Anda di halaman 1dari 31

TUGAS MATA KULIAH

PENATAAN PERTANAHAN BERBASIS KEBENCANAAN


“ Analisis Pemanfaatan Peta RTRW sebagai upaya Mitigasi Bencana
di Kota Palu”

Oleh :
KELOMPOK V
1. Enggar Prasetyo Aji NIM. 15242882
2. Septriyadi Nugraha NIM. 15242897
3. Mardhiyah Hayati NIM. 15242916
4. Zulfikar Ahmad NIM. 15242928
5. Dita Ika Setyabudi NIM. 14232842

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/


BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tahun 2018 adalah Tahun duka di Indonesia. Sejumlah Bencana Alam
dengan dampak besar terjadi secara beruntun pada Tahun ini. Salah satu
bencana dengan dampak besar yaitu Gempa yang mengguncang NTB dari 28
Juli dan disusul kemudian 5 Agustus 2018 lalu mengakibatkan meninggalnya
472 Orang dan sebanyak 417.529 Jiwa mengungsi, kerusakan bangunan
mencapai 74 ribu Unit. Ketika pemerintah sedang mulai menata Lombok, 28
September 2018 kembali terjadi gempa bumi yang disusul dengan adanya
likufaksi dan tsunami di tiga wilayah sekaligus, Kota Palu, Kabupaten
Donggala dan Kabupaten Sigi. Dampak bencana beruntun ini jauh lebih
dahsyat dari lombok, setidaknya data terakhir pada 08 Oktober 2018 , BNPB
korban meninggal Dunia 1.763 Jiwa, Korban Hilang 265 Jiwa, Korban
tertimbun 152 Jiwa, korban luka 2.632 jiwa total penduduk yang mengungsi
62.359 jiwa tersebar di 147 titik pengungsian dan total bangunan yang
mengalami kerusakan 66.926 rumah.1
Gempa bumi dapat menimbulkan bahaya likuifaksi yang dapat
merusakkan bangunan dan sarana infrastruktur khususnya di wilayah perkotaan
di Indonesia. Ancaman bahaya geologis khususnya peristiwa likuifaksi saat
gempabumi besar pada zona seismik atau jalur gempabumi merupakan sesuatu
yang dapat terjadi dan dapat menimbulkan kerusakan yang luas pada bangunan
dan sarana infrastruktur di wilayah perkotaan di Indonesia. Peristiwa likuifaksi
dapat menimbulkan amblesan, keruntuhan, tilting pada bangunan, retakan
tanah, kelongsoran dan lain-lain. Salah satu contoh dari pengaruh likuifaksi
adalah kerusakan-kerusakan yang dihasilkan selama gempabumi Bengkulu
2000, gempabumi Aceh 2004, gempabumi Nias 2005, gempabumi Yogyakarta
2006 dan yang baru saja terjadi adalah likuifaksi yang terjadi di Kota Palu,
Donggala dan Sigi pada Akhir September Tahun 2018. 2
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah masuk zona merah peta

1
Infografis Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Diunduh melalui laman bnpb.go.id pada
Rabu 17 Oktober 2018 Pukul 19.05
2
Soebowo Eko, Tohari Adrin & Sarah Dwi. 2009. Potensi Likuifaksi Akibat Gempabumi
Berdasarkan Data CPT dan N-SPT Di Daerah Patalan Bantul, Yogyakarta Jurnal Riset Geologi dan
Pertambangan Jilid 19 No. 2 (2009), 85-97.
rawan gempa bumi. Nomenklatur “zona merah” berarti wilayah tersebut rawan
bencana. Sewaktu-waktu bisa terjadi gempa.Sebagai wilayah dengan tingkat
kerawanan bencana yang sangat tinggi, Kota Palu seharusnya memiliki sistem
penanggulangan bencana atau sistem mitigasi yang memadai.
Mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi. Di antaranya, membuat
peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan lentur gempa, penanaman
pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat di rawan gempa. Mitigasi terkait dengan
kesiapsiagaan dan perencanaan terhadap cara merespons kejadian bencana.
Perencanaan dibuat berdasarkan bencana yang pernah terjadi dan bencana lain
yang mungkin akan terjadi.
Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata
Ruang dan Wilayah Kota Palu Tahun 2010- 2030 telah memasukkan kawasan
rawan bencana kedalam pemetaannya. Hal ini tentu bertujuan agar dapat
diminimalisir adanya dampak besar yang dapat ditimbulkan oleh potensi
bencana yang mengintai kota palu mengingat wilayah ini dilewati oleh sesar
aktif Palu-Koro. Akan tetapi pada kenyataannya, peristiwa 28 september 2018
lalu menunjukkan bahwa belum dimanfaatkannya Peta Rencana Tata Ruang
dan Wilayah sebagai salah satu “ Peta Mitigasi “ bencana di Kota palu dengan
besarnya dampak yang terjadi padahal seharusnya sudah dapat diminimalisir.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam mengenai “Analisis Pemanfaatan Peta RTRW terhadap Daerah
Rawan Kebencanaan ( Likuifaksi) “

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan mitigasi bencana di Kota Palu?
2. Bagaimana Analisis pemanfaatan Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah
sebagai upaya mitigasi bencana di Kota Palu ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pelaksanaan mitigasi bencana di Kota Palu.
2. Untuk mengetahui apakah peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah di Kota
Palu dapat dimanfaatkan sebagai dasar upaya mitigasi bencana di kota
Palu.

BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH

A. Kondisi Umum Wilayah Bencana3


1. Luas dan Batas Administratif

3
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Palu . 2016. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kota Palu Tahun 2016-2021.
Kota Palu merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah dengan
wilayah seluas 395,06 kilometer persegi berada pada kawasan dataran
lembah Palu dan teluk Palu. Secara administratif batas-batas wilayah
Kota Palu adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala;
•Sebelah Selatan : Kecamatan Marawola dan Kecamatan Sigi
Biromaru, Kabupaten Sigi;
•Sebelah Barat :Kecamatan Kinovaro dan Kecamatan
Marawola Barat Kabupaten Sigi, dan Kecamatan Banawa,
Kabupaten Donggala;
•Sebelah Timur :Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong, dan
Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala.
Wilayah Kota Palu terbagi atas delapan kecamatan dan empat
puluh enam kelurahan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan
Mantikulore yaitu seluas 206,80 km² (52,35%) dan kecamatan terkecil
adalah Kecamatan Palu Timur yaitu seluas 7,71 km² (1,95%).

2. Letak, Kondisi Geografis

Kota Palu yang berada pada kawasan dataran lembah Palu dan
teluk Palu, secara astronomis terletak antara 0º,36” - 0º,56” Lintang
Selatan dan 119º,45” - 121º,1” Bujur Timur. Letak wilayah Kota Palu
menurut kecamatan tergambar pada peta Kota Palu sebagaimana
Gambar 1.1.
Sumber: Rencana Kawasan Pemukiman Tahun 2015
Gambar 1.1
Peta Administrasi Wilayah Kota Palu

Kota Palu berada di sekitar garis Khatulistiwa terdiri dari 46 (empat


puluh enam) kelurahan. Sebagian besar kelurahan berada pada daratan
lembah Palu yaitu sebanyak 29 (dua puluh sembilan) kelurahan, 17
(tujuh belas) kelurahan lainnya berada di sepanjang Pantai Teluk Palu.

3. Kondisi Topografi
Kondisi topografi Kota Palu adalah datar sampai bergelombang
dengan beberapa daerah yang berlembah. Wilayah Kota Palu memiliki
kemiringan antara 15-40 derajat seluas 20 %. Terdapat 0,05% wilayah
dengan kemiringan ˃ 40 derajat. Wilayah dengan kemiringan di atas 15
derajat termasuk dalam kategori curam sehingga perumahan maupun
aktivitas rumah tangga lainnya sulit untuk dilakukan pada areal tersebut.

Sumber: BPS, Kota Palu Dalam Angka, Tahun 2016


Gambar 1.2
Kondisi Kemiringan Wilayah Kota Palu

4. Kondisi Geologi
Secara umum formasi geologi tanah di Kota Palu ini yang
dilaporkan SPRS menunjukkan bahwa formasi geologinya terdiri dari
batuan gunung berapi dan batuan terobosan yang tidak membeku (Inncous
Intrusiverocks). Disamping pula batuan-batuan metamorfosis dan sedimen.
Dataran lembah Palu diperkirakan cocok untuk pertanian intensif.
Geologi tanah dataran lembah Palu ini terdiri dari bahan-bahan alluvial
dan colluvial yang berasal dari metamorfosis yang telah membeku.
Disamping itu tanahnya kemungkinan bertekstur sedang.

5. Kondisi Hidrologi dan Klimatologi


Kota Palu merupakan wilayah yang memiliki karekteristik yang
spesifik, sehingga berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang
mempunyai dua musim. Kota Palu tidak dapat digolongkan sebagai daerah
musim atau disebut sebagai non zona musim.
Kota Palu memiliki karakter klimatologi yang spesifik karena Kota
Palu tidak dapat digolongkan daerah musim atau biasa disebut Non Zona
Musim. Kondisi iklim Kota Palu dari tahun ketahun selama 5 tahun
terakhir cukup stabil, namun pada Tahun 2015 sedikit mengalami
perubahan yang cukup berarti. Perubahan yang cukup besar terjadi pada
perubahan curah hujan. Curah hujan terus mengalami penurunan setiap
tahunnya, dari rata-rata 71,8 mm pada Tahun 2011 menjadi rata-rata 41,06
pada Tahun 2015. Berikut ini gambaran keadaan iklim rata-rata Kota Palu
menurut suhu, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin.
Suhu udara di Kota Palu selama lima tahun terakhir sedikit
mengalami peningkatan, dari rata-rata 27,6°C Pada Tahun 2011 menjadi
28,37°C pada Tahun 2015. Kelembaban udara mengalami penurunan,
dimana pada Tahun 2011 rata-rata 76,1% menjadi 72,51% pada Tahun
2015. Kecepatan angin terus mengalami peningkatan, dimana pada Tahun
2011 rata-rata 3,00 knots menjadi 4,53 knots pada Tahun 2015. Arah angin
di Kota Palu selama lima tahun terakhir umumnya bertiup dari arah Barat
Laut kecuali pada Tahun 2011 angin bertiup umumnya dari arah Utara.

B. Penggunaan Lahan dan Rencana Pola Tata Ruang Wilayah Bencana


1. Penggunaan Lahan
Rencana pola ruang Kota Palu mencakup rencana pengembangan
kawasan lindung dan kawasan budidaya pada kawasan daratan seluas ±
39.504 ha dan laut seluas ± 10.460 ha. Klasifikasi pola ruang wilayah Kota
Palu terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya, sebagai berikut:
a. Kawasan Lindung Kota Palu seluas ± 22.290 ha yang terdiri atas:
 Hutan lindung;
 Kawasan perlindungan setempat, yang meliputi sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar mata air;
 Ruang terbuka hijau (RTH) kota, yang antara lain meliputi taman
RT, taman RW, taman kota dan permakaman;
 Kawasan suaka alam dan cagar budaya;
 Kawasan rawan bencana alam, yang meliputi kawasan rawan tanah
longsor, kawasan rawan gelombang pasang dan kawasan rawan
banjir dan kawasan lindung lainnya.
b. Kawasan budidaya Kota Palu meliputi kawasan budidaya wilayah
darat dengan luas ± 17.216 ha dan Kawasan Budi Daya wilayah laut
dengan luas ± 10.460 ha yang terdiri atas :
• Kawasan perumahan yang dapat dirinci, meliputi perumahan dengan
kepadatan tinggi, perumahan dengan kepadatan sedang, dan
perumahan dengan kepadatan rendah;
• Kawasan perdagangan dan jasa, yang diantaranya terdiri atas pasar
tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern;
• Kawasan perkantoran yang diantaranya terdiri atas perkantoran
pemerintahan dan perkantoran swasta;
• Kawasan industri, yang meliputi industri rumah tangga/kecil dan
industri ringan;
• Kawasan pariwisata, yang diantaranya terdiri atas pariwisata budaya,
pariwisata alam, dan pariwisata buatan;
• Kawasan ruang terbuka non hijau;
• Kawasan ruang evakuasi bencana meliputi ruang terbuka atau ruang-
ruang lainnya yang dapat berubah fungsi menjadi melting point ketika
bencana terjadi;
• Kawasan peruntukan ruang bagi kegiatan sektor informal; dan
Kawasan peruntukan lainnya, meliputi antara lain: pertanian,
pertambangan (disertai persyaratan yang ketat untuk pelaksanaan
penambangannya), pelayanan umum (pendidikan, kesehatan,
peribadatan, serta keamanan dan keselamatan), militer, dan lain-lain
sesuai dengan peran dan fungsi kota.
c. Kawasan Ruang Terbuka Hijau ( RTH )
Berdasarkan Perda Kota Palu Nomor 16 Tahun 2011 tentang RTRW
Tahun 2010-2030, bahwa Rencana kawasan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Kota Palu terdiri atas RTH publik dan RTH privat.
c.1. RTH publik
Ruang Terbuka Hijau publik yang telah ada di Kota Palu meliputi
kawasan seluas kurang lebih 1.833 hektar atau sekitar kurang lebih
4,64 persen dari luas wilayah Kota Palu yang meliputi:
• Taman kota yang terdistribusi di Kecamatan Palu Timur, Palu
Selatan, dan Palu Barat, dengan luas kurang lebih 7,39 hektar;
• Hutan kota kurang lebih seluas 395,56 hektar yang meliputi
wilayah Kecamatan Palu Timur;
• Pemakaman umum dan Taman Makam Pahlawan seluas kurang
lebih 91,39 hektar yang terdistribusi di Kecamatan Palu Utara,
Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan Palu
Barat;
• Arboretum di Kelurahan Talise, Kecamatan Palu Timur seluas
kurang lebih 95 hektar;
• Daerah penyangga Tahura di Kelurahan Poboya seluas kurang
lebih 21,64 hektar;
• Daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Barat seluas kurang
lebih 208,40 hektar;
• Daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Timur seluas kurang
lebih 134,41 hektar;
• Daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Utara seluas kurang
lebih 327,69 hektar;
• Daerah penyangga kawasan industri hilir di Kecamatan Palu Timur
seluas kurang lebih 112,79 hektar;
• Daerah penyangga kawasan industri hilir di Kecamatan Palu
Selatan seluas kurang lebih 135,81 hektar;
• Daerah penyangga kawasan perkandangan ternak di Kecamatan
Palu Selatan seluas kurang lebih 94,25 hektar;
• Daerah penyangga KKOP di sekitar Bandara Mutiara Kelurahan
Birobuli Utara Kecamatan Palu Selatan seluas 127,17 hektar;
• Jalur hijau pada sepanjang ruas jalan di Kota Palu seluas 2,15
hektar; dan
• Lapangan terbuka hijau terdapat di Kecamatan Palu Utara,
Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan Palu
Barat seluas kurang lebih 79,34 hektar.

c.2. RTH Privat


Sedangkan RTH privat meliputi pekarangan rumah tinggal dan
halaman perkantoran. Rencana pengembangan RTH Kota Palu untuk
mencapai 30,10 persen dari luas wilayah kota yaitu seluas 11.889,74
hektar, yang terdiri dari 20,00 persen RTH Publik dan 10,10 persen
RTH Privat meliputi:
• Pengembangan taman RT dan RW yang akan didistribusikan pada
pusat unit-unit pengembangan perumahan;
• Pemanfaatan halaman depan perkantoran pemerintahan dan swasta
sebagai taman publik;
• Pengembangan taman kota yang akan diditribusikan di setiap
kelurahan dan kecamatan pada wilayah Kota Palu;
• Pengembangan median dan pedestrian ruas jalan di Kota Palu sebagai
ruang terbuka hijau;
• Pengembangan ruang terbuka hijau pada Kawasan Industri Palu di
Kecamatan Palu Utara berupa taman lingkungan, taman pada pedestrian
dan median jalan kurang lebih seluas kurang lebih 300 hektar;
• Pengembangan agro wisata di Kelurahan Lambara Kecamatan Palu
Utara seluas kurang lebih 150 hektar;
• Pengembangan hutan kota di Kelurahan Kawatuna Kecamatan Palu
Selatan seluas kurang lebih 100 hektar dan kebun raya di Kecamatan
Palu Utara seluas kurang lebih 200 hektar;
• Pengembangan daerah sempadan SUTT di Kecamatan Palu Utara dan
Palu Timur seluas kurang lebih 55,18 hektar;
• Pengembangan Hutan Kota di Kecamatan Palu Timur seluas kurang
lebih 612 hektar;
• Pengembangan daerah KKOP disekitar Bandara Mutiara Palu menjadi
Ruang Terbuka Hijau seluas kurang lebih 165,3 hektar;
• Pengembangan fungsi-fungsi kawasan lindung lainnya menjadi ruang
terbuka hijau yang meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar
mata air, sempadan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), kawasan
rawan bencana dan lindung geologi kota Palu.

2. Potensi Pengembangan Wilayah


Pengembangan wilayah Kota Palu berdasarkan pada revisi Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Berdasarkan RTRW
tersebut, ditentukan penataan penggunaan lahan di Kota Palu
sebagaimana digambarkan pada peta penggunaan lahan dalam Gambar
1.2

Sumber: RTRW Kota Palu, Tahun 2011


Gambar 1.2
Peta Penggunaan Lahan di Kota Palu
Penentuan penggunaan lahan di Kota Palu dibagi ke dalam kawasan
fungsional (wilayah keputusan) berlandaskan kepada enam zona yang
dibagi ke dalam 21 kawasan. Adapun pembagian kawasan tersebut
diuraikan secara rinci dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2
Penggunaan Lahan pada Kawasan Peruntukan Fungsional
Di Kota Palu

Bagian
Penamaan Fungsi Saat Ini
Wilayah
Kawasan Industri, Permukiman, Perdagangan ,
Kawasan Lindung, Hutan, Sawah Jasa Lainnya,
Zona I Z.I
Sarana Olahraga, Sarana Transportasi, Tegalan,
Semak Belukar, dan Kebun
Permukiman, Kebun, Semak Belukar, Kawasan
Industri, Kawasan Perdagangan, Kawasan
Zona II Z.II
Pendidikan, Sarana Kesehatan, Hutan, Sarana
Olahraga, Peternakan
Kawasan Tahura, Kawasan Lindung, Kawasan Hutan
Zona III Z.III Produksi Terbatas, Hutan Semak Belukar,
Permukiman, Kebun, Sawah
Permukiman, Perdagangan, Taman Kota, Pertanian,
Perkantoran, Kawasan Wisata, Sarana Kesehatan,
Zona IV Z.IV
Sarana Transportasi, IPLT, Kawasan Wisata Budaya,
Kawasan Peruntukan Lainnya.
Permukiman, Perdagangan, Kawasan Wisata,
Zona V Z.V Sarana Kesehatan, Kawasan Wisata Budaya,
Pertanian, Taman Kota, Sarana Transportasi, Kebun.
Kawasan Lindung, Hutan, Permukiman, Kebun,
Zona VI Z.VI
Tegalan, Sawah, Semak Belukar, Kawasan Wisata.
Sumber: RTRW Kota Palu,
2007

3. Wilayah Rawan Bencana Kota Palu


Kawasan rawan bencana alam di Kota Palu terdiri dari kawasan rawan
tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang/tsunami, dan kawasan rawan
banjir. Kawasan rawan tanah longsor terdapat di kecamatan Palu Barat dan
Kecamatan Palu Timur.
Kawasan rawan gelombang pasang/tsunami meliputi: (1) wilayah
Kecamatan Palu Utara mencakup Kelurahan; Panau, Kelurahan Kayumalue,
Kelurahan Baiya, Kelurahan Lambara, Kelurahan Mamboro, Kelurahan Taipa,
dan Kelurahan Pantoloan;
(2) wilayah Kecamatan Palu Timur mencakup Kelurahan Talise, Kelurahan
Tondo, Kelurahan Layana Indah, dan Kelurahan Besusu Barat;
(3) wilayah Kecamatan Palu Selatan mencakup Kelurahan Lolu Utara dan
Kelurahan Lolu Selatan; dan
(4) wilayah Kecamatan Palu Barat mencakup Kelurahan Ujuna, dataran banjir
S. Palu di Kelurahan Nunu, Kelurahan Silae, Kelurahan Tipo, Kelurahan
Buluri, Kelurahan Watusampu, dan Kelurahan Lere. Kawasan rawan banjir
terdapat pada wilayah Kota Palu yang dilalui Sungai Palu di Kecamatan Palu
Barat, Kecamatan Palu Selatan, dan Kecamatan Palu Timur (Perda Kota Palu
Nomor 16 Tahun 2011 tentang RTRW Tahun 2010-2030).
Kawasan rawan bencana di Kota Palu juga dipengaruhi oleh daerah-
daerah perbatasan seperti Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi, khususnya
kawasan rawan bencana banjir yang dipengaruhi oleh daerah-daerah yang
melewati Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Palu. Kabupaten Donggala,
kawasan rawan longsor berada di Kecamatan Tanantovea, kawasan rawan
banjir di Kecamatan Banawa Selatan dan Tanantovea, Kawasan rawan abrasi di
Kecamatan Tanantovea (Perda Kabupaten Donggala Nomor 1 Tahun 2011
tentang RTRW Tahun 2011-2031). Sedangkan Kabupaten Sigi, kawasan rawan
tanah longsor terdapat di Kecamatan Kinovaro dan Kecamatan Sigi Biromaru.
Kawasan rawan banjir terdapat di Kecamatan Sigi Biromaru. Kawasan rawan
gempa meliputi seluruh wilayah kecamatan yang dilalui oleh patahan Palu
Koro mulai dari kecamatan Marawola, Kecamatan Dolo, Kecamatan Dolo
Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan
Tanambulava, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi
Selatan, dan Kecamatan Pipikoro (Perda Kabupaten Sigi Nomor 21 Tahun
2012 tentang RTRW Tahun 2010-2030).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Palu, bencana yang paling
banyak terjadi di wilayah Kota palu adalah bencana Kebakaran dan
Banjir.Bencana kebakaran di Kota Palu 2 (dua) Tahun terakhir mengalami
penurunan dari 114 kejadian pada Tahun 2014 turun menjadi 49 kejadian pada
Tahun 2015. Demikian pula dengan bencana banjir, pada Tahun 2014 terdapat
10 kejadian turun menjadi 1 (satu) kejadian pada Tahun 2015.
Bencana kebakaran paling sering terjadi di Kecamatan Palu Barat dan
Kecamatan Palu Selatan yaitu masing-masing 14 kejadian pada Tahun 2015.
Sementara kebaran paling jarang terjadi di Kecamatan Tatanga dan Kecamatan
Palu Utara, dimana masing-masing 1 (satu) kejadian pada Tahun 2015.
Bencana banjir hanya terjadi di Kecamatan Ulujadi yaitu sebanyak 1 (satu)
kejadian pada Tahun 2015. Demikian pula bencana angin topan hanya terjadi di
Kecamatan Tatanga yaitu sebanyak 1 (satu) kejadian pada Tahun 2015.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Mitigasi Bencana di Kota Palu


1. Potensi Gempa Bumi dan Likuifaksi di Kota Palu
1.1 Potensi terjadinya Likuifaksi di Kota Palu
Sladen menjelaskan Likuifaksi adalah fenomena pada masa tanah yang
kehilangan sebagian besar tahanan geser ketika mengalami pembebanan
monotonik, siklik, mendadak dan mengalir menjadi cair sehingga tegangan
geser pada masa tanah menjadi rendah seperti halnya tahanan gesernya
Liquifaksi merupakan gejala peluluhan pasir lepas yang
bercampur dengan air akibat goncangan gempa dimana gaya pemicu
melebihi gaya yang dimiliki litologi setempat dalam menahan
guncangan. Hal ini bisa menyebabkan beberapa kejadian seperti
penurunan cepat (quick settlement), pondasi bangunan menjadi miring
(tilting) atau penurunan sebagian (differential settlement), dan
mengeringnya air sumur yang tergantikan oleh material non kohesif.4
Potensi Likuifaksi dapat dilihat dan dikaji dari berbagai aspek antara lain:5
a) Morfologi Wilayah
Secara umum morfologi wilayah Kota palu berupa Dataran, Denudasi
dan Perbukitan.
b) Stratigrafi
Secara keseluruhan tatanan stratigrafi kota Palu disusun oleh tiga
kelompok batuan yaitu : kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok
batuan Tersier dan Kelompok Batuan Kuarter (Hall, 2010), Kelompok
batuan Pra-Tersier dapat dijumpai berupa batuan sedimen laut dan
berupa batuan metamorfik yang keduanya diterobos oleh batuan granit
dan granodiorit yang berumur Tersier, serta tertindih tidak selaras oleh
Kelompok batuan Kuarter yaitu yang terdiri dari beberapa endapan,
yaitu : endapan rombakan, endapan sungai, endapan limpah banjir
endapan alur sungai purba serta endapan kipas aluvium. Endapan pantai
yang dapat berupa pasir pantai dan fragmen batuan banyak dijumpai di
sekeliling teluk Palu
c) Geologi
d) Kegempaan
Pada tahun 2012, Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi
Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya

4
Risna Widyaningrum. 2012. Laporan Hasil Penyelidikan Geologi Teknik Potensi Liquifaksi Daerah
Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
5
Op.cit
Mineral telah melaksanakan Penyelidikan Geologi Teknik Potensi
Liquifaksi Daerah Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Dari hasil penyelidikan
didapatkan Potensi Liquifaksi terhadap tata guna lahan yaitu :
Hasil perhitungan LPI, penurunan tanah dan perpindahan lateral
secara kuantitatif menghasilkan 3 kategori potensi liquifaksi setelah
dilakukan interpolasi Kriging. Kategori tersebut dibedakan berdasarkan
klasifikasi Iwasaki (1986) dalam Taufiq (2011) yang menggunakan nilai
LPI sebagai acuan, yaitu :
1. Potensi sangat tinggi
Probabilitas untuk periode ulang 50 tahun adalah sebesar lebih dari
54,44% yang terdapat pada lokasi S-01 (Kalukubula), S-05 (Birobuli),
S-06 (Tatura), S-12 (Sunju), S-17 (Tatura), S-20 (Lolu), S-24
(Kawatuna), S-25 (Kalukubula), S-28 (Lere), S-29 (Tatura), S-30
(Birobuli Selatan) yang berpotensi mengalami penurunan tanah lebih
dari 5 cm dan perpindahan lateral lebih dari 15 cm.
2. Potensi tinggi
Probabilitas untuk periode ulang 50 tahun adalah sebesar 11,90% -
54,44% yang terdapat pada lokasi S-02 (Lolu), S-03 (Besusu), S-04
(Talise), S-13 (Bayaoge), S-19 (Talise), S-21 (Tanamodindi), S-23
(Lasoani), S-26 (Petobo), yang berpotensi mengalami penurunan tanah
kurang dari 5 cm dan perpindahan lateral lebih dari 10 cm.
3. Potensi sangat rendah – rendah
Probabilitas untuk periode ulang 50 tahun adalah sebesar kurang dari
11,90% yang terdapat pada lokasi S-07 (Besusu Tengah), S-08
(Kalukubula), S-09 (Dolo Kotarinau), S-10 (Kotapulu), S-11 (Baliase),
S-14 (Tatura), S-15 (Lolu Selatan), S-16 (Besusu Barat), S-18
(Birobuli), S-22 (Birobuli Utara), S-27 (Kamoji) yang berpotensi
mengalami penurunan tanah kurang dari 5 cm dan perpindahan lateral
lebih dari 10 cm.
Liquifaksi akan menjadi masalah jika terjadi pada kawasan budidaya
seperti area pemukiman, prasarana fisik dan industri. Masalah tersebut
adalah efek penurunan dan perpindahan lateral tanah yang mengenai
konstruksi bangunan fisik seperti tanah pondasi pada pemukiman, industri,
jembatan dsb yang menurunkan tingkat kestabilannya. Berdasarkan hasil
tumpang susun antara peta tata guna lahan (BAPPEDA, 2011) dengan
kontur nilai LPI. Area pemukiman yang perlu diperhatikan adalah
permukiman yang dilewati oleh kontur nilai LPI lebih dari 5.
1.2 Potensi Kegempaan di Kota Palu
Secara geografis dataran Kota Palu terbentuk karena adanya proses
pengangkatan (graben). Proses graben yang membuat beberapa
permukaan tanah terangkat cukup tinggi (membentuk bukit sampai
pegunungan) seperti yang terlihat di sepanjang pantai Teluk Palu bagian
barat. Wilayah Kota Palu dicirikan oleh bentuk utama berupa lembah
(graben) dimana pusat Kota terletak di bagian tengah dari lembah
tersebut. Orientasi lembah ini mengikuti arah utama jalur pegunungan di
kedua sisinya, yaitu berarah relatif utara-selatan .6
Dari aspek kegempaan, sistem patahan di bagian tengah Sulawesi
dimana Kota Palu terdapat terdiri dari kompleks zona patahan yang
berletak dalam pertemuan lempeng Pasifik, Indo-Australia dan lempeng
Eurasia. Dari perhitungan terhadap pergerakan patahan Palu-Koro ini
diperoleh data kisaran pergerakan lempeng, yaitu 35 ± 8 mm per tahun.
Sejarah gempa bumi di bagian tengah Sulawesi telah tercatat sejak
abad ke-19, dimana beberapa diantaranya mempunyai magnitude yang
besar, diantaranya tahun 1968 (6,7 SR), 1993 (5,8 SR) dan 2005 (6,2 SR).
Kegempaan di Sulawesi ini juga ditandai dengan frekuensi tsunami yang
tinggi di bagian Selat Makassar, sebagaimana yang terjadi pada tahun
1927 di Teluk Palu dengan ketinggian gelombang mencapai 15 m, tahun
1968 di Mapaga (10 m) dan tahun 1996 di Simuntu - Pangalaseang (1 -
3,4 m).
Menurut Prof. Ir. Masyhur Irsyam, gempa Indonesia dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa zona, gempa yang terjadi di wilayah
Palu termasuk dalam tipe zona perubahan (transform zone) yaitu gempa
yang diakibatkan karena dua lempeng tektonik bergerak saling
menggelangsar (slide each other), sejajar namun berlawanan arah.
Keduanya tidak saling memberai maupun saling menumpu. Gempa yang
terjadi pada zona ini umumnya merupakan gempa pada kerak dangkal
6
Loc.cit
(shallow crustal earthquakes) yang diakibatkan oleh Sesar Palu-Koro dan
Sesar Matano. Diperkirakan intensitas gempa bumi yang merusak adalah
dengan magnitude lebih besar dari 6,0 SR.

2. Mitigasi Bencana di Kota Palu


Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
No. 4 Tahun 2008 tetang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Upaya di atas merupakan
bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh perencanaan untuk
berpartisipasi dan berkontribusi dalam melakukan mitigasi bencana.
Pergerakan sesar yang menjadi pemicu gempa di Kota Palu dan
Kabupaten Donggala sebenarnya telah diteliti oleh para ahli kebencanaan
yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Palu-Koro. Tim tersebut terdiri dari
Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), organisasi non-profit Aksi Cepat
Tanggap (ACT), dan sejumlah peneliti dari universitas di Indonesia. Kepala
Tim Ekspedisi Palu-Koro, Trinirmalaningrum, mengatakan gempa besar
yang bersumber dari sesar Palu-Koro sudah terbaca sejak jauh hari. Sesar
Palu-Koro diprediksi akan membawa gempa dalam waktu dekat berdasarkan
siklus yang sudah diteliti para geologi dan ahli gempa.
Upaya penelitian Tim Ekspedisi Palu-Koro telah dilakukan sejak 2016.
tahap pertama penelitian selesai dilakukan pada Maret 2017. Pada saat itu
studi mengenai siklus kegempaan yang berulang telah disampaikan kepada
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan otoritas yang menangani masalah
kebencanaan. Lalu pada Agustus 2018, Tim Ekspedisi Palu-Koro telah
menyelesaikan penelitian tahap kedua dan bermaksud mendokumentasikan
hasil penelitian dalam bentuk buku dan film untuk keperluan sosialisasi
mitigasi bencana. Namun, tanpa disangka, gempa berkekuatan 7,4 SR
mengguncang Kabupaten Donggala pada Jumat (27/9).
Peringatan potensi gempa besar yang tersirat dalam penelitian Tim
Ekspedisi sebetulnya telah digaungkan. Ketua Umum IAGI, Sukmandaru
Prihatmoko, mengungkapkan ketika sesar Palu-Koro bergerak maka akan
mengancam nyawa manusia sehingga baiknya diperhatikan.Namun hasil
penemuan tersebut hanya mendapatkan respon positif dari BNPB.
Sementara pihak lain seperti BPBD , Gubernur, Walikota dan masyarakat
responnya masih kurang. Minimnya respon terhadap potensi gempa
berdampak pada kurangnya program mitigasi bencana yang dilakukan oleh
pemerintah daerah Kota Palu untuk menyelamatkan warganya dari ancaman
bencana besar yang mengintai wilayahnya7
Minimnya perhatian pemerintah terhadap mitigasi bencana terlihat dari
anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk mitigasi bencana
tiap tahun. Tercatat, pada tahun 2017 Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah
hanya menyediakan dana mitigasi bencana 0,1 hingga 0,3 persen dari total
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jumlah yang sangat
kecil dan tidak mencukupi. Yang ideal, dana mitigasi bencana mencapai 1
persen dari total APBD.
3. Dampak Likuifaksi dan Gempa Bumi terhadap Infrastruktur dan Tata
Guna Lahan di Kota Palu
Gempa bumi dan Likuifaksi yang terjadi pada 28 September 2018 di
Kota Palu, telah menimbulkan dampak yang sangat besar terutama untuk
infrastruktur dan Tata Guna Lahan di Kota Palu sendiri.
Kerusakan bangunan hingga tanggal 8 Oktober tercatat sebanyak
66.962 bangunan mengalami kerusakan baik dari tingkat ringan hingga
mengalami kerusakat berat atau rata dengan tanah atau bahkan hilang
akibat likuifaksi dan Tsunami. Selain Rumah warga berbagai infrastruktur
lain seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan yaitu Rumah Sakit
Anutapura yang berlantai empat, di Jalan Kangkung, Kamonji, Kota Palu,
roboh.
Jembatan Ponulele yang menjadi ikon wisata Kota Palu roboh
setelah diterjang gelombang tsunami. Pusat perbelanjaan atau mal terbesar
di Kota Palu, Mal Tatura, ambruk.Hotel Roa-Roa berlantai delapan yang
berada di Jalan Pattimura, Kota Palu, rata dengan tanah. Terjadi kerusakan

7
Minimnya Mitigasi Bencana di Kota Palu. Diakses dari laman
https://indopos.co.id/read/2018/10/02/151197/minim-mitigasi-bencana. pada 22 oktober 2018
di bangunan tower Bandara Mamuju, dan pergeseran tiang tower di
Bandara Liwuk Bangai, namun masih berfungsi.
Sejumlah pelabuhan mengalami kerusakan. Pelabuhan Pantoloan,
Kota Palu, rusak paling parah. Quay crane atau kran peti kemas yang
biasanya digunakan untuk bongkar muat peti kemas roboh. Di Pelabuhan
Wani, bangunan dan dermaga mengalami kerusakan. KM Sabuk Nusantara
39 terhempas tsunami ke daratan sejauh 70 meter dari dermaga
Dua wilayah di Kota palu yang terkena Likuifaksi akibat Gempa 7.4
SR tersebut antara lain Petobo dan Balaroa. Di Petobo luasan terdampak
likuifaksi bahkan mencapai 180 hektar, likuifaksi bahkan membuat wilayah
tersebut diperkirakan tersedot 20 meter ke dalam tanah, bangunan rusak
tercatat sebanyak 2.050, dan bangunan mungkin rusak 168.
Menurut Dr. Sutopo Purwo, Kepala Pusat Data, Informasi, dan
Hubungan Masyarakat di BNPB mengatakan, wilayah terdampak likuifaksi
tidak akan kembali dijadikan lahan pemukiman melainkan akan diusulkan
untuk digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau pada Tata Ruang Wilayah
Kota Palu pasca Gempa.

B. Analisis Pemanfaatan Peta RTRW sebagai dasar Mitigasi Bencana untuk


meminimalisir Dampak Bencana di Kota Palu
B.1. Hubungan Pola dan Struktur Ruang dengan Mitigasi Bencana
Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten / Kota,
merupakan suatu dokumen yang dapat dijadikan dasar pengendalian
pemanfaatan ruang dalam upaya penataan dan pengembangan wilayah.
Dokumen yang diatur melalui Peraturan Daerah ini memuat berbagai
jenis pedoman pembangunan yang bisa dikatakan multidimensi. Salah
satu yang termuat dalam dokumen ini adalah ditetapkannya kawasan
rawan bencana di suatu wilayah administrasi secara rinci. Adanya data
kawasan rawan bencana membuat Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah
Kabupaten/ Kota ini dapat dimanfaatkan untuk dintegrasikan dengan
dokumen lain sebagai dasar dari penyusunan program mitigasi bencana
wilayah kota setempat.
Dalam penyusunan program mitigasi bencana, hal utama yang harus
diperhatikan adalah penyusunan bentuk kegiatan mitigasi yang akan
digunakan. Dalam menentukan bentuk kegitan mitigasi ini akan
bergantung kepada jenis bencana dan tujuan kegiatan tersebut. Godschalk
(1991) memberikan gambaran jenis kegiatan mitigasi dan tujuan yang
dapat diraih oleh kegiatan tersebut.8

Tabel 1.3
Tabel penyusunan jenis kegiatan mitigasi dan tujuannya

JENIS KEGIATAN
TUJUAN MITIGASI
MITIGASI
Perencanaan tata guna Pengaturan pembangunan di
lahan lokasi yang aman
Penguatan terhadap tekanan
Building codes
bahaya
Pembatasan terhadap
Pengaturan zonasi
penggunaan area berbahaya
Penguatan infrastruktur
Pengaturan subdivisi
terhadap bahaya
Analisis Bahaya /
Identifikasi area berbahaya
Pemetaan Risiko
Sistem informasi Peningkatan kesadaran
bahaya terhadap risiko
Peningkatan pengetahuan
Edukasi publik
mengenai bencana
Pemantauan implementasi
Pemantauan / inspeksi
peraturan
Pengambilalihan lahan Pengalihan fungsi menjadi
yang berbahaya ruang terbuka/rekreasi
Pemindahan kondisi rentan
Relokasi
ke lokasi yang aman
Insentif dan disinsentif Penciptaan motivasi untuk
pajak pindah ke lokasi aman
Pemberian kompensasi
Asuransi bencana
8
Rachmatullah.Michael, Octavianus H.A.Rogi, Sonny Tilaar. Kebijakan Pola Ruang dan Struktur
Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Banjir. ( Studi Kasus : Kota Palu) . Jurnal Universitas Sam
Ratulangi. Vol 3 No 3 Tahun 2016
terhadap kerugian ekonomi

B.2. Analisis pemanfaatan Peta RTRW kota Palu sebagai upaya mitigasi
bencana
Dalam Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu Tahun 2010-2030, sebenarnya
telah ditetapkan daerah-daerah yang masuk kedalam wilayah rawan bencana.
Kawasan rawan bencana alam di Kota Palu terdiri dari kawasan rawan tanah
longsor, kawasan rawan gelombang pasang/tsunami, dan kawasan rawan banjir.
Kawasan rawan tanah longsor terdapat di kecamatan Palu Barat dan
Kecamatan Palu Timur. Kawasan rawan gelombang pasang/tsunami hampir
diseluruh wilayah kota Palu.
Akan tetapi, pada kenyataannya Tata Ruang Kota Palu tidak sesuai dengan
yang tertuang dalam dokumen resmi tersebut. Banyak ketidak sesuaian antara
Penggunaan Lahan secara real dengan yang seharusnya sesuai dengan Tata
Ruang dan Kerawanan bencana. Beberapa daerah yang telah disebutkan
termasuk dalam daerah rawan bencana nyatanya tetap digunakan sebagai area
Pemukiman dan Peruntukan aktifikas ekonomi, pendidikan dll
Pada Tahun 2012 Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan,
Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebenarnya
telah melaporkan hasil penyelidikannya mengenai temuan potensi terjadinya
likuifaksi di wilayah Kota Palu. Hasilnya adalah, bahwa hampir seluruh
wilayah kota palu berpotensi terjadi likuifaksi baik dari tingkat rnendah hingga
tingkat sangat tinggi. Tetapi tidak mendapatkan respon yang baik dari
pemerintah kota palu.
Tidak adanya respon terhadap hasil penyelidian tim Badan geologi
tersebut berlanjut pada tidak adanya respon positif dari Pemerintah kota palu
terhadap temuan dari Tim Ekspedisi Palu – Koro pada 2017 silam tentang
potensi kerusakan wilayah akibat bencana yang mengancam Kota Palu.
Sehingga tidak ada upaya mitigasi bencana dari pemerintah setempat.
Sehingga akibatnya adalah, ketika bencana akhirnya terjadi, dalam hal ini
gempa bumi dan likuifaksi, maka terjadi kerusakan yang sangat parah terutama
pada wilayah-wilayah yang tidak sesuai tersebut terkena dampak yang paling
besar. Seperti yang terjadi pada Petobo. Dalam dokumen hasil penyelidikan
kementerian ESDM tahun 2012 telah disebutkan bahwa Petobo merupakan
daerah dengan tingkat potensi likuifaksi yang tinggi dan dapat mengalami
penurunan tanah hingga 5 meter dan pergeserah tanah sejauh 10 meter. Pada
akhirnya, akibat likuifaksi yang terjadi pada 28 September 2018
mengakibatkan wilayah Petobo tertelan hingga lebih dari 5 meter bahkan
diperkirakan hingga nyaris 20m.
Akibat kurangnya upaya mitigasi bencana dari pemerintah daerah dan juga
minimnya penyuluhannya kepada masyarakat, maka terjadi kepanikan dan
chaos sesaat setelah gempa dan likuifaksi terjadi dan memakan banyak korban
jiwa. Bagaimana kesiapan masyarakat dalam mengadapi bencana di Kota Palu
sangat terlihat sekali begitu minim, sehingga kegaduhan mengenai penjarahan
harus terjadi akibat psikologis masyarakat yang tidak siap.

Analisis Hasil Overlay antara Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan
Peta Rawan Bencana Kota Palu.

Keterangan :

Tingkat Kerawanan Tinggi

Tingkat Kerawanan Menengah

Gambar 1.3
Peta Hasil Overlay Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah dengan Peta
Rawan Bencana

Tabel 1. 4
Luas dan Persentase Analissi Overlay RTRW dengan Kerawanan Bencana Kota
Palu

Kawasan Luas (Hektar) Persentase


Rawan Bencana Gempa Bumi Menengah 4464.983 12.781%
Hutan Lindung 3147.063 9.009%
Hutan Produksi Terbatas 1316.509 3.769%
Kawasan Suaka Alam dan cagar Budaya 1.411 0.004%
Rawan Bencana Gempa Bumi Tinggi 30468.578 87.219%
Hutan Lindung 3292.233 9.424%
Hutan Produksi Terbatas 2648.985 7.583%
Kawasan Industri 1407.561 4.029%
Kawasan perdagangan dan Jasa 148.839 0.426%
Kawasan perkantoran 102.401 0.293%
Kawasan Perlindungan Setempat 161.566 0.462%
Kawasan Perumahan Kepadatan Rendah 8587.351 24.582%
Kawasan Perumahan Kepadatan Sedang 203.872 0.584%
Kawasan Perumahan Kepadatan Tinggi 852.282 2.440%
Kawasan peruntukan lainnya 4270.074 12.223%
Kawasan Rawan bencana 2022.177 5.789%
Kawasan Suaka Alam dan cagar Budaya 5327.914 15.252%
Ruang Terbuka Hijau 1443.323 4.132%
Grand Total 34933.561 100.000%

Dari hasil overlay Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu dan
Peta Rawan Bencana diperoleh data bahwa wilayah Kota Palu hanya terbagi
menjadi 2 kawasan rawan bencana gempa bumi, yaitu Kawasan Rawan
Bencana Gempa Bumi Menengah dan Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi
Tinggi. Sama sekali tidak terdapat kawasan yang memiliki tingkat kerawanan
bencana yang rendah. Artinya, hampir di seluruh wilayah palu merupakan
kawasan yang wajib dilakukan penyuluhan soal mitigasi bencana.
Pada Kawasan Rawan Bencana Menengah hasil overlay menunjukan
bahwa terdapat 3 jenis pola ruang menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah
yaitu hutan lindung, hutan produksi terbatas dan kawasan suaka alam dan cagar
budaya. Pola ruang sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang paling luas
adalah hutan lindung dengan luas 3147.063 Hektar atau sebesar 9.009% dari
luas total wilayah Kota Palu. Untuk peruntukan pola ruang hutan produksi
terbatas dengan luas 1316.509 Hektar dan peruntukan pola ruang kawasan
suaka alam dan cagar budaya dengan luas 1.411 Hektar.
Pada kawasan rawan bencana gempa bumi tinggi hasil overlay
menunjukan bahwa terdapat berbagai pola ruang antara lain hutan lindung,
hutan produksi terbatas, kawasan industry, kawasan perdagangan dan jasa,
perkantoran, perlindungan setempat, perumahan kepadatan
rendah/sedang/tinggi, kawasan peruntukan lainnya, kawasan rawan bencana,
kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan Ruang Terbuka Hijau. Pola ruang
yang tertinggi pada kawasan rawan bencana tinggi adalah Kawasan perumahan
kepadatan rendah dengan luas 8587.351 Hektar atau sebesar 24.582% dari
seluruh wilayah Kota Palu. Pola ruang yang terendah pada kawasan rawan
bencana tinggi adalah Kawasan perkantoran dengan luas 102.401 Hektar atau
0.293 % dari seluruh wilayah Kota Palu.
Apabila diperhatikan dari tabel tersebut dapat diperoleh data bahwa pola
ruang yang menunjukan kawasan rawan bencana hanya 2022.177 atau 5.758%
dari total wilayah Kota Palu, sedangkan sisanya berbagai peruntukan budi daya
yang sangat bervariasi berada pada kawasan rawan bencana gempa bumi
tinggi. Dapat disimpulkan bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang dan
Wilayah Kota Palu masih belum sungguh- sungguh dapat mengakomodir aspek
kerawanan gempa bumi.
Kawasan rawan bencana dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah kota
pau kemungkinan hanyalah menjadi “ prasyarat “ untuk kelengkapan suatu
pemetaan tata kelola keruangan wilayahnya. Kemungkinan memang tidak ada
pekerjaan lapang yang diterjunkan secara real di lapangan dalam
penyusunannya, sehingga ketika diintegrasikan dengan kondisi real di lapangan
terdapat sangat banyak ketidak sesuaian fungsi kawasan .
Hasil Analisis Overlay antara Peta Daerah Terdampak Likuifaksi dengan
Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu.

Keterangan :

Wilayah terdampak likuifaksi

Gambar 1.4
Peta Hasil Overlay antara Peta Lokasi terdampak Likuifaksi dengan Peta
Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kota Palu

Tabel 1.5
ANALISIS DAERAH TERKENA LIQUIFAKSI KOTA PALU DAN
KABUPATEN SIGI

Kawasan terdampak Luas (Hektar)


Desa Balaroa Kota Palu 61.777
Kawasan Perumahan Kepadatan Rendah 14.197
Kawasan Perumahan Kepadatan Sedang 47.58
Desa Jono Oge Kabupaten Sigi 208.419
Pemukiman Perkotaan 208.419
Desa Petobo Kota Palu 177.273
Kawasan Perumahan Kepadatan Rendah 158.175
Kawasan peruntukan lainnya 19.098
Grand Total 447.469
Dari Hasil Overlay Peta Lokasi Bencana Likuifaksi dengan Peta Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu, didapatkan data bahwa di Desa Balaroa
Kota Palu terdapat 14.197 Hektar Kawasan Perumahan Kepadatan Rendah dan
47.580 Hektar kawasan perumahan kepadatan sedang. Desa Jono Oge
Kabupaten Sigi terdapat 208.419 Hektar kawasan pemukiman perkotaan. Desa
Petobo Kota Palu terdapat 158.175 Hektar kawasan perumahan kepadatan
rendah dan 19.098 Hektar kawasan peruntukan lainnya.
Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
kenyataanya, semua lokasi likuifaksi ternyata peruntukan pola Tata Ruangnya
adalah untuk pemukiman. Padahal seperti yang kita tahu, bahwa untuk tata
kelola wilayah yang baik, pada daerah yang berpotensi terdampak bencana
likuifaksi sebaiknya tidak digunakan sebagai pemukiman, karena dampak dari
likuifaksi sangat merusak terutama pada tanah dan bangunan yang ada di
atasnya, dan berpotensi mengancam jiwa.
Mengacu pada laporan hasil penyelidikan Geologi Teknik Potensi
Liquifaksi Daerah Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah pada 2012 lalu, telah
disebutkan wilayah-wilayah di Kota Palu yang mempunyai resiko terdampak
likuifaksi baik dari tingkat resiko rendah hingga sangat tinggi. 9 Sekali lagi,
hasil overlay ini menunjukkan bahwa, penyusunan Rencana Tata Ruang dan
Wilayah Kota Palu sebenarnya tidak memperhatikan aspek kerawanan
bencana, khususnya likuifaksi, padahal selainn hasil penyelidikan dari
kementerian ESDM tersebut, pada kenyataannya palu adalah wilayah yang
tinggal diatas ancaman berbagai bencana karena berada persis diatas sesar aktif
palu-koro yang telah diketahui secara turun temurun.
Dari Kota Palu, kita kemudian belajar bahwa. Ketika suatu dokumen
penting seperti Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang menjadi dasar dari
berbagai penyusunan kebijakan daerah, dibuat tidak dengan melihat kenyataan
yang ada di lapangan, terutama dalam aspek kerawanan bencana, maka yang
dipertaruhkan adalah keselamatan warga masyarakatnya dan juga keutuhan
infrastruktur wilayahnya sendiri.

9
Loc. cit
Tidak adanya upaya yang maksimal dari pemerintah Kota palu terhadap
mitigasi bencana juga merupakan dampak dari minimnya respon pemerintah
kota dengan informasi-informasi berkenaan dengan bencana yang mengancam
wilayahnya yang telah disampaikan oleh pemerintah pusat lewat berbagai
pihak ( Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam dan Tim
Ekspedisi Palu- Koro serta sejumlah ilmuan yang melakukan penelitian
terhadap keberadaan sesar aktif palu-koro ) sikap abai pemerintah kota palu
terhadap mitigasi bencana yang seharusnya dilakukan secara maksimal di
wilayahnya ini kemudian menyebabkan begitu banyak korban jiwa dan
rusaknya puluhan ribu infrastruktur penting dan tempat tinggal penduduknya
dalam peristiwa gempa 28 September 2018 silam.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil overlay Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu
dan Peta Rawan Bencana diperoleh data bahwa wilayah Kota Palu hanya
terbagi menjadi 2 kawasan rawan bencana gempa bumi, yaitu Kawasan Rawan
Bencana Gempa Bumi Menengah dan Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi
Tinggi. Atau bisa dikatakan bahwa seluruh wilayah Kota pal masuk dalam
kawasan rawan bencana . Padahal dalam Peta Tata Ruang dan Wilayah Kota
Palu diketahui bahwa pola ruang yang menunjukan kawasan rawan bencana
hanya 2022.177 hektar atau 5.758% dari total wilayah Kota Palu, sedangkan
sisanya berbagai peruntukan budi daya yang sangat bervariasi berada pada
kawasan rawan bencana gempa bumi tinggi.
Dari Hasil Overlay Peta Lokasi Bencana Likuifaksi dengan Peta
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Palu didapatkan data bahwa pada
kenyataanya, semua lokasi terdampak likuifaksi ternyata peruntukan pola Tata
Ruangnya adalah untuk pemukiman. Padahal seperti yang kita tahu, bahwa
untuk tata kelola wilayah yang baik, pada daerah yang berpotensi terdampak
bencana likuifaksi sebaiknya tidak digunakan sebagai pemukiman, karena
dampak dari likuifaksi sangat merusak terutama pada tanah dan bangunan
yang ada di atasnya, dan berpotensi mengancam jiwa.

B. Saran
1. Likuifaksi merupakan bencana yang sangat bisa merusak kondisi
infrastruktur dan mengancam keselamatan warga sehingga pengetahuan
terhadap potensi dan kerawanan likuifaksi sangat penting terutama
dalam merencanakan tata ruang khususnya di daerah Palu dan
sekitarnya yang merupakan zona merah rawan bencana.
2. Perlu dilakukan pemetaan mikrozonasi gempa dan likuifaksi sehingga
sebaran daerah gempa dan likuifaksi dapat dipetakan secara detil. Peta
mikrozonasi tersebut digunakan sebagai evaluasi untuk segera
memperbaiki penataan ruang kota palu pasca gempa dan likuifaksi.
3. Pemerintah daerah Kota Palu harus lebih fokus dan memaksimalkan
upaya mitigasi bencana lewat Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Edukasi Mitigasi Bencana harus diterapkan di Dunia Pendidikan sejak
dini. Jika memungkinkan mitigasi bencana sebaiknya dimasukkan
dalam kurikulum pendidikan sejak usia dini agar anak-anak sebagai
generasi penerus mampu lebih baik dalam menghadapi bencana.
4. Perlunya pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam rangka
Siaga Bencana. Seperti Rumah Tanah Gempa seperti yang dilakukan
oleh Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. (2016) Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Daerah Kota Palu Tahun 2016-2021. Diakses dari situs
Bappeda.palukota.go.id pada 17 oktober 2018.
Windya Dwi Nanda. 2016. Peran Mitigasi Bencana Dalam Bidang Perencanaan
dan Keterkaitan antara keduanya.
Risna Widyaningrum dan Taufiq Wira Buana. 2012. studi Bahaya Likuifaksi Palu
Berdasarkan Data Geologi Teknik. Pusat Air Tanah dan Geologi Tata
Lingkungan, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral
Risna Widyaningrum. 2012. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan
Geologi, Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan.
Rachmatullah.Michael, Octavianus H.A.Rogi, Sonny Tilaar. Kebijakan Pola
Ruang dan Struktur Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Banjir. ( Studi
Kasus : Kota Palu) . Jurnal Universitas Sam Ratulangi. Vol 3 No 3
Tahun 2016. Diakses dari
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/spasial/article/view/13692
Soebowo Eko, Tohari Adrin & Sarah Dwi. 2009. Potensi Likuifaksi Akibat
Gempabumi Berdasarkan Data CPT dan N-SPT Di Daerah Patalan
Bantul, Yogyakarta Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 19
No. 2 (2009), 85-97.
________, Peraturan Daerah Kota Palu No. 16 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang dan Wilayah Kota Palu Tahun 2010 – 2030.
________, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4
Tahun 2008 tetang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana
BNPB: Lokasi Gempa Likuefaksi di Kota Palu Akan Jadi Ruang Terbuka Hijau
https://www.liputan6.com/news/read/3663427/bnpb-lokasi-gempa-
likuefaksi-di-kota-palu-akan-jadi-ruang-terbuka-hijau diakses pada 17
Oktober 2018 Pukul 19.40
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.2018. Infografis Gempa Bumi 7.4 SR
kota Palu.diakses dari sitis bnpb.go.id
Fenomena Semburan Lumpur Tenggelamkan Pemukiman Kala Gempa Sulteng
http://www.mongabay.co.id/2018/10/05/fenomena-semburan-lumpur-
tenggelamkan-pemukiman-kala-gempa-sulteng/ diakses pada 17
Oktober 2018 Pukul 19.35
widyaiswara utama kementerian Sosial . 3 oktober 2018. Urgensi Mitigasi
bencana. Diakses dari http://www.koran-jakarta.com/urgensi-mitigasi-
bencana/ pada 19 Oktober 2018 pukul 20.15 WIB
Indopos. 02 oktober 2018. Minim Mitigasi Bencana. diakses dari
https://indopos.co.id/read/2018/10/02/151197/minim-mitigasi-bencana pada 22
oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai