mahasiswa mampu membaca foto rontgen kepala AP dan Lateral normal
2. Mahasiswa mengerti tehnik pembuatan foto kepala
3. Mahasiswa mampu membaca foto rontgen tulang belakang AP dan Lateral
normal
4. Mahasiswa mengerti tehnik pembuatan foto tulang belakang
Prior Knowledge:
Sebelum mempelajari keterampilan ini mahasiswa harus menguasai :
1. Anatomi tulang kepala
2. Fisiologi kepala
3. Anatomi tulang belakang
4. Fisiologi tulang belakang
32
f. Os zygomaticus
g. Os vomer
h. Os nasalis
i. Concha nasalis inferior
Antara tulang satu dan tulang yang lain dihubungkan oleh sutura, yaitu sutura
sagitalis yang menghubungkan os parietalis kanan dan kiri, sutura coronaria
menghubungkan os frontalis dengan os parietalis kanan dan kiri, sutura
lambdoidea menghubungkan os occipitalis dengan os parietalis kanan dan kiri
serta sutura temporalis kanan dan kiri menghubungkan os temporalis dengan os
parietalis kanan dan kiri.
Basis cranii terdapat sella turcica yang dibagian anteriornya terdapat tonjolan
yang disebut procesus clinoideus anterior dan dibagian posteriornya didapatkan
procesus clinoideus posterior. Didalam sella turcica ini terdapat struktur organ
yang sangat penting yaitu hypophyse.
Pada os maxillaris kanan dan kiri terdapat gigi geligi serta rongga yang disebut
sinus maxillaris kanan dan kiri.
Os mandibula kanan dan kiri terdapat gigi geligi yang berpasangan dengan gigi
geligi yang berada di os maxillaris kanan dan kiri.
Di dalam tulang kepala terdapat rongga yang disebut sinus paranasalis yang terdiri
dari sinus frontalis yaitu rongga yang berada di os frontalis kanan dan kiri, sinus
maxillaris yaitu rongga didalam os maxillaris, sinus ethmoidalis yang merupakan
rongga didalam tulang ethmoidalis kanan dan kiri yang berbentuk seperti sel-sel
yang sering disebut cellulae ethmoidalis, serta sinus sphenoidalis yang merupakan
rongga yang berada di os sphenoidalis kanan dan kiri.
Di dalam os temporalis kanan dan kiri terdapat rongga udara kecil-kecil berbentuk
selulae yang disebut sebagai air cell mastoid kanan dan kiri.
Pada masa bayi masih terdapat cekungan di anatara pertemuan sutura sagitalis dan
sutura coronaria yang disebut fontanella mayor sedangkan cekungan di posterior
33
antara sutura lambdoidea atau os occipitalis dan sutura sagitalis yang berbentuk
segitiga disebut fontanella minor.
Terdapat beerapa foramen atau lubang di tulang basis crania antara lain foramen
ovale, rotundum, opticum serta foramen magnum di basal occipital yang
merupakan tempat keluarnya medulla spinalis dari dalam rongga kepala.
Bagian intracranial tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan foto polos kepala atau
skull atau schedell untuk melihat kondisi intracranial diperlukan pencitraan
radiologi yang lain misalnya USG kepala, CT Scan kepala, angigrafi kepala atau
MRI kepala.
2. Perdarahan lewat telinga atau bocornya cairan cerebrospinal lewat telinga atau
hidung setelah trauma hampir selalu didapatkan fraktur di basis cranii. Pada
foto posisi AP dapat ditunjukkan adanya cairan di sinus sphenoidalis atau
udara di dalam kepala.
3. Benjolan atau lekukan pada kepala. Pemeriksaan foto kepala berguna bila
benjolan di kepala tidak bersifat mobile dan secara pemeriksaan fisik tidak
hanya di kulit kepala, menunjukkan defek di cranium bawahnya.
4. Sakit kepala yang menetap, foto kepala tidak banyak memberikan informasi
kecuali bila didapatkan kelainan neurologis berupa tanda peningkatan tekanan
intrakranial maka foto lateral dapat membantu , apabila secara klinis
didapatkan lesi malignant di tempat lain maka tanda proses matastasis bisa
didapatkan pada foto kepala.
5. Sakit telinga. Pemeriksaan klinis lebih baik bila dibandingkan dengan foto
kepala, tetapi bila didapatkan mastoiditis maka pemeriksaan foto matoid dapat
berguna.
34
Jenis pemeriksaan Radiografi kepala
Terdapat berbagai proyeksi pada pemeriksaan radiografi kepala yang meliputi:
1. Proyeksi AP atau anteroposterior, posisi ini memperlihatkan gambaran tulang
parietal kanan dan kiri, sutura sagitalis, sutura temporoparietalis, sinus
frontalis, tepisupra orbitalis, orbita, sinus sphenoidalis, sinus ethmoidalis, tepi
infraorbitalis, septum nasalis antrum maxillaries serta os mandibularis.
5. Foto mastoid posisi Schuller dan Stensver’s untuk melihat kelainan di mastoid
air cell dengan canalis acusticus internus serta osseculae di telinga tengah.
7. Foto Eisler, foto ini dapat memperlihatkan mandibula dengan lebih baik.
Proyeksi AP
Teknik pemeriksaan:
Proyeksi ini dibuat dengan memposisikan pasien tidur di meja pemeriksaan
posisi supine, dengan tubuh berada tepat di tengah meja pemeriksaan.
Kepala diposisikan AP dengan menempatkan MSP kepala tegak lurus pada
bidang film.
Orbitomeatal line tegak lurus dengan bidang film.
Kepala difiksasi dengan menggunakan spon atau sand bag untuk mencegah
perputaran atau pergerakan pada obyek kepala pasien.
Luas kolimasi diatur sedemikian rupa sesuai dengan besar obyek hal ini untuk
proteksi radiasi terhadap pasien
35
Menggunakan grid untuk menyerap radiasi hambur agar diperoleh hasil
gambaran yang lebih baik.
Melindungi gonad pasien dengan apron gonad.
Jika sudah siap seluruhnya dilakukan eksposi dengan factor eksposi yang
sudah disesuikan untuk pemotretan AP.
Proyeksi Lateral
Teknik pemeriksaan:
Posisi pasien tidur semi prone diatas meja pemerikassan dengan MSP tubuh
tepat pada mid line meja pemeriksaan
Kepala diposisikan true lateral dengan menempatkan MSP kepala sejajar pada
bidang film.
Infra Orbito Meatal Line ( IOML ) sejajar dengan bidang film.
Inter Puppilary line tegak lurus dengan bidang film
Marker R atau L digunakan sebagai penanda obyek kiri atau kanan.
Dilakukan fiksasi pada bagian kepala dengan menggunakan sand bag dan spon
untuk mencegah pergerakan kepala pasien.
Luas kolimasi diatur sesuai kebutuhan sedemikian rupa sehingga proteksi
radiasi terhadap pasien terjamin.
Gonad dilindungi dengan apron
Digunakan grid untuk menyerap radiasi hambur agar gambar yang dihasilkan
lebih baik
Apabila sudah siap seluruhnya dilakukan eksposi dengan fraktor eksposi yang
sudah disesuaikan dengan pemotretan untuk kepala lateral.
Kriteria gambar :
Kepala atau cranium tampak secara keseluruhan dalam posisi lateral dengan
batas atas vertex, batas posterior tulang occipitalis batas depan soft tissue
hibung.
Tampak sella tursica tidak berrotasi dan tampak overlapping
Tampak ramus mandibula yang super posisi
Tampak MAE yang superposisi
Tergambar marker R atau L sebagai penanda kanan atau kiri pasien.
Expertise :
Merupakan laporan tertulis yang dibuat oleh dokter ahli radiologi terhadap
keadaan foto atau pemeriksaan radiologi yang memuat deskrepsi kelainan-
kelainan yang ada kemudain disimpulkan atau dibuat diagnosis.
36
Gambar 4.1 Tehnik pembuatan foto kepala posisi AP
1. Crista Gali
2. Sphenoid Wing
3. Os Zygomaticus
4. Fissura orbitalis superior
5. Septum nasalis
6. Linea innominata dari fossa
temporalis
7. Margo superior os petrosus
8. Antrum maxillaris
37
Gambar 4.4 Foto x-ray kepala posisi lateral
1. Sutura coronaria
2. Vascular marking pembuluh darah
meningea
3. Batas aerior dari fossa media
4. Sutura lambdoibea
5. Dorsum sella
6. Clivus
7. Sinus lateralis
8. Sutura parietalis
9. Meatus acusticus externus
38
5. USG kepala pada bayi
6. MRI kepala
7. MR Angiografi kepala
39
c. Plexus choroideus
d. Duramater ( Falx cerebri, tentorium )
e. Ligementum ( petroclinoideus dan interclinoideus )
f. Granula paccioni
g. Basal ganglia dan nucleus dentatus
h. Glandulla pituitary
i. Lensa
Pendahuluan
Tulang belakang ( vertebra ) merupakan bagian organ tubuh yang sangat penting,
Vertebra merupakan tulang penyangga tubuh yang didalamnya didapatkan
medulla spinalis yang mengeluarkan jaras-jaras syaraf yang menghantarkan syaraf
sensorik, motoris serta otonom keseluruh tubuh serta extremitas superior dan
inferior.
Untuk bisa membaca foto rontgen vertebra terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan tentang anatomi normal dari vertebra.
Anatomi Vertebra
Secara anatomi vertebra dibedakan menjadi vertebra cervicalis 7 ruas, vertebra
thoracalis 12 ruas, vertebra lumbalis 5 ruas, vertebra sacralis 5 ruas yang menyatu
membentuk satu kesatuan dan coccygeus 3-4 ruas yang menjadi satu yang
semuanya saling berkaitan satu dengan yang lainya membentuk susunan yang
disebut collumna vertebralis
Vertebra thoracalis sebanyak 12 ruas terdiri dari corpus vertebra yang relative
lebih besar dibandingkan dengan cervicalis, memiliki prosesus spinosus yang
cukup panjang dan mengarah ke inferior, pada vertebra thoracalis terdapat
40
prosesus asesorius dan prosesus costalis yang tidak dimiliki oleh vertebra yang
lain sebagai tempat persendian dengan costa mulai dari costa 1-12. Kurva vertebra
thoracalis adalah kiposis.
Vertebra lumbalis terdiri dari 5 ruas dengan corpus vertebra yang besar, prosesus
transversus dan spinosus yang lebih lebar dan pendek serta mendatar dengan
kurva normal lordosis.
Vertebra sacralis terdiri dari 5 ruas yang saling bergabung satu dengan lain
membentuk seperti perisai dengan foramen sacralis di kanan dan kiri dengan
kurva kiposis.
Os Coccygeus atau tulang ekor merupakan bagian paling distal dari vertebra yang
berjumlah 3-4 ruas bersendi dengan os sacrum.
Jaras syaraf sensorik dan motorik berjumlah 31 pasang yang keluar dari medulla
spinalis melalui foramen intervertebralis yang berada di sisi lateral kanan dan kiri
.
41
3. Kelainan bawaan
Kelainan bawaan pada vertebra berupa skoliosis, hemivertebra, butterfly
vertebra dan lain lain.
5. Proses degeneratif
Proses degeneratif ini sering dialami pasien dengan usia lanjut, sering
didapatkan tulang yang mengalami osteoporosis, degenerasi discus
intervertebralis, calsificasi di ligamentum longitudinalis anterior, lateral atau
posterior.
6. Nyeri pinggang
42
oblique ini membentuk gambar seekor anjing kecil yang disebut “ Scoty dog sign
“, terutama bila terjadi fraktur prosesus articularis di vertebra lumbalis.
43
Gambar 4.7. Foto vertebra thoracalis posisi AP dan Lateral
44
Gambar 4.10 Vertebra sacralis AP dan lateral
45
Expertise
Merupakan laporan tertulis yang dibuat oleh dokter ahli radiologi terhadap
keadaan foto atau pemeriksaan radiologi yang memuat diskripsi kelainan-kelainan
yang ada kemudian disimpulkan atau dibuat diagnosis.
46
disebut “ vacum phenomen”. Normal discus intervertebralis harus
sejajar satu dengan lainnya, tidak ada yang menyempit atau melebar.
6. Prosesus spinosus tidak terdapat fracture atau kelainan bawaan
misalnya spina bifida atau prosesus spinosus bercabang karena terjadi
kegagalan menyatu saat masih janin.
7. Prosesus tranversus kanan dan kiri sejajar dan normal berbentuk seperti
kapak pendek, pastikan tidak ada fracture.
8. Os Sacrum pada foto AP berbentuk segitiga dengan sisi kanan dan kiri
berbatasan dengan os ilium membentuk sendi sacroiliaca, pada posisi
lateral pastikan tidak ada fracture.
9. Kurva normal lumbosacral adalah lordosis. Pada keadaan tertentu
misalnya nyeri pinggang karean spasme otot sering didapatkan kurva
yang melurus. Apabila kurva berubah menjadi kiposis perhatikan
apakah ada fracture kompresi atau terdapat destruksis corpus vertebra.
10. Soft tissue di paravertebra. Disisi kiri dan kanan vertebra kadang-
kadang didapatkan abses di daerah musculus psoas yang memberikan
gambaran radioopaque di kiri dan kanan vertebra lumbalis akibat
adanya spondylitis tuberculosa.
47
REFERENSI
48
CHECKLIST: PEMERIKSAAN FOTO KEPALA
Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Data Umum, Teliti :
1. Nama
2. Usia
3. Jenis Kelamin
4. Tanggal pemeriksaan
II. Data Teknis mencakup
1. Perhatikan marker R atau L yang menunjukkan sisi kanan
atau kiri pasien
2. Foto kepala tidak terpotong. Batas atas vertex harus
terlihat, batas bawah simphysis menti mandibula harus
terlihat, lateral kanan dan kiri serta anterior dan posterior
kepala tidak terpotong
3. Foto lateral harus dibuat true lateral ditandai dengan
bentuk sella tursica tidak oblique serta os sphenoid dan
ramus mandibula kanan dan kiri saling tumpang tindih
atau over lapping
4. Foto AP harus simetris ditandai dengan orbita tampak
simetris
III. Memperhatikan bagian Foto
1. Tabula interna dan externa serta medulla tampak normal
rata tidak ada lesi osteolytik atau osteoblastik
2. Tulang calvaria tidak ada fraktur, atau deformitas, tidak
tampak tanda peningkatan tekanan intracranial
3. Orbita tampak simetris, tidak ada fraktur atau massa
4. Pada Foto AP Sinus frontalis, ethmoidalis dan maxillaris
kanan dan kiri normal, tampak radiolusen, bila
radioopaque kemungkinan ada cairan atau massa.
5. Os mandibula kanan dan kiri tampak simetris tidak ada
fraktur atau deformitas, tidak ada abses atau osteomyelitis.
6. Septum nasalis : perhatikan ada deviasi atau tidak
7. Pada foto lateral perhatikan sella tursica berbentuk
cekungan dengan prosessus clinoideus anterior dan
processus clinoideus posterior, dan tidak melebar
8. Vascular marking di daerah temporal berbentuk seperti
kipas
9. Os nasalis perhatikan apakah ada fraktur
10. KalsifiKasi abnormal di kepala
IV. Menyimpulkan hasil : Normal / Tidak
Keterangan
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/38x100%= ….%
Banda Aceh, ……2019
Instruktur
49
CHECKLIST: PEMERIKSAAN FOTO TULANG BELAKANG :
LUMBOSAKRAL
Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Data Umum, Teliti :
1. Nama
2. Usia
3. Jenis Kelamin
4. Tanggal pemeriksaan
II. Data Teknis mencakup
1. Perhatikan marker R atau L yang menunjukkan sisi kanan
atau kiri pasien
2. Foto lumbosacral tidak terpotong. Batas atas foto corpus
vertebra thoracalis 12 harus terlihat, batas bawah os
sacrum harus terlihat, batas lateral iliaca wing kanan dan
kiri terlihat.
3. Foto lateral harus dibuat true lateral ditandai dengan caput
femuris kanan dan kiri saling tumpang tindih atau over
lapping, corpus vertebra di anterior tidak terpotong, os
sacrum terlihat jelas dan tidak terpotong.
4. Prosesus spinosus berada di tengah pada foto AP dan di
posterior pada foto lateral.
III. Memperhatikan bagian Foto
1. Alignment tulang harus normal.
2. Corpus vertebra tampak beropasitas normal tidak
mengalami osteoporosis, tidak terdapat osteolytik atau
osteoblastik, Tidak terdapat fraktur.
3. Perhatikan pedikel kanan dan kiri harus tampak dan
simetris
4. Perhatikan prosesus spinosus berada di tengah pada foto
AP dan di posterior pada foto lateral.Perhatikan
5. Perhatikan discus intervertebralis tampak sejajar, apakah
ada penyempitan atau pelebaran.
6. Perhatikan prosesus tranversus kanan dan kiri sejajar dan
normal berbentuk seperti kapak pendek, pastikan tidak ada
fracture.
7. Perhatikan os Sacrum pada foto AP berbentuk segitiga ,
pada posisi lateral bentuk seperti perisai : fracture ada /
tidak
8. Perhatikan Kurva vertebra lumbosacral
9. Perhatikan soft tissue di paravertebra: abses paravertebra
ada/tidak
IV. Menyimpulkan hasil : Normal / Tidak
50
Keterangan
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/36x100%=…..%
Instruktur
51
V. PEMERIKSAAN FOTO EKSTREMITAS
dr. Masna Dewi Abdullah, SpRad
Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA
Tujuan belajar:
1. Mahasiswa mampu membuat permintaan foto ekstremitas
2. Mahasiswa mampu mengenali foto ekstremitas layak baca atau tidak
3. Mahasiswa mampu membaca foto ekstremitas normal
4. Mahasiswa mampu membaca foto ekstremitas abnormal
Prior Knowledge:
Sebelum mempelajari keterampilan ini, mahasiswa harus menguasai:
1. Anatomi ekstremitas
2. Kelainan (abnormality) pada ekstremitas
Pendahuluan
Pada pemeriksaan x-ray ekstremitas dapat memberikan informasi tentang :
1. Lesi tulang dan jaringan lunak sekitarnya
2. Adanya fracture
3. Asal / Sifat suatu lesi ( jinak/ganas)
4. Sebagai guide utk biopsy
5. Follow up perjalanan penyakit
Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya fraktur. Kadang perlu dilakukan
CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami
kerusakan. Jika tulang mulai membaik foto rontgen juga dapat digunakan untuk
memantau penyembuhan.
Bila secara klinis ada atau diduga ada fraktur, harus dibuat 2 foto tulang yang
bersangkutan ( rule of two ), yakni
1. Two view : proyeksi anteroposterior ( AP ) dan lateral pada tulang panjang
atau proyeksi anteroposterior ( AP ) dan obliq pada manus dan pedis. Perlu
diingat bahwa bila hanya satu proyeksi yang dibuat, ada kemungkinan fraktur
tidak dapat dilihat, dan adakalanya diperlukan proyeksi khusus.
2. Two joint : gambaran yang diperoleh harus memuat dua sendi di proksimal
dan distal fraktur
3. Two extremities : khusus pada anak dibuat gambaran foto dua ekstremitas
yaitu ektremitas yang terkena cedera dan yang tidak terkena cedera
4. Two time : sebelum dan sesudah tindakan
52
Intepretasi Foto X-Ray Pada Kasus Fraktur
Untuk membaca foto rontgen ekstremitas maka terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan tentang anatomi dari tulang .
DATA UMUM
Teliti nama, usia, jenis kelamin dan tanggal pemeriksaan.
Perhatikan keterangan klinis, karena sangat menentukan interpretasi dari foto.
DATA TEKNIS
1. Perhatikan marker R dan L yang menunjukkan ekstremitas kanan atau kiri.
2. Apakah faktor expose sudah tepat? Overexposed menyebabkan kondisi
ekstremitas menjadi hyperradioopaque sehingga menyulitkan evaluasi soft
tissue sedangkan pada kondisi underexposed menyebabkan kondisi film
menjadi kehitaman sehingga kesulitan mengevalusi pada tulang (hard
tissue).
3. Gambaran yang diperoleh harus memuat dua sendi di proksimal dan distal
fraktur.
53
A B
. 5.1 Foto Femur (A) alignment baik, (B)
Gambar . Malalignment
2. Bone (tulang)
Gambaran tulang pada foto ekstremitas selalu memperlihatkan radiopaque
dan bila diperhatikan maka radiopaque pada tulang tidak tersebar rata
tergantung dari kepadatan tulang makin padat tulang maka makin opak
gambarannya. Tepi tulang (kortek) yang keras dan padat di pinggiran tulang
terlihat lebih putih, sementara bagian tengah atau medulla lebih lucen atau
agak kehitaman. Evaluasi pada tulang meliputi penusuran dari proksimal ke
distal untuk mencari adanya diskotinuitas (terputusnya) jaringan tulang yang
merupakan gambaran fraktur atau pun adanya defek pada tulang yang
mengambarkan adanya proses lain dapat berupa neoplasma, infeksi dan lain
lain.
Gambaran kalus sering ditemukan pada foto radiologi terutama pada kasus
lama, kalus terdiri dari hard kalus dan soft kalus. Hard kalus mulai terlihat
pada minggu ke 4 sedangkan soft kalus yang dilihat berupa lintas trabekulasi
digaris fraktur terlihat pada awal minggu ke 2
3. Cartilage
Cartilage pada tulang berada di ujung distal atau proksimal yang selalu
berhadapan dengan sendi. Evaluasi pada cartilage meliputi pencarian
diskontinuitas cartilage dan adanya defek cartilage serta permukaan sendi.
Adanya diskontinuitas menandakan fraktur, adanya defek menandakan
kemungkinan neoplasma, degenaratif dan infeksi. Adanya perubahan
permukaan sendi mengambarkan proses fraktur intra artikuler, fraktur lama
atau degeneratif.
4. Soft tissue
Evaluasi pada soft tissue meliputi bagian proksimal, distal medial dan lateral
dari tulang. Pada soft tissue normal tampak gambaran radiolusen yang merata
sesuai alur tulang, sedangkan pada soft tissue yang tidak normal meliputi
swelling (pembengkakan) atau massa, gambaran ireguler dari soft tissue
menandakan kerusakan kulit dari jaringan lunak, sedangkan adanya gambaran
54
radiolusen di soft tissue menandakan adanya udara di jaringan lunak yang
sering dikaitan dengan gas ganggren dan emfisema.
KESIMPULAN :
Berdasarkan temuan pada Alignment, Bone, Cartilage dan Soft tissue ( ABCS ).
55
REFERENSI
56
CHECKLIST :PEMERIKSAAN FOTO EKSTREMITAS
Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Data umum, teliti :
1. Nama
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Tanggal pemeriksaan
II Data teknis mencakup
1. Marker L dan R sebagai pertanda kiri atau kanan
2. Ketepatan tehnik Pengambilan meliputi proyeksi
AP, Lat, Oblique,
tampak 2 sendi proksimal dan distal tidak ada
bagian yang terpotong .
3. Kondisi foto : dapat membedakan tulang dengan
jaringan lunak
III Memperhatikan bagian foto
1.Alignment (kesegarisan) menilai gambaran
perubahan ekstremitas dari kesegarisan sesuai
keadaan normalnya. Perubahan Alignment yang
terlihat difoto secara klinis dikenal dengan
deformitas
2. Bone (tulang), memperhatikan kontinuitas dan
defek tulang dari mulai kortex proksimal ke distal
dilanjutkan medulla mulai dari proksimal ke distal
Perhatikan adanya kemungkinan gambaran kalus
(pada fraktur lama) atau gambaran lintasan
trabekulasi yang menandakan adanya soft kalus
3. Cartilage (Tulang rawan) perhatikan perubahan
yang terjadi pada tulang rawan yang terdapat
diproksimal dan distal ekstremitas tersebut berupa
kontinuitas tulang dan defect yang mungkin di
temukan
4. Soft tissue atau jaringan lunak diperhatikan dari
proksimal ke distal melihat apakah ada oedema
atau tidak, selanjutnya apakah ada gambaran gas
(bayangan radiolucent) atau kalsifikasi (gambaran
radioopague) pada soft tissue dan sebagainya.
5. Buat kesimpulan akhir berdasarkan temuan pada
alignment, bone, cartilage dan soft tissue (ABCS)
IV Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan follow
up lebih lanjut.
Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total//26x100%= ....%
Banda Aceh,…..2019
Instruktur
57
VI. PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGN DAN LOWBACK PAIN
Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu melakukan Meningeal Sign
2. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan Meningeal Sign
3. Mahasiswa mampu melakukan dan menginterpretasikan pemeriksaan tes
motorik dan pemeriksaan neurologis pada kasus low back pain
A. Kaku Kuduk
Sebelum dilakukan fleksi leher, maka terlebih dahulu dilakukan fleksi lateral.
Hal ini menunjukkan kekakuan leher akibat proses lokal di leher, seperti
fraktur leher, infeksi paraspinal, dan arthritis akut pada leher. Pada proses
lokal biasanya fleksi lateral akan tertahan karena nyeri yang timbul,
sebaliknya pada meningitis fleksi lateral masih mudah dilakukan, tetapi fleksi
leher mengalami tahanan karena nyeri yang timbul.
58
C. Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya
pada persendian panggul sampai membuat sudut 900. Setelah itu, tungkai
bawah diekstensikan pada persendian lutut.Orang normal dapat melakukan
ekstensi ini sampai sudut 1350 antara tungkai bawah dan tungkai di atasnya.
Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka
dikatakan tanda Kernig positif. Pada meningitis biasanya Kernig sign
ditemukan pada kedua tungkai, sedangkan pada HNP lumbal Kernig sign
unilateral.
Selain meningeal signs diatas, Lasegue sign juga dapat menunjukkan adanya
meningitis. Biasanya Lasegue digunakan pada pemeriksaan Hernia Nucleosus
Pulposus (HNP). Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan kondisi berbaring
dengan kedua kaki ekstensi. Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan
(fleksi) pada sendi panggulnya.Tungkai yang satu lagiharus selalu berada dalam
keadaan lurus. Pada keadaan normal,tungkai dapat mencapai sudut 700, sebelum
timbul rasa sakit atau tahanan. Lasegue sign jika terdapat tahanan/nyeri sebelum
mencapai sudut 700, biasanya pada kondisi HNP, meningitis, iskhialgia.
59
sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke
dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga
menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.
Low back pain (LBP) / nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang cukup
sering muncul di pelayanan kesehatan. Low back pain disebabkan oleh berbagai
hal. Sebab terbanyak kasus low back pain meliputi trauma muskuloskeletal,
penyakit degeneratif, hernia nukleus pulposus (HNP), dan stenosis spinalis.
Penyebab lain yang dapat mengakibatkan low back pain yaitu keganasan, infeksi
tulang belakang, spondilitis dan nyeri alih dari organ-organ viseral. Penegakan
diagnosis pada kasus LBP memerlukan pemeriksaan yang sistematis. Anamnesis
dan pemeriksaan fisik merupakan langkah awal yang sangat menentukan ketepatan
penegakan diagnosis pada pasien LBP.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan fisik untuk menegakkan
diagnosis LBP antara lain :
60
1. Inspeksi tulang belakang : mengamati ada/tidaknya ketidaknormalan
kurvatura vertebrae.
2. Observasi cara berjalan pasien : diamati pada saat berjalan
3. Observasi posisi duduk pasien
4. Palpasi / perkusi vertebra
5. Range of motion
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan fisik diatas, dapat dilakukan beberapa tes
yang dapat membantu mengarahkan diagnosis nyeri punggung bawah:
1. Tes Patrick
Penderita posisi terlentang, tumit atau maleolus externus tungkai yang sakit
diletakkan diatas lutut tungkai yang lain ( fleksi, abduki, eksorotasi) kemudian
dilakukan penekanan pada lutut yang difleksikan tersebut. Hasil positif apabila
nyeri pada sendi panggul yang terkena penyakit
61
3. Tes Laseque
Angkat tungkai pasien dalam keadaan lurus. Untuk menjamin lurusnya tungkai
maka tangan si pemeriksa yang satu mengangkat tungkai dengan memegang
pada tumit pasien, sedangkan tangan lain pemeriksa memegang serta menekan
pada lutut pasien. Fleksi pasif tungkai dalam keadaan lurus di sendi panggul
menimbulkan peregangan nervus ischiadikus. Apabila salah satu radiks yang
menyusun nervus ischiadikus mengalami penekanan, pembentangan dan
sebagainya karena HNP atau tumor kanalis vertebralis maka tes laseque
membangkitkan nyeri yang berpangkal pada radiks yang terkena dan menjalar
sepanjang perjalanan perifer ischiadikus.
62
REFERENSI
63
CHECKLIST :PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGNS DAN
LOW BACK PAIN
Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I. Persiapan :
a. Memberi salam dan memperkenalkan diri kepada
pasien/keluarga
b. Memberi penjelasan dengan benar, jelas dan
lengkap tentang prosedur dan tujuan pemeriksaan
c. Meminta izin kepada pasien/keluarganya dan
mencuci tangan
II PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGN
a. Kaku kuduk dan Brudzinksi I
- Memposisikan pasien dalam keadaan
berbaring terlentang
- Menempatkan tangan kanan pemeriksa di
dada pasien untuk mencegah terangkatnya
badan
- Kepala pasien difleksikan sampai dagu
mencapai dada, dengan menggunakan tangan
kiri
- Kaku kuduk jika ada tahanan pada leher saat
fleksi
- Brudzinski I jika timbul fleksi involunter pada
kedua tungkai
b. Kernig Sign
- Memposisikan pasien dalam keadaan
berbaring terlentang
- Memposisikan tungkai bawah pasien dalam
keadaan fleksi pada sendi panggul dan lutut
- Mengekstensikan tungkai bawah kanan pada
persendian lutut sampai kira-kira
sudut1350sambil menanyakan ada tidaknya
nyeri pada pasien
-
Kernig sign jika adanya nyeri dan tahanan
saat ekstensi sebelum mencapai sudut 1350
c. Brudzinski II
- Memposisikan pasien dalam keadaan
berbaring terlentang
- Memposisikan tungkai bawah pasien dalam
keadaan fleksi pada sendi panggul dan lutut
- Brudzinski II jika ada fleksi pada sendi lutut
kontralateral
Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan
follow up lebih lanjut
64
ada/tidaknya ketidaknormalan kurvatura vertebre
b. Observasi cara berjalan pasien : diamati pada saat
berjalan
c. Observasi posisi duduk pasien
d. Palpasi / perkusi vertebra
e. Pemeriksaan range of motion, tanyakan keluhan:
Saat fleksi/membungkuk ke depan
Ekstensi tubuh ke belakang
Rotasi pinggang ke kiri dan ke kanan
f. Meminta penderita berbaring
g. MelakukanTes Laseque
- Angkat tungkai pasien dalam keadaan lurus.
- Tangan si pemeriksa yang satu mengangkat
tungkai dengan memegang pada tumit pasien,
sedangkan tangan yang lain memegang serta
menekan pada lutut pasien
- Tes laseque membangkitkan nyeri yang
berpangkal pada radiks yang terkena dan
menjalar sepanjang perjalanan perifer
ischiadikus
h. Melakukan Tes Patrick
- Penderita posisi terlentang, tumit atau
maleolus externus tungkai yang sakit
diletakkan diatas lutut tungkai yang lain
(fleksi, abduksi, eksorotasi) kemudian
dilakukan penekanan pada lutut yang
difleksikan tersebut.
- Hasil positif apabila nyeri pada sendi
panggul yang terkena penyakit
i. MelakukanTes Kontrapatrick
- Penderita terlentang, tungkai yang sakit
dilipat, endorotasi dan adduksi kemudian
dilakukan penekanan pada lutut tungkai
tersebut sejenak
- Hasil positif apabila nyeri pada sendi
sacroiliaka.
Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan
follow up lebih lanjut
Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Banda Aceh……..2019
Instruktur
65
VII. SIRKUMSISI
Tujuan belajar :
Mahasiswa mampu melakukan tindakan sirkumsisi secara sistematis dan benar
Prior Knowledge:
- Anatomi genetalia laki-laki
- Fisiologi genetalia laki-laki
- Ketrampilan anamnesis dan pemeriksaan genetalia laki-laki
- Ketrampilan teknik anestesi lokal
- Ketrampilan penggunaan instrumen bedah minor, wound care dan wound
closure
Pendahuluan
Definisi :
Sirkumsisi (khitan, sunat) adalah suatu tindakan bedah membuang sebagian atau
seluruh preputium penis dengan tujuan tertentu hingga seluruh gland penis dan
corona gland penis terlihat jelas.
Indikasi Sirkumsisi
a. Agama
b. Sosial
c. Medis :
- Kondiloma akuminata
- Kelainan-kelainan lain yang terbatas pada preputium.
66
Scrotum
(didalamny
a terdapat
testis)
Gland Penis
Meatus uretha
Preputium (menutupi eksterna (normalnya
gland penis berada di ujung penis)
Manfaat Sirkumsisi :
- Mudah menjaga kebersihan kelamin
- Mengurangi resiko terjadinya infeksi saluran kemih
- Mencegah inflamasi gland (balanitis) dan preputium (posthitis)
- Mencegah berkembangnya scar di preputium yang dapat menyebabkan
terjadinya phimosis dan parafimosis
- Mengurangi resiko terjadinya beberapa penyakit menular seksual terutama
penyakit ulseratif seperti chancroid dan syphilis
- Mengurangi resiko terjadinya kanker penile
Resiko
Sebagai tindakan bedah, terdapat beberapa resiko yang dapat terjadi pada tindakan
sirkumsisi. Manfaat dari sirkumsisi cenderung akan terjadi dalam jangka waktu
yang lama, namun resiko pada sirkumsisi cerara umum terjadi ketika tindakan
atau segera setelah tindakan. Adapun beberapa resiko yang dapat terjadi yaitu :
- Nyeri
- Perdarahan
- Haematoma (kumpulan darah di bawah kulit)
- Infeksi di tempat dilakukannya sirkumsisi
- Meningkatnya sensitifitas gland penis selama beberapa bulan pertama
setelah sirkumsisi
- Iritasi gland penis
- Meatitis (inflamasi di meatus uretha eksterna)
- Trauma pada penis
Komplikasi ini jarang terjadi ketika sirkumsisi dilakukan oleh seseorang yang
terlatih, baik dilatih, peralatan yang memadai, tenaga kesehatan yang
berpengalaman. Apabila terjadi, biasanya mudah dan cepat teratasi.
Pemeriksaan Fisik
Sebelum melakukan tindakan sirkumsisi, petugas kesehatan harus melakukan
pemeriksaan fisik. Ketika melakukan pemeriksaan penis, retraksikan preputium
67
dan inspeksi gland. Meatus urethrae eksterna seharusnya berada diujung gland dan
tidak terdapat scar serta penyakit lainnya. Preputium normalnya mudah
diretraksikan dan tidak mengalami inflamasi. Jika penis, gland, meatus, dan
preputium terlihat sehat, maka tindakan sirkumsisi dapat dilakukan di klinik biasa.
Kontraindikasi
a. Kontraindikasi Mutlak
1. Kelainan Anatomi Penis,
Laki-laki dengan meatus uretra eksterna berada di bagian ventral penis
(hypospadi) atau di bagian dorsal penis (epispadi) tidak boleh disirkumsisi
karena preputiumnya akan dipakai dalam tindakan operasi. Pasien harus
dirujuk kepada spesialis.
2. Parafimosis kronik
Preputium berada dalam kondisi retraksi permanen, preputium tampak
menebal dan bengkak. Biasanya pasien menyampaikan bahwa hal ini sudah
lama terjadi.
4. Urethral discharge.
Hal ini harus diterapi terlebih dahulu sampai sembuh baru boleh
disirkumsisi.
7. Kelainan Darah
Contohnya haemophilia. Pasien dengan kelainan darah harus dirujuk ke
fasilitas yang lebih tinggi karena dibutuhkan tatalaksana preoperative dan
persiapan obat-obatan sebelum tindakan.
b. Kontraindikasi Relatif
Terdapat beberapa kontraindikasi relatif pada sirkumsisi. Pada kondisi ini
sirkumsisi dapat dilakukan tergantung pengalaman petugas kesehatan.
68
1. Phimosis.
Pada kasus ini preputium tidak dapat diretraksikan ke belakang. Jika
terdapat riwayat keluar pus/discharge dari penis atau infeksi berulang
(balanitis), atau perlengketan yang sangat kuat antara gland dan preputium,
maka pasien sebaiknya dirujuk ke spesialis.
2. Terdapat scar di frenulum
3. Kadang-kadang dapat terjadi cedera berulang pada frenulum, hal ini dapat
menimbulkan jaringan scar di area frenulum dan menyebabkan proses
sirkumsisi yang yang sulit dan penyembuhan yang lambat.
4. Balanitis xerotica obliterans.
Merupakan keadaan dimana plak dari jaringan scar meluas sampai ke
permukaan gland dan melibatkan meatus uretra eksterna dan preputium.
Hal ini biasa disebut dengan istilah lichen planus et atrophicu.
5. Keadaan abnormal genetalia yang lain.
Contohnya hidrokel yang menyebabkan pembengkakan scrotum. Pada
kondisi seperti ini pasien sebaiknya dirujuk ke spesialis.
Metode Sirkumsisi
Terdapat tiga metode yang umum dalam sirkumsisi yaitu:
A. Dorsal Slit Circumcision
B. Sleeve Type Circumcision
C. Guillotine/Forcep-guide Type Circumcision
69
TEKNIK DORSAL SLIT
Gambar 7.3 Dorsal Slit Sircumsition. A. Menegangkan kulit, B. memasang klem arteri, C.
Memotong kulit di dorsal sampai corona, D. memotong mengikuti corona, E. Merapikan mukosa
70
TEKNIK SLEEVE
Gambar 7.4 Sleeve Type Sircumsition. A dan B memberi garis tanda luar, C. memberi garis tanda
dalam, D dan E insisi kulit di garis tanda dalam dan luar. F. Diseksi kulit diantara tanda
71
TEHNIK GUILLOTIN (KLASIK)
Gambar 7.5 Gullotin Type Circumsition. A. Forcep digunakan agar tidak mengenai gland, B.
Memotong kulit di atas forcep, C dan D mengendalikan perdarahan dengan klem artery dan
menjahit pembuluh darah, E. membuat jahitan matras antara kulit dan frenulum, F. Menjahit
sekeliling
72
REFERENSI
73
CHECKLIST :SIRKUMSISI
74
- Observasi perdarahan (bila ada perdarahan,
klem arteri/vena dengan klem arteri, ligasi
dengan jahitan melingkar)
- Menjahit kulit dan mukosa secara simple
interupted atau jelujur dengan plain cat gut 3/0 ,
dimulai dengan jahit 8 di daerah frenulum, lalu
di jam 12, 10, 2, 8, 4 dan memastikan kulit dan
mukosa terjahit dan tidak ada bagian yang
terbuka
- Memperhatikan kesimetrisan penis → jangan
terputar
- Memasang tulle dengan antibiotik secara
melingkar lalu perban dengan kasa steril dan
plaster
B GUILLOTINE TYPE CIRCUMCISION
- Kulit preputium dijepit dengan klem diarah jam
6 dan jam 12
- Menjepit preputium dengan klem lurus dari
dorsal ke ventral di ujung glans penis dengan
miring ke proksimal di bagian dorsal.
- Memotong preputium di atas klem dengan
gunting.
- Observasi perdarahan (bila ada perdarahan,
klem arteri/vena dengan klem arteri, ligasi
dengan jahitan melingkar)
- Menjahit kulit dan mukosa secara simple
interupted atau jelujur dengan benang plain cat
gut 3/0, dimulai dengan jahit 8 di daerah
frenulum, lalu di jam 12, 10, 2, 8, 4 dan
memastikan kulit dan mukosa terjahit dan tidak
ada bagian yang terbuka
- Mengoleskan salap antibiotik/ tulle di daerah
jahitan
- Memasang perban dengan kasa steril dan
plaster
4 Membuka duk lubang steril
5 Membersihkan daerah genetalia dan sekitarnya
dengan NaCl 0,9%
6 Melepas sarung tangan
7 Mencuci tangan secara secara aseptik
8 Memberikan obat dan edukasi pasien dan atau
keluarga pasien
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tapi kurang sempurna
2 = Dilakukan sempurna
Banda Aceh,……..2019
Instruktur
75
VII. PUNKSI SUPRA PUBIK
Dr.dr. Jufriady Ismy, Sp.U1
dr. Reza Maulana, M.Si2
Bagian Ilmu Bedah Divisi Urologi
Bagian Anatomi Histologi
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA
Tujuan belajar:
Mahasiswa mampu melakukan tindakan punksi supra pubik secara sistematis dan
benar
Prior Knowledge:
- Anatomi genetalia laki-laki
- Fisiologi genetalia laki-laki
- Ketrampilan anamnesis dan pemeriksaan genetalia laki-laki
- Ketrampilan teknik anestesi lokal
- Ketrampilan penggunaan instrumen bedah minor, wound care dan wound
closure
Pendahuluan
Punksi supra pubik (aspirasi supra pubik) merupakan salah satu tindakan yang
biasa dilakukan ketika membutuhkan sampel urine yang tidak terkontaminasi.
Selain itu tindakan ini juga dilakukan untuk mengeluarkan (diversi) urin pada
kasus retensi urin, dimana pada saat gagalnya pemasangan kateter urethra tetapi
tidak mempunyai perlengkapan untuk melakukan tindakan Cystostomy per cutan.
Tindakan ini pertama kali diperkenalkan oleh Huze dan Beeson pada tahun 1956
sebagai alternative untuk mengambil sampel urin untuk urinalisis dan kultur urin.
Overview Anatomi
peritoneum
76
Kandung kemih orang dewasa terletak retro pubik dan ekstraperitoneal. Kandung
kemih dipisahkan dari simfisis pubis oleh rongga prevesical anterior yang dikenal
sebagai rongga retropubik (spatium Retzius). Dome kandung kemih dilapisi oleh
peritoneum.Pada anak, letak kandung kemih berada intra abdominal.
Kontra Indikasi :
1. Kandung kemih yang kosong atau tidak dapat di identifikasi (misalnya
terlalu gemuk)
2. Tumor kandung kemih
3. Banyak luka atau Scar operasi
4. Cellulitis supra pubik
Komplikasi yang timbul biasanya sangat jarang, tetapi apabila terjadi, adalah
sebagai berikut:
Perforasi peritoneum dengan atau tanpa perforasi usus
Infeksi (intra abdominal, kandung kemih, kulit atau soft tissue)
Hematuria mikroskopik ( gross hematuria jarang)
Ketidakmampuan untuk mengaspirasi urin
77
5. Spuit 10 cc atau spinal needle 16 F atau abocath infus ukuran terbesar,
untuk aspirasi
6. Anastesi lokal (lidokain 1% atau 2%)
78
REFERENSI
1. Stine RJ, Avila JA, Lemons MF, et al. Diagnostic and therapeutic urologic procedures.
Emerg Med Clin North Am. 1988 Aug. 6(3):547-78. [Medline].
2. Beeson PB, Guze LB. Observations on the reliability and safety of bladder
catheterization for bacteriologic study of the urine. N Engl J Med. 1956 Sep 6.
255(10):474-5. [Medline].
3. Hardy JD, Furnell PM, Brumfitt W. Comparison of sterile bag, clean catch and
suprapubic aspiration in the diagnosis of urinary infection in early childhood. Br J
Urol. 1976 Aug. 48(4):279-83. [Medline].
4. Selius BA, Subedi R. Urinary retention in adults: diagnosis and initial management.
Am Fam Physician. 2008 Mar 1. 77(5):643-50. [Medline].
5. Sastre JB, Aparicio AR, Cotallo GD, Colomer BF, Hernández MC. Urinary tract
infection in the newborn: clinical and radio imaging studies. Pediatr Nephrol. 2007
Oct. 22(10):1735-41. [Medline].
6. Wingerter S, Bachur R. Risk factors for contamination of catheterized urine specimens
in febrile children. Pediatr Emerg Care. 2011 Jan. 27(1):1-4. [Medline].
7. Simforoosh N, Tabibi A, Khalili SA, Soltani MH, Afjehi A, Aalami F, et al. Neonatal
circumcision reduces the incidence of asymptomatic urinary tract infection: A large
prospective study with long-term follow up using Plastibell. J Pediatr Urol. 2010 Nov
4. [Medline].
8. Villanueva C, Hemstreet GP 3rd. Difficult male urethral catheterization: a review of
different approaches. Int Braz J Urol. 2008 Jul-Aug. 34(4):401-11; discussion 412.
[Medline].
9. Robinson J. Insertion, care and management of suprapubic catheters. Nurs Stand. 2008
Oct 29-Nov 4. 23(8):49-56; quiz 58. [Medline].
10. Gochman RF, Karasic RB, Heller MB. Use of portable ultrasound to assist urine
collection by suprapubic aspiration. Ann Emerg Med. 1991 Jun. 20(6):631-5.
[Medline].
11. Noller KL, Pratt JH, Symmonds RE. Bowel perforation with suprapubic cystostomy
Report of two cases. Obstet Gynecol. 1976 Jul. 48(1 Suppl):67S-69S. [Medline].
12. O’Brien WM. Percutaneous placement of a suprapubic tube with peel away sheath
introducer. J Urol. 1991 May. 145(5):1015-6. [Medline].
13. Promes SB. Miscellaneous Applications. Simon BC, Snoey ER. Ultrasound in
Emergency and Ambulatory Medicine. St. Louis, MO: Mosby, Inc; 1997. 256-261.
14. Schneider RE. Urologic Procedures. Robert JR, Hedges JR. Clinical Procedures in
Emergency Medicine. 4th ed. Philadelphia, PA: W.B. Saunders Co; 2004. 6(3): 1098-
1100.
15. Moustaki M, Stefos E, Malliou C, Fretzayas A. Complications of suprapubic
aspiration in transiently neutropenic children. Pediatr Emerg Care. 2007 Nov.
23(11):823-5. [Medline].
16. Vilke GM. Bladder Aspiration. Rosen P. Atlas of Emergency Procedures. St. Louis,
MO: Mosby, Inc; 2001. 130-131.
17. Shidan Tosif, Alice Baker, Ed Oakley, Susan Donath and Franz E Babl.
Contamination rates of different urine collection methods for the diagnosis of urinary
tract infections in young children: An observational cohort study. Journal of
Paediatrics and Child Health. 2012. 48:659–664. [Medline].
18. Badiee Z, Sadeghnia A, Zarean N. Suprapubic Bladder Aspiration or Urethral
Catheterization: Which is More Painful in Uncircumcised Male Newborns?. Int J Prev
Med. 2014 Sep. 5(9):1125-30. [Medline]. [Full Text].
79
CHECKLIST: PUNKSI SUPRAPUBIK
Keterangan :
1 = Tidak dilakukan
2 = Dilakukan tidak sempurna
3 = Dilakukan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/22x100%=…%
Instruktur
80
VIII. CHEST TUBE /WATER SEAL DRAINAGE
dr. Yopie Afriandi Habibie, SpBTKV-E, FIHA, FICS, FACS
Bagian Ilmu Bedah Divisi Toraks Kardiovaskuler
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA
Tujuan Belajar
Mahasiswa mampu melakukan tindakan chest tube dan water seal drainage
(WSD) pada manekin secara sistematis dan benar.
Prior Knowledge :
Ketrampilan pemeriksaan fisik toraks
Ketrampilan melakukan diagnosis pada kelainan penyakit di rongga dada
akibat trauma ataupun non trauma
Pendahuluan
Pengertian
Chest Tube adalah pipa berongga, fleksibel yang diinsersikan ke dalam rongga
dada yang berfungsi sebagai saluran pembuangan. Merupakan tindakan invasif
untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus, chylus) dari rongga intra pleura
(rongga toraks) dan mediastinum. Apakah akumulasi udara, cairan di cavum intra
pleura adalah hasil akibat trauma toraks yang cepat terisi dengan udara atau darah
atau cairan eksudatif ganas yang berbahaya, tindakan insersi chest tube
memungkinkan drainase volume besar secara terus menerus sampai kondisi
patologi yang mendasarinya dapat ditangani secara lebih komprehensif.
Pipa berongga (chest tube) tadi dihubungkan ke suatu botol penampung yang
berisi air, memiliki tekanan negatif dan mencegah terjadinya aliran balik dari
botol penampung ke dalam rongga intra pleura yang disebut dengan Water Seal
Drainage (WSD).
Tujuan
Tujuan dilakukan insersi chest tube & water seal drainage adalah :
1. Memungkinkan cairan ( darah, cairan, pus ) keluar dari ruang intra pleura
2. Memungkinkan udara keluar dari ruang intra pleura
3. Mencegah udara masuk kembali (terhisap) ke ruang intra pleura
4. Mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura
5. Mengembangkan kembali paru yang kolaps
6. Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
Indikasi
Indikasi dari insersi chest tube & water seal drainage adalah :
1. Pneumothoraks : adanya udara dalam rongga intra pleura
a. Spontan oleh karena rupture peribronkhial bleb atau alveoli
b. Luka tusuk tembus dinding dada
81
c. Fistel bronkhopleura akibat ruptur cavitas pada pasien infeksi TB
d. Laserasi pleura visceral
82
5 cm. Cairan ini memberikan batasan antara tekanan atmosfer dengan tekanan
subatmosfer (normal 754-758 mmHg). Selang yang terendam 3-5 cm itu
menghasilkan tekanan positif sebesar 1,5 mmHg semakin dalam selang water seal
terendam air semakin besar tekanan positif yang dihasilkan. Pada saat expirasi,
tekanan pleura lebih positif sehingga udara dan air dari rongga pleura begerak
masuk ke botol. Pada saat inspirasi tekanan pleura lebih negatif sehingga water
seal mencegah udara atmosfer masuk ke rongga pleura.
83
Jenis-jenis Water Sealed Drainage (WSD)
84
Keuntungan WSD dengan sistem 1 botol
1) Penyusunan sederhana.
2) Memudahkan untuk pasien melakukan mobilisasi.
Kerugian WSD dengan sistem 1 botol
1) Saat drainase dada mengisi botol lebih banyak kekuatan diperlukan untuk
memungkinkan udara dan cairan pleural untuk keluar dari dada masuk ke
botol.
2) Campuran darah drainase dan udara menimbulkan campuran busa dalam
botol yang membatasi garis permukaan drainase.
3) Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan
botol.
85
2) Memungkinkan observasi dan pengukuran drainase yang lebih baik.
86
d. Sistem WSD sekali pakai ( Pleurevac)
Sistem tiga ruang yang memiliki ruang drainase, water seal dan suction yang
terpisah. Banyak fasilitas kesehatan menggunakan drainase pleurevac sebagai
ganti sistem 3 botol.
b. Persiapan pasien
1) Siapkan pasien
2) Memberi penjelasan kepada pasien mencakup : Tujuan tindakan, posisi
tubuh saat tindakan dan selama terpasang Chest tube & WSD, posisi pasien
dapat duduk atau berbaring, upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan
nyeri seperti nafas dalam distraksi, latihan rentang sendi (ROM) pada
sendi bahu sisi yang terkena.
c. Persiapan alat
1) Sistem drainage tertutup
2) Motor suction
87
3) Selang/pipa penghubung steril
4) Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, pisau jaringan/blade
no. 11, chest tube, cairan anti septic, benang silk 1-0 dan jarumnya, duk
bolong steril, sarung tangan steril, spuit 10cc dan 50cc, kassa steril, NaCl
0,9%, konektor, set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker
d. Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat
dilaksanakan dengan baik, dan perawat memberikan dukungan moril pada pasien.
1. Tindakan dikerjakan setelah mendapatkan persetujuan (informed consent)
dari pasien atau perwakilan pasien, kecuali pada kasus emergensi untuk life
saving dapat dikerjakan segera. Pasang sistem drainase dan sambungkan ke
sumber penghisap. Munculnya gelembung di ruang air adalah tanda bahwa
perangkat drainase tabung dada berfungsi dengan baik.
88
keduanya ke dalam jarum suntik
menegaskan bahwa jarum
memasuki rongga pleura.
89
6. Palpasi saluran (track) dengan jari
seperti yang ditunjukkan pada
gambar, dan pastikan saluran
(track) berakhir di batas atas
tulang rusuk di atas sayatan kulit.
Insersi chest tube sedekat mungkin
dengan batas atas tulang rusuk akan
meminimalkan risiko cedera pada
saraf dan pembuluh darah yang
mengikuti batas bawah setiap
tulang rusuk.
Gunakan jari yang steril dan bersarung
tangan, putar jari 360º untuk merasakan
jaringan paru-paru dan kemungkinan adhesi,
seperti yang ditunjukkan pada gambar di
samping ini.
7. Ukur jarak antara sayatan kulit dan puncak paru-paru untuk memperkirakan
seberapa jauh chest tube harus dimasukkan. Jika diinginkan, letakkan
penjepit di atas tabung untuk menandai perkiraan panjang. Beberapa lebih
suka menjepit chest tube pada titik yang jauh, mengingat panjang yang
diperkirakan. Pegang ujung proksimal (fenestrasi) dari tabung dada dengan
penjepit Kelly yang besar dan masukkan melalui saluran dan ke dalam
rongga dada seperti yang ditunjukkan pada gambar.
Ujung proksimal chest tube dijepit dengan klem Kelly yang digunakan untuk
memandu chest tube melalui track nya. Ujung distal tabung dada harus selalu
dijepit sampai terhubung ke perangkat drainase.
90
8. Lepaskan klem Kelly dan lanjutkan mendorong chest tube ke arah cranio-
posterior. Pastikan bahwa semua lubang fenestrasi dalam tabung dada
berada di dalam rongga dada. Hubungkan chest tube ke perangkat drainase
(WSD) seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Lepaskan
penjepit silang yang ada di chest tube hanya setelah tabung dada terhubung
ke perangkat drainase (WSD).
91
10. Teknik penjahitan pure string ini
memastikan penutupan sayatan kulit
yang ketat dan mencegah
pergerakan rutin pasien dari lepas
nya chest tube. Setiap jahitan harus
diikat erat ke kulit, kemudian
dililitkan erat di sekitar tabung dada
beberapa kali untuk menyebabkan
sedikit lekukan, dan kemudian
diikat lagi. Simpul terakhir
merupakan simpul hidup.
Tempatkan vaselin antibiotik
(misalnya, Softratulle) di atas
sayatan kulit seperti yang
ditunjukkan.
92
13. Dapatkan rontgen dada, seperti yang
di bawah ini, untuk memastikan
penempatan tabung dada yang benar
2. Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar
3. Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang
telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 3-5 cm di bawah air
4. Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD tiap jam untuk
mengetahui jumlah cairan yang keluar
5. Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama
6. Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan
7. Anjurkan pasien memilih posisi yang nyaman dengan memperhatikan
jangan sampai selang terlipat
8. Anjurkan pasien untuk memegang selang apabila akan merubah posisi
tubuh
9. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
10. Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan
yang dibuang
11. Lakukan pemijatan (milking) pada selang untuk melancarkan aliran
12. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis,
emphysema subkutan
13. Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk
efektif
14. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh
15. Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD
16. Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan
latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
93
Perawatan WSD
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya selang chest tube.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya selang chest tube, dan penggantian
verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian
masuknya selang chest tube dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh
pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya selang chest tube. Untuk rasa sakit
yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan
dalam 1 jam melebihi 5 cc/kg/jam, harus dilakukan tindakan torakotomi
emergensi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara
bersamaan keadaan pernapasan.
94
atau alat rusak, atau lubang selang tertutup oleh karena perlekatan di dinding
paru-paru.
95
16) Kembalikan pasien pada posisi yang nyaman. Bereskan alat-alat.
96
Kehilangan volume yang besar dapat menyebabkan hipovolemi. Penurunan atau
tidak adanya drainase dengan kondisi distress respiratory mengindikasikan adanya
sumbatan. Penurunan atau tidak adanya drainase tanpa distress respiratory
mengindikasikan paru sudah mengembang kembali.
g. Beri tanda atau batas drainase pada sisi luar tabung pengumpul setiap jam,
sebagai acuan untuk pengukuran selanjutnya. Drainase secara bertahap berubah
dari warna darah ke warna pink kemudian warna merah kecoklatan. Aliran yang
tiba-tiba dan warna darah yang merah pekat terjadi karena perubahan posisi yang
sering berupa darah yang lama yang dapat keluar ke selang dada. Laporkan bila
drainase lebih dari 200 ml/jam, penurunan atau tidak ada drainase secara tiba-tiba,
perubahan karakteristik dari drainase.
h. Pertahankan posisi selang dada
Tempatkan selang secara harizontal di tempat tidur dan ke arah bawah ke tabung
WSD. Akumulasi drainase pada selang yang terjepit menghambat drainase ke
sistem botol WSD dan meningkatkan tekanan paru, berikan area yang cukup
untuk pergerakkan pasien.
i. Selalu tempatkan sistem WSD lebih rendah dari dada pada posisi vertikal untuk
mencegah aliran balik cairan ke rongga pleura.
j. Cek level cairan pada water seal atau cairan pada control suction yang bisa
berkurang karena evaporasi, dan isi ulang sesuai batas yang dianjurkan.
k. Kolaborasi dalam pemberian analgetik untuk mengontrol rasa sakit, karena rasa
sakit bisa mempengaruhi keefektifan pernafasan.
l. Kaji daerah tusukan dan kulit sekitar daerah tusukan akan adanya subcutaneous
air dan tanda-tanda infeksi atau inflamasi dengan mengganti balutan setiap hari.
97
98
CHEK LIST : CHEST TUBE & WSD
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
I. PERSIAPAN PRE OPERASI
1. Melakukan informed consent pada pasien dan atau keluarga
tentang indikasi tindakan
2. Mengevaluasi hasil pemeriksaan Laboratorium dan
pemeriksaan imaging Rontgen Toraks PA
3. Menyiapkan alat dan bahan
4. Memasang iv line untuk cairan infus dan darah (jika
diperlukan)
5. Memberikan iv. Antibiotik profilaksis 30 menit sebelum
tindakan
6. Operator mencuci tangan dengan cairan antiseptik dan
sabun terlebih dahulu pada air kran mengalir
7. Operator memakai baju jas dan hand scoen steril
II. PERSIAPAN LOKAL DAERAH OPERASI
1. Penderita diatur dalam keadaan kondisi ½ duduk (45°)
2. Lakukan desinfeksi, tindakan a dan antiseptik dengan
larutan povidon iodine di daerah operasi.
3. Lapangan operasi dibatasi dengan duk linen steril
4. Dilakukan infiltrasi anastesi lokal pada daerah operasi
dengan Lidocain 2% pada daerah kulit sampai intercostal
space.
III. TINDAKAN OPERASI
1. Lokasi insersi chest tube di linea mid axillaris anterior ICS 5
hemitoraks dextra/sinistra.
2. Dilakukan insisi kulit dengan blade no. 11 sampai jaringan
dibawah kulit
3. Dengan bantuan klem mosquito, dilakukan diseksi tumpul
jaringan di bawah kulit sampai menembus otot dan inter
costal space, hingga tembus rongga intra pleura dengan
mendengar suaran hisapan pleura parietal sudah terbuka.
4. Jari telunjuk dimasukkan melalui track yang sudah dibuat
sebelumnya sampai menembus cavum intra pleura.
5. Ujung selang chest tube dijepit dengan bantuan klem
bengkok, lalu dimasukkan melalui lubang insisi ke cavum
intra pleura, menuju ke arah cranio posterior
6. Selang chest tube kemudian didorong masuk sambil diputar
sedikit demi sedikit
7. Setelah selang chest tube berada di posisi nya, dilanjutkan
denga fiksasi chest tube di kulit dengan benan Silk 1-0,
pengikat berputar ganda yang diakhiri dengan simpul hidup.
8. Selang chest tube di klem terlebih dahulu sebelum
disambungkan ke pipa botol WSD.
99
9. Selang chest tube kemudian disambungkan ke botol WSD
untuk mendrainage cairan/udara dari cavum intra pleura
10. Evaluasi undulasi, produksi dan buble di botol WSD.
11. Luka operasi ditutup dengan kassa steril
12. Lakukan pemeriksaan Roentgen Toraks untuk evaluasi
posisi dan penempatan chest tube
IV. PERAWATAN PASCA BEDAH
1. Komplikasi dan penanganannya
2. Pengawasan terhadap ABC
3. Perawatan luka operasi
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan, namun tidak sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Instruktur,
( )
100
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR OPERASI
PEMASANGAN PIPA INTRATORAKAL/
WATER SEAL DRAINASE (WSD)
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar prosedur operasi dikerjakan dikerjakan
PERSIAPAN PRE OPERASI
1 Informed consent
2 Laboratorium
3 Pemeriksaan tambahan
4 Antibiotik propilaksis
5 Cairan dan Darah
6 Peralatan dan instrumen operasi khusus
PERSIAPAN LOKAL DAERAH OPERASI
1 Penderita diatur dalam keadaan posisi ½ duduk (+ 45 °)
2 Lakukan desinfeksi dan tindakan asepsis / antisepsis pada
daerah operasi.
3 Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril.
ANASTESI
1 Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2% secara
infiltrasi pada daerah kulit sampai pleura.
TINDAKAN OPERASI
1 Tempat yang akan dipasang drain adalah :
- Linea midaxillaris media, pada ICS V-VI
- Linea midaxillaris anterior, pada ICS IX-X (Buelau).
- Linea medio-clavicularis (MCL) pada ICS II-III (Monaldi)
2 Dibuat sayatan kulit + 2 cm sampai jaringan bawah kulit
3 Dengan klem tumpul, jaringan bawah kulit dibebaskan
sampai pleura, dengan secara pelan pleura ditembus hingga
terdengar suara hisapan, berarti pleura parietalis sudah
terbuka
4 Drain dengan trocarnya dimasukkan melalui lobang kulit
tersebut kearah cranial lateral. Bila memakai drain tanpa
trocar, maka ujung drain dijepit dengan klem tumpul, untuk
memudahkan mengarahkan drain
5 Drain kemudian didorong masuk sambil diputar sedikit
demi sedikit
6 Setelah drain pada posisi, maka diikat dengan benang
pengikat berputar ganda, diakhiri dengan simpul hidup
7 Sebelum pipa drainage dihubungkan dengan sistem botol
penampung, maka harus diklem dahulu
8 Pipa drainage ini kemudian dihubungkan dengan sistem
botol penampung, yang akan menjamin terjadinya kembali
tekanan negatif pada rongga intrapleural, di samping juga
akan menampung sekrit yang keluar dari rongga toraks
PERAWATAN PASCA BEDAH
1 Komplikasi dan penanganannya
2 Pengawasan terhadap ABC
3 Perawatan luka operasi