“HIPOTONIA UTERI”
Disusun Oleh:
N 111 17 029
Pembimbing Klinik:
PENDAHULUAN
Hipotonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi
dan mengecil sesudah janin keluar dari Rahim. Perdarahan postpartum secara
fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada
disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan
plasenta.1
Hipotonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi secara
optimal. Pada perdarahan karena hipotonia uteri, uterus membesar dan lembek
pada palpasi. Hipotonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus.1
Hipotonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang.1
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40-60%) kematian
ibu melahirkan di Indonesia. Perdarahan pasca persalinan atau hemorrhagic post
partum (HPP) adalah kehilangan darah melebihi 500 ml yang terjadi setelah bayi
lahir.2
Perdarahan yang banyak biasa menyebabkan “sindroma Sheehan” sebagai
akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi bagian
tersebut dengan gejala : Astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan
sampai menimbulkan kaheksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat
genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan
hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.3
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang
refleksi kasus bertemakan hipotonia uteri.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
2
2. Kala I atau kala II yang memanjang. Kontraksi yang terlalu lama
menyebabkan lebih banyak zat-zat pemicu kontraksi yang digunakan,
seperti oksitosin dan prostaglandin yang mengatur sedemikian rupa proses
terjadinya kontraksi dan relaksasi secara berkala. Hal ini juga berkaitan
erat dengan kelelahan (exhausted). Oleh karena itu, nutrisi ibu juga harus
diperhatikan. Begitu pula dengan asupan cairan.
3. Persalinan cepat (partus presipitatus). Persalinan cepat biasanya
disebabkan oleh rendahnya resistensi jaringan lunak jalan lahir, his dan
kontraksi yang terlalu kuat atau terlalu jarang, serta hilangnya rasa sakit
sehingga ibu tidak merasakan tanda-tanda persalinan. Uterus yang
berkontraksi terlalu kuat sebelum janin lahir lebih besar kemungkinannya
mengalami hipotonia uteri setelah melahirkan disertai perdarahan dari
tempat perlekatan plasenta sebagai akibatnya.
4. Persalinan dengan induksi. Dalam hal ini efek induksi dengan oksitosin
memiliki peran yang paling besar. Waktu paruh oksitosin sangat cepat,
yaitu 5 menit sehingga menurunnya konsentrasi oksitosin dalam darah
sangat berperan dalam berhentinya kontraksi uterus. Sedangkan
prainduksi ataupun induksi dengan analog prostaglandin E2 seperti
misoprostol yang sering digunakan di Indonesia lebih sering diperuntukan
dalam rangka mengurangi jumlah konsumsi oksitosin dan mempercepat
proses persalinan
5. Infeksi intrapartum. Banyak cara infeksi intrapartum menyebabkan
kelainan kontraksi uterus. Inflamasi oleh bakteri menyebabkan kelainan
endotel sehingga perdarahan lebih rentan terjadi. Kontraksi myometrium
pun akan dipengaruhi sehingga involusi tidak maksimal.
6. Multiparitas berkaitan dengan berkurangnya elastisitas otot-otot Rahim
sehingga menurunkan daya kontraksi. Studi Fuchs dkk melaporkan
insiden perdarahan postpartum meningkat 2,7% pada kasus para tujuh
atau lebih di bandingkan dengan obstetric umum. Studi Babinszki dkk
melaporkan nilai yang menurun yaitu 1,9% pada para empat dan 0,3%
pada paritas dibawahnya
3
7. Pemberian MgSO4 pada preeklampsia berat. Ion-ion magnesium akan
menekan kontraktilitas myometrium akibat tingginya kadar magnesium
ekstraseluler sehingga kalsium terhambat untuk masuk ke dalam
intraselular. Selain itu, kadar magnesium intraselular pun meningkat.
Magnesium ekstraselular menghambat masuknya kalsium dengan
menyekat saluran kalsium. Namun, hal ini berkaitan dengan dosisnya
dalam darah (>8 mEq/l)
8. Usia yang terlalu muda atau terlalu tua. Belum diketahui hubungan pasti
antara usia yang terlalu muda ataupun terlalu tua dengan hipotonia uteri.
IV. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak., bergumpal dan pada palpasi didapatkan
fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
4
Perlu diperhatikan bahwa pada saat hipotonia uteri didiagnosis, maka pada
saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari
pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.5
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak
dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat.
Nadi dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah menurun.4
V. Penatalaksanaan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum
pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai
syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang dilakukan bergantung pada
keadaan kliniknya.5
Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal
sebagai berikut :5
1. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen
2. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara:
Masase fundus uteri dan merangsang putting susu
Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara
i.m, i.v, atau s.c
Memberikan derivate
prostaglandin F2α (carboprost tromethamine) yang kadang
memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah,
febris, dan takikardia
Pemberian misoprostol 800-1000 µg per-rektal
Kompresi bimanual eksterna atau interna
Kompresi aorta abdominalis
Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam kavum uteri
disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi
5
cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan
menghindari tindakan operatif
3. Bila semua tindakan gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
operatif laparatomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan
uterus) atau melakukan histerektomi. Alternative berupa :
Ligasi arteri uterine atau arteri ovarika
Operasi ransel B-Lynch
Histerektomi supravaginal
Histerektomi total abdominal
Manajemen Hipotonia uteri2,3
1) Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan
awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat,
monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring
saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu
dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2) Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus
yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah
lahirnya plasenta (maksimal 15 detik).
Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus
berlangsung, periksa apakah perineum atau vagina dan serviks
mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
Jika uterus tidak berkontraksi maka
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina
dan lubang serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan
tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
6
Gambar 2 : Kompresi Bimanual Interna
7
maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika
diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat
menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan
nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan
hipertensi. 1
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal.
Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15
menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat
dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk
mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka
kesuksesan 84%-96%. Selain konstriksi jalan napas dan konstriksi
vaskular, efek samping lainnya adalah diare, hipertensi, muntah, demam,
flushing, dan takikardi.1,7
Agen uterotonik terakhir adalah misoprostol (cytotec) yang
merupakan analog Prostaglandin E1 sintetik. Misoprostol dapat mencegah
maupun menangani perdarahan post partum. Tidak seperti formula
prostaglandin lainnya, misoprostol sangat efekif dan tidak memiliki
kontraindikasi terhadap penggunaannya. Beberapa efek samping yang
dapat ditimbulakan misoprostol adalah takikardi dan demam. 1
4) Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan
angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina
yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim.
Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan
melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium
keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat
8
melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai
cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan
2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas
tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim.
Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada
vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi
ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen
bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika
perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian. 1,7
9
sebelum dan sesudah ligasi. Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena
iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan
ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.1,7
10
Gambar 5. Teknik B-Lynch
11
Gambar 6. Alur penatalaksanaan
VI. Komplikasi
Di samping menyebabkan kematian, syok, HPP memperbesar
kemungkinan terjadinya infeksi purpuralis karena daya tahan tubuh penderita
berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindroma Sheehan
sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi
insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya ialah hipotensi, anemia,
turunnya berat badana sampai menimbulkn kakeksia, penurunana fungsi
12
seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi
laktasi.3,4
13
BAB III
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama : Ny. RM Nama suami : Tn. R
Umur : 37 tahun Umur : 40 tahun
Alamat : Ds. Gimpu, Kab. Sigi Alamat : Ds. Gimpu Kab.Sigi
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Petani
Agama : Kristen Agama : Kristen
Pendidikan : SD Pendidikan : SMP
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Keluar air dari jalan lahir
14
4. Riwayat Menstruasi :
Haid pertama kali pada umur 14 tahun, lama 5-6 hari, siklus haid 28 hari,
teratur, banyaknya 2-3 pembalut perhari, tidak pernah merasakan nyeri
yang hebat selama haid. Hari Pertama Haid Terakhir yaitu pada 25
September 2017
5. Riwayat Pernikahan :
Pasien mengaku menikah satu kali, lama pernikahan 18 tahun
7. Riwayat KB :
Suntikan selama kurang lebih 2 tahun
15
9. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg Suhu : 36,5ºC
Nadi : 80 kali/menit Respirasi : 20 kali/menit
Kepala – Leher :
Konjungtiva dalam batas normal, sclera dalam batas normal, tidak ada edema
palpebra, Kelenjar getah bening dalam batas normal, kelenjar tiroid dalam batas
normal
Thorax :
Inpeksi : Pergerakan thoraks simetris, sikatrik tidak ada
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung, batas jantung
dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikular, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Bunyi jantung I/II murni reguler
Abdomen :
Inspeksi : Abdomen tampak mengalami pembesaran, bekas operasi (-).
Auskultasi : Peristaltik (+), Aorta abdominalis (+), denyut jantung janin (+)
16
Perkusi : Redup abdomen kuadran bawah
Palpasi : Teraba TFU 2 jari dibawah processus xyphoideus, teraba bagian janin
Pemeriksaan Obstetri :
TFU : 2 Jari dibawah Processus Xyphoideus
Leopold I : 33 cm, bagian teratas bokong
Leopold II : Punggung Kanan
Leopold III : Presentasi kepala
Leopold IV : Belum masuk pintu atas panggul
DJJ : 148 x/menit (reguler)
HIS : tidak ada
Pergerakan Janin : Ada
TBJ : 3410 gram
Pemeriksaan Genitalia :
Pemeriksaan Dalam (VT) :
Vulva : tidak ada kelainan
Vagina : tidak ada kelainan
Portio : tebal, lunak
Pembukaan : tidak ada
Ketuban : (+), utuh
Penurunan : tidak ada
UUK : tidak ada
Pelepasan : Air (+), lendir (+), darah tidak ada
Ekstremitas :
Atas : Akral dingin, edema tidak ada
Bawah : Akral dingin, edema tidak ada
17
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium:
HASIL NILAI SATUAN
RUJUKAN
Eritrosit 3.46 4-6 mm6
Hemoglobin 10.0 12-14 g/dl
Hematokrit 29.5 40-45 %
Leukosit 7.900 4000-11000 mm3
Trombosit 267.000 150 rb- 400 rb mm3
GDS 70 65-110 mg/dl
CT 8 4-12 menit
BT 4 1-4 menit
HbsAg Non- Reaktif Non-Reaktif
Anti-HIV Non- Reaktif Non-Reaktif
RESUME
Pasien datang melalui IGD Kebidanan RSUD Torabelo Sigi pukul 20:00
dengan keluhan keluar air dari jalan lahir (+) sedikit-sedikit sejak pagi sebelum
masuk RS, lendir (+), darah (-), nyeri perut bagian bawah (+) dirasakan hilang
timbul. Pasien juga mengeluh pusing (+), sakit kepala (-), nyeri ulu hati (-), mual
(-), muntah (-), BAB (+), BAK (+). Pasien juga berencana untuk ikat kandungan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan TD :110/70 mmHg, Nadi: 80
x/menit, Suhu: 36,5 ºC, Respirasi: 20 x/menit. Pemeriksaan obstetri : LI : TFU 2
jari dibawah processus xyphoideus 33 cm, LII : Punggung kanan, LIII : presentasi
kepala, LIV : belum masuk pintu atas panggul. DJJ :148x/menit (reguler). HIS :
tidak ada. Pergerakan janin: ada, janin tunggal dengan TBJ : 3410 gram.
Pemeriksaan Genitalia Portio: tebal, lunak. Pembukaan tidak ada, Ketuban (+)
utuh, Penurunan tidak ada, Pelepasan Air (+), lendir (+).
Hasil labolatorium didapatkan Wbc : 7,9 x 103/mm3, Hb : 10 gr/dl, Hct :
29,5 %, Plt : 267 x 103/mm3, HbsAg Non reaktif, HIV Non reaktif
DIAGNOSIS
G7P6A0 gravid aterm + HRP + calon akseptor kontap
18
PENATALAKSANAAN
Bedrest total
IVFD RL 24 tpm
Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam/IV
Observasi kemajuan persalinan, HIS, BJF, TTV
Pasang kateter tetap
Siapkan darah PRC 2 labu
Rencana SC + Kontap besok
19
FOLLOW UP
Hari pertama (29 Agustus 2018)
S: Pelepasan air (+) sedikit, lendir (+), darah (-), nyeri perut bagian bawah (+),
nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), pusing (-), BAB (+),
BAK (+)
O: Keadaan Umum: Sakit sedang
Kesadaran: Compos Mentis, GCS E4M6V5
TD: 120/80 mmHg
N: 84 x/menit
R: 20x/menit
S: 36,8 ºC
BJF : 132 x/menit
HIS : tidak ada
Konjungtiva anemis (-/-)
A: G7P6A0 gravid aterm + HRP + calon akseptor kontap
P:
IVFD RL 24 tpm
Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam/IV
Rencana SC + Kontap hari ini
20
5. Insisi segmen bawah rahim, lapisan demi lapisan menembus plika
vesikouterina , myometrium, endometrium, secara tajam dan tumpul,
kontrol perdarahan
6. Pecahkan ketuban, ketuban berwarna jernih, volume cukup
7. Bayi dilahirkan dengan presentasi kepala, BBL 2970, PBL 48 cm, jenis
kelamin perempuan
8. Plasenta dilahirkan secara manual dan lengkap
9. Eksplorasi dan bersihkan cavum uteri dengan kasa steril dan betadine
10. Jahit uterus lapisan demi lapisan dengan benang chromic 2, kontrol
perdarahan
11. Jahit plika vesikouterina dengan benang chromic 1, kontrol perdarahan
12. Eksplorasi dan bersihkan abdomen dengan NaCl 0,9%, kontrol perdarahan
13. Dilakukan pengikatan tuba kiri dan kanan, kontrol perdarahan
14. Jepit peritoneum di empat sisi dengan koher lalu jahit dengan chromic 0
15. Jahit otot dengan benang chromic 2/0, kontrol perdarahan
16. Jepit fascia dengan dua koher, jahit dengan benang demensorb 1, kontrol
perdarahan
17. Jahit lemak dengan jarum otot, benang chromic 2/0 secara interuptus,
kontrol perdarahan
18. Jahit kulit dengan jarum kulit dengan benang chromic 2/0 secara
subkutikuler, kontrol perdarahan
19. Bersihkan luka dan tutup luka dengan menggunakan kasa steril dan
betadine
20. Vagina toilet
21. Operasi selesai
21
Pukul 13.15 Wita tanggal 29 Agustus 2018 : Post Operasi :
S : pusing (+), sakit kepala (-), nyeri luka bekas Op (-), nyeri ulu hati (+), mual
(+), muntah (-), demam (-), dingin (+), BAB (-), BAK (+), perdarahan pervaginam
massif (+)
O : Keadaan Umum: lemah
Kesadaran: Compos Mentis, GCS E4M6V5
TD: 60/40 mmHg
N: 132 x/menit, kuat angkat
R: 28 x/menit
S: 36,5 ºC
Konjungtiva anemis (+/+)
Kontraksi Uterus : melemah dan setinggi pusat
Urine output 100 cc
Perkiraan keluarnya darah ±700 cc
A: Post SC + kontap
Syok hipovolemik
Perdarahan post partum ec Hipotonia Uteri
P:
O2 4 liter/menit
IVFD RL + 20 IU Oxytosin 28 tpm : wida hes guyur = 1:1
IVFD RL : RL = 1 : 1
Injeksi Cefotaxim 1gr/12 jam/IV
Drips metronidazole /8 jam
Injeksi Ranitidin 1 amp/8 jam/IV
Injeksi Ketorolac 1 amp/8 jam/IV
Injeksi Asam traneksamat 1 amp/8 jam/IV
Misoprostol 4 tab/vagina
Masase fundus uteri
Vaginal toilet
Cek darah rutin post partum, jika Hb <8, transfusi darah 2 bag
Obs. KU, TTV, Produksi Urine, Perdarahan, Kontraksi Uterus
22
Pukul 13.55 Wita tanggal 29 Agustus 2018 : Post Operasi :
S : pusing (+), sakit kepala (-), nyeri bekas Op (-), nyeri ulu hati (+), mual (+),
muntah (-), demam (-), dingin (+), BAB (-), BAK (+), perdarahan pervaginam (+)
masif
O : Keadaan Umum: lemah
Kesadaran: Compos Mentis, GCS E4M6V5
TD: 100/60 mmHg
N: 105 x/menit, kuat angkat
R: 28 x/menit
S: 36,5 ºC
Konjungtiva anemis (+/+)
Kontraksi Uterus : melemah dan setinggi pusat
Urine out put 100 cc
Perkiraan keluarnya darah ±300 cc
A: Post SC + kontap
Syok hipovolemik
Perdarahan post partum ec Hipotonia Uteri
P:
O2 4 liter/menit
IVFD RL + 20 IU Oxytosin 28 tpm : PRC 1 bag = 1:1
Masase fundus uteri
Obs. KU, TTV, Produksi Urine, Perdarahan, Kontraksi Uterus
Rencana Histerektomi
23
Laporan Operasi Histerektomi Subtotal Bilateral
1. Pasien baring dengan posisi supine di meja operasi di bawah pengaruh
spinal anastesi
2. Desinfeksi dan draping procedure dengan kasa steril dan betadine, pasang
dook steril
3. Insisi abdomen dengan metode pfannenstiel, lapisan demi lapisan
menembus rongga perut secara tajam dan tumpul sampai menembus
perineum
4. Eksplorasi uterus, diputuskan dilakukan histerektomi total dan
salfingektomi bilateral
5. Fiksasi uterus dengan klem ligamentum propium ovarii kanan dan kiri
dekat dengan cornu uteri
6. Klem dua kali dan potong ligamentum rotundum kiri dengan gunting,
klem dan ligasi ganda dengan safyl 1, demikian juga pada ligamentum
rotundum kanan, sebagai pedikel (punting pembuluh darah) setelah arteri
uterine diamankan
7. Klem dua kali ligamentum infundibulopelviko kanan, mesometrium,
potong dan ligasi ganda dengan safyl 1, demikian juga pada ligamentum
kanan, sebagai pedikel, kontrol perdarahan
8. Bebaskan secara tumpul lamina anterior lig
9. amentum latum ke bawah dan medial menuju serviks dan pisahkan dari
kandung kemih
10. Identifikasi pembuluh darah uterine kiri dan kanan, klem dua kali, potong
dan ligasi ganda dengan safyl 1, kontrol perdarahan
11. Bebaskan secara tumpul lamina posterior ligamentum latum ke bawah dan
medial menuju serviks
12. Klem, potong, dan ligasi ligamentum cardinal sedekat mungkin dengan
serviks hingga mencapai ujung atas vagina
13. Potong segmen bawah uterus, berikan betadine dan kasa pada serviks
14. Lakukan hemostatik jahitan jelujur dengan safyl 1 daerah serviks dengan
mengikutkan ligamentum rotundum, cardinal, dan sakrouterina
24
15. Jepit empat sisi peritoneum dengan koher, bilas rongga perut dengan NaCl
0,9% kontrol perdarahan
16. Abdomen dijahit lapisan demi lapisan sampai kulit, kontrol perdarahan
17. Bersihkan daerah operasi, tutup luka operasi dengan kasa betadine
18. Vagina toilet
19. Operasi selesai
25
Gambar 7. Laporan operasi
26
Hari ke dua (30 Agustus 2018)
S: nyeri luka bekas Op (+), pusing (+), sakit kepala (-), demam (-), nyeri ulu hati
(+), mual (+), muntah (-), BAB (-), BAK (+), flatus (+), PPV (+) sedikit
O: Keadaan Umum: Baik
Kesadaran: Compos Mentis, GCS E4M6V5
TD: 100/70 mmHg
N: 80 x/menit
R: 18 x/menit
S: 36,5 ºC
Konjungtiva anemis (+/+)
A:
Post SC + Kontap + HT SOB
Perdarahan post partum ec Hipotonia uteri
Anemia
P:
IVFD RL 28 tpm
Drips cocktail dalam 500 cc cairan RL 28 tpm
Transfusi PRC 2 bag
Injeksi meropenem 1 gr/12 jam/IV
Drips metronidazole /8 jam
Injeksi ranitidine 1 amp/8 jam/IV
Injeksi ketorolac 1 amp/8 jam/IV
Injeksi asam traneksamat 1 amp/8 jam/IV
Vitalex 2x1 tab
Diet lunak
27
Hari ke Tiga (31 Agustus 2018)
S : nyeri luka bekas Op (+), pusing (-), sakit kepala (-), demam (-), nyeri ulu hati
(-), mual (-), muntah (-), BAB (-), BAK (+), flatus (+), PPV (+) sedikit
O: Keadaan Umum: Baik
Kesadaran: Compos Mentis, GCS E4M6V5
TD: 130/80 mmHg
N: 88 x/mnt
R: 20 x/mnt
S: 36,6 ºC
Konjungtiva anemis (+/+)
Hasil Laboratorium:
HASIL NILAI SATUAN
RUJUKAN
Eritrosit 2.53 4-6 mm6
Hemoglobin 7.3 12-14 g/dl
Hematokrit 22.3 40-45 %
Leukosit 10.370 4000-11000 mm3
Trombosit 168.000 150 rb- 400 rb mm3
A:
Post SC + Kontap + HT SOB
Perdarahan post partum ec Hipotonia uteri
Anemia
P:
IVFD RL 20 tpm
Injeksi meropenem 1 gr/12 jam/IV
Drips metronidazole /8 jam
Injeksi ranitidine 1 amp/8 jam/IV
Injeksi ketorolac 1 amp/8 jam/IV
Injeksi asam traneksamat 1 amp/8 jam/IV
Vitalex 2x1 tab
Transfus 2 bag
28
Diet lunak
Mobilisasi bertahap
Aff infus cabang
29
BAB IV
PEMBAHASAN
30
dikatakan bahwa perdarahan melebihi 20% volume total, akan timbul gejala
penurunan tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai
terjadi syok.
Setelah 40 menit dilakukan tindakan resusitasi, pasien mengeluh pusing (+),
nyeri ulu hati (+), mual (+), dingin (+), BAK (+), perdarahan pervaginam (+).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran
komposmentis, TD: 100/60 mmHg, N: 105 x/menit, kuat angkat, R: 28 x/menit, S:
36,5 ºC, Konjungtiva anemis (+/+), kontraksi uterus melemah, urine output 100
cc, perkiraan keluarnya darah ±300 cc. Setelah dilakukan tindakan penanganan
awal berupa pengeluaran jaringan maupun masase fundus uteri tetap terjadi
perdarahan. Fundus teraba lunak walaupun terkadang terasa solid. Akhirnya
setelah dilakukan diskusi dengan keluarga dan sudah disetujui maka dilakukan
pengangkatan rahim pada pasien karena uterusnya yang tidak berfungsi dengan
baik dan untuk menilai terjadinya perdarahan dari dalam.
Perdarahan Post Partum merupakan hilangnya darah lebih dari 500 ml atau
lebih secara partus normal dan 1000 ml atau lebih setelah kelahiran secara sesar.
Perdarahan post partum dibagi menjadi 2 yaitu perdarahan postpartum primer
(early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir dan
perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi
antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir. Penyebab utama perdarahan
pascapersalinan primer adalah atonia uteri (50-60%), retensio plasenta (16 –
17%), robekan jalan lahir (4-5%), ruptur uteri, sisa plasenta, dan kelainan
pembekuan darah dan Penyebab utama perdarahan pascapersalinan sekunder
adalah robekan jalan lahir, subinvolusi didaerah insersi plasenta, dan sisa plasenta
atau membran. Adapun faktor risiko perdarahan post partum antara lain grande
multipara, perpanjangan persalinan, chorioamnionitis, kehamilan multiple, injeksi
magnesium sulfat, perpanjangan pemberian oxytosin.
Pada kasus ini, perdarahan post partum termasuk kategori primer. Pada kasus
kemungkinan faktor resiko yang menyebabkan terjadinya hipotonia uteri adalah
multiparitas yaitu riwayat melahirkan enam anak dengan persalinan normal dan
31
para tujuh yang berkaitan dengan berkurangnya elastisitas otot-otot Rahim
sehingga menurunkan daya kontraksinya.
Hipotonia uteri merupakan suatu keadaan dimana kelemahan otot uterus dalam
berkontraksi ditandai dengan berkurang dan atau melambatnya intensitas normal
dan durasi kontraksi uterus. Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol
oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Oleh karena
struktur anatomi otot miomtrium dan pembuluh darah membentuk suatu anyaman,
maka jika uterus berkontraksi dengan baik, pembuluh darah akan terjepit dan
perdarahan akan berhenti. hipotonia uteri terjadi ketika myometrium berkontraksi
lemah. Dengan myometrium yang berkontraksi lemah maka pembuluh darah tidak
terjepit dan menyebabkan perdarahan.
Tanda dan gejala dari hipotonia uteri adalah
1) Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus hipotonia uteri sangat banyak dan
darah merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan,
hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti
pembeku darah. Pada pasien setelah operasi mengalami perdarahan dari jalan
lahir ± 1000 cc disertai dengan gumpalan-gumpalan.
2) Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas hipotonia dan yang
membedakan hipotonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya. Pada
pasien kontraksi uterus setelah operasi tidak baik dan terkadang teraba lunak.
3) Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan
menggumpal
4) Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin,
gelisah, mual dan lain-lain. Pada pasien 15 menit setelah operasi terdapat
gejala dimana tekanan darah yang mulai turun, nadi dan napas cepat, keempat
ekstremitas teraba dingin, nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (-).
32
Dalam penanganan PPP dilakukan resusitasi dan manajemen yang baik
terhadap perdarahan yaitu dimana pasien dengan perdarahan postpartum
memerlukan penggantian cairan dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke
organ–organ penting. Dan memantau perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital
pasien. Memastikan dua kateter intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan
pemberian cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan
cepat. Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine (dikatakan
perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1 jam 30 cc atau lebih).
Pada pasien ini telah dilakukan resusitasi cairan berupa pemberian kristaloid,
koloid dan diberikan taransfusi darah berupa packed red cell. Berdasarkan teori,
pemberian sel darah merah merupakan pengobatan terpilih untuk perdarahan akut.
Adapun penanganan umum dari hipotonia uteri adalah memposisikan pasien
dalam sikap trendelenburg, kemudian memasang venosus line, dan memberikan
oksigen sambil 1) merangsang konraksi uterus dengan cara melakukan masase
fundus uteri dengan merangsang puting susu. 2) pemberian oksitosin dan turunan
ergot melalui suntikan i.m, i.v atau s.c, 3) Memberikan derivat prostaglandin F2α
(carboprost tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa diare
hipertensi, mual dan munta, febris, dan takikardia. 4) Diberikan misoprostol 800-
1000 µg per-rektal. Oxytocin dan Misoprostol sebagai uteroutonica mempunyai
peranan penting dalam merangsang kontraksi otot polos uterus sehingga
perdarahan dapat teratasi. 5) Jika masih berdarah dapat dilakukan kompresi
bimanual interna dan eksterna 6) Kompresi aorta abdominalis. 7) Pemasangan
tampon kondom. Kondom dalam kavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi
dengan karet gelang dan disi cairan infus 200 ml yang akan mengurangi
perdarahan dan menghindari tindakan operatif. Dan bila semua tindakan itu gagal
maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparatomi dengan pilihan
bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi.
Alternatifnya berupa : ligasi arteri uterina atau arteri ovarika, operasi ransel B
Lynch, histerektomi supravaginal dan histerektomi total abdominal.
Pada pasien telah dilakukan masase fundus uteri untuk merangsang konraksi
uterus, pemberian oksitosin 20 IU dalam 500 ml ringer laktat dan mendapatkan
33
misoprostol 800 µg untuk merangsang kontraksi otot polos uterus sehingga
perdarahan dapat teratasi. Berdasarkan teori, penanganan tersebut sudah termasuk
dan sesuai dengan penanganan PPP akibat hipotonia uteri.
Disamping itu, pasien diberikan cefotaxim 1 gr/12 jam dan metronidazole/8
jam. Tujuan pemberian antibiotik pasca persalinan yaitu untuk mengurangi infeksi
yang dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai mikroorganisme. Adapun
mekanisme kerja antibiotik adalah mengubah struktur dan fungsi dinding sel
bakteri, merintangi replikasi genetik, melemahkan sintesis protein, membatasi
fungsi sel membran dan mencegah sintesis asam folat. Pada kondisi yang sesuai
dan tepat, antibiotik tunggal dianggap cukup efektif untuk mengendalikan dan
menghilangkan mikroorganisme penyebab infeksi. Apabila jenis dan tingkat
resistensi mikroorganisme penyebab belum diketahui, umumnya digunakan
antibiotik tunggal yang mempunyai spektrum luas. Antibiotik generasi baru,
umumnya mempunyai cakupan bakteriostatik-bakterisid yang sangat luas,
sehingga dapat diandalkan untuk mengatasi infeksi yang diakibatkan oleh
beberapa mikroorganisme penyebab. Adapun antibiotik spektrum luas yaitu
golongan penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, kloramfenikol, makrolida,
kinolon, tetrasiklin, klindamisin, dan metronidazole. Pasien ini diberikan
antibiotik spektrum luas yaitu sefalosporin cefotaxime dan metronidazole.
Metronidazole juga dapat diberikan oleh karena baik untuk bakteri gram negatif
dan bakteri anaerob dan dapat digunakan dalam kombinasi dengan ampisilin dan
doksisiklin dan sebagai alternatif untuk klindamisin, relatif terjangkau dan mudah
diperoleh.
Pasien mendapatkan injeksi asam tranexamat. Asam tranexamat merupakan
analog asam aminokaproat, mempunyai indikasi dan mekanisme kerja yang sama
dengan asam aminokaproat tetapi asam tranexamat 10 kali lebih potent dengan
efek samping yang lebih ringan. Diamana asam aminokarpoat merupakan
penghambat bersaing dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin.
Plasmin sendiri menghancurkan fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan darah
lain. Oleh karena itu asam amoninokrapoat dapat membantu mengatasi
perdarahan berat akibat fibrinolisis. Dosis yang dianjurkan yaitu 0,5-1 g, diberikan
34
2-3 kali sehari secara IV lambat sekurang-kurangnya dalam waktu 5 menit. Cara
pemberian lain peroral, dengan dosis 15 mg/kgBB diikuti dengan 30 mg;kgBB
tiap 6 jam.
Penanganan terakhir yang dilakukan pada pasien ini adalah dilakukannya
Histerektomi. Pemilihan histerektomi pada pasien ini adalah penanganan terhadap
atonia uteri dari pemberian uterotonica dengan oxytocin dan misoprostol tidak
dapat menghentikan perdarahan. Histerektomi adalah tindakan yang sering
dilakukan jika terjadi perdarahan postpartum yang membutuhkan tindakan
operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi
pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
Penanganan terakhir yang dilakukan pada pasien ini adalah dilakukannya
Histerektomi. Pemilihan histerektomi pada pasien ini adalah penanganan terhadap
atonia uteri dari pemberian uterotonica dengan oxytocin dan misoprostol serta
kompresi bimanual eksterna tidak dapat menghentikan perdarahan.
35
DAFTAR PUSTAKA
4. James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa
TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
36