Laporan Kasus: Tatalaksana Tetanus Generalisata Ec Vulnus Ichtum Region Manus Dextra Digiti V
Laporan Kasus: Tatalaksana Tetanus Generalisata Ec Vulnus Ichtum Region Manus Dextra Digiti V
PROGRAM STUDI
ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2018
29
BAB I
PENDAHULUAN
Meskipun saat ini kasus tetanus jarang ditemukan di dunia barat, dengan jumlah hanya
35 kasus pada tahun 2000 di Amerika Serikat, tetanus tetap merupakan permasalahan yang
sering ditemukan di negara berkembang, dimana 80% kasusnya terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Tetanus secara geografis lazim terjadi pada daerah pedesaan dengan kebersihan
lingkungan dan fasilitas kesehatan yang buruk. Tetanus terjadi di seluruh dunia dan masih
merupakan penyebab kematian yang penting dengan perkiraan jumlah kematian 800.000 –
1.000.000 orang per tahunnya. Pada negara berkembang sebagian besar kasus kematian
karena tetanus terjadi pada neonatus, dan tetanus pada neonatus adalah penyebab kematian
kedua di seluruh dunia pada penyakit-penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi.
Diperkirakan kematian tetanus pada neonatus sebesar 248.000 kematian per tahun.
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari
penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan masalah
kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh
dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.
Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang signifikan
pada negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena akses program imunisasi yang
buruk, ditambah lagi penatalaksanaan tetanus yang modern membutuhkan fasilitas intensive
care unit (ICU), yang sangat jarang tersedia pada sebagian besar populasi yang menderita
tetanus yang berat. Pada negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%. Kematian
utamanya terjadi karena kegagalan respirasi akut.
Penyakit ini memberikan efek mematikan pada setiap usia dan rata-rata kasus
kematian sangat tinggi (10-80%) dengan perawatan intensive sangat diperlukan. Tidak ada
agen imunitas natural untuk proteksi tetanus, protection hanya bisa disajikan oleh imunitas
aktiv dengan toxoid-containing vaccine, (TT: formalininactivated tetanus toxin) or pemberian
anti-tetanus antibody (tetanus-specific immunoglobulin, TIG).
Tetanus tidak ditularkan dari pasien ke pasien. Infeksi terjadi bila spora C. tetani
spores masuk melalui luka akibat trauma, pembedahan dan injeksi atau luka kronik pada kulit,
atau lesi dan infeksi pada kulit kuli. Hal ini disebabkan oleh luka yang tidak mendpatkan
perawatan medis.
1
Periode inkubasi dari tetanus antara 3 sampai 21 hari (rata-rata 7 hari). Periode
inkubasi terpendek (<7 day). Keterlambatan penanganan di hubungkan dengan hasil yang
fatal.
Karakteristik dari tetanus adalah muscle rigidity dan painful muscle spasms. Bentuk
tetanus secara umum, kekakuan dan nyeri pada saat membuka mulut (trismus or “lock jaw”)
dan atau leher, bahu dan otot perut. Bagian awal dari penyakit ini berupa spasme yang dipicu
oleh stimulus sensory seperti sentuhan, suara keras dan cahaya terang. Sebagai progres dari
penyakit ini kejang umum yang terjadi secara spontan (tetanospasms develop). Pada kasus
tanpa ketersediaan ventilator, kematian selalu di akibatkan oleh kegagalan repirasi. Autonomic
dysfunction, termasuk hypertension and tachycardia.
Tetanus toxoid tersedia dalam vaksin antigen tunggal (TT), and dapat di
kombinasikan dengan diptheria toxoid dan/atau pertussis vaccine (DT, Td, DTwP, DTaP or
dTap). Dosis pada pediatric untuk vaksin diphtheria (D) dan pertussis (P) tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada usia 7 tahun atau lebih, bagaimanapun DT dapat di
berikan untuk semua usia bila Td tidak tersedia. Tetanus dengan bradikardia dan hipotensi
bisa menunjukkan tetanus yang berat dan di hubngkan dengan prognosis yang buruk.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit
ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi
gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Di bawah kondisi anerobic
seperti luka kotor dan nekrotik, bacillus ini dimana-mana dapat memproduksi tetanospasmin
yang merupakan neurotoksin poten. Dalam tubuh, kuman ini akan berkembang biak dan
menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan
kekakuan, spasme dari otot bergaris. Toksin tetanus memblok/menghambat neurotransmitter
pada system syaraf pusat, menghasilkan kekakuan dan spasme yang merupakan type dari
tetanus.
Diagnosa tetanus tidak perlu konfirmasi dari tes laboratorium. WHO mendefinisikan
diagnosa tetanus pada orang dewasa harus meliputi lebih dari satu gejala yang mengikutinya,
yaitu: trismus (ketidak mampuan membuka mulut) atau (spasme pada otot wajah); atau nyeri
pada saat kontraksi otot. Bagaimanapun, definisi ini harus memerlukan riwayat luka, tetanus
mungkin terjadi pada pasien yang tidak terdapat luka yang specifik.
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot,
dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, pada kelompok-
kelompok otot dengan jalur neuronal pendek yang terlebih dahulu terkena, maka dari itu
trismus, kekakuan leher, dan nyeri punggung yang tampak pada lebih dari 90% kasus pada
saat masuk rumah sakit. Keterlibatan dari otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri
khas “rhisus sardonicus”, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus pada otot-otot
trunkal mengakibatkan opisthotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi
seringkali terlibat, menghasilkan penampakan yang tidak simetris.
Spasme muncul secara spontan, namun juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme laring dapat terjadi segera yang mengakibatkan
obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernafasan juga dapat terpengaruh
akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada. Selama spasme yang memanjang, dapat terjadi
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik,
gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian yang paling sering. Hipoksia biasa
3
terjadi pada tetanus akibat dari spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang
berlebihan dan aspirasi. Tetanus yang berat berkaitan dengan hiperkinetik sirkulasi, terutama
bila spasme otot tidak terkontrol dengan baik. Tanda-tanda overaktivitas simpatis biasanya
dominan berupa periode takikardi dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan
peningkatan kadar katekolamin. Hal ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia
dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lainnya meliputi salivasi,
berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus. Gagal
ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dari dehidrasi,
rhabdomiolisis oleh karena spasme, dan gangguan autonom. Komplikasi lainnya meliputi
thrombosis vena, thromboemboli, atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus peptikum, dan ulkus
dekubitus.
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) memberikan perawatan
penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis
dimetabolisme. Khususnya di ruang ICU, penatalaksanaan tetanus yang bisa diberikan berupa
terapi suportif. Sebagain besar kasus membutuhkan 4-6 minggu pengobatan suportif.
Keberhasilan dalam memberikan terapi suportif kepada pasien-pasien tetanus akan
menentukan outcome penyakit ini, disamping ditentukan pula oleh severitas penyakit.
Penanganan Tetanus
1. Secara Umum
- Jika memungkinkan, tempatkan pasien di ruangan/lokasi yang khusus untuk pasien
tetanus. Untuk meminimalkan risiko spasme paroxysmal yang dipresipitasi oleh
stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang gelap dan tenang.
Pasien diposisikan sedemikian rupa dengan hati-hati untuk mencegah pneumonia
aspirasi.
- Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek dari toksin yang
telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU,
dimana mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara kontinu.
- Luka, harus dibersih dan atas indikasi.
- Meminimalisir efek toksin yang sudah berikatan pada sistem saraf dan memberikan
terapi suportif. Khususnya di ruang terapi intensif, penatalaksanaan tetanus berupa
4
terapi suportif, dengan menitikberatkan pada sistem respirasi, instabilitas otonom, dan
spasme otot.
2. Immunotherapy: Tindakan awalnya adalah memberikan imunisasi pasif. Jika
memungkinkan, diberikan TIG 500 units intramuscular atau intravena, segera mungkin.
Vaksin TT menggandung 0.5 cc, di injeksikan secara im. Penyakit tetanus tidak di
pengaruhi oleh imunitas, pasien dengan riwayat menerima primer vaksin TT, harus
menerima vaksin kembali 1-2 bulan kemudian setelah pemberian pertama dan 6-12 bulan
kemudian untuk dosis yang ke tiga.
3. Antibiotic: Metronidazole 500 mg setiap 6 jam secara iv atau p.o ; Penicillin G (100,000–
200,000 IU/kg/hari iv, dibagi dalam 2-4 dosis). Tetracyclines, macrolides, clindamycin,
cephalosporins and chloramphenicol dapat juga diberikan.
4. Muscle spasm control: benzodiazepines dapat diberikan. Untuk dewasa, dapat di berikan
diazepam iv hingga 5 mg, atau lorazepam 2 mg, tirtasi sampai control spasme tanpa
sedasi yang berlebihan dan hypoventilasi (Untuk anak-anak, dimulai dengan dosis 0.1–
0.2 mg/kg setiap 2–6 jam, dititrasi sesuai kebutuhan). Dosis yang besar dapat dibutuhkan
hingga 600 mg/hari).
5. Preparat Oral dapat digunakan, akan tetapi harus hati-hati dengan monitoring untuk
menghindari depresi nafas da henti nafas.
6. Magnesium sulphate dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan benzodiazepine
untuk control spasme dan autonomic dysfunction, dengan dosis 5 gr (atau 75mg/kg)
intravenous diberikan secara loading dose, lalu 2–3 grams per jam, hingga mencapai
spasm control. Untuk menghindari overdosis, monitoring reflek patella seperti areflexia
(tidak adanya reflek patellar) dapat terjadi pada range dosis terapi 4mmol/L. Jika
areflexia terjadi, dosis harus di turunkan.
7. Agen lain yang digunakan untuk spasm control termasuk baclofen, dantrolene (1–2
mg/kg intravenous atau p.o setiap 4 jam), barbiturates short-acting lebih baik (100–150
mg setiap 1–4 jam untuk dewasa ; 6–10 mg/kg untuk anak-anak; dengan segala), dan
chlorpromazine (50–150 mg im, setiap 4–8 jams pada dewasa; 4–12 mg im setiap 4–8
jam untuk anak).
8. Autonomic dysfunction control: magnesium sulphate (seperti di atas) atau morphine.
Catatan: Beta Blocker: Propranolol dapat digunakan secara cepat, tetapi dapat
5
menyebabkan hypotensi dan sudden death; hanya esmalol yang direkomendasikan saat
ini
9. Airway / respiratory control: Obat yang digunakan untuk control spasme and sedasi dapat
menghasilkan depresi nafas. Jika mechanical ventilation tersedia, ini sangat mengurangi
masalah. Jika tidak, pasien harus di monitoring secara ketat dan dosis obat-obatan untuk
control maximal spasm dan autonomic dysfunction control untuk mencegah gagal nafas.
Jika spasm, meliputi laryngeal spasm, terapi ventilasi yang adekuat, mechanical
ventilation di rekomendasikan jika memungkinkan. Tracheostomy awal sangat dianjurkan
untuk mengatasi spasme seperti endotracheal tubes, yang dapat menyebabkan
provokespasm dan membahayakan exacerbate airway.
10. Adequate Cairan dan nutrisi harus di berikan, karena tetanus spasms menghasilkan
kebutuhan metaolik yang tinggi dan katabolic state. Nutritional support dapat
mempertinggi angka kelangsungan hidup.
11. Elektrolit serta analisa gas darah sangatlah penting sebagai penuntun terapi
6
BAB III
LAPORAN KASUS
II. ANAMNESIS :
Keluhan utama : Kaku saat membuka mulut.
Riwayat penyakit sekarang :
• Pasien rujukan RSU Puri Raharja dengan diagnosa obs. trismus susp. tetanus. Terapi
yang telah diberikan tetagam 20 ampul, ceftriaxone 2x1 gr iv, IVFD RL + diazepam
30 mg 12 tpm
• Pasien datang dengan keluhan kaku saat membuka mulut sejak 3 hari SMRS.
• Pasien dengan riwayat 12 hari SMRS tertusuk bambu pada jari tangan kanan. Pada
saat itu, pasien mengatakan tidak melakukan perawatan luka pada jari tangan nya.
• Sejak 4 hari SMRS, pasien mengatakan sulit menelan.
• Sejak 3 hari SMRS, pasien mengatakan sulit membuka mulut.
• Sejak 2 jam SMRS, pasien mengeluh kaku pada perut, lalu pasien dibawa ke RSU Puri
Rahardja oleh keluarga. Dari RSU Puri rahardja, pasien di rujuk ke RSUP Sanglah
• Oleh TS Bedah Syaraf pasien mendapatkan terapi Diazepam 10 mg dalam D5% @24
jam, NGT, rawat luka, metronidazole 500 mg @ 24jam
Riwayat operasi sebelumnya : Tidak ada
Riwayat penyakit sistemik : Tidak ada
7
Riwayat alergi obat : Tidak ada.
9
murmur (-)
• GIT : Distensi
tidak ada, NGT (+)
• UG : BAK Spontan
• MS : akral hangat
3 18 Febuari Keluhan: trismus (+), Tetanus Terapi :
2014 rhisus sardonicus (+), Generalisata ec F : RL balance, Nitrisol 250
sakit tenggorokan (+), Vulnus Ictium ml @ 6jam
disfagia (+), spasme Region Manus A:-
(+), opisthotonus (+). Dextra Digiti V S : Diazepam 40 mg/500cc
Status Present : D5%/24 jam
• tax 36,4°C BB 75 Laboratorium T:-
kg 17/2/2014. Alb H : Head up 30 0
• SSP : E4V5M6 4,31. Cr 1,05. U:-
• Resp : RR : 16 / SGPT 12,3. G : GDS @ 24 jam
menit. Ves +/+, SGOT 23,1. Terapi lain:
Rh -/+, Wh -/- GDS 94. Bun 12. Ceftriaxon 1gr @12jam.
• KV : TD 110-130 Na 146. K 4,07. Metronidazole 500 mg @ 8
mmHg, N 70- Cl 102,3. jam.
80x/menit ; S1S2 Amiodaron 200 mg p.o @
Tunggal, 24 jam.
Reguler, murmur BS @24jam.
(-)
• GIT : Distensi
tidak ada, NGT
(+)
• UG : BAK DC,
produksi urin
0,63 cc/kg/jam
• MS : akral hangat .
Per 24 jam
CM : 2127 ml.
CK : 1150 ml.
IWL; 500 ml.
BC 24 jam : + 477 ml.
Per 24 jam
CM : 2127 ml.
CK : 1150 ml.
IWL 500 ml.
BC 24 jam : + 477 ml
Per 24 jam
11
CM : 2127 ml.
CK : 1150 ml.
IWL 500 ml.
BC 24 jam : + 477 ml.
Per 24 jam
CM : 3802 ml.
CK : 1350 ml.
IWL 500 ml.
BC 24 jam : - 1932
ml.
7 22 Febuari Keluhan: trismus (+), Tetanus Terapi :
2014 rhisus sardonicus (+), Generalisata ec
F : RL balance, Nutrisol 250
sakit tenggorokan (+), Vulnus Ictium
ml @ 6jam
disfagia (+), spasme Region Manus
A : Fentanyl 15 mcg kgbb /
(+), opisthotonus (+). Dextra Digiti V
jam.
S : Diazepam 200 mg/24
Status Present : Laboratorium jam.
• tax 36,4°C BB 75 22/2/2014Thorax T : -
kg foto post CVC: H : Head up 30 0
12
• SSP : E4V5M6 Cord an Pulmo U:-
• Resp : RR : 16 / tak tampak G : GDS @ 24 jam
menit. Ves +/+, kelainan dan Terapi lain:
Rh -/+, Wh -/- penebalan Ceftriaxon 1gr @12jam.
• KV : TD 110-130 fissure monir Metronidazole 500 mg @ 8
mmHg, N 70- AGD sore: Na jam.
70-90 x /menit ; 137 mmol/L : K Diagnostik : BS @ 24 jam.
S1S2 Tunggal, 3,4 mmol/L : pH Planning : monitoring vital
Reguler, murmur 7,46 : pCO2 46 sign. Airway.
(-) mmHg : pO2 93
• GIT : Distensi mmHg : BEecf
tidak ada, NGT (+) 7,5 : HCO3-
• UG : BAK DC, 31,3 mmol/L :
produksi urin 0,9 SO2c 98% :
cc/kg/jam TCO2 32,7
• MS : akral hangat. mmol/L
Reflek Patella (+) AGD: pH 7,37 :
pCO2 50 mmHg
Per 24 jam : pO2 70 mmHg
CM : 2677 ml. : BEecf 3,6
CK : 1350 ml. mmol/L : HCO3-
IWL 500 ml. 28,9 mmol/L :
BC 24 jam : + 877 ml. SO2c 93% :
TCO2 30,4
mmol/L : Na 142
mmol/L : K 3,84
mmol/L : Cl
100,9 mmol/L :
Calsium 8,49
mg/dL
DL: WBC 13,30.
103/µL : RBC
6,95. 106/µL :
Hb 19,5 g/dL
Hct 57,7% : PLT
124. 103/µL
8 23 Febuari Keluhan: trismus (+), Tetanus Terapi :
2014 rhisus sardonicus (+), Generalisata ec F : RL balance, Nitrisol 250
sakit tenggorokan (+), Vulnus Ictium ml @ 6jam
disfagia (+), spasme Region Manus A : Fentanyl 300 mcg /
(+), opisthotonus (+). Dextra Digiti V kgbb/24jam, Paracetamol
Status Present : 1gr @ 8jam.
• tax 36,4°C BB 75 Laboratorium S : Diazepam 100 mg/24
kg AGD: pH 7,42 : jam
• SSP : E4V5M6 pCO2 46 mmHg T:-
• Resp : RR : 16 / : pO2 85 mmHg H : Head up 30 0
menit. Ves +/+, : BEecf 5,3 U : Omeprazole 40mg @12
Rh -/+, Wh -/- mmol/L : HCO3- jam
13
• KV : TD 110-130 29,8 mmol/L : G : GDS @ 24 jam
mmHg, N 70- SO2c 97 % : Terapi lain:
70-90 x /menit ; TCO2 31,2 Ceftriaxon 1gr @12jam.
S1S2 Tunggal, mmol/L Na 137 Metronidazole 500 mg @ 8
Reguler, murmur mmol/L : K 3,4 jam.
(-) mmol/L Nebulizer ventolin @6 jam
• GIT : Distensi MgSO4 40 % 2 gr/jam
tidak ada, NGT Diagnostik : BS @ 24 jam.
(+) Planning : monitoring vital
• UG : BAK DC, sign. Airway.
produksi urin 0,9
cc/kg/jam
• MS : akral hangat .
Per 24 jam
CM : 2677 ml.
CK : 1350 ml.
IWL 500 ml.
BC 24 jam : + 877 ml.
14
10 25 Febuari Keluhan: trismus (+), Tetanus F : RL balance, Nitrisol 250
2014 rhisus sardonicus (+), Generalisata ec ml @ 6jam, Aminofusin
sakit tenggorokan (+), Vulnus Ictium L600
disfagia (+), spasme Region Manus A : Fentanyl 300 mcg /
(+), opisthotonus (+). Dextra Digiti V kgbb / 24jam dan
Status Present : Paracetamol 1gr @ 8jam.
• tax 36,4°C. BB 75 Laboratorium. S : Diazepam 100 mg/24
kg. Elektrolit: K jam
• SSP : E4V5M6 3,59 mmol/L : T : Heparin 5000 unit @ 12
• Resp : RR : 14 - Na 139,67 jam sc
16 / menit. Ves mmol/L : Ca H : Head up 30 0
+/+, Rh -/+, Wh -/- 5,40 mg/dL : U : Omeprazole 40mg @12
• KV : TD 110 - Mg 5,64 mg/dL jam
130 mmHg, N 70- G : GDS @ 24 jam
90x/menit ; S1S2 Terapi lain:
Tunggal, Ceftriaxon 1gr @12jam.
Reguler, murmur Metronidazole 500 mg @ 8
(-) jam.
• GIT : Distensi Nebulizer ventolin @6 jam
tidak ada, NGT MgSO4 40 % 2,25 gr/jam
(+) Terapi :
• UG : BAK DC, Planning : monitoring vital
produksi urin 0,9 sign. Airway.
cc/kg/jam
• MS : akral hangat .
Reflek patella (+)
Per 24 jam
CM : 2677 ml.
CK : 1350 ml.
IWL 500 ml.
BC 24 jam : + 877 ml.
Reflek patella (+
menurun)
Per 24 jam
CM : 2753 ml.
CK : 2450 ml.
IWL 500 ml.
BC 24 jam : + 197 ml.
17
BAB III
PEMBAHASAN
yang sudah berikatan pada sistem saraf dan memberikan terapi suportif.2
otot.7,8
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek dari
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya
pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, dan elektrolit serta analisa
gas darah sangatlah penting sebagai penuntun terapi.6 Pada pasien diatas, pasien
18
Pasien diatas tidak segera dilakukan intubasi ataupun trakeostomi karena
saat ini airway masih aman. Pada fase akut, penyebab kematian yang paling sering
adalah gagal nafas akut akibat dari paralisis diafragma atau juga spasme laring.
Dengan intervensi medis yang intensif, meliputi penggunaan pelumpuh otot dan
management merupakan prioritas pada tetanus. Hal ini harus dilakukan setiap saat
dan dibutuhkan kewaspadaan yang konstan. Spasme otot general, spasme laring,
aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi, dan
ancaman pada jalan nafas harus diantisipasi. Sekresi bronkial yang berlebihan
tetanus dengan opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung dan dada atau
bronkopulmoner yang lebih baik.6,9 Selain itu trakeostomi juga berguna sebagai
spasme laring yang mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi
yang tidak adekuat sering terjadi di sebagian negara yang sedang berkembang
Spasme otot dan rigiditas pada pasien diatas pada awalnya diatasi
Kemudian sejak tiba di ruang intensif, digunakan Diaepam 20mg/24 jam via
19
sryng. Meskipun demikian, pasien tetap mengalami kejang berulang dengan
frekuensi 1 kali setiap jam, dan durasi untuk setiap kali kejang adalah lebih 10
menit. Perut pasien teraba keras dan kaku seperti papan dan juga terjadi trismus
secara efektif dengan sedasi. Pasien yang tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh
stimulus perifer dan kecil kemungkinannya mengalami spasme otot. Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk memberikan sedasi ringan pada pasien tanpa
telah digunakan secara luas dan seringkali dibutuhkan dosis lebih dari 200
mg/hari. Obat ini menghambat reseptor antagonis endogen GABAA dan dapat
pemberian kontinu.
intermittent pada saat kejang berulang, dipilih midazolam karena onset kerjanya
20
Pada hari berikutnya, dosis sedasi diazepam ditingkatkan menjadi 40
mg/24 jam, dan karena pasien tetap mengalami kejang berulang, maka digunakan
diazepam dalam plasma mengingat obat ini telah digunakan secara kontinu,
sehingga diharapkan dapat memperkuat efek sedasinya. Pasien juga diberikan drip
fentanyl 300 mcg/ 24 jam untuk membantu efek sedasi benzodiazepine. Pasien
mg/24 jam, dan setiap pasien mengalami kejang diberikan bolus diazepam 10 mg .
Sebagai tambahan antikejang, diberikan, MgSO4 drip kontinu 2 gr/24 jam, Saat
Pada pasien diatas manifestasinya berupa aritmia dan telah di berika anti aritmia
200mg @8jam p.o. Tekanan darah pasien selama perawatan adalah berkisar antara
110-130/70-90 mmHg dan laju jantung antara 70-90 kali/menit. Terapi yang
digunakan untuk mengatasi instabilitas otonom pada pasien diatas adalah sedasi
terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine
bagian dari multimodal terapi tetanus. Obat ini memiliki sejumlah aksi yang
21
efektif dalam menghadapi keadaan hiperaktivitas otonom, khususnya, dalam
dalam mengontrol rigiditas dan spasme.3 Dosis 1 sampai 3 gr/jam telah digunakan
Fatality rate untuk instabilitas otonom pada tetanus adalah 11-28%. Henti
jantung yang tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh
kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada
yang menyebabkan kematian pada pasien tetanus. Hipertensi yang diikuti oleh
Cairan parenteral Ringer Laktat balance, Aminofusin L600 1000 cc, sedangkan
enteral Nitrisol 250ml @ 4 jam melalui nasogastric tube. Tetanus terbukti secara
buruk dan penurunan berat badan terjadi begitu cepat karena disfagia, perubahan
22
fungsi gastrointestinal dan peningkatan kecepatan metabolisme.3,9 Nutrisi enteral
tidak sanggup menjaga homeostasis nutrisi pada sebagian besar pasien tetanus
yang berat. Kehilangan berat badan yang terjadi merefleksikan penyusutan massa
sel tubuh. Konsekuensi dari deplesi protein mengakibatkan penurunan daya tahan
tubuh pasien sehingga memperburuk prognosis. Kehilangan massa sel tubuh ini
hipertonis dan insulin, dalam jumlah yang cukup untuk mengandalikan kadar gula
darah, dapat menekan katabolisme protein ini. Penggunaan formula asam amino
protein.6,8
@8jam subcutan. Emboli paru adalah masalah yang lebih spesifik, pemberian
23
BAB IV
KESIMPULAN
secara kontinu.1,3,6
general, spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat
mengganggu respirasi, dan ancaman pada jalan nafas harus diantisipasi. Sekresi
untuk menjaga jalan nafas terutama tetanus dengan opistotonus dan keterlibatan
otot-otot punggung dan dada atau mengalami distres pernafasan.6 Kematian yang
disebabkan oleh spasme laring yang mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi
otot respirasi yang tidak adekuat sering terjadi di sebagian negara yang sedang
berkembang dimana tidak tersedia akses topangan ventilator yang siap saat. 3
menggunakan depresan sistem saraf pusat yang mengakibatkan relaksasi otot dan
tunggal dan dalam kombinasi telah digunakan untuk tujuan ini. Sedasi dengan
24
bisa didapat dari antikonvulsan barbiturat dan phenotiazine.1,3 Topangan ventilasi
disebabkan oleh obat yang muncul pada interval diantara spasme.4 Sebagai
(IPPV) merupakan pilihannya.3 Morphine atau fenthanyl bisa memiliki efek yang
kematian. Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang
berakhir dengan hipotensi dan bradikardi yang dalam.3 Instabilitas autonom sulit
diobati. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama,
25
terhadap thromboemboli tidaklah selalu didapat dan risiko perdarahan selalu
ada.4,8
utamanya terjadi karena kegagalan respirasi akut. Pada negara maju, dengan
topangan intensive care, mortalitasnya sekitar 10%, meningkat 20% pada kasus-
50% apabila lebih dari 60 tahun) dan pada individu yang tidak mendapatkan
vaksinasi sebelumnya (22%). Periode inkubasi yang singkat (<5 hari) menandakan
Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang
modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU), yang sangat jarang
tersedia pada sebagian besar populasi yang menderita tetanus yang berat.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of critical care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005. p. 1401-1404.
6. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et
al. Management and prevention of tetanus. Journal of Long-Term
Effect of Medical Implant. Vol. 13 No. 3. 2003. Available at:
http://www.dl.begellhouse.com/journals/JLT1303-139-154(184).pdf.
Accessed May 20, 2013.
8. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin
and Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot
Williams & Wilkins. 2008. p. 1140-1141.
27
10. Quasim S. Management of tetanus.World Anaesthesia Tutorial of the
Week. Vol 87 No. 3. 2001. Available at: http://www.aagbi.
org/sites/default/files/17-management-of-tetanus.pdf. Accessed May
20, 2013.
11. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue
DY, editors. Current critical care diagnosis and treatment. 2nd ed.
California: McGraw-Hill; 2003. p. 432-434.
28