Anda di halaman 1dari 21

SUMPAH HIPPOCRATES

Sudah sejak zaman kuno, norma norma kesusilaan yang menjadi pegangan para dokter ialah
sumpah yang diciptakan oleh ‘Bapak Ilmu Kedokteran’ HIPPOCRATES ( 469 – 377 SM ).
Sumpah Hippocrates yang umurnya telah berabad abad itu, maknanya tersimpul dalam SEGALA
SESUATU YANG KULIHAT KUDENGAR DALAM MELAKUKAN PRAKTEKKU, AKAN
KUSIMPAN SEBAGAI RAHASIA.

Pasal 12 Kode Etik Kedokteran Indonesia


Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Kewajiban memegang teguh rahasia jabatan merupakan isyarat yang senantiasa dipenuhi, untuk
menciptakan suasana percaya mempercayai yang mutlak di perlukan dalam hubungan dokter
pasien.Soal ini dibahas secara mendalam disini dan isinya hampir seluruhnya diambil dan uraian
anggota "Dewan Pelindung Susila Kedokteran" Prof. Sutomo Tjokronegono.

Sejak dahulu kala terdapat beberapa jabatan tertentu yang mewajibkan para pejabatnya untuk
merahasiakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pekerjaan mereka. Kewajiban tersebut
bendasarkan baik pada kepentingan umum maupun kepentingan perorangan. Termasuk ke dalam
golongan pejabat tertentu ialah pejabat tinggi negara, pejabat militer, pendeta, pengacara dan
beberapa pejabat dalam dunia kedokteran seperti dokter, dokter gigi, ahli farmasi, bidan dan
perawat.

Pada umumnya, kewajiban seorang pejabat untuk merahasiakan hal-hal yang diketahuinya
adalah karena tanggung jawabnya mengharuskannya demikian. Untuk itu, setiap pelantikan
dalam jabatan senantiasa dilakukan pengambilan sumpah antara lain berintikan kesanggupan
untuk menyimpan rahasia jabatan, karena kebocoran rahasia jabatan dapat mengakibatkan
gangguan stabilitas ataupun kerugian dipihak lain, yang dapat dituntut dalam pengadilan militer
dan sebagainya tergantung dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Kebocoran rahasia dalam jabatan dokter dapat berakibat kerugian pihak berkepentingan dan
mungkin dapat berakibat tuntutan kepengadilan, terlebih dalam masyarakat yang telah maju,
menyebabkan seorang kehilangan pekerjaannya.

Tidak mematuhi Pasal 12 Kode Etik Kedokteran Indonesi, ada ancaman hukumannya yaitu:
1.Pasal 322 Kitab UU Hukum Pidana ( KUHP )
2.Pasal 1365 Kitab UU Hukum Perdata
3.Sanksi Administratif dari MenKes ( berdasar PP no 10 tahun1966 tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran )

Menurut hukum setiap warganegara dapat dipanggil untuk didengar sebagai saksi, berarti Dokter
seolah olah melanggar rahasia jabatannya. Kejadian yang bertentangan ini dapat dihindarkan
karena adanya HAK UNDUR DIRI
Dimana ia mendapat perlindungan hukum berdasar pasal 170 KUHP.

Untuk mengetahui apakah juga ada penyelenggaraan pasal 322 KUHP yang dapat dibebaskan
dari ancaman hukuman, perlu kita tinjau beberapa pasal dalam KUHP yang semuanya termasuk
pelanggaran undang undang yang tidak dihukum, yaitu:
1.Pasal 48 KUHP
2.Pasal 50 KUHP
3.Pasal 51 KUHP

Last edited by gitahafas on Thu Jun 03, 2010 5:46 am; edited 2 times in total

gitahafas
Moderator

Number of posts: 16672


Age: 54
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Sumpah Hippocrates Sat Mar 13, 2010 6:32 am


Sumpah Hippocrates yang umurnya telah berabad-abad itu, maknanya tersimpul dalam "segala
sesuatu yang kulihat dan kudengar dalam melakukan praktekku, akan kusimpan sebagai rahasia".
Untuk memahami soal rahasia jabatan dan Sumpah Dokter yang akan diuraikan lebih lanjut
sebaiknya dibaca Sumpah Hippocrates selengkapnya yang telah dialih-bahasakan ke dalam
bahasa lnggris.

Berikut ini dicantumkan hanya salah satu pasal tentang rahasia jabatan Dokter yang bunyinya
sebagai berikut : "Saya tidak akan menyebarkan segala sesuatu yang mungkin saya dengar atau
yang mungkin saya lihat dalam kehidupan pasien-pasien saya, baik waktu menjalankan tugas
jabatan saya maupun di luar waktu menjalankan tugas jabatan itu. Semua itu akan saya pelihara
sebagal rahasia".

Norma-norma kesusilaan yang bersumber pada Sumpah Hippocrates tersebut diatas, kemudian
dianggap tidak mencukupi karena banyaknya kelakukan dan tabiat perseorangan, yang sudah
barang tentu sangat berbeda-beda dan tidak selalu baik.
Oleh karena itu, di berbagai negeri ditegakkan norma-norma hukum. Norma-norma hukum itu
pada umumnya disusun untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan sehingga dapat
menjamin kepentingan masyarakat.

Setiap anggota masyarakat, di negeri manapun juga menghendaki agar derajat kesehatan yang
baik. Derajat kesehatan yang baik dapat tercapai jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan
bebas dapat mengunjungi dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan tentang
penderitaannya, baik jasmani maupun rohani agar mendapat pengobatan yang sesuai. Rangkaian
tersebut di atas hanya mungkin terjadi, bila setiap pasien di atas hanya menaruh kepercayaan
sepenuhya kepada dokter yang memeriksanya, tanpa perasaan takut atau khawatir, bahwa dokter
tersebut akan memberitahukan hal-hal mengenai penyakit kepada orang lain.

Jika kepercayaan itu tidak ada, maka tidak mustahil bahwa orang yang sakit akan segan pergi ke
dokter, karena khawatir bahwa penyakitnya yang mungkin sama sekali mereka sembunyikan,
kelak diketahui oleh umum. Perasaan takut dan khawatir itu dapat menjadi salah satu penyebab
penting dan tingginya angka sakit di masyarakat. OIeh karena itu, rahasia jabatan dokter berarti
sendi utama bagi tercapamnya keadaan sehat bagi setiap anggota masyarakat. Berdasarkan
pikiran tersebut di atas, norma-norma kesusilaan yang telah ada dikuatkan dengan norma-norma
hukum, yang kemudian dicantumkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Salah satu
diantara peraturan itu diwujudkan dalam sumpah atau janji dokter, yang harus diucapkan oleh
setiap mahasiswa kedokteran waktu Ia lulus ujian dokternya dan menerima ijazah. Karena
sumpah Hippocrates telah mengandung norma kesusilaan yang selayaknya dan yang bermutu
tinggi, maka mudahlah dipahami bahwa dengan sendirinya maknanya dimasukkan ke dalam lafal
sumpah dokter atau janji yang harus diucapkan itu. Walaupun di berbagai negara lafal atau janji
ini berbeda-beda dan tidak sama bunyinya, dalam garis besarnya berpokok sama yaitu
mengandung makna sumpah Hippocrates.

Sebelum kita tinjau satu persatu seluruh peraturan dan undang-undang yang menentukan norma-
norma hukum rahasia jabatan pada umumnya dan norma-norma hukum rahasia jabatan dokter
khususnya, dan permulaan harus kita insyafi akan satu hak asasi yang sangat penting. Hak asasi
yang sangat penting itu, sayang sekali tidak diketahui atau disadari, tidak hanya di luar,
melainkan di dalam dunia kedokteran sendiri.

Hak asasi itu, yang telah ditegaskan pada permulaan uraian ini, ialah bahwa "kewajiban untuk
menyimpan rahasia pokoknya adalah kewajiban moral, yang telah lama ada sebelum diadakan
peraturan atau undang-undang yang mengatur soal ini".
Oleh karena itu tidaklah mungkin bila rahasia jabatan itu didasarkan pada sumpah atau janji. Dan
mula-mula harus sudah kita insyafi bahwa rahasia jabatan dokter terutama berpokok pada
kewajiban moril yang sekali-kali tidak perlu didasarkan pada sumpah atau janji apapun.

Rahasia jabatan dokter ialah suatu hal yang secara intrinsik bertalian dengan segala pekerjaan
yang bersangkutan dengan ilmu kedokteran seluruhnya. Oleh karena itu kita harus insyaf I pula
bahwa semua orang yang dalam pekerjaannya bergaul atau sedikit-dikitnya mengetahui keadaan
pasien, tetapi tidak atau belum mengucapkan sumpah/janji secara resmi,- sudah selayaknya
berkewajiban juga untuk menunjung tinggi rahasia jabatan itu.

Mereka itu antara lain mahasiswa kedokteran, perawat dan karyawan bidang kesehatan lainnya.
Selanjutnya yang ditinjau norma-norma hukum yang bersangkutan dengan rahasia jabatan.
Pelanggaran norma-norma kesusilaan, seperti telah diuraikan di atas, tidak diancam oleh hukum,
kecuali mungkin dihukum oleh masyarakat. Sedangkan pelanggaran norma hukum berakibat
ancaman hukuman.
Hukuman umumnya dijatuhkan oleh hakim setelah soal yang bersangkutan menjadi perkara
pengadilan dan terbukti adanya pelanggaran hukum. Cara mengadakan dan mengatur norma-
norma hukum itu dalam berbagai negara berbeda-beda sehingga ada yang menimbulkan
kebingungan pada yang berkepentingan. Hal itu disebabkan oleh susunan peraturan atau undang-
undang yang bersangkutan dapat ditafsirkan berlainan dengan yang sebenarnya. Hukuman yang
dapat dijatuhkan oleh hakim, dapat berupa hukuman pidana dan atau hukum perdata.

Untuk memahami soal rahasia jabatan yang ditinjau dan sudut hukum ini, ada baiknya kita bagi
perilaku dokter dalam
1. Perilaku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari.
2. Perilaku dalam keadaan khusus

1.Perilaku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari.


Dalam hal ini perlu diperhatikan ialah:
1.Pasal 322 Kitab Udang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
a. Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau
pencariannya, balk sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
b. Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut
diatas pengaduan orang itu. Undang-undang ni sudah selayaknya berlaku untuk setiap orang,
yang atas pekerjaannya wajib menyimpan rahasia, bukan hanya untuk dokter pemerintah, dokter
praktek swasta, maupun dokter yang telah pensiun dan atau tidak praktek lagi.

Seorang dokter yang dikenal sebagai pembuka rahasia mungkin sekali prakteknya makin lama
makin merosot sebagal akibat hukuman masyarakat.
Ayat b pasal 322 KUHP in penting terutama berkenaan dengan rahasia jabatan dokter. Menurut
ayat ini seorang dokter yang "membuka rahasia" tentang pasiennya tidak dengan sendirinya akan
dituntut di muka pengadilan, melainkan hanya sesudah terhadapnya diadakan pengaduan oleh
pasien yang bersangkutan.

2. Pasal 1365 KUH Perdata


Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.
Seorang dokter berbuat salah kalau tanpa disadari "membuka rahasia" tentang penderitaannya
yang kebetulan terdengar oleh majikan pasien itu, selanjutnya majikan itu melepaskan pegawai
tersebut karena takut penyakitnya akan menulari pegawai-pegawai lainnya.
Dengan demikian dokter dapat diajukan ke pengadilan karena pengaduan pasien itu.
Selain hukum karena tindak pidana menurut pasal 322 KUH pidana, dokter itu dapat pula
dihukum perdata dengan diwajibkan mengganti rugi.
Pada hakekatnya adanya ancaman hukuman perdata ni menimbulkan berbagai soal yang sulit
yang dapat terjadi dalam pekerjaan dokter sehari-hari. Tentang hal ni kelak akan diuraikan lebih
lanjut.
3. Sumpah (janji) dokter
Sumpah dokter yang lafalnya sebagai pengganti pasal 36 Reglement F.D.V.G., Pemenintah No.
26 tahun 1960 dan diundangkan pada tanggal 2 Juni 1960. Sumpah mi sesual dengan pernyataan
Geneva tahun1948 yang dimuat dengan asas Etik Kedokteran yang bersumber pada sumpah
Hippocrates, ditambah dengan beberapa asas baru yang ditegakkan atas dasar pengalaman
tentang kejahatan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.

Dengan berlakunya sumpah dokter baru itu, dapat dihapus segala pertentangan yang menjadi
kekurangan utama lafal sumpah yang lama dalam Pasal 36 Reglement D.V.G., dan tidak lagi
menimbulkan kebimbangan para dokter yang tidak menguasai asas rahasia jabatan. Selanjutnya
Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran di Jakarta tahun 1981 telah mengusulan kepada
pemerintah penyempurnaan lafal Sumpah Dokter tersebut.
4. Dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran,
Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran wajib simpan
rahasia itu, yang dapat dihukum menurut KUHP.

2.Perilaku dalam keadaan khusus


Menurut hukum, setiap warga negara dapat dipanggil untuk didengar sebagai saksi. Selain itu,
seorang yang mempunyai keahlian dapat juga dipanggil sebagai saksi ahli. Maka dapat terjadi
bahwa seorang yang mempunyal keahlian umpamanya seorang dokter dipanggil sebagai saksi,
sebagal ahli atau sekaligus sebagai saksi (expert witness). Sebagai saksi atau saksi ahli,
mungkmn sekali ia diharuskan memberi keterangan tentang seseorang (umpamanya terdakwa)
yang sebelum itu telah pernah menjadi pasien yang ditanganmnya. Ini berarti Ia seolah-olah
melanggan rahasia jabatannya.

Kejadian yang bertentangan mi crapat dihindarkan karena adanya hak undur din dimana ia
mendapat perlindungan hukum berdasarkan
Menurut Pasal 170 KUHP
1. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat dibebaskan dan kewajiban untuk membeni keterangan sebagai saksi, yaitu tentang
hal yang dipercayakan kepada mereka.
2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk penmintaan tensebut, maka
pengadilan negeri memutuskan apakah alasan yang dikemukakan oleh saksi atau saksi ahli untuk
tidak berbicara itu, layak dan dapat ditenima atau tidak.

Penegakan hak undur din dapat dianggap sebagai pengakuan para ahli hukum, bahwa kedudukan
jabatan itu harus dijamin sebaik-baiknya. Hal tersebut membebaskan seorang dokter untuk
menjadi saksi ahIl dan kewajibannya untuk membuka rahasia jabatan, namun pembebasan itu
tidak selalu datang dengan sendirinya.

Dalam hal ini mungkin sekali timbul pertentangan keras antana pendapat dokter dengan pendapat
hakim, yakni bila hakim tidak dapat menerima alasan yang dikemukakan oleh dokter untuk
menggunakan hak undur dirinya, karena ia berkeyakinan bahwa keterangan yang harus
dibenikan itu melanggar rahasia jabatannya. Bagi dokter, pedoman yang harus menentukan
sikapnya tetap ialah bahwa nahasia jabatan dokter itu pertamatama dan terutama adalah
kewajiban moril yakni alasan untuk melepaskan rahasia jabatan dan pertimbangan sehat atas ada
atau tidak adanya kepentingan hukum.

Umpamanya seorang dokten sebagai saksi harus membenikan keterangan mengenai seseonang
yang telah diperiksa dan diobatinya karena mendenita luka-luka. Pada sidang pengadilan
diketahui bahwa ternyata pasien itu adalah seorang penjahat besar yang melakukan tindakan
pidananya. Keterangan dokter itu sangat diperlukan oleh pengadilan agar rangkaian bukti
menjadi lengkap. Kita mudah mengerti bahwa dalam hal demikian dokten itu wajib membeni
keterangan, agar masyarakat dapat dihindankan dan kejahatan-kejahatan yang lain yang
mungkmn dilakukan bila Ia dibebaskan.

Pada peristiwa seperti tensebut di atas, kita harus sadar bahwa rahasia jabatan dokter bukanlah
maksud untuk melmndungi kejahatan.
Golongan yang berpendinian mutlak-mutlakan, yang juga dalam hal serupa tidak sudi
melepaskan rahasia jabatannya, bukan saja bertentangan dengan tujuan yaitu menjamin
kepentingan umum, malahan sebaliknya membahayakannya.

Untuk mengetahui apakah juga ada penyelenggaraan pasal 322 KUHP yang dapat dibebaskan
dan ancaman hukuman, perlu kita tinjau beberapa pasal dalam KUHP yang semuanya termasuk
pelanggaran undangundang yang tidak dihukum.

Beberapa Pasal itu adalah:


1. Pasal 48 KUHP
Siapapun tak terpidana, jika melakukan peristiwa karena terdorong oleh keadaan terpaksa
2. Pasal 50 KUHP
Siapapun tak terpidana, jika peristiwa itu dilakukan untuk menjalankan ketentuan perundang-
undangan.
3. Pasal 51 KUHP
- Siapapun tak terpidana jika melakukan peristiwa untu menjalankan sesuatu perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang untuk itu.
- Perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak membebaskan dan
keadaan terpidana, kecuali dengan itikad baik pegawai yang dibawahnya itu menyangka bahwa
penguasa itu berwenang untuk memberi perintah itu dan perintah menjalankan terletak dalam
lingkungan kewajiban pegawai yang diperintah itu.

1. Pasal 48 KUHP
Mengenai pasal 48 KUHP yang dalam bahasa Belanda yang asli : "Artikel 48 wet boek van
strafrecht is hij, die een feit begaat waartoe hij door overmachti gedwongen".
Sayang sekali pasal yang sangat penting untuk tafsiran banyak soal yarn sulit mengenai rahasia
jabatan dokter ini belum ada terjemahannya yang tepat ke dalam bahasa Indonesia terutama
mengenai kata "overmacht". Dalam buku Engelbrecht, kitab undang-undang dan peraturan-
peraturan serta undang undang dasar sementara terbitan 1954, kata "overmacht" diterjemahkan
dengan "berat lawan". Dalam kitab Himpunan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia
yang diterbitkan pada tahun 1956 oleh Kementerian Penerangan "Overmacht" diterjemahkan
sebagai "suatu sebab paksaan". Untuk sementara dipergunakan kata yang dianggap tepat, yakni
"adi paksa" yang didapat dari saudara Mr. Moedigdo Moeliono, pimpinan Lembaga Kriminologi
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia Jakarta.
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud alam pasal 41 KUHP ini bukanlah "adi
paksa mutlak" (absolut overmacht). Seorang mengalami adi paksa mutlak bila ia dihadapkan
kepada kekerasan atau tekanan jasmani atau rohani sedemikan, hingga ia tidak berdaya lagi dan
kehilangan kehendak (willoos) untuk tindakan pidana yang melakukan pelanggaran hukum.
Pada kenyataan adi paksa nisbi, yang kebanyakan terjadi karena adanya tekanan rohani,
timbulnya keadaan terpaksa atau darurat, sehingga yang bersangkutan berbuat sesuatu yang pasti
tidak akan diperbuatnya, jika keadaan terpaksa atau darurat itu tidak ada. Keadaan serupa ini
menjadi sebab timbuInya pertentangan dalam jiwa orang yang bersangkutan (konflik) yang
hanya dapat diatasi bila ia melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Hal ini biasa berarti
pengorbanan kepentingan pihak lain.

Beberapa contoh praktek dan pertentangan serupa adalah:


1. Seorang pengemudi yang menderita penyakit ayan (epilepsi), yang bilamana mendapatkan
bangkitan serangan penyakitnya pada waktu Ia sedang melakukan tugasnya pasti sangat
membahayakan keselamatan umum.
2. Seorang guru yang menderita penyakit tuberkulosis dan menimbulkan bahaya akan menulari
murid-muridnya pada waktu ia mengajar. Justru pada persoalan seperti digambarkan dalam
keadaan contoh tersebut di atas, terdapat pertentangan tajam antara golongan penganut aliran
mutlak dan golongan penganut aliran nisbi. Dalam kedua soal itu, golongan mutlak menganggap
rahasia jabatan dokter sebagai faktor terpenting. Tidak perlu diadakan pertimbangan apakah
dengan memperhatikan rahasia secara mutlak itu, ada kemungkinan bahwa kepentingan yang
lain yang hakikatnya lebih utama dirugikan atau dikorbankan.Sebaliknya golongan nisbi
berdasarkan kenyataan bahwa rahasia jabatan dokter berarti juga sendi utama bagi kepentingan
masyarakat. Selalu mempertimbangkan hal itu agar dapat diambil sikap yang terbaik yang sesuai
dengan makna rahasia jabatan dokter. Dalam perkembangannya, sebagian dokter cenderung
menganut "adi paksa nisbi".

Dalam hal demikian berbagai alasan yang dipergunakan untuk melepas rahasia jabatan harus
kokoh dan kuat, sehingga dapat meyakinkan orang lain, termasuk hakim. Kalau berbagai alasan
itu memang kuat dan meyakinkan, maka akhirnya atas kekuatan pasal 48 KUHP, dokter yang
bersangkutan akan dibebaskan dariancaman hukuman pasal 322 KHUP. Sebelum mengambil
tindakan, sebaiknya dokter yang bersangkutan berusaha agar risiko dan tindakannya menjadi
seminimal mungkin.

Sebagai contoh, pasien dengan penyakit yang sukar disembuhkan dapat diberi cuti terlebih
dahulu sampai sembuh. Bila penyakitnya ternyata tidak dapat disembuhkan dan tetap merupakan
bahaya bagi orang lain, maka sebelum membuka rahasia jabatan, dokter hendaknya memberikan
penjelasan tentang penyakitnya dan akibatnya bagi orang lain sehingga pasien memahami
keadaannya dan hubungannya dengan pekerjaannya. Bila rahasia jabatan terpaksa harus
diungkapkan setelah segala ikhtiar dilakukan tanpa hasil, maka untuk pegawai negeri, hal inii
hendaknya dokter tersebut mengirimkan surat rahasia kepada atasan pegawai negeri yang
bersangkutan, kemudian atasan pegawai yang bersangkutan meminta pertimbangan Majelis
Penguji Kesehatan (MPK). Dalam keadaan adipaksa serupa itu, kewajiban dokter ialah
membenitahukan kepada majikan pasien bahwa Ia menggangap pasien penlu dipeniksa
kesehatannya lebih lanjut. Dengan jalan mi MPK yang menunut Undang-Undang, tugasnya
menguji kesehatan pegawal negeri, dapat melaporkan pendapat secara bebas. Tanpa melanggar
KUHP pasal 322 KUHP maka keterangan tentang penyakit yang diuji itu, dapat diteruskan
kepada majikannya.

Diagnosa penyakit dan seorang karyawan tidak perlu diberitahukan kepada majikan karyawan
tersebut. Cukuplah bila dokter yang bersangkutan menerangkan atas sumpah jabatan, bahwa
karyawan yang dimaksud menderita penyakit yang tidak memungkinkan untuk bekerja terus
menerus atau sementara, karena penyakitnya dapat menular membahayakan orang lain maupun
dirinya sendiri. Misalnya seorang pengemudi yang menderita epilepsi dapat membahayakan diri
maupun orang lain. Dokterjuga menasehatkan agar pegawai yang bersangkutan dibebaskan dari
pekerjaannya yang saat ini dikerjakan, sesuai peraturan yang berlaku.

Dalam kedudukan sebagai dokter Majelis Penguji Kesehatan, seorang Dokter dapat mengalami
konflik kejiwaan. Hal ini dapat terjadi bila pasien yang diperiksanya juga merupakan pasien
dalam praktek swasta yang dilakukan oleh dokter itu. Bila dokter tersebut memasukkan seluruh
data yang diketahuinya tentang pasien, maka berarti ia melanggar rahasia jabatannya, sebaliknya
bila tidak memasukkan secara Iengkap, laporannya sesuai dengan kebenarannya.

Oleh karena itu hanya ada satu jalan yang dapat ditempuhnya, yaitu menolak untuk menguji
setiap orang yang pernah menjadi pasiennya dan menyerahkannya kepada dokter lain. Seorang
dokter yang meminta konsultasi mengenai seorang pasien, pada asasnya melanggar rahasia
jabatan.
Demikian juga tiap pengajar klinik pada fakultas kedokteran, dalam setiap pertemuan klinik yang
disertai dengan demonstrasi pasien, pada asasnya melanggar rahasia jabatan. Hal ini biasanya
tidak kita sadari karena kita anggap sudah selayaknya.

Oleh karena itu, dalam pendidikan atau pertemuan klinik, seperti juga pada konsultasi, sebaiknya
pasien diberitahu lebih dahulu dan dimintakan persetujuannya. Pelanggaran rahasia jabatan yang
terjadi pada saat tersebut sebenarnya adalah hal-hal yang termasuk dalam keadaan adipaksa
karena dalam hal ini tidak hanya menyangkut kepentingan yang lebih luas dan lebih besar.
Tujuan akhir dan pendidikan dan pertemuan klinik tidak lain adaIah untuk membina dan
memajukan ilmu kedokteran yang sebenarnya berorientasi kepada masyarakat yang lebih luas

2. Pasal 50 KUHP
"Tidak boleh di hukum barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan urusan undang-
undang".Pasal 50 KUHP ini sering dikaitkan dengan kewajiban seorang dokter untuk
melaporkan kelahiran, kematian dan penyakit menular. Kewajiban melapor penyakit menular di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 6 tahun 1962 tentang wabah, diundangkan pada
tanggal 5 Maret1962 yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Wabah No. tahun 1980.
Mengenai hal ini dapat dibaca pasal-pasal yang mengatur kewajiban masyarakat dan tenaga
kesehatan serta aparatur Pemerintah Daerah untuk melaporkan kejadian luar biasa dalam waktu
yang singkat.

3. Pasal 51 KUHP
"Tidak boleh di hukum barang siapa melakukan perbuatan atau menjalankan perintah jabatan
yang diberikan oleh pembesar yang berhak untuk itu".
Pasal 51 KUHP terutama penting bagi seorang dokter yang mempunyai jabatan rangkap seperti
dokter TNI/Polri yang juga menjabat sebagai anggota Majelis Penguji Kesehatan. Selaku seorang
dokter, seorang dokter angkatan bersenjata wajib menyimpan rahasia jabatan dokter, namun di
lain pihak sebagai seorang anggota TNI/Polri ia harus tunduk pada disiplin TNI/Polri dan taat
perintah atasannya.
Konflik tentang wajib simpan rahasia jabatan dapat terjadi misalnya pada keadaan sebagai
berikut:
Ia diperintah oleh atasannya untuk menyusun daftar nama perwira yang menderita penyakit
sifilis. Kalau diantara perwira yang harus dicantumkan namanya dalarn daftar ternyata juga
pernah menjadi pasien yang diperiksanya, maka ia harus memilih antara 2 jalan berikut :
1. Menjunjung tinggi rahasia jabatan sebagai dokter tetapi tidak taat pada perintah militer; atau
2. Taat kepada perintah militer tetapi melepaskan rahasia jabatan sebagai dokter.

Dalam hal yang demikian, yang dapat dijadikan pegangan ialah perhitungan dan pertimbangan
yang matang untuk menentukan apa yang harus diutamakan.

Sumber: Kode Etik Kedokteran Indonesia

gitahafas
Moderator

Number of posts: 16672


Age: 54
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Sumpah Hippocrates Fri Mar 26, 2010 10:21 pm


UU NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.

gitahafas
Moderator
Number of posts: 16672
Age: 54
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Sumpah Hippocrates Sun Mar 28, 2010 7:03 am


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1966
TENTANG WAJIB SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN

Presiden Republik Indonesia,


Menimbang: bahwa perlu ditetapkan peraturan tentang wajib simpan rahasia kedokteran.

Mengingat:
1.Pasal 5 ayat(2)Undang-Undang Dasar l945;
2.Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131 );
3.Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter (Lembaran Negara
Tahun 1960 No.69);

Mendengar: Presidium Kabinet Dwikora yang disempurnakan.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

"PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WAJIB SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN".

Pasal 1.
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang
tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan
kedokteran.

Pasal 2.
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3,
kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada Peraturan
Pemerintah ini menentukan lain.

Pasal 3.
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a.tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara tahun 1963 No. 79).
b.mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan
dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 4
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai: wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau
tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Menteri Kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan pasal 11 Undang-
undang tentang Tenaga Kesehatan.

Pasal 5.
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut dalam
pasal 3 huruf b, maka Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan
wewenang dan kebijaksanaannya.

Pasal 6.
Dalam pelaksanaan peraturan ini Menteri Kesehatan dapat mendengar Dewan Pelindung Susila
Kedokteran dan/atau badan-badan lain bilamana perlu.

Pasal 7.
Peraturan ini dapat disebut "Peraturan Pemerintah tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran".

Pasal 8.
Peraturan ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Mei 1966. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


SUKARNO.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Mei 1966. SEKRETARIS NEGARA,


MOHD. ICHSAN.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH No. 10 TAHUN 1966


TENTANG WAJIB SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN

UMUM .
Setiap orang harus dapat meminta pertolongan kedokteran dengan perasaan aman dan bebas. Ia
harus dapat menceriterakan dengan hati terbuka segala keluhan yang mengganggunya, baik yang
bersifat jasmaniah maupun rohaniah, dengan keyakinan bahwa hak *16858 itu berguna untuk
menyembuhkan dirinya. Ia tidak boleh merasa khawatir bahwa segala sesuatu mengenai
keadaannya akan disampaikan kepada orang lain, baik oleh dokter maupun oleh petugas
kedokteran yang bekerja sama dengan dokter tersebut. Ini adalah syarat utama untuk hubungan
baik antara dokter dengan penderita. Pada waktu menerima ijazah seorang dokter bersumpah:
"Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena
keilmuan saya sebagai dokter". Dan sebagai pemangku suatu jabatan ia wajib merahasiakan apa
yang diketahuinya karena jabatannya, menurut pasal 322 KUHP yang berbunyi: : "Barangsiapa
dengan sengaja membuka suatu rahasia yang ia wajib menyimpan oleh karena jabatan atau
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah". "Jika
kejahatan ini dilakukan terhadap seseorang yang tertentu maka ini hanya dituntut atas pengaduan
orang itu". Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk mereka yang melakukan perbuatan-
perbuatan pelanggaran rahasia kedokteran yang tidak dapat dipidana menurut pasal 322 KUHP
tersebut atau pasal 112 KUHP tentang pengrahasiaan sesuaatu yang bersifat umum.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.


Pasal 1.
Dengan kata-kata "segala sesuatu yang diketahui", dimaksud : Segala fakta yang didapat dalam
pemeriksaan penderita, interpretasinya untuk menegakkan diagnose dan melakukan pengobatan:
dari anamnese, pemeriksaan jasmaniah, pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran dan
sebagainya. Juga termasuk fakta yang dikumpulkan oleh pembantu-pembantunya. Seorang ahli
obat dan mereka yang bekerja dalam apotik harus pula merahasiakan obat dan khasiatnya yang
diberikan dokter kepada pasiennya. Merahasiakan resep-dokter adalah sesuatu yang penting dari
etik : pejabat yang bekerja dalam Apotik.

Pasal 2.
Berdasarkan pasal ini orang (selain dari pada tenaga kesehatan) yang dalam pekerjaannya
berurusan dengan orang sakit atau mengetahui keadaan sisakit, (baik) yang tidak maupun yang
belum mengucapkan sumpah jabatan, berkewajiban menjunjung tinggi rahasia mengenai
keadaan sisakit. Dengan demikian para mahasiswa kedokteran "kedokteran gigi, ahli farmasi,
ahli laboratorium, ahli sinar, bidan, para pegawai, murid para medis dan sebagainya termasuk
dalam golongan yang diwajibkan menyimpan rahasia. Menteri Kesehatan dapat menetapkan,
baik secara umum, maupun secara insidentil, orang-orang lain yang wajib menyimpan rahasia
kedokteran, misalnya pegawai tata-usaha pada rumah-rumah sakit dan laboratorium-
laboratorium,

Pasal 3.
Cukup jelas.

Pasal 4.
Berdasarkan pasal 322 KUHP, maka membocorkan rahasia jabatan, dalam hal ini rahasia
kedokteran, adalah suatu tindak pidana yang dituntut atas pengaduan (klachdelict), apabila
kejahatan itu ditujukan pada seseorang tertentu. Demi kepentingan umum Menteri Kesehatan
dapat bertindak terhadap pembocoran rahasia kedokteran, meskipun tidak ada suatu pengaduan.
Sebagai contoh: Seorang pejabat kedokteran berulangkali mengobrolkan di depan orang banyak
tentang keadaan dan tingkah laku pasien yang diobatinya. Dengan demikian ia merendahkan
martabat jabatan kedokteran dan mengurangi kepercayaan orang kepada penjabat-penjabat
kedokteran.

Pasal 5.
Berdasarkan pasal ini Menteri Kesehatan dapat meminta kepada instansi yang bersangkutan
(umpama untuk urusan mahasiswa kepada Departemen P.T.I.P dan sebagainya) agar mengambil
tindakan administratip yang wajar bilamana dilanggar wajib simpan rahasia kedokteran ini.

Pasal 6.
Menteri Kesehatan membentuk Dewan Pelindung Susila Kedokteran justru untuk mendapat
nasehat dalam soal-soal susila kedokteran.

Pasal 7 dan 8.
Cukup jelas.

gitahafas
Moderator

Number of posts: 16672


Age: 54
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Sumpah Hippocrates Sun Mar 28, 2010 7:12 am


SUMPAH HIPPOCRATES

I swear by Apollo Physician and Asclepios and Hygeia and Panacea and all the gods and
goddesses, making them my witnesses, that I will fulfill according to my ability and judgment
this oath and this covenant:

To hold him who has taught me this art as equal to my parents and to live my life in partnership
with him, and if he is in need of money to give him a share of mine, and to regard his offspring
as equal to my brothers in male lineage and to teach them this art – if they desire to learn it –
without fee and covenant; to give a share of precepts and oral instruction and all the other
learning to my sons and to the sons of him who has instructed me and to pupils who have signed
the covenant and have taken an oath according to the medical law, but no one else.

I will apply dietetic measures for the benefit of the sick according to my ability and judgment; I
will keep them from harm and injustice.

I will neither give a deadly drug to anybody who asked for it, nor will I make a suggestion to this
effect. Similarly I will not give to a woman an abortive remedy. In purity and holiness I will
guard my life and my art.
I will not use the knife, not even on sufferers from stone, but will withdraw in favor of such men
as are engaged in this work.

Whatever houses I may visit, I will come for the benefit of the sick, remaining free of all
intentional injustice, of all mischief and in particular of sexual relations with both female and
male persons, be they free or slaves.

What I may see or hear in the course of the treatment or even outside of the treatment in regard
to the life of men, which on no account one must spread abroad, I will keep to myself, holding
such things shameful to be spoken about.

If I fulfill this oath and do not violate it, may it be granted to me to enjoy life and art, being
honored with fame among all men for all time to come; if I transgress it and swear falsely, may
the opposite of all this be my lot.

From "Harvard Classics, Volume 38" Copyright 1910 by P.F. Collier and Son.

Last edited by gitahafas on Sat May 08, 2010 8:29 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator

Number of posts: 16672


Age: 54
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Sumpah Hippocrates Fri Apr 02, 2010 6:39 am


Paragraf 4 UU RI NO 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN
Rahasia Kedokteran
Pasal 48

1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
pcrmintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri,
atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

gitahafas
Moderator

Number of posts: 16672


Age: 54
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Sumpah Hippocrates Sat May 08, 2010 12:03 pm


RAHASIA MEDIS
" Whatever. In connection with from my professional practice or not in connection with it, I see
or hear, in the life of men, which ought not to be spoken of abroad, I will not divulge, as
reckoning that all should be kept secret."
The Hippocratic Oath

Selain didalam Sumpah Hippocrates, kewajiban menyimpan Rahasia Medis juga terdapat pada:
1. Declaration of Geneve
Ini adalah suatu versi Sumpah Hippocrates yang di modernisasi dan di introduksikan oleh World
Medical Association. Khusus yang Menyangkut Rahasia Medis berbunyi:
"I will respect the secrets which are confided in me, even after the patient has died."

2. International Code of Medical Ethics


Pada tahun 1968 di Sidney diadakan perubahan pada Declaration of Geneve yang kemudian
menjadi pedoman dasar untuk International Code of Medical Ethics.
Yang menyangkut Rahasia Medis berbunyi: " A doctor shall preserve absolute secrecy on all he
knows about his patient because the confident entrusted in him."

3. Declaration of Lisbon, 1981


Deklarasi ini menetapkan pula bahwa pasien berhak untuk meminta kepada dokternya agar
mengindahkan sifat rahasia dari segala data medis dan data pribadinya. "The patient has the right
to expect that his physician will respect the confidential nature of all his medical and personal
details."

4. Kode Etik Kedokteran Indonesia ( KODEKI ), tahun 2002


Pasal 12: " Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia."
5. Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1966
Peraturan ini juga memuat Lafal Sumpah Kedokteran.

6. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966


Didalam Peraturan Pemerintah tersebut diperluas berlakunya wajib simpan Rahasia Medis ini
juga bagi tenaga kesehatan lainnya, seperti perawat, bidan, mahasiswa kedokteran, ahli farmasi,
laboratorium, radiologi dan lain lainnya.

Sumpah, dalam hubungan dengan Rahasia Medis, secara yuridis tidak mempunyai arti. Ia hanya
merupakan suatu ikrara, suatu pernyataan kehendak sepihak yang pelaksanaannya sangat
tergantung kepada hati nurani si pelaku itu sendiri. Suatu sumpah tidak dapat dipergunakan
sebagai dasar hukum untuk penuntutan. Demikian pula KODEKI yang termasuk di bidang Etik
yang sifatnya merupakan " self imposed regulations ".
Suatu Etik Kedokteran bersifat intern, yang sanksinya hanya dapat dijatuhkan dalam kaitan
organisasi dan oleh organisasi itu sendiri, misalnya teguran, jatuhkan sanksi atau pemecatan
sebagai anggota. Juga tidak mempunyai nilai yuridis, dalam arti tidak mempunyai akibat hukum.

Berkaitan erat dengan Rahasia Medis adalah Hak Hak Asasi Manusia ( HAM ). Sejak Sumpah
Hippocrates dikeluarkan sampai kini sudah berlalu beberapa puluh abad, materi yang terdapat
dalam sumpah tersebut ada yang masih tetap relevan, namun ada pula yang perlu diadakan
evaluasi dan penyesuaian.
Jadi asal mulanya Rahasia Medis adalah dari pasien itu sendiri yang menceritakan kepada dokter.
Dan sewajarnyalah bahwa pasien itu sendiri adalah dan dianggap sebagai pemilik Rahasia Medis
itu atas dirinya, bukanlah dokter yang diberitahukan dan kemudian menarik kesimpulan tentang
penyakit yang diderita pasiennya. Jadi apa yang dahulu dinamakan Rahasia Kedokteran adalah
Rahasia Medis Pasien, bukanlah Rahasia Dokternya. Istilah Rahasia Kedokteran adalah Rahasia
di bidang Kedokteran ( di bidang Medis ), bukan Rahasia Dokternya.

Mengapa dari profesi dokter ada yang beranggapan bahwa Rahasia Medis adalah urusan profesi
dokter yang tidak perlu diketahui oleh pasiennya? Rahasia yang hanya boleh diketahui oleh
sesama teman sejawatnya. Alam pikiran ini berdasarkan Sumpah Hippocrates ( 469 - 399 SM )
versi World Medical Association yang berbunyi: " Saya akan menghargai rahasia rahasia yang
dipercayakan kepada saya, bahkan sampai sesudah pasien meninggal." ( I will respect the secrets
which are confided in me, even after the patient has died )

Hal ini disebabkan karena dalam alam pikiran dahulu, jika pasien tidak diberitahukan
penyakitnya, maka ia tidak menjadi cemas dan tegang, hal ini bisa mempengaruhi
penyembuhannya. Jika pasien menyerahkan dirinya kepada dokter untuk diobati, maka
penyembuhannya akan berjalan lancar.
Dengan berlalunya waktu, maka alam pikiran manusia, situasi dan kondisi mengalami perubahan
pula. Pertanyaan pertanyaan yang menyangkut kerahasiaan dan pengungkapan di bidang medis
telah mengundang banyak pembahasan. Para dokterpun ada yang menyadari bahwa kewajiban
tradisional untuk melindungi kerahasiaan sudah bukan waktunya lagi, mereka juga merasakan
timbulnya banyak dilema dari kewajiban tradisional tersebut.
Dengan perkembangan zaman tentang HAM misalnya, mulai timbul konflik penafsiran tentang
Rahasia Medis tersebut.
Pengungkapan Rahasia Medis harus dengan persetujuan dan izin pasien, misalnya kepada pihak
Asuransi yang memerlukan data data medis pasien yang telah menutup asuransi kesehatan.
Untuk memeriksa benar tidaknya suatu klaim, maka diperlukan data data medis pasien, yang
harus diajukan ke rumah sakit melalui dokternya. Untuk itu pasien harus membuat pernyataan
tertulis bahwa ia telah memberi kuasa untuk meminta data data medis dari dokter / rumah
sakitnya. Tanpa Surat Persetujuan dari pasien tersebut, rumah sakit / dokternya tidak boleh
memberikan data data medis pasien tersebut kepada pihak ketiga, dalam hal ini pihak Asuransi.
Bahkan jika memberikan, pihak rumah sakit / dokter bisa dituntut secara hukum.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa data data medis itu adalah MILIK PASIEN, bukan milik
dokternya. Disamping itu rumah sakit dibebani kewajiban untuk menyimpan data data medis
yang tercantum dalam Rekam Medis selama paling sedikit 5 tahun.

Namun, menurut sementara pendapat, ada ada yang beranggapan bahwa tidak seluruh isi Rekam
Medis dapat dimintakan fotokopi oleh pasiennya, yang dapat diberikan hanya suatu Resume saja
yang dibuat oleh dokternya. Hal ini mungkin dapat diterima, sepanjang kebutuhannya itu
menyangkut untuk asuransi atau untuk tujuan pindah berobat ke tempat lain. Namun bagaimana
jika tujuan meminta fotokopi dari pasien / keluarganya karena mau mengajukan gugatan kepada
dokternya di pengadilan? Apakah dapat dipakai sebagai bukti jika seandainya Resume tersebut
dibuat oleh dokternya sendiri yang notabene akan dituntut? ( Pasal 12 Permenkes No 749a
tentang Rekam Medis: Pemaparan isi Rekam Medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat dengan izin tertulis pasien ).

Dasar yuridis untuk menuntut yang berkenaan dengan Rahasia Medis terdapat pada:
1. Yurisprudensi Belanda berdasarkan sifat dari:
a. Hoge Raad 21 April 1913
b. Arrondissementsrechtbank Haarlem 11 Desember 1984 tentang larangan menggungkapkan
Rahasia Medis.

2. Hukum Perdata Indonesia


a. Perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien ( hukum ).
b. Pasal 1909 tentang Hak Tolak Mengungkap.
c. Pasal 1365 tentang perbuatan melawan hukum.

3. Hukum Pidana
a. Pasal 322 tentang Wajib Menyimpan Rahasia.
b. Pasal 224 tentang Panggilan Menghadap Sebagai Saksi Ahli

4. Hukum Acara Pidana ( KUHAP )


a. Pasal 170 tentang Wajib Menyimpan Rahasia.
b. Pasal 179 tentang Wajib Memberikan Keterangan Sebagai Ahli Kedokteran Kehakiman, atau
Sebagai Dokter.

5. Hukum Acara Perdata


a. Pasal 146 ayat 3 ( Reglemen Indonesia yang diperbaharui ).
b. Pasal 174 ( Reglemen Luar Jawa )
6. Hukum Administrasi
Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1946 yang memperluas jangkauan Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran terhadap tenaga kesehatan lainnya.

7. Konvensi Internasional ( sesudah ratifikasi )


a. United Nations Declaration of Human Rights
b. Declaration of Lisbon tentang Hak Rahasia atas diri pribadi

Bila terdengar akan ada tuntutan dari pihak pasien, maka berkas Rekam Medis oleh Kepala
Rumah Sakit harus diamankan dan tidak diperbolehkan lagi untuk diberikan tambahan tulisan,
coret coretan, penghapusan, ditutupi tulisannya atau mengadakan perubahan. Ada sementara
dokter yang langsung membawa pulang berkas untuk dipelajari, begitu mendengar akan timbul
tuntutan. Hal ini tidak diperbolehkan, berkas Rekam Medis adalah milik rumah sakit dan harus
tetap berada dan disimpan di rumah sakit. Hal ini disebabkan karena berkas itu sangat penting
bagi rumah sakit, yang dapat dipakai sebagai barang bukti mengenai perawatan dan pengobatan,
tindakan apa saja yang telah dilakukan dan oleh siapa.
Pengacara pasien juga tidak bisa meminta berkas tersebut, yang boleh diberikan kepada
pengacara pasien - tentunya dengan melampirkan Surat Izin tertulis dari pasien - adalah
FOTOKOPI dari Rekam Medis tersebut dan bukan aslinya. Ada juga sementara rumah sakit
yang tidak mau menyerahkan fotokopi dari Rekam Medis kepada pengacara pasien, tetapi hal ini
bisa menyulitkan rumah sakit itu sendiri karena berdasarkan Pasal 43 KUHAP berkas itu atas
izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dapat dilakukan penyitaan. Hal ini akan
tambah menyulitkan Rumah Sakit dalam mengajukan bukti buktinya.

Mungkin dewasa ini masalah Rahasia Medis bagi orang kita tidak begitu menjadi persoalan, hal
ini karena pengaruh sosial budaya, dimana jika seorang anggota keluarga menderita sakit, akan
juga merupakan persoalan bagi seluruh keluarga ( besar ). Demikian pula antara pasien di rmah
sakit dan para pengunjungnya, juga tampak saling menceritakan penyakitnya masing masing,
tanpa merasa bahwa hak itu termasuk rahasia pribadi yang dilindungi undang undang. Walaupun
demikian, kita tetap harus menjaga dengan hati hati agar jangan sampai menimbulkan persoalan,
teristimewa dalam hal penyakit penyakit tertentu seperti penyakit kelamin, penyakit keturunan,
kanker, HIV / AIDS, dan sebagainya ).

Sumber: Buku Rahasia Medis J. Guwandi, S.H

gitahafas
Moderator

Number of posts: 16672


Age: 54
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Sumpah Hippocrates Sun May 09, 2010 10:43 am


RAHASIA MEDIS ANTARA SUAMI ISTRI
Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter - pasien.
Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang
dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien.
Hal ini di negara negara Barat merupakan sesuatu yang harus dijaga benar, karena berdasarkan
paham individualisme yang dianut. Hal ini berlainan dengan keadaan sosial budaya di Indonesia,
di negara kita yang bersifat Timur, jika ada seorang anggota keluarga menderita sakit, tidak saja
harus diketahui oleh keluarga kecilnya, tetapi juga merupakan sesuatu yang harus diketahui pula
oleh keluarga besarnya.

Merupakan hal yang lazim bahwa antara suami istri umumnya tidak ada rahasia. Namun jika
menyangkut suatu masalah seperti Rahasia Medis tertentu - juga di Indonesia - para dokter
haruslah bertindak lebih hati hati. Jika yang diderita penyakit penyakit umum seperti usus buntu,
wasir, influenza tidaklah menjadi persoalan diketahuinya. Lain halnya jika menyangkut penyakit
penyakit tertentu yang bisa menularkan seperti penyakit kelamin, atau hal hal yang bersangkut
paut dengan kehidupan seksual seperti keguguran, kehamilan, kadangkala juga menyangkut
penyakit jiwa, jika diminta suatu keterangan tertulis oleh suami atau istrinya, apalagi jika yang
meminta adalah seorang pengacara dari suami atau istri..

Jika hendak memberitahukan hal hal demikian, maka haruslah diminta persetujuan dari pasien
yang bersangkutan.
Misalnya dalam pemeriksaan seorang suami ternyata ia terkena penyakit kelamin yang menular.
Hal ini bisa menularkan kepada istrinya. Atau penyakit menular lain seperti HIV / AIDS yang
bisa membahayakan terutama istrinya sendiri dan anggota keluarganya.
Secara umum sebaiknya dokter itu merundingkannya dengan pasien itu sendiri, cara bagaimana
ia harus memberitahukan kepada istri / suaminya, karena pasangannya harus diperiksa juga.
Timbul persoalan jika yang diperiksa adalah istri yang diantar oleh suaminya. Dalam hal ini
sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengungkapkan.
Apakah dokter dengan bebas boleh mengutarakan bahwa istrinya sedang mengandung atau
mengalami keguguran? Sebaiknya juga dibicarakan dahulu dengan pasien itu, sebab bisa saja ada
kemungkinan bahwa sang suami baru saja kembali dari luar negeri sesudah sekian bulan. Juga
jika menyangkut penyakit kelami, tidak dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah
pihak.

Sumber: Buku Rahasia Medis J.Guwandi, S.H

gitahafas
Moderator
Number of posts: 16672
Age: 54
Location: Jakarta
Registration date: 2008-09-30

Subject: Re: Sumpah Hippocrates Sun May 09, 2010 12:31 pm


RAHASIA MEDIS DAN HIV / AIDS
( HAM ODHA vs HAM MASYARAKAT )
Masalah HIV / AIDS banyak sangkut pautnya dengan Rahasia Medis sehingga kita harus berhati
hati dalam menanganinya. Dalam mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara
kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan
kepentingan mana yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi, Hak Asasi seseorang
harus diindahkan, namun Hak Asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari Hak
Asasi seseorang adalah Hak Asasi orang lain didalam masyarakat itu. Dalam hal ada
pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap kepentingan
masyarakat banyak. Kebebasan atas kepentingan individu tidak dipertahankan sedemikian rupa
sehingga sampai membahayakan kepentingan orang lain atau masyarakatnya. Namun kita
melihat ada pengecualian bersifat rahasia mutlak yang berkaitan dengan HIV / AIDS.

Dalam kasus kasus tertentu seorang dokter bisa berada dalam keadaan dilema jika penyakit yang
diderita pasien itu juga membahayakan masyarakat sekitarnya ( HIV / AIDS, penyakit kelamin,
wabah, dan sebagainya ). Tambah lagi jika pasien tidak memberikan persetujuannya untuk
diungkapkan rahasianya. Kecuali kalau memang sudah diwajibkan oleh Undang Undang atau
Peraturan yang lebih tinggi tingkatnya, maka dokter itu wajib untuk melaporkan. Namun untuk
HIV / AIDS tampaknya masih dalam kedudukan istimewa, karena walaupun bisa
membahayakan atau menularkan istri dan anak anaknya, ia tetap masih dapat perlindungan
hukum.

Masalah AIDS juga ada kaitan erat dengan Informed Consent. Merupakan tugas dan kewajiban
seorang dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit penyakit yang diderita pasien dan
tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping wajib merahasiakannya. Pada pihak lain
kepentingan masyarakat juga harus dilindungi.

Namun sebaliknya juga bisa timbul pertanyaan, jika seorang pasien mengetahui bahwa dirinya
sudah dihinggapi HIV / AIDS seharusnya ia pun wajib untuk memberitahukannya, karena jika ia
misalnya sampai harus dilakukan tindakan medis seperti pembedahan terhadapnya, maka dokter
dan tenaga medis lain bisa tertular. Apakah kepentingan perseorangan harus dimenangkan
terhadap kepentingan orang lain ( dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain ) ?
Hal ini secara adil seharusnya juga perlu diwajibkan kepada pasiennya agar ia tidak
membahayakan orang lain. Namun sayangnya ketentuan ini belum ada, sehingga kita masih
berpedoman pada peraturan yang lama. Pengaturan hukum tentang HIV / AIDS di negara kita
pada saat ini hanya ada 2 yaitu:
1. Instruksi Menteri Kesehatan RI No 72 / Menkes / Instll / 1988 tentang kewajiban melaporkan
penderita dengan gejala AIDS.
Ketentuan tersebut hanya ditujukan kepada petugas kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan
saja.
Tindakan yang diambil hanyalah pelaporan kepada Dirjen P2MPLP saja dengan memperhatikan
kerahasiaan pribadi.

2. Surat Keputusan Menko Kesra No 9 Tahun 1994 tentang Strategi Nasional Penanggulangan
HIV / AIDS
" Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV / AIDS harus didahului dengan penjelasan yang
benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan ( Informed Consent ). Sebelum dan
sesudahnya harus diberikan konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan."

Sejauh ini yang bisa diwajibkan menjalani uji HIV adalah kalangan anggota militer dan
narapidana. Para WTS pun tidak boleh dipaksakan untuk menjalani tes HIV seperti waktu waktu
dulu. Dapat ditambahkan pula, pada lamaran kerja di perusahaan dapat dimintakan
persetujuannya untuk juga dilakukan tes HIV, tetapi ini secara sukarela dan juga harus ada
persetujuan. Jika hasilnya positif maka secara terselubung bisa ditolak penerimaannya. Biasanya
dilakukan dengan cara halus, memakai alasan lain. Pemeriksaan HIV /AIDS tidak bisa
diwajibkan karena bertentangan dengan HAM.

Kalau hasil pemeriksaan positif maka terdapat dilema, yaitu pada satu pihak rahasia pasien harus
dijaga, tidak boleh diungkap ke orang lain kecuali atas persetujuan ( consent ) dari pasien itu
sendiri. HAM akan dilanggar jika diberitahukan kepada orang lain. Bagaimana dengan istrinya?
Apakah seorang istri juga tidak boleh diberitahu? Memang pemberitahuan ini mungkin bisa
berakibat berat bagi si suami, istri mungkin bisa minta cerai atau tidak mau melayaninya lagi.
Sebenarnya harus bisa dijelaskan dengan konseling tentang cara cara pencegahan dan pendidikan
tentang HIV / AIDS yang perlu diadakan sosialisasi yang lebih meluas.
Bagaimana dengan anak anaknya? Katanya anak anaknya bisa dikucilkan di sekolah dan ia
sendiri ada risiko diberhentikan dari pekerjaannya. Namun ini adalah risiko yang mau tidak mau
terpaksa harus dipikul oleh penderita HIV. Kalau istrinya sendiri tidak boleh diberitahukan,
apakah tidak akan bisa mengakibatkan menambah jumlah penderita HIV / AIDS? Apakah sang
istri harus turut menjadi korban? Istri / partner seksual adalah orang yang paling rentan terhadap
penularan. Jika boleh diberitahukan, maka mata rantainya akan bisa diputuskan, dengan
demikian maka setidak tidaknya tidak akan menambah jumlah penderita AIDS. Mana yang lebih
memberatkan HAM ODHA atau HAM Masyarakat / Individu lain?

Sumber: Buku Rahasia Medis J.Guwandi, S.H

Anda mungkin juga menyukai