Anda di halaman 1dari 21

Makalah

Pengantar Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian

Kelompok 11

Amelia Afida Fitrianingrum – 041711333185

Diana Rachma Wijayanti – 041711333202

Agnes Debora Ginting – 041711333206

Caroline Tjahyono – 041711333216

Suka Damawanti Suhita – 041711333217

Firda Taufani – 041711333222

Universitas Airlangga

Februari 2017
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Hukum Korporasi dengan Judul “Pengantar Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian”
dalam waktu yang telah ditentukan.
Bersama ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya tugas ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dan dengan adanya hasil tugas makalah seperti ini, pencarian yang kami laksanakan dapat tercatat
dengan rapi dan dapat kita pelajari kembali pada kesempatan yang lain untuk kepentingan proses
belajar.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran
bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang. Semoga dengan
adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan bangsa dan ilmu pengetahuan.

Surabaya, 15 Februari 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perjanjian dan Perikatan

2.2 Dasar Hukum Perjanjian/Kontrak

2.3 Hubungan Perikatan dan Perjanjian

2.4 Kontrak pada Umumnya

2.5 Asas-Asas Hukum Kontrak

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Daftar Pustaka


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sebagai mahluk sosial, manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang
terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun
juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga
dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke
dalam sebuah perjanjian
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki pada
subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat
atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Maka hukum perdata mengatur hubungan
antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang,
perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, perjanjian, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau
tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus
halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di
dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati
dalam perjanjian

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu :

1. Apakah pengertian perikatan dan perjanjian ?


2. Apakah dasar hukum perjanjian/kontrak ?
3. Bagaimana hubungan perikatan dan perjanjian ?
4. Bagaimana kontrak pada umumnya ?
5. Apakah asas-asas hukum kontrak ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian dari perikatan dan perjanjian.
2. Mengetahui dasar hokum perjanjian/kontrak.
3. Mengetahui hubungan dari perikatan dan perjanjian.
4. Mengetahui kontrak pada umumnya.
5. Mengetahui asas-asas hokum kontrak.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perikatan dan Perjanjian

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Pengertian perjanjian secara umum
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan
antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan
suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain,
dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian
yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu
berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian
mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu
yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati
oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang
berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu
perbuatan.

Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Kontrak


Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus
diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320
KUH Perdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut:
 Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi apabila
tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak tersebut dapat “dapat
dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan
pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti
suatu kontrak yang sah.
1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh
hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak
tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak
terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut,
a. Paksaan (dwang, duress)
b. Penipuan (bedrog, fraud)
c. Kesilapan (dwaling, mistake)

Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila
diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)


Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah
orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada
pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH
Perdata, yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang berada dibawah pengampuan.
c. Wanita yang bersuami.
Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan
suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

 Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata.


Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi hukum
apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal demi
hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.
3. Obyek / Perihal tertentu
Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan
hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan
dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa,
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian
dapat ditentukan / dihitung”.

4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal.


Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai
hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak
bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal
1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau
dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

 Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa
persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah,
sebagai berikut:
1. Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a. Objek / Perihal tertentu
b. Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan.
2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a. Adanya kesepakatan dan kehendak
b. Wenang berbuat.
3. Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata.
a. Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik.
b. Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c. Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d. Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum.
4. Syarat sah yang khusus
a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c. Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d. Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu

2.2 Dasar Hukum Perjanjian/Kontrak

1. Pengertian

Menurut Subekti, kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal.

Ada juga yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian
atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi
dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap
merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan di
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

2. Pengaturan
Kontrak diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata di Buku ketiga tentang
Perikatan. Buku ketiga disamping mengatur tentang perikatan yang timbul dari perjanjian,
juga mengatur perikatan yang timbul dari undang undang. Contoh perikatan yang lahir dari
undang-undang sebagi berikut :

1. Perikatan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu diantara penghuni


pekarangan yang saling berdampingan.

2. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak

3. Perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum.

4. Perikatan yang timbul karena perbuatan sukarela, sehingga perbuatan sukarela


tersebut haruslah dituntaskan.

5. Perikatan yang timbul dari pembayaran tidak terhutang.

6. Perikatan yang timbul dari perikatan wajar.

Buku ketiga Kitab Undang Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka. Maksud
dari sistem terbuka adalah orang dapat mengadakan perjanjian tentang apapun juga (meski
menyimpang dari yang telah ditetapkan buku ketiga) sesuai kehendaknya (baik mengenai
bentuk ataupun isinya) sepanjang tidak bertentangan dengan undang undang, ketertiban
umum dan kesusilaan. Jadi aturan buku ketiga Kitab Undang Undang Hukum Perdata
merupakan hukum pelengkap yang berlaku bagi para pihak sepanjang tidak
mengesampingkan perjanjian mereka.

Dasar-dasar dari hukum kontrak nasional terdapat dalam Kitab Undang Undang
Hukum Perdata. Karena itu Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan sumber
utama dari suatu kontrak. Di samping sumbernya dalam Kitab Undang Undang Hukum
Perdata tersebut, yang menjadi sumber hukum kontrak adalah sebagai berikut:

1. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk jenis


kontrak tertentu atau mengatuir aspek tertentu dari kontrak.
2. Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara
berkenaan dengan kontrak.

3. Perjanjian Internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral yang mengatur


tentang aspek bisnis internasional.

4. Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari.

5. Doktrin atau pendapat para ahli yang telah dianut secara meluas.

6. Hukum adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut denganh kontrak-


kontrak tradisional bagi masyarakat pedesaan (Munir Fuady, 2005 : 10).

3. Asas-Asas dalam Perjanjian/ Kontrak

Dalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak yaitu sebagai berikut:

a. Asas kontrak sebagai hukum yang mengatur

Hukum mengatur adalah peraturan-peraturan hukum yang berlaku bagi subjek


hukum, misalnya para pihak dalam suatu kontrak. Akan tetapi ketentuan hukum seperti ini
tidak mutlak berlakunya karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang berlaku
adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi peraturan yang bersifat hukum
mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak termasuk
kedalam kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak seluruhnya) dari
hukum kontrak tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Oleh
karena itu hukum kontrak ini disebut sebagai hukum yang mempunyai sistem terbuka (open
system). Sebagai lawan dari hukum mengatur, adalah apa yang disebut dengan “hukum
memaksa”. Dalam hal ini yang dimaksud oleh hukum memaksa adalah aturan hukum yang
berlaku secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang
terlibat dalam suatu perbuatan hukum termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.

b. Asas kebebasan berkontrak


Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak
sebagai hukum mengatur. Dalam hal ini yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak
adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada pada
prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya
untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh
rambu-rambu hukum sebagai berikut:

1. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak

2. Tidak dilarang oleh undang-undang

3. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku

4. Harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Istilah “Pacta Sunt Servanda” berarti “janji itu mengikat”. Yang dimaksudkan adalah
bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut
secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah terkenalnya adalah “my word is my bonds”
atau sesuai dengan tampilan bahasa Indonesia “jika sapi dipegang talinya, jika manusia
dipegang mulutnya”. Mengikatnya secara penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak
tersebut oleh hukum kekuatannya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat mengikat
dari suatu undang-undang. Karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti
kontrak yang telah dibuatnya, oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan
kontrak secara paksa.

d. Asas konsensual

Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu
kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya
persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum kecuali untuk beberapa jenis kontrak
tertentu, yang memang dipersyaratkan secara tertulis. Syarat tertulis tersebut misalnya
dipersyaratkan untuk jenis kontrak berikut ini :
1. Kontrak perdamaian

2. Kontrak pertanggungan

3. Kontrak penghibahan

4. Kontrak jual beli tanah

1. Asas obligatoir

Asas obligatoir adalah suatu asas yang menentukan bahwa jika suatu kontrak telah
dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak
dan kewajiban semata-mata. Sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak
kebendaan belum terjadi. Jadi jika terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan kontrak
saja hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik baru
berpindah setelah adanya kontrak kebendaan tersebut atau yang sering disebut juga dengan
serah terima (levering). Hukum kontrak Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena
hukum kontrak Indonesia berdasarkan pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Walau
pun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir karena hukum adat
memberlakukan asas kontrak riil.

Artinya suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalam hal ini harus dibuat secara
“terang” dan “tunai”. Dalam hal ini kontrak haruslah dilakukan di depan pejabat tertentu,
misal di depan penghulu adat atau ketua adat yang sekaligus juga dilakukan leveringnya.
Jika hanya sekedar janji-janji saja, dalam hukum adat kontrak seperti dalam sistem obligatoir
dalah hukum adat kontrak seperti itu tidak punya kekuatan sama sekali.

4. Bentuk Perjanjian/Kontrak

Perjanjian/kontrak memiliki dua bentuk yaitu bentuk tertulis dan dan tidak tertulis
(lisan) Baik berbentuk tertulis maupun tudak tertulis mengikat, asal memenuhi syarat yang
diatur Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata tentang syarat sah perjanjian.
Perjanjian tidak tertulis/lisan dalam praktek kurang disukai karena perjanjian lisan sulit
dalam pembuktiannya kalau terjadi sengketa.
Sedang perjanjian berbentuk tertulis yang berupa akta otentik dan akta dibawah tangan
merupakan alat bukti yang mudah dalam pembuktianya.

5. Wanprestasi dan Akibat-Akibatnya

Prestasi adalah pelaksanaan dari isi kontrak yang telah diperjanjikan dan disepakati
bersama. Menurut hukum Indonesia, bentuk prestasi adalah sebagai berikut:

1. Memberikan sesuatau

2. Berbuat sesuatau

3. Tidak berbuat sesuatau

Sedangkan wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban


sebagaimana mestinya seperti yang telah disanggupi kedua belah pihak. Dengan kata lain
terjadi cidera janji.

Menurut Subekti wanprestasi dibagi dalam empat bentuk yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tapi tidak sebagaimana yang dijanjikan

3. Melakukan apa yang dijanjikan, tapi terlambat

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

Akibat atau konsekuensi logis tindakan wanprestasi yaitu adanya tuntutan ganti rugi
material dan immaterial dari pihak yang dirugikan. Praktek dari aplikasi ganti rugi akaibat
adanya wanprestasi dari suatu kontrak dilaksanakan dalam berbagai kemungkinan, di mana
yang dimintakan oleh pihak yang dirugikan adalah hal-hal sebagai berikut:

1. Ganti rugi saja

2. Pelaksanaan kontrak tanpa ganti rugi


3. Pelaksanaan kontrak dengan ganti rugi

4. Pembatalan kontrak tanpa ganti rugi

5. Pembatalan kontrak dengan ganti rugi (Munir Fuady, 2005:21).

6. Penyusunan Perjanjian/Kontrak

Dalam penyusunan suatu perjanjian/kontrak ada tahapan-tahapan tertentu yang harus


dilaksanakan agar tercipta suatu kontrak yang baik. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai
berikut:

a. Prakontrak

1. Negosiasi

2. Memorandum of Understanding (MoU)

3. Studi Kelayakan

4. Negosiasi (lanjutan)

b. Kontrak

1. Penulisan naskah awal

2. Perbaikan naskah

3. Penulisan naskah akhir

4. Penandatanganan

c. Pascakontrak

1. Pelaksanaan

2. Penafsiran
3. Penyelesaian sengketa

7. Hapusnya Perjanjian/Kontrak

Menurut Pasal 1381 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian/kontrak dapat
hapus dengan cara :

1. Karena pembayaran

2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikutidengan penyimpanan atau penitipan

3. karena pembaharuan utang

4. karena perjumpaan utang atau kompensasi

5. karena percampuran utang

6. karena pembebasan utang

7. karena musnahnya barang yang terutang

8. karena kebatalan atau pembatalan

2.3 Hubungan Perikatan dan Perjanjian

Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan
pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau siberhutang.

Perhubungan antara dua orang atau dua pihak dalam suatu perikatan atau perjanjian adalah suatu
perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin dijamin oleh hukum atau
undang – undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat
menuntutnya di depan Hakim.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji – jani atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber – sumber yang lain. Suatu
perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.
Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan


itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi ada juga sumber – sumber lain yang
melahirkan perikatan. Sumber – sumber lain ini tercakup dengan nama undang – undang. Jadi, ada
perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang – undang”.

2.4 Kontrak pada Umumnya

Definisi Kontrak
Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai hal
tertentu yang disetujui oleh mereka. Ketentuan umum mengenai kontrak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Pasal 6.213.I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (BW Baru) mendefinisikan
perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya kepada satu orang atau lebih di mana keduanya saling mengikatkan dirinya.
Berdasarkan Ketentuan Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian kontrak adalah suatu
perbuatan hukum (juridical act), yang dibuat dengan formalitas yang memungkinkan, dan
diijinkan oleh hukum yang berwenang-dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari
satu atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu sama lain(interdependent).
Kontrak ini bertujuan untuk menciptakan akibat hukum untuk kepentingan satu pihak dan juga
untuk pihak lain.
Kontrak merupakan golongan dari ‘perbuatan hukum’, perbuatan hukum yang dimaksud
adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan
satu orang atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.
Ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan bersama
(mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam
pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain.
Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan
bersama.

2.5 Asas-asas Hukum Kontrak

Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata),
yaitu “suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih”. Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian
merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya hubungan
hukum perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal
menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian
hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. membuat atau tidak membuat perjanjian;


2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

2. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua
belah pihak.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang.

4. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh maupun kemauan baik dari para pihak.

5. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Ada juga yang
memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian di
mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum,
pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan.
Menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa pengertian
perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.

Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law). Dalam kita undang-
undang hukum perdata pasal 1331 ayat 1 dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai unddang-undang bagi mereka yang membuatnya, artinya apabila objek
hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum
perjanjian tersebut dibatalkan demi hukum.

Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim.


Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memeuni unsur subjektif, misalnya salah satu pihak
berada dalam pebgawasab dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan
didepan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum
perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian.
3.2 Daftar Pustaka

http://rechthan.blogspot.co.id/2015/2014-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.html?m=1

https://id.linkedin.com/.pulse/tentang-hukum-perikatan-perjanjian-yuoky-surinda

https://www.google.co.id/amp/srechtvolution.wordpress.com/2013/05/02/hubungan-antara-
perikatan-dan-perjanjian/amp/

http://pengacaramuslim.com/asas-asas-dalam-hukum-kontrak/

Anda mungkin juga menyukai