ANTASIDA Meidaa Comel
ANTASIDA Meidaa Comel
Abstrak
Gastritis merupakan penyakit lambung yang paling banyak ditemukan di masyarakat. Setiap
hari sering kita temukan penderita yang datang berobat denga keluhan di saluran pencernaan
bagian atas,misalnya rasa nyeri atau panas didaerah epigastrium,mual,kadang-kadang disertai
muntah,rasa panas diperut,rasa kembung,perassaan lekas kenyang. Dalam pengobatan
gastritismbiasanya digunakan terapi tunggal,namun ada beberapa yang menggunakan terapi
kombinasi 2 jenis obat. Biasanya obat yang digunakan dalam terapi kombinasi diberikan
berdasarakan derajat gastritisnya. Dalam penelitian ini kombinasi obat yang diamati adalah
Ranitidi dengan Sukralfat dan Ranitidin dengan Antasida. Gambaran penggunaan obat ini
dinilai berdasrakan gejala klinis dan pemeriksaan Endoskopi. Pasien yang positif,menderita
gastritis dibagi menjadi dua kelompok. Kemudian pasien diberikan terapi dengan
(Ranitidin,Sukralfat) dan (Ranitidin,Antasida) selama 2 minggu. Setelah 4 bulan dari terapi
diberikan dilakukan evaluasi terhadap pasien meliputi rasa sakit / nyeri di perut,rasa
mual,rasa muntah,pedih sebelum dan sesusah makan,perasaan panas di perut,lekas
kenyang,kembung. Dan hasil evaluasi yang dilakukan pada kedua kelompok tersebut
didapatkan hasil pada kelompok 1 jumlah pasien yang keluhannya menghilang sebaanyak
100% dan pada kelompok 2 sebanyak 80%.
Abstract
Gastritis is the most common gastric disease found in the community. Every day we often
find patients who come treated with complaints in the upper gastrointestinal tract, such as
pain or heat in the area of epigastrium, nausea, sometimes accompanied by vomiting, heat in
the stomach, feeling bloated, feeling satiated. In the treatment of gastritism usually used
single therapy, but there are some who use combination therapy 2 types of drugs. Usually the
drugs used in combination therapy are given based on the degree of gastritis. In this study the
combination of drugs observed was Ranitidi with Sukralfat and Ranitidine with Antacids.
The description of the use of this drug is assessed based on clinical symptoms and endoscopy
examination. Positive patients, suffering from gastritis are divided into two groups. Then the
patient was given therapy with (Ranitidin, Sukralfat) and (Ranitidin, Antasida) for 2 weeks.
After 4 months of therapy is given an evaluation of the patient include pain / pain in the
stomach, nausea, vomiting, pain before and after eating, feeling hot in the stomach, quickly
sated, bloated. And the results of the evaluation conducted in both groups were found in
group 1 the number of patients whose complaints disappear as much as 100% and in group 2
as much as 80%.
PENDAHULUAN
Gastritis merupakan penyakit lambung yang paling banyak ditemukan di masyarakat. Hampir
setiap orang pernah menderita penyakit ini, baik Gastritis akut maupun kronik. Setiap hari
sering kita temukan penderita yang datang berobat dengan keluhan di saluran pencernaan
bagian atas,misalnya rasa nyeri atau panas didaerah epigastrium,mual,kadang-kadang disertai
muntah,rasa panas diperut,rasa kembung,perasaan lekas kenyang. Biasanya keluhan yang
diajukan penderita tersebut ringan dan dapat diatasi dengan mengatur makanan,tetapi kadang-
kadang dirasakan berat,sehingga ia terpaksa meminta pertolongan dokter bahkan sampai
terpaksa diberi perawatan khusus (Nadi S, 1998).
Gastritis adalah inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Gartitis kronik
tingkat ringan sampai sedang sering ditemukan pada masyarakat,terutama sekali pada orang
dewasa. Inflamasi ini kadang-kadang terjadi superficial atau di permukaan mukosa lambung
saja sehingga tidak begitu nyeri, jadi tidak begitu mengganggu. Akan tetapi, bila inflamasi
telah mengenai sampai kedalam mukosa lambung,maka timbul nyeri didaerah epigastrium.
Bila gastritis kronis berlangsung dalam jangka waktu yang lama,maka dapat menyebabkan
atropi mukosa lambung beserta kelenjar-kelenjar yang terdapat didalamnya. Namun,kadang-
kadang gastritis bisa pula menjadi sangat akut dan berat dengan ekskoriasi ulseratif (luka
bertukak) mukosa lambung yang disebabkan oleh aktifitas sekresi sel peptik dari lambung
sendiri,yaitu berupa enzim pepsin (Herman, 2004)
Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor – faktor
defensif (resistensi mukosa ) pada mukosa lambung dan duodenum menyebabkan terjadinya
gastritis,duodentis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. Asam lambung yang bersifat korosif
dan pepsin yang bersifat proteolitik merupakan dau faktor terpenting dalam menimbulkan
kerusakan mukosa lambung duodenum. Faktor-faktor agresif lainnya adalah garam
empedu,obat-obat ulserogenik (aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lainnya, kortikosteroid
dosis tinggi), merokok, etanol, bakteri, leukotrien B4 dan lain-lain (Katzung, 2004)
Telah banyak obat yang beredar yang bertujuan mengobati penyakit gastritis. Disamping itu
kepada penderita tetap dianjurkan mengatur pola makannya dan menghindari faktor-faktor
yang dapat memperparah penyakitnya. Penggunaan obat penghambat H2 (Ranitidin )
bertujuan untuak mengurangi skeresi asam,antasud digunakan untuk menetralkan asam yang
terseksresi dan sukralfat untuk melapisi daerah inflamasi atau uleserasi sehigga dapat
mempercepat penyembuhan (Herman, 2004)
Dalam pengobatan gastrititis biasanya digunakan terapi tunggal namun ada beberapa yang
menggunakan terapi kombinasi 2 jenis obat. Biasanya obat yang digunakan dalam terapi
kombinasi diberikan berdasarkan derajat gastritisnya. Banyak penderita yang dapat
disembuhkan pengobatan tersebut diatas, tetapi banyak pula yang sukar disembuhkan, hal ini
mendorong peneliti untuk mengetahui kombinasi obat apa yang dapat memberikan gambaran
terapi lebih bak dalam pengobatan gastritis. Dalam penelitian kombinasi yang diamait dengan
kombinasi Ranitidin dengan Sukralfat dan Ranitdin dengan Antasida.
METODE PENELITIAN
Pasien yang memenuhi syarat (kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi) dicatat dalam
lembaran penelitian. Pasien yang positif menderita gastritis dibagi menjadi dua kelompok.
Kemudian pasien diberikan terapi dengan (Ranitidin, Sukralfat) dan (Ranitidin,Antasida)
selama 2 minggu. Setelah 4 bulan terapi diberkan evaluasi terhadap pasien yang diamati
adalah : rasa sakit / nyeri diperut, rasa mual,muntah, pedih sebelum dan sesudah
makan,perasaan panas diperut,lekas kenyang,kembung.
Dari penelitian yang telah dilakukan pemeriksaan endoskopi dengan keluhan neyri ulu
hati,pedih sebelum dan sesudah makan,perasaan mual kadang-kadang disertai muntah,rasa
panas di epigastrium,lekas kenyang,kembung, kadang-kadang nafsu makan bekurang
ditemukan 10 kasus dengan tanda-tanda gastritis.
Karakteristik Penderita
Pada penelitian ini didapatkan gambaran mukosa hiperaemis ringan sampai sedang pada
esofagus dan gaster sedangkan pada duodenum tidak ditemukan kelainan. Kemudian pada
gaster terdapat mukosa hiperaemis terutama ditemukan pada daerah antrum sebanyak 3
orang.
Tabel II. Distribusi gambaran mukosa lambung sebelum pengobatan
Lokasi Jumlah
Esofagus : 1
Mukosa hiperaemis ringan,tak ada ulkus
varices dan tumor.
Gastrer :
Mukosa hiperaemis ringan disertai
hipersekresi,tak ada ulkus dan tumor.
Doudenum : Tak ada kelainan
Esofagus : 1
Mukosa hiperaemis ringan, tak ada ulkus
varices dan tumor
Gaster :
Mukosa hiperaemis tak ada ulkus dan
tumor,banyak cairan lambung
Duodenum :
Mukosa hiperaemis,tak ada ulkus dan tumor
Esofagus : 3
Mukosaa hiperaemis ringan,tak ada
ulkus,varices dan tumor
Gaster:
Mukosa hiperaemis ringan pada antrum, tak
ada ukus ,varices dan tumor.
Duodenum :
Tak ada kelainan
Esofagus : 2
Mukosa hiperaemis,tak ada ulkus,varices dan
tumor
Gaster:
Mukosa hiperaemis ringan,tak ada uklus dan
tumor
Duodenum :
Tak ada kelainan
Esofagus : 1
Mukosa normal, tak ada ulkus,varices dan
tumor
Gaster :
Mukosa hiperaemis sedang, tak ada ulkus
dan tumor
Duodenum :
Tak ada kelainan
Esofagus : 1
Mukosa hiperaemis sedang,tak ada
ulkus,varices dan tumor
Gaster :
Mukosa hiperaemis sedang, tak ada ulkus
varices dan tumor
Duodenum:
Tak ada kelainan
Esofagus : 1
Mukosa hiperaemis ringan,tidak ada ulkus
varices dan tumor
Gaster :
Mukosa hiperaemis ringan, tak ada ulkus
varices dan tumor
Duodenum :
Tak ada kelainan
Berdasarkan gejala klinisnya pada penelitian ii pasien datang dengan mengalami keluhan
nyeri ulu hati sebnaak 10 orang,mual 8 orang,muntah 5 orang,nafsu makan menurun 4 orang
dan perut kembung sebannyak 3 orang.
Keluhan Jumlah
Nyeri ulu hati 10
Mual 8
Muntah 5
Nafsu makan menurun 4
Perut terasa kembung 3
Setelah pemeberian terapi dengan kombinasi Rantidin dengan Sukralfat (Kelompok I) dan
Ranitidin dengan Antasida (Kelompok II) didapatkan gambaran terapi yang dilihat dari lama
perbaikan penyakit yaitu kelompok 1 dengan jumlah pasien yang keluhannya berkurang
dalam waktu kurang dari satu minggu sebanyak 2 orang dan kelompok II sebanyak 1
orang,dalam waktu satu minggu pada kelompok satu sebanyak dua orang dan kelompok dua
sebanyak dua orang,dalam waktu dua minggu kelompok satu sebanyak satu orang dan
kelompok dua sebanyak dua orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel tersebut :
Tabel IV. Lama perbaikan penyakit yang dilihat dari hilangnya keluhan
Setelah diberikan terapi pada kedua kelompok tersebut dan dilakukan wawancara pada pasien
didapatkan hasil pada kelompok 1 (Ranitidin dan Sukralfat) jumlah pasien dan keluhannya
menghilang sebanyak 5 orang dan pada kelompok II ( Ranitidin dan Antasida) yang
menghilang sebanyak 4 orang dan 1 orang keluhannya berkurang. Perbedaan gambaran terapi
antara kombinasi Ranitidin dengan Sukralfat dan Ranitidin dan Antasida dapat dilihat pada
tabel dibawah ini
PEMBAHASAN
Penelitian ini diberikan terhadap 10 penderita gastritis yang bersedia menjalani pemeriksaan
endoskopi. Pada umumnya pederita sering mengalami keluhan nyeri pada ulu
hati,mual,muntah,anoreksia,kembung,dimana berdasarkan literartur keluhan tersebut
merupakan gejala klinis yang sering dialami pasien yang didiagnosa gastrits dan pada
pemeriksaan endoskopi ditemukan kemerahan atau erois pada mukosa lambung
Karakteristik penderita
Berdasarkan derajat gastritisnya pada penelitian ini jumlah pasien yang menderita gastritis
ringan sebnayak 5 orang dan gasritis sedang sebanyak 5 orang. Perbedaan antara gastritis
ringan dan sedang dapat dilihat dari gambaran kemerahan atau erosi pada mukosa lambung.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 100% dari pasien yang
menggunakan terapi kombinasi Ranitidin dengan Sukralfat keluhannya hilang dan
80% pada pasien yang menggunakan Ranitidin dengan Antasida.
ANALGESIK
Abstrak
Obat golongan analgetik-antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling
banyak diresepkan dan umum digunakan untuk terapi nyeri,demam dan proses peradangan.
Penggunaan obat di pusat pelayanan kesehatan cenderung berlebih, penyebab utama
tingginya penggunaan obat di pelayanan kesehatan adalah keterbatasan pengetahuan petugas
profesional kesehatan mengenai bukti-bukti ilmiah terkini serta keyakinan dan perlikau
pasien sangat berperan dalam peneatapn jenis obat yang diberikan. Puskesmas merupakan
salah satu pusat pelayanan kesehatan dasar dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan salah satu komponen penting dalam
pelayanan kesehatan. Perlu dilakukan penelitian tentang pola penggunaan dan persediaan
analgetik di Puskesmas untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan dan pengelolaan obat di
fasilitas kesehatan seperti di Puskesmas, terutama untuk obat-obatan analgetik yang
pemakaiannya terus meningkat dari waktu ke waktu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui poal penggunaan dan persediaan analgetik di Puskesmas Depok II dan
Puskesmas Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini dilakukan mengikuti rancangan penelitian survei yang bersifat deskriptif
dengan pegumpulan data secara retrospektif di Puskesmas Depok II dan Puskesams
Cangkringan untuk mengetahui pola penggunaan dan persediaan analgetik di kedua
Puskesmas.
Hasil penelitia menunjukan pola penggunaan yang meliputi konsumsi dan nilai pemakaian
analgetik lebih besari di Puskesmas Depok II sedangkan penyakit,obat lain dan aturan pakai
lebih bervariasi di Puskesmas Cangkringan,kemudian untuk persediaan analgetik hasilnya
adalah mencukupi baik di Puskesmas Depok II maupun Puskesmas Cangkringan.
Abstract
PENDAHULUAN
Obat golongan analgetik-antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling
banyak diresepkan dan umum digunakan untuk terapi nyeri,demam dan proses peradangan.
The National Disease and Threapic Index mengatakan bahwa obat analgetik dan
antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling sering disebabkan oleh dokter
diseluruh dunia (Dwiprahasto,2002)
Lima puluh juta orang Amerika sebagian atau secara total tidak bisa melakukan aktivitas
akibat nyeri. Biaya yang disebabkan karena hal ini diperkirakan mencapai milyaran dollar.
Angka ini diperkirakan bertambah karena banyak orang bekerja melibihi umur 60 tahun dan
bertahan hidup sampai 80 tahun. Sayangnya,nyeri sering tidak diobati dan berkembang
menjadi masalah di rumah sakit, fasilitas perawatan yang lama dan komunitas ( Dipiro et al ,
2005)
Perkembnagn berbagai obat analgetik bertujuan utamanya adalah untuk mengurangi rasa
sakit yang terjadi secara cepat. Beberapa obat yang semula diguga memberikan efek
analgetik kuat ternyata banyak menimbulkan resiko efek samping , dan oleh karenanya
segera ditarik dari perdaran . beberapa contoh diantaranya adalah Benoxaprofen. Obat ini
oleh US-FDA (United State Food and Drug Administrations) disetujui untuk dipasarkan pada
bulan April,2002, empat bulan kemudian setelah persetujuan tersebut (Agustus 1982),
Benoxaprofen dihentikan peredarannya karena terbukti menyebabkan 61 kematian akibat
terjadinya choloestatic jaundice (Carson & Strom, 1994 )
Obat merupakan komponen esensial dari suatu pelayanan kesehatan dan sudah merupakan
kebutuhan pokok masyarakat. Masyarakat seharusnya setelah menerima pelayanan kesehatan
beserta obat tentunya perlu mendapatkan informasi tentang penggunan obatnya agar dapat
digunakan dengan benar,tepat dan aman (Anonim,2006)
Puskesmas merupakan salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan dasar dalam sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia. Puskesmas mempunyai peran sangat strategis dalam
pelayanan kesehtan masyarakat. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakann salah satu
komponen penting dalam pelayanan kesehetan dasar (Anonim, 2006)
Penerapan otonomi daerah secar penuh pada 1 Januari 2001 membawa perubahan dasar
dalam ketatangearaan Republik Indonesia. Sebelum penerapan otonomi daerah,pengelolaan
obat pada dasarnya dilakukan secara terpusat. Akan tetapi sejak otonomi daerah tahun 2001,
pengelolaan obat dilakukan secara penuh oleh Kabupaten atau Kota mulai dari spek
seleksi,perencanaan, pemilihan obat pengadaan obat,pendistribusian dan pemakaian. Sejak
penerapan otonomi daerah penambahan jumlah Kabupaten-Kota sangat pesat (Anonim,2004).
Perlu dilakukan penelitian tentang pola penggunaan dan persediaan analgetik di Puskesmas
untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan dan pengelolaan obat di fasilitas kesehatan seperti
di Puskesmas terutama untuk obat-obatan analgetik yang pemakiannya terus meningkat dari
waktu ke waktu. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Depok II dan Cangkringan Kabupaten
Sleman, Yogyakarta.
METODE
Penelitia ini dilakukan mengikuti rancangan penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan
pengumpulan data secara retrospektif di Puskesmas Depok II dan Puskesmas Cangkringan
untuk mengetahui pola penggunaan dan persediaan analgetik di kedua Puskesmas.
Bahan dan sumber data dalam penelitian imi diperoleh data resep dan Laporan Obat (LPLPO)
di Puskesmas Depok II dan Puskesmas Cangkringan,Kabuupaten Sleman. Akat penelitian
yang digunakan adalah lembar pengumpulan data untuk resep dan LPLPO.
Subyek penelitian adalah pasien yang menerima terapi menggunakan analgetik berdasarkan
resep yanng diberikan dokter umum maupaun dokter gigi. Sampel yang diambil ada 2 jenis
yaitu respen dan LPLPO. Metode pengambilan resep dilakukan dnegan motede systematcic
random sampling, yaitu diambil sempel resep secara acak dengan nomor ganjil, sedangkan
LPLPO diambil seluruh populasi.
HASIL
Pada tabel II terlihat bahwa kelompok umur dewasa dalam penelitian ini dibagi
menjadi 2, yaitu rentang umur 18 < 30 tahun dan 30< 60 tahun. Pembagian ini
dilakukan , karena ingin melihat bagaimana nyeri terjadi pada seseorang yang telah
melampaui umur 30 tahun. Setelah umur melampaui 30 tahun,proses menua akan
berjalan mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang mulai rapuh,
meningkatkan kerentanan seorang terhadap penyakit dan akhirnya meninggal
(Brocklehusrt & Allen , 1987 ; Miller , 1994 ). Rentang umur 30-60 tahun merupakan
rentang umur terbesar di Puskesmas Cangkrinagn yaitu 41,11% sedangkan di
Puskesmas Depok II 25,56%. Rentang umur 18 < 60 tahun lebih banyak di Puskesmas
Depok II (17,22%) dan di Puskesmas Cangkringan 12,22%.
B. Pola penggunaan analgesik
Tabel III. Golongan,nama dan bentuk sediaan analgetik yang tersedia di Puskesmas
Depok II dan Puskesmas Cangkringan
Analgetik Nama Bentuk Puskesmas Puskesmas
Non- Analgetik Sediaaan Depok II Cangkringan
Narkotik
Alopurinol Tablet ++ ++
Derivat
100mg
Primidin
Ibuprofen Tablet ++ ++
Propionat
400mg
Metampiron Tablet ++ ++
Derivat
(antalgin) 500mg
Sulfonat
Parasetamol Tablet ++ -
Derivat
100mg
asetanilida
Tablet ++ ++
500mg
Sirup ++ ++
120mg/ 5ml
Asam Tablet500mg + +
Derivat
mafenamat
antranilat
Tabel. a.IV pemakaian analgetik tunggal dan kombinasi berdasarkan resep di Puskesmas
Cangkringan
Febris 23 12,77
12 6,67
Faringitis
Hipertensi 9 5
Arthralgia 9 5
Varicella 5 2,78
Hipotensi * *
Vulnus 4 2,22
Cephalgia 4 2,22
Konjungtivitis 3 1,67
Myalgia 3 1,67
Lain-lain 22 12,22
ISPA-TBC 3 1,67
ISPA-Hipertensi * 0
ISPA-hipotensi * 0
ISPA-myalgia-hipertensi * 0
ISPA-myalgia * 0
Hipertensi-faringitis * 0
Hipertensi-myalgia * 0
Hipertensi-cephalgia * 0
Hipertensi-arthralgia * 0
Cephlagia-dermatitis * 0
Gastritis-myalgia * 0
Macam-macam kombinasi * 0
penyakit lain
Subtotal 4 2,23
Febris 4 2,22
Faringitis 14 7,78
Hipertensi 9 5
Arthralgia 7 3,89
Varicella 1 0,56
Hipotensi 6 3,33
Vulnus 9 5
Cephalgia 9 5
Konjungtivitis 7 3,89
Myalgia 14 7,78
Lain-lain 21 11,67
128 71,11
Sub total
ISPA-TBC * 0
Dermatitis- keratitis * 0
ISPA-Hipertensi 3 1,67
ISPA-hipotensi 3 1,67
ISPA-myalgia-hipertensi 1 0,56
ISPA-myalgia 1 0,56
Hipertensi-faringitis 2 1,11
4 2,22
Hipertensi-myalgia
Hipertensi-cephalgia 2 1,11
Hipertensi-arthralgia 1 0,56
Cephlagia-dermatitis 2 1,11
Gastritis-myalgia 2 1,11
Macam-macam kombinasi 31 17,22
penyakit lain
Subtotal 51 28,33
Total persediaan analgesik tahun 2006 untuk Puskesmas Depok II adalah 121.919,
sedangkan di Puskesmas Cagkringan adalah 108.204. Parasetamol tablet 500mg merupakan
item terbanyak dalam penyediaan analgetik,yaitu sebesar 67,59% di Puskesmas Depok II dan
48,16 % di Puskesmas Cangkringan. Hasil ini sesuai degan pemakaian analgetik terbanyak
kedua di Puskesmas yang juga sama yaitu parasetamol 500mg.
KESIMPULAN
Analgetik yang digunakan di Puskesmas Depok II dan Cangkringan yaitu alopurinol 100mg,
ibuprofen 400mg ,antalgin 500mg , parasetamol 100mg baik di Puskesmas Depok II
(77,22%) maupun di Puskesmas Cangkringan (57,78%) . Kombinasi analgetik di Puskesmas
Cangkringan yang paling besar adalah alopurinol 100mg dan parasetamol 500mg (1,11%)
sedangkan di Puskesmas Depok II berdasarkan data resep tidak ditemukkan kombinasi
analgesik.
Diagnosa penyakit tunggal yang paling banyak adalah ISPA baik di Puskesmas Depok II
(45,59%) maupun di Cangkringan (21,88%). Multipel penyakit banyak ditemukan di
Puskesmas Cangkringan.
ANTIHISTAMIN
Abstrak
Antihistamin yanng pertama kali digunakan pada awal tahun 1940, secara klinik berguna
sebagai anti-alergi. Antihistamin generasi pertama merupakan obat yang paling banyak
digunakan didunia dan bermanfaat untuk meringankan gejala-gejala alergi dan influenza pada
banyak penderita , dapat diperoleh di toko obat dalam bentuk kombinasi. Kegunaannya
terbatas sebab menimbulkan rasa kantuk karena antihistmanin berkaitan dengan reseptor
histmain diotak. Tiga puluh tahun kemudia efek kerja histmain dibagi menjadi 2 keompok
yaitu reseptor AH1 dan reseptor AH2. Sejak tahun 1981 ditemukan antihistamin generasi ke-2
(terfenadun,astemizol, loratidim dan cetirizin),bekerja menghambat reseptor H1 di perifer
tanpa menembus sawar darah otak. Meskipun secara keseluruhan hasilnya baik,ternyata
terfenadin dan aztemizol dapat menimbulka aritmia vertikel yang membahayakan kehidupan.
Antihistamin generasi ke -3 terdiri dari fexofenadin,norastemizol dan dascarboethoxy
loratidin merupakan metabolit alami generasi ke-2 dan secara klinis berguna dan tidak
berpengaruh terhadap elektrofisiologi jantung.
Abstract
The antihistamine was first used in the early 1940s, clinically useful as an anti-allergic. First-
generation antihistamines are the most widely used drugs in the world and are useful for
alleviating the symptoms of allergies and influenza in many patients, can be obtained in drug
stores in combination. Its usefulness is limited because it causes drowsiness because
antihistmanin is associated with histmain receptors in the brain. Thirty years later the
histmain working effect is divided into 2 groups ie AH1 receptors and AH2 receptors. Since
1981, 2nd generation antihistamines have been found (fenugly, astemizol, loratidim and
cetirizin), working to inhibit H1 receptors in the periphery without penetrating the blood
brain barrier. Although overall the result is good, it turns out that terfenadin and aztemizol
can cause life-threatening vertical arrhythmias. 3rd generation antihistamines consisting of
fexofenadine, norastemizol and dascarboethoxy loratidin are the 2nd generation natural
metabolites and are clinically useful and have no effect on cardiac electrophysiology.
Keywords: allergy, 3rd generation antihistamine, electrophysiology, quality of life
PENDAHULUAN
Antihistamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema,eritem dan pruritus,tetapi
tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut
digolongkan dalam anthistamin penghambat reseptor H1 (AH1). Setelah tahun 1972
ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat
histamin. Antihistamin ini digolongkan sebagai antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2).
Kedua jenis antihhistamin ini bekerja secara kompetitif yanti dengan menghambat imteraksi
histamin dan resptor histamin H1 atau H2 setelah itu terdapat banyak usaha untuk menemukan
obat baru yang mampu menghambat kedua reseptor dengan berbagai kekuatan dan
spesifitasnya.
Histamin menyebabkan kontraksi otot polos antara lain pada bronkus dan usus, tetapi
menyebabkan relaksasi kuat pada otot polos,pembuluh darah kecil, sehingga
permebealitasnya meningkat dan timbuk pruritus. Selain itu,histamin merupakan perangsang
kuat sekresi asam lambung dan kelenjar eksokrin lainnya misalnya kelenjar mukosa saluran
nafas. Akkibat vasodilatasi pada pembulh darah kecil maka timbul kemerahan dan rasa panas
didaerah wajah,resistensi perifer menurun sehingga tekanan darah menurun (hipotensi).
Permeabilitas kapiler meningkat sehingga protei dan cairan plasma keluar ke ruangan
ekstraseluler dan menimbulkan edema. Efek bronkokontriksi dan kontraksi usus karena
histamin dapat dihambat oleh AH1 . Efek histamin terhadap sekresi lambung dapat dihambat
oleh AH2 misalnya simetidin dan ranitidin. AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik
berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. Secraa klinis alergi
terdapat pada penyakit rinitis alergika,uritkaria dan angiodema.
Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya peradangan dan
gejala alergi. Mekanisme kerja obt antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi
berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berkaitan dengan reseptor H1
atau H2 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak
reseptor H1. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh antihistamin. Peristiwa molekular ini
akan mencegah untuk sementara timbulnya reaksi alergi.
Reseptor H1 diketahui terdapat di otak,retina, medula adrenal , hati ,sel endotel, pembuluh
darah otak, limfosit,otot polos saluran nafas, saluran cerna,saluran genitourinarius dan
jaringan veskuler. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam jantung. Sedangkan
reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus . Dikulit juga terdapat reseptor
H3 yang merupakan autoreseptor, mengatur pelepasan dan sintesis histamin. Namun, peranan
dalam menimbulkan gatal dan inflamasi masih belum jelas.
Sejak antihistamin ditemukan sebagai suatu zat kimia yang mempengaruhi banyak proses faal
dan patologik dalm tubuh , maka dicari obat yang dapat melawan khasiat histamin. Epinefrin
merupakan antagonis faal yang pertama kali digunakan,efeknya lebih cepat dan lebih efektif
daripada AH1.
Sejak tahun 1937-1972 , ditemukan beratus-ratus antihsitamin dan digunakan dalam terapi
namun khasiatnya tidak banyak berbeda. AH1 ini dalam dosis terapi efektif untuk
menghilangkan bersin , rinore,gatal pada mata,hidung dan tenggorokan pada seasonal hay
fever,tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. AH1
efektif untuk mengatasi uritkaria akut,sedangkan pada uritkaria kronik hasilnya kurang baik.
Mekanisme kerja antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui
kompetisi dalam berkaitan dengan reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya
tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan
genersi pertama. Untuk pedoman terapi,penggolongan AH1 dengan lama kerja , bentuk
sediaan dan dosis dapat dilihat pada Tabel 1.
Antihistamin genersi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal atau dalam bentuk
kombinasi dengan obat dekongestan , misalnnnya untuk pengobatan influenza .Kelas ini
mencakup klorfeniramine, difenhidramine,prometazin,hidroksisin dan lain-lain. Pada
umumnya obat antihistamin generasi pertama ini memepunyai efektifitas yang serupa bila
digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu sama lain menurut
gambaran efek sampingnya. Namun ,efek yang tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan
rasa mengantuk sehingga mengganggu aktifitas dalam pekerjaan,harus berhati-hati waktu
mengendarai kendaraan,mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin
berat. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini memiliki
sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada
reseptor H1 disel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada reseptor H1 sel
otak,kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. Selain itu,efek sedatif diperberat
pada pemakaian alkohol dan obat antidepresan misalnay minor tranquillisers. Karena itu
penggunaan obat ini harus berhati-hati. Disamping itu,beberapa antihistamin mempunyai efek
samping antikolinergik seperti mulut menjadi kering,dilatasi pupil, penglihatan berkabut
,retensi urin , konstipasi dan impotensia.
Setelah tahun 1972 ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat menghambat sekresi
asam lambung akibat histamin yang burinamid,metilamid dan simetidin. Ternyata
antihistamin generasi kedua ini memberi harapan untuk pengobatan ulkus peptikum,gastritis
atau duodentis. Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi
pertama,memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit menembuh sawar darah otak.
Reseptor H1 sel otak lebih tetap diisi oleh histamin sehingga efek samping yang ditimbulkan
agak kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan
dosis yang tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari terutama untuk penderita
alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka
panjang pada penyakit kronik seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin pada
asma msih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis ini yang dapat mencegah bronkokontriksi
karena histamin,antihistamin dapat meredakan gejala ringan asma kronik dan gejala-gejala
akibat menghirup alergen pada penderita dengan hiperaktif bronkus. Namun, pada umumnya
mempunyai efek terbatas dan terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat
sehingga antihsitamin generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang digolongkan
dalam antihistamin generasi kedua yaitu terfaenadin, astemizol,loratidin dan cetirizin.
Terfaenidin diperkenalkan di Eropa pada tahun 1981 dan merupakan antihistamin pertama
yang tidak mempunynai efek sedasi dan diinjinkan beredar di Amerika Serikat pada tahun
1985. Namun pada tahun 1986 pada keadaaan tertentu dilaporkan terjadinya ritmia ventrikel,
gangguan ritme jantung yang berbahaya , dapat menyebabkan pingsan dan kematian
mendadak. Beberapa faktor seperti hipokalemia,hipomagnesia,bradikarda,sirosis atau
kelainan hati lainnya atau pemberian bersamaan dengan juice anggur,antibiotik makrolid
(misaalnya eritromizin) obat antijamur (misalnya itraconazole atau ketoconazole) bebahaya
karena dapat memperpanjang interval QT. Pada tahun 1997 FDA menarik terfaenadin dari
pasaran karen telah ditemukannya obat sejenis dan lebih aman.
Loratidin (Claritin) mempunyai farmakokinetik serupa dengan terfaenadin dalam hal mulai
bekerjanya dan lamanya. Seperti halnya terfaenidin dan astemizole obat ini mula-mula
mengalami metabolisme lebih lanjut. Loratidin ditoleransi dengan baik,tanpa efek sedasi serta
tidak mempunyai efek terhadap susuanan saraf pusat dan tidak pernah dilaporkan terjadinya
kematian mendadak sejak obat ini diperbolehkan beredar pada tahun 1993.
Golongan obat dan contohnya Masa kerja Bentuk sediaan Dosis tunggal
dewasa
ETANOLAMIN
ENTILENDIAMIN
ALKILAMIN
FENOTIAZIN
Tablet 4mg,sirup
Siproheptadin 6 4mg
2mg/5ml
Mebhidrolin 4 50-100mg
Tablet 50mg
napadisilat
Feksofenadin (Telfast)
Merupakan mentabolit karbosilat dari antihsitamin generasi kedua terfaenadin dan diijinkan
untuk dipasarkan oleh FDA pada Juli 1996. Setlah diketahui bahwa feksofenadin tidak
berpengaruh buruk terhadap elektrofisiologi jantung dan mempunyai efektivitas sama seperti
terfenadine dan telah dipasarkan di Indonesia dnegan nama dagang Telfast (di Amerika :
Allegra). Sifat-sifat kimia feksofenadin adalah secara oral cepat diabsorpsi hanya sekitar 5%
mengalami metabolisme. Sisanya diekresi dalam urin dan fese tanpa mengalami perubahan.
Hasil ini tidak dipengaruhi oleh adanya gangguan pada fungsi hati dan ginjal. Pada penderita
usia lanjut atau penderita dengan gangguan fungsi ginjal,kadar feksofenadine dalam palsma
darah dapat meningkat 2kali daripada normal. Namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan
karena indeks terapi obat relatif tinggi.Feksofenadin tidak berpengaruh terhadap interval QT
pada percobaan binatang atau pada manusia yang diberi 10kali lipat dosis standar 60mg 2kali
sehari. Feksofenadine tidak menembus sawae darah otak sehingga tidak mempunyai efek
sampinng terhadap susunan saraf pusat.
Penelitian yang dilakukan oleh Meltzer dkk, pada 826 penderita rinitis allergika kronik
karena musim dari 12 hingga 65 tahun dengan pemberian feksofenadin 60mg ternyata dapat
meningkatkan kualitas hidup,tidak mengganggu aktifitas dan produktifitas kerja. Penggunaan
antihistamin untuk penderita lanjut usia harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan
interaksi obat serta kondisi organ tubuh yang biasanya mengalami penurunan. Feksofenadin
merupakan antihistamin non-sedatif yang sama dengan terfenadin tetapi tidak bersifat
kardiotoksik. Pada penderita penyakit hati tidak diperlukan penyesuaian dosis,demikian juga
untuk penderita gangguang fungsi ginjal dosis yang dianjurkan adalah dosis tunggal
60mg/hari .
Norastemizole
DCL
(diproduksi oelh Schering Plough) lebih kuat dari pada loratadin terhadap reseptor H1 . Juga
diketahui bahwa obat ini menghambat reseptor muskarinik M1 dan M3 sehingga
meningkatkan efek dalam pengobatan asma bronkiale. DCL mula kerjanya sedikit lebih
lambat dan mempunyai waktu paruh dalam plasma lebih panjang dibandingkan dengan
loratadine. Dalam percobaan binatang dengan dosis yang tinggi ternyata tidak berpengaruh
terhadap interval QT dan denyut jantung meskipun dnegan dosis sampai 100mg/kgBB. Pada
kombinasi dengan eritromisinkadar DCL dalam plasma sedikit menurun.
Antihistamin yang dibagi dalam antihistamin generasi pertama dan antihistamin generasi
kedua ,pada dasarnya mempunyai daya penyembuh yang sama terhadap gejala-gejala alergi.
Yang berbeda adalah antihistamin klasik mempunyai efek samping sedatif. Efek sedatif ini
diakibatkan oleh karena antihistamin klasik dapat menembus sawar darah otak (blood bran
barrier) sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin
menempel diresptor H1 sel otak,kewspadan menurun sehingga timbul rasa mengantuk.
Sebaliknya,antihistamin generas kedua sulit menembus sawar darah otak sehingga efek
sedatif tidak terjadi. Oleh karena itulah antihistamin generasi kedua disebut juga antihistamin
non-sedatif. Badan yang mengawasi peredaran obat di Amerika (FDA) pada tahun 1997
mencabut peredaran terfenadine karena timbulnya artimia,takikardia ventrikular,pemanjangan
interval QT. Aritmia ini dapat menimbulkan pingsan dan kematian mendadak karena
gangguan jantung. Pemilihan obat antihistamin yang ideal harus memenuhi kriteria sebagai
berikut yaitu keamanan,kuallitas hidup,kerja cepat tanpa efek samping dan mempunyai
antialergi.
KESIMPULAN
Penggunaan antihistamin generasi ketiga akhir-akhir ini menunjukan bahwa obat ini sangat
baik untuk pengobatan rinitis alergika. . Faksofenadine tidak berpengaruh terhadap jantung.
DCL mempunyai efek yang relatif lebih baik dibanding loratidin sehingga memberi pilihan
antihistamin yang lain. Norastemizole tampak mempunyai kekuatan yang lebih baik dan lebih
aman dengan aktifitas yang lebih cepat. DCL dan Norastemizole belum dipasarkan di
Indonesia. Kadar antihistamin generasi ketiga ini dalam plasma mempunyai batas keamanan
yang lebih baik,sehingga dapat digunakan secara luas seperti pada rinitis alergika,urotkaria
dan kemungkinan untuk asma.