Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia, khususnya di negara berkembang.Menurut World Health
Organization (WHO) tahun 2002, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
kematian urutan kesebelas di seluruh dunia, menelan korban jiwa sekitar 1,2
juta manusia setiap tahun. Kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan
berbagai cedera.Cedera yang paling banyak terjadi pada saat kecelakaan
lalulintas adalah cedera kepala.
Menurut Mendelow (2008), kurang dari 0-5% dari semua pasien
dengan cedera kepala membutuhkan kraniotomi untuk hematoma intrakranial.
Cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
utamadisabilitas dan mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya
terjadi pada pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang tidak
memenuhi standart.
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus dan dari jumlah tersebut 10%
meninggal sebelum tiba di rumah sakit serta yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS) dan 10% sisanya adalahcedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara
15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 548%-53% dari
insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan (Irwana, 2009).
Pada pasien post operasi kraniotomi membutuhkan perawatan yang
lebih intensif untuk mengurangi komplikasi akibat pembedahan. Komplikasi
pasca bedah yang sering terjadi yaitu peningkatan tekanan
intrakranial,perdarahan,syok hipovolemik,ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit,infeksi dan kejang (Brunner dan Suddarth, 2002)

B. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu :
1. Mampu mengetahui pengertian kraniotomi.
2. Mampu menjelaskan indikasi penggunaan kraniotomi.
3. Menggunakan proses keperawatan sebagai kerangka kerja untuk
perawatan pasien pre, intra dan pasca kraniotomi.
4. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien operasi
kraniotomi.
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Pengertian
Menurut Price dan Wilson (2005), Cedera kepala adalah gangguan
traumatik pada daerah kepala yang mengganggu fungsi otak dan
menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya
disebabkan oleh trauma keras.
Menurut Batticaca (2008), Trauma atau cedera kepala juga dikenal
sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik
trauma tumpul maupun tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya
substansia alba,iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik serta edema
serebral disekitar jaringan otak.
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan
untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth.
2002)

B. Etiologi
Menurut Ginsberg (2007), cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas, jatuh, trauma benda tumpul, kecelakaan kerja, kecelakaan rumah
tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak dan pecahan bom.
Sedangkan menurut Grace dan Borley (2006),penyebab dari cedera
kepala yaitu :
1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan atau pada sisi yang
berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan
mengenai dinding yang berlawanan.
2. Rotasi / deselerasi
Fleksi,ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak. Rotasi yang hebat juga
menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang
otak menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan
intraserebral.
3. Tabrakan / kecelakaan lalu lintas
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat
(terutama pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis).
4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan
trauma.Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak
yang secara otomatis menekan otak.

C. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang timbul menurut Fransisca B (2008) adalah sebagai
berikut :
1. Gangguan kesadaran
2. Muntah
3. Serangan (onset) tiba-tiba berupa deficit neurologis
4. Perubahan tanda-tanda vital
5. Gangguan pergerakan
6. Kejang
7. Syok akibat cidera multisystem

D. Phatofisiologi dan Pathways

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energy yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hamper
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % ,
karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 mg5 dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral (Brunner
& Suddart,2003)

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi


kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal Cerebral Blood Flow (CBF) yaitu 50-60 ml/menit/100gr. Jaringan
otak yang merupakan 15% dari cardiac output (Price,2008).

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup


aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan menyebabkan
oedema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P, disritmia fibrilasi atrium dan ventrikel dan takikardia
(Muttaqin, 2008)

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,


dimana penurunan tekanan vaskuler ini akan menyebabkan pembuluh darah
arteriol akan berkontraksi. Pengaruh peryarafan simpatik dan parasimpatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar (Price,2005).

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostic yang diperlukan pada pasien dengan cidera
kepala menurut Muttaqin (2008) adalah :
1. CT-Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, detrminan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
skunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar X
6. BAER
7. PET
8. CSS
9. Screen Toxicology
10. Rontgen thorax 2 arah
11. Toraksentesis

F. Komplikasi Post Op
1. Edema cerebral
2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
3. Hypovolemik syok
4. Hydrocephalus
5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus)
6. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut
lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah
sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis
yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini.
7. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi.Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus auereus,
organism garam positif stapylococus mengakibatkan pernanahan.Untuk
menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka
dengan memperhatikan aseptic dan antiseptic.
8. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka
atau eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka.
Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor
penyebab dehisensi atau eviserasi adalah in feksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan

G. Penatalaksaan Keperawatan
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
2. Mempercepat penyembuhan
3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti
sebelum operasi.
4. Mempertahankan konsep diri pasien
5. Mempersiapkan pasien pulang

Perawatan pasca pembedahan


1. Tindakan keperawatan post operasi
a) Monitor kesadaran, tanda – tanda vital, CVP, intake dan out
put
b) Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah) drainage.
c) Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati
– hati jangan sampai drain tercabut.
d) Perawatan luka operasi secara steril
2. Makanan
Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan
menelan makanan sesudah pembedahan, makanan yang
dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi
protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses
penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung
antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk
pencegahan infeksi.
Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral)
Biasanya makanan baru diberikan jika:
a. Perut tidak kembung
b. Peristaltik usus normal
c. Flatus positif
d. Bowel movement positif

3. Mobilisasi
Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar
keadaanya stabil.Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus
tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang
menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi
dini
4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
a. Sistem Perkemihan
1) Control volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam
post anesthesia inhalasi, IV, spinal
2) Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi → retensio urine.
3) Pencegahan : inpeksi, palpasi, perkusi → abdomen bawah
(distensi buli – buli)
4) Dower catheter → kaji warna, jumlah urine, out put urine <30
ml/jam → komplikasi ginjal
b. System Gastrointestinal
1) Mual muntah → 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama
dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat
meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO
mneingkat
2) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus
3) Kaji paralitik ileus → suara usus (-), distensi abdomen, tidak
flatus
4) Jumlah warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam
5) Insersi NGT intra operatif mencegah komplikasi post operatif
dengan decompresi dan drainase lambung
a) Meningkatkan istirahat.
b) Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
c) Memonitor perdarahan.
d) Mencegah obstruksi usus.
e) Irigasi atau pemberian obat.

Proses penyembuhan luka


a. Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak /rapuh.
Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-
serabut bening digunakan sebagai kerangka.
b. Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen seluruh
pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru
tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
c. Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu.Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul
jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
d. Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.

Upaya untuk mempercepat penyembuhan luka


a. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C.
b. Menghindari obat – obat anti radang seperti steroid
c. Pencegahan infeksi
d. Pengembalian Fungsi fisik.
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan
latihan napas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini.

H. Kriteria Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah perawatan pasien post operasi, meliputi ;
1. Tidak timbul nyeri luka selama proses penyembuhan
2. Luka insisi normal tanpa infeksi
3. Tidak timbul komplikasi
4. Pola eliminasi lancer
5. Pasien tetap dalam tingkat optimal tanpa cacat
6. Kehilangan berat badan minimal atau tetap normal
7. Sebelum pulang pasien mengetahui tentang :
a. Pengobatan lanjutan.
b. Jenis obat yang diberikan.
c. Diet.
d. Batas kegiatan dan rencana kegiatan di rumah.

I. Teknik Pembedahan
1. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Headup
kurang lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan
kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi
saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di
bahu kiri dan sebaliknya.

2. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek
steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi

3. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk
kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk
mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (
kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis
orbita)

4. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin
1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi
dengan doek steril.

5. Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah
tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap
dan fiksasi pada doek. Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara
hati-hati dengan rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan
gergaji kemudian dan rawat perdarahan. Penentuan lokasi burrhole
idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT scan. Lakukan
burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian
dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus
tabula interna. Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang
boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten
memfixir kepala penderita.
Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara
tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan
elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat
dihentikan dengan bone wax. Gantung dura (hitch stich) dengan benang
silk 3.0 sedikitnya 4 buah. Evakuasi hematoma dengan spoeling dan
suctioning secara gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan
degan diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes
tambahkan hitch stich pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan
spongostan di bawah tulang. Bila perdarahab profus dari bawah tulang
(berasal dari arteri) tulang boleh diknabel untuk mencari sumber
perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus. Bila ada dura yang
robekjahit dura denga silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul dengan jarak
kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan
spoeling berulang-ulang.
Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi
langkah salanjutnya adalah membuka duramater. Sayatan
pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berla -
wanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura,
kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat
lapisan mengkilat dari arakhnoid.(Bila sampai keluar cairan otak, berarti
arachnoid sudah turut tersayat).Masukkan kapas berbuntut melalui lubang
sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya
dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada
lapisan tersebut.
Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip
khusus.Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah
dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.Reseksi jaringan
otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan pembuluh-
pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.Semua pembuluh darah baik
arteri maupun vena berada di permukaan di ruang subarahnoidal, sehingga
bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak ada darah
lagi.Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi.Tepi bagian
otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas
dari perlengketan.Untuk membakar permukaan otak, idealnya
dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk
memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu
kauterisasi.
Pengembalian tulang.Perlu dipertimbangkan dikembalikan/ tidaknya
tulang dengan evaluasi klinsi pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut. Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0
menembus keluar kulit.Periost dan fascia ototo dijahit dengan vicryl 2.0.
Pasang drain subgaleal. Jahit galea dengan vicryl 2.0. Jahit kulit dengan
silk 3.0. Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain). Operasi
selesai. Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang,
pertama pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah
tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang
pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di
fiksasi (3-4 buah ditepi dan2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel
dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup
lapis demi lapis seperti diatas.
BAB III
Kasus dan Proses Keperawatan

A. Kasus
Tn.A 2 minggu yang lalu pasien jatuh dari kendaraan, posisi klien
duduk dibelakang, kejadian itu merupakan kecelakaan tunggal. Kemudian
dibawa ke rumah sakit Ambarawa, klien sempat binggung 10 menit, orang tua
klien mengatakan anaknya tidak tahu apa yang terjadi. 1 minggu di RS
Ambarawa, dikarenakan kurangnya peralatan yang ada, klien dibawa ke RS
Roemani dengan dibutuhkannya pemeriksaan CT Scan.Saat dikaji pasien
tidak bisa mengatakan kata-kata dengan jelas, klien terlihat kesakitan bila ada
rangsang nyeri, klien dalam keadaan apatis

Terapi
1. Infus RL makro 20 tetes/menit
2. Injeksi ceftriaxone 2x1 gr/12jam
3. Injeksi penitoin 2x100 mg/12jam
4. Injeksi ranitidine 25 mg
5. Obat oral carbamazepine 150 mg
6. Diit lunak TKTP
7. Pemeriksaan CT scan
8. EDH diregio fronto temporoparietalis dexta dan ICH di lobus
temporoparietalis dextra yang menyebabkan herniasi subfalince ke
sinistra sejauh 6,7 mm.
9. Oedema cerebri diffuse.
10. Hematosinus maxillaris, sinus frontalis, sinus ethmordalis bilateral
serta sinus sphenordalis.
11. Haematoma dextra cranial region temporoparietalis bilateral dengan
emfisema subcuris.
B. Proses Keperawatan
1. Pengelompokan Data
Data Subjektif Data objektif
a. Pasien mengeluh nyeri pada Keadaan umum : compos mentis
kepala skala 3 dari skala 0- Tanda – tanda vital :
10. TD : 110/80 mmHg
b. Pasien mengatakan masih N : 78 x/menit
terasa lemas. R : 20 x/menit
c. Pasien mengatakan tidak S : 36,7oC
dapat memenuhi Kulit tubuh kering dan kotor
kebutuhannya atau merawat Kuku tampak panjang dan kotor
diri setelah terjatuh.
d. Keluarga pasien
mengatakan pasien banyak
minum.
e. Keluarga pasien
mengatakan pasien sudah
tidak muntah.

2. Analisa Data
Data Senjang Problem Etiologi
1. DS : Penurunan kapasitas Cidera kepala
- Pasien mengeluh adaptif intracranial.
nyeri pada kepala
bagian kanan.
- Skala nyeri 3 dari
0-10
DO :
- Pasien tampak
gelisah
- Wajah pucat
- Wajah pasien
meringis
menahan nyeri
pada kepala
- Nadi 78x/menit
- Respirasi
20x/menit
- TD 110/80
mmHg
2. DS : Resiko Gangguan mekanisme
- Keluarga pasien ketidakseimbangan regulasi (diabetes
mengatakan elektrolit insipidius)
pasien banyak
minum
DO :
- Natrium 147
mmol/L
- Kalium 3,8
mmol/L
- Klorida 111
mmol/L
- Urin output/24
jam 1400 L
3. DS : - Resiko infeksi Prosedur infasif
DO : (pemasangan infus dan
- Terpasang infus Dower kateter)
RL 20 tpm pada
tangan kanan
- Terpasang DC

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnose keperawatan yang mugkin muncul menurut NANDA
(2012) adalah :
a. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma, riwayat jatuh
b. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan perubahan kemampuan mencerna makanan
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan infasif (pemasangan
infus dan dower kateter)
d. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan

Dx Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
Resiko perdarahan Kriteria Hasil : - monitor TTV - adanya
berhubungan -pasien tidak terjadi - observasi tingkat peningkatan
dengan trauma, perdarahan kesadaran dan tekanan darah,
riwayat jatuh - GCS >13 menggunakan GCS bradikardi,
- TTV dalam batas - pantau perdarahan disritmia, dyspnea,
normal - kelola pemberian merupakan tanda
obat sesuai resep terjadinya
dokter peningkatan
tekanan
intracranial.
Gangguan nutrisi: Kriteria Hasil : -monitor jumlah -mengetahui
kurang dari -berat badan ideal makanan yang adanya jumlah
kebutuhan tubuh -asupan makanan masuk makanan yang
berhubungan yang adekuat -berikan makanan masuk
dengan perubahan -menjelaskan yang mengandung -membantu
kemampuan makanan bergizi protein tapi sering memperbaiki status
mencerna makanan -ajarkan pada nutrisi
pasien dan keluarga -adanya
tentang makanan pengetahuan
bergizi tambahan tentang
-kolaborasi dengan makanan bergizi
tim kesehatan gizi -memenuhi
kebutuhan gizi
pasien
Resiko infeksi Kriteria Hasil : -observasi tanda -mendeteksi dini
berhubungan -pasien terbebas dan gejala infeksi adanya tanda-tanda
dengan tindakan dari tanda-tanda -observasi TTV infeksi
infasif infeksi Ganti letak IV line -Mendeteksi tanda-
(pemasangan infus -pasien dapat atau dressing infus tanda vital
dan dower kateter) mencegah -anjurkan keluarga -menurunkan
terjadinya infeksi untuk cuci tangan kontamisnasi
-kelola pemberian mikroorganisme
obat antibiotik pada daerah
tusukan infus
-menurunkan
terjadinya resiko
infeksi

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium tanggal 28 februari 2016

Hematologi Hasil Nilai normal Satuan


Hemoglobin 12,3 12-16 g/dl
Leukosit 9.200 4-11 rb/mmk
Trombosit 194.000 150-400 rb/mmk
Hematokrit 37,5 35- -47 %
Kimia klinik
Glukosa sewaktu 86 80-150 mg/dl
Ureum 24 10-50 mg/dl
Creatinin 0,7 0,6 – 1,3 mg/dl
Elektrolit
Natrium (Na) 138 135-148 mmol/L
Kalium (K) 3,9 3,5 – 5,3 mmol/L
Chlorida (CI) 104 95-108 mmol/L
Calcium 7,0 8,6 – 10,3 mmol/L
Magnesium (Mg) 4.00 1.8 - 2.6 mmol/L

Hitung Jenis
Eosinofil 1,4 0-5 %
Basofil 0,4 0-2 %
N. Segmen 74,0 33-66 %
Limfosit 17,6 22-40 %
Monosit 6,6 2-8 %

b. Hasil lab tanggal 06 maret 2016, Kimia Klinik darah arteri

Analisa gas darah Hasil Nilai normal Satuan


PH 7.504 7.35 - 7.45
PCO2 28.9 35 – 45 mmHg
PO2 69.9 83 – 108 mmHg
SO2 94.0 95 – 98 %
BEecf -0,3 -2 – 3 mmol/L
BEb 1 2 mmol/L
HCO3 22,9 10-50 mmol/L
TCO2 23,7 0,6 – 1,3 mmol/L
A-aDO24 23 30 mmHg
O2 Ct 14,2 135-148 mm/dl
PO2/FlLO2 90.1 3,5 – 5,3 mmHg

c. CT Scan tanggal 28 maret 2016, didaparkan hasil, terdapat


fraktur temporal,tanda SDH pada region temporal parental.
BAB IV

PEMBAHASAN

Asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Post Op Kraniotomi dilakukan


dengan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian dan
diagnose keperawatan. Pembahasan ini bertujuan untuk membandingkan dan
membahas antara teori dan kenyataan yang terjadi pada pasien berdasarkan
alasan ilmiah.

A. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian penulis mendapatkan data dari
pasien, keluarga, tim kesehatan, dan status pasien. Metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara wawancara,
pemeriksaan fisik, observasi dan studi dokumentasi.
Dari hasil pengkajian pada kasus didapatkan adanya kesenjangan
data dengan teori, ada data pada teori yang tidak ditemukan dikasus
dan ada data yang tidak ditemukan pada teori.
Dari data hasil pengkajian pada pasien Tn.A ditemukan data
senjang baik yang teori tidakada dalam kasus maupun data kasusyang
tidak ada dalam teori.

a. Data yang sesuai dengan teori menurut (Muttaqin,2008) dan ada dalam
kasus, yaitu :
1) Nyeri kepala atau sakit kepala
Nyeri kepala atau sakit kepala data ini didapatkan pada kasus
karena rasa nyeri timbul disebabkan adanya peningkatan tekanan
intrakranial akibat dari perdarahan intraserebral, perdarahan
kedalam substansi otak, biasanya terjadi pada cidera kepala dimana
tekanan mendesak kw kepala sampai daerah kecil.
2) Poliuria
Poliuria, yaitu pengeluaran urine encer yang banyak setiap harinya.
Pada pasien muncul data tersebut karena terjadi diabetes insipidius
akibat dari cidera kepala hal tersebut ditandai dengan urine
output/24 jam sebanyak 1400/L.

b. Data yang ada di teori tetapi tidak muncul pada kasus menurut
(Muttaqin,2008) :
1) Gangguan kesadaran
Pada kasus ini gangguan kesadaran tidak muncul hal ini ditandai
dengan nilai GCSpasien yaitu E4M6V5.
2) Kejang
Pada cidera kepala biasanya akan muncul kejang, hal ini terjadi
karena peningkatan tekanan intracranial yang mengakibatkan
perubahan suhu badan sehingga menimbulkan demam
3) Serangan (onset) tiba-tiba berupa defisit neurologis
Pada cidera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis
terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial
akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma dan epidural hematoma
4) Syock akibat cidera multisystem
Pada kasus dengan cidera kepala sedang dan berat akan ada
peningkatan pada system kardiovaskuler sehingga didapatkan syok
hipovolemik. Hal ini ditandai dengan bebeapa hal yaitu : tekanan
darah normal atau berubah, nadi bradikardi, frekuensi nadi cepat
dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.
5) Gangguan pergerakan
Pada kasus cidera kepala pasien juga dapat terjadi gangguan
pergerakan hal ini terjadi karena adanya kelemahan akibat suplai
oksigen ke otak sedikit atau terganggu.

c. Data yang tidak ada pada teori tetapi muncul pada kasus :
Pasien mengatakan segala kebutuhan dibantu dan dilakukan
diatas tempat tidur, kuku tangan panjang dan kotor, kebutuhan
ADL pasien dibantu oleh keluarga dan perawat.data ini muncul
dikarenakan adanya keterbatasan gerak yang disebabkan oelh
adanya gangguan rasa nyaman (nyeri pada kepala) akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial, selain itu juga diakibatkan
karena adanya kelemahan akibat suplaioksigen ke otak sedikit atau
terganggu.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah respon individu pada masalah


kesehatan yang aktual dan potensial. Yang dimaksud dengan aktual
adalah masalah yang ditemukan pada saat dilakukan pengkajian,
sedangkan masalah potensial adalah kemungkinan akan timbul
kemudian.

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan


respon manusia, dimana perawat secara akuntabilitas memberikan
intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan.
(Carpenito,2000).
Menurut NANDA, 2012 ada 7 diagnosa. Setelah dilakukan
analisa data, pada kasus ditemukan 2 diagnosa yang sama dengan teori
dan 5 diagnosa yang tidak sama sesuai dengan teori :

a. Diagnosa keperawatan yang ada pada teori dan kasus :


1) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif (pemasangan
infuse dan pemasangan dower kateter)
Resiko infeksi adalah keadaan dimana individu yang dapat terkena
infeksi akibat dari tindakan atau prosedur invasive (pemasangan
infuse dan dower kateter).
Pada kasus ini masalah resiko infeksi diangkat dengan didukung
adanya data-data :
 Terpasang infuse RL-2 tpm pada lengan kanan sejak hari
Ke-4
 Terpasang DC sejak hari ke-10

Maka dari itu jika ada alat invasive yang masuk pada tubuh, akan
menimbulkan infeksi. Jadi sebelum terjadi infeksi harus dilakukan
pencegahan terlebih dahulu.

2) Defisit perawatan diri (makan, toiletng, mandi, berpakaian)


berhubungan dengan kelemahan.
Defisit perawatan diri (makan, toileting, mandi,berpakaian) adalah
kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan aktivitas
kebutuhan jasmani atau kebutuhan perawatan diri (mandi,
toileting, makan/minum, dan berpakaian) dikarenakan oleh
kelemahan karena post op kraniotomi. Dengan didukung adanya
data-data:
 Pasien dibantu oranglain dalam pemenuhan kebutuhan
mandi
 Pasien dibantu oranglain dalam pemenuhan kebutuhan
eliminasi (BAB dan BAK)
 Pasien dibantu oranglain dalam pemenuhan kebutuhan
makan
 Pasien dibantu oranglain dalam pemenuhan kebutuhan
berpakaian
b. Diagnosa yang ada pada teori tetapi tidak terdapat pada kasus :
1) Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma, riwayat jatuh
Diagnosa ini tidak muncul karena pada saat pengkajian kondisi
pasien sudah mengalami perbaikan dan tidak ada luka yang
terbuka
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan perubahan kemampuan mencerna makanan
Diagnosa tersebut tidak muncul karena pasien dapat makan
melalui oral serta diit rumah sakit selalu dihabiskan
3) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
penggunaan alat bantu nafas
Diagnosa tersebut tidak muncul karena pada saat pengkajian
pasien tidak menggunakan alat bantu napas dan pasien dapat
makan dan minum melalui oral.
4) Resiko cidera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
Diagnosa tersebut tidak muncul karena pasien dapat
berkomunikasi dengan baik dan tidak mengalami gangguan
kesadaran hal ini didukung dengan nilai GCS E4M6V5.
5) Ketidakefektifan bersihan nafas berhubungan dengan penumpukan
sputum
Diagnose tersebut tidak muncul karena pasien tidak batul, dan
tidak menggunakan alat bantu nafas.
c. Diagnosa yang ada pada kasus tetapi tidak terdapat pada teori :
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial berhubungan dnegan
cidera otak
Diagnosa ini muncul karena pasien mengalami kecelakaan
lalulintas yang mengakibatkan cidera otak. Sehingga mekanisme
dinamika cairan intracranial yang normalnya melakukan
kompensasi untuk meningkatkan volume intracranial mengalami
gangguan, sehingga pasien serig mengalami nyeri pada kepala.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada pasien post operasi kraniotomi membutuhkan perawatan yang
lebih intensif untuk mengurangi komplikasi akibat pembedahan. Komplikasi
pasca bedah yang sering terjadi yaitu peningkatan tekanan
intrakranial,perdarahan,syok hipovolemik,ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit,infeksi dan kejang (Brunner dan Suddarth, 2002).
Menurut Ginsberg (2007), penyebab dari cedera kepala yaitu
kecelakaan lalu lintas, jatuh, trauma benda tumpul, kecelakaan kerja,
kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak dan pecahan
bom. Sedangkan menurut Grace dan Borley (2006), cedera kepala dapat
disebabkan karena pukulan langsung, rotasi/deselerasi , tabrakan dan peluru.

B. Saran
Berdasarkan praktik studi kasus di RS berhubungan dengan asuhan
keperawatan pada pasien cedera kepala post kraniotomi, maka penulis ingin
menyampaikan saran kepada beberapa pihak sebagai berikut :
1. Pasien
Pasien diharapkan untuk lebih banyak mengkonsumsi makanan yang
mengandung protein agar luka post operasinya cepat sembuh.

2. Perawat
Perawat diharapkan dapat memodifikasi dan mengakumulasi teknik
management nyeri menjadi lebih bervariasi dan efektif .

Anda mungkin juga menyukai