Oleh :
KELOMPOK V
1. Enggar Prasetyo Aji NIM. 15242882
2. Septriyadi Nugraha NIM. 15242897
3. Mardhiyah Hayati NIM. 15242916
4. Zulfikar Ahmad NIM. 15242928
5. Dita Ika Setyabudi NIM. 14232842
A. Latar Belakang
Tahun 2018 adalah Tahun duka di Indonesia. Sejumlah Bencana Alam
dengan dampak besar terjadi secara beruntun pada Tahun ini. Salah satu
bencana dengan dampak besar yaitu Gempa yang mengguncang NTB dari 28
Juli dan disusul kemudian 5 Agustus 2018 lalu mengakibatkan meninggalnya
472 Orang dan sebanyak 417.529 Jiwa mengungsi, kerusakan bangunan
mencapai 74 ribu Unit. Ketika pemerintah sedang mulai menata Lombok, 28
September 2018 kembali terjadi gempa bumi yang disusul dengan adanya
likufaksi dan tsunami di tiga wilayah sekaligus, Kota Palu, Kabupaten
Donggala dan Kabupaten Sigi. Dampak bencana beruntun ini jauh lebih
dahsyat dari lombok, setidaknya data terakhir pada 08 Oktober 2018 , BNPB
korban meninggal Dunia 1.763 Jiwa, Korban Hilang 265 Jiwa, Korban
tertimbun 152 Jiwa, korban luka 2.632 jiwa total penduduk yang mengungsi
62.359 jiwa tersebar di 147 titik pengungsian dan total bangunan yang
mengalami kerusakan 66.926 rumah.1
Gempa bumi dapat menimbulkan bahaya likuifaksi yang dapat
merusakkan bangunan dan sarana infrastruktur khususnya di wilayah perkotaan
di Indonesia. Ancaman bahaya geologis khususnya peristiwa likuifaksi saat
gempabumi besar pada zona seismik atau jalur gempabumi merupakan sesuatu
yang dapat terjadi dan dapat menimbulkan kerusakan yang luas pada bangunan
dan sarana infrastruktur di wilayah perkotaan di Indonesia. Peristiwa likuifaksi
dapat menimbulkan amblesan, keruntuhan, tilting pada bangunan, retakan
tanah, kelongsoran dan lain-lain. Salah satu contoh dari pengaruh likuifaksi
adalah kerusakan-kerusakan yang dihasilkan selama gempabumi Bengkulu
2000, gempabumi Aceh 2004, gempabumi Nias 2005, gempabumi Yogyakarta
2006 dan yang baru saja terjadi adalah likuifaksi yang terjadi di Kota Palu,
Donggala dan Sigi pada Akhir September Tahun 2018. 2
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah masuk zona merah peta
1
Infografis Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Diunduh melalui laman bnpb.go.id pada
Rabu 17 Oktober 2018 Pukul 19.05
2
Soebowo Eko, Tohari Adrin & Sarah Dwi. 2009. Potensi Likuifaksi Akibat Gempabumi
Berdasarkan Data CPT dan N-SPT Di Daerah Patalan Bantul, Yogyakarta Jurnal Riset Geologi dan
Pertambangan Jilid 19 No. 2 (2009), 85-97.
rawan gempa bumi. Nomenklatur “zona merah” berarti wilayah tersebut rawan
bencana. Sewaktu-waktu bisa terjadi gempa.Sebagai wilayah dengan tingkat
kerawanan bencana yang sangat tinggi, Kota Palu seharusnya memiliki sistem
penanggulangan bencana atau sistem mitigasi yang memadai.
Mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi. Di antaranya, membuat
peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan lentur gempa, penanaman
pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat di rawan gempa. Mitigasi terkait dengan
kesiapsiagaan dan perencanaan terhadap cara merespons kejadian bencana.
Perencanaan dibuat berdasarkan bencana yang pernah terjadi dan bencana lain
yang mungkin akan terjadi.
Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata
Ruang dan Wilayah Kota Palu Tahun 2010- 2030 telah memasukkan kawasan
rawan bencana kedalam pemetaannya. Hal ini tentu bertujuan agar dapat
diminimalisir adanya dampak besar yang dapat ditimbulkan oleh potensi
bencana yang mengintai kota palu mengingat wilayah ini dilewati oleh sesar
aktif Palu-Koro. Akan tetapi pada kenyataannya, peristiwa 28 september 2018
lalu menunjukkan bahwa belum dimanfaatkannya Peta Rencana Tata Ruang
dan Wilayah sebagai salah satu “ Peta Mitigasi “ bencana di Kota palu dengan
besarnya dampak yang terjadi padahal seharusnya sudah dapat diminimalisir.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam mengenai “Analisis Pemanfaatan Peta RTRW terhadap Daerah
Rawan Kebencanaan ( Likuifaksi) “
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan mitigasi bencana di Kota Palu?
2. Bagaimana Analisis pemanfaatan Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah
sebagai upaya mitigasi bencana di Kota Palu ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pelaksanaan mitigasi bencana di Kota Palu.
2. Untuk mengetahui apakah peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah di Kota
Palu dapat dimanfaatkan sebagai dasar upaya mitigasi bencana di kota
Palu.
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH
3
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Palu . 2016. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kota Palu Tahun 2016-2021.
Kota Palu merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah dengan
wilayah seluas 395,06 kilometer persegi berada pada kawasan dataran
lembah Palu dan teluk Palu. Secara administratif batas-batas wilayah
Kota Palu adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala;
•Sebelah Selatan : Kecamatan Marawola dan Kecamatan Sigi
Biromaru, Kabupaten Sigi;
•Sebelah Barat :Kecamatan Kinovaro dan Kecamatan
Marawola Barat Kabupaten Sigi, dan Kecamatan Banawa,
Kabupaten Donggala;
•Sebelah Timur :Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong, dan
Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala.
Wilayah Kota Palu terbagi atas delapan kecamatan dan empat
puluh enam kelurahan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan
Mantikulore yaitu seluas 206,80 km² (52,35%) dan kecamatan terkecil
adalah Kecamatan Palu Timur yaitu seluas 7,71 km² (1,95%).
Kota Palu yang berada pada kawasan dataran lembah Palu dan
teluk Palu, secara astronomis terletak antara 0º,36” - 0º,56” Lintang
Selatan dan 119º,45” - 121º,1” Bujur Timur. Letak wilayah Kota Palu
menurut kecamatan tergambar pada peta Kota Palu sebagaimana
Gambar 1.1.
Sumber: Rencana Kawasan Pemukiman Tahun 2015
Gambar 1.1
Peta Administrasi Wilayah Kota Palu
3. Kondisi Topografi
Kondisi topografi Kota Palu adalah datar sampai bergelombang
dengan beberapa daerah yang berlembah. Wilayah Kota Palu memiliki
kemiringan antara 15-40 derajat seluas 20 %. Terdapat 0,05% wilayah
dengan kemiringan ˃ 40 derajat. Wilayah dengan kemiringan di atas 15
derajat termasuk dalam kategori curam sehingga perumahan maupun
aktivitas rumah tangga lainnya sulit untuk dilakukan pada areal tersebut.
4. Kondisi Geologi
Secara umum formasi geologi tanah di Kota Palu ini yang
dilaporkan SPRS menunjukkan bahwa formasi geologinya terdiri dari
batuan gunung berapi dan batuan terobosan yang tidak membeku (Inncous
Intrusiverocks). Disamping pula batuan-batuan metamorfosis dan sedimen.
Dataran lembah Palu diperkirakan cocok untuk pertanian intensif.
Geologi tanah dataran lembah Palu ini terdiri dari bahan-bahan alluvial
dan colluvial yang berasal dari metamorfosis yang telah membeku.
Disamping itu tanahnya kemungkinan bertekstur sedang.
Tabel 1.2
Penggunaan Lahan pada Kawasan Peruntukan Fungsional
Di Kota Palu
Bagian
Penamaan Fungsi Saat Ini
Wilayah
Kawasan Industri, Permukiman, Perdagangan ,
Kawasan Lindung, Hutan, Sawah Jasa Lainnya,
Zona I Z.I
Sarana Olahraga, Sarana Transportasi, Tegalan,
Semak Belukar, dan Kebun
Permukiman, Kebun, Semak Belukar, Kawasan
Industri, Kawasan Perdagangan, Kawasan
Zona II Z.II
Pendidikan, Sarana Kesehatan, Hutan, Sarana
Olahraga, Peternakan
Kawasan Tahura, Kawasan Lindung, Kawasan Hutan
Zona III Z.III Produksi Terbatas, Hutan Semak Belukar,
Permukiman, Kebun, Sawah
Permukiman, Perdagangan, Taman Kota, Pertanian,
Perkantoran, Kawasan Wisata, Sarana Kesehatan,
Zona IV Z.IV
Sarana Transportasi, IPLT, Kawasan Wisata Budaya,
Kawasan Peruntukan Lainnya.
Permukiman, Perdagangan, Kawasan Wisata,
Zona V Z.V Sarana Kesehatan, Kawasan Wisata Budaya,
Pertanian, Taman Kota, Sarana Transportasi, Kebun.
Kawasan Lindung, Hutan, Permukiman, Kebun,
Zona VI Z.VI
Tegalan, Sawah, Semak Belukar, Kawasan Wisata.
Sumber: RTRW Kota Palu,
2007
BAB III
PEMBAHASAN
4
Risna Widyaningrum. 2012. Laporan Hasil Penyelidikan Geologi Teknik Potensi Liquifaksi Daerah
Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
5
Op.cit
Mineral telah melaksanakan Penyelidikan Geologi Teknik Potensi
Liquifaksi Daerah Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Dari hasil penyelidikan
didapatkan Potensi Liquifaksi terhadap tata guna lahan yaitu :
Hasil perhitungan LPI, penurunan tanah dan perpindahan lateral
secara kuantitatif menghasilkan 3 kategori potensi liquifaksi setelah
dilakukan interpolasi Kriging. Kategori tersebut dibedakan berdasarkan
klasifikasi Iwasaki (1986) dalam Taufiq (2011) yang menggunakan nilai
LPI sebagai acuan, yaitu :
1. Potensi sangat tinggi
Probabilitas untuk periode ulang 50 tahun adalah sebesar lebih dari
54,44% yang terdapat pada lokasi S-01 (Kalukubula), S-05 (Birobuli),
S-06 (Tatura), S-12 (Sunju), S-17 (Tatura), S-20 (Lolu), S-24
(Kawatuna), S-25 (Kalukubula), S-28 (Lere), S-29 (Tatura), S-30
(Birobuli Selatan) yang berpotensi mengalami penurunan tanah lebih
dari 5 cm dan perpindahan lateral lebih dari 15 cm.
2. Potensi tinggi
Probabilitas untuk periode ulang 50 tahun adalah sebesar 11,90% -
54,44% yang terdapat pada lokasi S-02 (Lolu), S-03 (Besusu), S-04
(Talise), S-13 (Bayaoge), S-19 (Talise), S-21 (Tanamodindi), S-23
(Lasoani), S-26 (Petobo), yang berpotensi mengalami penurunan tanah
kurang dari 5 cm dan perpindahan lateral lebih dari 10 cm.
3. Potensi sangat rendah – rendah
Probabilitas untuk periode ulang 50 tahun adalah sebesar kurang dari
11,90% yang terdapat pada lokasi S-07 (Besusu Tengah), S-08
(Kalukubula), S-09 (Dolo Kotarinau), S-10 (Kotapulu), S-11 (Baliase),
S-14 (Tatura), S-15 (Lolu Selatan), S-16 (Besusu Barat), S-18
(Birobuli), S-22 (Birobuli Utara), S-27 (Kamoji) yang berpotensi
mengalami penurunan tanah kurang dari 5 cm dan perpindahan lateral
lebih dari 10 cm.
Liquifaksi akan menjadi masalah jika terjadi pada kawasan budidaya
seperti area pemukiman, prasarana fisik dan industri. Masalah tersebut
adalah efek penurunan dan perpindahan lateral tanah yang mengenai
konstruksi bangunan fisik seperti tanah pondasi pada pemukiman, industri,
jembatan dsb yang menurunkan tingkat kestabilannya. Berdasarkan hasil
tumpang susun antara peta tata guna lahan (BAPPEDA, 2011) dengan
kontur nilai LPI. Area pemukiman yang perlu diperhatikan adalah
permukiman yang dilewati oleh kontur nilai LPI lebih dari 5.
1.2 Potensi Kegempaan di Kota Palu
Secara geografis dataran Kota Palu terbentuk karena adanya proses
pengangkatan (graben). Proses graben yang membuat beberapa
permukaan tanah terangkat cukup tinggi (membentuk bukit sampai
pegunungan) seperti yang terlihat di sepanjang pantai Teluk Palu bagian
barat. Wilayah Kota Palu dicirikan oleh bentuk utama berupa lembah
(graben) dimana pusat Kota terletak di bagian tengah dari lembah
tersebut. Orientasi lembah ini mengikuti arah utama jalur pegunungan di
kedua sisinya, yaitu berarah relatif utara-selatan .6
Dari aspek kegempaan, sistem patahan di bagian tengah Sulawesi
dimana Kota Palu terdapat terdiri dari kompleks zona patahan yang
berletak dalam pertemuan lempeng Pasifik, Indo-Australia dan lempeng
Eurasia. Dari perhitungan terhadap pergerakan patahan Palu-Koro ini
diperoleh data kisaran pergerakan lempeng, yaitu 35 ± 8 mm per tahun.
Sejarah gempa bumi di bagian tengah Sulawesi telah tercatat sejak
abad ke-19, dimana beberapa diantaranya mempunyai magnitude yang
besar, diantaranya tahun 1968 (6,7 SR), 1993 (5,8 SR) dan 2005 (6,2 SR).
Kegempaan di Sulawesi ini juga ditandai dengan frekuensi tsunami yang
tinggi di bagian Selat Makassar, sebagaimana yang terjadi pada tahun
1927 di Teluk Palu dengan ketinggian gelombang mencapai 15 m, tahun
1968 di Mapaga (10 m) dan tahun 1996 di Simuntu - Pangalaseang (1 -
3,4 m).
Menurut Prof. Ir. Masyhur Irsyam, gempa Indonesia dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa zona, gempa yang terjadi di wilayah
Palu termasuk dalam tipe zona perubahan (transform zone) yaitu gempa
yang diakibatkan karena dua lempeng tektonik bergerak saling
menggelangsar (slide each other), sejajar namun berlawanan arah.
Keduanya tidak saling memberai maupun saling menumpu. Gempa yang
terjadi pada zona ini umumnya merupakan gempa pada kerak dangkal
6
Loc.cit
(shallow crustal earthquakes) yang diakibatkan oleh Sesar Palu-Koro dan
Sesar Matano. Diperkirakan intensitas gempa bumi yang merusak adalah
dengan magnitude lebih besar dari 6,0 SR.
7
Minimnya Mitigasi Bencana di Kota Palu. Diakses dari laman
https://indopos.co.id/read/2018/10/02/151197/minim-mitigasi-bencana. pada 22 oktober 2018
di bangunan tower Bandara Mamuju, dan pergeseran tiang tower di
Bandara Liwuk Bangai, namun masih berfungsi.
Sejumlah pelabuhan mengalami kerusakan. Pelabuhan Pantoloan,
Kota Palu, rusak paling parah. Quay crane atau kran peti kemas yang
biasanya digunakan untuk bongkar muat peti kemas roboh. Di Pelabuhan
Wani, bangunan dan dermaga mengalami kerusakan. KM Sabuk Nusantara
39 terhempas tsunami ke daratan sejauh 70 meter dari dermaga
Dua wilayah di Kota palu yang terkena Likuifaksi akibat Gempa 7.4
SR tersebut antara lain Petobo dan Balaroa. Di Petobo luasan terdampak
likuifaksi bahkan mencapai 180 hektar, likuifaksi bahkan membuat wilayah
tersebut diperkirakan tersedot 20 meter ke dalam tanah, bangunan rusak
tercatat sebanyak 2.050, dan bangunan mungkin rusak 168.
Menurut Dr. Sutopo Purwo, Kepala Pusat Data, Informasi, dan
Hubungan Masyarakat di BNPB mengatakan, wilayah terdampak likuifaksi
tidak akan kembali dijadikan lahan pemukiman melainkan akan diusulkan
untuk digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau pada Tata Ruang Wilayah
Kota Palu pasca Gempa.
Tabel 1.3
Tabel penyusunan jenis kegiatan mitigasi dan tujuannya
JENIS KEGIATAN
TUJUAN MITIGASI
MITIGASI
Perencanaan tata guna Pengaturan pembangunan di
lahan lokasi yang aman
Penguatan terhadap tekanan
Building codes
bahaya
Pembatasan terhadap
Pengaturan zonasi
penggunaan area berbahaya
Penguatan infrastruktur
Pengaturan subdivisi
terhadap bahaya
Analisis Bahaya /
Identifikasi area berbahaya
Pemetaan Risiko
Sistem informasi Peningkatan kesadaran
bahaya terhadap risiko
Peningkatan pengetahuan
Edukasi publik
mengenai bencana
Pemantauan implementasi
Pemantauan / inspeksi
peraturan
Pengambilalihan lahan Pengalihan fungsi menjadi
yang berbahaya ruang terbuka/rekreasi
Pemindahan kondisi rentan
Relokasi
ke lokasi yang aman
Insentif dan disinsentif Penciptaan motivasi untuk
pajak pindah ke lokasi aman
Pemberian kompensasi
Asuransi bencana
8
Rachmatullah.Michael, Octavianus H.A.Rogi, Sonny Tilaar. Kebijakan Pola Ruang dan Struktur
Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Banjir. ( Studi Kasus : Kota Palu) . Jurnal Universitas Sam
Ratulangi. Vol 3 No 3 Tahun 2016
terhadap kerugian ekonomi
B.2. Analisis pemanfaatan Peta RTRW kota Palu sebagai upaya mitigasi
bencana
Dalam Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu Tahun 2010-2030, sebenarnya
telah ditetapkan daerah-daerah yang masuk kedalam wilayah rawan bencana.
Kawasan rawan bencana alam di Kota Palu terdiri dari kawasan rawan tanah
longsor, kawasan rawan gelombang pasang/tsunami, dan kawasan rawan banjir.
Kawasan rawan tanah longsor terdapat di kecamatan Palu Barat dan
Kecamatan Palu Timur. Kawasan rawan gelombang pasang/tsunami hampir
diseluruh wilayah kota Palu.
Akan tetapi, pada kenyataannya Tata Ruang Kota Palu tidak sesuai dengan
yang tertuang dalam dokumen resmi tersebut. Banyak ketidak sesuaian antara
Penggunaan Lahan secara real dengan yang seharusnya sesuai dengan Tata
Ruang dan Kerawanan bencana. Beberapa daerah yang telah disebutkan
termasuk dalam daerah rawan bencana nyatanya tetap digunakan sebagai area
Pemukiman dan Peruntukan aktifikas ekonomi, pendidikan dll
Pada Tahun 2012 Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan,
Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebenarnya
telah melaporkan hasil penyelidikannya mengenai temuan potensi terjadinya
likuifaksi di wilayah Kota Palu. Hasilnya adalah, bahwa hampir seluruh
wilayah kota palu berpotensi terjadi likuifaksi baik dari tingkat rnendah hingga
tingkat sangat tinggi. Tetapi tidak mendapatkan respon yang baik dari
pemerintah kota palu.
Tidak adanya respon terhadap hasil penyelidian tim Badan geologi
tersebut berlanjut pada tidak adanya respon positif dari Pemerintah kota palu
terhadap temuan dari Tim Ekspedisi Palu – Koro pada 2017 silam tentang
potensi kerusakan wilayah akibat bencana yang mengancam Kota Palu.
Sehingga tidak ada upaya mitigasi bencana dari pemerintah setempat.
Sehingga akibatnya adalah, ketika bencana akhirnya terjadi, dalam hal ini
gempa bumi dan likuifaksi, maka terjadi kerusakan yang sangat parah terutama
pada wilayah-wilayah yang tidak sesuai tersebut terkena dampak yang paling
besar. Seperti yang terjadi pada Petobo. Dalam dokumen hasil penyelidikan
kementerian ESDM tahun 2012 telah disebutkan bahwa Petobo merupakan
daerah dengan tingkat potensi likuifaksi yang tinggi dan dapat mengalami
penurunan tanah hingga 5 meter dan pergeserah tanah sejauh 10 meter. Pada
akhirnya, akibat likuifaksi yang terjadi pada 28 September 2018
mengakibatkan wilayah Petobo tertelan hingga lebih dari 5 meter bahkan
diperkirakan hingga nyaris 20m.
Akibat kurangnya upaya mitigasi bencana dari pemerintah daerah dan juga
minimnya penyuluhannya kepada masyarakat, maka terjadi kepanikan dan
chaos sesaat setelah gempa dan likuifaksi terjadi dan memakan banyak korban
jiwa. Bagaimana kesiapan masyarakat dalam mengadapi bencana di Kota Palu
sangat terlihat sekali begitu minim, sehingga kegaduhan mengenai penjarahan
harus terjadi akibat psikologis masyarakat yang tidak siap.
Analisis Hasil Overlay antara Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan
Peta Rawan Bencana Kota Palu.
Keterangan :
Gambar 1.3
Peta Hasil Overlay Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah dengan Peta
Rawan Bencana
Tabel 1. 4
Luas dan Persentase Analissi Overlay RTRW dengan Kerawanan Bencana Kota
Palu
Dari hasil overlay Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu dan
Peta Rawan Bencana diperoleh data bahwa wilayah Kota Palu hanya terbagi
menjadi 2 kawasan rawan bencana gempa bumi, yaitu Kawasan Rawan
Bencana Gempa Bumi Menengah dan Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi
Tinggi. Sama sekali tidak terdapat kawasan yang memiliki tingkat kerawanan
bencana yang rendah. Artinya, hampir di seluruh wilayah palu merupakan
kawasan yang wajib dilakukan penyuluhan soal mitigasi bencana.
Pada Kawasan Rawan Bencana Menengah hasil overlay menunjukan
bahwa terdapat 3 jenis pola ruang menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah
yaitu hutan lindung, hutan produksi terbatas dan kawasan suaka alam dan cagar
budaya. Pola ruang sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang paling luas
adalah hutan lindung dengan luas 3147.063 Hektar atau sebesar 9.009% dari
luas total wilayah Kota Palu. Untuk peruntukan pola ruang hutan produksi
terbatas dengan luas 1316.509 Hektar dan peruntukan pola ruang kawasan
suaka alam dan cagar budaya dengan luas 1.411 Hektar.
Pada kawasan rawan bencana gempa bumi tinggi hasil overlay
menunjukan bahwa terdapat berbagai pola ruang antara lain hutan lindung,
hutan produksi terbatas, kawasan industry, kawasan perdagangan dan jasa,
perkantoran, perlindungan setempat, perumahan kepadatan
rendah/sedang/tinggi, kawasan peruntukan lainnya, kawasan rawan bencana,
kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan Ruang Terbuka Hijau. Pola ruang
yang tertinggi pada kawasan rawan bencana tinggi adalah Kawasan perumahan
kepadatan rendah dengan luas 8587.351 Hektar atau sebesar 24.582% dari
seluruh wilayah Kota Palu. Pola ruang yang terendah pada kawasan rawan
bencana tinggi adalah Kawasan perkantoran dengan luas 102.401 Hektar atau
0.293 % dari seluruh wilayah Kota Palu.
Apabila diperhatikan dari tabel tersebut dapat diperoleh data bahwa pola
ruang yang menunjukan kawasan rawan bencana hanya 2022.177 atau 5.758%
dari total wilayah Kota Palu, sedangkan sisanya berbagai peruntukan budi daya
yang sangat bervariasi berada pada kawasan rawan bencana gempa bumi
tinggi. Dapat disimpulkan bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang dan
Wilayah Kota Palu masih belum sungguh- sungguh dapat mengakomodir aspek
kerawanan gempa bumi.
Kawasan rawan bencana dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah kota
pau kemungkinan hanyalah menjadi “ prasyarat “ untuk kelengkapan suatu
pemetaan tata kelola keruangan wilayahnya. Kemungkinan memang tidak ada
pekerjaan lapang yang diterjunkan secara real di lapangan dalam
penyusunannya, sehingga ketika diintegrasikan dengan kondisi real di lapangan
terdapat sangat banyak ketidak sesuaian fungsi kawasan .
Hasil Analisis Overlay antara Peta Daerah Terdampak Likuifaksi dengan
Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu.
Keterangan :
Gambar 1.4
Peta Hasil Overlay antara Peta Lokasi terdampak Likuifaksi dengan Peta
Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kota Palu
Tabel 1.5
ANALISIS DAERAH TERKENA LIQUIFAKSI KOTA PALU DAN
KABUPATEN SIGI
9
Loc. cit
Tidak adanya upaya yang maksimal dari pemerintah Kota palu terhadap
mitigasi bencana juga merupakan dampak dari minimnya respon pemerintah
kota dengan informasi-informasi berkenaan dengan bencana yang mengancam
wilayahnya yang telah disampaikan oleh pemerintah pusat lewat berbagai
pihak ( Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam dan Tim
Ekspedisi Palu- Koro serta sejumlah ilmuan yang melakukan penelitian
terhadap keberadaan sesar aktif palu-koro ) sikap abai pemerintah kota palu
terhadap mitigasi bencana yang seharusnya dilakukan secara maksimal di
wilayahnya ini kemudian menyebabkan begitu banyak korban jiwa dan
rusaknya puluhan ribu infrastruktur penting dan tempat tinggal penduduknya
dalam peristiwa gempa 28 September 2018 silam.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil overlay Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu
dan Peta Rawan Bencana diperoleh data bahwa wilayah Kota Palu hanya
terbagi menjadi 2 kawasan rawan bencana gempa bumi, yaitu Kawasan Rawan
Bencana Gempa Bumi Menengah dan Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi
Tinggi. Atau bisa dikatakan bahwa seluruh wilayah Kota pal masuk dalam
kawasan rawan bencana . Padahal dalam Peta Tata Ruang dan Wilayah Kota
Palu diketahui bahwa pola ruang yang menunjukan kawasan rawan bencana
hanya 2022.177 hektar atau 5.758% dari total wilayah Kota Palu, sedangkan
sisanya berbagai peruntukan budi daya yang sangat bervariasi berada pada
kawasan rawan bencana gempa bumi tinggi.
Dari Hasil Overlay Peta Lokasi Bencana Likuifaksi dengan Peta
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu didapatkan data bahwa pada
kenyataanya, semua lokasi terdampak likuifaksi ternyata peruntukan pola Tata
Ruangnya adalah untuk pemukiman. Padahal seperti yang kita tahu, bahwa
untuk tata kelola wilayah yang baik, pada daerah yang berpotensi terdampak
bencana likuifaksi sebaiknya tidak digunakan sebagai pemukiman, karena
dampak dari likuifaksi sangat merusak terutama pada tanah dan bangunan
yang ada di atasnya, dan berpotensi mengancam jiwa.
B. Saran
1. Likuifaksi merupakan bencana yang sangat bisa merusak kondisi
infrastruktur dan mengancam keselamatan warga sehingga pengetahuan
terhadap potensi dan kerawanan likuifaksi sangat penting terutama
dalam merencanakan tata ruang khususnya di daerah Palu dan
sekitarnya yang merupakan zona merah rawan bencana.
2. Perlu dilakukan pemetaan mikrozonasi gempa dan likuifaksi sehingga
sebaran daerah gempa dan likuifaksi dapat dipetakan secara detil. Peta
mikrozonasi tersebut digunakan sebagai evaluasi untuk segera
memperbaiki penataan ruang kota palu pasca gempa dan likuifaksi.
3. Pemerintah daerah Kota Palu harus lebih fokus dan memaksimalkan
upaya mitigasi bencana lewat Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Edukasi Mitigasi Bencana harus diterapkan di Dunia Pendidikan sejak
dini. Jika memungkinkan mitigasi bencana sebaiknya dimasukkan
dalam kurikulum pendidikan sejak usia dini agar anak-anak sebagai
generasi penerus mampu lebih baik dalam menghadapi bencana.
4. Perlunya pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam rangka
Siaga Bencana. Seperti Rumah Tanah Gempa seperti yang dilakukan
oleh Jepang.
DAFTAR PUSTAKA