Pembangunan Daerah Tertinggal
Pembangunan Daerah Tertinggal
i
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
I.2 Tujuan dan Sasaran............................................................................................... 3
I.3 Ruang Lingkup Kegiatan ........................................................................................ 3
I.4 Metode Pelaksanaan .............................................................................................. 3
I.5 Keluaran dan Manfaat ............................................................................................ 3
BAB II KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN KAWASAN
PERBATASAN ..............................................................................................................5
II.1 Perkembangan Pelaksanaan RPJMN 2015 – 2019 dalam Aspek Perencanaan
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan....................................... 5
II.2 Implementasi dan Capaian Program/Kegiatan dalam Rangka Pelaksanaan RPJMN di
Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan ...........................................................11
III.3 Identifikasi Masalah dan Kendala Implementasi Program/Kegiatan di Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan ......................................................................................22
BAB III HASIL KEGIATAN PEMANTAUAN ..................................................................26
III.1 Hasil Pemantauan pada Rapat Singkronisasai Rencana Aksi Kegiatan Lintas ................26
Batas Negara tahun 2017 pada 5 April 2016 ......................................................................26
III.2 Hasil Pemantauan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua ..............................................27
III.3 Pemantauan dan Evaluasi di Provinsi Sulawesi Tengah ..............................................30
III.4 Hasil Pemantauan di Kabupaten Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Timur.....................31
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...............................................................33
IV.1 Kesimpulan ..........................................................................................................33
IV.2 Rekomendasi .......................................................................................................33
ii
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
iii
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015–2019
merupakan tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun
2005-2025. RPJMN 2015-2019 yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden No 2 tahun
2015, menjabarkan Visi, Misi dan sembilan Program prioritas (Nawa Cita) Presiden dan Wakil
Presiden. RPJMN 2015-2019 ini merupakan salah satu dokumen yang dijadikan acuan dalam
implementasi program pembangunan di Indonesia. Dalam RPJMN 2015-2019 terdapat arah
kebijakan dan sasaran pembangunan yang telah diklasifikasikan dalam beberapa dimensi
pembangunan. Dengan adanya dokumen perencanaan tersebut, harapannya setiap satuan
Kementrian/Lembaga (K/L) dapat fokus dalam mengimplementasikan programnya sehingga
sasaran pembangunan nasional dapat tercapai seluruhnya dan memberikan dampak yang
signifikan pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pembangunan di daerah tertinggal, kawasan perbatasan dan kawasan rawan bencana
merupakan salah satu implementasi dari Nawa Cita Pembangunan yang telah dijabarkan dalam
RPJMN 2015–2019. Pembangunan di daerah tertinggal dan kawasan perbatasan
merepresentasikan Nawa Cita ke tiga, yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan”. Sedangkan
pembangunan kawasan rawan bencana merepresentasikan Nawa Cita ke tujuh, yaitu
“Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik”. Dengan demikian, program pembangunan ini menjadi agenda prioritas yang harus
segera ditangani dan dapat diselesaikan pada tahun 2019. Arah kebijakan untuk setiap bidang
berbeda – beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan wilayah tersebut. Sementara itu program
pembangunan dalam RPJMN 2015 – 2019 sudah dijabarkan dengan jelas di dalam matrik yang
memuat diantaranya mengenai sasaran, indikator, target dalam tahun tertentu (2015 – 2019)
dan penanggung jawab program.
Sejalan dengan Peraturan Presiden (perpres) Nomor 131 tahun 2015 tentang Penetapan
Daerah Tertinggal Tahun 2015–2019, penanganan daerah tertinggal pada periode 2015-2019
dilakukan pada 122 Kabupaten. Jumlah tersebut merupakan hasil dari terentaskannya 70
kabupaten dari 183 kabupaten tertinggal pada periode RPJMN 2010-2014 dan adanya 9
kabupaten tertinggal yang berasal dari Daerah Otonom Baru (DOB). Sedangkan pada akhir
RPJMN 2015-2019 ditargetkan dapat terentaskan paling sedikit 80 kabupaten tertinggal. Dalam
upaya pengentasan 122 kabupaten tersebut telah disusun arah kebijakan pembangunan daerah
tertinggal yang difokuskan pada: (a) promosi potensi daerah tertinggal untuk mempercepat
pembangunan; (b) upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan pelayanan dasar publik;
dan (c) pengembangan perekonomian masyarakat yang didukung oleh sumberdaya manusia
(SDM) yang berkualitas dan infrastruktur penunjang konektivitas antara daerah tertinggal dan
kawasan strategis.
Sementara itu, untuk pembangunan kawasan perbatasan pendekatan yang digunakan
merupakan pendekatan yang unik dengan mengedepankan aspek keamanan, kesejateraan, dan
kelingkungan. Pembangunan yang ada di kawasan perbatasan tidak hanya sekedar
1
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
membangun dengan orientasi dalam wilayah tersebut, tetapi juga mempertimbangkan orientasi
outward looking yaitu menguatkan hubungan sosial - ekonomi dengan negara tetangga. Dalam
sasaran pembangunan kewilayahan dan antarwilayah pembangunan kawasan perbatasan
memiliki target 187 lokasi prioritas yang telah ditangani dan 92 pulau kecil terluar/terdepan
sehingga pada kedepannya kawasan perbatasan menjadi kawasan yang sejahtera, berdaulat,
environmental friendly dan berdaya saing.
Sesuai amanat UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perecanaan Pembangunan Nasional,
yang selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan RPJMN, diperlukan adanya pemantauan terhadap
pelaksanaan RPJMN. Pemantauan pelaksanaan RPJMN merupakan salah satu langkah penting
yang harus dilakukan untuk memberikan informasi kinerja pembangunan, permasalahan yang
dihadapi dan alternatif tindak lanjut yang diperlukan untuk mencapai sasaran pembangunan
yang tercantum dalam RPJMN. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga pencapaian sasaran
pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan diperlukan adanya pemantauan dan
review pelaksanaan RPJMN 2015 – 2019 khususnya pada bidang Daerah Tertinggal dan
Kawasan Perbatasan.
2
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
3
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
4
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
BAB II
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
DAERAH TERTINGGAL DAN KAWASAN PERBATASAN
II.1 Perkembangan Pelaksanaan RPJMN 2015 – 2019 dalam Aspek Perencanaan
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan
RPJMN 2015 – 2019 sebagai dokumen perencanaan lima tahunan dijabarkan kembali ke
dalam bentuk dokumen perencanaan tahunan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Dokumen RKP tersebut merupakan bentuk perencaan yang mengkombinasi pendekatan top up
dan bottom up. Melalui pendekatan top up pemerintah pusat memberikan arah kebijakan untuk
masing – masing aspek pembangunan bidang dan kewilayahan. Sementara itu, kontribusi
daerah (bottom up) dalam perencanaan tersebut adalah dengan memberikan masukan
kebutuhan daerah sesuai degnan arah kebijakan yang telah ditetapkan. Arah kebijakan dan
kebutuhan wilayah tersebut dipertemukan di dalam Forum Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) untuk dapat ditarik prioritas yang harus segera
ditangani.
Penyusunan RKP sebagai bentuk penjabaran RPJMN melibatkan banyak pihak. Oleh
karena itu dalam penyusunannya ada kemungkinan penyesuaian terhadap penjabaran RPJMN
tersebut sesuai dengan isu strategis nasional, sectoral, maupun di daerah. Pada posisi tersebut
RKP tidak hanya menjadi penjabaran tetapi juga menjadi perbaikan dan penyempurnaan RPJMN
itu sendiri. Kaitannya dengan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan, secara konsisten
Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan menjadi Prioritas Nasional tersendiri sebagai bentuk
afirmasi di Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan.
Perencanaan 2016 menggunakan pendekatan Holistik – Integratif, Tematik, dan Spasial
untuk dapat mengintegrasikan seluruh stakeholder yang berperan dalam membangun Daerah
Tertinggal dan Kawasan Perbatasan dengan penekanan pada aspek kewilayahan yang dibahas
secara menyeluruh. Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah maka tidak lepas dari tujuan arah
kebijakan RPJMN 2015-2019 yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 2015 dan 2016,
pelaksanaan RKP menggunakan prinsip memperbaiki komposisi dan efisiensi belanja dengan
cara pengalihan subsidi BBM untuk perkuatan pendanaan prioritas RPJM. Selain itu pada RKP
tahun 2016 terdapat penambahan arah kebijakan berupa “pembangunan infrastruktur dan
konektivitas antara daerah tertinggal dan pusat pertumbuhan” untuk merespon permasalahan
daerah tertinggal khususnya terkait dengan terbatasnya aksesibilitas dan sarana dan prasarana
wilayah yang menghambat peningkatan pelayanan dasar dan aktivitas ekonomi di daerah
tertinggal. Adapun pada RKP tahun 2017 prinsip pelaksanaannya akan berubah menjadi
peningkatkan efektifitas belanja dengan memperkuat landasan landasan pembangunan
sehingga memperbanyak lapangan pekerjaan melalui pengembangan kawasan industri,
destinasi wisata serta infrastruktur, serta memperkenalkan paradigma pembangunan dengan
pendekatan holistik, tematik, terintegrasi dan spasial agar terjadi peningkatan kualitas belanja.
Prioritas Nasional Daerah Tertinggal yang dituangkan ke dalam RKP 2017 akan berfokus
kepada empat kegiatan prioritas. Apabila diurutkan maka kegiatan prioritas paling utama ialah
kegiatan pemenuhan pelayanan dasar publik, lalu peningkatan aksesibilitas/ konektifitas di
daerah, pengembangan ekonomi lokal, serta yang terakhir terkait peningkatan kapasitas SDM
maupun IPTEK. Maksud dari penentuan urutan program prioritas nasional ialah sebagai dasar
dalam penentuan proporsi perencanaan kegiatan yang akan dilakukan. Disebabkan karena
5
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
adanya keterbatasan anggaran, maka intervensi kegiatan terhadap lokus lokasi harus harus
ditangani secara bertahap agar memiliki dampak lebih signifikan. Hal tersebut juga selaras
dengan prinsip penganggaran presiden terkait penyusunan RKP 2017 yaitu money follow
program, yang berarti anggaran negara harus berorientasi manfaat untuk rakyat dan
berorientasi pada prioritas untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Proses perencanaan kegiatan yang dilakukan pada keempat program prioritas tidak akan
lepas dari proses koordinasi baik itu antar K/L di tingkat pusat maupun dengan daerah sehingga
ada keterkaitan antara program yang satu dengan program lainnya demi mendukung
percepatan pembangunan daerah tertinggal di seluruh Indonesia. Penentuan intervensi
program kegiatan dilakukan dengan menggunakan konsep gabungan antara development from
above dan development from below. Konsep development from above merupakan konsep yang
berbasis pada akselerasi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Dasar dari adanya konsep ini
dikarenakan adanya perkembangan wilayah yang tidak terjadi di seluruh bagian yang ada. Hal
tersebut menjadikan perencanaan program akan difokuskan kepada wilayah yang memiliki
sektor dinamis sehingga diharapkan dapat menjalar ke sektor / wilayah lainnnya. Dengan kata
lain, pemilihan intervensi wilayah akan melihat kepada lokasi yang memiliki pusat pertumbuhan
baru.
6
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Adapun konsep development from below merupakan konsep yang berbasis pada
pemerataan, utamanya pada pemerataan kebutuhan pokok masyarakat di suatu wilayah.
Konsep ini diwujudkan dengan kegiatan pembangunan yang difokuskan kepada wilayah yang
sangat membutuhkan pengembangan (dalam hal ini berupa desa-desa di Daerah Tertinggal).
Program pembangunan yang difokuskan di desa tertinggal dilakukan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar/standar pelayanan minimum di wilayah tersebut sehingga gabungan antara
konsep development from above dan development from below diwujudkan dengan intervensi
program kegiatan yang dilakukan secara terfokus pada kawasan tertentu yang memiliki sektor
dinamis berupa potensi kawasan agar memberikan hasil yang signifikan dan memberikan
spillover effect kepada wilayah sekitar khususnya desa-desa tertinggal. Dengan adanya
integrasi program kegiatan dengan menggunakan prinsip holistic – integrative, tematik dan
spasial, diharapkan dapat mengentaskan desa di Daerah Tertinggal menjadi desa mandiri atau
berkembang.
Musrenbangnas yang merupakan bagian dari tahapan perencanaan pembangunan
nasional memiliki peran yang krusial dalam pembangunan daerah tertinggal. Berdasarkan hasil
musrenbangnas pada prioritas nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, terdapat total 4737
usulan yang berasal dari daerah di seluruh Indonesia sesuai pada Tabel 2.1 berikut
Tabel 2. 1 Overview Musrenbangnas 2016
Disetujui
Program dengan Belum ada tidak Jumlah
Ditolak
Prioritas anggaran kesepakatan dibahas Usulan
K/L
Pemenuhan Pelayanan Dasar Publik 67 66 30 496 659
Pengembangan Ekonomi Lokal 95 44 64 415 618
Peningkatan
139 121 203 2.886 3.349
Aksesibilitas/Konektivitas
Peningkatan SDM dan Iptek 21 12 15 63 111
Jumlah Usulan 322 243 312 3.860 4.737
7
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Menurut jumlah usulan yang ada di tiap pulau pada Gambar 2.2 maka dapat dilihat bahwa
usulan paling banyak terdapat pada Kawasan Timur Indonesia yaitu pulau Sulawesi dengan
total 1254 usulan. Adapun usulan dari Kawasan Timur Indonesia lain seperti Maluku cukup
banyak walaupun masih dibawah rata-rata usulan yang ada. Sementara itu Wilayah Pulau
Papua yang relatif luas dan memiliki daerah tertinggal paling banyak hanya mengajukan usulan
dengan jumlah 219 usulan. Perlu adanya perhatian yang berlebih terhadap mekanisme usulan
yang sudah berjalan karena keterbatasan akses sarana prasarana komunikasi di daerah
tertinggal yang menghambat akses ke pemerintah pusat sehingga proses pengusulan menjadi
tidak terakomodir.
Strategi yang digunakan dalam membangun Kawasan Perbatasan di dalam RPJMN 2015 –
2019 adalah melalui pendekatan dimensi pengelolaan Batas Wilayah Negara, Pengelolaan Lintas
Batas Negara, Pembangunan Kawasan dan Penguatan kelembagaan sesuai dengan sasaran
yang ingin dicapai. Strategi tersebut kemudian diadopsi ke dalam perencanaan tahun 2016
untuk RKP tahun 2017 dimana digunakan lima Program Prioritas Nasional (PPN) untuk dapat
mengintegrasikan Kementerian/Lembaga dalam membangun Kawasan Perbatasan dengan
pendekatan Holistik – Integratif, Tematik dan Spasial. Lima PPN untuk Prioritas Nasional
Kawasan Perbatasan adalah sebagaimana Gambar 2.3
8
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Strategi yang ada di dalam RPJMN 2015 – 2019 telah diakomodir di dalam perencanaan
tahun 2016 (RKP tahun 2017) dengan tetap memberikan fokus pada batas negara, lintas batas,
pengembangan kawasan dan pengembangan kelembagaan. Dimensi pengembangan
kelembagaan memang tidak terlihat secara langsung menjadi PPN, namun begitu
pengembangan kelembagaan diakomodir di dalam PPN Peningkatan Kualitas Diplomasi,
Kerjasama Sosial – Ekonomi. Melalui hal tersebut kelembagaan pengelola perbatasan
diharapkan dapat diperkuat untuk mendukung penyelesaian permasalahan batas wilayah
negara. PPN yang menjadi sangat prioritas adalah Pembangunan 7 PLBN Terpadu
(mengakomodir dimensi lintas batas pada strategi dalam RPJMN). Hal tersebut dilakukan dalam
rangka implementasi Inpres 6 tahun 2015 tentang Percepatan Pembangunan 7 PLBN Terpadu.
Inpres tersebut menargetkan pembangunan 7 PLBN harus selesai pada tahun 2017 dan dapat
berfungsi sesegera mungkin untuk melayani aktivitas lintas batas antar negara. Sementara itu
kaitannya dengan dimensi batas wilayah telah diakomodir dalam PPN Pengamanan Sumberdaya
dan Batas Wilayah dan PPN Peningkatan Kualitas Diplomasi. Dimensi pembangunan kawasan
sendiri diakomodir dalam PPN Pembangunan 10 PKSN dan Membuka Isolasi Lokpri.
9
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
25
20
15
10
5
0
Provinsi Maluku
Provinsi Sumatera
Provinsi Sulawesi
Provinsi Aceh
Tenggara Timur
Provinsi Kalimantan
Provinsi Kalimantan
Provinsi Kalimantan
Provinsi Papua
Provinsi Kepulauan
Provinsi Riau
Provinsi Nusa
Utara
Utara
Timur
Utara
Barat
Riau
Belum Ada Kesepakatan Belum Dibahas Disetujui Ditolak
Melihat pada detil usulan yang ada di dalam setiap PPN Pembangunan 10 PKSN pada
Gambar 2.4 dapat diketahui bahwa sebagian besar persentase usulan yang disetujui masih
lebih rendah dari usulan yang ditolak dan usulan belum dibahas. Hal tersebut disebabkan
karena usulan yang tidak sesuai dengan arah kebijakan K/L yang tertuang dalam Renstra dan
Renja K/L, kurang siapnya kriteria teknis, tidak masuk ke dalam target nasional, tidak masuk
dalam menu yang ditawarkan pemerintah pusat, dan salah Prioritas Nasional. Hal tersebut juga
menunjukan bahwa kurang berjalannya koordinasi baik di level pusat maupun di level daerah.
Idealnya pemerintah pusat harus mampu menyesuaikan Renstra, Renja dan target nasional
sektoral dengan RPJMN yang telah disepakati bersama untuk kemudian diimplementasikan pada
kebijakan yang bersifat sektoral. Selain itu pemerintah pusat harus mampu memberikan
koordinasi kepada daerah terkait dengan apa yang menjadi arah kebijakan pemerintah pusat
dengan memberikan uraian road map yang terintegrasi antar sektor dan sesuai dengan RPJMN
2015 – 2019. Sementara itu daerah harus terus dapat berkoordinasi di daerah untuk terus
memahami apa yang menjadi arah kebijakan pemerintah pusat untuk kemudian diterjemahkan
kedalam bentuk usulan pembangunan dari daerah yang komprehensif dengan menjekaskan
urgensi dan prioritas dari usulan tersebut, bukan sekedar memberikan shopping list yang sulit
untuk direalisasikan semua oleh pemerintah pusat.
Contoh persentase usulan yang ada dalam PPN Pembangunan 10 PKSN tersebut
mengindikasikan bahwa dalam implementasi perencanaan tahunan untuk mendetilkan RPJMN
terdapat beberapa aspek yang harus diperbaiki. Renstra dan Renja K/L harus sesuai dengan
RPJMN dan RKP yang disusun. Kisi – kisi arah kebijakan yang telah didetilkan dalam RKP untuk
setiap Bidang/Prioritas Nasional harus diakomodir K/L di dalam Program/Kegiatan yang akan
diimplementasikan. Begitu juga dengan RKP, harus terus diperbaiki kualitasnya untuk dapat
mengintegrasikan seluruh K/L dalam membangun sesuai dengan fokus Bidang/Prioritas
Nasional yang ada. RKP harus dapat mencegah munculnya kepentingan sektoral dalam
pembangunan sehingga nantinya arah kebijakan yang ada dalam RKP maupun Renja setiap K/L
akan selaras dan terintegrasi satu sama lain. Selain itu pemerintah pusat harus memberikan
upaya yang lebih untuk dapat mensosialisasikan apa yang menjadi fokus pemerintah pusat
10
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
dalam pembangunan. Daerah harus dapat memahami apa yang menjadi isu strategis nasional
dan mengkonsolidasikan dengan seluruh stakeholder pembangunan yang ada di daerah untuk
kemudian memberikan usulan yang sesuai dan nantinya dapat direalisasikan. Seluruh
perencanaan dan stakeholder harus terintegrasi untuk dapat menjaga konsistensi
pembangunan baik dari sisi perencanaan maupun implementasi.
II.2 Implementasi dan Capaian Program/Kegiatan dalam Rangka Pelaksanaan
RPJMN di Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan
Implementasi Program/Kegiatan pemerintah di Daerah Tertinggal dan Kawasan
Perbatasan tidak lepas kaitannya dengan sasaran pembangunan yang telah dijabarkan di dalam
Buku II RPJMN Agenda Pembangunan Bidang. Sasaran pembangunan tersebut tentunya sudah
mengakomodir semua isu strategis di Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan yang harus
segera diselesaikan. Oleh karena itu Program/Kegiatan yang merupakan dukungan nyata
pemerintah kepada daerah tertinggal dan kawasan perbatasan harus dapat sejalan dan
berorientasi menyelesaikan sasaran pembangunan tersebut secara berkejalnjutan dan
terintegrasi. Sasaran pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan tentunya
memiliki karakteristiknya masing – masing sesuai dengan isu strategis yang ada di dalam
wilayah tersebut. Oleh karena itu perlu penetapan kebijakan program yang sesuai dengan
sasaran pembangunan.
Berdasarkan capaian sasaran pembangunan serta arah kebijakan dalam rangka
percepatan pembangunan daerah tertinggal sesuai PP 78/2014, maka upaya yang dilakukan
untuk mengatasi ketertinggalan dilakukan dengan cara percepatan pembangunan
infrastruktur/konektivitas, promosi potensi Daerah Tertinggal untuk mempercepat
pembangunan, pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar publik, serta pengembangan
perekonomian masyarakat yang didukung SDM yang berkualitas. Goal jangka menengah dari
pembangunan Daerah Tertinggal dapat dilihat pada Tabel 2.2.
11
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
di daerah tertinggal menjadi rata-rata 14,00 persen; dan (3) meningkatnya Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tertinggal menjadi rata-rata sebesar 69,59. Dapat
diketahui bahwa dalam sasaran tersebut yang dituju adalah pembangunan manusia dan
pembangunan ekonomi wilayah di daerah tertinggal. Melalui pendekatan peningkatan kualitas
SDM dan pertumbuhan ekonomi diharapkan daerah – daerah yang mempunyai status sebagai
“Daerah Tertinggal” dapat terentaskan dan memberikan trickle down effect pada wilayah di
sekitarnya.
Percepatan pembangunan Daerah Tertinggal dalam RKP 2015 dan 2016 dilaksanakan
melalui tiga konsep pembangunan, yaitu (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah
tertinggal; (2) menurunkan persentase penduduk miskin di daerah tertinggal; dan (3)
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah tertinggal yang ditunjukkan oleh
peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) di daerah tertinggal. Sesuai dengan dokumen
RKP 2016, maka pada tahun 2016 telah dilaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka
percepatan pembangunan daerah tertinggal diantaranya berupa:
1. Peningkatan sarana dan prasarana dasar di daerah tertinggal dalam bentuk:
a. Pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) terpusat 5 Kwp 16 unit di
7 kabupaten;
b. Pembangunan PLTS Tersebar 80 wp di 20 kabupaten;
c. Pembangunan energi biomassa di 3 kabupaten;
d. Pembangunan sarana air bersih sebanyak 26 unit di 17 kabupaten;
e. Pembangunan fasilitas air minum di 12 kabupaten;
f. Pembangunan jaringan komunikasi dan informasi desa di 20 kabupaten sebanyak
48 unit;
g. Rehabilitasi Rumah Layak Huni di 8 kabupaten;
h. Pembangunan Radio Komunikasi Tenaga Surya di 5 kabupaten;
i. Pengadaan Televisi dan Parabola di 10 kabupaten.
2. Peningkatan sarana dan prasarana ekonomi di daerah tertinggal, diantaranya:
a. Pembangunan Pasar Kecamatan di enam kabupaten;
b. Pembangunan 5 peternakan modern di lima kabupaten;
c. Pengadaan Keramba Jaring Apung di 11 kabupaten;
d. Pendampingan terhadap 100 lembaga ekonomi masyarakat;
e. Pembangunan 7 unit embung dan penampungan air hujan di 7 kabupaten.
Pendekatan kewilayahan dalam rangka percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan
berdasarkan analisis ketertinggalan di setiap wilayah yang ada. Berdasarkan indikator ketertinggalan,
maka penyebab utama ketertinggalan di masing masing wilayah pulau dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2. 3 Karakteristik Ketertinggalan setiap Wilayah Pulau
12
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Berdasarkan tabel tersebut, maka arah kebijakan dalam setiap pengembangan wilayah pulau
diwujudkan dalam bentuk berikut:
1. Arah kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di Wilayah Sumatera:
a. Upaya pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar publik dan pengembangan
perekonomian wilayah yang berbasis energi dan hasil bumi serta pengembangan
ekonomi masyarakat melalui pengembangan Agriculture Estate/Aquaculture
Estate secara terintegrasi (hulu-hilir), berbasis komoditi unggulan daerah antara
lain sektor perkebunan, tanaman pangan, peternakan, perikanan, kepariwisataan
bahari dan sosial-budaya menunjang kegiatan ekonomi (keterkaitan) dengan
pengembangan energi dan hasil bumi yang didukung oleh sektor perdagangan
dan jasa.
b. Peningkatan Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten Daerah Tertinggal di
Wilayah Sumatera;
c. Peningkatan infrastruktur penunjang konektivitas antara daerah tertinggal dan
pusat pertumbuhan; dan
d. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah tertinggal.
2. Arah kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di Wilayah Jawa-Bali
diarahkan sebagai lumbung pangan nasional dan pendorong sektor industri dan jasa
nasional:
a. Peningkatan Kualitas SDM dan IPTEK kabupaten tertinggal, termasuk untung
mendukung pembangunan Agriculture Estate/Aquaculture Estate secara
terintegrasi (hulu-hilir), berbasis komoditi unggulan daerah antara lain sektor
berbasis industri dan jasa, perikanan dan kelautan, garam, dan produk olahan
laut, perkebunan, tanaman pangan, dan hortikultura, yang didukung oleh sektor
perdagangan dan pariwisata.
b. Peningkatan Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten Daerah Tertinggal.
c. Percepatan pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
d. Mengurangi risiko bencana pada daerah tertinggal dan meningkatkan
ketangguhan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi bencana.
3. Arah kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di Wilayah Kalimantan
dalam upaya pengurangan kesenjangan antar wilayah adalah sebagai berikut:
a. Upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan pelayanan dasar publik;
b. Peningkatan aksesibilitas yang menghubungkan antara kabupaten tertinggal
dengan pusat-pusat pertumbuhan di Wilayah Kalimantan, yang juga akan
berdampak pada pengembangan Agriculture Estate/Aquaculture Estate secara
terintegrasi (hulu-hilir), berbasis komoditi unggulan daerah antara lain sektor
perkebunan, penganekaragaman pengolahan hasil hutan dan jasa lingkungan
bagi masyarakat yang berada di wilayah konservasi; perikanan darat-sungai;
energi, dan pertambangan; tanaman pangan, peternakan, selanjutnya
kepariwisataan bahari dan sosial-budaya, yang didukung oleh kegiatan industri
pengolahan.
13
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
c. Mengurangi risiko bencana pada daerah tertinggal dan pusat pertumbuhan dan
meningkatkan ketangguhan pemerintah daerah dan masyarakat dalam
menghadapi bencana; dan
d. Peningkatan Kualitas SDM dan IPTEK kabupaten tertinggal di Wilayah
Kalimantan.
4. Arah kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di Wilayah Sulawesi
dalam upaya pengurangan kesenjangan antar wilayah:
a. Peningkatan Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten Daerah Tertinggal
Wilayah Sulawesi;
b. Peningkatan Kualitas SDM dan IPTEK daerah tertinggal di Wilayah Sulawesi;
c. Pengembangan perekonomian daerah tertinggal di Wilayah Sulawesi berbasis
komoditas unggulan lokal berbasis pertanian, perkebunan, perikanan dan
penganekaragaman produk hasil laut, migas, melalui pengembangan Agriculture
Estate/Aquaculture Estate secara terintegrasi (hulu-hilir) yang didukung oleh
kegiatan perdagangan, pariwisata dan industri pengolahan serta kegiatan
pertambangan nasional.
d. Mengurangi risiko bencana pada daerah tertinggal dan pusat pertumbuhan dan
meningkatkan ketangguhan pemerintah daerah dan masyarakat dalam
menghadapi bencana.
5. Arah kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di Wilayah Maluku dalam
upaya Percepatan pembangunan Daerah Tertinggal adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan optimalisasi kapasitas pemerintahan dalam implementasi tata kelola
yang baik dan bersih.
b. Penanggulangan bencana melalui upaya mitigasi dan adaptasi, serta upaya
pengelolaan konflik yang baik dan efektif melalui pendekatan sosial budaya.
c. Pengembangan perekonomian daerah tertinggal di Wilayah Maluku dengan
mendorong pengembangan Agriculture Estate/Aquaculture Estate secara
terintegrasi (hulu-hilir), berbasis komoditas unggulan lokal di bidang perikanan
laut, perkebunan, pangan, hortikultura, dan industri pengolahan (industri
pengolahan hasil laut, industri pengolahan hasil kelapa, minyak atsiri) yang
didukung oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (kepariwisataan bahari
dan sosial-budaya) yang mengalami pertumbuhan yang tinggi.
d. Peningkatan aksesibilitas yang menghubungkan antara daerah tertinggal dengan
pusat-pusat pertumbuhan di Wilayah Maluku;
e. Peningkatan Kualitas SDM dan IPTEK daerah tertinggal di Wilayah Maluku; dan
f. Percepatan pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah tertinggal
Wilayah Maluku.
6. Arah kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di Wilayah Nusa
Tenggara difokuskan pada pemecahan permasalahan yang menjadi isu ketertinggalan
dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada sehingga bisa
mengentaskan ketertinggalan di Wilayah Nusa Tenggara sebagai berikut:
14
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
15
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Dua ruang lingkup kawasan perbatasan tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menentukan
sasaran pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai berikut: (1) Terlaksananya pengelolaan
batas wilayah; (2) Terlaksananya aktivitas lintas batas negara yang kondusif; (3) Terlaksananya
percepatan pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang; dan (4) Terbentuknya
kelembagaan yang kuat dalam pengelolaan perbatasan negara. Sasaran tersebutlah yang
idealnya menjadi basis arah kebijakan dan program dari setiap sektor dalam membangun
Kawasan Perbatasan Negara.
RPJMN 2015 – 2019 Buku 1 tentang Agenda Pembangunan Nasional dalam Sasaran
Pembangunan Kewilayahan dan Antar Wilayah pada bidang Pengembangan Kawasan
Perbatasan telah ditetapkan 187 lokpri, 10 PKSN dan 92 Pulau – Pulau Kecil Terluar (PPKT)
sebagai sasaran utama. Sasaran tersebut hanya menjelaskan jumlah daerah yang akan
ditangani tanpa ada indikator yang menjelaskan pertumbuhan wilayah secara sosial dan
ekonomi. Lokpri yang ditangani pemerintah pusat dalam rangka pembangunan kawasan
perbatsan masih dibawah 50% dari target 100 lokpri dintangai untuk tahun 2016. Hal tersebut
menunjukan bahwa Kawasan Perbatasan Negara masih membutuhkan perhatian lebih dari
pemerintah pusat lebih agar seluruh lokpri yang ditargetkan dalam RPJMN dapat ditangani.
Capaian yang terkait dengan pengelolaan batas wilayah negara diantaranya adalah
mengenai perundingan batas negara. Perundingan batas negara merupakan salah satu kegiatan
champion dan prioritas yang dilakukan K/L untuk menjaga kedaulatan bangsa khususnya
mengenai keutuhan batas wilayah. Perundingan batas wilayah dibagi menjadi dua, yaitu batas
darat dan batas laut dimana perundingan batas darat dikoordinatori oleh Kementerian Dalam
Negeri sementara batas laut dikoordinatori oleh Kementerian Luar Negeri. Perundingan batas
negara yang dilakukan ditekankan kepada perundingan dengan negara Malaysia untuk
perbatasan Indonesia – Malaysia di Wilayah Kalimantan, perundingan dengan negara Republik
Demokratis Timor Leste (RDTL) untuk perbatasan Indonesia – RDTL di NTT, dan perundingan
dengan negara Papua Nugini (PNG) untuk perbatasan Indonesia – PNG di Papua. Langkah yang
telah dilakukan dalam rangka perundingan batas Indonesia – Malaysia adalah percepatan
penyelesaian Sembilan segmen batas bermasalah atau yang sering disebut sebagai Outstanding
Border Problem (OBP) karena adanya ketidaksepemahaman terhadap batas wilayah negara.
OBP terdiri dari 5 OBP Sektor Timur (P. Sebatik, S. Sinapad, S. Simantipal, Titik B2700-B3100,
dan Titik C500-C600) dan 4 OBP Sektor Barat (Batu Aum, S. Buan/Gunung Jagoi, Gunung Raya,
dan Titik D400). Dalam rangka percepatan penyelesaian OBP tersebut telah dilakukan
perundingan sebanyak 9 kali dalam Joint Working Group on the Outstanding Boundary Problem
(JWG OBP). Perundingan batas negara wilayah darat di NTT (Indonesia – RDTL) difokuskan
pada upaya penyelesaian tiga segmen batas bermasalah, yaitu dua unresolved segment di Noel
Besi-Citrana dan Manusasi-Bijael Sunan serta satu Unsurveyed Segment di Subina – Oben.
Dalam rangka penyelesaian permasalahan segmen batas tersebut telah dibentuk Special
Working Group (SWG) yang telah melakukan pertemuan perundingan sebanyak tiga kali. Selain
itu terdapat upaya perundingan tingkat teknis di empat segmen batas maritim Indonesia –
RDTL di Selaw Wetar, Selat Ombai Bagian Timur, Selat Ombai Bagian Barat dan Laut Timor.
Sementara itu untuk perbatasan negara wilayah darat antara Indonesia – PNG telah
diidentifikasi bahwa tidak ada segmen bermasalah. Upaya yang harus dilakukan adalah
penekanan penegasan batas wilayah melalui perapatan pilar batas. Kondisi saat ini hanya 52
Meridian Marker (MM). Selain itu perbatasan Indonesia – PNG yang dominan berupa garis lurus
dan cenderung mengesampingkan kondisi geografis menimbulkan berbagai permasalahan sosial
dan lingkungan seperti adanya masyarakat PNG yang bermukim di wilayah Indonesia dan
pencemaran di Sungai Fly yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat di sekitar sungai tersebut.
16
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Capaian ke dua adalah mengenai pencapaian sasaran terlaksananya aktivitas lintas batas
negara. Sasaran tersebut telah diakomodir dengan adanya Inpres 6 tahun 2015 tentang
Percepatan Pembangunan 7 Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu. Tujuh PLBN tersebut
berada di Aruk (Sambas – Kalbar), Entikong (Sanggau – Kalbar), Badau (Kapuas Hulu – Kalbar),
Wini (Timor Tengah Utara – NTT), Motaain (Belu – NTT), Motamasin (Malaka – NTT) dan
Skouw (Jayapura – Papua). Setidaknya terdapat 15 K/L dan 10 Kepala Daerah yang dilibatkan
dalam Inpres tersebut. Tugas K/L dan 10 Kepala Daerah dijelaskan dalam Tabel 2.4 berikut:
Tabel 2. 4 Progres Pelaksanaan Inpres 6 PLBN
K/L Tugas Progres
Menkopolhukam Memberikan pengarahan dan Sudah dilakukan
pengawasan umum dalam pelaksanaan
pembangunan.
Mendagri Memfasilitasi percepatan penyelesaian Sudah dilakukan dan dalam proses.
status BMN/BMD
Bappenas Memastikan keberlangsungan kegiatan Sudah dituangkan di dalam arah
dan pencapaian sasaran program. kebijakan RPJMN dan RKP.
Kemen PUPR Legalisasi masterplan, pembangunan Sudah dilakukan terutama untuk
gedung, menyediakan jaringan pembangunan gedung serta sarana
transportasi, penyediaan SPAM, prasarana pendukung. Pada tahun
penyediaan system sanitasi dan drainasi, selanjutnya difokuskan pada
dan menyediakan perumahan petugas. pembangunan kawasan
pendukung dan perumahan
petugas.
Kemen LHK Mempercepat penyelesaian Sudah dilakukan terutama untuk
permasalahan lahan. zona inti PLBN.
Menkeu Percepatan pengalihan BMN dan Sudah dilakukan, beberapa sarpras
melengkapi sarpras kepabeanan. kepabeanan sudah dilengkapi
Kemen PUPR sehingga perlu
koodrinasi untuk tugas tersebut.
ATR/BPN Legalisasi asset pada lokasi Sudah dilakukan terutama untuk
pembangunan PLBN. zona inti PLBN.
Menhub Menyediakan sarana prasarana Dalam proses pembahasan dan
transportasi dan pembangunan terminal perencanaan.
barang.
Kemen ESDM Penyelesaian sarpras ketenagalistrikan. Sudah dilakukan dan dalam proses.
Menkumham Menyediakan sarpras keimigrasian. Beberapa sarpras kepabeanan
sudah dilengkapi Kemen PUPR
sehingga perlu koodrinasi untuk
tugas tersebut.
Kemendag Menyediakan pasar perbatasan dan Dalam proses.
memperlancar kegiatan
perdagangan.tata niaga lintas batas
negara.
Kemenkominfo Membangun pemancar dan jaringan Dalam proses.
telkomunikasi dan informasi.
17
Pembangunan Kawasan PLBN Terpadu pada tahun 2015 hingga 2016 difokuskan pada
pembangunan gedung utama PLBN di zona inti kawasan PLBN terpadu disertai dengan sarana
prasarana yang menunjang kegiatan Custom, Immigration, Quarantine, and Service (CIQS).
Pembangunan gedung inti tersebut melibatkan banyak pihak mulai dari pembebasan lahan
hingga pembangunan gedung inti. Kementerian PUPR sangat berperan dalam pembangunan
fisik 7 gedung inti PLBN yang ditargetkan selesai pada tahun 2016 dan dapat segera fungsional
secara terpadu di tahun 2017 sesuai dengan Inpres 6 tahun 2015. Progres pembangunan PLBN
dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut:
Tabel 2. 6 Progres Pembangunan PLBN Terpadu
PLBN Progres
18
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
19
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
20
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Selain jalan terdapat juga infrastruktur penunjang ekonomi dan kesejahteraan rakyat
(ekokesra) yang telah dibangun oleh pemerintah pusat di kawasan perbatasan. Capaian yang
telah dicapai adalah sebagai berikut:
1. Fasilitas Perumahan Formal type 36 sebanyak 2.075 unit untuk aparatur pemerintah
kawasan perbatasan di Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur,
Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua.
2. PLTD dan PLTS di 113 desa dalam kecamatan lokpri di Kalimatntan Barat, Kalimantan
Utara, Kalimantan Timur, NTT, Maluku, dan Papua.
3. Pembangunan kantor kecamatan sebanyak 20 unit.
4. Pembangunan ruang kelas sebanyak 20.608 unit.
5. Pembangunan rumah dinas guru sebanyak 2.515 unit.
6. Pembangunan puskesmas sebanyak 221 unit.
7. Pembangunan pasar rakyat sebanyak 84 unit.
8. Pembangunan mess aparatur sebanyak 6 unit.
9. Pembangunan kantor Badan Pengelola Perbatasan (BPP) sebanyak 4 unit.
10. Pembangunan balai pertemuan umum BPP sebanyak 10 unit.
11. Pengadaan kapal 5 – 30 GT sebanyak 734 unit.
12. Pembangunan pelabuhan perikanan, cold storage, pabrik es, dan sarana angkutan d
PKSN Ranai, PKSN Saumlaki, dan PKSN Tahuna.
13. Pencetakan sawah 2000 Ha di Sekayam, Sanggau, Kalimantan Barat.
14. Pembangunan Industri Pengolahan Kakao di Kota Sabang.
15. Pembangunan jaringan irigasi di Kabupaten Kawasan Perbatasan Sambas, Sanggau,
Kapuas Hulu, Bengkayang dan Kupang.
Pembangunan infrastruktur memang sudah dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun begitu
perlu untuk segera diikuti dengan keberlanjutan pembangunan baik dari integrasi program
pembangunan infrastruktur yang akan datang dengan infrastruktur yang telah terbangun
maupun keberlanjutan program dari segi pemberdayaan masyrakat untuk dapat mengelola dan
memanfaatkan aset yang telah dibangun pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Kelembagaan pengelola Kawasan Perbatasan sesuai dengan Perpres 12 tahun 2010
tentang BNPP menegaskan bahwa BNPP merupakan koordinator dalam pembangunan kawasan
perbatasan. BNPP terdiri dari 18 K/L dan Gubernur Provinsi Kawasan Perbatasan sebagai satu
kesatuan yang membangun kawasan perbatasan secara terintegrasi dengan tetap
memperhatikan tugas dan fungsi masing – masing. Dalam menjalankan tugasnya BNPP dibantu
Sekertariat Tetap (Settap) BNPP yang bertugas menetapkan kebijakan program, menyusun
kebutuhan anggaran, fasilitasi program, dan monitoring evaluasi program. Namun begitu
koordinasi antar anggota BNPP (antar K/L anggota BNPP) sendiri masih kurang baik. Hal
tersebut disebabkan oleh kurangnya kesadaran K/L terhadap keanggotaanya dalam BNPP dan
adanya target sektoral yang harus segera dicapai dalam kurun waktu tertentu. Rencana Induk
dan Rencana Aksi sebagai bentuk dokumen perencanaan untuk kawasan perbatasan dari K/L
terkait memang telah disusun dan ditetapkan sebagai salah satu bentuk koordinasi. Namun
begitu dokumen perencanaan tersebut belum bisa mengarahkan K/L dalam membangun
kawasan perbatasan karena agenda sektoral di setiap K/L.
BNPP secara vertikal mempunyai Badan Pengelola Perbatasan (BPP) di Provinsi dan
Kabupaten sebagai perepanjangan tangan BNPP di daerah. Kondisi BPP tidak jauh berbeda
dengan BNPP dengan adanya kesulitan untuk melakukan koordinasi kepada SKPD, Bappeda,
21
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
dan stakeholder di daerah yang terkait dengan pembangunan Kawasan Perbatasan Negara.
Permasalahan tersebut kemudian dicoba untuk diatasi dengan penerbitan PP 18 tahun 2016
tentang Perangkat Daerah yang kemudian ditegaskan kembali dalam Surat Menteri Dalam
Negeri nomor 183.5/4070A/S.J tentang Penegasan/Penjelasan Surat Menteri Dalam Negeri
nomor 88/3774/SJ perihal Pedoman Persetujuan Perda tentang Perangkat Daerah dimana
provinsi perbatasan dengan jumlah perbatasan negara atau lokpri adalah lebih dari dua lokpri
maka akan dibentuk Biro Pengelolaan Perbatasan Negara pada Sekertariat Daerah (Sekda)
Provinsi dan untuk provinsi perbatasan dengan jumlah lokpri kurang dari dua kecamatan maka
akan dibentuk Bagian Pengelola Perbatasan Negara pada Biro Tata Pemerintahan atau Biro
yang menangani tata pemerintahan pada Sekda Provinsi. Sementara itu di tingkat
kabupaten/kota akan dibentuk Bagian Pengelola Perbatasan Negara pada Sekda
Kabupaten/Kota. Melalui hal tersebut diharapkan pengelola perbatasan di daerah dapat lebih
kuat posisinya sebagai koordinator dengan bantuan Sekda dan dapat menekan kemungkinan
dualisme koordinasi pembangunan antara Bappeda dan BPP.
Koordinasi BNPP dan BPP tidak jauh pada pelaksanaan tugas dan fungsi dari BNPP itu
sendiri, yaitu penekanan pada penyusunan kebutuhan program dan monitoring - evaluasi hasil
pembangunan di kawasan perbatasan. BPP banyak berperan dalam penyampaian masukan
terkait dengan kebutuhan pembangunan di kawasan perbatasan dalam Rencana Aksi
Pembangunan Kawasan Perbatasan (Renaksi). Namun begitu kebutuhan program yang
diusulkan oleh BPP kurang bisa menggambarkan kebutuhan prioritas dan urgensi dari
kebutuhan program tersebut sehingga usulan program berbentuk long shoping list yang
tentunya akan menyulitkan K/L dalam mengintepretasi kebutuhan tersebut. Seharusnya Renaksi
dapat lebih spesifik menjelaskan kebutuhan real dan prioritas sehingga K/L dapat kemudian
langsung menilai kesesuaiannya dengan arah kebijakan nasional dan ditindaklanjuti dengan
pengimplementasian program. Sementara itu dari segi evaluasi baik di pusat maupun daerah,
Badan Pengelola Perbatasan masih sangat sulit dalam melakukan evaluasi yang sifatnya
kegiatan multisektoral. Selain itu evaluasi masih berorientasi pada ralisasi fisik dan keuangan
saja, belum berorientasi pada outcome yang dihasilkan dari pembangunan yang telah
dilakukan. Berbagai permasalahan kelembagaan pengelola perbatasan menandakan
kelembagaan yang masih belum berjalan optimal dengan baik. Namun begitu BNPP adalah
proses yang terus berubah ke arah yang lebih baik mengingat sudah semakin banyak K/L yang
memberikan perhatiannya ke Kawasan Perbatasan Negara. Tugas selanjutnya adalah
bagaimana mengintegrasikan K/L yang sejatinya adalah anggota BNPP.
III.3 Identifikasi Masalah dan Kendala Implementasi Program/Kegiatan di Daerah
Tertinggal dan Kawasan Perbatasan
Beragamnya karakteristik Daerah Tertinggal, terutama yang terkait dengan
permasalahan-permasalahan penyebab ketertinggalan, membutukan konsep keberpihakan
secara simultan dan masif dari semua aktor pemangku kepentingan di Daerah Tertinggal.
Melihat pada kondisi Daerah Tertinggal dan penyebab ketertinggalan yang ada, dapat dikatakan
bahwa keberpihakan dan usaha pemerataan untuk pembangunan daerah tertinggal masih
kurang karena masih adanya ketimpangan pembangunan antara daerah tertinggal dengan
daerah non tertinggal. Selain itu, dalam rangka pelaksanaan percepatan pembangunan Daerah
Tertinggal tidak lepas dari adanya masalah maupun hambatan di setiap tahun pelaksanaannya.
Secara umum permasalahan dalam proses perencanaan dan koordinasi pembangunan Daerah
Tertinggal berupa lemahnya koordinasi lintas pemangku kepentingan dalam mendorong
percepatan pembangunan daerah tertinggal. Disamping itu, pengembangan dunia usaha di
22
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Daerah Tertinggal juga masih mengalami kesulitan disebabkan kurangnya insentif terhadap
sektor swasta dan pelaku usaha untuk berinvestasi di daerah tertinggal.
Keterbatasan dalam ketersediaan sarana dan prasarana publik dasar di daerah tertinggal
juga sangat penting untuk diselesaikan mengingat Daerah Tertinggal memiliki karakteristik
berbeda dibandingkan dengan daerah lain. Sumberdaya manusia juga membutuhkan
peningkatan dan pemberian konsentrasi yang lebih diakrenakan masih rendahnya kualitas
sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan masyarakat di Daerah Tertinggal. Sebagian
besar kondisi wilayahnya juga sulit diakses dikarenakan aksesibilitas Daerah Tertinggal yang
rendah terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah. Dan yang tidak kalah penting ialah terkait
pengelolaan potensi sumber daya lokal yang belum optimal.
Usaha percepatan pencapaian sasaran pokok pembangunan Daerah Tertinggal serta
penyelesaian berbagai permasalahan di Daerah Tertinggal tersebut membutuhkan terobosan
yang perlu dilakukan, antara lain (1) Mempercepat terbitnya Strategi Nasional Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal (STRANAS PPDT) 2015-2019 yang berkualitas dan dapat
dijadikan acuan bagi seluruh stakeholder dalam membangun daerah tertinggal; (2)
Merumuskan kebijakan dan skema pendanaan yang bersifat afirmatif dan asimetris untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tertinggal, antara lain melalui dana transfer
daerah yang lebih memihak daerah tertinggal; (3) Meningkatkan transfer knowledge dan difusi
inovasi pembangunan di daerah tertinggal baik dalam pelayanan publik, tata kelola pemerintah,
pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan daya saing; dan (4) Menyediakan insentif
terhadap sektor swasta dan pelaku usaha untuk berinvestasi di daerah tertinggal. Selain itu
dalam upaya pengentasan Daerah Tertinggal maka diperlukan arah kebijakan pembangunan
daerah tertinggal yang difokuskan pada : (1) Promosi potensi daerah tertinggal untuk
mempercepat pembangunan melalui peningkatan peluang investasi di Daerah Tertinggal; (2)
Pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar publik; (3) Pengembangan perekonomian masyarakat
didukung oleh SDM yang berkualitas; dan (4) Pembangunan infrastruktur dan konektivitas
antara daerah tertinggal dan pusat pertumbuhan yang diarahkan pada pusat kegiatan strategis
nasional (PKSN) untuk invenstasi yang berdaya saing.
Berdasarkan arah kebijakan pembangunan Daerah Tertinggal yang ada, maka
implementasinya dilakukan melalui strategi sebagai berikut: (1) Pengembangan perekonomian
masyarakat; (2) Peningkatan aksesibilitas penghubung ke pusat pertumbuhan; (3) Peningkatan
kualitas SDM dan Iptek, (4) Pemenuhan SPM pelayanan dasar publik; (5) Pemberian tunjangan
khusus kepada tenaga kesehatan, pendidikan, dan penyuluh pertanian; (6) Harmonisasi
regulasi; (7) Pemberian insentif kepada pihak swasta; (8) Pembinaan terhadap daerah
tertinggal yang terentaskan; (9) Pengembangan kawasan perdesaan dan transmigrasi; serta
dan (10) Percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat melalui
peningkatan konektivitas dan kualitas SDM, serta pengembangan ekonomi masyarakat berbasis
komoditas lokal pada wilayah adat.
Masalah yang diidentifikasi dalam impelentasi program/kegiatan di kawasan perbatasan
ditemukan dari mulai segi perencanaan, pengalokasian, pelaksanaan/pengelolaan, pengawasan,
pemanfaatan, dan pelaporan. Permasalahan dari segi perencanaan diantaranya adalah
BAPPENAS dan Settap BNPP sudah memberikan pedoman dalam membangun kawasan
perbatasan dengan adanya RPJMN 2015 - 2019, RKP, RINDUK, dan Renaksi. Dokumen tersebut
seharusnya diacu K/L dalam memberinya dukungan untuk kawasan perbatasan. Namun begitu
tidak sedikit K/L yang kurang merujuk dokumen tersebit. Hal tersebut disebabkan oleh K/L
merujuk pada target nasional suatu program yang tertulis dalam dokumen Renstra dan Renja
23
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
K/L. Selain itu dokumen perencanaan dari Settap BNPP (RINDUK dan Renaksi) masih dianggap
oleh K/L sebagai dokumen masukan/rekomendasi terhadap pemenuhan kebutuhan di kawasan
perbatasan. Kurangnya pemahaman K/L terhadap Perpres 12 tahun 2010 tentang Badan
Nasional Pengelola Perbatasan. K/L teknis telah disebut sebagai anggota BNPP di dalam perpres
tersebut. Sementara itu di daerah, Badan Pengelola Perbatasan (BPP) Daerah dan Kabupaten
dalam proses pengusulan kurang mengacu pada dokumen perencanaan yang ada (RPJMN, RKP,
dan RINDUK). BPP Provinsi dan Kabupaten memang menjadi koordinator di daerah dalam
membangun kawasan perbatasan. Namun begitu perannya di daerah kurang kuat dapat
mengarahkan SKPD untuk memberikan dukungannya ke daerah. Selain itu BPP dan Bappeda
seringkali tidak sepemahaman dalam membangun kawasan perbatasan. Permasalahan lain
dalam hal perencanaan adalah kualitas dokumen perencanaan dari RKP dan Renaksi sebagai
dokumen perencanaan setiap tahunnya perlu diperbaiki kualitasnya dengan didasarkan pada
kebutuhan real kawasan perbatasan yang dijelaskan secara konkrit. Dokumen perencanaan saat
ini kurang menggambarkan kebutuhan real dari kawasan perbatasan karena beberapa sasaran
dan target masih terlalu general untuk menggambarkan kebutuhan konkrit kawasan
perbatasan. Satuan target yang berupa "paket" harus diubah menjadi satuan yang menjawab
apa yang akan dilakukan di kawasan perbatasan. Selain itu Badan Pengelola Perbatasan (BPP)
Daerah dan Kabupaten kurang dapat memberikan gambaran kebutuhan program di kawasan
perbatasan. Harus ada indikasi jelas apa yang dibutuhkan di kawasan perbatasand ari daerah
dengan menjelaskan "apa" dan "berapa" yang dibutuhkan dalam suatu wilayah. Perlu Komitmen
pusat dan daerah untuk terus bersama – sama dapat mendorong membuat perencanaan yang
sesuai dengan kebutuhan real dengan menggunakan pendekatan holistik, integratif, tematik
dan spasial serta dijelaskan secara konkrit.
Kurangnya sosialisasi pusat ke daerah terhadap mekanisme perencanaan juga merupakan
salah satu permasalahan perencanaan pembangunan kawasan perbatasan. Hal tersebut
menyebabkan banyak usulan yang cenderung tidak sesuai dengan Prioritas Nasional dan
"Menu" yang ditawarkan. Usulan untuk Prioritas Nasional Perbatasan masih banyak yang
mempunyai lokus bukan di kawasan perbatasan sementara beberapa usulan dengan lokus
kawasan perabatasan masuk ke dalam Prioritas Nasional (PN) lainnya sehingga pembahasan
saat forum Musrenbang menjadi kurang efektif. Selain itu belum ada mekanisme khusus untuk
dapat memindahkan usulan yuang masuk ke dalam Prioritas Nasional yang salah tersebut.
Bappenas sudah memberikan pelatihan khusus untuk Bappeda provinsi terkait dengan
mekanisme pengisian usulan dengan tujuan menghindari usulan yang tidak sesuai. Namun
begitu masih banyak usulan yang tidak sesuai dengan Prioritas Nasional yang ada. Selain itu
tidak jarang provinsi yang kurang memahami kondisi dan kebutuhan prioritas dari kawasan
perbatasan daerahnya.
Permasalahan dari segi pengalokasian adalah Ketidakjelasan pagu K/L sebelum sampai
dengan forum Musrenbang berakhir menyebabkan K/L tidak bisa membahas usulan daerah
secara komprehensif hingga anggaran yang disetujui dan memberikan catatan pembahasan
"disetujui dengan mempertimbangkan alokasi anggaran". Hal tersebut mengakibatkan
ketidaktegasan hasil forum yang dapat berubah dengan berdasarkan pagu yang ditetapkan
nantinya. Selain itu ada juga mengenai Dana Alokasi Khusus dimana DAK yang cenderung
dinamis karena perubahan kebijakan DAK dan adanya penambahan/pengurangan menu
sementara kebutuhan terhadap kawasan perbatasan cenderung tetap. DAK Afirmasi dan DAK
Reguler tidak memiliki perbedaan menu kecuali terhadap lokusnya sehingga menyebabkan
alokasi DAK Afirmasi untuk kawasan perbatasan yang relatif lebih kecil dari DAK Reguler. Hal
24
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
itu menyebabkan DAK yang seharusnya dapat menjadi alternatif pendanaan dalam membangun
kawasan perbatasan menjadi kebijakan yang kurang pasti.
Permasalahan dari segi pengawasan adalah pengawasan untuk pelaksanaan program dari
pusat yang kurang baik mengakibatkan seringkali pembangunan yang tidak sesuai dengan
target dan lokasi pembangunan yang tidak di lokpri. Kurangnya komitmen daerah untuk
membangun kawasan perbatasan dengan mengunci lokasi pada lokpri mengakibatkan banyak
pembangunan dilaksanakan di daerah di luar lokpri yang dipandang lebih memiliki kekuatan
politis. Tentunya diperlukan adanya sosialisasi kepada daerah akan kepentingan membangun
kawasan perbatasan dengan pemda sebagai eksekutor utama di daerah. Penguatan peran BPP
sebagai pengawas dalam pembangunan di perbatasan. Hasil pengawasan akan dilaporkan pada
BNPP untuk menjadi evaluasi perencanaan kedepan.
Permasalahan dari segi pemanfaatan adalah perencanaan pusat yang tidak terintegrasi
dan sesuai kebutuhan mengakibatkan kurangnya keberlanjutan dari program dari segi
pemanfaatan. Sebagai contoh adalah pembangunan rumah sakit tidak terintegrasi dengan jalan
sehingga kegiatan pelayanan kesehatan tidak berjalan dengan optimal. Selain itu daerah juga
kurang kadang kurang siap dalam mengelola aset yang diserahkan pusat sehingga hasil
implementasi program tidak dimanfaatkan dengan optimal. Permasalahan dari segi pelaporan
adalah informasi terkait evaluasi hasil pembangunan hingga pemanfaatan masih kurang
terpublikasi sehingga sulit diketahui gap antara perencanaan dan implementasi untuk
identifikasi langkah pada tahun selanjutnya. Evaluasi juga sering kali hanya berorientasi
realisasi saja. Selain itu tidak ada evaluasi yang jelas terkait dengan pelaksanaan DAK di
daerah.
25
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
BAB III
HASIL KEGIATAN PEMANTAUAN
III.1 Hasil Pemantauan pada Rapat Sinkronisasai Rencana Aksi Kegiatan Lintas
Batas Negara tahun 2017 pada 5 April 2016
Pembangunan PLBN merupakan salah satu target pembangunan Kawasan Perbatasan
Negara khususnya di dalam RKP tahun 2017 yang merupakan bentuk pendetilan RPJMN 2015 –
2019 khusus untuk tahun 2017. Target dalam RKP tersebut adalah terbangun dan berfungsinya
7 PLBN Terpadu dalam rangka implementasi Inpres 6 tahun 2015. Selain pembangunan zona
sub inti dan pendukung, operasionalisasi PLBN secara terpadu dan terintegrasi merupakan
fokus kegiatan yang akan dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan
PLBN. Hasil pemantauan terhadap rencana aksi yang akan dilakukan pada tahun 2017 secara
umum adalah dukungan – dukungan K/L dalam rangka pembangunan 7 PLBN terpadu. BNPP
mengungkapkan bahwa harus ada penekanan terhadap pembangunan PLBN Motaain, Entikong,
dan Skouw karena PLBN tersebut merupakan PLBN yang sangat strategis mengingat potensi
kegiatan lintas batasnya dan perhatian Presiden RI pada PLBN tersebut. Selain pembangunan
fisik PLBN, perlu segera direncanakan terkait pengelola PLBN Terpadu yang direncanakan satu
atap. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terlantarnya hasil pembangunan PLBN dengan
tidak adanya pengelola yang menjalankan kegiatan pelayanan CIQS di PLBN secara terpadu.
Kondisi PLBN menurut Bappenas sebelum adanya Inpres 6 dan pembangunan PLBN
terpadu adalah kurang terintegrasi karena belum dapat memberikan dampak yang signifikan
pada pertumbuhan ekonomi wilayah. Setelah pembangunan berlangsung PLBN diharapkan
dapat menjadi pusat pelayanan CIQS yang cepat dan tepat dalam melayani serta memberikan
dampak ekonomi yang baik bagi kawasan perbatasan. Oleh karena itu kelembagaan pengelola
PLBN harus segera disiapkan untuk menjamin operasionalisasi PLBN secara efisien, fungsional
dan produktif bagi wilayahnya. K/L harus diarahkan untuk dapat memberikan program/kegiatan
yang khusus dan asimetris di kawasan PLBN dalam rangka mendukung operasionalisasi PLBN
yang lebih baik.
Menurut Kementerian PUPR, Pembangunan PLBN ditujukan untuk dapat memfasilitasi
mulai dari pejalan kaki hingga kendaraan kargo. Konsep pembangunan yang ada, diadopsi dari
konsep Lintas Batas di Amerika dengan tetap memasukan kelembagaan Indonesia. Oleh karena
itu perlu peninjauan lagi terkait dengan fungsi dan potensi dari PLBN itu sendiri. Apabila PLBN
memiliki fungsi dan potensi untuk menjadi gerbang eksport – import maka diperlukan dryport
dan jalur pemeriksaan kargo secara khusus untuk mencegah tercampurnya pemeriksaan
pelintas batas biasa dengan pelintas batas yang membawa muatan tertentu. Pembangunan
PLBN Terpadu sendiri memiliki permasalahan seperti adanya permasalahan lahan dan
penyerahan aset yang ada di dalam kawasan tersebut.
Koordinasi yang intensif dari semua stakeholder terkait pembangunan PLBN menjadi kunci
penting dalam rangka bersama – sama dapat mencapai target yang ada di dalam Inpres 6
tahun 2015. Selain itu dengan koordinasi yang lebih intensif dapat diidentifikasi isu – isu
strategis mengenai pembangunan PLBN. Berikut merupakan beberapa hasil masukan dari
beberapa stakeholder terkait dengan kawasan PLBN Terpadu:
26
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
27
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Arah pengembangan potensi Kabupaten Merauke dalam RPJMN 2015 – 2019 adalah
dengan pengembangan Merauke Integrated Food & Energy Estate (Mifee) dengan
mengalokasikan 1,2 Ha lahan pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan Nasional.
Lahan yang dialokasikan dibagi menjadi 10 klaster pengembagnan produksi pertanian. Sentra
Produksi Pertanian memiliki empat klaster yang tersebar di Merauke, Kali Kumb, Yeinan dan
Bian. Sesuai dengan arahan RPJMN 2015 – 2019 kluster tersebut diarahkan pada
pengembangan tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan. Klaster lainnya
(Okaba, Ilwayab, Tubang, dan Tabonji).
Infrastruktur menjadi salah satu kunci penting dalam pembangunan ekonomi Kabupaten
Merauke. Pembangunan infrastruktur di Kabupaten Merauke didukung dengan adanya Proyek
Strategis Nasional oleh pemerintah pusat, DAK, dan Dana Infrastruktur Khusus Papua. Alokasi
pendanaan untuk pembangunan infrastruktur tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
akan infrastruktur yang dapat menunjan ekonomi Kabupaten Merauke. Salah satu kebutuhan
infrastruktur yang sangat urgent adalah infrastruktur kawasan perbatasan. Hal tersebut
dikarenakan isu strategis di kawasan perbatasan yang sangat terisolasi sementara amanat
RPJMN 2015 – 2019 adalah untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai halaman depan
Negara. Oleh karena itu infrastruktur di kawasan perbatasan harus didukung dengan
memperhatikan kebutuhan riil akan pelayanan dasar di kawasan perbatasan. Beberapa
kebutuhan infrastruktur Kawasan Perbatasan Negara Kabupaten Merauke dapat dilihat pada
tabel berikut:
28
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
Sementara itu dalam pengembangan ekonomi wilayah diperlukan beberapa dukungan selain
infrastruktur, yaitu :
1. Aspek Regulasi, yaitu:
a. Regulasi pengelolaan lintas batas
b. Regulasi Perdagangan lintas batas, Perjanjian kerjasama antara RI-Papua New
guinea dalam pengembangan kawasan perbatasan negara
c. Regulasi untuk mengatur pemanfaatan tanah ulayat
d. Regulasi penetapan Kawasan MIFEE sebagai KEK
2. Aspek Kelembagaan, yaitu:
a. Penciptaan iklim investasi yang kondusif di kawasan perbatasan
b. Pembagian kewenangan atau urusan antar jenjang pemerintah: pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota dalam pengelolaan kawasan perbatasan
c. Kelembagaan pengelola perbatasan yang memiliki otoritas penuh untuk
mengelola pos-pos lintas batas negara
d. Pengkhususan pemberian kewenangan bagi pemerintahan kecamatan di wilayah
perbatasan (Lokpri) dalam bentuk desentralisasi asimetrik dengan penetapan
29
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
30
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
pengembangan KEK/KI Palu terutama terkait dengan pembebasan lahan. Luas KEK/KI yang
sudah dibebaskan adalah 77,7 Ha dari total 1.500 Ha. Kendala pembebasan lahan ini
disebabkan karena dana yang dialokasikan oleh pemerintah daerah tidak mencukupi. Jika
menggunakan dana investor, maka masih terkendala oleh peraturan perundangan yang
berlaku, dan juga investor meminta status lahan menjadi Hak Guna Bagunan bukan
sewa/pinjam pakai. Administrator KEK menyaran perlu adanya 2 skema pembebasan lahan
yaitu oleh swasta dan oleh pemerintah dapat diatur lebih lanjut melalui peraturan perundangan.
Dari uraian terkait progres Kapet dan KEK/KI maka dapat dikaitkan bahwa konsep
pengembangan kedepan Kapet dan KEK/KI memiliki keterkaitan hulu – hilir dalam
meningkatkan perekonomian daerah terutama daerah tertinggal di sekitarar kawasan strategis
tersebut. Namun saat ini daerah kurang dapat mengelola Kapet karena pengelolaanya berada
dibawah Kementerian PUPR sehingga kegiatan di dalam Kapet susah untuk dilakukan. Selain itu
KEK/KI masih dalam pengembangan infrastruktur, belum kea rah pengembangan komoditas
sehingga belum memberikan dampak pengembangan ekonomi yang signifikan ke daerah
tertinggal di sekitarnya.
III.4 Hasil Pemantauan di Kabupaten Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sebagaimana amanat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017, Pembangunan
Daerah Tertinggal telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas nasional di Tahun 2017.
Terdapat 5 kabupaten prioritas dalam RKP 2017 dari total 122 kabupaten Daerah Tertinggal
yang akan dijadikan lokasi percontohan pembangunan Daerah Tertinggal terintegrasi. Kelima
kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Lombok Timur, Maluku Tenggara Barat, Morotai, Sabu
Raijua dan Sarmi. Integrasi pembangunan akan dilakukan secara terfokus pada lokasi
kecamatan yang berpotensi menimbulkan pusat pertumbuhan baru sekaligus mengentaskan
desa-desa tertinggal di wilayah sekitarnya.
Kegiatan pemantauan dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi kebutuhan pembangunan
Daerah Tertinggal di kecamatan prioritas serta melakukan integrasi kegiatan pembangunan
strategis di kecamatan prioritas yang prospektif untuk dibiayai melalui skema Dana Alokasi
Khusus (DAK) APBD, APBN dan sumber dana lainnya. Kecamatan yang akan dijadikan lokasi
prioritas intervensi di Kabupaten Lombok Timur adalah Kecamatan Keruak, Jerowaru, dan
Sembalun. Lokasi kecamatan prioritas memang sudah direncanakan untuk menjadi Kawasan
Strategis Kabupaten (KSK). Terdapat KSK Agropolitan Sembalun dan KSK Minapolitan Keruak-
Jerowaru yang berlokasi di Kecamatan Keruak dan Jerowaru”.
Salah satu kecamatan prioritas intervensi, yaitu Desa Seriwe di Kecamatan Jerowaru. Desa
Seriwe memiliki potensi utama komoditas rumput laut serta perikanan tangkap. Desa Seriwe
juga memiliki kelompok usaha pengolahan dodol rumput laut yang telah dikelola oleh Kelompok
Usaha Putri Selatan. Sedangkan permasalahan di daerah ini adalah kurang tersedianya air
bersih yang berimbas pada kurang tersedianya kebutuhan sanitasi bagi masyarakat sekitar
pesisir di Desa Seriwe. Kunjungan lapangan ke Kecamatan Jerowaru dengan melihat beberapa
titik pengembangan yang ada diantaranya:
1. Pelabuhan Labuhan Haji.
2. lokasi budidaya rumput laut dan lobster.
3. Lokasi pembuatan kerupuk kulit udang.
4. Lokasi sumber air bersih di kecamatan.
31
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
32
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
IV.1 Kesimpulan
1. Secara umum pelaksanaan pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan
Perbatasan Negara masih menggunakan RPJMN 2015 – 2019 sebagai acuan utama
dengan menuangkan Sasaran, Arah Kebijakan dan Strategi pembangunan dalam
RPJMN 2015 – 2019 ke dalam RKP untuk menjaga usaha pencapaian sasaran
pembangunan dan konsistensi perencanaan Daerah Tertinggal dan Kawasan
Perbatasan Negara. Namun begitu RKP harus dapat memberikan masukan untuk
dapat mengakomodir perubahan isu – isu strategis di Daerah Tertinggal dan Kawasan
Perbatasan sehingga pembangunan tidak terkesan hanya terjebak dalam kerangka
RPJMN tetapi juga mempertimbangkan dinamika wilayah yang ada.
2. Konsistensi antara input, output dan outcome dalam RPJMN dari segi perencanaan
dicoba untuk dijaga dengan menuangkan dan mendetilkan kembali RKP yang ada.
Namun begitu dalam usaha pencapaiannya (implementasi perencanaan) tidak jarang
dicapai output dan outcome yang kurang sesuai dengan target awal karena berbagai
kendala dalam implementasi perencanaan pembangunan di Daerah Tertinggal dan
Kawasan Perbatasan. Diluar hal tersebut, pembangunan Daerah Tertinggal dan
Kawasan Perbatasan telah memberikan capaian yang tentunya diharapkan dapat
menjadi modal bagi masyarakat untuk mengembangkan wilayahnya.
3. Permasalahan pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan datang dari
wilayah itu sendiri dan stakeholder yang menangani wilayah tersebut. Permasalahan
dari wilayah adalah kondisi geografis dan isolasi wilayah yang menyulitkan
pelaksanaan pembangunan di Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan.
Sementara permasalahan dari stakeholder datang dari segi perencanaan,
pengalokasian, pelaksanaan/pengelolaan, pengawasan, pemanfaatan, dan pelaporan.
Masing – masing masalah tersebut memerlukan komitmen seluruh stakeholder untuk
dapat menguatkan koordinasi sehingga permasalahan – permasalahan dalam
pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan dapat ditekan seminimal
mungkin.
IV.2 Rekomendasi
Hasil pemantauan memberikan tiga poin penting dalam pelaksanaan pembangunan
Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan Negara dalam lingkup RPJMN 2015 – 2019, yaitu
(1) RKP harus mampu mendetilkan RPJMN 2015 – 2019 dengan tetap menjaga konsistensi
perencanaan tetapi juga mengakomodir dinamika wilayah yang ada; (2) Meskipun
pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perabtasan telah memberikan hasil di
wilayahnya, tetapi masih terdapat hambatan yang menjadi kendala dalam usaha pencapaian
output dan outcome yang sesuai dengan RPJMN 2015 – 2019; dan (3) Hambatan yang ada
berakar dari permasalahan baik yang datang dari wilayah itu sendiri maupun stakeholder yang
menangani wilayah tersebut. Melalui tiga poin tersebut maka dapat diketahui untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan
Perbatasan Negara dapat dilakukan dengan memperkuat koordinasi antar stakeholder baik di
pusat maupun daerah dalam memberikan masukan perencanaan kebijakan program,
pengalokasian program, pelaksanaan program, monitoring dan evaluasi program. Pemerintah
33
Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Kawasan Perbatasan dalam Lingkup RPJMN 2015 - 2019
pusat perlu untuk memberikan arah kebijakan yang afirmatif dan integratif kepada Daerah
Tertinggal dan Kawasan Perbatasan dengan memberikan perlakuan – perlakuan khusus baik
untuk perencanaan pembangunan maupun implementasi pembangunan itu sendiri. Sementara
itu pemerintah daerah harus dapat memberikan kebutuhan wilayahnya yang sesuai dengan
prioritas kebutuhan dengan menyertakan urgensi dari usulan program tersebut sehingga
pemerintah pusat dapat memahami dengan jelas apa yang menjadi kebutuhan wilayah. Arah
kebijakan yang afirmatif dan usulan kebutuhan daerah yang bersifat prioritas tentunya akan
menghasilkan alokasi program/kegiatan yang tepat sasaran dan efektif sesuai dengan kondisi
anggaran yang ada.
34