Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang paling banyak ditemukan di dunia,

termasuk di Indonesia. Penyakit ini menyebabkan nyeri dan disabilitas pada penderita

sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.

Di Inggris dan Wales, sekitar 1,3 hingga 1,75 juta orang mengalami sypmtom

OA. Di Amerika, 1 dari 7 penduduk menderita OA. Osteoartritis menempati urutan

kedua setelah penyakit kardiovaskuler sebagai penyebab ketidakmampuan fisik (seperti

berjalan dan menaiki tangga) di dunia barat. Secara keseluruhan, sekitar 10 – 15% orang

dewasa lebih dari 60 tahun menderita OA. Dampak ekonomi, psikologi dan sosial dari

OA sangat besar, tidak hanya untuk penderita, tetapi juga keluarga dan lingkungan.

Dari aspek fisioterapi, Osteoarthritis genue dapat menimbulkan berbagai

tingkatan berbagai gangguan yaitu impairment seperti menurunnya kekuatan otot,

keterbatasan lingkup gerak sendi, adanya nyeri, spasme otot, dan disability seperti

ketidak mampuan melakukan kegiatan tertentu contohnya bangkit dari duduk ,jongkok,

berlutut, berdiri lama. Akibat dari menurunnya kemampuan gerak. Bahkan tingkat

functional limitation seperti gangguan berjalan, berlari,dan naik turun tangga.

Fisioterapi Berperan dalam mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak serta

fungsi tubuh dengan menggunakan penanganan manual terapi dan elektroterapi.

Di Indonesia, OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak ditemui

dibandingkan kasus penyakit reumatik lainnya. Berdasarkan data Badan Kesehatan

Dunia (WHO), penduduk yang mengalami gangguan OA di Indonesia tercatat

mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia >61
tahun. Untuk osteoarthritis lutut prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan

12,7% pada wanita.

Osteoartritis dapat menyebabkan disfungsi dan disabilitas yang dapat

menghambat atau menganggu aktifitas sehari-hari bahkan dapat menimbulkan

kecacatan fisik bagi penderitanya. Untuk itu diperlukan tindakan penanggulangan yang

berupa tindakan rehabilitasi terapi dengan intervensi fisioterapi dari rehabilitasi medik.

Rehabilitasi adalah pemulihan ke bentuk atau fungsi yang normal setelah terjadi luka

atau sakit, atau pemulihan pasien yang sakit atau cedera pada tingkat fungsional optimal

di rumah dan masyarakat, dalam hubungan dengan aktivitas fisik, psikososial, kejuruan

dan rekreasi. Fisioterapi adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan

kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan

memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan

penanganan secara manual, peningkatan gerak peralatan (fisik elektroterapeutis dan

mekanis). Sedangkan rehabilitasi medis adalah cabang ilmu kedokteran yang

menekankan pada pemulihan fungsional pasien agar aktivitas fisik, psikososial,

kejuruan, dan rekreasinya bisa kembali normal.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Osteoarthritis Knee

1. Pengertian Osteoarthritis

Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak (Price dan Wilson,

2013). Disebut juga penyakit sendi degeneratif, merupakan ganguan sendi yang

tersering. Kelainan ini sering menjadi bagian dari proses penuaan dan merupakan

penyebab penting cacat fisik pada orang berusia di atas 65 tahun (Robbins, 2007). Sendi

yang paling sering terserang oleh osteoarthritis adalah sendi-sendi yang harus memikul

beban tubuh, antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal dan sevikal, dan sendi-sendi

pada jari (Price dan Wilson, 2013).

Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan

ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang

baru pada permukaan persendian. Osteoarthritis adalah bentuk arthritis yang paling

umum, dengan jumlah pasiennya sedikit melampaui separuh jumlah pasien arthritis.

Gangguan ini sedikit lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki (Price dan

Wilson, 2013). Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Zhang Fu-qiang et al.

(2009) di Fuzhou yang menunjukkan peningkatan prevalensi lebih tinggi pada

perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebesar 35,87%.

2. Anatomi Fisiologi Lutut

Sendi lutut dibentuk oleh epiphysis distalis tulang femur, epiphysis proximalis,

tulang tibia dang tulang patella, serta mempunyai beberapa sendi yang terbentuk dari

tulang yang berhubungan, yaitu antar tulang femur dan patella disebut articulatio
patella femoral, antara tulang tibia dengan tulang femur disebut articulatio tibio

femoral dan antara tulang tibia dengan tulang fibula proximal disebut articulatio tibio

fibular proxsimal. Anatomi sendi lutut terdiri dari:

a. Tulang pembentuk sendi lutut antara lain:

1) Tulang Femur

Merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar di dalam tulang kerangka pada

bagian pangkal yang berhubungan dengan acetabulum membentuk kepala sendi

yang disebut caput femoris. Di sebelah atas dan bawah dari columna

femoris terdapat taju yang disebut trochantor mayor dan trochantor minor, di

bagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang

disebut condylus medialis dan condylus lateralis, di antara kedua condylus ini

terdapat lekukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang disebut

dengan fosa condylus.

Gambar.1. Os Femur
2) Tulang Tibia

Tulang tibia bentuknya lebih kecil, pada bagian pangkal melekat pada os fibula,

pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat

taju yang disebut os maleolus medialis.

3) Tulang Fibula

Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk

persendian lutut dengan os femur pada bagian ujungnya terdapat tonjolan yang

disebut os maleolus lateralisatau mata kaki luar.

Gambar.2. Os Tibia dan Os Fibula

4) Tulang Patella

Pada gerakan fleksi dan ekstensi patella akan bergerak pada tulang femur. Jarak

patella dengan tibia saat terjadi gerakan adalah tetap dan yang berubah hanya jarak

patella dengan femur. Fungsi patella sebagai perekatan otot-otot atau tendon

adalah sebagai pengungkit sendi lutut. Pada posisi fleksi 90o kedudukan patella
diantara kedua condylus femur dan saat ekstensi maka patella terletak pada

permukaan anterior femur.

Gambar.3. Patella

b. Ligamentum pembentuk sendi lutut

Stabilitas sendi lutut yang lain adalah ligamentum. Ada

beberapa ligamentum yang terdapat pada sendi lutut antara lain :

a) Ligamentum crusiatum anterior, yang berjalan dari depan eminentia

intercondyloidea tibia, ke permukaan medial condylus lateralis

femur, fungsi menahan hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke

depan.

b) Ligamentum crusiatum posterior, berjalan dari facies lateralis condylus

medialis femoris, mnenuju fossa intercondyloidea tibia, berfungsi

menahan bergesernya tibia kearah belakang.

c) Ligamentum collateral lateralle yang berjalan dari epicondylus

lateralis ke capitulum fibulla, yang berfungsi menahan

gerakan varus atau samping luar.


d) Ligamentum collateral mediale tibia (epicondylus medialis tibia), yang

berfungsi menahan gerakan valgus atau samping dalam dan eksorotasi,

dan secara bersamaan ligament collateral juga berfungsi menahan

bergesernya ke depan pada posisi lutut fleksi 90 derajat.

e) Ligamentum popliteum abligum, berasal dari condylus lateralis

femoris menuju ke insertio musculus semi membranosus melekat

pada fascia musculus popliteum.

f) Ligamentum transversum genu, membentang pada permukaan anterior

meniscus medialis dan lateralis. Semua ligament tersebut berfungsi

sebagai fiksator dan stabilisator sendi lutut. Tranversum genu di

samping ligament ada juga bursa pada sendi lutut. Bursa merupakan

kantong yang berisi cairan yang memudahkan terjadinya gesekan dan

gerakan, berdinding tipis dan dibatasi oleh membran synovial. Ada

beberapa bursa yang terdapat pada sendi lutut antara lain : (a) bursa

popliteus, (b) bursa supra patellaris, (c) bursa infra patellaris, (d) bursa

subcutan prapatellaris, (e) bursa sub patellaris, (f) bursa prapatellaris.

Gambar.4. Knee Joint


c. Sistem Otot

Otot-otot yang bekerja pada sendi lutut yaitu:

1) Bagian anterior adalah m. rectus femoris, m. vastus lateralis, m. vastus medialis,

m. vastus intermedius.

2) Bagian posterior adalah m. biceps femoris, m. semitendinosus, m.

semimembranosus, m. gastrocnemius.

3) Bagian medial adalah m. Sartorius

4) Bagian lateral adalah m. Tensorfacialatae

Gambar.5. Otot-otot penggerak sendi lutut

d. Biomekanik Sendi Lutut

1. Osteokinematika

Tibiofemoral joint termasuk kedalam sendi biaxial bicondyloid dengan 2

pasang gerakan yaitu fleksi-ekstensi dan eksorotasi-endorotasi, sedangkan gerak

pasif yang terjadi adalah valgus-varus knee.


ROM fleksi knee adalah 0o-120o (gerak aktif) dan 0o-140o (gerak pasif),

sedangkan ROM ekstensi/hiperekstensi knee adalah 0o-5o/10o. Pada akhir

ekstensi, ligament collateral lateral dan medial serta ligament cruciatum

menjadi tegang/terulur. Sedangkan pada hiperekstensi, ligament popliteal

oblique menjadi tegang/terulur untuk memproteksi knee joint. Pada akhir fleksi,

ligament patellaris terulur (tegang) yang disertai dengan tendon quadriceps

femoris.

Otot yang bekerja pada gerakan fleksi knee adalah grup otot hamstring yang

dibantu oleh caput medial dan lateral gastrocnemius, sedangkan otot yang

bekerja pada gerakan ekstensi knee adalah grup otot quadriceps femoris.

Patella dapat memperbaiki lever/pengungkit dari gaya otot quadriceps

melalui peningkatan jarak tendon quadriceps dari axis knee joint. Efek lever

yang paling besar adalah dari 60o ke 30o ekstensi dan cepat menurun dari 15o ke

0o full ekstensi. Puncak gaya atau kekuatan otot quadriceps terjadi antara 70o

dan 50o. Selama latihan open kinematik chain, dianjurkan memberikan tahanan

maksimum sampai akhir ekstensi penuh agar gaya kontraksi otot quadriceps

relative kuat sampai akhir ekstensi penuh. Dalam closed kinematik chain, otot

quadriceps femoris dibantu oleh kerja otot hamstring dan soleus untuk menarik

tibia ke posterior. Selama fase menumpuh berjalan (stande phase), otot

quadriceps akan mengontrol besarnya fleksi knee dan menyebabkan ekstensi

knee.

ROM eksorotasi knee adalah 0o-40o, sedangkan ROM endorotasi knee

adalah 0o-30o. Eksorotasi dan endorotasi hanya terjadi pada posisi knee fleksi

karena pada posisi fleksi knee ligament cruciatum dan collateral menjadi kendur
sedangkan pada posisi ekstensi knee ligament cruciatum dan collateral menjadi

tegang serta terjadi penguncian. Pada akhir endorotasi, ligament collateral

lateral menjadi teregang/terulur dan ligament cruciatum saling terpisah.

Endorotasi yang berlebihan menyebabkan meniscus robek. Pada akhir eksternal

rotasi, ligament collateral medial menjadi tegang dan ligament cruciatum saling

bersilangan. Eksternal rotasi yang berlebihan menyebabkan meniscus medial

robek.

Grup otot pes anserinus sangat berperan pada gerakan endorotasi knee,

sedangkan tensor fascia latae beserta traktus iliotibialis berperan pada gerakan

eksorotasi knee yang dibantu oleh otot biceps femoris.

Pada tibiofemoral joint dapat terjadi gerak varus dan valgus knee secara

pasif. Valgus knee dapat menyebabkan ligament collateral medial

teregang/terulur. Varus knee dapat menyebabkan ligament collateral lateral

teregang/terulur. Jika valgus knee disertai dengan eksorotasi knee dapat

menyebabkan ligament collateral dan meniscus medial teregang (overstretch).

2. Arthrokinematika tibiofemoral joint

a. Tulang femur berbentuk konveks dengan dua condylus yang tidak simetris

pada ujung distal femur, dimana condylus medial lebih panjang daripada

lateralis sehingga dapat menghasilkan mekanisme penguncian lutut.

b. Tulang tibia berbentuk konkaf dengan dua dataran tibia pada ujung

proksimal tibia beserta meniscus fibricartilago. Dataran medial lebih besar

daripada dataran lateral.


c. Pada open kinematik chain (kinematika terbuka), dataran tibia bergerak

dengan slide dalam arah yang sama dengan gerak angularnya.

d. Pada closed kinematik chain (kinematika tertutup), condylus femur bergerak

slide dalam arah yang berlawanan dengan gerak angularnya.

3. Etiologi

Faktor resiko pada osteoarthritis, meliputi hal-hal sebagai berikut.

a. Usia

Faktor resiko yang paling utama pada penyakit osteartritis adalah usia,

biasanya mengenai usia dewasa madya hingga lansia, tetapi sering pada usia

lebih dari 50 tahun. Prevalensi dan beratnya osteoartritis akan meningkat sesuai

dengan pertumbuhan umur, namun osteoartritis bukan terjadi akibat

pertumbuhan usia saja, melainkan juga dapat terjadi akibat perubahan pada

tulang rawan sendi.

b. Jenis Kelamin

Prevalensi osteoartritis lebih meningkat pada jenis kelamin wanita

dibanding dengan pria, 3,2% : 3%. Diperkirakan hal ini terjadi akibat perbedaan

bentuk pinggul antara pria dan wanita.

c. Faktor Herediter

Faktor herediter juga berpengaruh terhadap kejadian osteoartritis,

misalnya pada seorang ibu dengan osteoartritis pada sendi lutut, maka

kemungkinan anaknya berpeluang 3 kali lebih sering untuk terkena penyakit

yang sama.
d. Obesitas

Obesitas merupakan faktor risiko osteoartritis yang dapat dimodifikasi.

Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut oleh karena

itu peningkatan berat badan akan melipat gandakan beban sendi lutut saat

berjalan.

e. Trauma, Pekerjaan dan Olahraga

Cedera sendi pinggul akan menimbulkan perubahan retikular pada sendi

sehingga berdampak pada kejadian penyakit osteoartritis. Selain itu pekerjaan

yang berat akan menjadi penentu beratnya osteoartritis yang dialami.

4. Tanda dan gejala

OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat

mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul, lutut.

1. Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan

pada sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat

osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau

ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang

lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat

perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.

2. Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari

ketika setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.

3. Krepitasi : sensasi suara gemeretak yang sering ditemukan pada tulang

sendi rawan.
4. Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan

sebagai nodus Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal

Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena adanya keterlibatan

sendi Proximal Phalangeal (PIP). Pembengkakan pada tulang dapat

menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi yang progresif.

5. Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-

lahan mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau

lutut (Davey, 2006).

5. Patofisiologi

Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan kolagen

pada rawan sendi) gagal dalam memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis

matriks ekstraseluler, sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi serat kolagen

yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, yang menjadikan tulang rawan sendi

kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik (Price dan Wilson, 2013). Selain

kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama setelah terjadi

sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang

mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan

berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriks

rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan

ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik

(Robbins, 2007).

Gambaran khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan penyempitan celah

sendi. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, Kellgren & Lawrence menyusun gradasi OA

lutut menjadi :
Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada radiologis.

Grade 1: Ragu-ragu, tanpa osteofit.

Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar sendi.

Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang cukup besar.

Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi yang lebar dengan

sklerosis pada tulang subkondral.

Gambar.5. Kellgren & Lawrence Classification

Scale for OsteoarthritisSeverity

Osteoartritis pernah dianggap sebagai kelainan degeneratif primer dan kejadian

natural akibat proses ”wear and tear” pada sendi sebagai hasil dari proses penuaan.

Tetapi, temuan-temuan yang lebih baru dalam bidang biokimia dan biomekanik telah

menyanggah teoari ini. Osteoartritis adalah sebuah proses penyakit aktif pada sendi

yang dapat mengalami perubahan oleh manipulasi mekanik dan biokimia. Terdapat efek

penuaan pada komponen sistem muskuloskeletal seperti kartilago artikular, tulang, dan
jaringan yang memungkinkan meningkatnya kejadian beberapa penyakit seperti OA

(Price dan Wilson, 2013).

Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun

karena berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan

berkurangnya cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk menjamin

gerakan yang hampir tanpa gesekan di dalam sendi berkat adanya cairan sinovium dan

sebagai penerima beban, serta meredam getar antar tulang (Robbins, 2007). Tulang

rawan yang normal bersifat avaskuler, alimfatik, dan aneural sehingga memungkinkan

menebarkan beban keseluruh permukaan sendi. Tulang rawan matriks terdiri dari air

dan gel (ground substansi), yang biasanya memberikan proteoglikan, dan kolagen

(Hassanali, 2011).

6. Klasifikasi Osteoarthritis

Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA

sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik adalah OA yang kausanya tidak

diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses

perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya

perubahan degeneratif yang terjadi pada sendi yang sudah mengalami deformitas, atau

degenerasi sendi yang terjadi dalam konteks metabolik tertentu (Robbins, 2007). Selain

dari jenis osteoarthritis yang lazim, ada beberapa varian lain. OA peradangan erosif

terutama menyerang sendi pada jari-jari dan berhubungan dengan episode peradangan

akut yang menimbulkan deformitas dan alkilosis. Hiperostosis alkilosis menimbulkan

penulangan vertebra (Price dan Wilson, 2013).


B. Assesmen dan Pengukuran Fisioterapi

ALGORHITMA ASSESSMEN PADA OSTEOARTHROSIS KNEE

History Taking :
Nyeri lutut kanan saat jongkok berdiri, jalan
terlalu lama, naik turun tangga, saat memulai
gerakan

Inspeksi :
Nampak genu varus/fleksi knee gait

Pemeriksaan fisik Jika tidak Algoritma kondisi lain

VDS (Verbal Palpasi MMT (Manual Muscle Tes stabilitas


sendi
Discriptive Scale) Nyeri tekan pada Testing)
valgus test : +/-
Nilai 4 (nyeri tidak otot quadriceps Fleksi knee dextra :4
begitu berat) dan otot Ekstensi knee dextra : 4
hamstring

Diagnosa ICF : Lingkup Gerak Sendi


Knee pain with hypomobile - Gerak aktif knee
et causa Osteoarthritis Knee dextra: S = 0° - 0 - 120°
Dextra - Gerak pasif knee
dextra: S = 0° - 0 - 125°

Intervensi :
- Ultra Sound
- Terapi Latihan:
 Free active movement
 Hold relax
 Strengthening quadriceps dan
hamstring
Pengukuran didefinisikan sebagai penggunaan bilangan angka yang

diperuntukkan pada sebuah objek, kejadian, atau persona, atau klasifikasi

(kategori) dimana objek, kejadian atau persona diperuntukan berdasarkan

kaidah.

Adapun pengukuran yang dilakukan pada kasus osteoatrthritis yaitu:

1. Visual Analog Scale (VAS). Digunakan untuk mengukur kwantitas dan kualitas

nyeri yang pasien rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai

dari “tidak nyeri, ringan, sedang, atau berat”.

2. Range Of Motion (ROM) adalah lengkungan yang terbentuk melalui gerakan

aktif dan pasif sendi atau serangkaian sendi dengan menghasilkan sudut gerak.

ROM digunakan untuk menilai biomekanik dan arthrokinematik dari suatu

persendian, termasuk fleksibilitas dan karakteristik gerakan.

3. Manual Muscle Testing (MMT) adalah sebuah metode untuk menilai fungsi dan

kekuatan dari individual otot dan sekelompok otot berdasarkan kemampuan

dalam menghasilkan suatu gerakan terkait gaya gravitasi dan tahanan manual

melalui ROM yang ada.

C. Intervensi Fisioterapi

1. MWD (Micro Wave Diathermy)

a. Definisi

Suatu aplikasi terapeutik dengan menggunakan gelombang mikro dlm

bentuk radiasi elektromagnetik yg akan dikonversi dalam bentuk dengan

frekuansi 2456 MHz dan 915 MHz dengan panjang gelombang 12,25 arus yang

dipakai adalah arus rumah 50 HZ, penentrasi hanya 3 cm yang efektif pada otot.
b. Efek terapeutik

1. Menurunkan nyeri, normalisasi tonus otot melalui efek sedative, serta

perbaikan metabolisme.

2. Meningkatkan proses perbaikan atau reparasi jaringan secara fisiologis.

3. Dengan peningkatan elastisitas jaringan lunak, maka dapat mengurangi

proses kontraktur jaringan. Ini dimaksudkan sebagai persiapan sebelum

pemberian latihan.

4. Apabila elastisitas dan ambang rangsang jaringan saraf semakin

membaik, maka konduktivitas saraf akan membaik pula.

c. Indikasi MWD

1. Post akut musculoskeletal injury

2. Kerobekan otot dan tendon

3. Penyakit degenerasi sendi

4. Peningkatan extensibilitas collagen

5. Mengurangi kekakuan sendi, bursitis

6. Lesi kapsul

7. Myofascial trigger point

8. Mengurangi nyeri subakut dan nyeri kronik

d. Kontraindikasi MWD

1. Akut traumatic musculoskeletal injury

2. Kondisi-kondisi akut inflamasi

3. Area ischemia dan efusi sendi


4. Malignancy, infeksi

5. Pemasangan metal/besi pada tulang, cardiac pacenakers, alat-alat

intrauterine.

2. IFC (Interferential Current)

a. Definisi

Interferential current merupakan suatu jenis arus frekuensi menengah

(middle frecuency current) yang merupakan penggabungan dua 42 buah arus

dengan frekuensi berbeda. Sifat pulsa dari arus interferential adalah sinusoidal

biphasic simetris sehingga arus interferential tidak menimbulkan reaksi

elektrokimiawi pada jaringan dibawah elektroda. Dalam aplikasi klinis sering

digunakan frekeunsi 2000 dan 10.000 Hz tergantung pada tujuan yang

diinginkan.

b. Karakteristik arus Interferential Current

Merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang menggunakan arus listrik

dengan frekuensi 4000 Hz dan jenis arus yang continu dangan AMF 50 Hz dan

AMF Modifikasi 100 Hz. Gabungan dari dua arus bolak balik berfrekuensi

menengah dalam bentuk empat elektrode sehingga terjadi interaksi arus dalam

bentuk superposisi.

c. Efek terapeutik

Efek terapeutik Interferential Current

1) Peningkatan aliran darah lokal yang dapat meningkatkan penyembuhan

dengan mengurangi pembengkakan (darah tambahan yang mengalir

melalui daerah mengambil cairan edema pergi dengan itu) dan sebagai
hasilnya membantu menghilangkan jaringan yang rusak dan membawa

nutrisi yang diperlukan untuk penyembuhan daerah.

2) Stimulasi sel saraf lokal yang dapat memiliki efek mengurangi rasa sakit

/ bius karena berpotensi menghalangi transmisi sinyal rasa sakit (nyeri

mekanisme gate) atau dengan merangsang pelepasan endorfin nyeri

mengurangi (mekanisme opioid).

3) Relaksasi kejang otot dapat dicapai melalui aplikasi luar dari arus listrik,

mengatasi beberapa hambatan otot yang sering disebabkan oleh cedera

lokal dan pembengkakan.

4) Peningkatan permeabilitas membran sel yang membantu gerakan ion ke

dan dari sel-sel sehingga mempromosikan penyembuhan.

d. Indikasi dan kontraindikasi

a) Indikasi

1. Nyeri otot, tendon dan saraf

2. Kelemahan otot

3. Post traumatic

4. Spondylosis

5. Bursitis, tendonitis

6. Artritis

b) Kontra indikasi

1. Demam

2. Tumor

3. Abdomen, pelvis, lumbal pada wanita hamil

4. Pemakaian “peace maker” pada jantung


5. Pasien dengan penyakit jantung yang berat

6. Trombosis arteri dan vena

7. Hipotensi dan hipertensi

8. Demam tinggi

9. Pemberian bersama dengan elektroterapi lain

3. Static contraction

Static contraction adalah bentuk latihan statik dimana otot yang dilatih

tidak mengalami perubahan panjang dan tanpa ada pergerakan dari sendi.

Sehingga latihan akan menyebabkan ketegangan (tension) otot bertambah dan

panjang otot tetap (Kisner dan Colby, 2007).

4. Friction

Adalah gerakan melingkar kecil-kecil dengan penekanan yang lebih

dalam menggunakan jari atau ibu jari. Gerakan ini hanya digunakan pada area

tubuh tertentu yang bertujuan untuk penyembuhan ketegangan otot akibat asam

laktat yang berlebih.

5. Traksi-osilasi Tibia

Traksi adalah suatu bentuk mobilisasi berupa tarikan yang membuat

kedua permukaan sendi saling menjauh, dalam hal ini traksi sendi tibiofemoral

adalah traksi kearah distal searah sumbu longitudinal tulang tibia. Menurut

Maitland, oscilasi adalah bentuk gerakan pasif pada sendi dengan amplitude

yang kecil atau besar yang diaplikasikan pada semua ROM yang ada dan dapat

dilakukan ketika permukaan sendi dikompressi. Tehnik tersebut terdiri dari

gerakan fisiologis dan gerakan asesoris.


Traksi osilasi memiliki efek terapeutik tehnik mobilisasi yang

menyebabkan terjadinya pergerakan cairan sinovial serta membawa zat-zat gizi

pada bagian yang bersifat avaskuler di kartilago artikular dan juga di intra

artikular fibro kartilago. Tehnik mobilisasi ini membantu menjaga pertukaran

zat-zat gizi serta mencegah nyeri dan efek degenerasi statik saat sendi

mengalami pembengkakan atau nyeri dan keterbatasan gerak (Ucat, 2000).

6. Hold Relax

Hold relax adalah suatu teknik yang mengarah pada kontraksi isometrik

rileksasi optimal dari kelompok otot antagonis yang memendek, dilanjutkan

dengan rileksasi otot tersebut.

7. Resisted Active Exercise

Resisted active exercise merupakan bagian dari active exercise di mana

terjadi kontraksi otot secara statik maupun dinamik dengan diberikan tahanan

dari luar, dengan tujuan meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan daya

tahan otot. Tahanan dari luar bisa manual atau mekanik.

Tahanan manual adalah tahanan yang kekuatannya berasal dari terapis

dengan besarnya tahanan disesuaikan dengan kemampuan pasien dan besarnya

beban tahanan yang diberikan tidak dapat diukur secara kuantitatif, sedangkan

tahanan mekanik adalah tahanan dengan besar beban menggunakan peralatan

mekanik, dimana jumlah besarnya tahanan dapat diukur secara kuantitatif.

Anda mungkin juga menyukai