Anda di halaman 1dari 19

PENGEMBANGAN PAI DI SMA

irmaariyanti

2 tahun yang lalu

Iklan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah pengembangan aktivitas kependidikan Islam di Indonesia pada dasarnya sudah

berlangsung sejak sbelum Indonesia merdeka hingga sekarang dan hingga yang akan datang.
Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuhkembangnya program dan praktik pendidikan

Islam yang dilaksanakan di nusantara. Buchori (1989) memetakan struktur internal

pendidikan Islam Indonesia, jika ditilik dari aspek program dan praktik pendidikannya ke

dalam 5 jenis, yaitu: (1) pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan madrasah; (3)

pendidikan umum yang bernafaskan Islam; (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan

di lembaga pendidikan-pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah

saja. Dan yang terakhir yakni pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat

ibadah, dan/atau forum-forum kajian keislaman, majelis ta’lim dan institusi-institusi lainnya

yang sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat. Jenis yang kelima tersebut biasa disebut

dengan pendidikan Islam luar sekolah (pendidikan Islam nonformal).[1]

Kelima jenis pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermuara pada satu pengertian yang

utuh, bahwa yang dimaksud pendidikan Islam ialah pendidikan yang didirikan dan

diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi, niat (rencana yang sungguh-sungguh) dan

semangat untuk memanifestasikan atau mengejawantahkan nilai-nilai Islam, yang

diwujudkan dalam visi, misi, tujuan maupun program pendidikan dan pelaksanaannya

sebagaimana tercakup dalam lima program dan praktik pendidikan Islam tersebut di atas.

Menurut Muhaimin, pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, terutama pada periode

sebelum Indonesia merdeka (1900-menjelang 1945), agaknya labih ditujukan pada upaya

menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode tersebut diduga muncul berbagai problem

dan isu-isu pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan diskursus dalam
pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir, pengembang dan

pengelola pendidikan Islam di Indonesia.

Kajian ini diperlukan terutama dalam rangka mengantisipasi perkembangan pendidikan

Islam kontemporer untuk tidak terjebak ke dalam pola pengembangan yang bersifat regresif

dan konservatif, mengingat suasana zaman dan konteks sosio-kultural yang berbeda.

Pengembangan pendidikan Islam yang berjalan ditempat dan/atau surut ke belakang diduga

akan terganjal oleh banyak persoalan dalam menghadapi era perkembangan iptek dan

globalisasi.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengembangan pendidikan agama Islam (Kurikulum) di SMA dalam konteks

ideal?Bagaimana pengembangan pendidikan agama Islam (Kurikulum) di SMA dalam

konteks realitas?Bagaimana solusi pemecahan masalah untuk menanggapi kesenjangan

antara idealitas dengan realitas pengembangan PAI di SMA?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengembangan Pendidikan Agama Islam (Kurikulum) di SMA Dalam Konteks Ideal

Istilah pengembangan menunjukkan kepada suatu kegiatan yang menghasilkan suatu cara

yang “baru”, dimana selama kegiatan tersebut, penilaian dan penyempurnaan terhadap

cara tersebut terus dilakukan. Pengertian pengembangan ini berlaku juga bagi kurikulum

pendidikan. Karena pengembangan kurikulum juga terkait penyusunan kurikulum itu sendiri

dan pelaksanaannya pada satuan pendidikan disertai dengan evaluasi dengan intensif

(Syaodih, 2004:5).[2]

Pengembangan kurikulum merupakan suatu cara untuk merencanakan dan melaksanakan

kurikulum pendidikan pada suatu satuan pendidikan, agar menghasilkan sebuah kurikulum

yang kolaboratif, akomodatif, sehingga menghasilkan kurikulum yang ideal-operasional

(dapat dilaksanakan), yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan satuan pendidikan

dan daerah masing-masing. Kurikulum yang seperti ini yang kemudian dikenal dengan

sebutan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Menurut Herrick, ada 3 macam sumber kurikulum, yaitu pengetahuan, masyarakat serta

individu yang dididik. Kurikulum sebagai desain pendidikan mempersiapkan pendidikan

generasi muda bagi kehidupannya masa kini dan bagi masa yang akan datang. Karena

kurikulum mempersiapkan anak bagi kehidupannya, maka baik isi maupun proses (Jack
Wilton) kurikulum bersumber dan didasarkan atas hal-hal yang ada pada diri anak serta

lingkungannya. Herrick menyebutkan empat sumber penyesuaian kurikulum, yaitu bidang

pengajaran (pengetahuan), masyarakat, individu dan perkembangan teknologi, Ronald Doll

(1976) juga mengemukakan dasar-dasar yang hampir sama, dengan menambahkan dasar

filsafat dan sejarah. Menurut Doll ada empat dasar atau sumber penyusunan kurikulum,

yaitu, dasar filsafat dan sejarah, dasar psikologi, dasar sosial dan dasar ilmu pengetahuan.

Setiap guru bertanggungjawab melakukan perubahan-perubahan yang harus direncanakan

melalui proses yang logis rasional dan valid dengan senantiasa berusaha merelevansikan

pendidikan yang diberikannya dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Tanggungjawab

ini pada gilirannya menuntut tingkat pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman agar

mampu mengembangkan kurikulum secara terus menerus. Dalam rangka inilah maka setiap

guru perlu mengalami pendidikan guru, mengikuti kegiatan pengembangan staf dan

program in-service training. Konsep ini berlandaskan pada asumsi bahwa guru memiliki hak

untuk memutuskan sendiri apa-apa yang akan diajarkannya, dan bagaimana cara

mengajarkannya. Namun demikian, tetap dalam pola kurikulum yang telah digariskan

sebagai frame of reference.

Terhadap perubahan kurikulum, umumnya para guru dapat dikategorikan menjadi 3

golongan. Pertama, para guru yang responsif terhadap kegiatan pengembangan kurikulum.

Kedua, adalah para guru yang lebih menyukai mengikuti dengan baik dan patuh kurikulum.

Ketiga adalah para guru yang menentukan isi kurikulum bergantung selera atau minat dan
kemampuan guru sendiri, sehingga kurikulum terus menerus ditambah, dilengkapi, yang

mengakibatkan ketidakseimbangan dalam kurikulum.

Guru perlu memiliki sikap inovatif, agar kurikulum senantiasa selaras dengan kebutuhan

masyarakat, tetapi kurikulum lama dalam garis besarnya tak perlu segera ditinggalkan.

Beberapa usaha pembaruan baik dilakukan dengan pertimbangan kurikulum yang sudah ada.

Jadi peningkatan kemampuan yang profesional dari guru, agar mampu mengikuti perubahan

dan belajar terus, kiranya merupakan keharusan profesional yang perlu dipersiapkan sejak

awal dalam proses pendidikan guru (Sofyan, 2009:7).

Fulan (1991:67) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi kunci dalam proses

implementasi berdasarkan karakteristik lokal (local characteristies), yaitu[3]:

School district (lingkungan sekolah), berkaitan dengan kondisi sekolah, fasilitas dan sarana

pendukung yang memadai.Community (masyarakat), dukungan masyarakat sekitar,

kerjasama dengan dunia usaha dan industri.Principal (kepala sekolah), berkaitan dengan

manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah.Teacher (guru), adanya respon, dukungan,

partisipasi guru dalam pelaksanaan kurikulum.External factors (faktor eksternal), dukungan

dari pemerintah (administrator pendidikan), swasta.


Murray Printr (1993), mengemukakan peran guru dalam mengembangkan kurikulum

menjadi beberapa tingkatan, yakni sebagai berikut[4]:

Sebagai implemter, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam

melaksanakan perannya, guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum.

Guru tidak memiliki ruang baik untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target

kurikulum. Pada fase sebagai implementator kurikulum, peran guru dalam pengembangan

kurikulum sebatas hanya menjalankan kurikulum yang telah disusun. Dalam pengembangan

kurikulum, guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya bertanggungjawab dalam

mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada. Akibatnya kurikulum bersifat seragam,

apa yang dilakukan oleh guru-guru di bagian timur Indonesia, sama dengan apa yang

dilakukan oleh guru-guru di bagian barat Indonesia. Oleh karena guru hanya sekedar

pelaksana kurikulum, maka tingkat kreativitas dan inovasi guru dalam merekayasa

pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai pembaruan.

Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau

tugas keseharian.Peran guru sebagai adapters, lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum,

akan tetapi juga sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik kebutuhan siswa dan

kebutuhan daerah. Dalam fase ini, guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum

yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Dengan demikian, peran

guru sebagai adapters lebih luas dibandingkan dengan peran guru

sebagai implementers.Peran sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan

dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi

pelajaran yang akan disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang
harus dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang

kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan

misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa. Pelaksanaan

peran ini dapat kita lihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal (Mulok) sebagai

bagian dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengembangan kurikulum

muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing tiap satuan pendidikan. Oleh

sebab itu bisa terjadi kurikulum mulok antar sekolah berbeda. Kurikul dikembangkan sesuai

dengan kebutuhan masing-masing sekolah.Peran guru sebagai peneliti kurikulum. Peran ini

dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab

dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam pelaksanaan peran sebagai peneliti,

guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya

menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas program, menguji strategi dan model

pembelajaran, dan sebagainya termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa

mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang dianjurkan dalam penelitian ini adalah

metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yakni metode penelitian yang berangkat dari

masalah yang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif

melakukan penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang

dihadapi. (Sanjaya, 2010: 29).

Kaitannya dengan konsep ideal pengembangan PAI di SMA yakni peran guru dalam

mengembangkan kurikulum khususnya dalam mata pelajaran PAI di sekolah tempat guru

tersebut mengabdikan diri. Guru sebagai pengembang kurikulum dituntut untuk mampu
membuat perencanaan pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian pengajaran

sesuai dengan kurikulum dari pemerintah.

Artinya, guru juga harus mampu mengembangkan kreatifitas dan berinovasi dalam

menerapkan metode dan strategi pembelajaran dalam kelas sesuai materi yang diajarkan

serta sesuai dengan kemampuan siswa dalam menerima materi tersebut. Selain guru,

kepala sekolah, sarana prasarana serta pihak lain seperti stake holder (masyarakat, swasta)

dan pemerintah hendaknya juga dapat menunjang pengembangan pembelajaran PAI di

sekolah. Seperti adanya buku, alat LCD, laptop, radio pembelajaran dan lain sebagainya,

keberadaan alat dan sumber pembelajaran tersebut akan sangat berperan dalam

penciptaan inovasi dalam kegiatan belajar mengajar disekolah.

Kegiatan lain seperti pembelajaran outdoor activity juga memiliki peran untuk mengurangi

kejenuhan siswa dalam menerima materi pelajaran, dalam hal ini seperti kegiatan

ekstrakurikuler. Pengembangan ekstrakurikuler keagamaan perlu digalakkan terus untuk

mengembangkan minat dan bakat siswa, supaya siswa mempunyai pengalaman dan dapat

menggali bakatnya untuk hal yang positif demi kehidupannya setelah lulus kelak.

Untuk dapat memenuhi porsi pembelajaran PAI di SMA agar seimbang dengan

pembelajaran rumpun mata pelajaran PAI di madrasah, setidaknya sekolah dapat

memberlakukan penambahan jam pelajaran PAI, yang semula 2 jam/minggu menjadi 3 atau
4 jam/minggu. Agar setelah siswa lulus nanti, pengetahuan, akhlak dan ketrampilannya

dalam kajian ilmu keagamaan juga dapat dikatakan sama dengan siswa lulusan madrasah.

B. Pengembangan Pendidikan Agama Islam di SMA Dalam Konteks Realitas

Hingga saat ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung di sekolah masih dianggap

kurang berhasil (untuk tidak mengatakan “gagal”) dalam menggarap sikap dan perilaku

keberagamaan peserta didik serta membangun moral dan etika bangsa. Bermacam-macam

argumen yang dikemukakan untuk memperkuat statement tersebut, antara lain adanya

indikator-indikator kelemahan yang melekat pada pelaksanaan pendidikan agama di sekolah,

yang dapat diidentifikasi sebagai berikut[5]:

PAI kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai”

atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu

diinternalisasikan dalam diri peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan agama selama ini

lebih menekankan pada aspek knowingdan doing dan belum banyak mengarah ke

aspek being, yakni bagaimana peserta didik menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-

nilai agama yang diketahui (knowing), padahal inti pendidikan agama berada di aspek ini.PAI

kurang dapat berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan

non-agama.PAI kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di

masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya, dan/atau bersifat statis kontekstual
dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai

nilai yang hidup dalam keseharian. (Muhaimin, 2006).

Persoalan tersebut sebenarnya sudah bersifat klasik, namun hingga kini rupanya belum juga

terselesaikan dengan baik, sehingga pada gilirannya menjadi persoalan yang

berkesinambungan dari satu periode ke periode berikutnya. Berbagai persoalan internal

pendidikan agama Islam tersebut hingga kini belum terpecahkan secara memadai, tetapi di

sisi lain juga sedang berhadapan dengan faktor-faktor eksternal yang antara lain berupa

menguatnya pengaruh budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme, yang

menyebabkan terjadinya perubahan life-style(gaya hidup) masyarakat dan peserta didik

pada umumnya.

Kini ditambah pula dengan perubahan kurikulum yang selalu berganti seiring pergantian

Menteri Pendidikan di Indonesia. Keputusan untuk merubah kurikulum dipertimbangkan

pula karena banyak kekurangan pada kurikulum sebelumnya dan hal tersebut dirasakan

pula sebagai proses memperbaharui tatanan pendidikan di Indonesia. Pergantian kurikulum

juga pasti akan berimbas pada kegiatan pembelajaran di sekolah pada umumnya.

Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana sekolah/madrsah tersebut merespon

perubahan kurikulum dan menerapkan pembelajaran sesuai isi kurikulum?

Di satu sisi beberapa sekolah/madrasah yang merasa mampu dan bisa meminimalkan

kendala/permasalahan yang timbul akibat perubahan kurikulum, namun di sisi lain tak
sedikit pula sekolah/madrsasah yang belum mampu memaksimalkan pembelajaran dengan

kurikulum yang ditetapkan saat ini. Misalnya penerapan kurikulum 2013 (Kurtilas) sejak

tahun 2014 lalu, beberapa sekolah/madrasah unggulan telah dipersiapkan untuk merespon

perubahan kurikulum dengan pelatihan kepala sekolah/madrasah dan guru (yang pertama

diberikan pelatihan adalah kepala sekolah/madrsah dan guru dari lembaga yang dijadikan

acuan/diunggulkan se-Kabupaten), pengadaan sumber dan sarana-prasarana penunjang

pembelajaran dan lain sebagainya.

Namun, dibalik itu semua, pemerataan pelatihan kepala sekolah/madrasah dan guru belum

terpenuhi dan buku/sumber dan alat pembelajaran di setiap sekolah juga belum terpenuhi.

Sehingga hal tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam dunia pendidikan.

Bantuan dana dari pemerintah juga belum dirasakan oleh semua sekolah/madrsah di

Indonesia. Betapa sulitnya guru dalam mengajarkan materi pada anak didiknya jika semua

hal yang menunjang pembelajaran PAI (khususnya) belum juga terpenuhi.

C. Solusi Pemecahan Masalah Untuk Menanggapi Kesenjangan Antara Idealitas Dengan

Realitas Pengembangan PAI di SMA

Menanggapi permasalahan di atas, hendaknya diperlukan kerjasama dari berbagai pihak

agar dapat mencapai tujuan pendidikan agama Islam (membimbing anak didik supaya

mampu berprestasi dan terampil berwawasan IPTEK dan berlandaskan IMTAQ/ berakhlak

mulia), serta untuk meminimalkan kesenjangan antara idealitas dengan realitas pendidikan
agama Islam di semua sekolah/madrasah Indonesia pada umumnya. Dalam hal ini, agaknya

bisa diterapkan pola pembelajaran pendidikan agama Islam terpadu.

Untuk mewujudkan keberhasilan pendidikan agama Islam, maka tidak bisa dilepaskan dari

adanya kerjasama yang baik antar sekolah, keluarga dan masyarakat. Karena itu, pembinaan

pendidikan agama Islam perlu dikembangkan dengan menekankan keterpaduan antara tiga

lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Untuk itu, guru

agama perlu mendorong dan memantau kegiatan pendidikan agama Islam yang dialami oleh

peserta didik di dua lingkungan pendidikan lainnya (keluarga dan masyarakat), sehingga

terwujud keselarasan dan kesatuan tindak dalam pembinaannya. Demikian pula sebaiknya,

keluarga dan masyarakat perlu ikut memonitor kegiatan pendidikan agama Islam di sekolah.

Oleh karena itu, hubungan kerjasama yang baik antara sekolah (GPAI) dengan orangtua/wali

murid dan pemuka agama (masyarakat) perlu diupayakan da dikembangkan melalui suatu

mekanisme yang lebih baik.[6]

Bagaimana operasionalnya? Mungkin dengan mengembangkan pendidikan agama Islam

dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler atau pendidikan agama Islam non formal

yang bersifat mengikat terhadap peserta didik tersebut. Konsisten dengan berbagai fungsi

pendidikan agama Islam itu sendiri, yakni sebagai pengembangan, penyaluran, perbaikan,

pencegahan, penyesuaian, sumber nilai dan pengajaran, maka dengan porsi jam pelajaran

pendidikan agama Islam sebagaimana yang ada, baik di SD, SMP dan SMA maupun di MI,
MTs dan MA, dirasa belum cukup untuk mampu mencapai kompetensi dasar dan hasil

belajar pendidikan agama Islam.

Karena itu perlu menjalin kerjasama dengan pendidikan agama Islam non-formal, yang

sekaligus untuk menghidupkan pendidikan agama Islam di dalam keluarga dan masyarakat.

Kerjasama ini bersifat mengikat, dalam arti setiap peserta didik diwajibkan mengikuti

pendidikan agama Islam non-formal, baik yang dilakukan oleh guru pendidikan agama Islam

diluar jam belajar di sekolah ataupun yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya TPA-TPA,

kursus-kursus kajian keagamaan Islam atau pendalaman materi pendidikan agama Islam dan

sebagainya.

Kegiatan kerjasama itu patut diterapkan di sekolah, mengingat orangtua atau masyarakat

sudah mulai menyadari akan pentingnya pendidikan agama bagi anak-anaknya, disebabkan

munculnya gejolak fenomena sosial yang kurang menguntungkan, yaitu dengan adanya

krisis moral, krisis spiritual yang terjadi di kalangan anak-anak muda dan orang dewasa di

masyarakat sebagai dampak negatif dari proyek modernisasi dan kemajuan IPTEK. Karena

itu sebagian orangtua mulai memikirkan sejak dini tentang bagaimana nasib anaknya jika

sampai terjerumus dalam tindakan-tindakan brutal, amoral dan sebagainya di masa depan.

Bila ide-ide tersebut bisa digerakkan di sekolah, terutama bagi sekolah yang belum sempat

menyelenggarakan pendidikan agama Islam ko-kurikuler dan ekstrakurikuler, maka

disamping pendidikan agama Islam nonformal semakin hidup subur dan berkembang karena
adanya dukungan dari sekolah, juga akan banyak membuka peluang tenaga kerja bagi para

lulusan fakultas tarbiyah, baik program D-2 maupun sarjana S-1.

BAB IV

KESIMPULAN & PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengembangan pendidikan agama Islam (Kurikulum) di SMA dalam konteks ideal yakni

peran guru dalam mengembangkan kurikulum khususnya dalam mata pelajaran PAI di

sekolah tempat guru tersebut mengabdikan diri. Guru sebagai pengembang kurikulum

dituntut untuk mampu membuat perencanaan pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan

penilaian pengajaran sesuai dengan kurikulum dari pemerintah. Dan saat ini kurikulum yang

digunakan adalah kurikulum 2013.Pengembangan pendidikan agama Islam (Kurikulum) di

SMA dalam konteks realitas. Penyelenggaraan PAI di SMA belum sepenuhnya terpenuhi, ini

dikarenakan beberapa faktor diantaranya Sumber daya guru, penyelenggaraan pelajaran PAI

dan evaluasi/penilaian pelajaran PAI.Solusi pemecahan masalah untuk menanggapi


kesenjangan antara idealitas dengan realitas pengembangan PAI di SMA yaitu diperlukan

kerjasama dari berbagai pihak agar dapat mencapai tujuan pendidikan agama Islam

(membimbing anak didik supaya mampu berprestasi dan terampil berwawasan IPTEK dan

berlandaskan IMTAQ/ berakhlak mulia).

B. Penutup

Demikian makalah ini kami buat, kami selaku penulis memohon maaf apabila terdapat

banyak kesalahan dalam penulisan kata dan kekurangan lainnya, serta kami mengucapkan

terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah terkait dan pada para pembaca makalah

ini atas tanggapan dan respon positifnya dalam penyampaian makalah kami.

Kritik dan saran positif dari dosen dan pembaca kami harapkan untuk perbaikan penulisan

makalah selanjutnya.

[1] Muhaimin, Wawasan Pendidikan Islam, Bandung: Marja, 2014, hlm. 13.
[2] Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung:

Alfabeta, 2012, hlm. 34.

[3] Abdul Majid, Implementasi Kurikulum 2013, Bandung: Interes Media, 2014, hlm. 12.

[4] Ibid, Abdul Majid, hlm. 21-23.

[5] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009,

hlm. 30-31.

[6] Op.Cit. Muhaimin, Wawasan Pendidikan Islam, hlm. 110-113.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid. 2014. Implementasi Kurikulum 2013.Bandung: Interes Media.


Heri Gunawan. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung:

Alfabeta.

Muhaimin. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Muhaimin. 2014. Wawasan Pendidikan Islam. Bandung: Marja.

Iklan

Kategori: Tak Berkategori

Tinggalkan sebuah Komentar

My world

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.


Kembali ke atas

Iklan

Anda mungkin juga menyukai