Anda di halaman 1dari 30

Kajian Kebijakan BBM Bersubsidi

Mei 2013

Ada satu hal yang bisa membuat semua orang mendadak menjadi pengamat energi :
ketika ada rencana harga BBM bersubsidi akan dinaikkan. Setidaknya dalam 2 tahun terakhir,
di sekitar tengah tahun, isu ini mencuat ke permukaan dan menjadi perbincangan umum.
Tahun lalu kenaikkan dibatalkan, lantas tahun ini mencuat lagi. Memang wajar kalau isu
harga BBM bersubsidi mudah mendapatkan perhatian, sebab banyak orang yang akan terkena
pengaruh. Biasanya hampir selalu ketika isu ini mencuat, pendapat akan terbagi menjadi 2
kubu besar. Kubu pertama adalah mereka yang setuju dengan kenaikkan harga BBM
bersubsudi, dan kubu kedua adalah mereka yang tidak setuju.

Namun, kajian ini bukan hadir untuk sekedar menentukan untuk setuju atau menolak
kenaikkan harga BBM bersubsidi. Sebab jika berangkat dari pertanyaan setuju atau menolak,
analisis yang dilakukan akan terjebak pada kotak-kotak perspektif yang sifatnya tidak
menyeluruh. Bisa dipastikan hasil akhirnya pun akan deadlock jika terjadi perbedaan
pengambilan kesimpulan, dan selamanya pembahasan akan berputar-putar di persoalan yang
sama. Padahal, kebijakan BBM bersubsidi tidak hanya terbatas pada seberapa besar APBN
yang harus disediakan untuk suatu harga jual BBM ke masyarakat, tetapi banyak melibatkan
konflik kepentingan secara politik, pandangan mengenai kebijakan energi yang
berkelanjutan, analisis ekonomi, dampak sosial yang ditimbulkan, hingga regulasi yang
diterapkan di sektor migas. Singkatnya, ini bukan kajian semata-mata untuk penentuan sikap,
melainkan memperhatikan kebijakan publik terkait BBM bersubsidi.

Pembahasan akan dilakukan dalam 8 tahap, yaitu :

1. Kondisi kekinian minyak bumi di Indonesia


2. Pembahasan alokasi subsidi BBM dalam APBN Indonesia
3. Penyebab harga BBM bersubsidi membengkak ditinjau dari metode perhitungan
harga yang dilakukan pemerintah.
4. Sejarah regulasi dan kebijakan terkait minyak bumi dalam hubungannya dengan
intervensi kepentingan asing
5. Dampak Kenaikkan Harga BBM Bersubsidi kepada Masyarakat
6. Mekanisme Pemberian Subsidi BBM yang Tepat
7. Kebijakan Energi yang Berkelanjutan : Welfare State untuk Generasi Mendatang
8. Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah dalam Kebijakan BBM Bersubsidi

I. Kondisi Minyak Bumi di Indonesia

Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya Premium (RON 88) dan Solar adalah salah
satu komoditas energi yang disubsidi Pemerintah. Di Indonesia, energi migas memang masih
menjadi andalan utama perekonomian Indonesia, baik sebagai penghasil devisa maupun
pemasok kebutuhan energi dalam negeri. Pembangunan prasarana dan industri yang sedang
giat-giatnya dilakukan di Indonesia, membuat pertumbuhan konsumsi energi rata-rata
mencapai 7% dalam 10 tahun terakhir. Namun pertumbuhan ekonomi sebesar 7% ini pun
dikatakan sebagai pertumbuhan semu, sebab pertumbuhan ini masih bertumpu pada subsidi
BBM yang relatif besar.

Peningkatan yang sangat tinggi, melebihi rata-rata kebutuhan energi global,


mengharuskan Indonesia untuk segera menemukan cadangan migas baru, baik di Indonesia
maupun ekspansi ke luar negeri. Cadangan terbukti minyak bumi dalam kondisi depleting,
sebaliknya gas bumi cenderung meningkat. Perkembangan produksi minyak Indonesia dari
tahun ke tahun mengalami penurunan, sehingga perlu upaya luar biasa untuk menemukan
cadangan-cadangan baru dan peningkatan produksi.

Potensi sumber daya minyak dan gas bumi Indonesia masih cukup besar untuk
dikembangkan terutama di daerah-daerah terpencil, laut dalam, sumur-sumur tua dan
kawasan Indonesia Timur yang relatif belum dieksplorasi secara intensif. Sumber-sumber
minyak dan gas bumi dengan tingkat kesulitan eksplorasi terendah praktis kini telah habis
dieksploitasi dan menyisakan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Sangat jelas bahwa
mengelola ladang minyak sendiri menjanjikan keuntungan yang luar biasa signifikan. Akan
tetapi untuk dapat mengetahui potensi tersebut diperlukan teknologi yang mahal, modal yang
besar, faktor waktu yang memadai dan memerlukan efisiensi yang maksimal serta expertise
dari sumberdaya manusia terbaik.

Kebutuhan impor minyak bumi ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat dan pertumbuhan ekonomi di dalam
negeri yang diharapkan semakin membaik ditahun-tahun mendatang. Dalam grafik berikut
dapat dilihat bahwa konsumsi energi khususnya minyak terus meningkat dari waktu ke waktu
melebihi kapasitas produksi dalam negeri yang cenderung menurun. Pada grafik berikutnya
terdapat forecast tentang produksi domestik minyak mentah Indonesia.

Gambar 1.1 Statistik Produksi dan Konsumsi Minyak Mentah Indonesia

Gambar 1.2 Statistik Produksi dan Konsumsi Minyak Mentah Indonesia dan Prediksi

Gambar 1.3 Data Export dan Import minyak mentah dan produksi minyak Indonesia

Gambar 1.4 Trade Balance (Neraca Perdagangan) Minyak Indonesia (BPS)


Dari informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan net
importer minyak karena jumlah konsumsi minyak di Indonesia jauh melampaui
kemampuan produksi nya sehingga harus mengimpor minyak dari pasar internasional
untuk dapat memenuhi kebutuhan minyak domestik.

Konsekuensi logis dari kesimpulan tersebut adalah, Indonesia merupakan price taker
dari minyak internasional sehingga kenaikan harga minyak mentah dunia akan mutlak
memperngaruhi harga jual minyak di Indonesia. Selama ini tidak terlihat pengaruh gejolak
dari kenaikan harga minyak mentah dunia pada industri hilir minyak domestik karena
Pemerintah Indonesia menetapkan harga jual minyak di industri hilir secara ceiling price dan
mem-bail out selisihnya dengan subsidi. Subsidi BBM yang semula bertujuan agar
masyarakat miskin dapat membeli BBM dengan harga terjangkau pun akhirnya kewalahan
membengkaknya jumlah subsidi. Membengkaknya jumlah anggaran subsidi BBM di APBN
tidak hanya terkait dengan kenaikan harga minyak mentah internasional, dimana Indonesia
bersifat price taker, namun juga jumlah (kuantitas) konsumsi BBM yang disubsidi bertumbuh
secara eksponensial. Kenaikan kebutuhan akan BBM tersebut dikarenakan terlalu murah nya
harga BBM karena disubsidi sehingga menjadikan insentif bagi masyarakat untuk boros
energi.

Gambar 1.5 Perkembangan Harga Nominal dan Riil Minyak Mentah Dunia
Analisis tersebut diatas dapat disimpulkan menjadi tiga variabel utama yakni:
1. Indonesia sebagai price taker harga minyak internasional karena Indonesia adalah net
importer minyak.
2. Harga produk minyak di Indonesia yang disubsidi menunjukkan gejala underpricing
yang diindikasikan naiknya konsumsi minyak Indonesia secara eksponensial.
3. Konsumsi energi (minyak) di Indonesia akan terus bertambah seiring bertambahnya
jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
4. Adanya tren harga minyak dunia yang terus meningkat.

Dengan adanya empat variabel kesimpulan tersebut, dapat dipastikan anggaran subsidi BBM
akan terus naik secara eksponensial akibat kenaikan harga internasional dan jumlah konsumsi
BBM.
Jika krisis energi didefinisikan sebagai pertumbuhan kebutuhan yang semakin
melampaui pertumbuhan ketersediaan, maka Indonesia sedang mengalami krisis minyak.
Sebab minyak di Indonesia semakin sedikit cadangannya, dimana hal ini merupakan hal yang
tidak bisa ditawar-tawar, sementara kebutuhan atau konsumsi minyak (BBM) semakin tinggi.

II. APBN dan Subsidi BBM


Para pembuat kebijakan sering membenarkan pemberian subsidi energi dengan
argumen bahwa hal ini dapat membantu pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan
menjamin keamanan pasokan (IEA et al., 2010). Subsidi memang dapat menjadi kebijakan
penting untuk mempromosikan kesejahteraan sosial dan mengatasi kegagalan sistem pasar.
Akan tetapi, ada resiko yang berhubungan dengan penggunaan subsidi. Harga rendah
artifisial biasanya dapat mengurangi usaha untuk konservasi energi, dan pemberian subsidi
terhadap bahan bakar fosil merupakan penghambat terhadap upaya perpindahan ke sumber
energi yang lebih bersih. Lebih dari itu, manfaat subsidi energi biasanya dinikmati oleh
golongan atas, karena merekalah yang biasanya mengkonsumsi sebagian besar energi.

Pemerintah Indonesia memberikan subsidi terhadap dua jenis produk minyak


Perusahaan Pertambangan dan Minyak Indonesia (Pertamina), yakni untuk produk bernama
“Premium” (bahan bakar minyak dengan kadar atau tingkat oktan (RON – Research Octane
Number) 88) dan minyak diesel bernama “Solar”. Solar digunakan untuk layanan publik,
transportasi, perikanan, dan perusahaan skala kecil dan menengah. Harga eceran produk-
produk ini diatur dan dipertahankan di bawah harga pasar. Pemerintah tidak lagi menyubsidi
minyak untuk konsumsi industri. Indonesia sebenarnya telah memberikan subsidi untuk
menekan harga eceran bahan bakar sejak tahun 1967 (Dillon et al., 2008).Selama 1980-an,
ketika produksi minyak Indonesia lebih tinggi dibanding saat ini, subsidi bahan bakar lebih
terjangkau, meskipun menuai kritik karena dampaknya yang mendistorsi perekonomian.
Ketika harga minyak global meningkat pada 2005, pemerintah menghabiskan 24 persen dari
pengeluaran totalnya untuk subsidi, dan dari jumlahtersebut, 90 persennya dihabiskan untuk
produk-produk bahan bakar (Bank Dunia, 2007).

Tabel 2.1 Subsidi dalam APBN RI


Jenis subsidi Nilai (Rp tr.) Persen

BBM 193.8 61.33

Listrik 80.9 25.60

Pangan 17.2 5.44

Pupuk 15.9 5.03

Benih 0.1 0.04

PSO 2.0 0.63

Kredit program 1.2 0.38

Pajak 4.8 1.52

Total 316.1 100.00

Tabel 2.2 Perbandingan Harga Minyak Domestik dan Internasional

Gambar 2.3 Diagram Subsidi BBM dan Asumsi Harga Minyak Mentah Pemerintah RI
Dari uraian analisis tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jumlah anggaran untuk subsidi
energi khususnya BBM telah melampaui subsidi pada sektor lain baik infrastruktur,
pendidikan maupun kesehatan.

Pertanyaan selanjutnya, apakah subsidi tersebut tepat sasaran kepada masyarakat


berpenghasilan menengah ke bawah yang seharusnya menjadi sasaran subsidi? data dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2009, Bank Dunia (2011) menunjukkan bahwa
masyarakat dan pengguna kendaraan pribadi terhitung sepertiga dari total penerima manfaat
subsidi bahan bakar minyak. Dua pertiga sisanya tersalur ke penggunaan transportasi
komersil seperti bis dan bisnis (lihat Gambar 7). Kajian tersebut juga menemukan bahwa
setengah kalangan masyarakat berpenghasilan tertinggi mengkonsumsi 84 persen bensin
bersubsidi, dengan sepersepuluh kalangan terkaya mengkonsumsi hampir 40 persen dari
keseluruhannya. Sebaliknya, sepersepuluh kalangan termiskin tercatat hanya mengkonsumsi
kurang dari 1 persen total pemakaian bensin bersubsidi.
Analisis lebih mendalam mengenai data survei terhadap dari seluruh rumah-tangga
juga menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga kalangan miskin dan mendekati garis
kemiskinan (didefiniskan sebagai sepersepuluh dari lima terbawah) tidak mengkonsumsi
bensin sama sekali. Hasil serupa ditemukan oleh kajian lainnya. Agustina et al. (2008),
misalnya, menemukan bahwa hampir 90 persen subsidi bahan bakar di Indonesia
menguntungkan 50 persen kalangan terkaya (Gambar 8.). Pemerintah Indonesia memahami
situasi ini. Menurut Prof. Iwa Garniwa, jika dikalkulasikan selama setahun, jumlah subsidi
yang diterima oleh mobil pribadi sebesar 8 juta rupiah, mobil pribadi 2 juta rupiah, dan
kendaraan umum 800 ribu rupiah.

Kementerian Koordinator Ekonomi pada Mei 2008 menyatakan bahwa 40 persen


kalangan terkaya menikmati 70 persen subsidi, sementara 40 persen kalangan termiskin
hanya menikmati 15 persen dari subsidi tersebut (Mourougane, 2010).
Gambar 2.4 Konsumsi Bahan Bakar Bersubsidi oleh Sektor Komersil dan Pribadi

Gambar 2.5 Distribusi Subsidi Bahan Bakar Minyak di Kalangan Masyarakat Indonesia

Dari analisis distribusi subsidi BBM, dapat disimpulkan bahwa subsidi BBM telah salah
sasaran karena konsumsi BBM terbesar (80%) dinikmati oleh 20% golongan terkaya
masyarakat Indonesia.

III. Masalah Perhitungan Harga BBM Bersubsidi

Minyak merupakan sumber energi yang mendominasi penggunaan energi manusia


saat ini. Akan tetapi minyak merupakan sumber energi yang terbatas sehingga pada akhirnya
persediaan minyak akan habis. Di Indonesia persediaan minyak mencapai 3,2 miliyar barel
atau sebesar 0,2% cadangan minyak dunia. Cadangan minyak di Indonesia diproyeksikan
akan habis dalam kurum waktu 10-15 tahun dengan tingkat pertumbuhan konsumsi minyak
saat ini. Konsumsi minyak Indonesia kian mengkhawatirkan karena setiap tahun naik , tetapi
produksi minyak Indonesia cenderung turun.

Selain itu Indonesia merupakan negara yang sangat tergantung pada harga minyak
dunia karena sebagian persediaan minyak Indonesia diimpor dari negara lain. Harga minyak
dunia yang tidak konstan dan cenderung fluktuatif memaksa pemerintah untuk membuat
kebijakan subsidi untuk menstabilkan harga jual minyak agar masyrakat yang tidak mampu
tetap dapat mengaksesnya. Subsidi minyak itu sendiri dianggarkan dari APBN Indonesia
yang mana menjadi awal mula terjadinya perdebatan hebat antara pemerintah dan rakyat
mengenai subsidi BBM. Konsumsi BBM yang yang naik tiap tahunnya dan juga tren harga
minyak dunia yang cenderung naik membuat anggaran subsidi BBM dalam APBN
membengkak bahkan defisit.

Anggaran subsidi BBM saat ini diproyeksikan mencapai 178 triliun rupiah. Anggaran
ini bahkan lebih besar dari anggraan untuk pendidikan dan kesehatan. Hal inilah yang
memicu perdebatan antara pemerintah dan rakyat. Di satu sisi pemerintah beranggapan jika
harga minyak diteruskan sebesar Rp. 4500,00 maka akan berdampak pada ketidakstabilan
perkonomian Indonesia dan akan memotong anggaran untuk sektor lain seperti pendidikan
dan kesehatan, dan lain-lain. Di sisi lain, naiknya harga BBM akan berimbas pada harga
bahan-bahan pokok seperti: beras, daging, sayuran , dan lain-lain yang pada akhirnya
menyengsarakan masyarakat. Anggapan bahwa subsidi BBM sudah terlalu membebani
APBN sehingga harus dikurangi tidaklah salah. Akan tetapi anggapan bahwa pengurangan
subsidi BBM malah menyengsarakan rakyat juga tidak salah. Lalu apa yang salah ?

Subsidi BBM tak dapat dipungkiri memang membuat APBN membengkak sehingga
harus dikurangi. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana subsidi BBM bisa sampai
membengkak? Apakah memang murni disebabkan oleh konsumi masyarakat yang berlebihan
atau ada sebab lain? Direktur Eksekutif Komite Pengawas Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad
Safrudin menyatakan selama ini penetapan harga BBM di Indonesia mengacu pada Mid Oil
Platts Singapore (MOPS) yang sebenarnya tidak relevan karena MOPS adalah acuan harga
bensin dengan kualitas RON 92 sedangkan premium berkualitas RON 88. MOPS sendiri
merupakan penilaian produk untuk trading minyak di kawasan Asia Tenggara yang dibuat
oleh Platts –anak perusahaan McGraw Hill. Pemerintah sendiri menghitung besar subsidi
BBM menggunakan rumus dibawah ini:

MOPS ∗ Er Pb Qb
s=( +α− )∗
158,9 (1 + tn + tb) 1000000

 S = besar subsidi (Rp)


 MOPS = harga patokan ($US/barel)
 Er = Kurs Rupiah (Rp/$US)
 α = berbagai biaya distribusi dan margin usaha (Rp/liter)
 Pb = Harga BBM bersubsidi (Rp/liter)
 tn = pajak pertambahan nilai (%)
 tb = pajak bahan bakar (%)
 Qb = konsumsi BBM bersubsidi (ribu kilo liter)

Jika rumus diatas dicermati lebih mendalam, maka sebenarnya dari rumus tersebut
dapat diketahui dimana letak kesalahan dalam perhitungan besar subsidi.

MOPS ∗ Er Pb Qb
S=( +α− )∗
158,9 (1 + tn + tb) 1000000

Biaya Harga Jual Jumlah


produksi BBM konsumsi BBM

MOPS ∗ Er 1000000 ∗ S Pb
( + α) − =
158,9 Qb (1 + tn + tb)

Variabel Variabel Variabel Bebas


Tetap Bebas

Pemerintah secara tidak langsung menetapkan bahwa besar subsidi adalah sebagai
variabel bebas yang mana dapat dikurangi atau ditambah untuk menentukan harga BBM.
Begitu juga sebaliknya harga BBM dapat menjadi variabel bebas yang mana dapat dirubah
untuk menyesuaikan subsidi BBM. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya jika
penggunaan MOPS sebagai acuan dalam menentukan besar subsidi tidak lah relevan
sehingga hal ini yang membuat ketidaktransparanan harga BBM yang sesungguhnya.
Menurut pakar perminyakan Kurtubi, harga BBM seharusnya dihitung sesuai dengan Biaya
Pokok Produksi (BPP) Pertamina karena pasokan minyak di Indonesia tidak semuanya
berasal dari impor melainkan sebagian diproduksi oleh pertamina sendiri sehingga seolah-
olah biaya produksi minyak pertamina disamakan dengan biaya produksi minyak di luar
negeri yang tentu saja sangat berbeda jauh.

Mengitung menggunakan MOPS hanya tepat bila Indonesia mengimpor sepenuhnya


minyak dari luar negeri, sementara tidak demikian yang terjadi. Minyak yang diproduksi di
kilang dalam negeri seharusnya dihitung dengan BPP, bukan MOPS. Meski demikian
Pertamina tidak pernah secara transparan mengumumkan besar BPP BBM. Besar BPP
seharusnya diumumkan sehingga publik dapat menilai apakah ada ketidakefisienan BBP
sehingga bukan hanya subsidi yang selalu diubah-ubah besarnya melainkan juga BPP.

Perlu diketahui bahwa Indonesia harus mengimpor minyak sebanyak kurang lebih
400.000 barel per hari karena produksi kilang dalam negeri hanya mencapai 900.000 barel
per hari. Minyak olahan yang diimpor di Indonesia sebenarnya bukan murni berasal dari
minyak mentah negara lain melainkan minyak mentah Indonesia. Penjelasan lebih detail
disajikan dalam skema dibawah ini :

Gambar 3.1 Mekanisme Pengelolaan Minyak di Indonesia


Skema diatas menjelaskan bagaimana mekanisme kegiatan ekspor-impor yang
dilakukan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Hal ini sebenarnya
tidak logis karena konsep impor adalah ketika negara tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan
dalam negeri sehingga harus membeli kekurangannya dari negara lain sedangkan ekspor
adalah ketika produksi dalam negeri melebihi kebutuhan dalam negeri sehingga negara dapat
menjual sisa produksinya ke luar negeri guna mendapatkan keuntungan. Dalam sektor energi,
ekspor sekaligus impor ini jelas mengganggu ketahanan energi.

Akar permasalahan mengapa indonesia melakukan ekspor sekaligus impor


adalah kekurangan produksi crude oil dalam negeri dan ketersediaan kilang minyak
yang tidak sebanding dengan jumlah minyak mentah yang di produksi sehingga sisa
minyak mentah tersebut harus diekspor ke Singapura yang memiliki kilang untuk proses
refinery dan destilasi minyak, lalu hasil minyak tersebut dijual lagi kepada Indonesia. Praktik
semacam ini sebenarnya malah merugikan negara karena ada biaya pengangkutan kapal
tanker, pajak , dan lain-lain yang menyebabkan naiknya biaya pokok produksi minyak.

Dari data dan perhitungan yang ada, terlihat bahwa biaya impor minyak mentah untuk
setiap barelnya ternyata selalu lebih mahal daripada harga ekspornya. Selama kurun waktu itu
dapat kita lihat bahwa selisih biaya impor dan harga ekspor kita berkisar 0,68 dollar AS –
3,23 dollar AS. Berdasarkan data itu, terlihat bahwa negara dirugikan setiap tahunnya dari
aktifitas ekspor-inpor minyak ini. Kalau kita ambil contoh perhitungan dari data tahun 2004
saja, kerugian negara mencapai Rp 4 triliyun lebih. Kerugian ini dapat diatasi dengan
mengoptimalkan produksi BBM dalam negeri dengan membangun kilang baru. Ketersediaan
kilang yang cukup akan membuat Indonesia tidak perlu lagi mengekspor minyak mentah ke
singapura untuk diolah menjadi BBM sehingga BPP dapat ditekan.

Selain masalah kurangnya ketersediaan kilang minyak dalam negeri, mekanisme bagi
hasil yang dilakukan pemerintah dengan kontraktor minyak juga bermasalah. Perlu diketahui
sebagian besar eksplorasi minyak dilakukan oleh investor asing dengan mekanisme
pemerintah mendapatkan 85% dari total minyak mentah yang diangkat dari perut bumi
sedangkan sisanya adalah mutlak milik investor. Hal ini diatur dalam UU Migas tahun 2001
tentang mekanisme bagi hasil. Dalam UU itu juga disebutkan bahwa jatah minyak
perusahaan asing adalah mutlak milik mereka sehingga tidak ada kewajiban bagi mereka
untuk menjualnya kepada Pertamina guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu,
Recovery Cost (biaya yang dibayarkan pemerintah untuk mengganti biaya eksplorasi minyak)
terbilang cukup besar sehingga Pemerintah Indonesia hanya mendapatkan jatah 64% dari
total seluruh minyak mentah. Dengan jatah sekecil itu pemerintah seharusnya membuat
undang-undang Migas yang baru agar jatah minyak pemerintah ditingkatkan sehingga dapat
meningkatkan produksi dalam negeri.

IV. Sejarah Pemakaian Minyak Bumi dan Kebijakan Energi di


Indonesia

Terlalu naif jika membicarakan masalah minyak tanpa memperhatikan kepentingan


politik yang mempengaruhinya. Lihat saja persoalan negara-negara di Arab Spring dengan
Amerika yang terjadi saat ini, yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari besarnya potensi
minyak di kawasan tersebut dan kepentingan Amerika untuk menguasainya. Karena itu, perlu
diperhatikan juga seperti apa sejarah regulasi dan kebijakan terkait minyak bumi di Indonesia
dari masa ke masa dan seperti apa intervensi asing dalam mempengaruhi hal tersebut.

Sebelum Indonesia merdeka, terdapat asas domein verklaring (Pasal 1 Deginsel


Domein Verklaring) yang berarti bahwa semua tanah-tanah yang dikuasai oleh penduduk
pribumi yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya (secara tertulis) adalah milik negara.
Asas domein verklaring ini merupakan landasan bagi kepemilikan atas tanah oleh pemerintah
Hindia Belanda, sehingga tanah merupakan obyek perdata yang dapat diperjanjikan. Asas ini
memang biasanya dianut oleh negara penjajah. Namun setelah Indonesia merdeka UUD 1945
pasal 33 mengubah asas domein verklaring dimana bumi, air, dan kekayaan didalamnya
merupakan barang publik sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai objek perdata. Pandangan
dimana negara menguasai seluruh SDA yang ada di dalam batas teritorial negara merupakan
pandangan Anglo-Saxon yang biasanya digunakan oleh negara-negara yang pernah dijajah,
termasuk Indonesia.

Walaupun sudah menggunakan UUD 1945 sejak merdeka, namun pada prakteknya
masih sangat banyak perusahaan-perusahaan asing yang menjalankan kegiatannya di
Indonesia seperti pabrik gas dan listrik. Karena itu di masa awal kemerdekaan semangat yang
muncul adalah semangat nasionalisasi dengan merebut secara langsung penguasaan
perusahaan itu dari tangan asing. Contoh kasusnya pada tahun 1945, buruh dan pegawai
listrik dan gas yang dipimpin Korbasih menghadap Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat
yang diketuai Kasman Singodimejo untuk melaporkan perjuangannya merebut perusahaan
listrik dan gas yang semula dikuasai Jepang. Selama 4 sampai 5 tahun pasca kemerdekaan,
pemerintah disibukkan dengan agresi militer yang dilakukan Belanda serta meredam
pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1949 konstitusi Indonesia berubah menjadi menggunakan UUD
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sistem parlementer pun digunakan. Setahun kemudian,
tahun 1950, konstitusi Indonesia berubah lagi menjadi UUDS (Undang-Undang Dasar
Sementara) dan menerapkan sistem Demokrasi Parlementer. Karena sesudah 6 tahun
merdeka dan memberlakukan pasal 33 UUD 1945 namun masih banyak sektor-sektor
strategis yang masih dikuasain perusahaan asing, lantas pada tahun 1951 Anggota DPR
Tengku Muhammad Hasan mengeluarkan mosi untuk menasionalisasi perusahaan sektor
strategis yang masih dikuasai asing untuk benar-benar menjalankan amanah pasal 33 UUD
1945. Pada tahun yang sama pemerintah berupaya untuk menggantikan Mijnwet (UU
pertambangan pada masa Hindia-Belanda) telah dimulai sejak adanya Mosi Teuku
Moehammad Hasan dan kawan-kawan, yang diikuti dibentuknya Panitia Negara Urusan
Pertambangan (PNUP). Salah satu tugas PNUP adalah mempersiapkan undang-undang
pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan alam kemerdekaan berdasarkan
ekonomi nasional. Panitia ini berhasil menyusun rancangan undang-undang (RUU)
pertambangan, namun sampai PNUP bubar, RUU ini tidak pernah menjadi undang-undang.

Sayangnya, selama kurang lebih 9 tahun terjadi persaingan tidak sehat di parlemen,
dimana perdana menteri berganti bahkan dalam waktu kurang dari setahun yang disebabkan
oleh saling jegal antar partai kepada pihak yang sedang menjadi perdana menteri sehingga
menyebabkan tidak adanya rencana jangka panjang yang dibuat oleh pemerintah.

Kemudian untuk menindaklanjuti mosi Tengku Muhammad Hasan, pada tahun 1958,
Pemerintah Indonesia mensahkan Undang-Undang No 86 tentang Nasionalisasi Semua
Perusahaan Belanda dan didukung Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Listrik dan Gas Milik Belanda. Namun UU dan PP ini belum menyentuh
perusahaan minyak asing yang masih ngotot mengacu kepada hukum Belanda saat mereka
pertama kali menjalankan aktivitas perusahaan. Lalu pada tahun 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan parlemen yang tidak konsusif itu. Karena Presiden
Soekarno saat itu mendapat dukungan kuat dari Angkatan Bersenjata, maka Dekrit ini benar-
benar berjalan dengan efektif.
Sejak saat itu juga Presiden Soekarno memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Karena kekuasaan yang sentralistik kepada Presiden, barulah kemudian pada tahun 1960
Indonesia melahirkan 2 Undang-Undang yang dapat dikatakan menjadi titik balik penguasaan
SDA di Indonesia. Undang-Undang tersebut adalah UU Pokok Agraria (UUPA) dan UU
Pertambangan Migas. Selain itu, Presiden Soekarno menetapkan berlakunya UU No 37 Prp
tahun 1960 tentang Pertambangan. Peraturan di sektor pertambangan yang ada di tahun 1960
ini hanya mengoreksi mengenai besarnya keuntungan yang harus diberikan perusahaan
pertambangan kepada negara. Dari beberapa pidatonya, dapat diketahui bahwa pemerintah
memandang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan minyak, sehingga strategi di
sektor energi sangat berporos kepada minyak bumi. Hal-hal penting yang diatur dalam UU
No 44/Prp/1960 tentang Pertambangan Migas tersebut diantaranya adalah :

1. Segala bahan galian Migas yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara

2. Pertambangan Migas hanya diusahakan oleh negara dan pengusahaannya hanya


dilaksanakan oleh perusahaan negara

3. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk Perusahaan Negara
apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku
pemegang kuasa

Dengan prinsip ini, ketiga perusahaan asing yaitu Shell, Caltex, dan Stanvac statusnya
hanya sebagai kontraktor perusahaan negara dan tidak lagi mempunyai hak konsesi. Untuk
melaksanakan kebijakan ini, langkah pertama Pemerintah RI adalah membentuk tiga
perusahaan negara yaitu Permina, Pertamin, dan Permigan.

Tidak hanya itu, Presiden Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru
kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah
Indonesia. Namun langkah ini tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana diharapkan karena ada
resistensi kuat dari ketiga perusahaan tersebut untuk tetap memegang hak konsesinya. Ketiga
perusahaan tersebut juga merupakan kelompok (cartel) dari perusahaan-perusahaan minyak
internasional (IOC). Dengan kekuatan kartel perdagangan minyak internasional, mereka
menekan Indonesia melalui jalur politik internasional sebagai upaya untuk menghindar dari
keputusan politik bangsa Indonesia. Tidak hanya tekanan politik dari IOC, pemerintah
Indonesia juga sedang menghadapi konflik perebutan Irian Barat dan pada tahun 1962 terjadi
perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York.
Kemudian pada tahun 1963, atas desakan AS terhadap Belanda, Irian Barat diserahkan
kepada Indonesia.

Setelah negosiasi yang panjang dan alot, akhirnya pada tanggal 1 Juni 1963 di Tokyo
tercapai kesepakatan dalam Tokyo Agreement bahwa ketiga perusahaan asing tersebut
menerima ketetapan bahwa status mereka adalah sebagai kontraktor dari perusahaan negara
dalam sistem Contract of Works (Kontrak Kerja atau KK). Dengan sistem KK ini berarti
sistem konsesi peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sudah berakhir.
Kemerdekaan politik bangsa Indonesia sudah dilengkapi dengan kemerdekaan dalam politik
hukum usaha pertambangan migas.

Kebijakan subsidi BBM sendiri sudah ada sejak tahun 1962, ketika produksi minyak
mentah Indonesia masih sangat melebihi jumlah konsumsi minyak domestik. Berlatar
belakang produksi dan konsumsi minyak tersebut, Pemerintah dapat secara senantiasa
menetapkan harga BBM tidak mengikuti harga internasional (dengan kebijakan ceiling price
yang teradministrasi) karena masih dalam kondisi excess supply. Besarnya produksi minyak
mentah pada periode tahun 1970-1990an tercermin dalam neraca APBN yang bahkan
mengkategorikan pendapatan negara sebagai pendapatan migas dan non migas.

Belum lama sistem Kontrak Kerja di sektor migas diterapkan (hanya sekitar 2 tahun),
kehidupan politik di Indonesia mengalami goncangan yang hebat dengan adanya
pemberontakan G30S di akhir tahun 1965. Penumpasan pemberontakan ini menandai
Indonesia memasuki era baru, yaitu Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto.
Kemudian pada tahun 1966 terdapat kontroversi sejarah mengenai Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar). Pada tahun 1967, saat Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia,
UU pertama yang disahkan adalah UU Penanaman Modal Asing. Saat jatuhnya Soekarno dari
kursi kepresidenan, inflasi yang tinggi menjadi alasan bagi Soeharto untuk membuka keran
modal asing yang tadinya ditutup oleh Soekarno karena ingin menasionalisasi perusahaan-
perusahaan asing.
Kemudian di tahun yang sama, pemerintah yang dikepalai Soeharto menerbitkan UU
No 11 tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan yang sektor pertambangan menggunakan
sistem kontrak. UU ini merupakan cikal bakal derasnya perusahaan asing masuk ke Indonesia
dimana perusahaan asing yang pertama masuk adalah PT Freeport Indonesia. Cukup jelas
terlihat bahwa pengaturan di sektor pertambangan yang berhubungan dengan pengaruran
terhadap salah satu sumber energi yaitu batubara lebih bernuansakan kepentingan perusahaan
asing, yaitu melanggengkan Freeport untuk masuk ke Indonesia, daripada upaya untuk
menciptakan tata aturan yang baik.

Tahun 1973, dunia mengalami kenaikkan harga minyak secara drastis akibat dari
konflik negara-negara Arab Spring yang kebanyakan pengekspor minyak dengan Israel yang
mengakibatkan terjadinya embargo minyak, sehingga harga minyak melonjak drastis.
Indonesia yang saat itu merupakan salah satu negara eksportir minyak mendapat keuntungan
besar dari Oil Boom ini. Sektor minyak berkontribusi paling besar bagi pemasukan APBN.
Bisa dikatakan sejak saat inilah Indonesia jadi memiliki ketergantungan terhadap
minyak dan terbentuknya pola pikir bahwa mengespor minyak bumi berarti
mendapatkan keuntungan. Kondisi minyak bumi di Indonesia saat itu sangat
menguntungkan bagi pemasukan negara. Tidak hanya karena harga minyak dunia yang
melambung, namun juga konsumsi dalam negeri yang masih relatif sedikit. Akibatnya,
Indonesia dapat mengekspor minyak bumi secara besar-besaran tanpa khawatir kekurangan
minyak untuk dalam negeri, sedangkan untuk konsumsi dalam negeri dapat diberikan subsidi.
Namun di sisi lain, sejak saat ini juga pemerintah dan oknum lain yang korup menggerogoti
profit yang didapat oleh Pertamina.

Tahun 1980, harga minyak mengalami penurunan walaupun sejak tahun 1973 sampai
1980 terus mengalami kenaikkan. Hal ini berdampak besar kepada perekonomian di
Indonesia, dimana pertumbuhan ekonomi turun sekitar 2-3%, nilai rupiah pun jatuh. APBN
pun kehilangan pemasok terbesarnya. Kejadian ini menjadi pukulan telak yang membuat
pemerintah segera membuat rencana untuk tidak bergantung kepada minyak terlalu besar.
Satu tahun sesudahnya, untuk pertama kalinya dikeluarkan kebijakan strategis di sektor
energi skala nasional, yaitu Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) dengan 3 langkah
strategis yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi. KUBE dibuat untuk
memformulasikan strategi membangun kemandirian dan ketahanan energi tetapi tidak
mempermasalahkan kedaulatan energi karena kedaulatan energi khususnya sektor migas pada
waku itu sudah diatur oleh UU No 8 tahun 1971 tentang Pertamina. Dari sini, bisa terlihat
bahwa posisi KUBE adalah untuk mendampingi atau sebagai pelengkap dari UU Pertamina.

Kemudian terjadi krisis besar-besaran pada tahun 1998 yang memaksa Indonesia
harus meminjam dana dari IMF. Pinjaman ini kemudian berdampak kepada disepakatinya
Letter of Intent yang pada dasarnya memberikan syarat kepada Indonesia untuk
memprivatisasi berbagai sektor strategisnya, diantaranya adalah minyak bumi & gas, serta
ketenagalistrikan. Setelah LoI ditandatangani oleh Soeharto dan IMF (Michael Camdeseus),
muncul radiogram dari Washington ke Jakarta yang memerintahkan 4 hal, yaitu:
1. Membahas mengenai Pertamina dan Korupsi
2. Membahas mengenai PLN
3. Mengatur kedudukan Pertamina
4. Mengatur tentang draft rancangan UU Migas

Bersamaan dengan radiogram tersebut, kemudian muncul dari USAID berupa


pinjaman yang disertai perintah tentang pentingnya untuk pengurangan subsidi atas energi.
Adapun USAID kemudian akan membantu sejumlah universitas dan LSM yang tujuannya
membentuk opini publik agar masyarakat menerima opsi pencabutan subsidi dan masyarakat
tidak marah atas opsi tersebut. Bagian yang paling penting dari kebijakan tersebut adalah
mengatur kerjasama dengan Bank Dunia (World Bank) dan ADB (Asian Development Bank)
dalam rangka merancang pencabutan subsidi energi dan melepas sektor migas menurut
mekanisme pasar bebas.

Hanya berselang satu tahun, kemudian muncul UU No 22 tahun 2001 tentang Migas
yang menggantikan UU Pertambangan Minyak dan Gas tahun 1960 dan UU Pertamina tahun
1971. Substansi UU ini sangat bernuansa pengakomodiran keinginan IMF untuk
memprivatisasi sektor energi di Indonesia. Terbit pada masa reformasi, UU No. 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) mentransformasi
industri pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia ke arah yang lebih liberal,
melenceng dari amanat konstitusi dalam konsep demokrasi ekonomi. Karenanya, UU Migas
kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk pengujian materiil, untuk menilai
kesesuaian UU Migas dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional Indonesia.

Tercatat, uji materiil terhadap UU Migas telah menghasilkan dua putusan yaitu:
Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 dan Putusan MK Nomor 036/PUU-X/2012.
Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 mengabulkan sebagian permohonan uji materiil
pemohon. Terdapat tiga materi yang dicabut oleh MK dan dinyatakan tidak memiliki hukum
mengikat. Salah satu poin tersebut yaitu:
1. Penentuan kebijakan harga atas bahan bakar minyak dan gas bumi memerlukan
campur tangan pemerintah dan tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar
sepenuhnya. Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) dinyatakan inkonstitusional oleh MK
dengan pertimbangan bahwa kebijakan penentuan harga haruslah menjadi
kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau
menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal a quo mengutamakan mekanisme
persaingan dan baru kemudian campur tangan pemerintas sebatas menyangkut
golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi
ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Harga BBM
dan Gas Bumi dalam negeri seharusnya ditetapkan oleh pemerintah dengan
memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan
mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Tahun 2004 menjadi titik balik perdagangan minyak bumi di Indonesia. Sebab, di
tahun 2004, untuk pertama kalinya Indonesia melakukan kebijakan impor minyak bumi yang
disebabkan oleh jumlah crude oil yang dikonsumsi lebih besar daripada jumlah crude oil
yang diproduksi. Indonesia memang benar memproduksi crude oil dan produknya, namun
sejak tahun 2004 Indonesia juga mengimpor minyak karena produksi dalam negeri tidak
dapat mencukupi kebutuhan. Dalam beberapa tahun belakangan ini penyediaan BBM dalam
negeri tidak dapat seluruhnya dipenuhi oleh kilang minyak domestik, hampir 20%-30%
kebutuhan minyak bumi dalam negeri sudah harus diimpor dari luar negeri.
Pada 13 November 2012, dalam Putusan Nomor 036/PUU-X/2012, MK memutuskan
bahwa BP Migas sebagai badan pelaksana yang mengendalikan dan mengawasi kegiatan
usaha hulu minyak dan gas bumi dinyatakan inkonstitusional. Menurut pertimbangannya,
bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama yang harus dilakukan negara adalah
Pemerintah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. BP Migas hanya
melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan dan tidak melakukan pengelolaan langsung,
sehingga menurut MK, model hubungan BP Migas sebagai representasi negara dengan
kontraktor KKS (Badan Usaha atau Bentuk usaha tetap) dalam pengelolaan Migas
mendegradasi makna penguasaan negara atas Migas. Selain itu, BP Migas juga merupakan
bentuk inefisiensi dalam pengelolaan migas.
Terdapat kerancuan dalam rezim pengusahaan minyak dan gas bumi dalam UU Migas
ini. Rezim yang dianut dalam undang-undang ini yaitu rezim kontrak dengan para pihak yang
terlibat yaitu BP Migas sebagai badan hukum milik negara yang mewakili pemerintah dalam
mengadakan kontrak dengan pihak kontraktor KKS. Sistem Government to Business (G to B)
ini sebenarnya menyalahi konsep penguasaan negara atas sumber daya alam yang
menempatkan negara (yang diwakili pemerintah) sebagai penguasa dalam wilayah publik.
Oleh karena itu, konsep G to B seharusnya diterapkan untuk rezim perizinan dimana izin
merupakan tindakan pengurusan pemerintah yang dikeluarkan secara sepihak dan
menempatkan pemerintah pada posisi vertikal dengan pelaku usaha.
Posisi BP Migas pun banyak dikritik karena sebagai badan hukum milik negara
(BHMN) yang mewakili pemerintah dalam mengadakan kontrak dengan kontraktor KKS
dinilai tidak tepat dan menyebabkan inefisiensi serta dinilai tidak transparan.
Di dalam ranah UUD, pembahasan untuk amandemen masih terus berlangsung hingga
tahun 2002. Salah satu yang menjadi perdebatan alot adalah pembahasan mengenai pasal 33
UUD 1945. Ada pihak yang menginginkan perubahan pasal 33 karena menganggap istilah
“kekeluargaan” dan “dikuasai” merupakan istilah yang bias makna dan tidak sesuai konteks
zaman. Sementara ada pihak yang mempertahankannya tanpa ada perubahan. Akhirnya jalan
tengah yang dilakukan adalah menambahkan 2 ayat pada pasal 33, yaitu :

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan


prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
Nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang
Judul bab nya pun berubah dari “Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial”.

Tidak adanya penemuan sumur minyak baru tidak terlepas juga dari semakin
sedikitnya cadangan minyak dari sumur-sumur minyak yang lama. Sumur minyak terakhir
yang ditemukan adalah di Cepu, dan setelah itu tidak dilakukan lagi intensifikasi sumber-
sumber minyak bumi yang baru. Dalam judicial review tahun 2012, masalah tidak adanya
sumber minyak yang baru dihubungkan dengan diterapkannya UU Migas tahun 2001
yang disinyalir menyebabkan ekplorasi minyak bumi yang baru jadi terhambat.
Kemudian, UU Migas tahun 2001 kembali di judicial review dan tahun 2012 seluruh pasal
terkait BP Migas. Hal ini membuat UU Migas menjadi semakin tidak relevan lagi karena
banyak pasal-pasal kunci yang dianggap inkonstitusional. RUU Migas yang baru
diagendakan akan segera diselesaikan sebelum tahun 2014.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, subsidi adalah
amanah konstitusi sehingga tidak boleh dicabut sama sekali. Asing berkepentingan untuk
membuat Indonesia mau melepaskan sektor-sektor strategis ke harga pasar sehingga
perusahaan mereka bisa bersaing dengan harga barang yang tidak disubsidi. Kedua,
penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang berhubungan dengan hajad hidup orang
banyak juga amanah konstitusi. Sehingga ketika terdapat pengelolaan yang buruk, dalam
kasus ini di sektor minyak, rumusan yang ditawarkan IMF untuk privatisasi bukanlah satu-
satunya rumus yang tepat untuk diterapkan. MK sudah menyatakan hal-hal tersebut dalam
putusannya mengenai tafsiran kata “dikuasai” dalam pasal 33 UUD 1945. Solusi yang harus
dipertimbangkan adalah mengedepankan nilai efisiensi berkeadilan.

V. Dampak Kenaikkan Harga BBM Bersubsidi kepada


Masyarakat

Dari pembahasan yang menyeluruh mengenai BBM bersubsidi sebagai kebijakan


publik, dapat dirangkum bahwa kenaikkan harga BBM bersubsidi hanya merupakan gejala,
dimana penyakit yang sebenarnya menyebabkan gejala tersebut adalah pengelolaan minyak
bumi yang buruk sehingga terjadi pembengkakkan harga yang harus ditanggung oleh APBN
dan memberatkan masyarakat luas. Artinya, solusi yang ditawarkan harusnya tidak hanya
berada pada ranah seberapa besar subsidi yang harus dikeluarkan dari APBN, tetapi juga
bagaimana membuat pengelolaan minyak bumi yang baik. Namun, tidak bisa dipungkiri
bahwa tetap harus dipikirkan bagaimana cara mengatasi gejala ini, kondisi kritis ini, sehingga
kebijakan jangka pendek dapat dikorelasikan dengan kebijakan jangka panjang dan yang
terpenting tidak menindas masyarakat yang tidak mampu.
Kenaikkan harga BBM bersubsidi tentu saja akan memberi dampak yang sangat luas
pada masyarakat mengingat BBM bersubsidi dikonsumsi oleh berbagai macam kalangan.
Dampak yang muncul tidak hanya dari skala mikro atau efek yang dirasakan masyarakat per
individu, tetapi juga secara makro ekonomi. Pemerintah mengatakan bahwa inflasi akan
mencapai nilai kurang lebih 0.7 - 1%, dan jangka waktu keterkejutan masyarakat atas
dampaknya sekitar 3 sampai 6 bulan. Metode perhitungan inflasi itu sendiri tidak dipahami
secara detail oleh penulis, sebab ada juga yang berpendapat bahwa inflasi akan mencapai 9%.
Namun setidaknya nilai 0.7 - 1% dan jangka waktu 3 – 6 bulan didapatkan dari 3 sumber
yang berbeda, yaitu Lembaga Riset FEUI, Kementerian ESDM, dan Bank Indonesia.
Sedangkan untuk skala mikro yang secara real langsung dirasakan oleh masyarakat
sebenarnya harus menjadi perhatian utama. Dampak yang akan langsung dirasakan
masyarakat diantaranya adalah :
 Semakin sulitnya golongan tidak mampu untuk membeli BBM bersubsidi yang
harganya tidak terjangkau bagi mereka
 Terhambatnya aktivitas ekonomi mikro, seperti nelayan atau UKM lain, karena akan
terbebani oleh kenaikkan harga BBM
 Harga bahan pokok akan meningkat seiring dengan peningkatan harga BBM
bersubsidi dan akan menurunkan daya beli masyarakat khususnya untuk masyarakat
tidak mampu
 Ada potensi terjadi PHK di beberapa perusahaan akibat harus menyesuaikan anggaran
perusahaan dengan kenaikkan harga BBM
 Karena masih banyak pembangkit listrik di Indonesia yang menggunakan minyak,
maka ada potensi juga terjadi kenaikkan pada Tarif Dasar Listrik, terlepas dari
kenaikkan yang memang direncanakan terjadi setiap 3 bulan di tahun 2013

VI. Mekanisme Pemberian Subsidi BBM yang Tepat

Umumnya, subsidi energi dapat didefinisikan sebagai “berbagai bentuk tindakan


pemerintah yang bertujuan menurunkan biaya produksi energi, meningkatkan pendapatan
produsen energi atau mengurangi biaya yang dibayar oleh konsumen energi” (IEA et al.,
2010). Subsidi energi dibagi menjadi dua kategori: subsidi yang dirancang untuk mengurangi
biaya konsumsi energi, yang disebut sebagai subsidi konsumen, dan subsidi yang bertujuan
mendukung produksi domestik,atau subsidi produsen (Burniaux et al., 2009, dalam Ellis,
2010). Dalam praktiknya, subsidi energi dilaksanakan dalam berbagai bentuk. UNEP et al.
(2002) dan UNEP (2008) mengidentifikasi mekanisme-mekanisme khas yang biasa
digunakan banyak pemerintah untuk mendukung produksi dan konsumsi energi:
1. Pengalihan dana langsung: pemberian uang tunai kepada konsumen, produsen, bunga
rendah atau hutang preferensial dan jaminan hutang pemerintah;
2. Perlakuan pajak secara khusus: kredit pajak, potongan pajak, pembebasan royalti, bea
cukai atau tarif, pengurangan pajak, penangguhan pajak, dan percepatan depresiasi
perlengkapan pasokan energi;
3. Hambatan perdagangan: tarif, kuota impor dengan hambatan tarif dan non-tarif;
4. Jasa terkait energi yang diberikan langsung oleh pemerintah dengan biaya yang lebih
murah seperti: infrastruktur energi, penelitian dan pengembangan publik;
5. Regulasi sektor energi: jaminan permintaan, kepastian tingkat pengiriman,
pengendalian harga, regulasi lingkungan, dan hambatan akses pasar.

Dari berbagai jenis mekanisme yang ada, sejauh ini pemerintah Indonesia paling banyak
menyajikan alternatif untuk mengalihkan subsidi untuk diberikan secara langsung kepada
masyarakat, dengan apa yang dikenal sebagai BLT atau BLSM.
Pada rencana kenaikkan harga BBM bersubsidi tahun 2013 ini, pemerintah
menyiapkan 2 skenario yang harus dipilih untuk menyesuaikan besarnya subsidi untuk BBM.
1. Skenario Pertama : “Harga BBM bersubsidi (Premium dan Solar) untuk mobil
pribadi, mobil dinas, dan sektor pertambangan dan perkebunan adalah Rp 7.000,00
sementara harga BBM bersubsidi untuk kendaraan umum (plat kuning) dan motor
tetap Rp4.500,00.
2. Skenario Kedua : “Kenaikkan harga BBM bersubsidi (Premium dan Solar) Rp
1.000,00 per liter untuk seluruh pengguna per 1 Mei, dilanjutkan pengendalian
konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap yaitu Jabodetabek per 1 Juni 2013 dan 4
kota lainnya (Bandung, Semarang, Surabaya, dan Denpasar) per 1 Juli 2013”

Sampai pada tahap ini, maka pembahasan-pembahasan yang sudah dipaparkan


sebelumnya akan dianalisis kembali disini. Untuk sampai pada kesimpulan yang tepat, maka
penting untuk membuat problem statement yang terarah. Ada 2 hal yang berusaha dijawab
dalam kajian ini. Pertama, apa saja hal yang harus diperbaiki dari pengelolaan minyak bumi
di Indonesia yang menyebabkan harga BBM membengkak, baik dari segi kebijakan maupun
regulasi, sehingga hal tersebut dapat dituntut kepada pemerintah untuk segera dilaksanakan.
Kedua, karena masalah yang sebenarnya harus diselesaikan dengan kebijakan jangka
panjang, lantas kebijakan jangka pendek apa yang paling tepat untuk diambil oleh pemerintah
untuk mengatasi kondisi kritis ini tanpa merugikan masyarakat yang tidak mampu.
Alur berpikir dimulai dari pembahasan 1 dan 2 yang telah dilakukan sebelumnya
untuk mengetahui kondisi apa yang sedang dialami Indonesia pada sektor minyak. Pertama,
produksi crude oil Indonesia sudah lebih sedikit daripada konsumsinya. Kedua, cadangan
minyak di Indonesia memang masih cukup banyak, tapi jika dibandingkan dengan negara
penghasil minyak lain dan juga diperhitungkan dengan jumlah penduduk Indonesia itu
sendiri, maka harus diakui bahwa Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara minyak.
Ketiga, anggaran di APBN yang dialokasikan untuk subsidi BBM memang sudah
membengkak. Pada tahun 2013 ini kasusnya bukan karena harga minyak dunia, melainkan
konsumsi BBM bersubsidi yang over quota. Total subsidi BBM hampir mencapai 25% dari
seluruh APBN.
Jika hanya mengandalkan fakta ini, tentu saja kesimpulan yang diambil lantas
mengarah kepada pengurangan alokasi untuk subsidi BBM semata. Namun kesimpulan ini
tidak akan terburu-buru diambil jika mempertimbangkan pembahasan berikutnya, yaitu
metode perhitungan subsidi BBM dan sejarah perpolitikan minyak di Indonesia. Dari
perhitungan subsidi BBM yang sidah dilakukan, ditemukan bahwa hal yang menyebabkan
subsidi BBM membengkak bukan hanya harga minyak dunia atau konsumsi, melainkan
Biaya Pokok Produksi yang menjadi permainan politik untuk kepentingan ekonomi orang-
orang yang mendapat untung jika Indonesia terus mengekspor crude oil dan mengimpor
minyak siap pakai. Selain itu, sejarah juga membuktikan bahwa pihak asing sangat
berkepentingan dan berupaya untuk mengintervensi kebijakan minyak di Indonesia. Kedua
hal ini harus dipahami juga agar dalam memandang kebijakan BBM bersubsidi kita tidak
naif.
Untuk kebijakan jangka panjang yang harus dilakukan akan dibahas lebih jauh pada
pembahasan berikutnya. Disini akan dibahas kebijakan janga pendek dengan
mempertimbangkan berbagai aspek yang telah dijabarkan di pembasan sebelumnya. Dalam
perspektif kebijakan publik, suka tidak suka memang harus diakui bahwa subsidi BBM yang
diterapkan di Indonesia saat ini sudah terlalu membebani APBN. Makna dari kalimat tersebut
bukan hanya memperhatikan ekonomi makro, tetapi juga mempengaruhi kebijakan umum
yang dijalankan pemerintah. Membengkaknya subsidi BBM otomatis akan menyerap
anggaran lain yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat baik secara langsung maupun dari kemampuan ekonomi. Masalah ini harus
diarahkan kepada bagaimana cara mengalokasikan subsidi yang terbaik dan tepat sasaran
sehingga kesejahteraan dapat lebih ditingkatkan.
Jika bicara mengenai skenario kedua dari pemerintah yaitu menaikkan harga BBM
menjadi Rp 5.500,00 atau dalam jumlah yang lebih tinggi, maka persoalan pemberian subsidi
sebenarnya belum terselesaikan. Persoalan tersebut adalah luasnya jenis konsumen yang
mengkonsumsi Premiun, mulai dari motor tua hingga mobil terbaru. Dalam menganalisis
jenis konsumen yang mengkonsumsi listrik, akan cenderung lebih mudah untuk memisahkan
antara konsumen dari golongan mampu dengan yang tidak mampu. Sebab konsumen listrik
terbagi pada beberapa golongan berdasarkan kapasitas dayanya (VA), dimana konsumen 450
VA dan 900 VA yang merupakan golongan tidak mampu tidak mengalami kenaikkan. Jika
harga Premium dinaikkan, maka konsumen golongan tidak mampu hingga yang mampu akan
merasakan dampaknya, dan tentu saja golongan tidak mampu yang akan paling merasakan
dampaknya.
Kalau pun harga Premium dinaikkan kemudian pemerintah menerapkan kebijakan
membagikan BLT atau BLSM atau sejenisnya, akan banyak persoalan yang diakibatkan oleh
kebijakan ini. Pertama, membagikan uang secara langsung kepada masyarakat sangat tidak
mendidik. Kedua, apa yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya bukan semata-mata
meningkatkan daya beli dengan dibagikan uang, tetapi pengalokasian uang tersebut untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Ketiga, teknis dari pembagian uang akan sangat rawan
diselewengkan. Keempat, pembagian uang secara langsung sangat rawan dijadikan
pencitraan politik dibandingkan membantu masyarakat tidak mampu. Kelima, BLT atau
BLSM tidak menyelesaikan persoalan bahwa Premium dikonsumsi dengan jenis konsumen
yang terlalu luas (dari yang kaya hingga yang miskin). Keenam, jika tidak segera dilakukan
pengklasifikasian konsumen berdasarkan jenis oktannya, maka subsidi akan tetap menjadi
tidak tepat sasaran dan harga akan cenderung semakin didorong untuk menuju harga
keekonomian dimana hal ini tertulis dalam LOI dengan IMF dan akan menguntungkan
perusahaan minyak asing di sektor hilir.
Pilihan akan menjurus kepada skenario pertama yang disajikan oleh pemerintah, yaitu
penerapan Premium 2 harga. Namun kenyataannya, akan sangat sulit jika ada 1 barang yang
sama, di 1 pasar yang sama, dengan jenis konsumen yang berbeda, dan harga jual yang
berbeda, dan menjaganya untuk tidak terjadi penyimpangan atau kecurangan yang dilakukan
pedagang. Karena itu, kebijakan ini sangat sulit diterapkan secara teknis. Atas dasar
pemikiran tersebut, maka kebijakan yang diusulkan untuk diambil oleh pemerintah adalah
menetapkan Premium hanya boleh dikonsumsi oleh kendaraan umum dan motor,
sementara kendaraan selain itu harus mengkonsumsi jenis BBM yang oktannya lebih
tinggi dari Premium. Jika ditafsirkan dalam jenis BBM yang disediakan oleh Pertamina saat
ini, maka artinya kendaraan selain kendaraan umum dan motor harus menggunakan
Pertamax. Secara teknis hal ini lebih mudah diawasi dan tidak perlu membagi harga Premium
menjadi 2 dan membagi juga harga Premium yang dijual di setiap SPBU, cukup melarang
kendaraan selain kendaraan umum dan motor mengkonsumsi Premium di setiap SPBU dan
memberikan sanksi tegas bagi yang melanggar.
Secara klasifikasi, memang tidak bisa dikatakan bahwa setiap pemilik motor adalah
golongan miskin, sedangkan pemilik mobil adalah golongan kaya. Namun dari daya beli atas
kendaraan tersebut, setidaknya pemilik mobil pastilah golongan kaya, sehingga tidak akan
masalah jika golongan ini dilarang membeli Premium. Dari data yang ditemukan, jumlah
kendaraan yang akan direduksi untuk tidak mengkonsumsi Premiun akan cukup besar jika
dilihat dari jumlah mobil yang ada.
Gambar 5.1 Tabel Jumlah Kendaraan
Mobil
Tahun Bis Truk Sepeda Motor Jumlah
Penumpang
1987 1,170,103 303,378 953,694 5,554,305 7,981,480
1988 1,073,106 385,731 892,651 5,419,531 7,771,019
1989 1,182,253 434,903 952,391 5,722,291 8,291,838
1990 1,313,210 468,550 1,024,296 6,082,966 8,889,022
1991 1,494,607 504,720 1,087,940 6,494,871 9,582,138
1992 1,590,750 539,943 1,126,262 6,941,000 10,197,955
1993 1,700,454 568,490 1,160,539 7,355,114 10,784,597
1994 1,890,340 651,608 1,251,986 8,134,903 11,928,837
1995 2,107,299 688,525 1,336,177 9,076,831 13,208,832
1996 2,409,088 595,419 1,434,783 10,090,805 14,530,095
1997 2,639,523 611,402 1,548,397 11,735,797 16,535,119
1998 2,769,375 626,680 1,586,721 12,628,991 17,611,767
1999*) 2,897,803 644,667 1,628,531 13,053,148 18,224,149
2000 3,038,913 666,280 1,707,134 13,563,017 18,975,344
2001 3,189,319 680,550 1,777,293 15,275,073 20,922,235
2002 3,403,433 714,222 1,865,398 17,002,130 22,985,183
2003 3,792,510 798,079 2,047,022 19,976,376 26,613,987
2004 4,231,901 933,251 2,315,781 23,061,021 30,541,954
2005 5,076,230 1,110,255 2,875,116 28,531,831 37,623,432
2006 6,035,291 1,350,047 3,398,956 32,528,758 43,313,052
2007 6,877,229 1,736,087 4,234,236 41,955,128 54,802,680
2008 7,489,852 2,059,187 4,452,343 47,683,681 61,685,063
2009 7,910,407 2,160,973 4,452,343 52,767,093 67,336,644
2010 8,891,041 2,250,109 4,687,789 61,078,188 76,907,127
2011 9,548,866 2,254,406 4,958,738 68,839,341 85,601,351

Untuk mengatasi melonjaknya jumlah motor yang ada, maka pemerintah dapat
membuat ketentuan mengenai tarif parker di tempat-tempat yang secara umum lebih banyak
diakses oleh kelas menengah pengguna motor, misalnya pusat perbelanjaan atau tempat-
tempat lain. Sebab lonjakan penjualan motor yang harus diatasi sebenarnya justru ada di kota-
kota besar. Apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dapat diadopsi, dimana saat
pemerintah daerah tidak berwenang untuk mengontrol jumlah kendaraan yang boleh dijual,
maka tarif parkir yang tinggi dapat membuat masyarakat lebih bijak menggunakan kendaraan
pribadi. Menaikkan tarif parkir di mall/pusat perbelanjaan dan tempat lain yang cenderung
hanya diakses oleh golongan yang mampu juga dapat mengurangi konsumsi Premium secara
berlebihan.
Namun jika kebijakan ini dianggap terlalu memberatkan dengan memaksa kendaraan
selain kendaraan umum dan mobil untuk mengkonsumsi Premium, maka pemerintah dapat
membuat BBM dengan kualitas diatas Premium (oktan 88) namun dibawah Pertamax (oktan
92), yaitu BBM dengan oktan 90 yang dulu dinamai Premix (ada wacana menamainya
Premium Plus). Hal yang terpenting adalah memastikan golongan yang mampu tidak
diberikan subsidi BBM ini. Kebijakan ini tentu saja belum dapat mengatasi keberlanjutan dan
ketersediaan minyak di masa depan. Untuk mempersiapkannya, pemerintah tidak boleh
memaksa masyarakatnya untuk dibebani harga BBM yang mahal dengan argument untuk
memunculkan energi baru seperti gas, padahal infrastrukturnya sama sekali tidak siap.
Penghematan ini yang kemudian harus dialokasikan untuk mengembangkan infrastruktur
yang kelak dapat memberikan masyarakat sumber energi yang lebih murah, bukan justru
sekedar memberikan bantalan berupa uang tunai yang hanya menjadi obat penghilang rasa
sakit sesaat bagi masyarakat.

VII. Kebijakan Energi yang Berkelanjutan : Welfare State untuk


Generasi Mendatang

Petroleum Fund

Minyak merupakan sumber energi yang tak dapat diperbaharui, dan tidak bisa
dipungkiri bahwa kelak ia akan habis sama sekali. Cadangan minyak di Indonesia memang
relatif sangat kecil dibandingkan negara dengan cadangan minyak yang sangat besar seperti
Venezuela dan Arab Saudi. Banyak yang kemudian berpendapat bahwa Indonesia harus
mulai beralih ke sumber energi terbarukan. Dalam hubungannya dengan kenaikkan harga
BBM ini, biasanya logika yang muncul adalah naiknya harga BBM yang notabene bahan
bakar fosil akan mendorong munculnya sumber energi terbarukan.

Memang benar bahwa energi baru dan terbarukan terbentur persoalan harga, tetapi
menaikkan harga BBM tidak akan pernah benar-benar menumbukan industri energi baru dan
terbarukan jika pemerintah tidak menyiapkan infrastrukturnya. Dulu pemerintah membagikan
tabung LPG 3 kg gratis ke masyarakat, lantas menarik minyak tanah dari pasaran. Kalau pun
ada, pasti minyak tanah akan sangat mahal untuk dibeli. Lantas kondisi ini membuat
masyarakat perlahan-lahan terbiasa menggunakan LPG yang jauh lebih murah dan tidak
membebani negara dari sisi subsidi. Apa yang dilakukan pemerintah dengan menaikkan harga
Premium itu dapat dianalogikan seperti menaikkan harga minyak tanah tapi tidak
memberikan LPG 3 kg. Infrastruktur harus dibangun, dan tentu saja akan membutuhkan
biaya. Karena itu, untuk jangka panjang, profit yang didapatkan negara dari minyak harus
didepositokan untuk keperluan jangka panjang, bukan dihabiskan untuk kebijakan jangka
pendek.

Makna dari Indonesia sebagai Welfare State adalah memberikan kesejahteraan untuk
seluruh rakyat Indonesia, baik yang hidup saat ini maupun yang akan hidup di masa depan.
Karena itu generasi sekarang tidak boleh menikmati seluruh keuntungannya sekarang
melainkan sebagian keuntungan itu disimpan sehingga generasi mendatang dapat turut
menikmatinya. Keuntungan itu dapat disimpan dalam bentuk deposito negara atau untuk
membangun penguatan daya topang generasi mendatang seperti: infrastruktur, energi
terbarukan, fasilitas riset dan pendidikan, dan sebagainya. Hal ini dikenal dengan kebijakan
Petrolium Fund.

Jika dihitung dengan kondisi Indonesia yang sekarang memiliki cadangan minyak
sebesar 3,6 miliar barel dan harga minyak mentah indonesia / Indonesia Crude Price sebesar
US$ 100,19 per barel.

3,6 miliar barel * US$ 100,19 per barel * 85% jatah pemerintah = US$ 306,6 miliar

Dana sebesar itu dapat dijadikan aset yang dibukukan oleh perusahaan yang dibentuk,
katakanlah Indonesia Oil and Gas Comapny (IOGC) yang dikhususkan mengelola potensi
dana. Lalu kemudian IOGC dapat mengeluarkan obligasi (surat hutang) sebesar , katakanlah,
30% nilai aset = US$ 92 miliar. Dana itu dapat dimanfaatkan untuk membangun kilang baru,
diversifikasi energi, peningkatan fasilitas pendidikan, dan lain sebagainya.

Gambar 6.1 Penerapan Petrolium Fund di Berbagai Negara

Assets LMT
Country SWF name ($Billion) Inception index

Norway Government Persion Fund - Global 715.9 1990 10

UAE - Abu
Abu Dhabi Investment Authority 627 1976 5
Dhabi
Saudi Arabia SAMA Foreign Holdings 532.8 n/a 4
Kuwait Kuwait Investment Authority 342 1953 6
Russia National Welfare Fund 175.5 2008 5
Qatar Qatar Investment Authority 115 2005 5
UAE – Dubai Investment Corporation od Dubai 70 2006 4
International Petroleum
UAE – Abu
Investment 65.3 1984 9
Dhabi
Company
Libya Libyan Investment Authority 65 2006 1
Kazakhstan Kazakhstan National Fund 61.8 2000 8
Algeria Revenue Regulation Fund 56.7 2000 1
UAE -Abu
Mubadala Development Company 53.1 2002 10
Dhabi
US - Alaska Alaska Permanent Fund 45 1976 10
Iran National Development Fund of Iran 42 2011 5
Azerbaijan State Oil Fund 32.7 1999 10
Brunei Brunei Investment Agency 30 1983 1
US- Texas Texas Permanent School Fund 25.5 1854 9
Canada Alberta'sHeritage Fund 16.4 1976 9
Timor_leste Timor-Leste Petroleum Fund 11.8 2005 8

Sekedar perbandingan, Timor Leste yang sebenarnya merupakan pemain baru dalam
dunia perminyakan internasional telah menerapkan konsep Petroleum Fund sejak tahun 2005
dan sekarang aset pemerintah Timor Leste dari minyak adalah sebesar US$ 11,8 miliar.
Sedangkan Indonesia yang telah menjalankan kegiatan produksi minyak sejak zaman
penjajahan Belanda tidak memiliki aset selayaknya Timor Leste. Hal ini sangat disayangkan
karena jika saja Indonesia menerapkan Petroleum Fund, aset yang dimiliki Indonesia pastinya
jauh melebihi Timor Leste dan dapat dipakai untuk mensejahterakan rakyat.
VIII. Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah dalam
Kebijakan BBM Bersubsidi

Solusi Jangka Pendek

 Pemerintah harus menetapkan Premium hanya boleh dikonsumsi oleh


kendaraan umum dan motor, sementara kendaraan selain itu harus
mengkonsumsi jenis BBM yang oktannya lebih tinggi dari Premium

Solusi Jangka Panjang

 Segerakan intensifikasi sumur minyak bumi yang baru dengan memperbaiki


birokrasi yang dapat menarik investor masuk tetapi dengan memastikan
kepentingan negara tidak dilanggar
 Bangun kilang minyak baru untuk mengoptimalkan produksi BBM dalam
negeri sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengekspor minyak ke Singapura
hanya untuk diolah menjadi BBM kemudian dibeli kembali oleh Indonesia.
 Tangkap Mafia Migas supaya tidak terus mendapatkan keuntungan dan
membengkakkan BPP produksi BBM dan merugikan negara
 Asset cadangan terbukti minyak bumi harus dinyatakan sebagai milik negara
supaya tidak dikuasai perusahaan asing dan perusahaan minyak negara bisa
mendapat pinjaman dari Bank untuk membangun ekplorasi sumur minyak
yang baru
 UU Migas yang baru harus menerapkan konsep Petroleum Fund sehingga
asset cadangan minyak Indonesia dapat dinikmati generasi mendatang dan
dapat digunakan membangun infrastruktur energi yang lebih murah.
 UU Migas yang baru harus mengubah posisi pemerintah yang sekarang
sebagai pelaku kontrak dengan perusahaan asing menjadi mediator dan
mengembalikan posisi Pertamina sebagai pihak yang berkontrak dengan
multinational oil company.
 UU Migas yang baru harus memuat kewenangan Pemerintah untuk
mengendalikan produksi minyak dalam negeri untuk didistribusikan
memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu sebelum dapat diekspor.

Anda mungkin juga menyukai