Anda di halaman 1dari 8

"BERIKUT INI ADALAH CONTOH PENULISAN MAKALAH

YANG BAIK DAN BENAR"


Makalah ini berjudul: “Konsep Link and Match: Fungsi Pendidikan Sebagai Pemasok
Tenaga Kerja Siap Pakai” yang ditulis oleh Nunung Isa Anshori

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan
kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada
bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan
karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga
penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur
dari lulusan yang lebih rendah (Ace Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur
tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang
pendidikan yang lebih rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan
tafsiran terhadap data empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang sekarang berlaku seolah-
olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah
pengangguran. Cara berfikir seperti cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan sistem
pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat
terpecahkan.
Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga
terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang bersifat
konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya
tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan.
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem
pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and
Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka ada beberapa pertanyaan terkait konsep link and macth dalam
pendidikan, yaitu:
1. Bagaimana konsep dasar Link and Match dalam pendidikan?
2. Mengapa Link and Match itu diperlukan dalam pendidikan?
3. Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan?
4. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan ini adalah untuk:
1. Mengetahui konsep dasar Link and Match dalam pendidikan
2. Mengetahui perlunya Link and Match dalam pendidikan
3. Mengetahui Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam
pendidikan
4. Mengetahi hubungan pendidikan dan ketenagakerjaan

II. Pembahasan
A. Konsep Link and Match
Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan
dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung
bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti orang
dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang
nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan
pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung
berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam situasi yang belum mengenal sistem sekolah,
sifat pendidikan pada dasarnya sesalu bersifat linked and matched.
Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan
mantan Mendiknas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran
lulusan perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link
and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok
tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat
perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match
dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini
ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri
kebagian repotnya.
Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga dan bukan hanya sekedar
kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih
sangat jarang dilirik oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat
konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik.
Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus
bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja
(perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan
syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses
tidaknya program tersebut.
Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link
and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui
kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak
dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia
diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi
(komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga
harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja
dan teknologi sepuluh tahun ke depan.
Seharusnya perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di
kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori,
tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus
menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang
berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi d.
Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak
perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan
magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap
secara praktik.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan berkurangnya beban
pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan
mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match
ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake
holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya.
Perguruan tinggi harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja
sebagai materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa
perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan
tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.
Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan
psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti
ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak
berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan
berfikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah
proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal
mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah
pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000: 130).

B. Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match


1. Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini.
Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan
pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan
tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi
tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan
orang tua secara bebas (Djumberansyah Indar, 1995: 30). Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah
diterapkannya sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.
Menurut Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan masalah yang
berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial dari kehidupan individu untuk
mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan
untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu
dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor
pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluuruh kelompok
umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan sosial dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang secara tepat
dalam Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun 1963 dengan alasan pemilihan pendektan
ini bahwa: ”all young person qualified by ability and attaint ment to pursue a full time course in higher education
should have the opportunity to do so” (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Pendekatan ini mengabaiakan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak
mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena beranggapan bahwa
penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
2. Pendekatan ini mengabaiakn kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat
sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
3. Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan
dari pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).

2. Pendekatan Ketenagakerjaan
Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung kepada
kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-
beda antara beberapa negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai
periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan lima tahunan),
disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan
kata lain kebutuhan akan pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan penuntun
atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi
kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak
tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan
tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan
sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah
dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
Dalam hal ini perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid
benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk
memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi
negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja
tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang telatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan
atau ratio yang seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun
negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi
modern dengan menciptakan teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk
berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan tenaga ahli dari jenis yang
baru untuk menangani atau mengelolanya.
Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan
pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala
bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan
peningkatan pendapatan nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional,
pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini
berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga
menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan
suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus
menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan
dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau yang diperhitungkan akan dicapai. Dengan
kata lain, anak didik melalui sistem pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan
mengenai keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam perencanaan ekonomi.
Jadi, dal;am merencanakan keprluan tenaga kerja, perkembangan ekonomi dimasa depan dianggap sebagai
variabel yang independen karena dianggap sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan
kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural
seimbang dan sebagi prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-
mata dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien dan
bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem pendidikan.
Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai pendekatan ekonomi uni-dimensional
atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan
pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata,
2001: 17).
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan
kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang
paling utama, yaitu;
1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan
keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih
mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
3. Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan
dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006: 59).
Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan
memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan
pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan
sempitnya lapangan kerja, sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka
lapangan kerja yang baru.
Perbaikan sistem dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan atau meluluskan
lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan
menguasai permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu di
belajarkan pada pendidikan formal yang ada sekarang ini.
Perencanaan pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial juga menggunakan pendekatan
ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai
dengan lapangan kerja tidak mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam
kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan dengan
menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hambatan pokok antara lain sebagai berikut:16
a. Belum tersedianya data dan informasi yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan sehubungan dengan
berapa banyak lapangan kerja yang ada menurut jenisnya; berapa jumlah tenaga kerja menurut pendidikannya
yang dapat diserap; bagaimana pengembangan usaha/lapangan kerja ini di masa mendatang dan bagaimana
proyeksi tenaga kerja yang akan dibutuhkan; dan sebagainya.
b. Perencanaan pendidikan, bila ingin menggunakan pendekatan ketenagakerjaan sangat memerlukan data dan
proyeksi kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang. Selain perkiraan akan kebutuhan tenaga kerja, juga masih
diperlukan persyaratan yang jelas mengenai mutu tenaga yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja atau kualifikasi
lulusan lembaga pendidikan yang menjadi persyaratan untuk masing-masingjenis pekerjaaan.
c. Walaupun sekiranya data dan informasi mengenai ketenagakerjaan tersedia secara memadai, namun
hambatan itu akan tetap masih ada terutama dalam hal pengadaan tenaga kerja itu sendiri melalui pendidikan
formal. Penyebab utama ialah ketidakmampuan sistem pendidikan nasional untuk mengadakan penyesuaian
dengan berbagai ragam kebutuhan akan keahlian dan kemampuan lulusannya (Jusuf Enoch, 1992: 93-95).
Pemerintah tidak mungkin secara cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan pendidikan untuk
mempersipakan lulusan yang siap pakai memasuki lapangan kerja yang sudah menunggu. Hal ini bukan
disebabkan biaya yang tidak mendukung, tapi lebih dari itu pengadaan tenaga instruktur yang berkualifikasi baik,
pengadaan lat dan ryang praktek yang memenuhi tuntutan lapangan kerja serta fasilitas lainnya sungguh
memerlukan waktu untuk mewujudkannya. Disamping itu, kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Putu Pendit bahwa "kurikulum harus memenuhi kebutuhan lapangan".
Kurikulum, sebagai bagian dari pendidikan, bukan semata-mata memenuhi permintaan tenaga kerja di saat ini.
Kurikulum sebagai alat dari pendidikan harus mengandung di dalamnya upaya menyiapkan peserta didik dengan
pengetahuan dan kemampuan yang berlaku jauh lebih lama daripada perkembangan terakhir atau peristiwa
sesaat.
C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakah
pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu
pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa
pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam
meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap
individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat
ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi,
baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan
pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model
pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal ini
terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak
berbeda antara negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan
kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan
faktor-faktor luar sekolah.
Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori
sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari
pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap
sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori
ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan
karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang
diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan
meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam
pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi
kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber
penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human
Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan
tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus
memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting ialah jenis-jenis
keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa
pendidikan memiliki anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga
sudah tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai
dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga
yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga
yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara
memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha.
Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada
yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani
antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap
sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja
yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah
dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu
ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja
juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja
dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus
merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia
industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training
ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau
perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready
trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial
atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini, setidak-
tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi
antara dunia pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178). Program-program
pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus
menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan
menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab
ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya
dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang
diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara
persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja
dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidikan pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak
tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai
bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan
persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya
pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan
mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja.
Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan
program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara
berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan
produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional
kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar
kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat
kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin
besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka
absolutnya, karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih
dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut Darlaini Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat
pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara
pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rendah. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang
membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai
dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai
tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun
1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di
Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total
dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya
sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta
orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah
kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam
satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka
angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan
terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap
hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran
jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996
maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun
1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun
1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional
tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun
1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat
menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang
setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang
pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih
memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun
2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan
dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding
2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu
melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu,
pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi
pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang
mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual diperkirakan mencapai 24,5 persen.
Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan
tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing
dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja
yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak
tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal,
mereka
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah
sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan
pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan
pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu
kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat
memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan
pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga
membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan
dalam porsi yang lebih besar. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai
kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau
menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan
pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu
pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih
kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih
kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan
dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia
memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan
jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal
dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga
adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di
bidang yang kita tekuni.
Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan
tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai
rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja,
pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap
tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur
diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27
Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan
pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat
dijabarkan dalam beberapa poin:27 Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari
kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari
dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan
potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri
maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil
tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi
dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang,
kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus,
jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi
gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu.
Kedua, melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas
dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para
penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat
dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi
menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan
baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat
investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi
masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan
sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya,
seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan
organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan
baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan
ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai
ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai
job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan
para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware),
perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di
bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat
terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat
dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang
memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar
negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang
kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu,
perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan
kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat
mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu direstrukturisasi.
Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan
peningkatan mutu.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja
(PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas,
penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu
menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah
penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat
potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat
menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.

III. Kesimpulan
1. Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga
pendidikan denagn dunia kerja, atau denagn kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok
tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi pemasok tenaga
kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri.
2. Dengan link dan match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan
pihak lain khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut.
Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Denagn adanya Link and Match tersebut Perguruan
Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa
yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan
mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan.
Dan yang lebih penting Perguruan Tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan
agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung
(on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
3. Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan social dan
pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan
masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan
dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan
pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk
memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas.
Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem
pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang
akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja
yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.
4. Pendidikan formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu
pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan
memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan
produktivitas kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Cammings, Williams. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di Indonesia. Jakarta:
Pusat Penelitian BP3K.
Enoch, Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth
and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas.
Indar, Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya. Surabaya: Karya
Aditama.
Limongan, Andreas. Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan
Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II.
Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi.
Yogyakarta: Kanisius.
Sindhunata (ed), 2001. Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:Kanisius
Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV
Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
http://elementary-education-schools.blogspot.com/2011/08/all-about-elementary-education-in.html

sumber: http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai