Mei 2013
Ada satu hal yang bisa membuat semua orang mendadak menjadi pengamat energi :
ketika ada rencana harga BBM bersubsidi akan dinaikkan. Setidaknya dalam 2 tahun terakhir,
di sekitar tengah tahun, isu ini mencuat ke permukaan dan menjadi perbincangan umum.
Tahun lalu kenaikkan dibatalkan, lantas tahun ini mencuat lagi. Memang wajar kalau isu
harga BBM bersubsidi mudah mendapatkan perhatian, sebab banyak orang yang akan terkena
pengaruh. Biasanya hampir selalu ketika isu ini mencuat, pendapat akan terbagi menjadi 2
kubu besar. Kubu pertama adalah mereka yang setuju dengan kenaikkan harga BBM
bersubsudi, dan kubu kedua adalah mereka yang tidak setuju.
Namun, kajian ini bukan hadir untuk sekedar menentukan untuk setuju atau menolak
kenaikkan harga BBM bersubsidi. Sebab jika berangkat dari pertanyaan setuju atau menolak,
analisis yang dilakukan akan terjebak pada kotak-kotak perspektif yang sifatnya tidak
menyeluruh. Bisa dipastikan hasil akhirnya pun akan deadlock jika terjadi perbedaan
pengambilan kesimpulan, dan selamanya pembahasan akan berputar-putar di persoalan yang
sama. Padahal, kebijakan BBM bersubsidi tidak hanya terbatas pada seberapa besar APBN
yang harus disediakan untuk suatu harga jual BBM ke masyarakat, tetapi banyak melibatkan
konflik kepentingan secara politik, pandangan mengenai kebijakan energi yang
berkelanjutan, analisis ekonomi, dampak sosial yang ditimbulkan, hingga regulasi yang
diterapkan di sektor migas. Singkatnya, ini bukan kajian semata-mata untuk penentuan sikap,
melainkan memperhatikan kebijakan publik terkait BBM bersubsidi.
Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya Premium (RON 88) dan Solar adalah salah
satu komoditas energi yang disubsidi Pemerintah. Di Indonesia, energi migas memang masih
menjadi andalan utama perekonomian Indonesia, baik sebagai penghasil devisa maupun
pemasok kebutuhan energi dalam negeri. Pembangunan prasarana dan industri yang sedang
giat-giatnya dilakukan di Indonesia, membuat pertumbuhan konsumsi energi rata-rata
mencapai 7% dalam 10 tahun terakhir. Namun pertumbuhan ekonomi sebesar 7% ini pun
dikatakan sebagai pertumbuhan semu, sebab pertumbuhan ini masih bertumpu pada subsidi
BBM yang relatif besar.
Potensi sumber daya minyak dan gas bumi Indonesia masih cukup besar untuk
dikembangkan terutama di daerah-daerah terpencil, laut dalam, sumur-sumur tua dan
kawasan Indonesia Timur yang relatif belum dieksplorasi secara intensif. Sumber-sumber
minyak dan gas bumi dengan tingkat kesulitan eksplorasi terendah praktis kini telah habis
dieksploitasi dan menyisakan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Sangat jelas bahwa
mengelola ladang minyak sendiri menjanjikan keuntungan yang luar biasa signifikan. Akan
tetapi untuk dapat mengetahui potensi tersebut diperlukan teknologi yang mahal, modal yang
besar, faktor waktu yang memadai dan memerlukan efisiensi yang maksimal serta expertise
dari sumberdaya manusia terbaik.
Kebutuhan impor minyak bumi ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat dan pertumbuhan ekonomi di dalam
negeri yang diharapkan semakin membaik ditahun-tahun mendatang. Dalam grafik berikut
dapat dilihat bahwa konsumsi energi khususnya minyak terus meningkat dari waktu ke waktu
melebihi kapasitas produksi dalam negeri yang cenderung menurun. Pada grafik berikutnya
terdapat forecast tentang produksi domestik minyak mentah Indonesia.
Gambar 1.2 Statistik Produksi dan Konsumsi Minyak Mentah Indonesia dan Prediksi
Gambar 1.3 Data Export dan Import minyak mentah dan produksi minyak Indonesia
Konsekuensi logis dari kesimpulan tersebut adalah, Indonesia merupakan price taker
dari minyak internasional sehingga kenaikan harga minyak mentah dunia akan mutlak
memperngaruhi harga jual minyak di Indonesia. Selama ini tidak terlihat pengaruh gejolak
dari kenaikan harga minyak mentah dunia pada industri hilir minyak domestik karena
Pemerintah Indonesia menetapkan harga jual minyak di industri hilir secara ceiling price dan
mem-bail out selisihnya dengan subsidi. Subsidi BBM yang semula bertujuan agar
masyarakat miskin dapat membeli BBM dengan harga terjangkau pun akhirnya kewalahan
membengkaknya jumlah subsidi. Membengkaknya jumlah anggaran subsidi BBM di APBN
tidak hanya terkait dengan kenaikan harga minyak mentah internasional, dimana Indonesia
bersifat price taker, namun juga jumlah (kuantitas) konsumsi BBM yang disubsidi bertumbuh
secara eksponensial. Kenaikan kebutuhan akan BBM tersebut dikarenakan terlalu murah nya
harga BBM karena disubsidi sehingga menjadikan insentif bagi masyarakat untuk boros
energi.
Gambar 1.5 Perkembangan Harga Nominal dan Riil Minyak Mentah Dunia
Analisis tersebut diatas dapat disimpulkan menjadi tiga variabel utama yakni:
1. Indonesia sebagai price taker harga minyak internasional karena Indonesia adalah net
importer minyak.
2. Harga produk minyak di Indonesia yang disubsidi menunjukkan gejala underpricing
yang diindikasikan naiknya konsumsi minyak Indonesia secara eksponensial.
3. Konsumsi energi (minyak) di Indonesia akan terus bertambah seiring bertambahnya
jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
4. Adanya tren harga minyak dunia yang terus meningkat.
Dengan adanya empat variabel kesimpulan tersebut, dapat dipastikan anggaran subsidi BBM
akan terus naik secara eksponensial akibat kenaikan harga internasional dan jumlah konsumsi
BBM.
Jika krisis energi didefinisikan sebagai pertumbuhan kebutuhan yang semakin
melampaui pertumbuhan ketersediaan, maka Indonesia sedang mengalami krisis minyak.
Sebab minyak di Indonesia semakin sedikit cadangannya, dimana hal ini merupakan hal yang
tidak bisa ditawar-tawar, sementara kebutuhan atau konsumsi minyak (BBM) semakin tinggi.
Gambar 2.3 Diagram Subsidi BBM dan Asumsi Harga Minyak Mentah Pemerintah RI
Dari uraian analisis tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jumlah anggaran untuk subsidi
energi khususnya BBM telah melampaui subsidi pada sektor lain baik infrastruktur,
pendidikan maupun kesehatan.
Gambar 2.5 Distribusi Subsidi Bahan Bakar Minyak di Kalangan Masyarakat Indonesia
Dari analisis distribusi subsidi BBM, dapat disimpulkan bahwa subsidi BBM telah salah
sasaran karena konsumsi BBM terbesar (80%) dinikmati oleh 20% golongan terkaya
masyarakat Indonesia.
Selain itu Indonesia merupakan negara yang sangat tergantung pada harga minyak
dunia karena sebagian persediaan minyak Indonesia diimpor dari negara lain. Harga minyak
dunia yang tidak konstan dan cenderung fluktuatif memaksa pemerintah untuk membuat
kebijakan subsidi untuk menstabilkan harga jual minyak agar masyrakat yang tidak mampu
tetap dapat mengaksesnya. Subsidi minyak itu sendiri dianggarkan dari APBN Indonesia
yang mana menjadi awal mula terjadinya perdebatan hebat antara pemerintah dan rakyat
mengenai subsidi BBM. Konsumsi BBM yang yang naik tiap tahunnya dan juga tren harga
minyak dunia yang cenderung naik membuat anggaran subsidi BBM dalam APBN
membengkak bahkan defisit.
Anggaran subsidi BBM saat ini diproyeksikan mencapai 178 triliun rupiah. Anggaran
ini bahkan lebih besar dari anggraan untuk pendidikan dan kesehatan. Hal inilah yang
memicu perdebatan antara pemerintah dan rakyat. Di satu sisi pemerintah beranggapan jika
harga minyak diteruskan sebesar Rp. 4500,00 maka akan berdampak pada ketidakstabilan
perkonomian Indonesia dan akan memotong anggaran untuk sektor lain seperti pendidikan
dan kesehatan, dan lain-lain. Di sisi lain, naiknya harga BBM akan berimbas pada harga
bahan-bahan pokok seperti: beras, daging, sayuran , dan lain-lain yang pada akhirnya
menyengsarakan masyarakat. Anggapan bahwa subsidi BBM sudah terlalu membebani
APBN sehingga harus dikurangi tidaklah salah. Akan tetapi anggapan bahwa pengurangan
subsidi BBM malah menyengsarakan rakyat juga tidak salah. Lalu apa yang salah ?
Subsidi BBM tak dapat dipungkiri memang membuat APBN membengkak sehingga
harus dikurangi. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana subsidi BBM bisa sampai
membengkak? Apakah memang murni disebabkan oleh konsumi masyarakat yang berlebihan
atau ada sebab lain? Direktur Eksekutif Komite Pengawas Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad
Safrudin menyatakan selama ini penetapan harga BBM di Indonesia mengacu pada Mid Oil
Platts Singapore (MOPS) yang sebenarnya tidak relevan karena MOPS adalah acuan harga
bensin dengan kualitas RON 92 sedangkan premium berkualitas RON 88. MOPS sendiri
merupakan penilaian produk untuk trading minyak di kawasan Asia Tenggara yang dibuat
oleh Platts –anak perusahaan McGraw Hill. Pemerintah sendiri menghitung besar subsidi
BBM menggunakan rumus dibawah ini:
MOPS ∗ Er Pb Qb
s=( +α− )∗
158,9 (1 + tn + tb) 1000000
Jika rumus diatas dicermati lebih mendalam, maka sebenarnya dari rumus tersebut
dapat diketahui dimana letak kesalahan dalam perhitungan besar subsidi.
MOPS ∗ Er Pb Qb
S=( +α− )∗
158,9 (1 + tn + tb) 1000000
MOPS ∗ Er 1000000 ∗ S Pb
( + α) − =
158,9 Qb (1 + tn + tb)
Pemerintah secara tidak langsung menetapkan bahwa besar subsidi adalah sebagai
variabel bebas yang mana dapat dikurangi atau ditambah untuk menentukan harga BBM.
Begitu juga sebaliknya harga BBM dapat menjadi variabel bebas yang mana dapat dirubah
untuk menyesuaikan subsidi BBM. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya jika
penggunaan MOPS sebagai acuan dalam menentukan besar subsidi tidak lah relevan
sehingga hal ini yang membuat ketidaktransparanan harga BBM yang sesungguhnya.
Menurut pakar perminyakan Kurtubi, harga BBM seharusnya dihitung sesuai dengan Biaya
Pokok Produksi (BPP) Pertamina karena pasokan minyak di Indonesia tidak semuanya
berasal dari impor melainkan sebagian diproduksi oleh pertamina sendiri sehingga seolah-
olah biaya produksi minyak pertamina disamakan dengan biaya produksi minyak di luar
negeri yang tentu saja sangat berbeda jauh.
Perlu diketahui bahwa Indonesia harus mengimpor minyak sebanyak kurang lebih
400.000 barel per hari karena produksi kilang dalam negeri hanya mencapai 900.000 barel
per hari. Minyak olahan yang diimpor di Indonesia sebenarnya bukan murni berasal dari
minyak mentah negara lain melainkan minyak mentah Indonesia. Penjelasan lebih detail
disajikan dalam skema dibawah ini :
Dari data dan perhitungan yang ada, terlihat bahwa biaya impor minyak mentah untuk
setiap barelnya ternyata selalu lebih mahal daripada harga ekspornya. Selama kurun waktu itu
dapat kita lihat bahwa selisih biaya impor dan harga ekspor kita berkisar 0,68 dollar AS –
3,23 dollar AS. Berdasarkan data itu, terlihat bahwa negara dirugikan setiap tahunnya dari
aktifitas ekspor-inpor minyak ini. Kalau kita ambil contoh perhitungan dari data tahun 2004
saja, kerugian negara mencapai Rp 4 triliyun lebih. Kerugian ini dapat diatasi dengan
mengoptimalkan produksi BBM dalam negeri dengan membangun kilang baru. Ketersediaan
kilang yang cukup akan membuat Indonesia tidak perlu lagi mengekspor minyak mentah ke
singapura untuk diolah menjadi BBM sehingga BPP dapat ditekan.
Selain masalah kurangnya ketersediaan kilang minyak dalam negeri, mekanisme bagi
hasil yang dilakukan pemerintah dengan kontraktor minyak juga bermasalah. Perlu diketahui
sebagian besar eksplorasi minyak dilakukan oleh investor asing dengan mekanisme
pemerintah mendapatkan 85% dari total minyak mentah yang diangkat dari perut bumi
sedangkan sisanya adalah mutlak milik investor. Hal ini diatur dalam UU Migas tahun 2001
tentang mekanisme bagi hasil. Dalam UU itu juga disebutkan bahwa jatah minyak
perusahaan asing adalah mutlak milik mereka sehingga tidak ada kewajiban bagi mereka
untuk menjualnya kepada Pertamina guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu,
Recovery Cost (biaya yang dibayarkan pemerintah untuk mengganti biaya eksplorasi minyak)
terbilang cukup besar sehingga Pemerintah Indonesia hanya mendapatkan jatah 64% dari
total seluruh minyak mentah. Dengan jatah sekecil itu pemerintah seharusnya membuat
undang-undang Migas yang baru agar jatah minyak pemerintah ditingkatkan sehingga dapat
meningkatkan produksi dalam negeri.
Walaupun sudah menggunakan UUD 1945 sejak merdeka, namun pada prakteknya
masih sangat banyak perusahaan-perusahaan asing yang menjalankan kegiatannya di
Indonesia seperti pabrik gas dan listrik. Karena itu di masa awal kemerdekaan semangat yang
muncul adalah semangat nasionalisasi dengan merebut secara langsung penguasaan
perusahaan itu dari tangan asing. Contoh kasusnya pada tahun 1945, buruh dan pegawai
listrik dan gas yang dipimpin Korbasih menghadap Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat
yang diketuai Kasman Singodimejo untuk melaporkan perjuangannya merebut perusahaan
listrik dan gas yang semula dikuasai Jepang. Selama 4 sampai 5 tahun pasca kemerdekaan,
pemerintah disibukkan dengan agresi militer yang dilakukan Belanda serta meredam
pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Kemudian pada tahun 1949 konstitusi Indonesia berubah menjadi menggunakan UUD
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sistem parlementer pun digunakan. Setahun kemudian,
tahun 1950, konstitusi Indonesia berubah lagi menjadi UUDS (Undang-Undang Dasar
Sementara) dan menerapkan sistem Demokrasi Parlementer. Karena sesudah 6 tahun
merdeka dan memberlakukan pasal 33 UUD 1945 namun masih banyak sektor-sektor
strategis yang masih dikuasain perusahaan asing, lantas pada tahun 1951 Anggota DPR
Tengku Muhammad Hasan mengeluarkan mosi untuk menasionalisasi perusahaan sektor
strategis yang masih dikuasai asing untuk benar-benar menjalankan amanah pasal 33 UUD
1945. Pada tahun yang sama pemerintah berupaya untuk menggantikan Mijnwet (UU
pertambangan pada masa Hindia-Belanda) telah dimulai sejak adanya Mosi Teuku
Moehammad Hasan dan kawan-kawan, yang diikuti dibentuknya Panitia Negara Urusan
Pertambangan (PNUP). Salah satu tugas PNUP adalah mempersiapkan undang-undang
pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan alam kemerdekaan berdasarkan
ekonomi nasional. Panitia ini berhasil menyusun rancangan undang-undang (RUU)
pertambangan, namun sampai PNUP bubar, RUU ini tidak pernah menjadi undang-undang.
Sayangnya, selama kurang lebih 9 tahun terjadi persaingan tidak sehat di parlemen,
dimana perdana menteri berganti bahkan dalam waktu kurang dari setahun yang disebabkan
oleh saling jegal antar partai kepada pihak yang sedang menjadi perdana menteri sehingga
menyebabkan tidak adanya rencana jangka panjang yang dibuat oleh pemerintah.
Kemudian untuk menindaklanjuti mosi Tengku Muhammad Hasan, pada tahun 1958,
Pemerintah Indonesia mensahkan Undang-Undang No 86 tentang Nasionalisasi Semua
Perusahaan Belanda dan didukung Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Listrik dan Gas Milik Belanda. Namun UU dan PP ini belum menyentuh
perusahaan minyak asing yang masih ngotot mengacu kepada hukum Belanda saat mereka
pertama kali menjalankan aktivitas perusahaan. Lalu pada tahun 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan parlemen yang tidak konsusif itu. Karena Presiden
Soekarno saat itu mendapat dukungan kuat dari Angkatan Bersenjata, maka Dekrit ini benar-
benar berjalan dengan efektif.
Sejak saat itu juga Presiden Soekarno memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Karena kekuasaan yang sentralistik kepada Presiden, barulah kemudian pada tahun 1960
Indonesia melahirkan 2 Undang-Undang yang dapat dikatakan menjadi titik balik penguasaan
SDA di Indonesia. Undang-Undang tersebut adalah UU Pokok Agraria (UUPA) dan UU
Pertambangan Migas. Selain itu, Presiden Soekarno menetapkan berlakunya UU No 37 Prp
tahun 1960 tentang Pertambangan. Peraturan di sektor pertambangan yang ada di tahun 1960
ini hanya mengoreksi mengenai besarnya keuntungan yang harus diberikan perusahaan
pertambangan kepada negara. Dari beberapa pidatonya, dapat diketahui bahwa pemerintah
memandang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan minyak, sehingga strategi di
sektor energi sangat berporos kepada minyak bumi. Hal-hal penting yang diatur dalam UU
No 44/Prp/1960 tentang Pertambangan Migas tersebut diantaranya adalah :
1. Segala bahan galian Migas yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara
3. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk Perusahaan Negara
apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku
pemegang kuasa
Dengan prinsip ini, ketiga perusahaan asing yaitu Shell, Caltex, dan Stanvac statusnya
hanya sebagai kontraktor perusahaan negara dan tidak lagi mempunyai hak konsesi. Untuk
melaksanakan kebijakan ini, langkah pertama Pemerintah RI adalah membentuk tiga
perusahaan negara yaitu Permina, Pertamin, dan Permigan.
Tidak hanya itu, Presiden Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru
kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah
Indonesia. Namun langkah ini tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana diharapkan karena ada
resistensi kuat dari ketiga perusahaan tersebut untuk tetap memegang hak konsesinya. Ketiga
perusahaan tersebut juga merupakan kelompok (cartel) dari perusahaan-perusahaan minyak
internasional (IOC). Dengan kekuatan kartel perdagangan minyak internasional, mereka
menekan Indonesia melalui jalur politik internasional sebagai upaya untuk menghindar dari
keputusan politik bangsa Indonesia. Tidak hanya tekanan politik dari IOC, pemerintah
Indonesia juga sedang menghadapi konflik perebutan Irian Barat dan pada tahun 1962 terjadi
perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York.
Kemudian pada tahun 1963, atas desakan AS terhadap Belanda, Irian Barat diserahkan
kepada Indonesia.
Setelah negosiasi yang panjang dan alot, akhirnya pada tanggal 1 Juni 1963 di Tokyo
tercapai kesepakatan dalam Tokyo Agreement bahwa ketiga perusahaan asing tersebut
menerima ketetapan bahwa status mereka adalah sebagai kontraktor dari perusahaan negara
dalam sistem Contract of Works (Kontrak Kerja atau KK). Dengan sistem KK ini berarti
sistem konsesi peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sudah berakhir.
Kemerdekaan politik bangsa Indonesia sudah dilengkapi dengan kemerdekaan dalam politik
hukum usaha pertambangan migas.
Kebijakan subsidi BBM sendiri sudah ada sejak tahun 1962, ketika produksi minyak
mentah Indonesia masih sangat melebihi jumlah konsumsi minyak domestik. Berlatar
belakang produksi dan konsumsi minyak tersebut, Pemerintah dapat secara senantiasa
menetapkan harga BBM tidak mengikuti harga internasional (dengan kebijakan ceiling price
yang teradministrasi) karena masih dalam kondisi excess supply. Besarnya produksi minyak
mentah pada periode tahun 1970-1990an tercermin dalam neraca APBN yang bahkan
mengkategorikan pendapatan negara sebagai pendapatan migas dan non migas.
Belum lama sistem Kontrak Kerja di sektor migas diterapkan (hanya sekitar 2 tahun),
kehidupan politik di Indonesia mengalami goncangan yang hebat dengan adanya
pemberontakan G30S di akhir tahun 1965. Penumpasan pemberontakan ini menandai
Indonesia memasuki era baru, yaitu Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto.
Kemudian pada tahun 1966 terdapat kontroversi sejarah mengenai Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar). Pada tahun 1967, saat Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia,
UU pertama yang disahkan adalah UU Penanaman Modal Asing. Saat jatuhnya Soekarno dari
kursi kepresidenan, inflasi yang tinggi menjadi alasan bagi Soeharto untuk membuka keran
modal asing yang tadinya ditutup oleh Soekarno karena ingin menasionalisasi perusahaan-
perusahaan asing.
Kemudian di tahun yang sama, pemerintah yang dikepalai Soeharto menerbitkan UU
No 11 tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan yang sektor pertambangan menggunakan
sistem kontrak. UU ini merupakan cikal bakal derasnya perusahaan asing masuk ke Indonesia
dimana perusahaan asing yang pertama masuk adalah PT Freeport Indonesia. Cukup jelas
terlihat bahwa pengaturan di sektor pertambangan yang berhubungan dengan pengaruran
terhadap salah satu sumber energi yaitu batubara lebih bernuansakan kepentingan perusahaan
asing, yaitu melanggengkan Freeport untuk masuk ke Indonesia, daripada upaya untuk
menciptakan tata aturan yang baik.
Tahun 1973, dunia mengalami kenaikkan harga minyak secara drastis akibat dari
konflik negara-negara Arab Spring yang kebanyakan pengekspor minyak dengan Israel yang
mengakibatkan terjadinya embargo minyak, sehingga harga minyak melonjak drastis.
Indonesia yang saat itu merupakan salah satu negara eksportir minyak mendapat keuntungan
besar dari Oil Boom ini. Sektor minyak berkontribusi paling besar bagi pemasukan APBN.
Bisa dikatakan sejak saat inilah Indonesia jadi memiliki ketergantungan terhadap
minyak dan terbentuknya pola pikir bahwa mengespor minyak bumi berarti
mendapatkan keuntungan. Kondisi minyak bumi di Indonesia saat itu sangat
menguntungkan bagi pemasukan negara. Tidak hanya karena harga minyak dunia yang
melambung, namun juga konsumsi dalam negeri yang masih relatif sedikit. Akibatnya,
Indonesia dapat mengekspor minyak bumi secara besar-besaran tanpa khawatir kekurangan
minyak untuk dalam negeri, sedangkan untuk konsumsi dalam negeri dapat diberikan subsidi.
Namun di sisi lain, sejak saat ini juga pemerintah dan oknum lain yang korup menggerogoti
profit yang didapat oleh Pertamina.
Tahun 1980, harga minyak mengalami penurunan walaupun sejak tahun 1973 sampai
1980 terus mengalami kenaikkan. Hal ini berdampak besar kepada perekonomian di
Indonesia, dimana pertumbuhan ekonomi turun sekitar 2-3%, nilai rupiah pun jatuh. APBN
pun kehilangan pemasok terbesarnya. Kejadian ini menjadi pukulan telak yang membuat
pemerintah segera membuat rencana untuk tidak bergantung kepada minyak terlalu besar.
Satu tahun sesudahnya, untuk pertama kalinya dikeluarkan kebijakan strategis di sektor
energi skala nasional, yaitu Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) dengan 3 langkah
strategis yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi. KUBE dibuat untuk
memformulasikan strategi membangun kemandirian dan ketahanan energi tetapi tidak
mempermasalahkan kedaulatan energi karena kedaulatan energi khususnya sektor migas pada
waku itu sudah diatur oleh UU No 8 tahun 1971 tentang Pertamina. Dari sini, bisa terlihat
bahwa posisi KUBE adalah untuk mendampingi atau sebagai pelengkap dari UU Pertamina.
Kemudian terjadi krisis besar-besaran pada tahun 1998 yang memaksa Indonesia
harus meminjam dana dari IMF. Pinjaman ini kemudian berdampak kepada disepakatinya
Letter of Intent yang pada dasarnya memberikan syarat kepada Indonesia untuk
memprivatisasi berbagai sektor strategisnya, diantaranya adalah minyak bumi & gas, serta
ketenagalistrikan. Setelah LoI ditandatangani oleh Soeharto dan IMF (Michael Camdeseus),
muncul radiogram dari Washington ke Jakarta yang memerintahkan 4 hal, yaitu:
1. Membahas mengenai Pertamina dan Korupsi
2. Membahas mengenai PLN
3. Mengatur kedudukan Pertamina
4. Mengatur tentang draft rancangan UU Migas
Hanya berselang satu tahun, kemudian muncul UU No 22 tahun 2001 tentang Migas
yang menggantikan UU Pertambangan Minyak dan Gas tahun 1960 dan UU Pertamina tahun
1971. Substansi UU ini sangat bernuansa pengakomodiran keinginan IMF untuk
memprivatisasi sektor energi di Indonesia. Terbit pada masa reformasi, UU No. 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) mentransformasi
industri pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia ke arah yang lebih liberal,
melenceng dari amanat konstitusi dalam konsep demokrasi ekonomi. Karenanya, UU Migas
kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk pengujian materiil, untuk menilai
kesesuaian UU Migas dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional Indonesia.
Tercatat, uji materiil terhadap UU Migas telah menghasilkan dua putusan yaitu:
Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 dan Putusan MK Nomor 036/PUU-X/2012.
Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 mengabulkan sebagian permohonan uji materiil
pemohon. Terdapat tiga materi yang dicabut oleh MK dan dinyatakan tidak memiliki hukum
mengikat. Salah satu poin tersebut yaitu:
1. Penentuan kebijakan harga atas bahan bakar minyak dan gas bumi memerlukan
campur tangan pemerintah dan tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar
sepenuhnya. Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) dinyatakan inkonstitusional oleh MK
dengan pertimbangan bahwa kebijakan penentuan harga haruslah menjadi
kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau
menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal a quo mengutamakan mekanisme
persaingan dan baru kemudian campur tangan pemerintas sebatas menyangkut
golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi
ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Harga BBM
dan Gas Bumi dalam negeri seharusnya ditetapkan oleh pemerintah dengan
memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan
mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Tahun 2004 menjadi titik balik perdagangan minyak bumi di Indonesia. Sebab, di
tahun 2004, untuk pertama kalinya Indonesia melakukan kebijakan impor minyak bumi yang
disebabkan oleh jumlah crude oil yang dikonsumsi lebih besar daripada jumlah crude oil
yang diproduksi. Indonesia memang benar memproduksi crude oil dan produknya, namun
sejak tahun 2004 Indonesia juga mengimpor minyak karena produksi dalam negeri tidak
dapat mencukupi kebutuhan. Dalam beberapa tahun belakangan ini penyediaan BBM dalam
negeri tidak dapat seluruhnya dipenuhi oleh kilang minyak domestik, hampir 20%-30%
kebutuhan minyak bumi dalam negeri sudah harus diimpor dari luar negeri.
Pada 13 November 2012, dalam Putusan Nomor 036/PUU-X/2012, MK memutuskan
bahwa BP Migas sebagai badan pelaksana yang mengendalikan dan mengawasi kegiatan
usaha hulu minyak dan gas bumi dinyatakan inkonstitusional. Menurut pertimbangannya,
bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama yang harus dilakukan negara adalah
Pemerintah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. BP Migas hanya
melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan dan tidak melakukan pengelolaan langsung,
sehingga menurut MK, model hubungan BP Migas sebagai representasi negara dengan
kontraktor KKS (Badan Usaha atau Bentuk usaha tetap) dalam pengelolaan Migas
mendegradasi makna penguasaan negara atas Migas. Selain itu, BP Migas juga merupakan
bentuk inefisiensi dalam pengelolaan migas.
Terdapat kerancuan dalam rezim pengusahaan minyak dan gas bumi dalam UU Migas
ini. Rezim yang dianut dalam undang-undang ini yaitu rezim kontrak dengan para pihak yang
terlibat yaitu BP Migas sebagai badan hukum milik negara yang mewakili pemerintah dalam
mengadakan kontrak dengan pihak kontraktor KKS. Sistem Government to Business (G to B)
ini sebenarnya menyalahi konsep penguasaan negara atas sumber daya alam yang
menempatkan negara (yang diwakili pemerintah) sebagai penguasa dalam wilayah publik.
Oleh karena itu, konsep G to B seharusnya diterapkan untuk rezim perizinan dimana izin
merupakan tindakan pengurusan pemerintah yang dikeluarkan secara sepihak dan
menempatkan pemerintah pada posisi vertikal dengan pelaku usaha.
Posisi BP Migas pun banyak dikritik karena sebagai badan hukum milik negara
(BHMN) yang mewakili pemerintah dalam mengadakan kontrak dengan kontraktor KKS
dinilai tidak tepat dan menyebabkan inefisiensi serta dinilai tidak transparan.
Di dalam ranah UUD, pembahasan untuk amandemen masih terus berlangsung hingga
tahun 2002. Salah satu yang menjadi perdebatan alot adalah pembahasan mengenai pasal 33
UUD 1945. Ada pihak yang menginginkan perubahan pasal 33 karena menganggap istilah
“kekeluargaan” dan “dikuasai” merupakan istilah yang bias makna dan tidak sesuai konteks
zaman. Sementara ada pihak yang mempertahankannya tanpa ada perubahan. Akhirnya jalan
tengah yang dilakukan adalah menambahkan 2 ayat pada pasal 33, yaitu :
Tidak adanya penemuan sumur minyak baru tidak terlepas juga dari semakin
sedikitnya cadangan minyak dari sumur-sumur minyak yang lama. Sumur minyak terakhir
yang ditemukan adalah di Cepu, dan setelah itu tidak dilakukan lagi intensifikasi sumber-
sumber minyak bumi yang baru. Dalam judicial review tahun 2012, masalah tidak adanya
sumber minyak yang baru dihubungkan dengan diterapkannya UU Migas tahun 2001
yang disinyalir menyebabkan ekplorasi minyak bumi yang baru jadi terhambat.
Kemudian, UU Migas tahun 2001 kembali di judicial review dan tahun 2012 seluruh pasal
terkait BP Migas. Hal ini membuat UU Migas menjadi semakin tidak relevan lagi karena
banyak pasal-pasal kunci yang dianggap inkonstitusional. RUU Migas yang baru
diagendakan akan segera diselesaikan sebelum tahun 2014.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, subsidi adalah
amanah konstitusi sehingga tidak boleh dicabut sama sekali. Asing berkepentingan untuk
membuat Indonesia mau melepaskan sektor-sektor strategis ke harga pasar sehingga
perusahaan mereka bisa bersaing dengan harga barang yang tidak disubsidi. Kedua,
penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang berhubungan dengan hajad hidup orang
banyak juga amanah konstitusi. Sehingga ketika terdapat pengelolaan yang buruk, dalam
kasus ini di sektor minyak, rumusan yang ditawarkan IMF untuk privatisasi bukanlah satu-
satunya rumus yang tepat untuk diterapkan. MK sudah menyatakan hal-hal tersebut dalam
putusannya mengenai tafsiran kata “dikuasai” dalam pasal 33 UUD 1945. Solusi yang harus
dipertimbangkan adalah mengedepankan nilai efisiensi berkeadilan.
Dari berbagai jenis mekanisme yang ada, sejauh ini pemerintah Indonesia paling banyak
menyajikan alternatif untuk mengalihkan subsidi untuk diberikan secara langsung kepada
masyarakat, dengan apa yang dikenal sebagai BLT atau BLSM.
Pada rencana kenaikkan harga BBM bersubsidi tahun 2013 ini, pemerintah
menyiapkan 2 skenario yang harus dipilih untuk menyesuaikan besarnya subsidi untuk BBM.
1. Skenario Pertama : “Harga BBM bersubsidi (Premium dan Solar) untuk mobil
pribadi, mobil dinas, dan sektor pertambangan dan perkebunan adalah Rp 7.000,00
sementara harga BBM bersubsidi untuk kendaraan umum (plat kuning) dan motor
tetap Rp4.500,00.
2. Skenario Kedua : “Kenaikkan harga BBM bersubsidi (Premium dan Solar) Rp
1.000,00 per liter untuk seluruh pengguna per 1 Mei, dilanjutkan pengendalian
konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap yaitu Jabodetabek per 1 Juni 2013 dan 4
kota lainnya (Bandung, Semarang, Surabaya, dan Denpasar) per 1 Juli 2013”
Untuk mengatasi melonjaknya jumlah motor yang ada, maka pemerintah dapat
membuat ketentuan mengenai tarif parker di tempat-tempat yang secara umum lebih banyak
diakses oleh kelas menengah pengguna motor, misalnya pusat perbelanjaan atau tempat-
tempat lain. Sebab lonjakan penjualan motor yang harus diatasi sebenarnya justru ada di kota-
kota besar. Apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dapat diadopsi, dimana saat
pemerintah daerah tidak berwenang untuk mengontrol jumlah kendaraan yang boleh dijual,
maka tarif parkir yang tinggi dapat membuat masyarakat lebih bijak menggunakan kendaraan
pribadi. Menaikkan tarif parkir di mall/pusat perbelanjaan dan tempat lain yang cenderung
hanya diakses oleh golongan yang mampu juga dapat mengurangi konsumsi Premium secara
berlebihan.
Namun jika kebijakan ini dianggap terlalu memberatkan dengan memaksa kendaraan
selain kendaraan umum dan mobil untuk mengkonsumsi Premium, maka pemerintah dapat
membuat BBM dengan kualitas diatas Premium (oktan 88) namun dibawah Pertamax (oktan
92), yaitu BBM dengan oktan 90 yang dulu dinamai Premix (ada wacana menamainya
Premium Plus). Hal yang terpenting adalah memastikan golongan yang mampu tidak
diberikan subsidi BBM ini. Kebijakan ini tentu saja belum dapat mengatasi keberlanjutan dan
ketersediaan minyak di masa depan. Untuk mempersiapkannya, pemerintah tidak boleh
memaksa masyarakatnya untuk dibebani harga BBM yang mahal dengan argument untuk
memunculkan energi baru seperti gas, padahal infrastrukturnya sama sekali tidak siap.
Penghematan ini yang kemudian harus dialokasikan untuk mengembangkan infrastruktur
yang kelak dapat memberikan masyarakat sumber energi yang lebih murah, bukan justru
sekedar memberikan bantalan berupa uang tunai yang hanya menjadi obat penghilang rasa
sakit sesaat bagi masyarakat.
Petroleum Fund
Minyak merupakan sumber energi yang tak dapat diperbaharui, dan tidak bisa
dipungkiri bahwa kelak ia akan habis sama sekali. Cadangan minyak di Indonesia memang
relatif sangat kecil dibandingkan negara dengan cadangan minyak yang sangat besar seperti
Venezuela dan Arab Saudi. Banyak yang kemudian berpendapat bahwa Indonesia harus
mulai beralih ke sumber energi terbarukan. Dalam hubungannya dengan kenaikkan harga
BBM ini, biasanya logika yang muncul adalah naiknya harga BBM yang notabene bahan
bakar fosil akan mendorong munculnya sumber energi terbarukan.
Memang benar bahwa energi baru dan terbarukan terbentur persoalan harga, tetapi
menaikkan harga BBM tidak akan pernah benar-benar menumbukan industri energi baru dan
terbarukan jika pemerintah tidak menyiapkan infrastrukturnya. Dulu pemerintah membagikan
tabung LPG 3 kg gratis ke masyarakat, lantas menarik minyak tanah dari pasaran. Kalau pun
ada, pasti minyak tanah akan sangat mahal untuk dibeli. Lantas kondisi ini membuat
masyarakat perlahan-lahan terbiasa menggunakan LPG yang jauh lebih murah dan tidak
membebani negara dari sisi subsidi. Apa yang dilakukan pemerintah dengan menaikkan harga
Premium itu dapat dianalogikan seperti menaikkan harga minyak tanah tapi tidak
memberikan LPG 3 kg. Infrastruktur harus dibangun, dan tentu saja akan membutuhkan
biaya. Karena itu, untuk jangka panjang, profit yang didapatkan negara dari minyak harus
didepositokan untuk keperluan jangka panjang, bukan dihabiskan untuk kebijakan jangka
pendek.
Makna dari Indonesia sebagai Welfare State adalah memberikan kesejahteraan untuk
seluruh rakyat Indonesia, baik yang hidup saat ini maupun yang akan hidup di masa depan.
Karena itu generasi sekarang tidak boleh menikmati seluruh keuntungannya sekarang
melainkan sebagian keuntungan itu disimpan sehingga generasi mendatang dapat turut
menikmatinya. Keuntungan itu dapat disimpan dalam bentuk deposito negara atau untuk
membangun penguatan daya topang generasi mendatang seperti: infrastruktur, energi
terbarukan, fasilitas riset dan pendidikan, dan sebagainya. Hal ini dikenal dengan kebijakan
Petrolium Fund.
Jika dihitung dengan kondisi Indonesia yang sekarang memiliki cadangan minyak
sebesar 3,6 miliar barel dan harga minyak mentah indonesia / Indonesia Crude Price sebesar
US$ 100,19 per barel.
3,6 miliar barel * US$ 100,19 per barel * 85% jatah pemerintah = US$ 306,6 miliar
Dana sebesar itu dapat dijadikan aset yang dibukukan oleh perusahaan yang dibentuk,
katakanlah Indonesia Oil and Gas Comapny (IOGC) yang dikhususkan mengelola potensi
dana. Lalu kemudian IOGC dapat mengeluarkan obligasi (surat hutang) sebesar , katakanlah,
30% nilai aset = US$ 92 miliar. Dana itu dapat dimanfaatkan untuk membangun kilang baru,
diversifikasi energi, peningkatan fasilitas pendidikan, dan lain sebagainya.
Assets LMT
Country SWF name ($Billion) Inception index
UAE - Abu
Abu Dhabi Investment Authority 627 1976 5
Dhabi
Saudi Arabia SAMA Foreign Holdings 532.8 n/a 4
Kuwait Kuwait Investment Authority 342 1953 6
Russia National Welfare Fund 175.5 2008 5
Qatar Qatar Investment Authority 115 2005 5
UAE – Dubai Investment Corporation od Dubai 70 2006 4
International Petroleum
UAE – Abu
Investment 65.3 1984 9
Dhabi
Company
Libya Libyan Investment Authority 65 2006 1
Kazakhstan Kazakhstan National Fund 61.8 2000 8
Algeria Revenue Regulation Fund 56.7 2000 1
UAE -Abu
Mubadala Development Company 53.1 2002 10
Dhabi
US - Alaska Alaska Permanent Fund 45 1976 10
Iran National Development Fund of Iran 42 2011 5
Azerbaijan State Oil Fund 32.7 1999 10
Brunei Brunei Investment Agency 30 1983 1
US- Texas Texas Permanent School Fund 25.5 1854 9
Canada Alberta'sHeritage Fund 16.4 1976 9
Timor_leste Timor-Leste Petroleum Fund 11.8 2005 8
Sekedar perbandingan, Timor Leste yang sebenarnya merupakan pemain baru dalam
dunia perminyakan internasional telah menerapkan konsep Petroleum Fund sejak tahun 2005
dan sekarang aset pemerintah Timor Leste dari minyak adalah sebesar US$ 11,8 miliar.
Sedangkan Indonesia yang telah menjalankan kegiatan produksi minyak sejak zaman
penjajahan Belanda tidak memiliki aset selayaknya Timor Leste. Hal ini sangat disayangkan
karena jika saja Indonesia menerapkan Petroleum Fund, aset yang dimiliki Indonesia pastinya
jauh melebihi Timor Leste dan dapat dipakai untuk mensejahterakan rakyat.
VIII. Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah dalam
Kebijakan BBM Bersubsidi