Anda di halaman 1dari 3

Al gazali

Persoalan yang dibahas oleh Al-Ghazali adalah persoalan dasar yang menyangkut
tentang wujud manusia. Apa dia hakikat itu? Dimana letaknya? Adakah ia kekal dan
azali? Ataukah baru dan fana? Kalau hakikat itu ada bagaimana cara kita
mengetahuinya?

Jadi pembahasan tentang ilmu menurut pandangan Al-Ghazali tidak dapat dipisahkan
dari pandangan Al-Ghazali tentang hakikat. Sebab ilmu menurut Al-Ghazali adalah jalan
menuju hakikat itu. Dengan kata lain agar seseorang sampai kepada hakikat itu
haruslah ia tahu atau berilmu tentang hakikat itu.

Ilmu dalam bahasa arab, berasal dari kata kerja ‘alima yang bermakna mengetahui.
Jadi ilmu itu adalah masdar atau kata benda abstrak dan kalau dilanjutkan lagi menjadi
‘alim, yaitu orang yang tahu atau subjek, sedang yang menjadi objek ilmu disebut
ma’lum, atau yang diketahui. Dalam proses perkembangan ilmu, lalu ilmu dipakai dalam
dua hal : yaitu sebagai masdar atau proses pencapaian ilmu dan sebagai objek ilmu
(ma’lum). .

Al-Ghazali menggunakan kedua makna ilmu itu dalam tulisan-tulisannya. Tentang ilmu
sebagai proses Al-Ghazali menceritakan tentang ilmu-ilmu deria (hissiyah), ilmu-ilmu
akal (aqliyah) dan ilmu ladunni. Dengan kata lain ada ilmu-ilmu melalui pancaindera,
dan melalui akal, ada yang tidak melalui pancaindera dan akal, tetapi langsung terus ke
hati, itulah ladunni atau langsung dari Allah. Tentang ilmu sebagai objek dapat kita lihat
pada kritikan Al-Ghazali terhadap golongan ilmu kalam, golongan batiniyah dan
terutama terhadap golongan ahli falsafah.

Kedua bentuk ilmu, sebagai proses dan sebagai objek ini digambarkan Al-ghazali
dengan kata-kata: “Ilmu yang ini adalah ilmu dimana yang menjadi objek pengetahuan
itu terbuka sehingga tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya, dan juga tidak akan
mungkin salah atau sesat”. Jadi ilmu yang ini itu tidak saja menjauhkan dari keraguan
tetapi juga menghindari segala kemungkinan untuk salah dan sesat

Hakikat Manusia Menurut Al-Qur’an

Berbicara tentang manusia adalah merupakan pembahasan yang sangat kompleks


dimana kita menemuhi banyak definisi yang berbeda-beda dari banyak pendapat. Para
ahli dari berbagai disiplin ilmu telah mengemukakan jawaban yang bervariasi tentang
manusia. Ahli ilmu mantiq (logika) menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang
berfikir (hayawan al-nathiq), sedangkan ahli antropolog atau budayawan menyatakan
bahwa manusia adalah makhluk budaya (homo sapiens), dankaum agamawan
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa bergantung pada
kekuatan “supranatural” yang ada diluar kekuatan dirinya. Namun,didalam Al-
Qur’an,terdapat banyak kata yang mengindikasikan tentang manusia dengan kata yang
berbeda-beda. Antara lain Al basyar, An-Nas, dan Bani Adam.

Kata Al basyar, Menurut M. Quraish Shihab,diambil dari akar kata yang bermakna
penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama,lahir kata
basyarah yang berarti kulit. Manusia dalam konsep al-Basyar,dipandang dari
pendekatan biologis,berarti manusia terdiri atas unsur materi,sehingga menampilkan
sosok dalam bentuk material (Hasan Langgulung,1987: 289),berupa tubuh kasar
(ragawi). Dalam kaitan ini,manusia merupakan makluk jasmaniah yang secara umum
terkait kepada kaidah-kaidah umum dari kehidupan makhluk biologi.

Berdasarkan konsep Al-Basyar, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis
lainnya. Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi,yang dapat
dilihat,memakan sesuatu, berjalan,dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
kehidupannya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip
kehidupan biologis seperti berkembang biak,mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangan dalam mencapai tingkat pematangan dan kedewasaan. Manusia
memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan
hidup untuk melanjutkan proses keturunannya. Lengkapnya manusia memiliki dorongan
biologis seperti dorongan makan dan minum, dan dorongan seksual.

Dalam konsep al-Basyar ini tergambar tentang bagaimana seharusnya peran manusia
sebagai makhluk biologis. Bagaimana ia harus berperan dalam upaya memenuhi
kebutuhan primernya secara benar menurut tuntunan yang telah diatur oleh
Penciptanya. Sebagai makhluk biologis,manusia di bedakan dari makhluk biologis
lainnya seperti hewan,yang pemenuhan kebutuhan primernya dikuasai oleh dorongan
instingtif. Sebaliknya manusia dalam kasus yang sama,didasarkan tata aturan yang
berlaku dari Allah SWT.

Kata An-Naas,dalam Al-Qur’an mengidikasikan tentang fungsi manusia sebagai


makhluk sosial. Bagaiman ia hidup bermasyarakat dalam lingkungannya,mulai dari
tingkat keluarga, masyarakat,hingga pada kawasan yang lebih besar dan kompleks lagi
seperti bangsa. Konsep An-Naas mengacu pada peran manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Manusia di arahkan agar menjadi warga sosial yang dapat memberi
manfaat bagi kehidupandidalam masyarakat.

Yang ketiga adalah kata Al-Insan yang menurut Qurais Shihab terbentuk dari akar kata
nasya yang berarti lupa. Penggunaan kata Al-Insan sebagai kata bentukan yang
termuat dalam al-Quran, mengacu pada potensi yang di anugrahkan Allah kepada
manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang
secara fisitak (Qs. 23:12-14) dan juga potensi untuk bertumbuh dan berkembang
secara mental spiritual.

Begitulah sejatinya manusia dalam Al-Qur’an. Ada banyak kata lain yang juga sinonim
dari kata Al-Basyar, An-Naas, dan Al-Insan. Saya hanya mengambil secara garis
besarnya saja. Kata itu antara lain; Bani Adam, Kholifah fil Ardh, Abdi Allah, dan Al-Ins.
WALLAHU A’LAM.

Daftar Pustaka

Kamaluddin,U,A. (2012). Filsafat Manusia Sebuah perbandingan antara Islam dan


Barat. Bandung: CV Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai