Anda di halaman 1dari 22

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER DEPARTEMEN

FAKULTAS KEDOKTERAN
ILMU BEDAH

STATUS PASIEN UNTUK


DAN ILMU KESEHATAN
UJIAN
UNIVERSITAS ABDURRAB Untuk Mahasiswa

Nama Mahasiswa : KURNIAWATI PUTRI Tanda Tangan

NIM : 13101020

Tanggal Ujian :

Puskesmas : Puskesmas Simpang Tiga

Periode :

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Riki Elsafri

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 33 tahun

Alamat : Jalan cemara taman sidomulyo

Pekerjaan : Kariawan Jaringan Internet

Agama : Islam

KK : Riki Elsafitri

No Hp : 085264836690

II. ANAMNESIS

Jika alloanamnesis, tuliskan

Identitas sumber informasi

Nama :

Umur :
Alamat :

Hubungan dengan pasien :

Anamnesis dilakukan pada tanggal : 27 April 2017 pukul : 12.00 WIB

Resume anamnesis : Autoanamnesis

Keluhan utama : Nyeri pada perut bagian bawah sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang : Nyeri pada perut bagian bawah sebelah kanan sejak 3 jam
sebelum ke puskesmas. Terasa nyeri terus menerus disertai mual
muntah dan nyeri bertambah bila bergerak. Nyeri terasa seperti
ditusuk-tusuk. Belum ada diobati sebelum ke puskesmas.

Riwayat Penyakit dahulu : Sudah pernah mengalami hal seperti ini sejak 6 bulan yang lalu
dan sudah pernah diobati dipuskesmas lain dan diberikan obat.
Tidak ada mengalami penyakit lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga : Keluarga tidak ada mengalami hal yang sama dan tidak
mempunyai penyakit lainnya.

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)

Dilakukan pada tanggal : 27 April 2017 pukul : 12.00 WIB

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Suhu tubuh : 37,8o C

Frekuensi denyut nadi : 80x/menit

Frekuensi nafas :16x/menit

IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

IV. A. Keadaan Umum

Tinggi badan : 170 cm


Berat badan : 65 kg

Status gizi : IMT = 22,5 (normal)

Skema manusia

Gambarkan pada skema di atas jika ada kelainan lokal dan berikan keterangan secukupnya

Status Lokalis : Inspeksi : Tidak tampak benjolan dan juga tanda radang

Palpasi : Pada region Inguinal (Illiaca) dextra terdapat Rovsing


sign, Blumberg sign dan Obturatur sign positif.

: Terdapat nyeri pada titik Mc Burney

Titik Mc Burney,Rovsing sign dan


Blumberg sign (+)

IV.B. Pemeriksaan Kepala : Simetris


Mata : Konjungtiva tidak anemis

: Sklera tidak ikterik

IV.C. Pemeriksaan Leher

Inspeksi : Tidak tampak pembesaran KGB

Palpasi : Tidak teraba pembesaran KGB

: Tidak teraba benjolan

Pemeriksaan trakea : Simetris

Pemeriksaan kelenjar tiroid : Normal, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

Pemeriksaan tekanan vena sentral : 5-2 cmH2O

IV.D. Pemeriksaan Thoraks

Inspeksi : Tidak tampak bejolan

: Simetris

Palpasi : Pulmo : Fremitus simetris

Cardio : Ictus cordis teraba di SIC V midclavicula sinistra

Perkusi : Pulmo :Sonor

Cardio : Dalam batas-batas normal

Auskultasi : Pulmo : Vesikuler

Cardio : Murni, reguler

IV.E. Pemeriksaan Abdomen


Inspeksi : Tidak tampak adanya Asites

Auskultasi : Paristaltik usus positif

Perkusi : Tidak ada suara redup

Palpasi : Terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas perut sebelah

kanan bawah ( titik Mc burney). Pada regio Inguinal


(Illiaca) dextra terdapat Rovsing sign dan Blumberg

sign positif. Pada pemeriksaan Obturatur sign juga

positif.

Pemeriksaan ginjal : Tidak teraba

Pemeriksaan nyeri ketok ginjal : Tidak terdapat nyeri ketok

Pemeriksaaan hepar : Tidak teraba pembesaran hepar

Pemeriksaan lien : Tidak teraba pembesaran lien

Pemeriksaan asites : Tidak ditemukan

IV.F. Pemeriksaan ekstremitas

Ekstrimitas Superior Dekstra : Tidak ada keterbatasan gerak (ROM), kekuatan otot 5.

Ekstrimitas Superior Sinistra : Tidak ada keterbatasan gerak (ROM), kekuatan otot 5.

Ekstrimitas Inferior Dekstra : Tidak ada keterbatasan gerak (ROM), kekuatan otot 5.

Ekstrimitas Inferior Sinistra : Tidak ada keterbatasan gerak (ROM), kekuatan otot 5.

V. RESUME PEMERIKSAAN FISIK :

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri di titik Mc Burney sign,Rovsing sign atau nyeri
tekan pada regio Inguinal dekstra, Blumberg sign atau nyeri lepas pada regio yang sama. Pasie
juga dilakukan pemeriksaan dimana posisi Obturatur sign, dimana pasien merasa nyeri ketika
dilakukan fleksi panggul dan rotasi internal pada panggul.
VI. DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS DAN
PEMERIKSAAN FISIK)
VI.A. Masalah aktif :

I. Pasien merasakan nyeri pada perut kanan bawah sejak 3 jam yang lalu sebelum
datang ke Puskesmas.
VI. B. Masalah pasif :

I. Pasien tidak mampu membiayai pengobatan dan pasien juga belum terdaftar ke dalam
BPJS.

VI. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis : Appendisitis kronis

Diagnosis Banding : Ureterolitiasis

: Renal Kolik

VII. RENCANA
VII.A. Tindakan Terapi :

1. Operatif Appendectomy
2. Edukasi : Harus segera ke rumah sakit.
: Jangan diobat secara tradisional.
: Jangan membeli sembarangan obat ke apotek.

VII B. Tindakan Diagnostik /Pemeriksaan Penunjang :

1. Cek darah rutin


2. Cek USG abdomen
3. Cek urin rutin

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


1. Anamnesis
a. Pada RPS pasien tidak ditanyakan kapan awal terjadinya dan bagaimana
karakteristiknya. Pada pasien ini juga tidak ditnyakan bagaimana atau posisi
bagaimana yang bisa membuat pasien lebih nyaman. Pasien juga tidak ditanyakan
apakah nyeri langsung dirasakan di perut kanan bawah atau pernah mengalami nyeri
di tempat lain terlebih dahulu.
b. Pada RPD pasien tidak ditnyakan obat apa yang diberikan oleh puskesmas
sebelumnya.
c. Pada pasien ini telah ditnyakan RPK nya.
d. Pasien ini tidak ditnyakan apakah ada penurunan berat badan dalam waktu terdekat
ini.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada pasien ini tidak diminta untuk menunjukkan awal nyeri terasa dan tempat nyeri
sekarang dirasakan. Menurut Bickley (Bates), nyeri pada apendisitis secara klasik
dimulai didekat umbilicus dan berlalih kekuadran kanan bawah.
b. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan psoas sign, dimana pemeriksaan ini
tangan pemeriksa berada diatas lutut pasien dan minta pasien untuk mengangkat
pahanya dengan melawan tangan pemeriksa. Adanya peningkatan nyeri abdomen
menandakan tanda psoa yang positif.
c. Tes hiperestesia kutaneus, dimana pemeriksa mengangkat lipatan kulit di serangkain
titik abdomen pasien secara hati-hati dengan ibu jari dan telunjuk tanpa mencubit.
Adanya rasa nyeri menandakan adanya apendisitis (Bates)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pada pasien ini seharusnya dilakukan USG abdomen untuk menegakkan diagnosis
pasti.
4. Penatalaksanaan
a. Pasien harus segera dilakukan Appendiktom

TINJAUAN PUSTAKA

APENDISITIS

1. ANATOMI

Panjang rata-rata usus buntu adalah 8-10 cm. Apendiks muncul pada bulan kelima
kehamilan, dan beberapa folikel limfoid tersebar di mukosanya. Folikel semacam itu
meningkat jumlahnya bila individu berusia 8-20 tahun (Craig, 2017). Di bawah ini adalah
gambar apendiks normal
Apendiks terkandung di dalam peritoneum viseral yang membentuk serosa, dan
lapisan eksteriornya longitudinal dan berasal dari taenia coli (lapisan otot dalam yang
melingkar). Di bawah lapisan ini terletak lapisan submukosa, yang berisi jaringan
limfoepitel. Taenia coli berkumpul di area posteromedial sekum, yang merupakan lokasi
basis apendiks. Apendiks berjalan ke lembaran serosa peritoneum yang disebut
mesoappendix, yang berasal dari arteri ileocolic. Kadang-kadang, arteri appendicular
aksesori (berasal dari arteri cecal posterior) dapat ditemukan (Craig, 2017). Arteri
apendikular terkandung di dalam lipatan mesenterika yang timbul dari perluasan
peritoneal dari ileum terminal hingga aspek medial sekum dan usus buntu, ini adalah
cabang terminal arteri ileocolic dan membentang berdekatan dengan dinding
apendikular. Drainase vena apendiks melalui vena ileocolic dan vena kolik kanan ke
dalam vena portal (Craig, 2017).
2. DEFINISI

Apendisitis adalah pembengkakan lapisan dalam usus buntu yang menyebar ke


bagian lainnya. Meskipun diagnosis dan pengobatan telah mengalami kemajuan, radang
usus buntu tetap merupakan keadaan darurat klinis dan merupakan salah satu penyebab
nyeri perut yang lebih umum (Craig, 2017). Tidak ada tanda khusus, gejala, atau uji
diagnostik yang secara akurat mengkonfirmasikan diagnosis peradangan apendiks pada
semua kasus, dan riwayat yang biasanya muncul pada orang yang mengalami apendiks
seperti anoreksia dan nyeri periumbilikal diikuti oleh rasa mual, dan muntah terjadi hanya
pada 50% kasus. Apendisitis dapat terjadi karena beberapa alasan, seperti infeksi pada
usus buntu, namun faktor yang paling penting adalah penyumbatan lumen
appendiks. Apendiks yang tidak diobati dengan baik akan berpotensi terjadinya
komplikasi, termasuk perforasi atau sepsis, dan bahkan dapat menyebabkan kematian
(Craig, 2017).
3. EPIDEMIOLOGI
Apendisitis adalah salah satu keadaan darurat bedah yang paling umum, dan
merupakan salah satu penyebab sakit perut paling umum. Di Amerika Serikat, 250.000
kasus radang usus buntu dilaporkan setiap tahun, mewakili 1 juta hari pasien yang masuk
ke rumah sakit. Kejadian apendisitis akut telah menurun sejak akhir 1940-an, dan
kejadian tahunan saat ini adalah 10 kasus per 100.000 penduduk. Apendisitis terjadi pada
7% populasi AS, dengan kejadian 1,1 kasus per 1000 orang per tahun.Di negara-negara
Asia dan Afrika, kejadian apendisitis akut mungkin lebih rendah karena kebiasaan makan
penduduk wilayah geografis ini. Kejadian apendisitis lebih rendah pada orang dengan
asupan serat makanan yang lebih tinggi. Serat makanan dianggap mengurangi viskositas
tinja, mengurangi waktu transit usus, dan mencegah pembentukan fekalith, yang
mempengaruhi individu terhadap penghalang lumen appendiceal. Dalam beberapa tahun
terakhir, penurunan frekuensi apendisitis di negara-negara luar telah dilaporkan, yang
mungkin terkait dengan perubahan asupan serat makanan. Faktanya, kejadian apendisitis
yang lebih tinggi diyakini berkaitan dengan asupan serat yang buruk di negara-negara
tersebut (Craig, 2017).
4. ETIOLOGI
Apendisitis disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiceal. Penyebab obstruksi
luminal yang paling umum termasuk hiperplasia limfoid sekunder akibat penyakit usus
inflamasi atau infeksi (yang lebih umum terjadi pada masa kanak-kanak dan pada orang
dewasa muda), stasis feses dan fekalith (lebih sering terjadi pada pasien lanjut usia),
parasit (terutama di negara-negara Timur) , atau yang lebih jarang lagi yaitu benda asing
dan neoplasma. Fecalith terbentuk saat garam kalsium dan kotoran kotoran dilapisi di
sekitar nidus bahan kotoran yang diinspeksi yang terletak di dalam usus
buntu. Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan berbagai gangguan inflamasi dan infeksi
termasuk penyakit Crohn, gastroenteritis, amebiasis, infeksi saluran pernapasan, campak,
dan mononucleosis (Craig, 2017).
5. PATOFISIOLOGI
Radang usus buntu disebabkan oleh tersumbatnya lumen appendice dari berbagai
sebab. Penyumbatan diyakini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam
lumen. Peningkatan tersebut terkait dengan sekresi cairan dan lendir yang terus menerus
dari mukosa dan stagnasi bahan ini. Pada saat yang sama, bakteri usus dalam usus buntu
bertambah banyak, menyebabkan perekrutan sel darah putih dan pembentukan nanah dan
selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminal yang lebih tinggi (Craig, 2017)
Jika obstruksi usus buntu tetap ada, tekanan intraluminal akan meningkat diatas
pembulah darah apendiks, yang menyebabkan sumbatan pada arus keluar vena.Sebagai
konsekuensinya, akan terjadi iskemia pada dinding appendiks , mengakibatkan hilangnya
integritas epitel dan memungkinkan invasi bakteri pada dinding usus. Dalam beberapa
jam, kondisi terlokalisasi ini bisa memburuk karena trombosis arteri dan vena
apendicular, yang menyebabkan perforasi dan gangren pada usus buntu. Seiring proses
ini berlanjut, abses periappendicular atau peritonitis dapat terjadi (Craig, 2017)
STADIUM APENDISITIS (Craig, 2017)

A. Apendisitis stadium awal

Pada tahap awal apendisitis, penyumbatan pada lendir appendice menyebabkan


edema mukosa, ulserasi mukosa, distensi apendiks karena akumulasi cairan, dan
peningkatan tekanan intraluminal. Serabut saraf aferen viseral distimulasi, dan
pasien merasakan nyeri periumbilical viseral atau epigastrik ringan, yang biasanya
berlangsung 4-6 jam.

B. Apendisitis supuratif

Tekanan intraluminal yang meningkat akhirnya melebihi tekanan perfusi kapiler,


yang terkait dengan drainase limfatik dan vena terhambat dan memungkinkan
invasi cairan bakteri dan inflamasi pada dinding appendice yang
tegang. Transmural penyebaran bakteri menyebabkan apendisitis supuratif
akut. Ketika serosa yang meradang dari usus buntu bersentuhan dengan
peritoneum parietal, pasien biasanya mengalami pergeseran nyeri klasik dari
periumbilicus ke kuadran perut bagian bawah kanan (RLQ), yang berlanjut dan
lebih parah daripada nyeri viseral dini.

C. Apendisitis rekuren

Kejadian apendisitis rekuren adalah 10%. Diagnosis diterima seperti jika pasien
mengalami kejadian serupa pada nyeri RLQ pada waktu yang berbeda, setelah
usus buntu, secara histopatologis terbukti sebagai hasil apendiks yang meradang.

D. Apendisitis kronis

Apendisitis kronis terjadi dengan insidensi 1% dan didefinisikan sebagai berikut:


(1) pasien memiliki riwayat nyeri RLQ paling sedikit 3 minggu tanpa diagnosis
alternative (2) setelah operasi usus buntu, penderita mengalami gejala lengkap (3)
secara histopatologi, gejalanya terbukti sebagai hasil peradangan aktif kronis pada
dinding apendiks atau fibrosis pada usus buntu.
6. GEJALA
Anoreksia dan nyeri periumbilikal diikuti oleh rasa mual, nyeri kuadran kanan
bawah (RLQ), dan muntah terjadi hanya pada 50% kasus. Mual biasanya terjadi pada 61-
92% pasien, dan gejala anoreksia saja biasanya terjadi pada 74-78% pasien. Selain itu,
saat muntah terjadi,biasanya didahului dengan timbulnya rasa sakit terlebih
dahulu. Muntah yang mendahului rasa sakit adalah sugestif dari obstruksi usus, dan
diagnosis radang usus buntu harus dipertimbangkan kembali. Gejala apendisitis yang
paling umum adalah sakit perut . Biasanya, gejala dimulai sebagai nyeri periumbilical
atau epigastrik yang bermigrasi ke kuadran kanan bawah (RLQ) pada perut. Migrasi rasa
sakit ini adalah ciri paling mendadak dari riwayat pasien, dengan sensitivitas dan
spesifisitas sekitar 80%, rasio kemungkinan positif 3,18 dan rasio kemungkinan negatif
0,5 (Yeh, 2008).
Pasien biasanya berbaring, melenturkan pinggul mereka, dan menarik lutut
mereka untuk mengurangi gerakan dan untuk menghindari semakin memburuknya rasa
sakit yang dirasakan. Kemudian, nyeri progresif yang memburuk seiring dengan muntah,
mual, dan anoreksia. Biasanya, demam tidak hadir pada tahap ini. Durasi gejala kurang
dari 48 jam pada sekitar 80% orang dewasa namun cenderung lebih lama pada orang
lanjut usia dan pada orang dengan perforasi. Sekitar 2% pasien melaporkan durasi nyeri
lebih dari 2 minggu (Craig, 2017).
7. PEMERIKSAAN FISIK
Penting untuk diingat bahwa posisi apendiks bervariasi. Dari 100 pasien yang
melakukan CT-scan, basis usus buntu terletak di titik McBurney hanya pada 4% pasien,
pada 36% pasien lainnya, basis berada dalam jarak 3 cm dan 28% pasien berada pada 3-5
cm dari titik itu, serta pada 36% pasien, basis usus buntu lebih dari 5 cm dari titik
McBurney (Oto, 2006). Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri
tekan rebound, nyeri pada perkusi dan kekakuan. Pemeriksaan fisik tidak hanya terbatas
pada perut, harus dilakukan pada pasien dengan riwayat radang usus buntu. Sistem
gastrointestinal (GI), genitourinari, dan pulmonal harus dipelajari. Bayi laki-laki dan
anak-anak kadang-kadang disertai dengan hemiscrotum yang meradang karena migrasi
apendiks atau nanah yang meradang melalui proses patentus vaginalis. Hal ini sering
pada awalnya salah didiagnosis sebagai torsi testis akut. Selain itu, lakukan pemeriksaan
rektal pada pasien dengan gambaran klinis yang tidak jelas, dan lakukan pemeriksaan
panggul pada semua wanita dengan nyeri perut (Craig, 2017).
Menurut pembaruan kebijakan klinis American College of Emergency Physicians
(ACEP) 2010, tanda dan gejala klinis harus digunakan untuk memberi stratifikasi risiko
pasien dan memilih langkah selanjutnya untuk pengujian dan pengelolaan (Howell,
2010). Tanda Rovsing (nyeri RLQ dengan palpasi LLQ) menunjukkan iritasi peritoneum
pada RLQ yang ditekan saat palpasi di lokasi yang jauh. Tanda obturator (nyeri RLQ
dengan rotasi internal dan eksternal pinggul kanan yang dilipat) menunjukkan bahwa
usus buntu yang meradang terletak jauh di dalam hemipelvis kanan. Tanda psoas (nyeri
RLQ dengan perpanjangan pinggul kanan atau dengan fleksi pinggul kanan terhadap
resistensi) menunjukkan bahwa apendiks yang meradang terletak sepanjang otot psoas
kanan. Tanda Dunphy (rasa sakit yang tajam pada RLQ yang disebabkan oleh batuk)
dapat membantu dalam membuat diagnosis klinis peritonitis lokal. Demikian pula, nyeri
RLQ sebagai respons terhadap perkusi kuadran jarak jauh dari perut, atau untuk perkusi
yang kuat pada tumit pasien, menunjukkan peradangan peritoneal (Craig, 2017).
Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa ada sistem penilaian diagnostik untuk
memprediksi kemungkinan apendisitis akut. Dalam sistem ini, sejumlah variabel klinis
yang terbatas diperoleh dari pasien dan masing-masing diberi nilai numerik dan
kemudian, jumlah dari nilai-nilai ini digunakan. Yang paling dikenal dari sistem penilaian
ini adalah skor MANTREL, yang menandakan migrasi rasa sakit, anoreksia, mual dan /
atau muntah, nyeri tekan di RLQ, nyeri rebound, suhu tinggi, leukositosis, dan pergeseran
ke kiri (Alvarado, 1986)

Ciri Skor

M = Migrasi rasa sakit ke RLQ 1

A = Anorexia 1

N = Mual dan muntah 1

T = Kelembutan di RLQ 2

R = Rebound sakit 1

E = Suhu tinggi 1

L = Leukositosis 2

S = Pergeseran sel darah putih ke kiri 1

Total 10

Sumber: Alvarado

Penilaian skor Alvarado adalah jika pasien mempunyai nilai dibawah 4 maka tidak
dilakukan apendektomi dan hanya diberikan pengobatan simptomatik serta dipulangkan,
skor 5-6 possible (dilakukan observasi dan pemberian antibiotik), skor 7-8 probable dan
skor >9 very probable (Alvarado, 1986).
Selain itu juga dilakukan tes laboratorium, namun tidak memiliki temuan yang
spesifik untuk apendisitis, tetapi mungkin membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis
pada pasien dengan atipikal presentasi (Craig, 2017):
 CBC
 Protein C-reaktif (CRP)
 Tes fungsi hati dan pankreas
 Urinalisis (untuk membedakan radang usus buntu dari kondisi saluran kemih)
 Beta-hCG urin (untuk membedakan radang usus buntu dari kehamilan ektopik dini pada
wanita usia subur)
 Asam 5-hydroxyindoleacetic urin (5-HIAA)
CBC
 WBC> 10.500 sel / μL: 80-85% orang dewasa dengan radang usus buntu
 Neutrofilia> 75-78% pasien
 Kurang dari 4% pasien dengan radang usus buntu memiliki jumlah WBC kurang dari
10.500 sel / μL dan neutrofilia kurang dari 75%. Pada bayi dan pasien lanjut usia, jumlah
WBC sangat tidak dapat diandalkan karena pasien ini mungkin tidak melakukan respon
normal terhadap infeksi. Pada wanita hamil, leukositosis fisiologis membuat jumlah CBC
tidak berguna untuk diagnosis radang usus buntu.
PROTEIN C-REAKTIF
 Tingkat CRP> 1 mg / dL umum terjadi pada pasien dengan radang usus buntu
 Kadar CRP yang sangat tinggi pada pasien dengan radang usus buntu menunjukkan
perkembangan penyakit gangren, terutama jika dikaitkan dengan leukositosis dan
neutrofilia.
 Pada orang dewasa yang memiliki gejala lebih dari 24 jam, tingkat CRP normal memiliki
nilai prediksi negatif 97-100% untuk radang usus buntu
CT SCAN
 CT scan dengan media kontras oral atau dubur Gastrografin enema telah menjadi studi
pencitraan yang paling penting dalam evaluasi pasien dengan presentasi atipikal
apendisitis.
 CT abdomen dosis rendah mungkin lebih baik untuk mendiagnosis anak-anak dan orang
dewasa muda yang terpapar radiasi
ULTRASONOGRAFI
 Ultrasonografi mungkin menawarkan alternatif yang lebih aman sebagai alat diagnostik
utama untuk radang usus buntu, dengan pemindaian CT yang digunakan pada kasus-kasus
di mana ultrasonogram negatif atau tidak dapat disimpulkan.
 Pada pasien anak-anak, dokter klinis American College of Emergency Physicians (ACEP)
merekomendasikan ultrasonografi untuk konfirmasi, namun tidak dikecualikan, dari
apendisitis akut. Secara definitif untuk menyingkirkan apendisitis akut, ACEP
merekomendasikan CT
 Apendiks yang sehat biasanya tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi. Ketika usus buntu
terjadi, ultrasonogram biasanya menunjukkan struktur tubular yang tidak terkompres
berdiameter 7-9 mm (Craig, 2017)

8. PERTIMBANGAN DIAGNOSTIK
Akurasi keseluruhan untuk mendiagnosis apendisitis akut kira-kira 80%, yang
sesuai dengan tingkat appendectomi negatif rata-rata 20%. Akurasi diagnostik bervariasi
menurut jenis kelamin, dengan kisaran 78-92% pada pasien pria dan 58-85% pada pasien
wanita. Anoreksia dan nyeri periumbilikal diikuti oleh rasa mual, kuadran kanan bawah
(RLQ), dan muntah terjadi hanya pada 50% kasus. Muntah yang mendahului rasa sakit
adalah sugestif dari obstruksi usus, dan diagnosis radang usus buntu harus
dipertimbangkan kembali (Craig, 2017)
Diagnosis banding apendisitis seringkali merupakan tantangan klinis karena radang
usus buntu dapat meniru beberapa kondisi perut (lihat bagian Diferensial) (Karamanakos,
2010). Pasien dengan banyak gangguan lain hadir dengan gejala yang mirip dengan
apendisitis, seperti berikut ini:
 Penyakit radang panggul (PID) atau abses tubo-ovarium
 Endometriosis
 Kista ovarium atau torsi
 Ureterolithiasis dan kolik ginjal
 Degenerasi leiomiomata uterus
 Divertikulitis
 Penyakit Crohn
 Colonic carcinoma
 Rectus selubung hematoma
 Cholecystitis
 Enteritis bakteri
 Adenitis mesenterika dan iskemia
 Omental torsion
 Biliary colic
 Kolik ginjal
 Infeksi saluran kemih (ISK)
 Gastroenteritis
 Enterocolitis
 Pankreatitis
 Ulkus duodenum berlubang

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dilakukan tes laboratorium, namun tidak memiliki temuan yang spesifik untuk
apendisitis, tetapi mungkin membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis pada pasien
dengan atipikal presentasi (Craig, 2017):
 CBC
 Protein C-reaktif (CRP)
 Tes fungsi hati dan pankreas
 Urinalisis (untuk membedakan radang usus buntu dari kondisi saluran kemih)
 Beta-hCG urin (untuk membedakan radang usus buntu dari kehamilan ektopik dini pada
wanita usia subur)
 Asam 5-hydroxyindoleacetic urin (5-HIAA)
CBC
 WBC> 10.500 sel / μL: 80-85% orang dewasa dengan radang usus buntu
 Neutrofilia> 75-78% pasien
 Kurang dari 4% pasien dengan radang usus buntu memiliki jumlah WBC kurang dari
10.500 sel / μL dan neutrofilia kurang dari 75%. Pada bayi dan pasien lanjut usia, jumlah
WBC sangat tidak dapat diandalkan karena pasien ini mungkin tidak melakukan respon
normal terhadap infeksi. Pada wanita hamil, leukositosis fisiologis membuat jumlah CBC
tidak berguna untuk diagnosis radang usus buntu.
PROTEIN C-REAKTIF
 Tingkat CRP> 1 mg / dL umum terjadi pada pasien dengan radang usus buntu
 Kadar CRP yang sangat tinggi pada pasien dengan radang usus buntu menunjukkan
perkembangan penyakit gangren, terutama jika dikaitkan dengan leukositosis dan
neutrofilia.
 Pada orang dewasa yang memiliki gejala lebih dari 24 jam, tingkat CRP normal memiliki
nilai prediksi negatif 97-100% untuk radang usus buntu
CT SCAN
 CT scan dengan media kontras oral atau dubur Gastrografin enema telah menjadi studi
pencitraan yang paling penting dalam evaluasi pasien dengan presentasi atipikal
apendisitis.
 CT abdomen dosis rendah mungkin lebih baik untuk mendiagnosis anak-anak dan orang
dewasa muda yang terpapar radiasi
ULTRASONOGRAFI
 Ultrasonografi mungkin menawarkan alternatif yang lebih aman sebagai alat diagnostik
utama untuk radang usus buntu, dengan pemindaian CT yang digunakan pada kasus-kasus
di mana ultrasonogram negatif atau tidak dapat disimpulkan.
 Pada pasien anak-anak, dokter klinis American College of Emergency Physicians (ACEP)
merekomendasikan ultrasonografi untuk konfirmasi, namun tidak dikecualikan, dari
apendisitis akut. Secara definitif untuk menyingkirkan apendisitis akut, ACEP
merekomendasikan CT
 Apendiks yang sehat biasanya tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi. Ketika usus buntu
terjadi, ultrasonogram biasanya menunjukkan struktur tubular yang tidak terkompres
berdiameter 7-9 mm (Craig, 2017)

a. Tes laboratorium, tidak spesifik untuk radang usus buntu, namun bisa membantu untuk
mengkonfirmasi diagnosis pada pasien dengan atipikal. Contohnya tes fungsi hati dan
pankreas (misalnya transaminase, bilirubin, alkaline phosphatase, serum lipase, amilase)
dapat membantu untuk menentukan diagnosis pada pasien dengan presentasi yang tidak
jelas. Bagi wanita usia subur, tingkat gonadotropin korion beta-human chorionic (beta-
hCG) berguna dalam membedakan radang usus buntu dari kehamilan ektopik dini (Craig,
2017)
b. Menghitung sel darah lengkap
Studi secara konsisten menunjukkan bahwa 80-85% orang dewasa dengan radang usus
buntu memiliki jumlah sel darah putih (WBC) lebih besar dari 10.500 sel /
μL. Neutrofilia lebih besar dari 75% terjadi pada 78% pasien. Kurang dari 4% pasien
dengan radang usus buntu memiliki jumlah WBC kurang dari 10.500 sel / μL dan
neutrofilia kurang dari 75% (Craig, 2017)
c. Protein C-reaktif
Protein C-reaktif (CRP) adalah reaktan fase-akut yang disintesis oleh hati sebagai respons
terhadap infeksi atau pembengkakan dan meningkat dengan cepat dalam 12 jam
pertama. CRP telah dilaporkan berguna dalam diagnosis radang usus buntu. Namun,
kekurangan spesifisitas dan tidak dapat digunakan untuk membedakan antara lokasi
infeksi (Craig, 2017)

d. Urinalisis

Urinalisis mungkin berguna dalam membedakan radang usus buntu dari kondisi saluran
kemih. Piuria ringan dapat terjadi pada pasien dengan radang usus buntu karena adanya
hubungan usus buntu dengan ureter yang tepat. Piruria berat adalah temuan yang lebih
umum pada infeksi saluran kencing (ISK). Proteinuria dan hematuria menunjukkan
penyakit genitourinari atau gangguan hemokagulatif (Craig, 2017)

10. PENATALAKSANAAN

Appendectomy tetap satu-satunya pengobatan kuratif radang usus buntu, namun


penanganan pasien dengan massa usus buntu biasanya dapat dibagi menjadi 3 kategori
pengobatan berikut:
 Pasien dengan phlegmon atau abses kecil: Setelah terapi antibiotik intravena (IV), operasi
usus buntu interval dapat dilakukan 4-6 minggu kemudian.
 Pasien dengan abses yang didefinisikan dengan lebih baik: Setelah drainase perkutan
dengan antibiotik IV dilakukan, pasien dapat dipulangkan dengan kateter di
tempat. Apendektomi interval dapat dilakukan setelah fistula tertutup.
 Pasien dengan abses multikompartmental: pasien ini memerlukan drainase bedah dini.
Meskipun banyak kontroversi mengenai pengelolaan apendisitis akut nonoperatif,
antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan kondisi ini. Durasi
administrasi terkait erat dengan tahap radang usus buntu pada saat diagnosis,
mempertimbangkan temuan intraoperatif atau evolusi pasca operasi. Menurut beberapa
penelitian, antibiotik profilaksis harus diberikan sebelumnya pada setiap usus buntu.
Cefotetan dan cefoxitin tampaknya menjadi pilihan terbaik untuk antibiotik.
Perawatan Departemen Darurat
Petugas gawat darurat harus mengevaluasi kelompok pasien yang lebih besar
yang hadir ke ED dengan nyeri perut pada semua etiologi dengan tujuan mendekati
sensitivitas 100% untuk diagnosis dengan cara hemat waktu, biaya, dan konsultasi.
Tetapkan akses IV dan berikan terapi kristaloid agresif kepada pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia. Pasien dengan dugaan radang usus buntu tidak boleh menerima
apapun melalui mulut.
Berikan analgesik parenteral dan antiemetik sesuai kebutuhan untuk
kenyamanan pasien. . Pada setidaknya 8 penelitian terkontrol acak telah menunjukkan
bahwa pemberian obat analgesik opioid kepada pasien dewasa dan anak-anak dengan
nyeri perut akut yang tidak berdiferensiasi aman, tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa analgesik mempengaruhi keakuratan pemeriksaan fisik.
APENDEKTOMI LAPAROSKOPI
Awalnya dilakukan pada tahun 1987, apendektomi laparoskopi telah dilakukan
pada ribuan pasien dan berhasil dalam 90-94% percobaan. Ini juga telah menunjukkan
bahwa apendektomi laparoskopi berhasil pada sekitar 90% kasus apendisitis
perforasi. Namun, prosedur ini dikontraindikasikan pada pasien dengan adhesi intra-
abdomen yang signifikan (Korndorffer, 2010).
Menurut pedoman Society of American Gastrointestinal dan Endoscopic
Surgeons (SAGES) tahun 2010, indikasi untuk laparoskopi appendectomy identik dengan
apendektomi terbuka. Panduan SAGES 2010 mencantumkan kondisi berikut yang sesuai
untuk apendektomi laparoskopi(Korndorffer, 2010) :
 Apendisitis tidak rumit
 Apendisitis pada pasien anak-anak
 Diduga usus buntu pada ibu hamil
Menurut pedoman SAGES, apendektomi laparoskopi mungkin merupakan
pendekatan yang tepat dalam kasus berikut(Korndorffer, 2010) :
 Apendisitis berlubang
 Apendisitis pada pasien lanjut usia
 Apendisitis pada pasien obesitas
Pedoman SAGES menyatakan bahwa pendekatan laparoskopi lebih disukai pada
wanita usia subur dengan apendisitis yang diduga. Laparoskopi Diagnostik mungkin
berguna pada kasus tertentu (misalnya, bayi, pasien lanjut usia, pasien wanita) untuk
memastikan diagnosis radang usus buntu. Prosedur ini telah disarankan untuk pasien
hamil pada trimester pertama dengan dugaan radang usus buntu. Jika temuan positif,
prosedur semacam itu harus diikuti dengan perawatan bedah definitif pada saat
laparoskopi. Meskipun appendectomy negatif tampaknya tidak mempengaruhi kesehatan
ibu atau janin, penundaan diagnostik dengan perforasi meningkatkan morbiditas janin dan
maternal. Oleh karena itu, evaluasi agresif terhadap usus buntu diperlukan pada
kelompok ini(Korndorffer, 2010).
Dalam sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis dari 11 penelitian tentang
apendisektomi laparoskopi versus terbuka untuk apendisitis yang dicurigai pada
kehamilan, Wilasrusmee dkk menemukan bahwa apendisektomi laparoskopi pada wanita
hamil dikaitkan dengan risiko kehilangan janin secara signifikan lebih besar. Menurut
pedoman SAGES, jika temuan negatif pada pendekatan laparoskopi, pengangkatan harus
dipertimbangkan berdasarkan situasi klinis pasien. Keuntungan apendektomi laparoskopi
meliputi peningkatan kepuasan kosmetik dan penurunan tingkat infeksi luka pasca
operasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa apendektomi laparoskopi
memperpendek masa rawat rumah sakit dan masa pemulihan dibandingkan dengan
apendektomi terbuka. Kerugian apendektomi laparoskopi adalah biaya meningkat dan
waktu operasi kira-kira 20 menit lebih lama daripada usus buntu terbuka. Panduan
SAGES merekomendasikan untuk mempraktikkan metode operasi yang konsisten untuk
mengurangi biaya, waktu operasi, dan komplikasi (Korndorffer, 2010).
PEMBERIAN OBAT-OBATAN
Tujuan terapi adalah untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi. Dengan
demikian, antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan radang usus buntu. Agen
yang sedang dipertimbangkan harus menawarkan cakupan aerobik dan anaerobik
penuh. Durasi administrasi terkait erat dengan stadium radang usus buntu pada saat
diagnosis (Craig, 2017).
Agen antibiotik efektif dalam mengurangi tingkat infeksi luka pasca operasi dan
dalam memperbaiki hasil pada pasien dengan abses appendiceal atau septikemia. The
Surgical Infection Society merekomendasikan untuk memulai antibiotik profilaksis
sebelum operasi, menggunakan agen spektrum yang tepat selama kurang dari 24 jam
untuk apendisitis nonperforasi dan kurang dari 5 hari untuk apendisitis perforasi (Craig,
2017).

DAFTAR PUSTAKA
Yeh B. Evidence-based emergency medicine/rational clinical examination abstract. Does
this adult patient have appendicitis?. Ann Emerg Med. 2008 Sep. 52(3):301-
3. [Medline]
Howell JM, Eddy OL, Lukens TW, Thiessen ME, Weingart SD, Decker WW. Clinical
policy: Critical issues in the evaluation and management of emergency
department patients with suspected appendicitis. Ann Emerg Med. 2010 Jan.
55(1):71-116. [Medline]
Karamanakos SN, Sdralis E, Panagiotopoulos S, Kehagias I. Laparoscopy in the
emergency setting: a retrospective review of 540 patients with acute abdominal
pain. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech. 2010 Apr. 20(2):119-24. [Medline].
Oto A, Ernst RD, Mileski WJ, Nishino TK, Le O, Wolfe GC, et al. Localization of
appendix with MDCT and influence of findings on choice of appendectomy
incision. AJR Am J Roentgenol. 2006 Oct. 187(4):987-90. [Medline].
Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis. Ann Emerg
Med. 1986 May. 15(5):557-64. [Medline]
[Guideline] Korndorffer JR Jr, Fellinger E, Reed W. SAGES guideline for laparoscopic
appendectomy. Surg Endosc. 2010 Apr. 24(4):757-61. [Medline]
Craig, S. 2017. Appendicitis. Availeble From:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview

Anda mungkin juga menyukai