Anda di halaman 1dari 19

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN MANAJEMEN

MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UDAYANA DENPASAR
DI RUANG BELIBIS RSUD WANGAYA DENPASAR
25 OKTOBER – 20 NOVEMBER 2010

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN


PPOK

I. PENGERTIAN PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronis ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang ditandai
oleh adanya hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Penyakit tersebut
biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap
partikel berbahaya atau gas. Penyakit ini disebabkan oleh bronkitis kronis dan emfisema
paru yang berlangsung secara progresif. Pada definisi ini, penyakit saluran pernapasan
yang tidak dimasukkan dalam definisi adalah bronkitis kronik dan emfisema, hal ini
dikarenakan (Mangunnegoro, 2004):
a. bronkitis kronik merupakan diagnosa klinis
b. emfisema merupakan diagnosis patologik.
Selain itu, kedua penyakit ini tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara
dalam saluran nafas, tetapi bronkitis dan emfisema adalah dua penyakit pokok yang
sering dihubungkan dengan timbulnya PPOK.
Bronkitis kronis didefinisikan secara klinis sebagai adanya batuk yang produktif
sepanjang hari selama minimum 3 bulan yang berlangsung paling sedikit 2 tahun
berturut-turut pada penderita, dimana penyebab batuk kronis yang lainnya dapat
disingkirkan. Sedangkan emfisema paru didefinisikan secara anatomi adanya pelebaran
yang permanen dari ruang udara distal dari bronkiolus terminal, dengan destruksi dari
dinding dan tanpa adanya fibrosis. Bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua
penyakit utama PPOK (Mangunnegoro, 2001).
PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase eksaserbasi
akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi perburukan yang
mendadak dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh suatu faktor pencetus dan
ditandai dengan suatu manifestasi klinis yang memberat (Mangunnegoro, 2001).
II. ETIOPATOGENESIS
Asap rokok adalah satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting
dibandingkan faktor penyebab lainnya. Pada kandungan asap rokok, banyak
mengandung partikel dan gas beracun yang mengakibatkan respon inflamasi pada
saluran napas. Meskipun begitu, ada faktor-faktor lain yang juga tidak bisa dianggap
remeh, yaitu polusi udara. Polusi udara terbagi menjadi:
a. polusi dalam ruangan (asap rokok, asap kompor,dll)
b. polusi luar ruangan (debu jalanan, gas buang kendaraan)
Karakteristik PPOK adalah adanya inflamasi kronik sepanjang jalan napas,
parenkim, dan vaskularisasi dari sistem paru. Pada timbulnya inflamasi, ada dua
kejadian penting pada patogenesis PPOK yaitu ketidakseimbangan antara proteinase
dan antiproteinase pada paru serta bahan oksidative stress. Inflamasi pada paru
disebabkan adanya paparan dari partikel dan gas beracun, terutama asap rokok sebagai
faktor penting yang secara langsung menyebabkan kerusakan paru.
Meskipun belum ada data yang kuat, faktor risiko yang lain selain asap rokok
juga diperkirakan menyebabkan proses yang sama untuk menimbulkan inflamasi paru
pada penyakit PPOK. Inflamasi pada paru akan menimbulkan kerusakan jaringan, yang
manifestasinya adalah timbulnya penyempitan saluran nafas dan fibrosis, destruksi
parenkim, dan hipersekresi mukus.
Secara garis besar, bronkitis kronis ditandai dengan pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, hipertrofi otot polos bronkus akibat fibrosis, kemudian emfisema ditandai
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Obstruksi pada saluran nafas bersifat ireversibel, dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran nafas kecil, yaitu inflamasi, fibrosis, hipertrofi otot polos dan
perubahan- perubahan ini terjadi akibat pembatasan jalan nafas yang hiperresponsive
(Mangunnegoro, 2001).

III. KLINIS DAN IDENTIFIKASI PPOK


Keluhan batuk produktif yang berlangsung lama/berulang, dengan produksi
sputum pada awalnya sedikit dan mukoid kemudian menjadi banyak dan purulen pada
eksaserbasi akut (Mangunnegoro, 2001). Pasien dapat juga mengeluhkan adanya sesak
yang berlangsung lama dan tidak pernah hilang sama sekali menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas yang menetap. Sesak dirasakan memberat pada eksaserbasi akut.
Pasien umumnya memiliki riwayat perokok berat, minimal 20 batang per hari
selama 20 tahun atau lebih sebelum mulai gejala. Dapat juga disertai riwayat terpajan
zat iritan yang bermakna di tempat kerja, atau memiliki riwayat penyakit emfisema pada
keluarga. Faktor predisposisi terjadinya PPOK pada pasien dapat terjadi pada masa
bayi/anak, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara. Identifikasi penderita PPOK tentu haruslah
diperhatikan dari semua hal yang disebutkan diatas .

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan (Mangunnegoro, 2001):
A. Gambaran klinis
a. anamnesis
 keluhan
 riwayat penyakit
 faktor predisposisi
b. pemeriksaan fisik
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
Gambaran klinis
a. anamnesis
Pada anamnesis, biasanya pasien datang dengan keluhan batuk produktif
yang berlangsung lama/berulang, dengan produksi sputum pada awalnya sedikit
dan mukoid kemudian menjadi banyak dan purulen pada eksaserbasi akut2. Pasien
dapat juga mengeluhkan adanya sesak yang berlangsung lama dan tidak pernah
hilang sama sekali menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas yang menetap.
Sesak dirasakan memberat pada eksaserbasi akut.
Pasien umumnya memiliki riwayat perokok berat, minimal 20 batang per
hari selama 20 tahun atau lebih sebelum mulai gejala. Dapat juga disertai riwayat
terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja, atau memiliki riwayat penyakit
emfisema pada keluarga.
Faktor predisposisi terjadinya PPOK pada pasien dapat terjadi pada masa
bayi/anak, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran nafas
berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan
kelainan sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru. PPOK dini umumnya tidak
ada kelainan.
Pada Inspeksi dapat terlihat bentuk dada barrel chest (diameter antero
posterior dan transversal sebanding ), penggunaan alat bantu nafas, hipertrofi alat
bantu nafas, pelebaran sela iga, bila telah terjadi gagal jantung kanan dapat terlihat
denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai. Dapat juga dijumpai tampilan
pink puffer yang merupakan tanda khas pada penderita dengan emfisema
dominan, yaitu penderita tampak kurus, kulit kemerahan dan pernafasan pursed-
lips breathing. Atau blue bloater pada bronkitis kronis, pasien tampak gemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer.
Pada Palpasi didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar.
Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.
Pada Perkusi didapatkan bunyi hipersonor pada daerah paru yang sakit.
Dapat disertai batas jantung yang mengecil pada jantung penduler, letak
diafragma yang rendah, serta penurunan letak hepar akibat terdorong kebawah
oleh diafragma.
Pada Auskultasi suara nafas vesikuler normal atau melemah. Terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa. Juga
dijumpai ekspirasi yang memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh (Pauwels, et
all. 2001).

Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa.
Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi
saluran nafas dalam berbagai tingkat. Pada orang normal kapasitas vital (KV)
sama nilainya dengan kapasitas vital paksa (KPV). Pada penderita PPOK, nilai
KV lebih besar dari nilai KVP9. Volume ekspirasi paksa pada satu detik pertama
(VEP1) mengalami penurunan, rasio VEP1/KVP juga mengalami penurunan4.
Rasio VEP1/KVP merupakan parameter tersering yang digunakan untuk
menentukan ada tidaknya obstruksi jalan nafas, nilai normal VEP1/KVP adalah
lebih dari 70%. Penentuan reversibel tidaknya otot-otot saluran nafas dapat
dilihat dari perubahan VEP1 sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator dan
atau kortikosteroid. Hasil pemeriksaan ini dipakai untuk menilai perburukan
penyakit, respon terapi, dan pengobatan
b. Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi,
yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang tipis
vertikal ). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan dapat dilihat
corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang
hiperlusen. Selebihnya dapat tampak normal.
c. Analisa Gas Darah
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien
dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada
bronkitis kronis analisa gas darah menunjukkan :
1. Hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%,
hal ini menunjukkan adanya shunt kanan ke kiri.
2 Hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar.
3 Asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi.
Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan
rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata.
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena
baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya
jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema
gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan :
1. Normoksia atau hipoksia ringan
2. Normokapnia
3. Tidak ada shunt kanan ke kiri
Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan
oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.
d. Pemeriksaan darah dan sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan untuk mengetahui
pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran nafas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia. Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya polisitemia
pada hipoksemia kronik, juga peningkatan hematokrit.
Pemeriksaan penunjang lainnya lainnya, antara lain EKG untuk mengetahui
komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi
pulmonal, juga dapat dilakukan bronkoskopi untuk mengetahui adanya kolaps
dan obstruksi pada alveoli, selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan.

V. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah eksaserbasi
akut dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Secara umum dapat dilakukan dengan
edukasi penderita terdiri dari berhenti merokok, menggunakan obat-obatan yang
adekuat, menghindari polusi udara, mengusahakan latihan jasmani secukupnya, dan
menghindari terjadinya infeksi.
Pada prinsipnya juga, terdapat 4 komponen penatalaksanaan PPOK menurut
WHO 1998, yaitu:
1. pengkajian dan monitor penyakit
2. kurangi faktor risiko
3. terapi PPOK stabil
4. terapi eksaserbasi akut
Selain edukasi, tentu saja pasien harus diterapi farmakologi. Tujuan utama terapi
farmakologi adalah memperbaiki fungsi parunya(mencegah penurunan VEP1), sehingga
keluhan pasien dapat berkurang. Terapi farmakologi yang dipakai adalah pemakaian
bronkodilator baik secara tunggal maupun kombinasi dan jenis antikolinergik, agonis β-
2, dan xantin, yang dapat diberikan dalam berbagai sediaan. Dengan obat ini diharapkan
meningkatkan aliran udara ke dalam paru. Kortikosteroid dapat dipergunakan untuk
menekan inflamasi yang terjadi, biasanya dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Antibiotik, mukolitik, dan ekspektoran dapat diberikan kepada penderita bila
diperlukan. Oksigen diberikan pada keadaan hipoksemia berat.
Dua hal penting yang sering dibahas adalah penatalaksanaan PPOK secara
khusus, sesuai dengan prinsip dari WHO, yaitu (Pauwels, et all, 2001):
1. penatalaksanaan PPOK stabil
2. penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut
Sesuai topik tinjauan kasus ini, maka yang lebih detail dibahas adalah tata
laksana PPOK eksaserbasi akut, karena angka morbiditas dan mortalitasnya cukup
tinggi, menduduki peeringkat 6 untuk Indonesia, dan peringkat 4 di USA.
Penatalaksanaan Eksaserbasi Akut
Keadaan eksaserbasi akut berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Adapun beberapa gejala eksaserbasi antara lain:
1. Sesak yang bertambah.
2. Produksi sputum yang meningkat.
3. Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen).
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga:
a. Tipe 1 (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas.
b. Tipe 2 (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas.
c. Tipe 3 (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran nafas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi >
20% baseline.
Penyebab eksaserbasi akut antara lain :
Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus).
Sekunder :
- Pneumonia
- Gagal jantung kanan atau kiri atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen, obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkungan yang buruk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Kelelahan otot respirasi
Pemeriksaan spirometri pada keadaan eksaserbasi akut sering menunjukkan
fungsi paru yang menurun, dan kadang-kadang pasien terlalu lemah untuk meniup alat
spirometri. Umumnya bila nilai VEP1 menunujukkan nilai >1 L, maka bisa dikatakan
sebagi keadaan eksaserbasi akut yang berat.
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi
yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Untuk
eksaserbasi ringan dapat dilakukan oleh penderita yang telah dilatih dengan cara
:(1)menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator dari
bentuk inhaler, oral menjadi bentuk nebulizer, dan dosis serta pemberian ditingkatkan,
(2) steroid sistemik dapat diberikan misalnya prednisolon 400 mg selama 10-14 hari,
antibiotik bila ada tanda infeksi cukup jelas, umumnya 7-14 hari.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan dengan rawat
jalan atau rawat inap dan dilakukan di :(1)poliklinik rawat jalan, (2) unit gawat darurat,
(3) ruang rawat, (4) ruang ICU.
Prinsip penanganannya adalah atasi segera eksaserbasi yang terjadi dan
mencegah terjadinya gagal nafas. Bila telah terjadi gagal nafas, segera atasi untuk
mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Diagnosis beratnya eksaserbasi
- derajat sesak, frekuensi nafas, pernafasan paradoksal,
- kesadaran,
- tanda vital,
- analisa gas darah,
- pneumonia.
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut, terapi oksigen merupakan hal yang utama dan pertama, untuk
memperbaiki hipoksemia. Sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SatO2 >
90%, evaluasi ketat hiperkapnia.Oksigen yang diberikan dalam dosis yang rendah,
yaitu 2 L/ mnt.
3. Pemberian obat-obatan yang optimal
a. Bronkodilator
Bila rawat jalan β-2 agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.
Dalam perawatan rumah sakit, bronkodilator dapat diberikan secara intravena
dan nebulizer, dengan pemberian yang lebih sering, perlu monitor ketat terhadap
timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator. Sebagai contoh :
- Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali setiap jam dan dapat
dilanjutkan dengan pemberian perdrip 3 ampul per 24 jam. Bila tidak ada
digunakan Adrenalin 0,3 mg subkutan, dengan hati-hati.
- Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) dilanjutkan perdrip 0,5-
0,8 mg/kgBB/jam.
- Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol
cairan perinfus. Cairan infus yang dipergunakan adalah dekstrose 5%, NaCl
0,9% atau Ringer laktat.
b. Antibiotika
Diberikan bila terdapat 2 atau lebih dari gejala di bawah ini :
- Peningkatan sesak
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
Pemilihan disesuaikan pola kuman setempat. Pemberian antibiotik di rumah
sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila
eksaserbasi sedang sebaiknya dikombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat
diberi tunggal.
c. Kortikosteroid
Diberikan tergantung derajat eksaserbasi. Derajat sedang dapat diberikan
prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu dan pada derajat berat diberikan secara
intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih
baik, tetapi lebih banyak efek sampingnya.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvasi yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan dan menghindari kelelahan otot bantu nafas.
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada eksaserbasi berat akan mengurangi morbiditas
dan mortalitas, serta memperbaiki simptom.
6. Kondisi lain yang berkaitan
- Monitoring balans cairan dan elektrolit.
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
7. Evaluasi ketat progresivitas penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan
kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah gagal
nafas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.
Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah dan pelayanan kesehatan
primer/Puskesmas

Inisiasi atau meningkatkan terapi bronkodilator

Nilai ulang dalam beberapa jam

Sembuh atau perbaikan tanda dan gejala Tidak terjadi penyembuhan atau perbaikan

Lanjutkan tatalaksana, Ke dokter


kurangi jika mungkin
- Tambahkan kortikosteroid oral
- Antibiotik bila ada tanda infeksi saluran nafas
Tatalaksana jangka panjang
- Diuretika bila ada kelebihan cairan

Nilai ulang tanda selama 2 hari


Rujuk ke
rumah sakit Perburukan tanda / gejala
VI. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal nafas
- Gagal nafas kronik
Pada gagal nafas kronik, hasil analisa gas darah, PO2<50mmHg dan
PCO2>50mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
a. jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
b. bronkodilator kuat
c. terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas dan tidur
d. antioksidan
e. latihan pernafasan dengan pursed lips breathing
- Gagal nafas akut
Pada gagal nafas kronik, yang ditandai oleh :
Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen,
demam, dan kesadaran menurun.
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuknya
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi
kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.
3. kor pulmonal
ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal
jantung kanan.
A. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
Pernafasan :
• ada kesulitan bernafas, dispnea (sesak nafas) timbul progresif sampai
mengganggu aktivitas
• sesak mendadak memberat bila terjadi eksasebarsi (episode akut)
• batuk kronis memberat pada pagi hari, dahak mukoid → purulen bila
eksaserbasi (episode akut)
• suara mengi (wheezing)
• batuk darah ( blood-streaked purulen sputum (eksa-serbasi))
• nyeri dada (pleuritis, pneumotoraks, emboli paru)
• ekspirasi memanjang, suara napas me↓
• hipertrofi otot bantu napas
• ronki basah basa
• pursed-lips breathing
Nutrisi :
• anoreksi & BB ↓ progresif jelek
Aktivitas :
• tidak dapat melakukan aktivitas berat

Diagnosa Keperawatan
a) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
pembentukan mucus ditandai dengan batuk berdahak, terdengar suara ronkhi,
RR > 36 x/menit
b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi
c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas
d) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang
informasi.
ASUHAN KEPERAWATAN

Dx 1: Bersiahan jalan nafas tidak efektifnya berhubungan dengan peningkatan


pembentukan mucus ditandai dengan batuk berdahak, terdengar suara ronkhi, RR > 20
x/menit
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam diharapkan jalan
nafas pasien kembali paten dengan kriteria hasil:
- Batuk berkurang
- Rhonki (-)
- Sesak nafas (-)
- RR normal (16-20) x/ menit
- Tidak ada suara tambahan lainnya (whizeeng, stridor)
Intervensi :
Mandiri
 Auskultasi bunyi nafas
 Kaji frekuensi pernapasan
 Kaji adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan dan penggunaan otot
bantu pernapasan
 Berikan posisi yang nyaman pada pasien : peninggian kepala tempat tidur, duduk
pada sandaran tempat tidur.
 Hindarkan dari polusi lingkungan misal : asap, debu, bulu bantal
 Dorong latihan napas abdomen
 Observasi karakteristik batuk misalnya : menetap, batuk pendek, basah
 Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung
 Berikan air hangat
Kolaborasi :
 Berikan obat sesuai indikasi : bronkodilator, Xantin, Kromolin, Steroid oral/IV
dan inhalasi, antimikrobial, analgesik
 Berikan humidifikasi tambahan : misal nebuliser ultranik
 Fisioterapi dada
 Awasi GDA, foto dada, nadi oksimetri
Dx 2: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi
ditandai dengan hipoksia
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam diharapkan
pertukaran gas kembali efektif
- TTV dalam batas normalTD=120/80 – 110/70mmHg, N=60-80x/menit,
S=36,5-37,2 oC
- Sesak nafas (-) RR=16-20 x/menit
- Tanda-tanda distress pernapasan (-)

Mandiri :
 Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan alat bantu pernapasan
 Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk
bernapas
 Kaji kulit dan warna membran mukosa
 Dorong mengeluarkan sputum,penghisapan bila diindikasikan
 Auskulatasi bunyi nafas
 Palpasi fremitus
 Awasi tingkat kesadaran
 Batasi aktivitas pasien
 Awasi TV dan irama jantung
Kolaborasi :
 Awasi GDA dan nadi oksimetri
 Berikan oksigen sesuai indikasi
 Berikan penekan SSP (antiansietas, sedatif atau narkotik)
 Bantu intubasi, berikan ventilasi mekanik

Dx3 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas


Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam diharapkan tidak
terjadi infeksi dengan kriteria hasil:
- WBC batas normal
- Tidak ada tanda-tanda infeksi
- S=36,5-37,2 oC
Intervensi :
 Awasi suhu
 Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan
msukan cairan adekuat
 Observasi warna, karakter, bau sputum
 Awasi pengunjung
 Seimbangkan aktivitas dan istirahat
 Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat

Kolaborasi :
 Dapatkan spesimen sputum
 Berikan antimikrobial sesuai indikasi
Lampiran terapy:
1. Rawat inap
Perawatan di RS pada pasien eksaserbasi akut PPOK dilakukan karena
didapatkan tanda eksaserbasi berat berupa sesak yang memberat dan
berkepanjangan, adanya peningkatan produksi sputum, dan perubahan warna
sputum menjadi purulen. Selain itu adanya komplikasi berupa infeksi saluran nafas
berat (pneumoni) dan perburukan kondisi umum pasien yang disertai malnutrisi
membutuhkan perawatan yang lebih intensif di RS.

2. O2 2 liter/menit
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel. Oksigen diberikan pada keadaan dimana PaO2 < 60 mmHg atau
Saturasi O2 < 90%. Adanya P pulmonal pada lead II, III, dan aVF yang merupakan
tanda hipertensi pulmonal juga merupakan salah satu indikasi diberikannya terapi
dengan oksigen. Dengan pemberian oksigen diharapkan dapat mengurangi sesak,
memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulamonal dan mengurangi
vasokontriksi pada saluran nafas.

3. Diet TKTP rendah garam


Keadaan malnutrisi pada PPOK karena adanya peningkatan kebutuhan energi
akibat kerja otot pernafasan yang meningkat, dapat dilihat dari penurunan BB dan
antropometri. Asupan energi disesuaikan antara kalori yang masuk dan kalori yang
dibutuhkan. Pemberian energi yang agresif tidak akan mengatasi masalah, karena
gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat
metabolisme karbohidrat. Asupan energi dilakukan sedikit demi sedikit dan terus
menerus.

Diet rendah garam diberikan untuk mengurangi viskositas darah sehingga


diharapkan terjadi penurunan tekanan darah.
4. Infus IVFD NaCl 0,9 % 12 tetes/menit
Pemilihan IVFD NaCl 0,9 % 10 tetes/menit berkaitan dengan adanya
hipernatremi sehingga diperlukan cairan dengan konsentrasi Na lebih kecil dari
cairan fisiologis.
5. Nebulizer combiven + Aminivilin bromide tiap 6 jam
Ipratropium brimide bekerja menghambat refleks vagal yang menyebabkan
kontraksi otot polos jalan nafas dan mengurangi sekresi mukus tanpa menambah
kekentalannya. Sedangkan Salbutamol bekerja mengatasi bronkospasme dan edema
bronkhial juga merangsang mobilisasi dahak. Pemberian secara kombinasi akan
memperkuat efek bronkodilatasi selain itu akan memudahkan bagi penderita karena
pemberiannya lebih sederhana.
6. Aminofilin bolus dan drip.
Aminofilin sebagai bronkodilator, dan mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan kontraktilitas otot diafragma dan daya tahan terhadap kelelahan otot
yang diharapkan dapat memperbaiki fungsi ventilasi dan menurunkan sesak nafas.
Aminofilin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase nukleotid siklik dan
meningkatkan akumulasi siklik Adenosin Monofosfat/Guanosin Monofosfat yang
kemudian menimbulkan relaksasi otot polos terutama otot polos bronkus. Selain itu
juga bekerja dengan meningkatkan blokade reseptor adenosin4.

7. Cefotaxime 3 x 1gr
Selain eksaserbasi pada kasus ini dikarenakan oleh infeksi virus namun tidak
menutup kemungkinan juga terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, hal ini dapat
dilihan dari dahak yang bersifat mukopurulen. Sembari menunggu hasil kultur
sputum maka dapat kita berikan antibiotik dengan spektrum luas misalnya
amoxicillin.

8. Metil prednisolon

Berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dan diharapkan dapat mengurangi


gejala klinis dan perbaikan fungsi ventilasi (pemberian efektif selama 2 minggu) 4.
9. Amilodipin 1x5 mg (actapin)
Pemberian amilodipin untuk pengobatan hipertensi pada penderita dapat
dilanjutkan karena tidak ada kontraindikasi kaitannya dengan penyakit PPOK yang
dideritanya.
Pemeriksaan spirometri perlu direncanakan untuk memantau perjalanan penyakit
dan efektivitas obat yang telah diberikan. Selain itu juga perlu dilakukan
pemeriksaan sputum gram/kultur untuk mengetahui sensitivitas bakteri terhadap
antibiotika sehingga dapat dipilih antibiotika yang sesuai. Penggunaan Aminofilin
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan asam lemak dalam plasma sehingga
perlu pemantauan profil lemak.

Monitoring terhadap sesak nafas, vital sign dan pemeriksaan AGD secara serial
dilakukan untuk memantau kondisi pasien dan melihat efektivitas dari pengobatan
yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Mangunnegoro H, dkk. 2001. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Mangunnegoro H, dkk. 2004. PPOK, Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: Juni
2004. hal 1-13
Pauwels Romain A, Buist Sonia, Calverley Peter M.A, Jenkins Christine R and Hurd
Suzanne S. 2001. Global Stategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of COPD. In : NHLBI/WHO Global Initiative for COPD Workshop
Summary : March 2001

Anda mungkin juga menyukai