Anda di halaman 1dari 33

ANTASIDA

Abstrak

Gastritis merupakan penyakit lambung yang paling banyak ditemukan di masyarakat. Setiap
hari sering kita temukan penderita yang datang berobat denga keluhan di saluran pencernaan
bagian atas,misalnya rasa nyeri atau panas didaerah epigastrium,mual,kadang-kadang disertai
muntah,rasa panas diperut,rasa kembung,perassaan lekas kenyang. Dalam pengobatan
gastritismbiasanya digunakan terapi tunggal,namun ada beberapa yang menggunakan terapi
kombinasi 2 jenis obat. Biasanya obat yang digunakan dalam terapi kombinasi diberikan
berdasarakan derajat gastritisnya. Dalam penelitian ini kombinasi obat yang diamati adalah
Ranitidi dengan Sukralfat dan Ranitidin dengan Antasida. Gambaran penggunaan obat ini
dinilai berdasrakan gejala klinis dan pemeriksaan Endoskopi. Pasien yang positif,menderita
gastritis dibagi menjadi dua kelompok. Kemudian pasien diberikan terapi dengan
(Ranitidin,Sukralfat) dan (Ranitidin,Antasida) selama 2 minggu. Setelah 4 bulan dari terapi
diberikan dilakukan evaluasi terhadap pasien meliputi rasa sakit / nyeri di perut,rasa
mual,rasa muntah,pedih sebelum dan sesusah makan,perasaan panas di perut,lekas
kenyang,kembung. Dan hasil evaluasi yang dilakukan pada kedua kelompok tersebut
didapatkan hasil pada kelompok 1 jumlah pasien yang keluhannya menghilang sebaanyak
100% dan pada kelompok 2 sebanyak 80%.

Kata Kunci : Gastritis, Endoskopi, Antasida, Sukralfat, Ranitidin

Abstract

Gastritis is the most common gastric disease found in the community. Every day we often
find patients who come treated with complaints in the upper gastrointestinal tract, such as
pain or heat in the area of epigastrium, nausea, sometimes accompanied by vomiting, heat in
the stomach, feeling bloated, feeling satiated. In the treatment of gastritism usually used
single therapy, but there are some who use combination therapy 2 types of drugs. Usually the
drugs used in combination therapy are given based on the degree of gastritis. In this study the
combination of drugs observed was Ranitidi with Sukralfat and Ranitidine with Antacids.
The description of the use of this drug is assessed based on clinical symptoms and endoscopy
examination. Positive patients, suffering from gastritis are divided into two groups. Then the
patient was given therapy with (Ranitidin, Sukralfat) and (Ranitidin, Antasida) for 2 weeks.
After 4 months of therapy is given an evaluation of the patient include pain / pain in the
stomach, nausea, vomiting, pain before and after eating, feeling hot in the stomach, quickly
sated, bloated. And the results of the evaluation conducted in both groups were found in
group 1 the number of patients whose complaints disappear as much as 100% and in group 2
as much as 80%.

Keywords: Gastritis, Endoscopy, Antacids, Sucralfat, Ranitidine

PENDAHULUAN

Gastritis merupakan penyakit lambung yang paling banyak ditemukan di masyarakat. Hampir
setiap orang pernah menderita penyakit ini, baik Gastritis akut maupun kronik. Setiap hari
sering kita temukan penderita yang datang berobat dengan keluhan di saluran pencernaan
bagian atas,misalnya rasa nyeri atau panas didaerah epigastrium,mual,kadang-kadang disertai
muntah,rasa panas diperut,rasa kembung,perasaan lekas kenyang. Biasanya keluhan yang
diajukan penderita tersebut ringan dan dapat diatasi dengan mengatur makanan,tetapi kadang-
kadang dirasakan berat,sehingga ia terpaksa meminta pertolongan dokter bahkan sampai
terpaksa diberi perawatan khusus (Nadi S, 1998).

Gastritis adalah inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Gartitis kronik
tingkat ringan sampai sedang sering ditemukan pada masyarakat,terutama sekali pada orang
dewasa. Inflamasi ini kadang-kadang terjadi superficial atau di permukaan mukosa lambung
saja sehingga tidak begitu nyeri, jadi tidak begitu mengganggu. Akan tetapi, bila inflamasi
telah mengenai sampai kedalam mukosa lambung,maka timbul nyeri didaerah epigastrium.
Bila gastritis kronis berlangsung dalam jangka waktu yang lama,maka dapat menyebabkan
atropi mukosa lambung beserta kelenjar-kelenjar yang terdapat didalamnya. Namun,kadang-
kadang gastritis bisa pula menjadi sangat akut dan berat dengan ekskoriasi ulseratif (luka
bertukak) mukosa lambung yang disebabkan oleh aktifitas sekresi sel peptik dari lambung
sendiri,yaitu berupa enzim pepsin (Herman, 2004)

Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor – faktor
defensif (resistensi mukosa ) pada mukosa lambung dan duodenum menyebabkan terjadinya
gastritis,duodentis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. Asam lambung yang bersifat korosif
dan pepsin yang bersifat proteolitik merupakan dau faktor terpenting dalam menimbulkan
kerusakan mukosa lambung duodenum. Faktor-faktor agresif lainnya adalah garam
empedu,obat-obat ulserogenik (aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lainnya, kortikosteroid
dosis tinggi), merokok, etanol, bakteri, leukotrien B4 dan lain-lain (Katzung, 2004)

Tujuan utama dalam pengobatan gastritis adalah menghilangkan nyeri,menghilangkan


inflamasi dan mencegah terjadinya ulkus lambung dan komplikasi. Berdasarkan
patofisiologinya terapi farmakologi gastritis ditujukan untuk menekan faktor agresif dan
memperkuat faktor defensif. Sampai saat ini pengobatan ditujukan untuk mengurangi asam
lambung yakni dengan cara mentralkan asam lambung dan mengurangi sekresi asam
lambung. Selain itu pengobatan gastritis juga dilakukan dengan memperkuat mekanisme
defensif mukosa lambung dengan obat-obatan sitoproteksi (Dipiro, 2008).

Telah banyak obat yang beredar yang bertujuan mengobati penyakit gastritis. Disamping itu
kepada penderita tetap dianjurkan mengatur pola makannya dan menghindari faktor-faktor
yang dapat memperparah penyakitnya. Penggunaan obat penghambat H2 (Ranitidin )
bertujuan untuak mengurangi skeresi asam,antasud digunakan untuk menetralkan asam yang
terseksresi dan sukralfat untuk melapisi daerah inflamasi atau uleserasi sehigga dapat
mempercepat penyembuhan (Herman, 2004)

Dalam pengobatan gastrititis biasanya digunakan terapi tunggal namun ada beberapa yang
menggunakan terapi kombinasi 2 jenis obat. Biasanya obat yang digunakan dalam terapi
kombinasi diberikan berdasarkan derajat gastritisnya. Banyak penderita yang dapat
disembuhkan pengobatan tersebut diatas, tetapi banyak pula yang sukar disembuhkan, hal ini
mendorong peneliti untuk mengetahui kombinasi obat apa yang dapat memberikan gambaran
terapi lebih bak dalam pengobatan gastritis. Dalam penelitian kombinasi yang diamait dengan
kombinasi Ranitidin dengan Sukralfat dan Ranitdin dengan Antasida.

METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan peneltian observasi secara prospektif dengan teknik purposive


sampling (Irawan,1999). Populasi penelitian adalah penderia gastritis yang memenuhi kriteria
inklusi di SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi mulai bulan November
2010 sampai Mei 2011. Sampel penelitian adalah semua populasi yang memenuhi kriteria
dalam peenlitian ini. Kriteria inklusi (semua pasien yang menderita Gastritis,Pasien Askes,
ada gambaran gastritis yang dibuktikan dengan hasil endoscopy, tidak pulang paksa, tidak
meninggal selama penelitiann ini ). Kriteria eksklusi ( pasien yang pulang paksa,pasien
meninggal dalam penelitian ini,tidak ada hasil endosccopy), Variabel penelitian : Variabel
dependen (kombinasi jenis obat ), dan variabel Independen (Jenis kelamin,lama menderita
gaastritis,hasil wawancara).

Pasien yang memenuhi syarat (kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi) dicatat dalam
lembaran penelitian. Pasien yang positif menderita gastritis dibagi menjadi dua kelompok.
Kemudian pasien diberikan terapi dengan (Ranitidin, Sukralfat) dan (Ranitidin,Antasida)
selama 2 minggu. Setelah 4 bulan terapi diberkan evaluasi terhadap pasien yang diamati
adalah : rasa sakit / nyeri diperut, rasa mual,muntah, pedih sebelum dan sesudah
makan,perasaan panas diperut,lekas kenyang,kembung.

Hasil dan Pembahasan

Dari penelitian yang telah dilakukan pemeriksaan endoskopi dengan keluhan neyri ulu
hati,pedih sebelum dan sesudah makan,perasaan mual kadang-kadang disertai muntah,rasa
panas di epigastrium,lekas kenyang,kembung, kadang-kadang nafsu makan bekurang
ditemukan 10 kasus dengan tanda-tanda gastritis.

Karakteristik Penderita

1. Berdasarkan derajat gastritisnya


Berdasarkan derajat gastritisnya yang dilihat dari gambaran mukosa lambung pasien
yang di endoskopi didapat pasien yang menderita gastritis ringan sebanyak 5 orang
dan gastritis sedang sebanyak 5 orang.
Tabel.1 Distribusi pasien berdasarkan derajat gastritisnya.

Derajat gastritisnya Jumlah orang


Gastritis ringan 5
Gastritis sedang 2

Gambaran endoskopi mukosa lambung pasien sebelum diberikan terapi

Pada penelitian ini didapatkan gambaran mukosa hiperaemis ringan sampai sedang pada
esofagus dan gaster sedangkan pada duodenum tidak ditemukan kelainan. Kemudian pada
gaster terdapat mukosa hiperaemis terutama ditemukan pada daerah antrum sebanyak 3
orang.
Tabel II. Distribusi gambaran mukosa lambung sebelum pengobatan

Lokasi Jumlah
Esofagus : 1
Mukosa hiperaemis ringan,tak ada ulkus
varices dan tumor.
Gastrer :
Mukosa hiperaemis ringan disertai
hipersekresi,tak ada ulkus dan tumor.
Doudenum : Tak ada kelainan
Esofagus : 1
Mukosa hiperaemis ringan, tak ada ulkus
varices dan tumor
Gaster :
Mukosa hiperaemis tak ada ulkus dan
tumor,banyak cairan lambung
Duodenum :
Mukosa hiperaemis,tak ada ulkus dan tumor
Esofagus : 3
Mukosaa hiperaemis ringan,tak ada
ulkus,varices dan tumor
Gaster:
Mukosa hiperaemis ringan pada antrum, tak
ada ukus ,varices dan tumor.
Duodenum :
Tak ada kelainan
Esofagus : 2
Mukosa hiperaemis,tak ada ulkus,varices dan
tumor
Gaster:
Mukosa hiperaemis ringan,tak ada uklus dan
tumor
Duodenum :
Tak ada kelainan
Esofagus : 1
Mukosa normal, tak ada ulkus,varices dan
tumor
Gaster :
Mukosa hiperaemis sedang, tak ada ulkus
dan tumor
Duodenum :
Tak ada kelainan
Esofagus : 1
Mukosa hiperaemis sedang,tak ada
ulkus,varices dan tumor
Gaster :
Mukosa hiperaemis sedang, tak ada ulkus
varices dan tumor
Duodenum:
Tak ada kelainan
Esofagus : 1
Mukosa hiperaemis ringan,tidak ada ulkus
varices dan tumor
Gaster :
Mukosa hiperaemis ringan, tak ada ulkus
varices dan tumor
Duodenum :
Tak ada kelainan

Keluhan Klinis Penderita Gastritis

Berdasarkan gejala klinisnya pada penelitian ii pasien datang dengan mengalami keluhan
nyeri ulu hati sebnaak 10 orang,mual 8 orang,muntah 5 orang,nafsu makan menurun 4 orang
dan perut kembung sebannyak 3 orang.

Tabel III. Keluhan klinis yang dialami penderita gastritis

Keluhan Jumlah
Nyeri ulu hati 10
Mual 8
Muntah 5
Nafsu makan menurun 4
Perut terasa kembung 3

EVALUASI SETELAH PEMBERIAN TERAPI

Setelah pemeberian terapi dengan kombinasi Rantidin dengan Sukralfat (Kelompok I) dan
Ranitidin dengan Antasida (Kelompok II) didapatkan gambaran terapi yang dilihat dari lama
perbaikan penyakit yaitu kelompok 1 dengan jumlah pasien yang keluhannya berkurang
dalam waktu kurang dari satu minggu sebanyak 2 orang dan kelompok II sebanyak 1
orang,dalam waktu satu minggu pada kelompok satu sebanyak dua orang dan kelompok dua
sebanyak dua orang,dalam waktu dua minggu kelompok satu sebanyak satu orang dan
kelompok dua sebanyak dua orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel tersebut :

Tabel IV. Lama perbaikan penyakit yang dilihat dari hilangnya keluhan

Lama perbaikan penyakit Kelompok 1 Kelompok 2


Kurang satu minggu 2 1
Satu minggu 2 2
Dua minggu 1 2
Lebih dari 2 minggu 0 0

Setelah diberikan terapi pada kedua kelompok tersebut dan dilakukan wawancara pada pasien
didapatkan hasil pada kelompok 1 (Ranitidin dan Sukralfat) jumlah pasien dan keluhannya
menghilang sebanyak 5 orang dan pada kelompok II ( Ranitidin dan Antasida) yang
menghilang sebanyak 4 orang dan 1 orang keluhannya berkurang. Perbedaan gambaran terapi
antara kombinasi Ranitidin dengan Sukralfat dan Ranitidin dan Antasida dapat dilihat pada
tabel dibawah ini

Keluhan Kelompok 1 Kelompok 2


Menghilang 5 4
Berkurang - 1
Menetap - -
Bertambah parah - -

PEMBAHASAN

Penelitian ini diberikan terhadap 10 penderita gastritis yang bersedia menjalani pemeriksaan
endoskopi. Pada umumnya pederita sering mengalami keluhan nyeri pada ulu
hati,mual,muntah,anoreksia,kembung,dimana berdasarkan literartur keluhan tersebut
merupakan gejala klinis yang sering dialami pasien yang didiagnosa gastrits dan pada
pemeriksaan endoskopi ditemukan kemerahan atau erois pada mukosa lambung

Karakteristik penderita

Berdasarkan derajat gastritisnya pada penelitian ini jumlah pasien yang menderita gastritis
ringan sebnayak 5 orang dan gasritis sedang sebanyak 5 orang. Perbedaan antara gastritis
ringan dan sedang dapat dilihat dari gambaran kemerahan atau erosi pada mukosa lambung.

a. Gambaran mukosa lambung pasien sebelum diterapi


Dari gambaran mukosa lambung pasien pada esofagus terdapat mukosa hiperaemis
ringan sampai sedang dan pada gaster banyak ditemukann hiperaemis ringan terutama
pada bagian antrum yang disertai dengan hipersekresi cairan lambung sedangkan pada
duodenum tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada penderita gastritis akut,mukosa memerah,edema dan ditutupi oleh mukus yang
melekat juga sering terjadi erosi kecil dan pendarahan.
b. Keluahan klinis penderita gastritis
Dari keluhan klinis penderita gastritis yang menderita keluhan nyeri ulu hati sebanyak
10 orang,mual sebanyak 8 orang,muntah 5 orang,nafsu makan menurun sebanyak 4
orang dan perut terasa kembung sebanyak 3 orang. Dimana keluhan tersebut
merupakan gejala klinis yang sering dialami oleh pasien yang didiagnosa menderita
gastritis
Manifestasi klinis gastritis dapat bervariasi dari keluhan abdomen yang tidak
jelas,seperti anoreksia,bersendawa,mual,nyeri epigastrum,muntah,pendarahan dan
hematemesis. Pada beberapa kasus,bila gejala-gejala menetap dan resisten terhadap
pengobatan maka diperlukan tindakan diagnostik tambahan seperti endoskopi,biopsi
mukosa,dan analisis cairan lambung untuk memperjelas diagnosis (William dan
Wilkins , 2010)
c. Evaluasi setelah pemberian terapi
Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dibagi dalam dua kelompok. Masing-
masing kelompok I mendapatkan terapi Ranitidin dan Sukralfat dan kelompok II
mendapatkan terapi Ranitidin dan Antasida
Gambaran terapi kombinasi obat ini dapat dilihat dari lama perbaikan penyakit
dimana pada kelompok I (Ranitidin dan Sukralfat) jumlah pasien yang keluhan
berkurang dalam waktu kurang dari seminggu sebnanyak 2 orang,dalam jangka waktu
seminggu sebanyak 2 orang dan 2 minggu sebanyak 1 orang. Sedangkan pada
keompook II (Ranitidin dan Antasida ) jumlah pasien yang keluhannya berkurang
dalam waktu kurang dari seminggu sebanyak 1 orang dan dalam waktu seminggu 2
orang kemudian yang jangka waktu 2 minggu sebanyak 1 orang. Perbedaan lama
perbaikan atau terapi diatas juga dipengaruhi oleh keadaan individu masing-masing
pasien,gaya hidup serta faktor penyebab timblunya gastritis.
Untuk melihat gambaran penggunan dari kedua kombinasi obat ii dilakukan
pengamatan terhadap pasien dengan membandingkan keluhan yang dialami sebelum
diberi terapi dan sesudah diberi terapi. Pada penelitian ini didapat jumlah pasien yang
keluhannaya menghilang sesudah diterapi pada kelompok I (Ranitidin dan Sukralfat)
sebanyak 5 orang dan kkelompok II (Ranitidin dan Antasida) sebanyak 4 orang.
Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa kombinasi ranitidin dengan sukralfat
memberikan terapi yang baik dalam pengobatan gastritis dimana Ranitidin berperan
dalam mengurangi faktor aggresif dengan cara menghambat histamin pada respetor
H2 sel parietal sehingga sel parietal tidak terangsang mengeluarkan asam lambung.
Sedangkan sukralfat berperan dalam meningkatkan faktor devensif dengan cara
melindungi mukosa lambung,sedangkan kombinasi Ranitidin dan Antasida dimana
natasida berperan dalam menetralkan asam lambung sehinga dapat mengurangi
keluhan nyeri yang dialami pasien (William dan Wilkins, 2010)
Pada kelompok II keluhan yang dialami pasien akan timbul lagi apabila pasien
mengalami keadaan stress. Respon mual dan muntah yang dirasakan pada saat
individu mengalami stress menunjukan bahwa stres berefek pada saluran pencernaan.
(Wolf 1965,dalam Greenberg 2002) melakukan penelitian mengenai efek stress pada
saluran pencernaan atara lain ,meurunkan saliva sehingga mulut menjadi
kering,menyebabkan kontraksi yang tidak terkontrol pada otot esophagus sehingga
menyebabkan sulit untuk menelan,peningkatan asam lambung, konstriksi pembuluh
darah di saluran pencernaan dan penurunan produksi mukus yang melindungi dinding
saluran pencernaan sehingga menyebabkan iritasi dan luka pada dinding lambung,
dan perubahan motilitas usus yang dapat meningkat sehingga menyebabkan diare atau
menurun sehingga menyebabkan konstipasi. Konstipasi biasanya terjadi pada individu
yang mengalami depresi sedangkan diare biasanya terjadi pada individu yang berada
pada kondisi panik. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa stres memiliki
pengaruh yang negatif terhadap saluran pencernaan antara lalin dapat menyebabkan
individu mengalami luka (ulcer) pada saluran pencernaan termasuk pada lambung
yang disebut dengan penyakkit gastritis (Asminarsih,2009).
Dalam hal ini pasien dianjurkan untuk menurunkan tingkat stres dengan
memperbanyak istirahat dan menenangakan pikiran. Karena stres merupakan salah
satu faktor yang dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan menekan pencernaan.
Selain itu untuk mencegah timbulnya kembali keluhan yang dialami pasien,pasien
dianjurkan untuk mengatur pola makan dan gaya hidup.
Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa penggunaan kombinasi 2 obat
memperlihatkan gambaran terapi yang lebih baik,hal ini dapat dilihat dari jumlah
pasien yang keluhannya menghilang sebanyak 9 orang dan keluhannya berkurang
sebanyak 1 orang. Pengunaan kombinasi dua obat ini ditujukan untuk mempercepat
penyembuhan pasien dimana penggunaan kombinasi obat akan diberikan hasil yang
lebih efektif karena obat-obat tersebut dapat memberikan efek sinergis. Dalam
menggunakan kombinasi obat harus memperhatikan mekanisme kerja dari obat
tersebut,dimana obat yang diberikan harus mempunyai mekanisme kerja yang berbeda
(Dipiro, 2008).
Dalam menggunakan terapi kombinasi hal yang terpenting yang perlu diperhatikan
adalah interaksi obat. Dimana interaski obat ini ada yang menguntugkan seperti
diperolehnya efek sinergis, dan ada juga efek yang merugikan seperti berkurangnya
absrobs salah satu obat, meningkatkan efek samping,terapi duplikasi dan lain-lain.
Pada kombinasi obat yang digunakan dalam penelitian ini terdapat interaksi obat
dimana Antasida dapat mengurangi absorpsi Ranitidin. Oleh karena itu perlu
pengaturan waktu pemberian obat dimana obat diminum dalm waktu selang 1 jam
(Ranitidin diminum 1 jam setelah mengkonsumsi Antasida)
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian lain dalam terapi
gastritis,dimana pada penelitian tersebut menggunakan terapi tunggal. Obat yang
digunakan adalah Efcid (Himocid) yang merupakan salah satu antasida. Pada
penelitian tersebut 87 % dari jumlah pasien memberikan respon yang baik
(Rangamani,K 2001).
Dalam penelitian terdapat keterbatasan yaitu susah mendapatkan pasien,tidak semua
pasien mau diendoskopi dan tidak semua bersedia ikut dalam penelitian. Karena
keterbatasan penelitian inilah maka jumlah sampel yang didapat tidak begitu banyak
dan tidak ada endoscopy ulang untuk melihat gambaran mukosa lambung pasien
setelah diterapi.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 100% dari pasien yang
menggunakan terapi kombinasi Ranitidin dengan Sukralfat keluhannya hilang dan
80% pada pasien yang menggunakan Ranitidin dengan Antasida.
ANALGESIK

Abstrak

Obat golongan analgetik-antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling
banyak diresepkan dan umum digunakan untuk terapi nyeri,demam dan proses peradangan.
Penggunaan obat di pusat pelayanan kesehatan cenderung berlebih, penyebab utama
tingginya penggunaan obat di pelayanan kesehatan adalah keterbatasan pengetahuan petugas
profesional kesehatan mengenai bukti-bukti ilmiah terkini serta keyakinan dan perlikau
pasien sangat berperan dalam peneatapn jenis obat yang diberikan. Puskesmas merupakan
salah satu pusat pelayanan kesehatan dasar dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan salah satu komponen penting dalam
pelayanan kesehatan. Perlu dilakukan penelitian tentang pola penggunaan dan persediaan
analgetik di Puskesmas untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan dan pengelolaan obat di
fasilitas kesehatan seperti di Puskesmas, terutama untuk obat-obatan analgetik yang
pemakaiannya terus meningkat dari waktu ke waktu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui poal penggunaan dan persediaan analgetik di Puskesmas Depok II dan
Puskesmas Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini dilakukan mengikuti rancangan penelitian survei yang bersifat deskriptif
dengan pegumpulan data secara retrospektif di Puskesmas Depok II dan Puskesams
Cangkringan untuk mengetahui pola penggunaan dan persediaan analgetik di kedua
Puskesmas.

Hasil penelitia menunjukan pola penggunaan yang meliputi konsumsi dan nilai pemakaian
analgetik lebih besari di Puskesmas Depok II sedangkan penyakit,obat lain dan aturan pakai
lebih bervariasi di Puskesmas Cangkringan,kemudian untuk persediaan analgetik hasilnya
adalah mencukupi baik di Puskesmas Depok II maupun Puskesmas Cangkringan.

Kata Kunci : Analgetik,puskesmas,persediaan

Abstract

The non-steroidal anti-inflammatory analgesic drug (NSAID) is the most commonly


prescribed drug and is commonly used for the treatment of pain, fever and inflammatory
processes. Drug use in health care centers tends to be overwhelming, the main cause of high
drug use in health care is the limited knowledge of health professionals on the latest scientific
evidence and the beliefs and needs of patients is instrumental in treating the types of drugs
given. Puskesmas is one of the primary health care centers in health care system in Indonesia.
Pharmaceutical services at Puskesmas is an important component in health services. It is
necessary to conduct research on usage patterns and analgesic supplies in Puskesmas to
improve the quality of service and management of medicines in health facilities such as in
Puskesmas, especially for analgetic drugs whose usage keeps increasing from time to time.
The purpose of this research is to know the poal of usage and supply of analgetik at
Puskesmas Depok II and Puskesmas Cangkringan Sleman Regency Special Region of
Yogyakarta. This research was conducted following descriptive survey research design with
retrospective data collection at Puskesmas Depok II and Puskesams Cangkringan to know the
pattern of usage and analgetic inventory in both health centers. The result of the research
shows the usage pattern which includes consumption and the value of analgetic usage more at
Puskesmas Depok II while the disease, other drugs and the use rules are more varied at
Puskesmas Cangkringan, then for analgetik supply the result is sufficient both in Puskesmas
Depok II and Puskesmas Cangkringan.

Keywords: Analgetik, puskesmas, supplies

PENDAHULUAN

Obat golongan analgetik-antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling
banyak diresepkan dan umum digunakan untuk terapi nyeri,demam dan proses peradangan.
The National Disease and Threapic Index mengatakan bahwa obat analgetik dan
antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling sering disebabkan oleh dokter
diseluruh dunia (Dwiprahasto,2002)

Lima puluh juta orang Amerika sebagian atau secara total tidak bisa melakukan aktivitas
akibat nyeri. Biaya yang disebabkan karena hal ini diperkirakan mencapai milyaran dollar.
Angka ini diperkirakan bertambah karena banyak orang bekerja melibihi umur 60 tahun dan
bertahan hidup sampai 80 tahun. Sayangnya,nyeri sering tidak diobati dan berkembang
menjadi masalah di rumah sakit, fasilitas perawatan yang lama dan komunitas ( Dipiro et al ,
2005)

Perkembnagn berbagai obat analgetik bertujuan utamanya adalah untuk mengurangi rasa
sakit yang terjadi secara cepat. Beberapa obat yang semula diguga memberikan efek
analgetik kuat ternyata banyak menimbulkan resiko efek samping , dan oleh karenanya
segera ditarik dari perdaran . beberapa contoh diantaranya adalah Benoxaprofen. Obat ini
oleh US-FDA (United State Food and Drug Administrations) disetujui untuk dipasarkan pada
bulan April,2002, empat bulan kemudian setelah persetujuan tersebut (Agustus 1982),
Benoxaprofen dihentikan peredarannya karena terbukti menyebabkan 61 kematian akibat
terjadinya choloestatic jaundice (Carson & Strom, 1994 )

Obat merupakan komponen esensial dari suatu pelayanan kesehatan dan sudah merupakan
kebutuhan pokok masyarakat. Masyarakat seharusnya setelah menerima pelayanan kesehatan
beserta obat tentunya perlu mendapatkan informasi tentang penggunan obatnya agar dapat
digunakan dengan benar,tepat dan aman (Anonim,2006)

Beberapa penelitian menemukan bahwa penggunan obat dipusat pelayanan kesehatan


cenderung berlebih. Terdapat dua penyebab utama tingginya penggunan obat di pelayanan
kesehatan. Pertama, berkaitan dengan keterbatasan, pengetahuan petugas profesional
kesehatan mengenai bukti-bukti ilmiah terkini. Sehingga tidak jarang tetap meresepkan obat
yang tidak diperlukan (misalnya antibiotika dan steroid untuk common cold). Kedua
keyakinan dan perilaku pasien sangat berperan dalam penetapan ejnis obat yanng diberikan.
Kebiasaan memberikan injeksi pada pasien dengan gejala pada otot dan sendi adalah salah
satu contoh nyata pengaruh pasien terhadap perilaku pemberian injeksi oleh dokter atau
perawat (Dwiprahasto, 2006)

Puskesmas merupakan salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan dasar dalam sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia. Puskesmas mempunyai peran sangat strategis dalam
pelayanan kesehtan masyarakat. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakann salah satu
komponen penting dalam pelayanan kesehetan dasar (Anonim, 2006)

Penerapan otonomi daerah secar penuh pada 1 Januari 2001 membawa perubahan dasar
dalam ketatangearaan Republik Indonesia. Sebelum penerapan otonomi daerah,pengelolaan
obat pada dasarnya dilakukan secara terpusat. Akan tetapi sejak otonomi daerah tahun 2001,
pengelolaan obat dilakukan secara penuh oleh Kabupaten atau Kota mulai dari spek
seleksi,perencanaan, pemilihan obat pengadaan obat,pendistribusian dan pemakaian. Sejak
penerapan otonomi daerah penambahan jumlah Kabupaten-Kota sangat pesat (Anonim,2004).

Perlu dilakukan penelitian tentang pola penggunaan dan persediaan analgetik di Puskesmas
untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan dan pengelolaan obat di fasilitas kesehatan seperti
di Puskesmas terutama untuk obat-obatan analgetik yang pemakiannya terus meningkat dari
waktu ke waktu. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Depok II dan Cangkringan Kabupaten
Sleman, Yogyakarta.

METODE

Penelitia ini dilakukan mengikuti rancangan penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan
pengumpulan data secara retrospektif di Puskesmas Depok II dan Puskesmas Cangkringan
untuk mengetahui pola penggunaan dan persediaan analgetik di kedua Puskesmas.

Bahan dan sumber data dalam penelitian imi diperoleh data resep dan Laporan Obat (LPLPO)
di Puskesmas Depok II dan Puskesmas Cangkringan,Kabuupaten Sleman. Akat penelitian
yang digunakan adalah lembar pengumpulan data untuk resep dan LPLPO.

Subyek penelitian adalah pasien yang menerima terapi menggunakan analgetik berdasarkan
resep yanng diberikan dokter umum maupaun dokter gigi. Sampel yang diambil ada 2 jenis
yaitu respen dan LPLPO. Metode pengambilan resep dilakukan dnegan motede systematcic
random sampling, yaitu diambil sempel resep secara acak dengan nomor ganjil, sedangkan
LPLPO diambil seluruh populasi.

HASIL

A. Gambaran Subyek Penelitian


Tabel a.I Distribusi apsien berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Depok II
Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)
76
Laki-laki 42
104 58
Perempuan
180 100
Jumlah

Tabel a.2 Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Cangkringan


Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)
73 41
Laki-laki
107 59
Perempuan
180 100
Jumlah

Berdasarkan Tabel I, jumlah pasien wanita yang menggunakan analgetik di


Puskesmas Depok ada 104 orang (58%) dan jumlah pasien pria 76 orang
(42%),sedangkan di Puskesmas Cangkringan jumlah pasien wanita yang
menggunakan analgetik ada 107 orang (59%) dan pasien pria 73 orang (41%).
Terlihat bahwa prevalensi wanita lebih besar daripada pria pada masing-masing
Puskesmas.
Tabel a.II distribusi pasien berdasarkan umur di Puskesmas Depok II
Rentang umur Frekuensi Presentase (%)
17 9,44
I bulan - <12 tahun
53 29,44
2 tahun - < 12 tahun
10 5,56
12 tahun - < 18 tahun
31 17,22
18 tahun - < 30 tahun
46 25,56
30- < 60 tahun
23 12,78
Lebih dari 60 tahun
180 100
Total

Tabel b.II distribusi pasien berdasarkan umur di Puskesmas Cangkringan


Rentang umur Frekuensi Presentase (%)
11 6,11
I bulan - <12 tahun
15 8,33
2 tahun - < 12 tahun
6 3,33
12 tahun - < 18 tahun
22 12,22
18 tahun - < 30 tahun
74 41,11
30- < 60 tahun
52 28,90
Lebih dari 60 tahun
180 100
Total

Pada tabel II terlihat bahwa kelompok umur dewasa dalam penelitian ini dibagi
menjadi 2, yaitu rentang umur 18 < 30 tahun dan 30< 60 tahun. Pembagian ini
dilakukan , karena ingin melihat bagaimana nyeri terjadi pada seseorang yang telah
melampaui umur 30 tahun. Setelah umur melampaui 30 tahun,proses menua akan
berjalan mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang mulai rapuh,
meningkatkan kerentanan seorang terhadap penyakit dan akhirnya meninggal
(Brocklehusrt & Allen , 1987 ; Miller , 1994 ). Rentang umur 30-60 tahun merupakan
rentang umur terbesar di Puskesmas Cangkrinagn yaitu 41,11% sedangkan di
Puskesmas Depok II 25,56%. Rentang umur 18 < 60 tahun lebih banyak di Puskesmas
Depok II (17,22%) dan di Puskesmas Cangkringan 12,22%.
B. Pola penggunaan analgesik
Tabel III. Golongan,nama dan bentuk sediaan analgetik yang tersedia di Puskesmas
Depok II dan Puskesmas Cangkringan
Analgetik Nama Bentuk Puskesmas Puskesmas
Non- Analgetik Sediaaan Depok II Cangkringan
Narkotik
Alopurinol Tablet ++ ++
Derivat
100mg
Primidin
Ibuprofen Tablet ++ ++
Propionat
400mg
Metampiron Tablet ++ ++
Derivat
(antalgin) 500mg
Sulfonat
Parasetamol Tablet ++ -
Derivat
100mg
asetanilida
Tablet ++ ++
500mg
Sirup ++ ++
120mg/ 5ml
Asam Tablet500mg + +
Derivat
mafenamat
antranilat

Keterangan DOE = Daftar Obat Esensieal Nasional (-) =Tidak Tersedia


(+) = tersedia tapi tidak sesuai dengan DOEN 2002
(++) = tersedia dan sesuai dengan DOEN 2002
Parasetamol merupakan obat yang tidak tersedia di Puskesmas Cangkringan,
walaupun sebenarnya Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman masih mneyediakan
analgetik jenis ini,hal itu bisa dilihat di Puskesmas Depok II yang masih
menggunakan parasetamol tablet 100mg. Analgetik lain yag tidak tersedia dikedua
puskesmas adalah asetosal (tablet 100mg dan 500mg) kolkhisin tablet 500mcg,
metampiron injeksi i.m (intra muscular) 250mg/ml dan ibuprofen tablet 200mg.
Dicantumkan juga asam mafenamat tablet 500mg pada tabel VI sebaagai salah satu
analgetik golongan non narkotik walaupun tidak terdapat DOEN2002,karena dalam
kenyataan di lapangan asam mafenamat masih bnayak digunakan pada kedua
Puaskesmas.
Tabel. a.IV pemakaian analgetik tunggal dan kombinasi berdasarkan resep di
Puskesmas Depok II
Analgetik Jumlah resep Presentase (%)
12 6,67
Parasetamol 100mg
139 77,22
Parasetamol 500mg
9 5
Asam mafenamat
500mg
6 3,33
Antalgin 500mg
6 3,33
Parasetamol sirup
120mg/5ml
8 4,44
Ibuprofen 400mg
- -
Alopurinol 100mg+
(Kombinasi)

Tabel. a.IV pemakaian analgetik tunggal dan kombinasi berdasarkan resep di Puskesmas
Cangkringan

Jumlah resep Presentase (%)


Analgetik
- -
Parasetamol 100mg
104 57,78
Parasetamol 500mg
27 15
Asam mafenamat
500mg
38 21,11
Antalgin 500mg
4 2,22
Parasetamol sirup
120mg/5ml
3 1,67
Ibuprofen 400mg
2 1,11
Alopurinol 100mg+
(Kombinasi)

Brdasarkan hasil penelitian di Puskesmas Depok II tidak ditemukan adanya kombinasi


analgetik sedangkan di Puskesmas Cangkringan ditemukan ada 3 macam kombinasi
analgetik, yaitu alopurinol 100mg. Alopurinol digunakan sebagai terapi antigout untuk
menurunkan kadar asam urat yang berlebihan (hiperurisemia) (Tjay dan Rahardja ,2002).

Tabel a.V. Distribusi penyakit di Puskesmas Depok II


Penyakit tunggal Frekuensi persentase

Febris 23 12,77

12 6,67

Faringitis

Hipertensi 9 5

Arthralgia 9 5

Varicella 5 2,78

Hipotensi * *

Vulnus 4 2,22

Cephalgia 4 2,22

Konjungtivitis 3 1,67

Myalgia 3 1,67

Lain-lain 22 12,22

Sub total 176 97,77

Multipel (Lebih dari satu)

ISPA-TBC 3 1,67

Dermatitis- keratitis 1 0,56

ISPA-Hipertensi * 0

ISPA-hipotensi * 0

ISPA-myalgia-hipertensi * 0

ISPA-myalgia * 0
Hipertensi-faringitis * 0

Hipertensi-myalgia * 0

Hipertensi-cephalgia * 0

Hipertensi-arthralgia * 0

Cephlagia-dermatitis * 0

Gastritis-myalgia * 0

Macam-macam kombinasi * 0
penyakit lain

Subtotal 4 2,23

Total 180 100

Tabel b.V Distribusi penyakit di Puskesmas Cangkringan

Penyakit tunggal Frekuensi persentase

Febris 4 2,22

Faringitis 14 7,78

Hipertensi 9 5

Arthralgia 7 3,89

Varicella 1 0,56

Hipotensi 6 3,33

Vulnus 9 5

Cephalgia 9 5
Konjungtivitis 7 3,89

Myalgia 14 7,78

Lain-lain 21 11,67

128 71,11

Sub total

Multipel (Lebih dari satu)

ISPA-TBC * 0

Dermatitis- keratitis * 0

ISPA-Hipertensi 3 1,67

ISPA-hipotensi 3 1,67

ISPA-myalgia-hipertensi 1 0,56

ISPA-myalgia 1 0,56

Hipertensi-faringitis 2 1,11

4 2,22

Hipertensi-myalgia

Hipertensi-cephalgia 2 1,11

Hipertensi-arthralgia 1 0,56

Cephlagia-dermatitis 2 1,11

Gastritis-myalgia 2 1,11
Macam-macam kombinasi 31 17,22
penyakit lain

Subtotal 51 28,33

Total 180 100

Total persediaan analgesik tahun 2006 untuk Puskesmas Depok II adalah 121.919,
sedangkan di Puskesmas Cagkringan adalah 108.204. Parasetamol tablet 500mg merupakan
item terbanyak dalam penyediaan analgetik,yaitu sebesar 67,59% di Puskesmas Depok II dan
48,16 % di Puskesmas Cangkringan. Hasil ini sesuai degan pemakaian analgetik terbanyak
kedua di Puskesmas yang juga sama yaitu parasetamol 500mg.

KESIMPULAN

Pola penggunaan analgetik di Puskesmas Depok II dan Puskesmas Cangkringan , Kabupaten


Sleman adalah sebagai berikut :

Analgetik yang digunakan di Puskesmas Depok II dan Cangkringan yaitu alopurinol 100mg,
ibuprofen 400mg ,antalgin 500mg , parasetamol 100mg baik di Puskesmas Depok II
(77,22%) maupun di Puskesmas Cangkringan (57,78%) . Kombinasi analgetik di Puskesmas
Cangkringan yang paling besar adalah alopurinol 100mg dan parasetamol 500mg (1,11%)
sedangkan di Puskesmas Depok II berdasarkan data resep tidak ditemukkan kombinasi
analgesik.

Diagnosa penyakit tunggal yang paling banyak adalah ISPA baik di Puskesmas Depok II
(45,59%) maupun di Cangkringan (21,88%). Multipel penyakit banyak ditemukan di
Puskesmas Cangkringan.
ANTIHISTAMIN

Abstrak

Antihistamin yanng pertama kali digunakan pada awal tahun 1940, secara klinik berguna
sebagai anti-alergi. Antihistamin generasi pertama merupakan obat yang paling banyak
digunakan didunia dan bermanfaat untuk meringankan gejala-gejala alergi dan influenza pada
banyak penderita , dapat diperoleh di toko obat dalam bentuk kombinasi. Kegunaannya
terbatas sebab menimbulkan rasa kantuk karena antihistmanin berkaitan dengan reseptor
histmain diotak. Tiga puluh tahun kemudia efek kerja histmain dibagi menjadi 2 keompok
yaitu reseptor AH1 dan reseptor AH2. Sejak tahun 1981 ditemukan antihistamin generasi ke-2
(terfenadun,astemizol, loratidim dan cetirizin),bekerja menghambat reseptor H1 di perifer
tanpa menembus sawar darah otak. Meskipun secara keseluruhan hasilnya baik,ternyata
terfenadin dan aztemizol dapat menimbulka aritmia vertikel yang membahayakan kehidupan.
Antihistamin generasi ke -3 terdiri dari fexofenadin,norastemizol dan dascarboethoxy
loratidin merupakan metabolit alami generasi ke-2 dan secara klinis berguna dan tidak
berpengaruh terhadap elektrofisiologi jantung.

Kata kunci : alergi,antihistamin generasi ke-3,elektrofisiologi,kualitas hidup

Abstract

The antihistamine was first used in the early 1940s, clinically useful as an anti-allergic. First-
generation antihistamines are the most widely used drugs in the world and are useful for
alleviating the symptoms of allergies and influenza in many patients, can be obtained in drug
stores in combination. Its usefulness is limited because it causes drowsiness because
antihistmanin is associated with histmain receptors in the brain. Thirty years later the
histmain working effect is divided into 2 groups ie AH1 receptors and AH2 receptors. Since
1981, 2nd generation antihistamines have been found (fenugly, astemizol, loratidim and
cetirizin), working to inhibit H1 receptors in the periphery without penetrating the blood
brain barrier. Although overall the result is good, it turns out that terfenadin and aztemizol
can cause life-threatening vertical arrhythmias. 3rd generation antihistamines consisting of
fexofenadine, norastemizol and dascarboethoxy loratidin are the 2nd generation natural
metabolites and are clinically useful and have no effect on cardiac electrophysiology.
Keywords: allergy, 3rd generation antihistamine, electrophysiology, quality of life
PENDAHULUAN

Antihistamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema,eritem dan pruritus,tetapi
tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut
digolongkan dalam anthistamin penghambat reseptor H1 (AH1). Setelah tahun 1972
ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat
histamin. Antihistamin ini digolongkan sebagai antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2).
Kedua jenis antihhistamin ini bekerja secara kompetitif yanti dengan menghambat imteraksi
histamin dan resptor histamin H1 atau H2 setelah itu terdapat banyak usaha untuk menemukan
obat baru yang mampu menghambat kedua reseptor dengan berbagai kekuatan dan
spesifitasnya.

Histamin menyebabkan kontraksi otot polos antara lain pada bronkus dan usus, tetapi
menyebabkan relaksasi kuat pada otot polos,pembuluh darah kecil, sehingga
permebealitasnya meningkat dan timbuk pruritus. Selain itu,histamin merupakan perangsang
kuat sekresi asam lambung dan kelenjar eksokrin lainnya misalnya kelenjar mukosa saluran
nafas. Akkibat vasodilatasi pada pembulh darah kecil maka timbul kemerahan dan rasa panas
didaerah wajah,resistensi perifer menurun sehingga tekanan darah menurun (hipotensi).
Permeabilitas kapiler meningkat sehingga protei dan cairan plasma keluar ke ruangan
ekstraseluler dan menimbulkan edema. Efek bronkokontriksi dan kontraksi usus karena
histamin dapat dihambat oleh AH1 . Efek histamin terhadap sekresi lambung dapat dihambat
oleh AH2 misalnya simetidin dan ranitidin. AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik
berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. Secraa klinis alergi
terdapat pada penyakit rinitis alergika,uritkaria dan angiodema.

CARA KERJA OBAT HISTAMIN

Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya peradangan dan
gejala alergi. Mekanisme kerja obt antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi
berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berkaitan dengan reseptor H1
atau H2 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak
reseptor H1. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh antihistamin. Peristiwa molekular ini
akan mencegah untuk sementara timbulnya reaksi alergi.

Reseptor H1 diketahui terdapat di otak,retina, medula adrenal , hati ,sel endotel, pembuluh
darah otak, limfosit,otot polos saluran nafas, saluran cerna,saluran genitourinarius dan
jaringan veskuler. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam jantung. Sedangkan
reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus . Dikulit juga terdapat reseptor
H3 yang merupakan autoreseptor, mengatur pelepasan dan sintesis histamin. Namun, peranan
dalam menimbulkan gatal dan inflamasi masih belum jelas.

MACAM-MACAM OBAT HISTAMIN

Sejak antihistamin ditemukan sebagai suatu zat kimia yang mempengaruhi banyak proses faal
dan patologik dalm tubuh , maka dicari obat yang dapat melawan khasiat histamin. Epinefrin
merupakan antagonis faal yang pertama kali digunakan,efeknya lebih cepat dan lebih efektif
daripada AH1.

 Antihistamin generasi pertama

Sejak tahun 1937-1972 , ditemukan beratus-ratus antihsitamin dan digunakan dalam terapi
namun khasiatnya tidak banyak berbeda. AH1 ini dalam dosis terapi efektif untuk
menghilangkan bersin , rinore,gatal pada mata,hidung dan tenggorokan pada seasonal hay
fever,tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. AH1
efektif untuk mengatasi uritkaria akut,sedangkan pada uritkaria kronik hasilnya kurang baik.
Mekanisme kerja antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui
kompetisi dalam berkaitan dengan reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya
tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan
genersi pertama. Untuk pedoman terapi,penggolongan AH1 dengan lama kerja , bentuk
sediaan dan dosis dapat dilihat pada Tabel 1.

Antihistamin genersi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal atau dalam bentuk
kombinasi dengan obat dekongestan , misalnnnya untuk pengobatan influenza .Kelas ini
mencakup klorfeniramine, difenhidramine,prometazin,hidroksisin dan lain-lain. Pada
umumnya obat antihistamin generasi pertama ini memepunyai efektifitas yang serupa bila
digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu sama lain menurut
gambaran efek sampingnya. Namun ,efek yang tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan
rasa mengantuk sehingga mengganggu aktifitas dalam pekerjaan,harus berhati-hati waktu
mengendarai kendaraan,mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin
berat. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini memiliki
sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada
reseptor H1 disel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada reseptor H1 sel
otak,kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. Selain itu,efek sedatif diperberat
pada pemakaian alkohol dan obat antidepresan misalnay minor tranquillisers. Karena itu
penggunaan obat ini harus berhati-hati. Disamping itu,beberapa antihistamin mempunyai efek
samping antikolinergik seperti mulut menjadi kering,dilatasi pupil, penglihatan berkabut
,retensi urin , konstipasi dan impotensia.

 Antihistamin generasi kedua

Setelah tahun 1972 ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat menghambat sekresi
asam lambung akibat histamin yang burinamid,metilamid dan simetidin. Ternyata
antihistamin generasi kedua ini memberi harapan untuk pengobatan ulkus peptikum,gastritis
atau duodentis. Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi
pertama,memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit menembuh sawar darah otak.
Reseptor H1 sel otak lebih tetap diisi oleh histamin sehingga efek samping yang ditimbulkan
agak kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan
dosis yang tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari terutama untuk penderita
alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka
panjang pada penyakit kronik seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin pada
asma msih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis ini yang dapat mencegah bronkokontriksi
karena histamin,antihistamin dapat meredakan gejala ringan asma kronik dan gejala-gejala
akibat menghirup alergen pada penderita dengan hiperaktif bronkus. Namun, pada umumnya
mempunyai efek terbatas dan terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat
sehingga antihsitamin generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang digolongkan
dalam antihistamin generasi kedua yaitu terfaenadin, astemizol,loratidin dan cetirizin.

Terfaenidin diperkenalkan di Eropa pada tahun 1981 dan merupakan antihistamin pertama
yang tidak mempunynai efek sedasi dan diinjinkan beredar di Amerika Serikat pada tahun
1985. Namun pada tahun 1986 pada keadaaan tertentu dilaporkan terjadinya ritmia ventrikel,
gangguan ritme jantung yang berbahaya , dapat menyebabkan pingsan dan kematian
mendadak. Beberapa faktor seperti hipokalemia,hipomagnesia,bradikarda,sirosis atau
kelainan hati lainnya atau pemberian bersamaan dengan juice anggur,antibiotik makrolid
(misaalnya eritromizin) obat antijamur (misalnya itraconazole atau ketoconazole) bebahaya
karena dapat memperpanjang interval QT. Pada tahun 1997 FDA menarik terfaenadin dari
pasaran karen telah ditemukannya obat sejenis dan lebih aman.

Aztemizol (Hismanal) merupakan antihistamin kedua yang tidak menyebabkan sedasi


diperbolehkan beredar di Amerika serikat (Desember 1988). Obat ini secara cepat dan
sempurna diabsorpsi setelah pemberian secra oral,tetapi astemizol dan metabolisnya sangnat
banyak distribusinya dan mengalami metabolisme sangat lambat. Namun karena kasus
aritmia jantunng dan kematian mendadak telah diamati setelah penggunaan astemizol pada
keadaan yang serupa dengan terfaenadin maka pada astemizole diberikan peringatan dalam
kotak hitam.

Loratidin (Claritin) mempunyai farmakokinetik serupa dengan terfaenadin dalam hal mulai
bekerjanya dan lamanya. Seperti halnya terfaenidin dan astemizole obat ini mula-mula
mengalami metabolisme lebih lanjut. Loratidin ditoleransi dengan baik,tanpa efek sedasi serta
tidak mempunyai efek terhadap susuanan saraf pusat dan tidak pernah dilaporkan terjadinya
kematian mendadak sejak obat ini diperbolehkan beredar pada tahun 1993.

Tabel I. Penggolongan atihistamin dengan masa kerja,bentuk dan dosisnya

Golongan obat dan contohnya Masa kerja Bentuk sediaan Dosis tunggal
dewasa

ETANOLAMIN

 Difenhidramin 4-6 Kapsul 25mg & 50mg


50mg. Eliksir
5mg-10mg/ 5ml
,larutan suntikan
10mg/ml
 Dimenhi drinat 4-6 50mg
Tablet 50mg.
Larutan suntikan 50mg
50mg/ml
 Karbinoksamin maleat 3-4 Tablet 4mg Eliksir 4mg
5mg/5ml

ENTILENDIAMIN

 Tripelnnamin HCI 4-6 Tablet 25mg dan 50mg


50mg. Krem 2% &
salep 2%

 Tripelennamin sitrat 4-6 75mg


Eliksir 37,5 mg /5
ml
 Pirilamin meleat

4-6 Kapsul 25-50mg


75mg,tablet 25mg
& 50mg

ALKILAMIN

 Bromfeiramin maleat 4-6 Tablet 4mg,eliksir 4mg


2mg/5ml
 Klorfeniramin maleat
Tablet 4mg sirup
4-6 2-4mg
2,5 mg/ 5ml

 Deksbromfeniramin 4-6 2-4mg


Tablet 4mg
maleat

FENOTIAZIN

 Prometazin 4-6 Tablet 12,5 mg, 25-50mg


25mg & 50mg.
Larutan suntikan
25mg & 50mg/5ml

 Metdilazin 4-6 Tablet 4mg sirup 4-8mg


4mg/5ml
LAIN-LAIN

 Azatadin 12 Tablet 1mg sirup 1mg


0,5 mg/5ml

Tablet 4mg,sirup
 Siproheptadin 6 4mg
2mg/5ml

 Mebhidrolin 4 50-100mg
Tablet 50mg
napadisilat

Cetirizin (Ryzen) adalah metabolit karbosilat dari antihistamin generasi pertama


hidroksizin,diperkenalkan sebagai antihistamin yang tidak mempunyai efek sedasi. Obat ini
tidak mengalami metabolisme,mulai kerjanya lebih cepat daripada obat yang sejenis dan
lebih efektif dalam pengobatan uritkaria kronik. Efeknya antara lain menghambat fungsi
eosinofil,menghambat pelepasan histamin dan prostaglandin. Cetirizin tidak menyebabkan
aritmia jantung,namun mempunyai sedikit efek sedasi sehingga bila dibandingkan dengan
terfaeidin,asetmizol dan loratidin obat ini lebih rendah.

 Antihastamin generasi ketiga

Yang termasuk antihistain generasi ketiga yaitu feksofenadin,norastemizole dan


deskarboetoksi loratidin (DCL),ketiganya adalah merupakan metabolisme antihistamin
generasi kedua. Tujuan mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah untuk
menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya serta menghindari efek samping
yang berkaitan dengan obat sebelumnya.

Feksofenadin (Telfast)

Merupakan mentabolit karbosilat dari antihsitamin generasi kedua terfaenadin dan diijinkan
untuk dipasarkan oleh FDA pada Juli 1996. Setlah diketahui bahwa feksofenadin tidak
berpengaruh buruk terhadap elektrofisiologi jantung dan mempunyai efektivitas sama seperti
terfenadine dan telah dipasarkan di Indonesia dnegan nama dagang Telfast (di Amerika :
Allegra). Sifat-sifat kimia feksofenadin adalah secara oral cepat diabsorpsi hanya sekitar 5%
mengalami metabolisme. Sisanya diekresi dalam urin dan fese tanpa mengalami perubahan.
Hasil ini tidak dipengaruhi oleh adanya gangguan pada fungsi hati dan ginjal. Pada penderita
usia lanjut atau penderita dengan gangguan fungsi ginjal,kadar feksofenadine dalam palsma
darah dapat meningkat 2kali daripada normal. Namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan
karena indeks terapi obat relatif tinggi.Feksofenadin tidak berpengaruh terhadap interval QT
pada percobaan binatang atau pada manusia yang diberi 10kali lipat dosis standar 60mg 2kali
sehari. Feksofenadine tidak menembus sawae darah otak sehingga tidak mempunyai efek
sampinng terhadap susunan saraf pusat.

Penelitian yang dilakukan oleh Meltzer dkk, pada 826 penderita rinitis allergika kronik
karena musim dari 12 hingga 65 tahun dengan pemberian feksofenadin 60mg ternyata dapat
meningkatkan kualitas hidup,tidak mengganggu aktifitas dan produktifitas kerja. Penggunaan
antihistamin untuk penderita lanjut usia harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan
interaksi obat serta kondisi organ tubuh yang biasanya mengalami penurunan. Feksofenadin
merupakan antihistamin non-sedatif yang sama dengan terfenadin tetapi tidak bersifat
kardiotoksik. Pada penderita penyakit hati tidak diperlukan penyesuaian dosis,demikian juga
untuk penderita gangguang fungsi ginjal dosis yang dianjurkan adalah dosis tunggal
60mg/hari .

Norastemizole

Mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan astemizole dan menurut McCullogh


dkk noratemizole menghambat reseptor H1 13 sampai 16 kali lebih kuat. Pada percobaan
dengan binatang,kontriksi bronkus akibat histamin juga dihambatb20 sampai 40 kali lebih
kuat dibanding astemizole. Mulai kerja norastemizole tidak mengalami
metabolisme,diekskresi dalam urin dalam bentuk tidak berubah,wakatu paruh plasma sekitar
satu minggu,jadi setengah dari pada waktu paruh astemizole. Dalam percobaan pada
tikus,obat ini tidak menaikkan berat badan. Terhadap jantung,pengaruhnya relatof aman
meskipun dalam kombinasi dengan obat lainnya,tidak meningkatkan interval QT setelah
pemberian per os dengan dosis tunggal 100mg. Obat ini belum dipasarkan di Indonesia.

DCL

(diproduksi oelh Schering Plough) lebih kuat dari pada loratadin terhadap reseptor H1 . Juga
diketahui bahwa obat ini menghambat reseptor muskarinik M1 dan M3 sehingga
meningkatkan efek dalam pengobatan asma bronkiale. DCL mula kerjanya sedikit lebih
lambat dan mempunyai waktu paruh dalam plasma lebih panjang dibandingkan dengan
loratadine. Dalam percobaan binatang dengan dosis yang tinggi ternyata tidak berpengaruh
terhadap interval QT dan denyut jantung meskipun dnegan dosis sampai 100mg/kgBB. Pada
kombinasi dengan eritromisinkadar DCL dalam plasma sedikit menurun.

EFEK SAMPING OBAT ANTHISTAMIN

Antihistamin yang dibagi dalam antihistamin generasi pertama dan antihistamin generasi
kedua ,pada dasarnya mempunyai daya penyembuh yang sama terhadap gejala-gejala alergi.
Yang berbeda adalah antihistamin klasik mempunyai efek samping sedatif. Efek sedatif ini
diakibatkan oleh karena antihistamin klasik dapat menembus sawar darah otak (blood bran
barrier) sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin
menempel diresptor H1 sel otak,kewspadan menurun sehingga timbul rasa mengantuk.
Sebaliknya,antihistamin generas kedua sulit menembus sawar darah otak sehingga efek
sedatif tidak terjadi. Oleh karena itulah antihistamin generasi kedua disebut juga antihistamin
non-sedatif. Badan yang mengawasi peredaran obat di Amerika (FDA) pada tahun 1997
mencabut peredaran terfenadine karena timbulnya artimia,takikardia ventrikular,pemanjangan
interval QT. Aritmia ini dapat menimbulkan pingsan dan kematian mendadak karena
gangguan jantung. Pemilihan obat antihistamin yang ideal harus memenuhi kriteria sebagai
berikut yaitu keamanan,kuallitas hidup,kerja cepat tanpa efek samping dan mempunyai
antialergi.

KESIMPULAN

Penggunaan antihistamin generasi ketiga akhir-akhir ini menunjukan bahwa obat ini sangat
baik untuk pengobatan rinitis alergika. . Faksofenadine tidak berpengaruh terhadap jantung.
DCL mempunyai efek yang relatif lebih baik dibanding loratidin sehingga memberi pilihan
antihistamin yang lain. Norastemizole tampak mempunyai kekuatan yang lebih baik dan lebih
aman dengan aktifitas yang lebih cepat. DCL dan Norastemizole belum dipasarkan di
Indonesia. Kadar antihistamin generasi ketiga ini dalam plasma mempunyai batas keamanan
yang lebih baik,sehingga dapat digunakan secara luas seperti pada rinitis alergika,urotkaria
dan kemungkinan untuk asma.

Anda mungkin juga menyukai