Pneumonia
Pneumonia
BAB II
LANDASAN TEORI
Udara inspirasi selain sebagai sumber oksigen (O2) bagi tubuh juga
memasukkan sejumlah partikel, gas beracun, dan mikroorganisme ke dalam
saluran napas. Saluran napas atas dan bawah memproteksi paru melalui
pertahanan anatomis. Hal ini berhubungan dengan reflek batuk dan penggunaan
perangkat mukosilier beserta enzim dan imunoglobulin A (IgA) yang
disekresikan.1
Sejumlah sel berfungsi memelihara sterilitas dan melindungi saluran napas,
yaitu epitel saluran napas, epitel alveolar, makrofag, sel dendritik, dan sel
polimorfonuklear (PMN). Sel-sel ini terutama dilengkapi dengan pattern-
recognition receptors (PRRs) dan secara anatomis dikondisikan untuk mengatasi
mikroba yang masuk ke rongga udara.1 Lapisan basal mukosa respiratorik di
hidung dan saluran napas konduksi mengandung sel dendritik yang tersusun rapat,
akan mengenali dan menangkap setiap invasi mikroorganisme serta membawanya
ke dalam drainaise limfatik untuk membangkitkan sistem imun adaptif. Partikel
berukuran kurang dari 2 µm yang mencapai unit respiratorik di luar bronkiolus
respiratorik akan ditangkap makrofag alveolar dalam mileu yang kaya elemen
pertahanan seperti IgG, komplemen, surfaktan, dan fibronektin.1
2. Sel dendritik
Sel dendritik merupakan antigen-presenting cell (APC) yang menstimulasi
proliferasi sel T naive, bersama makrofag menjadi mekanisme pertahanan pertama
dalam mengenali berbagai macam patogen. Sel inflamasi ini berasal dari sumsum
tulang, mencapai jaringan melalui sirkulasi darah, dan terdistribusi di seluruh
saluran napas.3 Sel dendritik menjadi penghubung antara sistem imun bawaan dan
7
adaptif, terletak di atas dan bawah membran basalis dalam keadaan imatur dengan
dendrit meluas di antara sel epitel. Sel dendritik pada paru manusia ditandai
tingginya aktivitas endositik. Inflamasi paru dan kerusakan jaringan yang
diinduksi invasi mikroba menyebabkan maturasi sel dendritik, segera setelah
teraktivasi sel dendritik akan bermigrasi ke struktur limfoid pada limfonodi
hilar.1,5
4. Neutrofil
Neutrofil atau limfosit PMN berperan penting dalam sistem imun bawaan
yang menentukan ketahanan host melawan infeksi bakteri dan jamur.7 Neutrofil
dihasilkan oleh sel progenitor sumsum tulang, beredar selama 6-8 jam dalam
darah, dan bermigrasi ke jaringan inflamasi sebagai respons terhadap sinyal yang
diproduksi mekanisme imun bawaan lokal.2
Peranan neutrofil dalam mekanisme pertahanan antibakteri di paru
melibatkan berbagai langkah seperti aktivasi faktor transkripsi, produksi kemokin,
peningkatan regulasi molekul adhesi, dan peningkatan interaksi antar sel.8
Neutrofil menyediakan pertahanan lini kedua, merupakan sel yang pertama
direkrut ke tempat infeksi atau cedera, dan menyerang jamur, protozoa, bakteri,
virus, serta sel tumor. Sel inflamasi ini bermigrasi keluar dari kapiler paru dan
masuk ke dalam rongga udara selama terjadi infeksi paru. Neutrofil akan
membunuh mikroba dengan reactive oxygen species (ROS), protein antimikroba,
dan enzim degradatif (elastase) setelah fagositosis.3 Interaksi neutrofil dengan sel
lain pada jaringan inflamasi dan limfonodi dapat dilihat pada Gambar 2.
9
5.
6.
Gambar 2. Interaksi neutrofil dengan sel imun dan non imun pada jaringan
inflamasi dan limfonodi.
Keterangan: MSCs= mesenchymal stem cells, DCs= dendritic cells,
NK= natural killer, CCR7= CC-chemokine receptor 7, TCR= T cell
receptor, TLR= toll-like receptor
Dikutip dari (9)
B. PNEUMONIA
1. Etiologi
Pengetahuan terhadap patogen penyebab pneumonia komunitas dijadikan
dasar pemilihan terapi antibiotik empirik yang berdampak penting terhadap
13
2. Patogenesis
Saluran napas bawah dirancang efektif untuk melindungi dari invasi
patogen. Infeksi dapat terjadi apabila mekanisme proteksi terganggu atau
tingginya jumlah patogen.20 Predisposisi pneumonia antara lain pada kondisi
penurunan atau penekanan batuk, gangguan aktivitas mukosilier, penurunan
aktivitas fagositik efektif dari makrofag alveolar dan neutrofil, serta gangguan
produksi Ig.25
Risiko infeksi paru dipengaruhi kemampuan mikroorganisme untuk
merusak permukaan epitel saluran napas. Mikroorganisme dapat mencapai
permukaan saluran napas melalui empat cara yaitu inokulasi langsung,
penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, dan kolonisasi di
permukaan mukosa. Kolonisasi merupakan cara terbanyak, sebagai hasil
abnormalitas pertahanan alamiah yang akan mempengaruhi keseimbangan antara
replikasi bakteri serta pembersihannya.3 Pneumonia merupakan konsekuensi
kolonisasi di paru, cedera epitel terinduksi patogen, aktivasi inflamasi, dan
aktivasi berlebihan dari mekanisme perbaikan jaringan. Kebocoran vaskular dan
14
sebagai proinflamasi dan prokoagulan, diperkuat sitokin lain seperti IL-1, IL-2,
IL-6, IL-8, dan IFN-γ.3,27
Saat neutrofil dan makrofag alveolar melawan patogen pada jalur
nonspesifik, sel dendritik mempresentasikan limfosit T dengan antigen asing yang
menyebabkan respons Th1 maupun Th2. Sel T teraktivasi dan sel B akan ikut
mempertahankan tubuh terhadap serangan bakteri. Pelepasan hormon
pertumbuhan dan sitokin dari sel T teraktivasi selanjutnya akan menstimulasi
makrofag.3
c. Fagositosis
Fagositosis merupakan proses dimana partikel dikenali, diikat pada
permukaan sel, dan mengalami internalisasi ke dalam membran plasma vakuola
intraselular atau fagosom. Sel fagosit mamalia antara lain leukosit PMN (dikenal
sebagai neutrofil), sel dendritik, monosit, dan makrofag. Pada saat
mikroorganisme memasuki bagian steril tubuh, sel fagosit akan menarik secara
kemotaktik, mengikat mikroorganisme, mencerna, dan mematikannya.28
Mikroorganisme yang menginvasi dimatikan dan dibersihkan melalui dua
mekanisme. Mekanisme pertama melibatkan makrofag alveolar dan
kemampuannya membebaskan faktor kemotaktik di sekitar neutrofil dan
mengawali respons imun. Mekanisme kedua terjadi saat bakteri memicu sel T,
mengeluarkan sitokin yang menstimulasi kapasitas fagositik dan bakterisidal
makrofag alveolar.3 Setelah fagositosis, mikroorganisme dalam fagosom akan
dimusnahkan melalui nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH)
oxidase-dependent dan myeloperoxidase-dependent reactive oxygen species atau
peptida antimikroba dari granula sitoplasma.27
Peran neutrophil extracellular traps (NETs) dalam memperkuat aktivitas
fagositik dan memproduksi molekul antimikroba sering dibicarakan dan sampai
saat ini masih dalam penelitian. Neutrophil extracellular traps terdiri dari histon,
kromatin, granula azurofilik, dan protein sitosolik yang mengikat dan
menghancurkan patogen.7,27 Neutrophil extracellular traps mampu mengikat gram
negatif maupun positif, dapat dengan mudah menghancurkan faktor virulensi
17
3. Stres oksidatif
Radikal bebas meliputi atom, molekul atau ion dengan elektron tidak
berpasangan yang bereaksi aktif secara kimiawi dengan molekul lainnya. Radikal
bebas seringkali berasal dari molekul O2, nitrogen, dan sulfur sebagai bagian dari
kelompok molekul yang disebut ROS, reactive nitrogen species (RNS), dan
reactive sulphur species (RSS). Sebagai contoh, ROS mencakup radikal bebas
seperti anion superoksida (O2-.), radikal perhidroksil (HO2.), radikal hidroksil
(.OH), nitrit oksida, dan spesies lain seperti hidrogen peroksida (H2O2), singlet
oxygen (1O2), hypochlorous acid (HOCl), dan peroksinitrit (ONOO-).31 Jalur
produksi ROS dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
(demam, myalgia, fatigue, dan nyeri telan) lebih dominan pada atipikal, meskipun
demikian perbedaan gejala klinis tersebut tidak dapat digunakan untuk
mengidentifikasi agen penyebab. Munculnya gejala klinis dapat dipengaruhi
kondisi komorbid dan usia tua.20
b. Pemeriksaan radiologis
Berdasarkan rekomendasi Infectious Diseases Society of America and
American Thoracic Society (IDSA/ATS) diagnosis pneumonia harus memasukkan
pemeriksaan foto toraks dimana didapatkan infiltrat, konsolidasi, dan terkadang
kavitasi. Konsolidasi terlihat pada lebih dari 90% foto toraks penderita, dapat sulit
dilihat pada lobus bawah kiri karena tertutup bayangan jantung. Pneumonia
disebabkan M. pneumoniae dan C. pneumophila sering terlihat sebagai infeksi
saluran napas kecil (bronkiolitis) daripada konsolidasi lobar, menyebabkan
perubahan interstitial yang mudah terlewatkan pada foto toraks berkualitas buruk
tetapi mudah teridentifikasi melalui computed tomography (CT) scan sebagai
perubahan “tree-in-bud”.40
Opasitas pada foto toraks dianggap sebagai gold standard diagnosis
pneumonia, meskipun hal tersebut dapat berkaitan dengan infeksi, infark,
perdarahan, edema, keganasan, maupun inflamasi disebabkan berbagai proses
seperti vaskulitis atau efek samping obat. Sejumlah penelitian menunjukkan
penyebab bakterial dan nonbakterial tidak dapat dibedakan berdasarkan foto
toraks.14
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada kasus pneumonia tidak berarti menunda
pemberian antibiotik yang pemilihannya berdasarkan pengetahuan terhadap jenis
patogen dan perkiraan beratnya infeksi.20 Pemeriksaan laboratorium darah
didapatkan peningkatan lekosit lebih dari 10.000/ul atau kurang dari 4.500/ul,
hitung jenis lekosit terdapat pergeseran ke kiri, dan peningkatan laju endap
darah.41
Pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan penyebab pneumonia meliputi
pemeriksaan mikroskopis dan kultur sputum, kultur darah, antigen terhadap S.
23
pneumoniae dan L. pneumophilia dalam urin, serta uji serologi dan molekular
terhadap virus influenza, M. pneumoniae, Chlamydophila, dan C. burnetti.18
Oksigenasi dinilai dengan pulse oxymetri dan pemeriksaan analisis gas
darah apabila saturasi di bawah 94% atau didapatkan pneumonia berat. Desaturasi
harus segera dikoreksi karena dapat memperberat infeksi. Kebutuhan O2 inspirasi
sebesar 35% atau lebih untuk mempertahankan saturasi O2 sekitar 90%
menandakan pneumonia berat, demikian juga dengan PaO2 kurang dari 60 mmHg
atau PaCO2 lebih dari 50 mmHg. Pemasangan ventilasi mekanik sebaiknya
dilakukan pada kondisi ini.42
d. Penilaian tingkat keparahan
Tingkat keparahan pneumonia menentukan tempat perawatan (rawat inap
atau jalan), pemeriksaan mikrobiologi lebih lanjut, dan pemilihan antibiotik awal
secara empirik.43 Keputusan merawat inap atau merawat jalan penderita
merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan pneumonia komunitas.20
Sistem penilaian keparahan pneumonia yang sering digunakan adalah
pneumonia severity index (PSI) dan CURB (confusion, urea, respiratory rate,
blood pressure and age)-65. Sejumlah sistem penilaian tambahan telah
dikembangkan, termasuk penilaian terhadap penderita yang memerlukan
perawatan di intensive care unit (ICU), seperti kriteria IDSA/ATS, SMART-COP,
PIRO-CAP, dan SCAP.43,44 Pneumonia severity index dikembangkan Fine et al.
pada tahun 1997 untuk mengidentifikasi penderita pneumonia komunitas berisiko
kematian rendah dalam tiga puluh hari, telah divalidasi terhadap 40.000 penderita
dalam penelitian Pneumonia Outcome Research Team (PORT).44 Parameter yang
dinilai dan pengelompokkan penderita ke dalam kelas risiko dapat dilihat pada
Tabel 1 dan 2.
24
Penyakit penyerta
Keganasan 30
Penyakit hati 20
Gagal jantung kongestif 10
Penyakit serebrovaskular 10
Penyakit ginjal 10
spektrum luas (terapi inisial efektif) menjadi lebih sempit setelah penilaian ulang
dalam 72 jam inisiasi terapi bergantung pada perolehan data mikrobiologi.
Antibiotik yang tepat memiliki spektrum lebih sempit, efikasi tinggi, toksisitas
minimal, dan ekonomis.46 Rekomendasi pemilihan antibiotik untuk
mikroorganisme spesifik dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Antibiotik spesifik sesuai patogen respiratorik tertentu
Tipe infeksi Antibiotik pilihan pertama Antibiotik alternatif
S. pneumoniae
- Sensitif penisilin Penisilin G, amoksisilin, Sefalosporin,
klindamisin, doksisiklin, makrolid
telitromisin (MIC< 2,0 g/ml),
fluorokuinolon
- Resisten penisilin Agen yang teridentifikasi Telitromisin (MIC
melalui uji kepekaan in vitro, ≥ 2,0 g/ml)
termasuk sefotaksim,
seftriakson, vankomisin, dan
fluorokuinolon
Mycoplasma Doksisiklin, makrolid Fluorokuinolon,
telitromisin
Chlamydophila pneumoniae Doksisiklin, makrolid Fluorokuinolon,
telitromisin
Legionella Azitromisin, fluorokuinolon Doksisiklin ±
(termasuk siprofloksasin), rifampin
eritromisin (± rifampin)
H. influenzae Sefalosporin generasi II atau III, Fluorokuinolon
klaritromisin, doksisiklin, β-
laktam/penghambat β-
laktamase,
trimetoprim/sulfametoksazol,
azitromisin, telitromisin
Moraxella catarrhalis Sefalosporin generasi II atau Fluorokuinolon
III,trimetoprim/sulfametoksazol,
doksisiklin,β-
laktam/penghambat β-laktamase
Neisseria meningitidis Penisilin Seftriakson,
sefotaksim,
sefuroksim,
kloramfenikol,
fluorokuinolon
Neisseria meningitidis Penisilin Seftriakson,
sefotaksim,
sefuroksim,
kloramfenikol,
fluorokuinolon
Streptococci (selain S. pneumoniae) Penisilin, sefalosporin generasi I Klindamisin
(kepekaan obat
sebaiknya
terkonfirmasi),
vankomisin
Anaerob Klindamisin, β-laktam- Karbapenem
penghambat β-laktamase, β-
27
C. PROKALSITONIN
Gen yang mengkode PCT dikenal sebagai CALC-I, pada manusia terletak di
lengan pendek kromosom 11. Pre-mRNA dari gen CALC-I berisi enam ekson,
dimana mRNA CT mencakup ekson 1- 4 dan berakhir setelah sisi poliadenilasi
pada ekson 4. Pre-mRNA ini juga memproduksi mRNA lain dengan melompati
ekson 4, yaitu meliputi ekson 1-3, 5, dan 6, serta mengkode protein dikenal
sebagai calsitonin gene-related peptide I (CGRP-I). Produk asli gen CALC-I
adalah 141 rantai asam amino dari prePCT yang bertanggungjawab terhadap
produksi PCT pada sel C tiroid terutama selama inflamasi.51
2. Regulasi
Regulasi ekspresi PCT berbeda dengan CT. Peningkatan kadar kalsium pada
sel C tiroid, sama halnya dengan stimulus lain seperti glukokortikoid, calcitonin
gene related peptide (CGRP), glukagon, gastrin atau stimulasi β-adrenergik, akan
memunculkan ekspresi gen CT. Somatostatin dan vitamin D justru akan menekan
produksi CT. Gambar 7 menunjukkan skema ekspresi CALC-I pada sel non
neuroendokrin dan sel C tiroid. Sesuai paradigma klasik neuroendokrin, ekpresi
mRNA CT terbatas pada sel neuroendokrin terutama sel C tiroid. Mediator
proinflamasi pada sepsis dan inflamasi memicu ekspresi mRNA CT pada sel non
neuroendokrin, berkebalikan dengan sel C tiroid maka akan dilepaskan PCT yang
tidak terproses.51
dikutip dari 50
et al. pada penderita pneumonia komunitas memperlihatkan
penggunaan PCT sebagai penuntun terapi dapat mengurangi lama rawat dari 12
hari menjadi 5 hari, serta mempersingkat durasi pemberian antibiotik sampai 65%
tanpa tergantung pada keparahan penyakitnya.
Tabel 6. Penelitian randomisasi terkontrol yang menggunakan kadar PCT serum
sebagai panduan pemberian antibiotik pada infeksi saluran napas.
Jumlah penderita Persentase Durasi terapi
dievaluasi penderita yang antibiotik (hari
Sindroma klinis Tempat memulai terapi rata-rata)
penelitian antibiotik
Grup Grup Grup Grup Grup Grup
kontrol PCT kontr PCT kontrol PCT
ol
Pneumonia, Unit gawat 119 124 77,3 44,4 12,8 10,9
PPOK darurat
eksaserbasi akut, (Basel,
bronkitis akut Swiss)
Bronkitis akut, Unit gawat 699 671 87,9 75,4 3,8 3,2
PPOK darurat di
eksaserbasi akut, 6 RS
pneumonia (Swiss)
komunitas
Dikutip dari (55)
peran diagnostiknya pada kondisi selain sepsis. Kadar PCT pada infeksi bakterial
dapat meningkat sampai melebihi 0,25 ng/ml, sedangkan pada infeksi virus dapat
meningkat tetapi tidak melebihi 0,1 ng/ml sehingga LUMItest® merupakan
metode suboptimal dalam membedakan antara infeksi virus dengan bakteri.55,57
Food and drug administration (FDA) menyetujui pemeriksaan PCT
generasi kedua berupa teknologi time-resolved amplified cryptate emission
(TRACE) seperti Kryptor® PCT (Brahms, Hennigsdorf, Jerman) dengan 0,05
ng/ml sebagai batas nilai terendah yang terdeteksi. Pemeriksaan ini berdasarkan
antibodi poliklonal antikalsitonin domba dan antibodi monoklonal antikatakalsin
yang terikat pada kalsitonin dan sequence katakalsin dari molekul prekursor
kalsitonin. Waktu pemeriksaan yang dibutuhkan adalah 19 menit dan hasilnya
dapat diperoleh dalam satu jam menggunakan 20-50 µl plasma atau serum.57
D. VITAMIN C
2. Farmakokinetik vitamin C
Farmakokinetik vitamin C meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme,
eliminasi, dan mekanisme transpor aktif maupun pasif.60
a. Absorpsi
Vitamin C yang tercerna diabsorpsi pertama kali oleh epitel usus melalui
transpor membran bagian apikal, baik sebagai askorbat dengan transpor aktif
sodium-coupled melalui sodium-dependent vitamin C transporter (SVCT)1
maupun sebagai asam dehidroaskorbat dengan difusi terfasilitasi melalui glucose
transporter (GLUT)2 atau GLUT3.60
Dehidroaskorbat segera setelah masuk ke dalam sel diubah menjadi askorbat
atau diedarkan ke seluruh peredaran darah oleh GLUT1 dan GLUT2 pada
membran basolateral sehingga akan memelihara kadar rendah intraselular dan
37
c. Distribusi
Vitamin C terdistribusi ke seluruh jaringan dengan kadar tertinggi di otak
dan saraf dibandingkan organ lain seperti terlihat pada Gambar 10.60 Vitamin ini
cenderung terakumulasi pada kelenjar adrenal, otak, beberapa tipe leukosit,
sedangkan kadarnya di dalam plasma relatif rendah yaitu di bawah 100 µM pada
dewasa sehat meskipun diberikan 2,5 gram sekali sehari per oral.58
Regulasi ketat homeostasis vitamin C terutama dikontrol oleh empat sistem
regulasi yaitu uptake intestinal (bioavailabilitas), akumulasi jaringan dan
distribusi, kecepatan utilisasi dan siklus berulang, serta eksresi ginjal dan
reabsorpsi. Hal ini diperoleh melalui berbagai mekanisme termasuk difusi pasif,
difusi terfasilitasi, transpor aktif, dan siklus berulang.60
Pemberian oral terbatasi oleh diare osmotik dan saturasi absorpsi intestinal
sehingga tidak dapat mencapai puncak konsentrasi plasma 1 mmol/liter.64
Penelitian bioavailabilitas vitamin C pada dosis 15-1250 mg
memperlihatkan dosis farmakologis intravena dapat menghasilkan kadar plasma
70 kali lebih tinggi dibandingkan dosis oral maksimal yang dapat ditoleransi.
Kadar dalam plasma sebesar 10 mmol/liter (10.000 µmol/liter) dapat diperoleh
lebih dari tiga jam dengan rata-rata kecepatan infus 0,5-1 gram/menit, tergantung
pada dosis, kecepatan dan frekuensi infus.64
untuk sintesis komponen genetik ribonucleic acid (RNA) dan DNA. Kedua,
reduksi koenzim niasin NADP menjadi NADPH yang dibutuhkan dalam berbagai
reaksi oksidasi.68
b. Antiinflamasi
Vitamin C memproteksi tubuh terhadap efek toksik ROS dengan cara
menurunkan regulasi ekspresi gen proinflamasi IL yang terikat ROS melalui
inhibisi faktor transkripsi NFκB. Faktor transkripsi ini meregulasi ekspresi sitokin
proinflamasi seperti IL-1 dan TNFα. Sejumlah penelitian menunjukkan vitamin C
juga memperkuat pertahanan antioksidan sel T dan meningkatkan respons
terhadap antigen yang dianggap berperan penting dalam sistem imun.66 Penelitian
Carcamo et al. menunjukkan vitamin C dapat menghambat aktivasi NFκB melalui
dua jalur berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu menekan aktivasi terinduksi
ROS dan menghambat IKKα dan IKKβ. Asam dehidroaskorbat dapat berfungsi
sebagai penghambat kinase dan secara langsung menghambat aktivitas IKKα,
IKKβ, dan p38MAPK.69 Mekanisme vitamin C sebagai penghambat kinase dapat
dilihat pada Gambar 13.
44
Penelitian Bhoite et al. bertujuan menilai kadar vitamin C dan E pada anak-
anak dengan pneumonia berusia 5-15 tahun, melibatkan 40 penderita pneumonia
dan 40 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar vitamin C
dan E sangat signifikan pada kelompok pneumonia dibandingkan kontrol (p<
0,001) secara respektif.70 Khan et al. meneliti 222 penderita pneumonia anak
berusia kurang dari lima tahun menyimpulkan bahwa kelompok yang diberikan
vitamin C 200 mg/hari lebih cepat mengalami perbaikan saturasi oksigen dan laju
pernapasan dibandingkan yang tidak mendapatkan vitamin C. Hal ini akan
mengurangi durasi, morbiditas, dan mortalitas karena pneumonia.71
Fowler III et al. meneliti keamanan pemberian vitamin C infus intravena
pada 24 penderita sepsis berat. Sebanyak masing-masing delapan penderita
diberikan infus intravena vitamin C dosis rendah (50 mg/kgBB/24 jam) atau dosis
tinggi (200 mg/kgBB/24 jam) atau plasebo (dektrosa 5% terlarut). Pemantauan
yang dilakukan meliputi perburukan hipotensi arterial, takikardi, hipernatremia,
mual muntah, skor sequential organ failure assessment (SOFA), kadar vitamin C
plasma, C-reactive protein, PCT, dan trombomodulin. Peneliti menyimpulkan
vitamin C infus intravena aman dan ditoleransi baik sehingga berdampak positif
45
Gambar 14. Kerangka teori yang menjelaskan proses infeksi pada pneumonia.
Keterangan gambar:
IL= interleukin, NF-κB= nuclear factor kappa B, TNF-α= tumor necrosis
factor-α, NK= natural killer, Th= T helper, CD= cluster of differentiation,
ROS= reactive oxygen species, NET= neutrophil extracelular trap,
ICAM= intracelular adhesion molecule, TLR= toll-like receptor
= mengaktivasi/menstimulasi
= menghambat
= berkorelasi (?)
46
membedakan antara bakteri atau virus sebagai etiologi penyakit. Selama infeksi
mikroba didapatkan peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan
pelepasan PCT dari parenkim dan diferensiasi tipe sel di seluruh tubuh termasuk
hepar dan sel mononuklear.
Vitamin C menstimulasi diversi glukosa-6-P dari glikolisis ke dalam HMP
shunt yang penting terhadap sistem imun, serta mereduksi koenzim niasin NADP
menjadi NADPH yang dibutuhkan dalam berbagai reaksi oksidasi. Fagosit
menggunakan NADPH untuk memproduksi ROS sehingga mampu membunuh
patogen yang menginvasi, tetapi ROS yang berlebihan jumlahnya dapat bocor
keluar dari sel masuk ke ruang ekstraselular dan bersifat toksik. Vitamin C
berperan sebagai antioksidan yang akan menekan produksi ROS berlebihan.
Vitamin C mempunyai efek antiinflamasi dengan cara menurunkan
regulasi ekspresi gen proinflamasi IL yang terikat ROS melalui inhibisi faktor
transkripsi NFκB. Inhibisi ini melalui dua jalur berbeda, yaitu menekan aktivasi
terinduksi ROS dan menghambat IKKα dan IKKβ. Asam dehidroaskorbat dapat
berfungsi sebagai penghambat kinase dan secara langsung menghambat IKKα,
IKKβ, dan p38MAPK. Penurunan aktivasi NFκB pada kondisi sepsis akan
menghambat NETosis sehingga tidak terjadi apoptosis neutrofil berlebihan dan
terjadi resolusi inflamasi aman dan efisien. Penambahan vitamin C pada terapi
standar pneumonia diharapkan dapat menurunkan stres oksidatif dan respons
inflamasi bakterial yang ditandai dengan penurunan kadar serum PCT sehingga
menyebabkan perbaikan klinis lebih cepat dan lama rawat inap memendek.
Kerangka konsep penelitian secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 15.
48
F. HIPOTESIS