Anda di halaman 1dari 21

REFERAT ROSASEA

DISUSUN OLEH:
Roni Asido Junior Simanjuntak
11.2017.003

PEMBIMBING:
dr. Antoni Miftah, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
LAMPUNG
2019

1
ROSASEA

I. PENDAHULUAN
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada
kulit, berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar
pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak
lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Penyakit
ini ditandai juga dengan adanya eritema yang berkepanjangan dan
telangiektasis disertai dengan papul atau pustul. Selain itu, pada periode
tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi
hanya dalam beberapa menit (flushing).
Pada kenyataannya tidak semua kasus sesuai dengan gambaran ini, di
mana tidak semua ciri-ciri selalu muncul. Suatu usaha dilakukan baru-baru
ini untuk menentukan kriteria diagnosis menyimpulkan bahwa adanya satu
atau lebih dari tanda-tanda berikut dengan distribusi pada bagian sentral
wajah dipikirkan sebagai rosasea yaitu flushing (kulit kemerahan dan terasa
panas terbakar), eritema non transient, papul, pustul, dan telangiektasis.
Walaupun rosasea telah banyak diketahui secara umum, rosasea tetap
menjadi suatu kontroversi terutama pada ahli-ahli dermatologi, sebagian
besar disebabkan karena patofisiologi yang belum jelas dan variasi gejala
klinisnya. Pada praktiknya para klinisi dapat dengan mudah
mengidentifikasi muka merah sebagai rosasea, walaupun terkadang
dermatitis perioral, post adolescent acne, dan pemberian steroid topikal
yang berlebihan memberikan gambaran klinis yang sama.
Sebagian besar para ahli meyakini bahwa perubahan vaskular,
terutama flushing merupakan suatu gambaran yang khas dan konstan yang
diikuti dengan progresifitas ke arah inflamasi (papul dan pustul) dan adanya
limfedema kronik, penebalan kulit, dan rinofima merupakan suatu
komplikasi lanjut. Walaupun demikian, banyak kasus yang tidak
menunjukkan pola yang jelas tentang hal tersebut.

2
II. EPIDEMIOLOGI
Rosasea lebih sering terjadi pada bangsa kulit putih (ras kaukasoid).
Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan orang Afrika dan orang
Asia juga dapat menderita rosasea. Pada bangsa kulit putih ditemukan
penderita rosasea sekitar 10% dari jumlah total bangsa kulit putih.
Puncak insiden dan beratnya penyakit terjadi pada dekade ketiga dan
keempat, pada usia 30-50 tahun, dengan insiden puncak antara 40-50 tahun.
Walaupun demikian, anak-anak, remaja, dewasa muda dan usia lanjut dapat
menderita rosasea.
Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi
pada perempuan dibanding laki-laki. Tapi rinofima, salah satu jenis rosasea,
lebih sering menyerang laki-laki dibanding perempuan.
Data insiden rosasea pada kelompok etnik yang berbeda sangat
bervariasi dan secara umum data ini masih kurang dan lemah, tetapi dapat
disimpulkan bahwa insiden dan mungkin deteksi rosasea tertinggi pada
individu dengan kulit tipe I dan II, diikuti ras Asia dan insiden terendah
pada populasi berkulit hitam. Insidensi penyakit ini juga sering didapatkan
pada penduduk di Celtic (fototipe kulit I dan II) dan Mediterania Selatan.
Frekuensi yang rendah atau jarang terdapat pada orang yang berwarna kulit
gelap (fototipe kulit V dan VI, warna kulit coklat dan hitam).

III. ETIOLOGI
Etiologi rosasea tidak diketahui secara pasti. Ada berbagai hipotesis
mengenai faktor penyebab, yaitu :
1. Makanan dan minuman
Alkohol dan makanan berbumbu pedas diduga merupakan penyebab
rosasea. Bahkan konstipasi, penyakit gastrointestinal dan penyakit
kelenjar empedu telah pula dianggap sebagai faktor penyebabnya.
2. Psikis/emosional
Belum banyak penelitian mengenai hubungan psikis dengan insiden
terjadinya rosasea. Namun diduga ini terjadi akibat stres yang

3
berlebihan sehingga mengganggu fungsi kerja hormon yang nantinya
memicu reaksi inflamasi.
3. Obat-obatan
Adanya peningkatan bradikinin yang dilepaskan oleh adrenalin pada
saat kulit kemerahan menimbulkan dugaan adanya peran berbagai obat,
baik sebagai penyebab maupun yang dapat digunakan sebagai terapi
rosasea.
4. Infeksi
Demodex folliculorum dahulu dianggap berperan pada etiologi rosasea.
Walaupun demikian, keterlibatan Demodex folliculorum ini masih perlu
dibuktikan.
5. Musim/iklim
Peran musim panas atau musim dingin termasuk di dalamnya peran
sinar ultraviolet yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah
kulit sebagai penyebab eritema persisten masih diselidiki.
6. Imunologi
Di lapisan dermoepidermal penderita rosasea ditemukan adanya deposit
imunoglobulin oleh beberapa peneliti sedangkan di kolagen papiler
ditemukan antibodi antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada
dugaan faktor imunologi pada rosasea.
7. Lainnya
Defisiensi vitamin dan hormonal diduga sebagai penyebab penyakit ini.

IV. KLASIFIKASI
National Rosacea Expert (NRS) Commitee, pada tahun 2002
menetapkan subtipe rosasea dan menggolongkannya ke dalam subtipe
eritematotelangiektasis, papulopustular, phymatous dan okular.
1. Tipe Eritematotelangiektasis (Erythematotelangiectatic type)
Rasa perih pada bagian sentral wajah, sering disertai dengan rasa panas
dan terbakar yang merupakan tanda utama rosasea tipe
eritematotelangiektasis (ETR). Warna kemerahan biasanya tersebar di
kulit sekitar mata. Pasien-pasien dengan rosasea tipe ini memiliki kulit
bertekstur baik dengan penurunan kualitas kelenjar sebasea. Area yang
eritem pada wajah terlihat kasar dengan batas seperti suatu proses yang
kronik, seperti dermatitis ringan. Faktor pencetus yang paling sering

4
menyebabkan rasa panas/terbakar ini termasuk stres emosional,
minuman panas, alkohol, makanan berbumbu pedas, latihan, cuaca
dingin atau panas. Pasien mengeluh rasa panas dan terbakar bertambah
ketika menggunakan obat-obat topikal.

Gambar 1. Erythematotelangiectatic type

2. Tipe papulopustular (Papulopustular rosacea)


Rosasea papulopustular (PPR) merupakan bentuk klasik rosasea.
Kebanyakan penderita adalah wanita berusia pertengahan dengan
keluhan papul dan pustul pada bagian sentral wajah (central portion).
Telangiektasis yang terjadi agak sulit dibedakan dengan eritema.

5
Gambar 2. Papulopustular rosacea

3. Rosasea phymatous (phymatous rosacea)


Rosasea tipe ini merupakan rosasea dengan penebalan pada kulit dan
permukaan nodul yang iregular di daerah hidung, dagu, dahi, satu atau
kedua telinga, dan atau kelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe
rinofima (suatu perubahan pada hidung) secara histologis yaitu tipe
glandula (akibat hiperplasia kelenjar sebasea) dan merupakan tipe yang
lebih dominan, tipe fibrosa (akibat hiperplasia jaringan konektif), tipe
fibroangiomatosis (hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh
darah), dan tipe aktinik (akibat massa nodular jaringan elastis).

Gambar 3. Phymatous rosacea dan inflamasi


4. Rosasea okular (Ocular rosacea)

6
Manifestasi okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan pada
kelopak mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva
interpalpebra dan telangiektasis konjungtiva. Pasien mungkin mengeluh
mata terasa perih atau terbakar, kering, dan iritasi dengan sensasi benda
asing atau sensasi cahaya. Rosasea okular hampir mirip dengan rosasea
phymatous, tetapi memiliki manajemen terapi yang berbeda. Oleh
karena itu, harus ditanyakan pada pasien tentang keluhan dan gejala
okular dan dilakukan pemeriksaan fisis untuk menentukan tipe rosasea.
Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan
stadium sebagai berikut :
1. Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis
2. Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil
3. Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang
tebal, papul, pustul, nodul, jarang ada edema padat/keras pada
bagian sentral wajah.
Pada klasifikasi ini, stadium I analog dengan tipe
eritematotelangiektasis, stadium II dengan tipe papulopustular, dan
stadium III analog dengan tipe phymatous.
Progresi dari satu stadium ke stadium lain tidak selalu terjadi.
Rosasea dapat dimulai dengan stadium II atau III dan stadium-stadium
itu dapat terjadi bersamaan.

Gambar 4. Ocular Rosacea


V. PATOGENESIS
Patogenesis rosasea adalah multifaktorial, tetapi sangat jelas
hubungannya dengan hiperaktivitas vaskular. Eritema pada rosasea ini

7
disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah superfisial wajah. Diduga terjadi
atrofi pars papilare dermis yang menyebabkan visualisasi kapiler kulit
menjadi lebih jelas.
Pasien rosasea memberikan riwayat wajah yang mudah memerah dan
mengeluhkan warna kulit yang memerah sedikit demi sedikit. Makanan dan
obat-obatan yang menginduksi vasodilatasi wajah terlihat sejalan dengan
perkembangan rosasea. Pasien dengan rosasea memiliki kulit yang mudah
teriritasi. Sebagai contoh, pasien sering mengeluh mengalami rasa perih dan
terbakar jika menggunakan kosmetik dan obat-obatan topikal. Vasodilatasi
pasien rosasea lebih besar dan persisten dibandingkan yang terlihat pada
orang normal. Stimulasi suhu adalah penyebab dari food-induced flushing
pada kebanyakan pasien, misalnya suhu kopi dan teh yang panas dapat
menyebabkan wajah kemerahan. Walaupun rosasea tidak secara umum
dianggap sebagai penyakit neurokutaneus, penting diketahui bahwa flushing
atau wajah kemerahan dimediasi oleh suatu fungsi neural dan dengan
demikian rosasea pun memiliki dasar neurologi.
Didapatkan adanya hubungan yang erat antara sistem vaskular dan
sistem imun, sama seperti pemberian anti inflamasi yang pada kenyataan
cukup efektif sebagai terapi rosasea. Hal ini memberi kesan bahwa sel-sel
radang seperti neutrofil dan mediator inflamasi lainnya merupakan faktor
utama patofisiologi terjadinya rosasea.
Ketidakstabilan pembuluh darah (vascular instability/vascular
lability) terjadi karena faktor hormon, stres emosional, makanan, paparan
sinar matahari, pelepasan substansi vasoaktif dan infestasi Demodex
folliculorum. Hal ini mengakibatkan terjadi pelepasan mediator inflamasi, di
antaranya yaitu sitokin yang akan menginduksi terjadinya proses inflamasi.
Flushing atau rasa panas pada rosasea lebih sering dimediasi oleh
pelepasan substansi vasoaktif daripada mekanisme refleks saraf, tetapi hal
ini belum dapat ditetapkan sebagai dasar patofisiologi dan kedua mekanisme
ini pun dapat berperan penting. Mediator inflamasi yang dimaksud termasuk
serotonin, bradikinin, prostaglandin, substansi P, peptida opiod dan gastrin.

8
Kadar substansi P dalam darah meningkat pada beberapa pasien tetapi tidak
selalu terjadi. Peptida opiod dikemukakan sebagai mediator dari flushing
pada rosasea berdasarkan aksi supresi dari antagonis opiod, nalokson.
Sering pula dianggap bahwa rosasea berhubungan dengan gejala-gejala pada
gastrointestinal, walaupun hanya sedikit bukti nyata yang mendukung
pendapat ini.
Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel pustul yang
meradang pada hidung penderita rosasea. Demodex folliculorum merupakan
suatu tungau yang hidup dalam lumen folikel glandula sebasea pada kepala
yang diduga sebagai penyebab rosasea pada usia pertengahan. Spesies
Demodex (tungau yang secara normal hidup pada folikel rambut manusia)
mungkin berperan dalam patogenesis rosasea. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa Demodex folliculorum menyukai daerah kulit yang
merupakan predileksi rosasea seperti hidung dan pipi. Demodex
folliculorum ini terlihat lebih banyak pada pasien rosasea papulopustular
dibandingkan dengan individu normal. Selain itu, folikel yang didiami oleh
tungau ini dapat memberikan respon inflamasi lokal.
Banyak peneliti juga mengemukakan bahwa terjadi infiltrasi respon
imun sel T-helper yang mengelilingi antigen Demodex folliculorum pada
pasien rosasea. Walaupun demikian, penelitian lain menunjukkan pula hal
yang sebaliknya. Penelitian tersebut menyatakan bahwa Demodex
folliculorum tidak menyebabkan respon inflamasi pada rosasea. Oleh sebab
itu, diperlukan lebih banyak penelitian dan studi untuk menentukan apakah
Demodex folliculorum bersifat patogen.
Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh photoaging/solar aging
akibat paparan sinar matahari juga berperan dalam patogenesis rosasea
karena terjadi aktivasi sistem imun yang dapat mengakibatkan inflamasi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, paparan sinar matahari juga dapat
mengakibatkan ketidakstabilan vaskular yang akhirnya menginduksi
pelepasan mediator-mediator inflamasi. Degradasi aktinik pada vaskular dan
kolagen perivaskular serta jaringan elastis secara langsung menurunkan

9
integritas mekanik pembuluh darah dan meningkatkan hiperesponsif
pembuluh darah kecil di wajah.
Angiogenesis yang dicetuskan oleh inflamasi dapat pula dihubungkan
dengan timbulnya telangiektasis. Faktor angiogenik disimpan dalam matriks
ekstraselular dilepaskan oleh protease neutrofil atau dilepaskan dan
diaktivasi oleh makrofag.
Proses inflamasi selanjutnya berperan dalam patogenesis eritema dan
telangiektasis. Enzim-enzim degradasi, termasuk protease seperti elastase
yang dilepaskan dari neutrofil yang teraktivasi akan merusak jaringan ikat
yang mengelilingi pembuluh darah.
Solar elastosis dapat pula menyebabkan kegagalan sistem limfatik.
Ketika volume eksudat protein berlebih dalam drainase sistem limfatik,
cairan ekstraseluler terakumulasi pada kulit bagian superfisial. Hal ini
mengakibatkan terjadinya edema pada kulit dan peradangan, dimana
seringkali didahului dengan hipertrofi jaringan ikat. Neutrofil ini
melepaskan protein yang mendegradasi protein matriks, menyebabkan
fibroplasias, suatu proses awal terjadinya rinofima.

VI. DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinik
Rosasea terbatas pada wajah dan kulit kepala serta bermanifestasi
dalam 4 fase yaitu fase pra rosasea, fase vaskular, fase inflamasi dan
fase lanjut.
Pada fase pra rosasea, pasien mengeluhkan kulit yang kemerah-
merahan, disertai dengan rasa perih yang tidak nyaman. Pencetus yang
umumnya dilaporkan untuk kelainan ini di antaranya adalah paparan
sinar matahari, stres emosional, cuaca panas atau dingin, alkohol,
makanan berbumbu pedas, latihan berat, angin, kosmetik, dan air mandi
yang panas atau air minum yang panas. Gejala-gejala ini menetap
sepanjang fase lain penyakit ini.
Pada fase vaskular, pasien mengalami eritema pada wajah dan
edema dengan telangiektasis multipel, kemungkinan sebagai akibat dari

10
instabilitas vasomotor yang persisten atau menetap. Pada fase inflamasi,
sering diikuti dengan perkembangan papul dan pustul yang steril.
Beberapa pasien berkembang ke tahap lanjut rosasea, ditandai
dengan hiperplasia jaringan kasar pada pipi dan hidung (rinofima) yang
disebabkan oleh inflamasi jaringan, deposit kolagen dan hiperplasia
glandula sebasea. Rosasea okular bermanifestasi sebagai kombinasi dari
blefarokonjungtivitis, iritis, skleritis, dan keratitis, menimbulkan rasa
gatal, sensasi benda asing, eritema, dan edema pada mata.
Secara umum, terdapat riwayat wajah kemerahan dan rasa
perih/terbakar dengan peningkatan temperatur kulit sebagai respon dari
stimulus panas pada mulut (saat meminum air panas), makanan pedas,
dan alkohol. Paparan sinar matahari (rosasea sering dihubungkan
dengan solar elastosis) dan udara panas (misalnya pada koki yang
selalu berdekatan dengan kompor yang panas) dapat mengakibatkan
terjadi eksaserbasi. Akne dapat didahului dengan rosasea selama
bertahun-tahun, meskipun demikian, rosasea mungkin dan biasanya
timbul tanpa didahului riwayat akne atau seboroik.
Lesi pada kulit meliputi :
1. Lesi awal pada kulit
Warna kemerahan yang terasa panas (red face), papul yang kecil
dan papulopustul (2-3 mm), pustul sering kecil dan berada pada
apeks papul. Tidak terdapat komedo.
2. Lesi Lanjut
Wajah berwarna merah dan papul yang merah kehitaman dan
terdapat nodul. Lesi tersebar dan memiliki ciri-ciri tersendiri.
Telangiektasis ditandai adanya hiperplasia kelenjar sebasea dan
limfadema pada rosasea yang kronik menyebabkan
ketidakteraturan bentuk hidung, dahi, kelopak mata, telinga dan
dagu. Karakteristik distribusi rosasea adalah lesi yang lokasinya
simetris pada wajah. Jarang pada leher, dada (area berbentuk V),
punggung, dan kulit kepala.
3. Lesi yang khas, meliputi rinofima (pembesaran hidung), metofima
(pembesaran pada dahi), blefarofima (pembengkakan kelopak

11
mata), otofima (pembengkakan daun telinga yang mirip seperti
bunga kol), dan gnatofima (pembengkakan dagu) karena
hiperplasia dari glandula sebasea dan terjadi fibrosis. Pada palpasi,
lesi khas tersebut terasa lembut dan kenyal seperti karet.
Keterlibatan mata pada rosasea berakibat blefaritis kronik,
konjungtivitis, dan episkleritis. Keratitis rosasea, sekalipun jarang,
dapat timbul.

Gambar 5. Rosasea stadium III dengan rinofima


B. Histopatologi
Perubahan histologi tergantung stadium dari proses yang terjadi.
Biasanya terdapat ketidakteraturan pada jaringan ikat kulit bagian atas,
ditandai dengan adanya edema, kerusakan serabut otot dan sering
terjadi elastosis yang berat. Fase inflamasi ditandai adanya sel limfosit,
histiosit, polimorfonuklear, sel plasma, dan benda asing tipe giant cell.
Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel rambut daerah
yang mengalami gangguan.
Tidak ada gambaran histologis yang spesifik untuk rosasea, tetapi
kombinasi dari beberapa tanda-tanda klinik dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran histopatologis yang paling sering
ditemukan pada rosasea adalah infiltrasi sel radang limfohistiosit dalam
jumlah besar yang letaknya agak berjauhan satu dengan yang lain di

12
sekitar pembuluh darah kulit, telangiektasis, edema, elastosis, dan
terdapat gangguan struktur kulit bagian atas.

Gambar 6. Gambaran histopatologi dari rosasea

C. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada tes diagnostik yang spesifik sebab diagnosis utamanya
didasarkan atas gambaran klinik saja. Kultur bakteri dapat dilakukan
jika dicurigai terdapat infeksi Staphylococcus aureus dan secara khusus
infestasi Demodex folliculorum.

VII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik
rosasea yaitu papul/pustul wajah dan flushing atau eritema.
1. Papul atau pustul pada wajah
a. Akne vulgaris
Dapat terjadi pada umur remaja, kulit seboroik, terdapat
komedo, papul, pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher,
bahu, dada, dan punggung bagian atas. Tidak ada telangiektasis.
Sedangkan pada rosasea, tidak terdapat komedo, ditemukan dilatasi
vaskular, terjadi pada usia pertengahan, dan umumnya terbatas pada
2/3 wajah.

13
Gambar 7. Akne Vulgaris

b. Dermatitis perioral
Terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan
dagu, polimorfi tanpa telangiektasis dan keluhan gatal.
Berbeda dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak terdapat
telangiektasis dan flushing.

Gambar 8. Dermatitis perioral

14
2. Flushing atau eritema pada wajah
a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea,
tetapi yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat
skuama berminyak dan agak gatal dengan tempat predileksi
retroaurikular, alis mata, dan sulkus nasolabialis.

Gambar 9. Dermatitis seboroik pada wajah. Terlihat eritema dan skuama


kekuningan pada dahi , pipi, sulkus nasolabialis dan dagu
b. Lupus Eritematosus Sistemik
Meskipun SLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun
klinis terlihat eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas
tegas dan berbentuk kupu-kupu.

Gambar 10. SLE nampak gambaran eritema pada kedua pipi yang memberi
gambaran mirip kupu-kupu

c. Dermatomiositis

15
Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik
yang menyerang kulit dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai
oleh adanya edema dan inflamasi periorbita, eritema pada wajah,
leher, dan bagian atas tubuh.

Gambar 11. Dermatomiositis. Terdapat eritema dan edema pada wajah, terutama
pada daerah sekitar mata
VIII. PENATALAKSANAAN
Topikal
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah menjauhkan dari
bahan – bahan yang dapat mengiritasi seperti sabun, alkohol, larutan obat,
dan yang dapat merusak kulit. Hanya sabun tertentu yang dapat digunakan.
Melindungi diri dari sinar matahari sangat penting dilakukan yaitu dengan
faktor pelindung 15 atau yang lebih tinggi selalu di rekomendasikan seperti
spektrum UVA dan UVB.
Biasanya antibiotik efektif pada pasien dengan akne. Tetracycline,
Eritromycin dan Klindamycin dengan konsentrasi 0,5% - 2% sering
diberikan. Metronidazole adalah derivate synthetic antibacteri dan
antiprotozoa. Dari peneitian klinis, metronidazole 0,75% gel tropikal atau
krim 1% dapat menyembuhkan lesi hingga 68% – 91%. Bentuk gel adalah
yang paling efektif untuk papul dan pustul rosasea.
Imidazole juga biasa digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya
adalah sebagai anti inflamasi dan imunosupresan dan bactericidal. Efek
toksin imidazole sangat rendah dan bisa mentoleransi kulit pasien yang

16
sensitif. Adapalene Neftoic acid derivate terbaru dengan poten retinoid acid
reseptor agonis dan anti inflamasi. Adapalene terbukti aman sebagai
penatalaksanaan topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalene gel
0,1% berefek kuat pada papul dan pustul tapi kurang signifikan pada eritem
dan telangiektasis.
Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang
mengurangi iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal

Thenewenglandjournalofmedicine
kortikosteroid bisa digunakan kecuali untuk rosasea fulminant.

Sistemik
Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromycin
biasanya efektif tetapi tetracyclin yang paling efektif. Tetracyclin-HCL,
oxytetracyclin, doxyciclin dan minocycline biasanya efektif dalam
mengontrol papul dan pustul dari rosasea dan mengurangi eritem. Dapat
dimulai dengan dosis 1 – 1,5 g tetracyclin-HCL dan oxytetracyclin per hari,
serta 50 g minocycline dan doxyciclyn diberikan dua kali sehari. Tetracyclin
oral efektif pada roasea oftalmica.
Isotretionin juga efektif meskipun mempunyai resiko yang lebih
daripada tetracyclin. Obat ini bisa digunakan untuk rosasea yang resisten
terutama yang tidak berespon terhadap antibiotik, seperti rosasea lupoid,
rosasea stage III, rosasea gram negatif, rosasea conglobate, rosasea
fulminant. Dosisnya 0,5 – 1 mg/kg/hari. Efek samping pada mata yang
paling sering terjadi.
Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan pada rosasea fulminant
contohnya prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.

17
18
Tabel 1. Treatment of Papulopustular Rosacea

IX. PROGNOSIS
Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui
episode akut. Namun ada pula yang remisi secara spontan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Johnson RA. Rosacea. Disorders of Sebaceous and Apocrine


Glands. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill
Companies; 2009. p. 3, 9-13, 5, 50, 372, 9.
2. Jones JB. Rosacea. Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses,
Flushing and Flushing Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffths C, editors. Rook’s Text Book of Dermatology. 7th ed. Massachusets:
Blackwell Publishing Company; 2004. p. 2199-204.
3. Diamantis S, Waldorf HA. Rosacea : Clinical Presentation and
Pathophysiology. J Drugs Dermatol. 2006.
4. Crawford GH, Pelle MT, James WD. Rosacea: I. Etiology, pathogenesis,
and subtype classification. J Am Acad Dermatol. 2004;51:327-41.
5. Pelle MT. Rosacea. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 703-9.
6. Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea,
Rinofima. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
p. 261-3.
7. Padova MPD, Iorizzo M, Tosti A. Rosacea. In: Tosti A, Grimes PE, Padova
MPD, editors. Color Atlas of Chemical Peels. New York: Springer; 2002. p.
185-98.
8. Bikowski J, Torok L, Torok H. Rosacea Management: A Three-Pronged
Approach. Practical Dermatology. 2007:60-3.
9. Rosacea. In: James WD, G.Berger T, Elston DM, editors. Andrew’s Dissease
of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphi: Saunders Company;
2006. p. 245-8.
10. Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, et al. Standard
grading system for rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert
Committee on the Classification and Staging of Rosacea. J Am Acad
Dermatol. 2004;50:907

20
11. Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini RP. Rosacea. Acne and Acneiform
Dermatoses. In: Callen JP, Horn TD, Mancini AJ, Salasche SJ, Schaffer JV,
Schwarz T, et al., editors. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company; 1985.
12. Gupta A, Chaudhry M. Rosacea and its management: an overview. JEADV.
2005;19:273-85.
13. Jansen T, Plewig G. Rosacea: classification and treatment. J R Soc Med.
1997;90:144-50.
14. Altinyazar HC, Koca R, Tekin NS, Esturk E. Adapalene vs. metronidazole
gel for the treatment of rosacea. Int J Dermatol. 2005;44:252-5.
15. Powell FC. Rosacea. N Engl J Med. 2005;352:793-803.

21

Anda mungkin juga menyukai