Anda di halaman 1dari 36

Skenario I

“Cairan Telinga”

Seorang anak perempuan usia 6 tahun datang ke klinik anda diantar oleh
ayahnya dengan keluhan keluar cairan dari telinga kiri sejak 2 hari yang lalu. Cairan
yang keluar tersebut berwarna putih kental dan tidak berbau. Tiga hari yang lalu
pasien mengalami nyeri pada telinga kiri, namun sejak keluar cairan tersebut, nyeri
sudah hilang. Awalnya 1 minggu yang lalu ibu pasien mengeluhkan pasien demam,
batuk dan pilek. Ibu pasien juga mengalami keluhan yang demam, batuk , pilek dan
disertai demam . Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan yang serupa,
pasien merupakan siswa kelas 1 SD di kembaran.

1
BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1.1 Otalgia :
Otalgia adalah suatu keluhan yang timbul berupa rasa sakit di telinga oleh karena
penyakit yang ada di telinga atau penjalaran rasa sakit akibat suatu penyakit di
daerah lain di luar telinga dengan karakteristik yang sesuai dengan berat penyakit
yang dialami seseorang. (Dorland, 2010)

2
BAB II

ANALISIS MASALAH

2.1 Anatomi, Fisiologi dan Histologi dari organ yang terkait !

2.2 Mengapa keluar cairan dari telinga kiri pasien?

2.3 Mengapa pasien mengeluhkan nyeri ? dan nyeri hilang saat cairan keluar?

2.4 Apa kemungkinan sakit pasien tersebut?

3
BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1. Anatomi, Fisiologi, Histologi Organ Terkait

1. Anatomi

Gambar 1. Anatomi Telinga


Telinga luar terbungkus oleh kartilago dan kutis, sedangkan untuk telinga tengah
terdapat reflek akustikus yang jika terdapat suara kencang otot stapedius akan berkontraksi
sehingga tulang – tulang menjadi kaku dan berakhir sedikit suara dihantarkan. Terdapat Tuba
Eustaksius yang akan membuka saat menelan. Terowongan tersebut menghubungkan auris
media dan hidung belakang. Saluran tersebut menstabilkan tekanan dari udara di kedua sisi
gendang telinga. Terdapat oto tensor timpani dan otot stapedius. Di telinga dalam terdapat
organ dengar yaitu koklea dan organ keseimbangan yaitu vestibulum. Di organ tersebut
terdapat folikel rambut yang apabila rusak tidak dapat tumbuh lagi. Fungsi dari rambut
tersbut adalah sistim yang akan merespon terhadap frekuensi suara yang berbeda.

Karena keluhan anak tersebut yaitu keluar cairan dari telinga, maka kemungkinan
organ yang terkena yaitu telinga bagian tengah. Telinga tengah dibagi menjadi 2 bagian yaitu,
ossicula auditiva (tulang pendengaran) dan tuba auditiva. Organ yang lebih terkait dalam
skenario kali ini adalah tuba auditiva. Tuba auditiva merupakan saluran penghubung
nasopharynx dengan auris media. Fungsinya ada 3, yaitu:

a. Drainase sekret
b. Ventilasi untuk menjaga tekanan udara telinga tengah dengan telinga luar.
c. Menghalangi masuknya mikroorganisme.

4
Jika terjadi sesuatu dengan telinga tengah, maka akan ada kemungkinan
terjadi peradangan sehingga akan adakeluar cairan sebagai proses akhir dari
peradangan. (Djafaar, 2007)
Tuba auditiva milik anak-anak dan dewasa berbeda, tuba milik anak-nak
cenderung lebih pendek, lebar dan mendatar, sehingga memungkinakan
terjadinya resiko penyakit telinga tengah karena penyakit tenggorokan sangat
tinggi. Berikut tabel perbedaannya.
Perbedaan Tuba Auditiva Anak dan Dewasa
Anak-anak Dewasa
Tuba pendek Tuba panjang
Lebar Sempit
Letak lebih vertikal (mendatar) Letak lebih horizontal
P: 17,5 mm P: 37,5 mm
(Djafaar, 2007)
2. Fisiologi
Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah
membran tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting
tersebut sangat berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut
sangat kaku dan terdapat penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel
lainnya, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku
bersamaan. Pada bagian puncak stereosillia terdapat rantai pengikat yang
menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang lebih rendah,
sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong gabungan-
gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang
menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan
terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan yang
berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut berkurang dan
kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel, perilimfa dan
endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea disebut
koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi
sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya
diproduksi oleh sel rambut luar (May, Budelis, & Niparko, 2004).

5
Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan dengan
amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang
diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh bunyi berfrekuensi
tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea,
sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran
maksimum lebih kearah apeks. Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi
sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi
sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris.
Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan
dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini
disebut sebagai cochlear amplifier.

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar,
lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke
telinga dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-
sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari
badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran. (Guyton, 2010)

3. Histologi
A. Telinga Luar
a. Pinna Auricula
Dibungkus oleh perikondrium yang mengandung serat elastic yang
terdiri dari tulang rawan elastis.
b. Meatus akustikus eksternus
a) Bagian sepertiga bagian luar merupakan tulang rawan , dua
pertiga bagian dalam bagian dari tulang temporal, kulitnya

6
dilapisi oleh perikondrium dan perioestium. Sepertiga luar
dilapisi oleh rambut kasar
b) Meatus akustikus eksternus mengandung kelenjar sebasea dan
kelenjar seruminosa yang menyekresikan serumen.
c) Lumen kelenjar besar dan epitel nya selapis gepeng
B. Telinga Tengah
a. Cavum Timpani
a) Dilapisi sel gepeng di dekat muara tuba eustachius dan sel
kuboid silia di tepian.
b) Tulang pendengaran dihubungkan oleh sendi diartrosis dan
disokong oleh ligament halus.

b. Membran Timpani
a) Semi transparan , lonjong dan seperti kerucut-Terdiri dari dua
lapisan berupa serat kolagen dan fibroblast serta jalinan tipis
serat elastic(bagian luar radial dan bagian dalam melingkar)
b) Bagian luar membrane timpani dilapisi kulit tipis tanpa rambut
/ kelenjar, didalamnya dilapisimukosa dengan sel epitel gepeng,
lamina propria tipis dan sedikit serat kolagen dan kapiler.
c) Tuba eustachius-Sepertiga pertama disokong oleh tulang, di
medial dilapisi oleh tulang rawan dan di lateraldilapisi oleh
jaringan ikat fibrosa
C. Telinga Dalam
a. Utriculus
Lpaisan luar merupakan jaringan fibroba, lapisan tengah merupakan
jaringat ikat vascular halus dan jaringan dalam merupakan sel gepeng
atau kuboid rendah
b. Sacculus
c. Ductus semisircularis
Ductus Semisircularis berisis endolymphe dan mengalami pelebaran
yang di sebut ampulla dan berisi Krista ampulla
d. Cochlea
a) Skala Vestibuli
Dinding dilapisi jaringan ikat tipis dan epitel selapis gepeng

7
b) Skala Media
Dibentuk oleh stria vaskularis dengan epitel bertingkat dan
mengandung anyaman anyaman kapiler intraepithelial
c) Skala Timpani
d) Dilapisi oleh jaringan ikat tipis dan epitel selapis gepeng
e. Organ Corti
a) Terdapat sel rambut yang berespon terhadap suara yang
berbeda
b) Sel rambut berupa sel silindris dengan inti di kedua jenis sel
rambut berupa sel silindris dengan inti basal

Gambar 2. Histologi Telinga (Difiore,2007)

8
Gambar 3. Histologi Cochlea (Difiore, 2007)

3.2. Mengapa pasien mengeluhkan keluar cairan dari telinga kiri nya
Keluhan yang dialami anak tersebut pada skenario kali ini ada hubunganya dengan
riwayat ISPA yang dialami 1 minggu sebelumnya. Seperti kita tahu, tuba auditiva
anak-anak lebih pendek, lebar dan mendatar, sehingga resiko terjadinya invasi bakteri
atau mikroorganisme dari nasofaring akan tinggi. Jika terjadi invasi mikroorganisme
dari nasofaring ke tuba auditiva, maka bisa terjadi peradangan pada telinga tengah.
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.
Otitis media akut ini terjadi akibat tidak berfungsingnya sistem pelindung bakteri
yang dimiliki oleh tuba eustachii, dimana peradangan pada tuba eustachii merupakan
faktor utama terjadinya otitis media, pada anak-anak semakin seringnya terserang
infeksi saluran pernafasan atas seperti pilek, kemungkinan terjadi otitis media akut
juga semakin sering.
Pada skenario didapatkan anak perempuan berusia 6 tahun datang dengan keluhan
keluar cairan dari telinga kiri. Hal tersebut diawali pasien satu minggu yang lalu
mengeluhkan demam, batuk ,pilek (ISPA). Anak tersebut dimulai oleh Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA). ISPA dapat disebabkan oleh bakteri, bakteri yang seringkali
ditemukan antara lain Streptococcus pneumoniae, Haemophil influenzae,
Streptococcus beta-hemolitikus. Dapat menyebabkan disfungsi silia pada tuba
auditiva.
Karena terjadi disfungsi silia, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga
terganggu. Sehingga kuman dapat masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi
inflamasi. Saat kuman melalui saluran eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi
9
disaluran tersebut sehingga terjadi edema pada tuba eustachius yang menyebabkan
oklusi pada tuba eustachius.
Tersumbatnya saluran dan datanglah sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-
sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri.
Sebagai hasilnya terbentuklah nanah/sekret dalam telinga tengah. Jika sekret
terakumulasi pada telinga tengah dan dibelakang membrana tympanica, maka akan
menyebabkan produksi mucus oleh mukosa meningkat. Sehingga terjadi sumbatan
tekanan negatif pada telinga tengah. Kemudian terjadi absorpsi udara, meninggalkan
defek pada membran tympani. Menyebabkan terputusnya rantai osikulus, sehingga
konduksi udara ke telinga dalam juga terputus. Jika hal itu terjadi dapat
mengakibatkan ketajaman pendengaran menurun. (Ballenger, 2010; FK UI, 2012 ;
Djafaar, 2007 ; Kerschner, 2007 ; Boies, 1997)
3.3.Mengapa pasien mengeluhkan nyeri pada telinga kirinya? Dan mengapa
nyerinya hilang setelah cairan keluar
Nyeri dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Nyeri yang berasal dari luar telinga
Gangguan seperti masuknya benda asing, mengorek telinga yang terlalu keras,
kotoran telinga yang mengeras, peradangan akibat bakteri, virus, dan jamur.
(Medscape, 2012)
2. Nyeri yang berasal dari tengah telinga
Proses peradangan yang disebut otitis media atau gangguan dituba eustachius
yang mengalami peradangan atau akibat perubahan pada telinga tengah (pada
saat naik pesawat dan menyelam). (Medscape, 2012)
Mekanisme terjadinya nyeri pada telinga kiri pasien:
Infeksi – microorganisme masuk tuba eustachius – inflamsi pada tuba eustachius –
edema tuba eustachius – obstruksi tuba eustachius – gangguan drainase – peningkatan
teknan negative di cavum timpani – mudah terjadi infeksi pada cavum timpani – sel
darah putih membunuh bakteri – terbentuk pus di cavum timpani – terbentuk eksudat
yang purulen di cavum timpani – bulging – menekan saraf telinga – sakit pada telinga.
(Medscape, 2012)
Pada stadium 3 supurasi terjadi pembengkakan pada jaringan sekitar saluran
Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di
belakang gendang telinga (tympani membrane). Sehingga apabila lendir dan nanah
bertambah banyak, akan menyebabkan tekanan yang kuat terhadap membran timpani

10
yang membuat telinga akan terasa nyeri. Selanjutnya pada stadium 4 perforasi dapat
terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke
telinga luar. Dimana karena adanya ruptur dan nanah menagalir kelar tersebut
membuat tekanan terhadap membran timpani menjadi berkurang dan hilang, sehingga
telinga tidak merasa sakit lagi. (Ballenger 2010 ; FK UI 2012)
3.4.Apa kemungkinan penyakit pada pasien tersebut
Menurut Wassem & Elluru (2014) diagnosis banding dari kasus pasien ini
adalah :
a. Otitis media akut

b. Acute Sinusitis

c. Cholesteatoma

d. Fever Without a Focus

e. Hearing Impairment

f. Nasal Polyps

g. Nasopharyngeal Cancer

h. Otitis Externa

i. Parainfluenza Virus

j. Pediatric Allergic Rhinitis

k. Pediatric Bacterial Meningitis

l. Pediatric Cleft Lip and Palate

m. Pediatric Gastroenteritis

n. Pediatric Gastroesophageal Reflux

11
BAB IV

SISTEMATIKA MASALAH

Laki laki 6 tahun

Riwayat ISPA

Invasi bakteri

Membran mukosa
kongestif dan edema

Obstruksi tuba

Tekanan negativ >>>

Stadium
Refluk dan aspirasi baktreri dari
oklusi
nasofaring ke telinga tengah

Invasi bakteri
ditelinga tengah

Proses inflamasi Stadium hiperemis

Keluar sel darah Peningkatan Keluar mediator


putih set point inflamasi

Keluar sekret demam nyeri


putih

Akumulasi sekret Stadium supuratif

12
Bulging membran timpani

Ruptur membran
Stadium perforasi
timpani

Cairan keluar

Diagnosis banding

Otitis media OMA OMSK OME mastoiditis


difus

13
BAB V

TUJUAN PEMBELAJARAN

5.1 Interpretasi data dari informasi tambahan !

5.2 Gejala Klinis dari diferential diagnosis !

5.3 Otitis Media Akut dari definisi sampai dengan prognosis !

BAB VI

BELAJAR MANDIRI

14
BAB VII
BERBAGI INFORMASI

7.1.Interpretasi Data Pemeriksaan Fisik


 KU : tampak sakit ringan
 Vital Sign :
BP : 100/70 mmHG
BT : 38 C
HR : 90 x/menit
RR : 25 x/menit
Tabel 1. Menurut WHO Normal Heart Rate berdasarkan umur

Approximate Age Range Heart Rate

Newborn 100-160

0-5 months 90-150

6-12 months 80-140

1-3 years 80-130

3-5 years 80-120

6-10 years 70-110

11-14 years 60-105

15-20 years 60-100

Adults 50-80

Tabel 2. Menurut WHO Normal Respiratory Rate berdasarkan umur

Approximate Age Range Respiratory Rate

15
Newborn 30-50

0-5 months 25-40

6-12 months 20-30

1-3 years 20-30

3-5 years 20-30

6-10 years 15-30

11-14 years 12-20

15-20 years 12-30

Adults 16-20

Tabel 3. Menurut WHO Normal Blood Pressure berdasarkan umur


Approximate Age Range Systolic Range Diastolic Range

1-12 months 75-100 50-70

1-4 years 80-110 50-80

3-5 years 80-110 50-80

6-13 years 85-120 55-80

13-18 years 95-140 60-90

Tekanan darah normal pada orang dewasa adalah 120 ( sistolik ) / 80 (


diastolik ) . Tekanan darah normal pada anak-anak dan remaja berbeda usia.
Menurut WHO Normal Body Temperature adalah 36,6 C – 37,0 C.

16
 MAE: sekret putih, kental  abnormal, ada sekret purulen yang hasil reaksi
inflamasi, sekret keluar menandakan ada ruptur/ perforasi membran tympani.
 Membran Tympani: auris sisnistra mengalami perforasi  abnormal
Perforasi membran tympani adalah keadaan dimana membran tympani ditemukan
lubang. Umumnya akibat trauma, otitis media, atau komplikasi bedah. Membran
tympani menunjukkan kemampuan luar biasa untuk regenerasi, namun perforasi
kronis dapat muncul dan membutuhkan myringotomi untuk perbaikan. Gejala
klinis perforasi membran tympani:
- Otorea
- Gangguan pendengaran
- Otalgia
- Vertigo
Jenis-jenis perforasi membran tympani adalah sebagai berikut:
- Perforasi sentral: perforasi pada pars tenda membran tympani biasanya di
bagian posteroinferior.
- Perforasi marginal: perforasi pada tepi membran tympani biasanya disertai
dengan adanya erosi annuli fibrosus dan sering disertai dengan granulasi.
- Perforasi atik: perforasi pada pars flacida membran tympani berhubungan
dengan primary acquired cholesteatoma.
 Tes Rinne: tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran
melalui tulang pada telinga pasien yang diperiksa. Hasil normalnya positif, hasil
yang didapat negatif.
 Tes Webber: tes untuk membandingkan hantaran tulang telinga pasien antara
kanan dan kiri. Hasil normalnya tidak ada lateralisasi, hasilnya lateralisasi ke kiri.
 Tes Schwabach: tes untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa
dengan pemeriksa yang pendengarannya sehat. Hasil normalnya sama dengan
pemeriksa, hasil yang didapat memanjang.
Rinne Webber Schwabach Hasil
+ Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal
pemeriksa
- Lateralisasi ke yang Memanjang Tuli konduktif
sakit
- Lateralisasi ke yang Memendek Tuli sensori

17
sehat neural

 Rinoskopi: Rinoskopi anterior merupakan alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang
paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinonasal.
Rinoskopi adalah pemeriksaan yang paling tepat untuk mengevaluasi pasien,
sebelum atau sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti,
pemeriksa mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah
dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas. Yang perlu dinilai
adalah keadaan mukosa, septum, konka, ada atau tidak ada sekret dan ada atau
tidak ada massa. Mukosa yang hiperemi, konka yang oedem dan hipertrofi
menunjukkan adanya proses infeksi yang biasanya muncul gejala berupa hidung
tersumbat keadaan ini disebut rhinitis hipertrofi. (Meltzer, 2004).

7.2.Gejala Klinis dari diferential diagnosis

a. Otitis Media Akut


Gejala Klinis Tatalaksana
Demam tinggi dapat mencapai 39,5 Tatalaksana pada penyakit ini
derajat. disesuaikan pada stadiumnya :
Terdapat gangguan pendengaran 1. Stadium Oklusi
Nyeri a. Efedrin sebagai
Rasa penuh pada telinga dekongestan
Penurunan pendegaran b. Antibiotik
Riwayat ISPA c. Analgetik
Sekret Purulen d. Antipiretik

Membran Timpai Tidak Utuh 2. Stadium Hiperemis :


a. Antibiotik
Anak : Amoxicilin (40
mg/KgBB dibagi 3
dosis/hr )
Dewasa : Amoxicilin 500
mg x 3/hr.
b. Analgetik
Asam Mefenamat 500 mg

18
3. Stadium Supurasi :
a. Antibiotik
b. Analgetik
c. Antipiretik
d. Miringotomi
4. Stadium Perforasi :
a. Cuci telinga dengan H202
3% selama 3-5 hari untuk
membunuh bakteri
anaerob.
b. Antibiotik adekuat.
5. Stadium Resolusi :
Jika terjadi edema berulang
maka pasien diberikan
antibiotik adekuat selama 3
minggu.

b. Otitis Media Efusi


Gejala Klinis Tatalaksana
Nyeri (-) Pembedahan
Demam (-) Obat Tetes Hidung
Rasa penuh ditelinga Antihistamine
Penurunan pendengaran
Sekret non purulen
Membran timpani utuh
Adanya riwayat alergi

c. Otitis Media Supuratif Kronik


Gejala Klinis Tatalaksana :
Banigna Maligna
Radang oada mukosa Radang pada tulang Edukasi :
dan mukosa membran 1. Tidak mengorek
timpani telinga untuk

19
beberapa waktu
2. Usahakan jangan
ada cairan yang
masuk kedalam
telinga
3. Meningkatkan
kekebalan imun
4. Hindari polusi
lingkungan
5. Hindari ketempat
tempat dengan
tekanan udara yag
tinggi.
Tulang pendengaran Terdapat detruksi os Operatif :
utuh incus 1. Mastoidektomi
Sekret Sekret berbau khas sederhana
Mukoidmukopurulen dapat tercium dari 2. Mastoidektomi
(tidak berbau) jarak 1 meter radikal
Perforasi pada bagian Perforasi pada bagian 3. Miringoplasti
sentral membran atik atau marginal 4. Timpanoplasti
timpani membrana timpani

d. Otitis Externa Difusa


Gejala Klinis Tatalaksana
Terjadi pada 1/3 dalam liang telinga Ear Toilet
Hiperemis Antibiotik dengan tampon
Edema dengan batas tidak jelas Antibiotik sistemik jika diperlukan
Biasanya terjadi sekunder dengan
OMSK
Nyeri tekan tragus
Liang telinga sangat sempit
Sekret tidak ada musin, baunya sama
seperti otitis media

20
e. Otitis Externa Sircumkripta (Furunulosis) :
Gejala Klinis Tatalaksana
Nyeri hebat Insisi bila dinding furunkel tebal
Gangguan pendengaran Antibiotik salep :
Terjadi pada 1/3 anterior MAE. 1. Polimixin B
Khas Bisul 2. Becitracin
3. Asam asetat 2-5 % dalam
alkohol

(FKUI, 2012)

7.3.Otitis Media Akut


a. Definisi
Otitis media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Ballenger, 2010; FK UI, 2012).

b. Etiologi
1) Bakteri. Bakteri piogenik merupakan penyebab otitis media akut (OMA) yang
tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri
piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah.
Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus
pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella
catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan
organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit.
Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang
dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak
(Kerschner, 2007; Ballenger, 2010; FK UI, 2012).
2) Virus. Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada

21
anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau
enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,
menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi
obat antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya. Dengan
menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-
linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga
tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Kerschner, 2007; Ballenger,
2010; FK UI, 2012).

c. Klasifikasi
Menurut Kerschner (2007) otitis media dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan kejadiannya

22
Gambar 2. Klasifikasi berdasarkan gejala

d. Epidemiologi
Pada umumnya OMA merupakan komplikasi dari infeksi atau radang saluran
nafas atas, misalnya common cold, influenza, sinusitis, morbili, dan sebagainya. Infeksi
kebanyakan melaui tuba Eustachii, selanjutnya masuk ke telinga tengah atau cavum
timpani. Menurut Kerschner (2007) frekuwensi tertinggi di OMA terdapat pada bayi dan
anak berumur 0-2 tahun. Sedangkan menurut Ballenger (2010) melaporkan bahwa 50%
dari kasus OMA ditemukan pada anak berumur 0 – 5 tahun dan frekwensi tertinggi pada
umur 0-1 tahun.

e. Patofisiologi
Menurut Ballenger (2010) dan FK UI (2012) otitis media sering diawali dengan
infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke
telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka
dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar
saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri.
Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri.
Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan
jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga
tengah terkumpul di belakang gendang telinga.

23
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang
dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak
dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45db (kisaran pembicaraan normal).
Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu
banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.

f. Stadium Otitis Media Akut


Menurut Kerschner (2007) OMA memiliki beberapa stadium klinis yang meliputi :
1. Stadium oklusi tuba eustachius
 Terdapat gambaran retraksi membran timpani.
 Membran timpani berwarna normal atau keruh pucat.
 Sukar dibedakan dengan otitis media serosa virus.
2. Stadium hiperemis
 Pembuluh darah tampak lebar dan edema pada membran timpani.
 Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga
sukar terlihat.
3. Stadium supurasi
 Membran timpani menonjol ke arah luar.
 Sel epitel superfisila hancur.
 Terbentuk eksudat purulen di kavum timpani.
 Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga tambah
hebat.
4. Stadium perforasi
 Membran timpani ruptur.
 Keluar nanah dari telinga tengah.
 Pasien lebih tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
5. Stadium resolusi
 Bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan normal kembali.
 Bila terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan mengering.
 Resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi rendah dan daya tahan tubuh
baik.

24
e. Manifestasi Klinis
Menurut Kerschner (2007) dan Ballenger (2010) manifestasi klinis OMA bergantung
pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan
utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya
terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang
dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga
atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu
tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir
ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang.
Penilaian klinis OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu
penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien
tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang
kemerahan dan membengkak atau bulging. Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan
skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 2, berarti OMA ringan dan bila 3 berarti OMA
berat (Titisari, 2005).

Tabel 1. Skor otitis media akut (Titisari, 2005)


Skor Suhu (°C) Gelisah Tarik Keemerahan Bengkak
Telinga pada pada
membran membran
timpani timpani
(bulging)
0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0-38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6-39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 >39,0 Berat Berat Berat Berat

f. Komplikasi
Menurut Depkes (2005) komplikasi yang timbul pada otitis media meliputi :
a. Intratemporal

25
- Perforas membran tympani
- Mastoiditis akut
- Paresis nervus facialis
- Labirintis
- Petrositis
b. Ekstratemporal
- Abses subperiosteal
c. Intracranial
- Abses otak
- Trombofleboritis.
g. Faktor Resiko
Menurut Kerschner (2007) dan Harmes et al. (2013) faktor resiko otitis media adalah
umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air
susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain,
abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di
saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada
bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau
imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak
juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi
dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan
Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras
lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah,
dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-
anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang
kurangnya asupan ASI dan sering memakai dot banyak menderita OMA. Lingkungan
merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding
dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain
seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya
abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba
Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media

26
merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri
atau virus (Kerschner, 2007)
Tabel 1. Faktor resiko otitis media (Harmes et al., 2013)

h. Pencegahan kekambuhan
Menurut Hermes et al. (2013) untuk memcegah kekambuhan harus dilakukan :
1. Periksa alergi terdiagnosis mengarah ke rhinorrhea kronis
2. Meminimalkan penggunaan botol susu dan dot
3. Meminimalkan paparan asap rokok
4. Rutin imunisasi dengan konjugasi pneumokokus dan vaccines influenza
5. Gunakan gum xylitol pada anak-anak yang sesuai (dua potong, lima kali
hari setelah makan dan mengunyah selama setidaknya lima menit)

Tabel Strategi pencegahan kekambuhan OMA (Hermes et al., 2013)

i. Penegakkan Diagnosis
Menurut Depkes (2005) penegakkan diagnosis otitis media dilakukan dengan :
1) Anamnesis, meliputi riwayat kesehatan maupun manifestasi klinis yang dirasakan.

27
2) Pemeriksaan Fisik yang meliputi :
 Pemeriksaan membrana timpani menggunakan otoscope.
 Mengukur kelenturan membrana timpani dengan Tympanometer, dari tes ini akan
tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga bagian tengah.

3) Pemeriksaan penunjang
 X-ray dan CT-scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan
nekrosis tulang pada otitis maligna ataupun kronik.

j. Penatalaksanaan
Menurut Depkes RI (2005) dan Kerschner (2007) penatalaksanaan otitis media akut
dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis
media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin
terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi
membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung
HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl
efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika
terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin.
Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam
darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai
gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien
alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-
masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.

28
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang
dan tidak terjadi ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai
dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang
dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak
ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di
liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan
sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis. Sekitar
80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi dapat
dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari,
atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai
dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul
adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut
American Academy of Pediatrics (2004) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi
dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik.

Tabel. 3. Antibiotik yang direkomendasikan untuk otitis media akut (Hermes et al., 2013)

Tabel 4. Treatment untuk otitis media akut (NSW Health, 2014).

29
30
Penatalaksanaan tergantung pada stadium penyakitnya :

1. Stadium oklusi
Terapi bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius sehingga tekanan
negative ditelinga tengah hilang dengan diberikan :
 Obat tetes hidung HCL efedrin 0.5% dalam larutan fisiologis (anak <12
tahun) atau HCL efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak diatas 12
tahun atau dewasa
 Mengobati sumber infeksi lokal dengan antibiotik bila penyebabnya
kuman
2. Stadium hiperemis
 Antibiotik (golongan penisilin atau ampisilin) selama 7 hari
 Obat tetes hidung (decongestan)
 Analgesic/antipiretik
3. Stadium supurasi
 Diberikan dekongestan, antibiotik, analgetik/antipiretik
 Pasien dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran tympani masih
utuh sehingga gejala-gejala klinis cepat hilang dan perforasi dapat
dihindari.
4. Stadium perforasi
 Diberikan obatcuci telinga perhidrol atau H2O3 3% selama 3-5 hari
 Antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu
 Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri selama 7-
10 hari
5. Stadium resolusi
 Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila tidak ada perbaikan
membran tympani, secret dan perforasi

2) Terapi Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,
seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi.
 Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus

31
dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran
timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-
inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu
dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi miringostomi pada
anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis
nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi
merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali
terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan
terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.
 Timpanosintesis
timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal
supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis
adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi
baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
 Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan
OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan
adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren.

32
BAB VIII
PENUTUP

A. KESIMPUPULAN
Pada skenario pertama kali ini, datang anak perempuan berusia 6 tahun dengan
keluhan keluar cairan putih kental dari telinga kirinya, ia juga merasa nyeri dan
demam. Keluhan yang dialami oleh anak tersebut terjadi berkaitan dengan riwayat
ISPA yang pernah di deritanya. ISPA yang terjadi menyebabkan refluks
mikroorganisme ke telinga tengah, apalagi yang terkena adalah anak-anak. Tuba
auditiva anak-anak lebih mendatar, pendek dan lebar, sehingga memungkinkan
terjadinya refluks bakteri ke telinga tengah sangat tinggi. Infeksi yang terjadi pada
traktus respiratorius atas dapat menyebabkan kongesti dan edema membaran mukosa
nasofaring dan tuba auditiva. Kongesti dan edema tersebut dapat menyebabkan
obstruksi tuba, jika sudah terjadi obstruksi pada tuba auditiva maka tekanan negatif
yang ada pada telinga tengah akan meninggi. Tekanan negatif yang tinggi dapat
menyebabkan refluks dan aspirasi mikroorganisme ke telinga tengah, sehingga bisa
terjadi invasi bakteri. Invasi tersebut dapat menyebabkan proses inflamasi yang
kemudian akan menyebabkan demam, nyeri dan keluar cairan putih kental dari
telinga. Jika hal tersebut berlangsung lama dan terjadi efusi cairan ke telinga tengah,
maka bisa terjadi Otitis media akut.
Jika dilihat dari keluhan yang dialami anak tersebut, maka bisa disimpulkan
anak tersebut terkena otitis media akut. Otitis media terbagi menjadi 5 stadium, yaitu
stadium oklusi, hiperemis, supuratif, perforasi dan resolusi. Tiap stadium memiliki
ciri yang berbeda pada pemeriksaan otoskopi dan memiliki pengobatan yang berbeda.
dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan terdapat
indikasi bahwa anak tersebut sudah masuk dalam stadium perforasi, karena sudah
keluar cairan putih kental dari telinga kirinya. Hal tersebut menandakan bahwa
membran timpaninya sudah mengalami perforasi sehingga bisa keluar cairan putih
kental dari membran timpani. Pengobatan yang bisa dilakukan yaitu pemberian obat
tetes telinga H2O2 3% untuk membunuh bakteri yang ada didalam telinganya,
kemudian diberikan antibotik sebagai kausatifnya dan simptomatiknya diberikan
analgetik sebagai pereda nyeri dan antipiretik sebagai pereda demam. Selain
pengobatan farmakologi, pengobatan non-farmakologi seperti penggunaan sumbat

33
kapas ketika mandi, menghindari berenang saat masih terkena OMA, makan sayur
dan buah, tirah baring juga perlu diberikan.
Komplikasi yang bisa terjadi dari Otitis Media Akut jika tidak ditangani
dengan cepat dan benar adalah otits media supuratif kronik, otitis maligna,
mastoiditis, meningitis, encephalitis, abses subperiosteal bahkan bisa sampai abses
otak.

B. SARAN
1. Sebaiknya sebelum melakukan diskusi PBL, anggota lebih mempersiapkan diri
hafalan Al-Quran, agar pada saat pengecekan, setiap anggota hafal dan lancar.
2. Setiap anggota sebaiknya tetap diam dan memperhatikan ketika ada anggota lain yang
sedang mempresentasikan hasil belajar mandiri dirumah. Diharapkan anggota tidak
mengobrol sendiri.
3. Ketua diskusi sebaiknya dapat mengatur jalannya diskusi agar diskusi bisa berjalan
lancar. Selain itu, ketua juga harus bisa menyimpulkan setiap pendapat yang diajukan
oleh anggota lain.
4. Sebaiknya tiap anggota sudah harus mempersiapkan materi yang akan didiskusikan.
5. Sebaiknya fasilitas seperti kabel proyektor diperbaiki, karena proses tutorial kami
menjadi terhambat.

34
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics (2004). Diagnosis and management of acute otitis media.
Pediatrics, 113(5), 1451-1465.

Ballenger, J.J. (2010). Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jilid 1.
Jakarta : Binarupa Aksara.

Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Jakarta
: Departemen Kesehatan RI.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.A.,
ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi
ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86.

Dorland. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 25. Alih bahasa. dr. Poppy Kumala, dr.
Sugiarto Komala, dr. Alexander H. Santoso, dr. Johannes Rubijanto Sulaiman, dr.
Yuliasari Rienita. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998: 319

FK UI. (2012). Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Edisi 7. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Guyton AC, & Hall JE. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Penterjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hermes, K.M., Blackwood, A., Burrows, H., Cooke, J.M., VanHarisson & Passamani, P.
(2013). Otitis Media : Diagnosis and treatment. American Family Physicians, 88(7),
434-440.

Kerschner, J.E. (2007). Otitis Media. In. Kliegman, R.M. (Ed.). Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th Edition. (pp. 2632-2646). New York, USA: Saunders Elsevier.

May BJ, Budelis J, Niparko JK. 2004. Behavioral Studies of the Olivocochlear Efferent
System: Learning to Listen in Noise. American Medical Associaton. 130(5): 660-
664.

NSW Health. (2014). Infants and Children, Otitis Media : Acute Management of Sore Ear.
2nd Edition. North Sydney, NSW: Ministry of Health NSW.

Suprihati, Santosa, Y.I., Rahmi, F.L. & Prihatningtias, R. (2015). Pandual Skill
Lab/Keterampilan Klinis Dsar Modul 5.2 Indra. Semarang : Fakultas Kedokteran
Univ. Diponegoro.

Titisari, H. (2005). Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media
Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,

35
Widyawati, I.Y. (2012). Manual Prosedur Pemeriksaan Fisik Pada Telinga. Surabaya
Fakultas Keperawatan Univ. Airlangga.

36

Anda mungkin juga menyukai

  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen34 halaman
    TB Paru
    DesiDwi
    Belum ada peringkat
  • Hipoglikemia
    Hipoglikemia
    Dokumen40 halaman
    Hipoglikemia
    DesiDwi
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen34 halaman
    TB Paru
    DesiDwi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Fix Bismillah Skenario 5
    Laporan Fix Bismillah Skenario 5
    Dokumen36 halaman
    Laporan Fix Bismillah Skenario 5
    DesiDwi
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Adhd
    Lapsus Adhd
    Dokumen55 halaman
    Lapsus Adhd
    Amelia Dyati Putri
    Belum ada peringkat
  • Skizo Desii
    Skizo Desii
    Dokumen28 halaman
    Skizo Desii
    DesiDwi
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Adhd
    Lapsus Adhd
    Dokumen55 halaman
    Lapsus Adhd
    Amelia Dyati Putri
    Belum ada peringkat
  • Insomnia
    Insomnia
    Dokumen34 halaman
    Insomnia
    DesiDwi
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Adhd
    Lapsus Adhd
    Dokumen55 halaman
    Lapsus Adhd
    Amelia Dyati Putri
    Belum ada peringkat
  • Kolesistitis
    Kolesistitis
    Dokumen29 halaman
    Kolesistitis
    DesiDwi
    Belum ada peringkat
  • Insomnia
    Insomnia
    Dokumen34 halaman
    Insomnia
    DesiDwi
    Belum ada peringkat
  • Mikro
    Mikro
    Dokumen1 halaman
    Mikro
    Sarah Rachmatia
    Belum ada peringkat