irmaariyanti
Iklan
BAB I
PENDAHULUAN
berlangsung sejak sbelum Indonesia merdeka hingga sekarang dan hingga yang akan datang.
Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuhkembangnya program dan praktik pendidikan
pendidikan Islam Indonesia, jika ditilik dari aspek program dan praktik pendidikannya ke
dalam 5 jenis, yaitu: (1) pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan madrasah; (3)
pendidikan umum yang bernafaskan Islam; (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan
di lembaga pendidikan-pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah
saja. Dan yang terakhir yakni pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat
ibadah, dan/atau forum-forum kajian keislaman, majelis ta’lim dan institusi-institusi lainnya
yang sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat. Jenis yang kelima tersebut biasa disebut
Kelima jenis pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermuara pada satu pengertian yang
utuh, bahwa yang dimaksud pendidikan Islam ialah pendidikan yang didirikan dan
diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi, niat (rencana yang sungguh-sungguh) dan
diwujudkan dalam visi, misi, tujuan maupun program pendidikan dan pelaksanaannya
sebagaimana tercakup dalam lima program dan praktik pendidikan Islam tersebut di atas.
sebelum Indonesia merdeka (1900-menjelang 1945), agaknya labih ditujukan pada upaya
menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode tersebut diduga muncul berbagai problem
dan isu-isu pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan diskursus dalam
pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir, pengembang dan
Islam kontemporer untuk tidak terjebak ke dalam pola pengembangan yang bersifat regresif
dan konservatif, mengingat suasana zaman dan konteks sosio-kultural yang berbeda.
Pengembangan pendidikan Islam yang berjalan ditempat dan/atau surut ke belakang diduga
akan terganjal oleh banyak persoalan dalam menghadapi era perkembangan iptek dan
globalisasi.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengembangan Pendidikan Agama Islam (Kurikulum) di SMA Dalam Konteks Ideal
Istilah pengembangan menunjukkan kepada suatu kegiatan yang menghasilkan suatu cara
yang “baru”, dimana selama kegiatan tersebut, penilaian dan penyempurnaan terhadap
cara tersebut terus dilakukan. Pengertian pengembangan ini berlaku juga bagi kurikulum
pendidikan. Karena pengembangan kurikulum juga terkait penyusunan kurikulum itu sendiri
dan pelaksanaannya pada satuan pendidikan disertai dengan evaluasi dengan intensif
(Syaodih, 2004:5).[2]
kurikulum pendidikan pada suatu satuan pendidikan, agar menghasilkan sebuah kurikulum
(dapat dilaksanakan), yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan satuan pendidikan
dan daerah masing-masing. Kurikulum yang seperti ini yang kemudian dikenal dengan
Menurut Herrick, ada 3 macam sumber kurikulum, yaitu pengetahuan, masyarakat serta
generasi muda bagi kehidupannya masa kini dan bagi masa yang akan datang. Karena
kurikulum mempersiapkan anak bagi kehidupannya, maka baik isi maupun proses (Jack
Wilton) kurikulum bersumber dan didasarkan atas hal-hal yang ada pada diri anak serta
(1976) juga mengemukakan dasar-dasar yang hampir sama, dengan menambahkan dasar
filsafat dan sejarah. Menurut Doll ada empat dasar atau sumber penyusunan kurikulum,
yaitu, dasar filsafat dan sejarah, dasar psikologi, dasar sosial dan dasar ilmu pengetahuan.
melalui proses yang logis rasional dan valid dengan senantiasa berusaha merelevansikan
ini pada gilirannya menuntut tingkat pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman agar
mampu mengembangkan kurikulum secara terus menerus. Dalam rangka inilah maka setiap
guru perlu mengalami pendidikan guru, mengikuti kegiatan pengembangan staf dan
program in-service training. Konsep ini berlandaskan pada asumsi bahwa guru memiliki hak
untuk memutuskan sendiri apa-apa yang akan diajarkannya, dan bagaimana cara
mengajarkannya. Namun demikian, tetap dalam pola kurikulum yang telah digariskan
golongan. Pertama, para guru yang responsif terhadap kegiatan pengembangan kurikulum.
Kedua, adalah para guru yang lebih menyukai mengikuti dengan baik dan patuh kurikulum.
Ketiga adalah para guru yang menentukan isi kurikulum bergantung selera atau minat dan
kemampuan guru sendiri, sehingga kurikulum terus menerus ditambah, dilengkapi, yang
Guru perlu memiliki sikap inovatif, agar kurikulum senantiasa selaras dengan kebutuhan
masyarakat, tetapi kurikulum lama dalam garis besarnya tak perlu segera ditinggalkan.
Beberapa usaha pembaruan baik dilakukan dengan pertimbangan kurikulum yang sudah ada.
Jadi peningkatan kemampuan yang profesional dari guru, agar mampu mengikuti perubahan
dan belajar terus, kiranya merupakan keharusan profesional yang perlu dipersiapkan sejak
School district (lingkungan sekolah), berkaitan dengan kondisi sekolah, fasilitas dan sarana
kerjasama dengan dunia usaha dan industri.Principal (kepala sekolah), berkaitan dengan
Sebagai implemter, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam
Guru tidak memiliki ruang baik untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target
kurikulum. Pada fase sebagai implementator kurikulum, peran guru dalam pengembangan
kurikulum sebatas hanya menjalankan kurikulum yang telah disusun. Dalam pengembangan
kurikulum, guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya bertanggungjawab dalam
apa yang dilakukan oleh guru-guru di bagian timur Indonesia, sama dengan apa yang
dilakukan oleh guru-guru di bagian barat Indonesia. Oleh karena guru hanya sekedar
pelaksana kurikulum, maka tingkat kreativitas dan inovasi guru dalam merekayasa
pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai pembaruan.
Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau
tugas keseharian.Peran guru sebagai adapters, lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum,
akan tetapi juga sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik kebutuhan siswa dan
kebutuhan daerah. Dalam fase ini, guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum
yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Dengan demikian, peran
dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi
pelajaran yang akan disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang
harus dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang
kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan
misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa. Pelaksanaan
peran ini dapat kita lihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal (Mulok) sebagai
bagian dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengembangan kurikulum
muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing tiap satuan pendidikan. Oleh
sebab itu bisa terjadi kurikulum mulok antar sekolah berbeda. Kurikul dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing sekolah.Peran guru sebagai peneliti kurikulum. Peran ini
dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab
dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam pelaksanaan peran sebagai peneliti,
guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya
menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas program, menguji strategi dan model
mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang dianjurkan dalam penelitian ini adalah
metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yakni metode penelitian yang berangkat dari
masalah yang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif
Kaitannya dengan konsep ideal pengembangan PAI di SMA yakni peran guru dalam
mengembangkan kurikulum khususnya dalam mata pelajaran PAI di sekolah tempat guru
tersebut mengabdikan diri. Guru sebagai pengembang kurikulum dituntut untuk mampu
membuat perencanaan pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian pengajaran
Artinya, guru juga harus mampu mengembangkan kreatifitas dan berinovasi dalam
menerapkan metode dan strategi pembelajaran dalam kelas sesuai materi yang diajarkan
serta sesuai dengan kemampuan siswa dalam menerima materi tersebut. Selain guru,
kepala sekolah, sarana prasarana serta pihak lain seperti stake holder (masyarakat, swasta)
sekolah. Seperti adanya buku, alat LCD, laptop, radio pembelajaran dan lain sebagainya,
keberadaan alat dan sumber pembelajaran tersebut akan sangat berperan dalam
Kegiatan lain seperti pembelajaran outdoor activity juga memiliki peran untuk mengurangi
kejenuhan siswa dalam menerima materi pelajaran, dalam hal ini seperti kegiatan
mengembangkan minat dan bakat siswa, supaya siswa mempunyai pengalaman dan dapat
menggali bakatnya untuk hal yang positif demi kehidupannya setelah lulus kelak.
Untuk dapat memenuhi porsi pembelajaran PAI di SMA agar seimbang dengan
memberlakukan penambahan jam pelajaran PAI, yang semula 2 jam/minggu menjadi 3 atau
4 jam/minggu. Agar setelah siswa lulus nanti, pengetahuan, akhlak dan ketrampilannya
dalam kajian ilmu keagamaan juga dapat dikatakan sama dengan siswa lulusan madrasah.
Hingga saat ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung di sekolah masih dianggap
kurang berhasil (untuk tidak mengatakan “gagal”) dalam menggarap sikap dan perilaku
keberagamaan peserta didik serta membangun moral dan etika bangsa. Bermacam-macam
argumen yang dikemukakan untuk memperkuat statement tersebut, antara lain adanya
PAI kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai”
diinternalisasikan dalam diri peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan agama selama ini
lebih menekankan pada aspek knowingdan doing dan belum banyak mengarah ke
aspek being, yakni bagaimana peserta didik menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-
nilai agama yang diketahui (knowing), padahal inti pendidikan agama berada di aspek ini.PAI
kurang dapat berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan
masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya, dan/atau bersifat statis kontekstual
dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai
Persoalan tersebut sebenarnya sudah bersifat klasik, namun hingga kini rupanya belum juga
pendidikan agama Islam tersebut hingga kini belum terpecahkan secara memadai, tetapi di
sisi lain juga sedang berhadapan dengan faktor-faktor eksternal yang antara lain berupa
pada umumnya.
Kini ditambah pula dengan perubahan kurikulum yang selalu berganti seiring pergantian
pula karena banyak kekurangan pada kurikulum sebelumnya dan hal tersebut dirasakan
juga pasti akan berimbas pada kegiatan pembelajaran di sekolah pada umumnya.
Di satu sisi beberapa sekolah/madrasah yang merasa mampu dan bisa meminimalkan
kendala/permasalahan yang timbul akibat perubahan kurikulum, namun di sisi lain tak
sedikit pula sekolah/madrsasah yang belum mampu memaksimalkan pembelajaran dengan
kurikulum yang ditetapkan saat ini. Misalnya penerapan kurikulum 2013 (Kurtilas) sejak
tahun 2014 lalu, beberapa sekolah/madrasah unggulan telah dipersiapkan untuk merespon
perubahan kurikulum dengan pelatihan kepala sekolah/madrasah dan guru (yang pertama
diberikan pelatihan adalah kepala sekolah/madrsah dan guru dari lembaga yang dijadikan
Namun, dibalik itu semua, pemerataan pelatihan kepala sekolah/madrasah dan guru belum
terpenuhi dan buku/sumber dan alat pembelajaran di setiap sekolah juga belum terpenuhi.
Bantuan dana dari pemerintah juga belum dirasakan oleh semua sekolah/madrsah di
Indonesia. Betapa sulitnya guru dalam mengajarkan materi pada anak didiknya jika semua
agar dapat mencapai tujuan pendidikan agama Islam (membimbing anak didik supaya
mampu berprestasi dan terampil berwawasan IPTEK dan berlandaskan IMTAQ/ berakhlak
mulia), serta untuk meminimalkan kesenjangan antara idealitas dengan realitas pendidikan
agama Islam di semua sekolah/madrasah Indonesia pada umumnya. Dalam hal ini, agaknya
Untuk mewujudkan keberhasilan pendidikan agama Islam, maka tidak bisa dilepaskan dari
adanya kerjasama yang baik antar sekolah, keluarga dan masyarakat. Karena itu, pembinaan
pendidikan agama Islam perlu dikembangkan dengan menekankan keterpaduan antara tiga
lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Untuk itu, guru
agama perlu mendorong dan memantau kegiatan pendidikan agama Islam yang dialami oleh
peserta didik di dua lingkungan pendidikan lainnya (keluarga dan masyarakat), sehingga
terwujud keselarasan dan kesatuan tindak dalam pembinaannya. Demikian pula sebaiknya,
keluarga dan masyarakat perlu ikut memonitor kegiatan pendidikan agama Islam di sekolah.
Oleh karena itu, hubungan kerjasama yang baik antara sekolah (GPAI) dengan orangtua/wali
murid dan pemuka agama (masyarakat) perlu diupayakan da dikembangkan melalui suatu
dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler atau pendidikan agama Islam non formal
yang bersifat mengikat terhadap peserta didik tersebut. Konsisten dengan berbagai fungsi
pendidikan agama Islam itu sendiri, yakni sebagai pengembangan, penyaluran, perbaikan,
pencegahan, penyesuaian, sumber nilai dan pengajaran, maka dengan porsi jam pelajaran
pendidikan agama Islam sebagaimana yang ada, baik di SD, SMP dan SMA maupun di MI,
MTs dan MA, dirasa belum cukup untuk mampu mencapai kompetensi dasar dan hasil
Karena itu perlu menjalin kerjasama dengan pendidikan agama Islam non-formal, yang
sekaligus untuk menghidupkan pendidikan agama Islam di dalam keluarga dan masyarakat.
Kerjasama ini bersifat mengikat, dalam arti setiap peserta didik diwajibkan mengikuti
pendidikan agama Islam non-formal, baik yang dilakukan oleh guru pendidikan agama Islam
diluar jam belajar di sekolah ataupun yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya TPA-TPA,
kursus-kursus kajian keagamaan Islam atau pendalaman materi pendidikan agama Islam dan
sebagainya.
Kegiatan kerjasama itu patut diterapkan di sekolah, mengingat orangtua atau masyarakat
sudah mulai menyadari akan pentingnya pendidikan agama bagi anak-anaknya, disebabkan
munculnya gejolak fenomena sosial yang kurang menguntungkan, yaitu dengan adanya
krisis moral, krisis spiritual yang terjadi di kalangan anak-anak muda dan orang dewasa di
masyarakat sebagai dampak negatif dari proyek modernisasi dan kemajuan IPTEK. Karena
itu sebagian orangtua mulai memikirkan sejak dini tentang bagaimana nasib anaknya jika
sampai terjerumus dalam tindakan-tindakan brutal, amoral dan sebagainya di masa depan.
Bila ide-ide tersebut bisa digerakkan di sekolah, terutama bagi sekolah yang belum sempat
disamping pendidikan agama Islam nonformal semakin hidup subur dan berkembang karena
adanya dukungan dari sekolah, juga akan banyak membuka peluang tenaga kerja bagi para
BAB IV
A. Kesimpulan
Pengembangan pendidikan agama Islam (Kurikulum) di SMA dalam konteks ideal yakni
peran guru dalam mengembangkan kurikulum khususnya dalam mata pelajaran PAI di
sekolah tempat guru tersebut mengabdikan diri. Guru sebagai pengembang kurikulum
penilaian pengajaran sesuai dengan kurikulum dari pemerintah. Dan saat ini kurikulum yang
SMA dalam konteks realitas. Penyelenggaraan PAI di SMA belum sepenuhnya terpenuhi, ini
dikarenakan beberapa faktor diantaranya Sumber daya guru, penyelenggaraan pelajaran PAI
kerjasama dari berbagai pihak agar dapat mencapai tujuan pendidikan agama Islam
(membimbing anak didik supaya mampu berprestasi dan terampil berwawasan IPTEK dan
B. Penutup
Demikian makalah ini kami buat, kami selaku penulis memohon maaf apabila terdapat
banyak kesalahan dalam penulisan kata dan kekurangan lainnya, serta kami mengucapkan
terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah terkait dan pada para pembaca makalah
ini atas tanggapan dan respon positifnya dalam penyampaian makalah kami.
Kritik dan saran positif dari dosen dan pembaca kami harapkan untuk perbaikan penulisan
makalah selanjutnya.
[1] Muhaimin, Wawasan Pendidikan Islam, Bandung: Marja, 2014, hlm. 13.
[2] Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung:
[3] Abdul Majid, Implementasi Kurikulum 2013, Bandung: Interes Media, 2014, hlm. 12.
[5] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009,
hlm. 30-31.
DAFTAR PUSTAKA
Alfabeta.
Muhaimin. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Iklan
My world
Iklan