Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai penyakit yang dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah
satunya adalah peradangan selaput otak, yang sering disebut meningitis.
Meningitis merupakan sususan saraf pusat yang dapat menyerang semua
orang. Meningitis Tuberkulosis merupakan salah satu kegawat daruratan
medik yang memberi resiko kecacatan dan kematian yang cukup tinggi.
Siapapun bisa terkena bakteri meningitis, tetapi paling umum pada bayi dan
anak-anak. Orang-orang yang telah lama atau kontak dekat dengan pasien
meningitis yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis atau Hib juga dapat
berisiko tertular. Tidak jarang organisme yang relatif memiliki derajat
patogenitas rendah dapat menyebabkan meningitis atau abses otak.
Demikian pula cairan serebrospinal (CSS) pada beberapa kasus justru
merupakan media yang ideal untuk pertumbuhan kuman disamping
hambatan antibodi dan sel radang untuk menembus jaringan saraf pusat oleh
karena adanya barrier darah otak. Dari segi klinis, infeksi intrakranial
seringkali menunjukkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Hingga penting untuk mengenal diagnosis secara dini dan memberikan
pengobatan yang segera, tepat dan rasional untuk menghin dari kematian
dan gejala sisa yang menetap. Tingkat lanjut bakteri meningitis dapat
mengakibatkan kerusakan otak, koma, dan kematian. Korban dapat
menderita komplikasi jangka panjang, termasuk kehilangan pendengaran,
penglihatan, keterlambatan mental, lumpuh, dan lain-lain.
Menurut WHO sebanyak 400 juta orang didunia terinfeksi meningitis
dan tingkat kematiannya mencapai 25% dalam waktu 48 jam apabila tidak
segera diobati dan di RSU Berkah Pandeglang tercatat baru 8% pasien
terkena Meningitis TB di Ruang Pulmo dan 3% dinyatakan meninggal dunia
5% lainnya sembuh namun tidak sembuh total. Penyakit Meningitis
terbanyak adalah di Negara Afrika dan Asia termasuk dari Indonesia. Dan

1
2

diantara mereka yang tetap hidup sebanyak 1-5 orang akan menderita
kelumpuhan, cacat otak, tuli, apabila tidak menjalankan perawatan yang
lebih intensif lagi.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana keefektifan intervensi pengaruh range of motion (ROM)
Pasif terhadap kekuatan otot pada pasien TB MENINGITIS ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan dengan kasus meningen TB dengan
intervensi manajemen nyeri menggunakan intervensi pengaruh range of
motion (ROM) Pasif terhadap kekuatan otot pada pasien TB
MENINGITIS.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan
TB MENINGITIS
2. Diketahuinya keefektifan intervensi manajemen nyeri berdasarkan
dengan intervensi manajemen nyeri menggunakan intervensi pengaruh
range of motion (ROM) Pasif terhadap kekuatan otot pada pasien TB
MENINGITIS.

1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis
Memberikan pengalaman dan menambah pengetahuan tentang asuhan
keperawatan dengan pasien TB MENINGITIS.

2. Bagi Rumah Sakit


Dapat bermanfaat bagi perawat untuk melakukan asuhan keperawatan
yang lebih profesional dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasein
TB MENINGITIS.
3

3. Bagi Institusi
Dapat di gunakan sebagai inovasi bagi institusi pendidikan dalam
pengembangan dan meningkatkan pendidikan di masa yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Meningitis Tuberkulosis


Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis.
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul
pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan
dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di
luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak
(Whiteley, 2014).
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang
pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3µ, mempunyai sifat tahan asam,
dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat
bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu
jenis bakteri yang bersifat intraselular patogen pada hewan dan manusia.
Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat
menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, dan Mycobacterium microti (Chan, 2006).

2.2. Epidemiologi
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer.
Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk.
Komplikasi meningitis TB terjadi pada setiap 300 penderita TB primer yang
tidak diobati. Meningitis TB menghasilkan tingkat tertinggi morbiditas dan
mortalitas dari semua bentuk tuberkulosis (WHO, 2012). Hal ini menjadi
perhatian khusus pada anak-anak, persentasenya hingga 33% dari semua
kasus TB (Gwendolyn, 2013). Dari keselamatan kasus meningitis
tuberkulosis, 50% mengalami kematian, dan penderita yang selamat bisa
mengalami gejala sisa neurologis substansial termasuk keterlambatan
perkembangan pada anak-anak, kejang, hidrosefalus, dan kelumpuhan saraf

4
5

kranial (Ruslami, 2013). Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak


yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati.
Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar dengan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual (Pusponegoro, 2009). Di Indonesia,
insidensi meningitis tuberkulosis lebih tinggi terutama pada orang dengan
HIV/AIDS. Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang mengancam
jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai 30%,
sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB (Principi, 2012). Di Indonesia,
meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua
usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai
dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,
hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan (Rahajoe,
2005). Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari
seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini
mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang
buruk, apabila meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan
meningkat, biasanya dalam kurun waktu 3-5 minggu. Angka kejadian
meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.
Walaupun bukan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis
meliputi 1:100 dari semua kasus tuberkulosis (Fenichel, 2005).

2.3. Etiologi
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium
tuberculosis merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya
penyakit meningitis. Pada kasus meningitis secara umum disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar
dalam darah ke cairan otak (Kahan, 2005).
6

2.4. Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya meningitis tuberkulosis (Tai, 2013) :
1. Usia (anak-anak > dewasa )
2. Koinfeksi-HIV
3. Malnutrisi
4. Keganasan
5. Penggunaan agen imunosupresif

2.5. Patofisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan
cairan serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen
terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley,
2014).
1. Lapisan Luar (Dura mater)
Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat
yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater
yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra
oleh ruang epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan
ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari
arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura
mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel
selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim (Drake, 2015).
2. Lapisan Tengah (Araknoid)
Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan
dura mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu
dengan piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang
subaraknoid, yang berisi cairan serebrospinal dan terpisah sempurna dari
ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang
melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subaraknoid berhubungan
dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa
7

pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng


seperti dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit
trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa
daerah, araknoid menembus dura mater membentuk juluran-juluran yang
berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi
oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah
untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus
(Drake, 2015).
3. Lapisan Dalam (Pia mater)
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf,
ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan
elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat
erat pada pia mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari
susunan saraf pusat yang memisahkan sistem saraf pusat dari cairan
serebrospinal. Pia mater menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan
saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama
pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari
mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui
torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater
lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam
susunan saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan
cabang neuroglia. (Drake, 2015).
Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal Pleksus koroid terdiri atas
lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang menyusup ke bagian dalam
ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga dan keempat dan
sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan
struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi.
Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater,
dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki
karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi utama pleksus
8

koroid adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya mengandung


sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari
medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang perivasikular.
Hal ini penting untuk metabolisme susunan saraf pusat dan
merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang
subaraknoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008
gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa
sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter. Cairan
serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia memasuki ruang
subaraknoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk absorbsi
Cairan Serebrospinal ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses
absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar cairan dari
ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang
mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan
gangguan mental dan kelemahan otot (Scanlon, 2007).
Mekanisme Terjadinya Meningitis Tuberkulosis Meningitis
tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 tahap
yaitu mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran
basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara
hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang
ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan
antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma
atau proses imunologi, langsung masuk ke subaraknoid. Meningitis
tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer
(Schlossberg, 2011) .
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk
kolonisasi dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus
koroid parenkim otak, atau selaput meningen. Vena-vena yang
mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran retrograde transmisi
dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh fraktur, paska
9

bedah saraf, infeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi, adanya


benda asing seperti implan koklear, VP shunt, dan lain-lain. Sering juga
kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan meningitis.
Meskipun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen,
kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat
edema otak, peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan
serebospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi (Schlossberg, 2011).
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia
mater dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan
eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak (Menkes,
2006).Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis
tuberculosis :
1. Araknoiditis Proliferatif Proses ini terutama terjadi di basal otak,
berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis
dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di
leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri
dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium
lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin
mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang
terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena
adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka
kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan
kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila
mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan
pendengaran yang sifatnya permanen (Frontera, 2008).
2. Vaskulitis Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah
kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di
dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
10

obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang


meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya
bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis
arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan
degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel
dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan.
Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang
ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima
berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi,
dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan
anterior serta cabangcabangnya, dan arteri karotis interna. Vena
selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi
dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas
tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan
fibrin (Schwartz, 2005).
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis (Albert, 2011).

2.6. Manifestasi Klinis


Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita.
Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya
dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis
meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu
(Nofareni, 2003). Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat
menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk
disebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat,
terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan
11

punggung dalam sikap hiperekstensi Kesadaran menurun. Gejala pada bayi


yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada
kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa
kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan
tidak beraturan (Cavendish, 2011).
Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga)
stadium (Anderson, 2010) :
1. Stadium I : Prodormal Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan
nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit
bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan
berkurang, murung, berat badan menurun, mudah tersinggung, cengeng,
opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis.
Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi,
dan sangat gelisah.
2. Stadium II : Transisi Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang
hebat dan kadangkadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-
anak. Tandatanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh
dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,
ubunubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
3. Stadium III : Terminal Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal
dunia dalam waktu tiga minggu.

2.7. Pemeriksaan Penunjang


1. Uji Mantuox/Tuberkulin Pada anak
Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang
paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin,
tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji
mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari
12

kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux


umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid.
Bila pasien tidak kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes
Mantoux harus diulang. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila
diameter indurasi > 10 mm (Kliegman, 2011).
2. Pemeriksaan Laboratorium Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju
Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi
hati, elektrolit.
Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :
a. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
b. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
c. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa
pada cairan serebrospinal.
d. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ
dan penyesuaian dosis terapi.
e. Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis.
3. Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan
memasukkan jarum lumbal pungsi ke dalam kandung dura lewat
processus spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk mengambil cairan serebrospinal
(Haldar, 2009).
3. Pemeriksaan Radiologis
Foto Toraks Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks,
foto kepala, CT-Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya infeksi
sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis,
13

sementara foto kepala dilakukan karena kemungkinan adanya penyakit


pada mastoid dan sinus paranasal. Pada penderita dengan meningitis
tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer
pada pemeriksaan rontgen toraks, kadangkadang disertai dengan
penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran rontgen toraks yang normal
tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis (Kliegman,
2011).
4. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan
Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat menentukan adanya dan
luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien
meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seringnya
berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah
enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang
disertai dengan tanda-tanda dema otak atau iskemia fokal yang masih
dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya
di daerah korteks serebri atau talamus (kliegman, 2011).
5. Pemeriksaan Gene Xpert Gene Xpert adalah tes baru untuk tuberkulosis.
Hal ini dapat mengetahui apakah seseorang terinfeksi TB, dan juga jika
bakteri TB dari orang yang memiliki ketahanan terhadap salah satu obat
TB umum, rifampisin. Bertentangan dengan tes yang ada saat ini, ia
bekerja pada tingkat molekuler untuk mengidentifikasi Mycobacterium
tuberculosis. Ini berarti bahwa ia tidak menggunakan mikroskop tapi
semacam tes kimia untuk mencari bakteri TB. Tes ini juga disebut Xpert
MTB / RIF (Mycobacterium tuberculosis dan rifampisin). Gene Xpert
adalah mesin yang dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dalam
sampel dahak. Seseorang yang diduga menderita TB perlu memberikan
contoh dahak, dalam tabung kecil. Dari tabung, sampel dimasukkan ke
dalam mesin, dan kemudian reaksi biokimia yang mulai untuk melihat
apakah sampel mengandung bakteri TB. Mesin mencari
14

Deoxyribonucleic acid (DNA) spesifik untuk bakteri TB. Jika ada


bakteri TB dalam sampel, mesin akan mendeteksi DNA mereka dan
secara otomatis kalikan. Teknik ini disebut PCR (polymerase chain
reaction), dan mungkin mesin untuk juga melihat struktur gen.
Hal ini penting untuk mendeteksi jika bakteri TB telah
mengembangkan resistensi terhadap obat. DNA dari bakteri TB adalah,
dengan cara, seperti string panjang warna yang berbeda. Jika salah satu
atau lebih dari perubahan warna jika ada mutasi pada DNA, maka
bakteri bisa menjadi resisten terhadap obat TB tertentu. Gene Xpert
dapat menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang paling umum,
rifampisin. Ini berarti bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua hal
yaitu, apakah seseorang memiliki TB, dan apakah penderita TB tersebut
telah dapat diobati dengan rifampisin. Tes ini sangat cepat dan hanya
membutuhkan waktu sekitar dua jam dan lebih cepat daripada tes TB
lainnya (Farrar, 2014).

2.8. Penatalaksanaan Medis


Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :
1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan. Terapi farmakologis yang dapat diberikan
pada meningitis tuberkulosis berupa :
a. Rifampisin (R) Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan
ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh
kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal
pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum
puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg /
kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu
15

kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid,


dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis
isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas
ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal.
Distribusi rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada
keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada
keadaan normal.
Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan.
Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul
150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Heemskerk, 2011).
b. Isoniazid ( H ) Bersifat bakterisid dan bakteriostatik
Obat ini efektif pada kuman intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke
dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan
serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan
memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara
oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari,
dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet
100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat
dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8
jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid
dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai
dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi
pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat
diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10
mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Heemskerk, 2011).
16

c. Pirazinamid ( Z ) Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid,


berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan
serebrospinal. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan
suasana asam dan diabsorbsi baik pada saluran cerna.
Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2
gram / hari. Kadar serum puncak 45 µg / ml tercapai dalam waktu 2
jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid
sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat
jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid
adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam
bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011).
d. Etambutol ( E )
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi
intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB/ hari, maksimal 1,25 gram
/ hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu
24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan
buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya
dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai
pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan
penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
17

kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau


tidak dapat digunakan (Heemskerk, 2011).
e. Streptomisin ( S ) Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik
terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal atau netral,
sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini
streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi
penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis
tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis).
Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg /
kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 µg / ml
dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput
otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang
tidak meradang.
Streptomisinberdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura
dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah
jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika
anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin
terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan
dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus)
dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu
berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita
tuli berat. Efek samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan
pendengaran dan vestibuler (Heemskerk, 2011).
f. Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan
dengan deksametason untuk menghambat edema serebri dan
timbulnya perlekatan antara araknoid dan otak (Levin, 2009).
18

2.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Tai, 2013) : -
1. Hidrosefalus
2. Cairan subdural
3. Abses otak
4. Cedera kepala
5. Gangguan pendengaran
6. Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )
7. Kerusakan otak
8. Kejang
9. Serangan otak
10. Araknoiditis

2.10. Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung
dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan
perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal.
Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene
seperti mencuci tangan dengan bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
Meningitis TB dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh
dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi Bacillus
Calmet-Guerin (BCG).
Aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi
komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan
untuk menurunkan ke lemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi
yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami
dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidak mampuan
untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah
dan mengurangi cacat (Thomas, 2011).
19

2.11. Definisi Kejang


Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara
dantiba – tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal
didalam otak.Jika gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak
tertentu , maka dapatmenimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika
gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat umum.
Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran nilai normal
yangmenyeimbangkan eksitasi dan inhibisi didalam susunan saraf pusat,
karena terlalu banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai normal
eksibilitas susunan saraf pusat maka ada banyak penyebab yang dapat
menimbulkan kejang.
Kejang dapat disertai dengan gangguan metabolisme seperti
uremia,hipoglikemia, hiperglikemia, dan gagal hati, toksik seperti overdosis
dan sindrom withdrawal, dan infeksi seperti meningitis dan ensepalitis,
kejang yang terjadi pada pasien dengan kondisi ini tidak selalu mengarah
pada diagnosis epilepsi, meskipunobat yang digunakan untuk menatalaksana
kejangnya adalah obat antiepilepsi dalamjangka pendek , obat umumnya
tidak perlu di lanjutkan setelah pasiennya sembuh dari kejang.

2.12. Etiologi
Risiko seumur hidup terhadap terjadinya kejang umum adalah 3-4%
denganpuncak kejadian pada awal kejang (kejang neonates atau tumor dan
stroke) kehidupan.Kita ketahui epilepsy adalah salah satu penyakit tertua di
dunia dan menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan
peredaran otak. Penyakit ini diderita oleh kurang lebih 50 juta orang di
seluruh dunia.
Epilepsi bertanggung jawab terhadap 1% dari beban penyakit global,
dimana 80% bebantersebut berada di negara berkembang. Pada negara
berkembang di beberapa area 80-90% kasus tidak menerima pengobatan
sama sekali.
20

Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar antara


40-70kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang, insiden
berkisar antara100-190 kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi dari
epilepsi bervariasi antara 5-10 kasus per 1.000 orang.
Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi,
tetapidiperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi di
Indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000 orang dan insiden 50 kasus per
100.000 orang per tahun.
Menurut Center for Disease and Prevention (CDC) pada tahun 2010 di
AS, epilepsy mempengaruhi 2,5 juta orang . Survie dari dokter, pelaporan
diri, dan penelitian dari campuran beberapa sumber ini, di simpulkan bahwa
kejadian dan prevalensi kejang dan epilepsi, kejang epilepsy pertama terjadi
apada 300.000 orang setiap tahunnya, 120.000 orang berusia > 18 tahun,
dan antara 75.000 dan 100.000 diantaranya adalah anak- anak muda yang
berusia 5 tahun yang mengalami kejangdemam. Laki – laki memiliki sedikit
lebih beresiko daripada perempuan.
ETIOLOGI
Kejang paling sering terlihat pada pasien kritis. Dalam sebuah
penelitian 55pasien dengan serangan kejang onset terbaru dalam perawatan
intensif care unit diperoleh hasil lebih dari sepertiga kejang disebabkan oleh
gangguan metabolisme akut seperti hiponatremia, dan delapan orang pasien
diperoleh kejangya disebabkan oleh penggunaan obat antiaritmia atau
antibiotik.
Penyebab lain yang mendasari timbulnya kejang adalah
a. Idiopatik atau timbul dari penyebab yang tidak diketahui
b. Cryptogenic atau timbul dari penyebab yang diduga yang tidak
diketahui atau tidak jelas
c. Gejala atau yang timbul dari otak yang dikenal kelainan
d. Trauma serebral dengan hilangnya kesadaran . Secara umum, tidak ada
risiko jika hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit.
e. Space Occupaying lesions
21

 Tumor otak
 Malformasi arteri vena (AVM)
 Hematoma subdural
 Neurofibromatosis
f. Infeksi Cerebral
 Bakteri atau virus meningitis.
 Radang otak
 Abses otak
g. Kejang demam atipikal
h. Faktor genetic, seperti kromosom yg abnormal
i. Gangguan pembuluh darah serebral, seperti : hemoragis dan trombosis
j. Asidosis hipoksia
k. Riwayat keluarga

2.13. Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak
dantransmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasiyang memudahkan depolarisasi muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitifterhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-
neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan
asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisiyang terkenal ialahgamma
amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua
jenismelepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls .Dalam keadaan
istirahat,membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada
dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membran neuron dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat mengubah
fungsimembran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
22

letupan depolarisasi membrandan melepaskan muatan listrik berlebihan,


tidak teratur dan terkendali. Lepasnyamuatan listrik dengan jumlah besar
neuron secara sinkron merupakan dasar suatuserangan kejang. Suatu sifat
khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saatserangan berhenti akibat
pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalahpengaruh neuron-neuron
sekitar tempat epileptic. Selain itu juga sistem-sisteminhibisi pra dan pasca
sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terusmenerus melepaskan
muatan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu seranganepilepsi
terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.

2.14. Manifestasi Klinik


1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
1. Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi Tanda
atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi
pupil.
2. Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
3. Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
4. Kejang tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
b. parsial kompleks
1. Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
2. Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3. Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a. Kejang absens
23

1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas


2. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung
kurang dari 15 detik
3. Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1. Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot
yang terjadi secara mendadak.
2. Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik
berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan
kaki.
3. Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam
kelompok
4. Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
1. Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung
kurang dari 1 menit
2. Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3. Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4. Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1. Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
2. Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

2.15. Komplikasi
Walaupun kejang demam menyebabkan rasa cemas yang amat sangat pada
orang tua, sebagian kejang demam tidak mempengaruhi kesehatan jangka
panjang, kejang demam tidak mengakibatkan kerusakan otak, keterbelakangan
24

mental atau kesulitan belajar / ataupun epiksi Epilepsy pada anak di artikan
sebagai kejang berulang tanpa adanya demam kecil
kemungkinan epilepsy timbul setelah kejng demam. Sekitar 2 – 4 anak kejang
demam dapat menimbulkan epilepsy, tetapi bukan karena kejang demam itu
sendiri kejang pertama kadang di alami oleh anak dengan epilepsy pada saat
mereka mengalami demam. Namun begitu antara 95 – 98 % anak yang
mengalami kejang demam tidak menimbulkan epilepsy Komplikasi yang
paloing umum dari kejang demam adalah adanya kejang demam berulang.
Sekitar 33% anaka akan mengalami kejang berulang jika ,ereka demam
kembali. Sekitar 33% anka akan mengalami kejang berulang jika mereka
demam kembali resiko terulangnya kejang demam akan lebih tinggi jika :
1. Pada kejang yang pertama, anak hanya mengalami demam yang tidak
terlalu tinggi
2. Jarak waktu antara mulainya demam dengan kejang yang sempit
3. Ada faktor turunan dari ayah ibunya.
Risiko yang akan dihadapi seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor :
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
2. Relainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita
kejang demam
3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Namun begitu faktor terbesar adanya kejang demam berulang ini adalah usia.
Semakin muda usia anak saat mengalami kejang demam, akan semakin besar
kemungkinan mengalami kejang berulang.

2.16. Pemeriksaan Penunjang


1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis
dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
25

3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan


menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau alirann darah dalam otak
5. Uji laboratorium
a) Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c) Panel elektrolit
d) Skrining toksik dari serum dan urin
e) GDA
f) Kadar kalsium darah
g) Kadar natrium darah
h) Kadar magnesium darah

2.17. Penatalaksanaan Medis


1. Pengobatan fase akut
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus di
perhatikan adalah sebagai berikut :
a. Anak harus di baringkan di tempat yang datar dengan posisi
menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut sianak seperti sendok
atau penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan
nafas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat & dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
26

e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera di bawa
ke fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk
di bawa ke fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5
menit. Ada pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih
baik di lakukan secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit.

2.18. Definisi hipokalemia


Hipokalemia didefinisikan sebagai kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/L.
Hipokalemia dapat terjadi akibat asupan yang kurang, perpindahan kalium
ke dalam sel atau kehilangan kalium renal maupun non renal. Hipokalemia
merupakan kejadian yang sering ditemukan. Terdapat 3 mekanisme
terjadinya hipokalemia yaitu berkurangnya asupan kalium, peningkatan
ekskresi kalium melalui ginjal dan traktus urinarius dan redistribusi kalium
dari ekstraseluler ke intraseluler.2Ambilan kalium sel dipicu oleh
alkalinemia, insulin, stimulasi beta adrenergik dan santin. Aldosteron juga
mampu mencetuskan ambilan kalium oleh sel setelah konsumsi makanan.
Insulin dan katekolamin adrenergik akan meningkatkan ambilan kalium ke
dalam sel melalui stimulasi Na+/K+-ATP aseyang terdapat padamembran
sel. Insulin menyebabkan umpan balik, hiperkalemia akan menstimulasi
sekresi insulin dan hipokalemia akan menghambat sekresi 58 kalium. Hal
ini tidak terjadi pada stimulasi adrenergik, namun blokade adrenergik akan
meningkatkan kalium serum dan agonis adrenergik akan menurunkan
kalium serum.

2.19. Perpindahan Kalium dengan penyebab bukan Obat-obatan


Hipokalemia berat dapat terjadi pada hipertiroidisme yang ditandai dengan
kelemahan otot yang berat. Familial hipokalemi periodik paralisis
merupakan kelainan genetika outosom dominan, berkaitan dengan mutasi
gen encoding reseptor dehidroperidin, voltage-gated calcium channel,
ditandai dengan serangan kelemahan otot mendadak akibat penurunan
kalium serum < 2,5 mmol/L, dicetuskan oleh asupan makanan kaya akan
27

karbohidrat atau natrium, latihan berlebihan dan umunya timbul spontan


dalam waktu 24 jam. Pencegahan yang dapat dilakukan dapat berupa
pemberian spironolakton, triamteren dan acetazolamid. Senyawa barium
yang terhirup juga dapat meyebabkan hipokalemia melalui hambatan
pengeluaran kalium dari sel dan pada kondisi berat dapat menyebabkan
kelemahan otot, paralisis dan rhabdomiolisis. Barium juga menyebabkan
muntah dan diare, hal ini juga menyebabkan perburukan hipokalemia.
Pengobatan anemia pernisiosa berat dengan vitamin B dapat pula
menyebabkan penurunan kalium serum secara cepat akibat ambilan kalium
secara cepat olel sel yang baru terbentuk. Hipokalemia juga terjadi setelah
transfusi washed red cell beku akibat ambilan kalium oleh sel.

2.20. Asupan yang tidak adekuat


Asupan kalium yang kurang dari 1 gram per hari (25 mmol per hari), deplesi
kalium dan hipokalemia akibat ekskresi kalium ginjal.

2.21. Kehilangan kalium melalui feses


Konsentrasi kalium dalam feses berkisar 80-90 mmol per liter, namun
karena kadar air dalam feses yang sangat rendah sehingga kehilangan
kalium dalam feses hanya 10 mmol per hari. Pada kondisi diare, kadar
kalium dalam feses akan menurun, namun jumlah feses yang yang banyak
akan menyebabkan hipokalemia. Volume feses akan meningkat akibat diare
dengan infeksi, kemoterapi pada kanker.

2.22. Kehilangan kalium melalui ginjal


Kehilangan kalium melalui ginjal dapat terjadi oleh berbagai sebab, yang
diklasifikasikan berdasarkan status keseimbangan asam basa. Secara Umum
terbagi dalam 3 kelompok yaitu Mineralocorticoid excess (Primary
hyperaldosteronism,, Adrenal adenoma, Adrenal carcinoma, Bilateral
adrenal hyperplasia, Congenital adrenal hyperplasia, 11bhydroxylase
deficiency, 17a-hydroxylase deficiency, Renin-secreting tumorsEctopic
28

corticotropin syndrome, Cushing’s syndrome, Pituitary, Adrenal,


Glucocorticoid-responsive aldosteronism, Renovascular hypertension,
Malignant hypertension, Vasculitis), Apparent mineralocorticoid excess.
(Liddle’s syndrome, 11b-hydroxysteroid dehydrogenase deficiency,
Impaired chloride-associated sodium transport (Bartter’s syndrome,
Gitelman’s syndrome). Alkalosis metabolik akan menginduksi deplesi
khlorida akibat muntah atau drainase lambung. Hipokalemia berlangsung
selama induksi alkalosis sebagai akibat kehilangan kalium melalui ginjal.
Pada kondisichloride-sensitive form of metabolic alkalosis, pemberian
chlorida akan memperbaiki alkalosis dan perbaikan kondisi hipokalemia.
Alkalosis metabolik dengan deplesi chlorida saja jarang terjadi. Alkalosis
metabolik paling sering terjadi karena primary hyperaldosteronisme.
Hipokalemia pada Cushing’s syndrome lebih ringan dibandingkan pada
hyperaldosteronisme. Abnormalitas genetik akan mempengaruhi aktivitas
transporter ion pada ginjal, namun merupakan penyebab alkalosis metabolik
yang jarang dan jarang menyebabkan hipokalemia. Liddle’s syndrome dan
hydroxysteroid dehydrogenase deficiency akan menstimulasi reabsorbsi
natrium melalui duktus colecting dan menyebabkan syndrome
mineralocorticoid excess. Abnormalitas ini menyebabkan hipertensi dan
hipokalemia namun aldosteron serum lebih rendah. Pada Barter Syndrome (
menyebabkan inaktif transpoter natrium chlorida di loop henle) dan
Gitelman sindrome (kelainan pada tubulus distal) akan menyebakna
alkalosis metabolik dan hipokalemia namun tanpa menyebabkan hipertensi.

Anda mungkin juga menyukai